Mengapa KPK Menjadi Target
KALAU Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para pemimpin partai politik serius mau membasmi korupsi, mereka pasti akan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tetapi, yang mereka lakukan adalah kebalikannya. Mereka melumpuhkan dan bahkan membunuh lembaga antikorupsi itu.
Jadi, wahai rakyat yang selalu saja menjadi korban kerakusan oligarki busuk (oligarki busuk itu termasuklah para pemegang kuasa tertinggi di eksekutif dan legislatif), Anda semua tidak perlu berkerut memikirkan mengapa negara ini terpuruk terus.
Penyebabnya, para elit begundal. Mereka itu berpura-pura ingin menegakkan keadilan dan memakmurkan rakyat, tetapi sesungguhnya mereka hanya memikirkan diri sendiri. Hanya memikirkan keluarga dan dinasti mereka. Kalaupun lebih dari memikirkan diri sendiri dan keluarga, paling banter mereka memikirkan kelompok.
Ketika tempohari korupsi merajalela dan dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), semua pihak sepakat membentuk antikorupsi dengan wewenang yang luar biasa pula. Waktu itu, dan sampai sekarang, kepolisian serta kejaksaan dinilai punya banyak masalah untuk memberantas korupsi.
Kedua lembaga tersebut tidak bisa diandalkan dan tidak bisa dipercaya mengurusi kasus-kasus korupsi. Lembaga khusus antikorupsi adalah satu-satunya solusi.
Digagaslah KPK semasa Presiden Megawati Soekarnoputri. Dibentuk pada 2002 berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Kekuasaan lembaga ini untuk memberantas korupsi sangat besar. Sering dijuluki “superbody”. Independen dan bebas dari intervensi siapa pun. Ideal sekali. Semua orang bersemangat. Indonesia bakal bersih dari para pencoleng.
KPK menjadi populer. Menjadi harapan rakyat untuk membasmi korupsi. Ketika KPK berhasil memborgol para koruptor dalam OTT (operasi tangkap tangan), publik senang sekali. Banyak bupati dan walikota diangkut ke Jakarta, diadili, kemudian dijebloskan ke penjara.
Tapi, belakangan ini KPK mulai dirasakan mengganggu kepentingan partai-partai politik dan para individu yang terbiasa mendulang uang korupsi. KPK semakin menggelisahkan orang-orang yang selama ini ‘cari makan’ dan kekayaan lewat korupsi.
Lembaga ini pun dimusuhi oleh DPR dan pemerintah. Apalagi, setelah OTT KPK menyasar para pejabat eksekutif sampai ke jenjang menteri. Menangkap pejabat legislatif hingga ke level Ketua DPR. Memborgol pejabat yudikatif sampai ke tingkat Ketua MK.
KPK dianggap sebagai ancaman oleh banyak pihak, terutama para pemilik parpol busuk. Mereka gerah dan was-was mengamati lembaga antikorupsi itu. Tidak ketinggalan, yang ikut gelisah adalah para pemilik bisnis yang terbiasa menempuh jalan pintas dengan sogok-menyogok.
Alhasil, KPK dibenci. Dimusuhi semua orang. Para musuh KPK itu jelaslah para penjahat dan perampok. Mereka inilah yang bekerja keras melumpuhkan KPK. Hari ini, target mereka telah tercapai melalui berbagai cara.
Dimulai dari revisi UU KPK. Struktur KPK dirombak. Dibentuk Dewan Pengawas (Dewas) sebagai organ penentu. OTT tidak bisa lagi mudah dilakukan. Sekarang, pimpinan KPK bahkan bisa menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Sjamsul Nursalim, koruptor besar, adalah orang pertama yang menikmati SP3 KPK. Ke depan, diperkirakan akan banyak yang melobi penghentian perkara. Bisa saja nanti SP3 menjadi tambang duit.
Status pegawai KPK dialihkan menjadi aparatur sipil negara (ASN). Mereka tidak lagi independen, dan tidak lagi luar biasa. Tak lagi bergigi. KPK sekarang berada di bawah penguasaan eksekutif. Pekerjaan mereka bisa disetir.
Apa argumentasi kuat perubahan status pegawai KPK menjadi ASN? Tidak ada. Tujuannya satu: dengan status ASN itu, maka semua orang di lembaga ini bisa dikendalikan oleh presiden, para menteri, dan orang-orang kuat lainnya.
Tapi, ada 75 orang yang tidak bisa dikendalikan. Mereka dinyatakan tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK). Inilah tes dagelan yang isi dan eksekusinya tidak sedikit pun menunjukkan eksistensi intelektualitas (kecendekiaan) para perancangnya.
Para pegawai KPK dites dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada kaitannya dengan tugas pemberantasan korupsi. Ada pertanyaan tentang FPI, HTI, tentang Habib Rizieq Syihab, tentang pacaran, tentang mau nikah atau tidak, tentang LGBT (lesbian, gay, biseks dan transgender), tentang aliran agama, dan pertanyaan-pertanyaan sampah lainnya.
Tes seperti ini bukan hanya tidak beradab, tetapi juga biadab. Semua ini dilaksanakan untuk menyingkirkan 75 staf yang beritegritas, non-kompromis terhadap koruptor.
Ke-75 orang itu dinyatakan tidak lulus. Padahal, mereka sudah bertugas belasan tahun. Apa dasar para penguji itu memutuskan mereka tidak memiliki wawasan kebangsaan? Baseless. Tak berdasar.
Kalangan pengamat politik berpendapat Ketua KPK Firli Bahuri ditengarai sengaja menyingkirkan ke-75 orang yang tidak bisa diajak kompromi itu. Semua itu dilakukan untuk memuluskan agenda jahat elit garong. Bebas merdekalah para koruptor dan calon-calon perampok uang rakyat.
Kepada Pak Sujanarko, Novel Baswedan, Andre Nainggolan, Harun Al-Rasyid (Si Raja OTT), Herbert Nababan, Juliandi Tigor Simanjuntak, Yudi Purnomo, dan sederet nama lainnya, Anda telah berjuang sekuat tenaga. Well done. You did your best untuk negara ini.
Hari ini Anda terjungkal. Besok-lusa tidak ada yang tahu. Tetapi, rakyat tahu pasti dan mencatat siapa-siapa saja yang berkhianat. **