Moeldoko Sebaiknya Menyerahlah !
by M. Rizal Fadillah
Bandung FNN - Prahara Patia Demokrat merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang korup "corrupt absolutely". Korupsi yang bukan disebabkan oleh kekurangan. Tetapi berbasis keserakahan. Keserakahan politik dari Istana. Semua parpol mesti dikuasai dan di bawah kendali istana.
Istana secara standar membantah keterlibatan dalam prahara Partai Demokrat. Apalagi sampai menjadi pengatur agenda segala. Itu urusan internal partai, katanya. Namun publik menganggap hal itu adalah cara instana ngeles politik. Rasanya tidak mungkin Moeldoko bermain sembunyi-sembunyi karena sebagai seorang prajurit ia biasa menjalankan perintah.
Moeldoko tidak sedang berkator di Ambon Maluku, Papua, Balipapan Kalimantan Timur atau Medan Sumatera Utara. Namun Moeldoko itu bernator di dalam pagar dan halaman istana negara. Sementara istana negara menjadi simbol dan kebesaran Presiden Jokowi melaksanakan tugas-tugas kenegaraan sehari-hari. Jarak kantor Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) hanya sekitar 100-200 meter dari kantor presiden.
Bantahan dari istana muncul setelah kontelasi politik agak berbalik. Misi kudeta yang nyaris gagal. Moeldoko bukan hanya berhadapan dengan anak-bapak Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) saja. Tetapi Moeldoko dan istana juga berhadapan dengan opini publik yang mengecam pembegalan politik dan perampokan politik yang dilakukan Moeldoko.
Kenyataan ini diperkuat oleh peristiwa sebelumnya, dimana Ketum Partai Demokrat AHY pernah membuat surat kepada Presiden Jokowi untuk mempertanyakan gerakan Moeldoko yang terendus. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa. Hingga kini Moeldoko pun belum mendapat teguran apalagi dipecat. Istana diduga kuat sangat tahu langkah pembegalan dan perampokan politik yang dilakukan Moeldoko terhadap Partai Demokrat.
Hanya apakah Mooldoko juga sebagai inisiator atau bukan? Itu persoalan lain. Namun orang kuat di belakang Moeldoko tentu saja "inner circle" Istana. Mereka adalah kelompok oligarkhis yang bermain di ruang intelijen dengan semangat pecah belah dan kuasai. Para taipan adalah elemen strategis yang siap "all out" untuk membiayai gerakan ini.
Hanya saja indikasi kesuksesan Moeldoko dan inner circle istana mulai terganggu karena rakyat ikut berteriak. Akibatnya, dana yang sebelumnya telah dijanjikan oleh para taipan busuk, licik, picik dan rakus seret keluar. Terbukti peserta Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit Deli Serdang, Sumatera Utara menjerit atas ingkar janji pembayaran. Peserta yang semula dijanjikan Rp. 100 juta, hanya bisa diberikan Rp. 10 juta setiap delegasi.
Moeldoko hanya alat permainan yang nampaknya juga senang berjudi politik. Berharap menang juga, siapa tahu hoki, bisa ikut nyapres. Tawaran kepada Jenderal Gatot yang terkuak menunjukkan gerakan kudeta memiliki misi dan perencana. Masif dan terstruktur. Perubahan kepemimpinan 2024 adalah keniscayaan. Taipan tetap ingin berkuasa untuk Presiden ke depan itu Petruk atau Gareng?
Single Party System adalah canangan untuk membangun model pemerintahan Orde Lama (Orla) yang ditentang oleh rakyat Indonesia. Keinginan untuk menerapkan demokrasi terpimpin, penghancuran kekuatan agama, bersahabat dengan Cina Komunis, serta pengendalian Partai Politik. Dahulu dibentuk Front Nasional berbasis Nasakom dukungan PKI, kini "Koalisi Nasional", dengan partai-partai politik yang satu arah sebagai mendukung Pemerintahan Jokowi.
Disini obsesi seperti inilah, makna bahwa Partai Demokrat harus dilumpuhkan bahkan direbut. Seperti peristiwa G 30 S PKI, percobaan kudeta melalui KLB abal-abal nampak dibayang-bayang kegagalan. SBY mengambil alih perlawanan perang dan melakukan counter attack. Istana mulai blingsatan. Pasukan Moeldoko kocar-kacir, petinggi mulai membelot, prajurit teriak mengaku dibayar, tetapi takut dipecat. Moeldoko mulai diam, dan tak mampu bermanuver.
Publik tetap keras ikut mendesak Presiden untuk mencopot Moeldoko dari KSP, agar ada efek jera. Jangan lagi ada model gerakan pembegalan dan perampokan politik yang memalukan bangsa dan negara seperti ini. Sangat jijik dan primitif untuk dilakukan oleh seorang mantan Panglima TNI. Jelas-jelas mempermalukan institusi TNI yang pernah membesarkannya. Apalagi TNI sangat menjunjung tinggi etika dan menghormati sportivitas dalam berdemokrasi.
Jika partai politik bisa dibegal, ormas dibubarkan, tokoh politik dipenjarakan, maka lampu merah untuk demokrasi telah menyala. Demokrasi Terpimpin mulai merayap dan menguat. Moeldoko tentu semakin berat, harapan sukses menipis. Gerak gerik terpantau dan mudah untuk dihajar lawan. Daripada babak belur tak keruan, sebaiknya Moeldoko give up, menyerahlah...!
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.