Over Borrowing dan Keretakan Kabinet
BELAKANGAN ini ada beberapa fenomena lonjakan utang yang mengerikan, pada saat yang sama terjadi keretakan koalisi di kabinet. Apakah ada kaitan lonjakan utang sehingga anggota koalisi sudah mulai berani mengambil jalan politik sendiri-sendiri?
Menurut ekonomi Rizal Ramli, kondisi krisis hari ini jauh lebih berat daripada krisis 1998. Faktornya sangat banyak, antara lain, pertama, jumlah utang yang terlalu banyak. Sampai-sampai untuk membayar bunga utang Pemerintah harus menerbitkan utang baru (defisit keseimbangan primer).
Pada 2021, Pemerintah harus menyiapkan Rp373,26 triliun. Sementara kas negara kosong, sehingga Pemerintah terpaksa harus menerbitkan surat utang baru karena terjadi negative flow.
Kedua, uang yang ada di masyarakat disedot untuk membayar utang lewat mekanisme pembelian Surat Utang Negara (SUN) ataupun Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini yang memukul daya beli ekonomi masyarakat, selain terkena Covid-19, masyarakat kehilangan pekerjaan, atau yang masih bekerja daya belinya semakin turun, karena uangnya tersedot untuk membayar utang.
“Dan pemerintah tidak punya kemampuan untuk mengurangi beban utang ini, kecuali menambah dan menambahnya. Untuk bayar bunga utang harus berutang lagi,” jelasnya.
Rektor Universitas Ibnu Khaldun, Musni Umar, mengungkapkan jika dijumlahkan utang publik saat ini diperkirakan sudah menembus angka Rp13.500 triilun. Yang dimaksud utang publik itu adalah utang yang apabila terjadi kegagalan maka Pemerintah sebagai penyelenggara negara akan mengambil alih pembayarannya.
Utang publik terdiri dari tiga komponen, pertama, utang Pemerintah. Sampai dengan triwulan I-2021 total utang Pemerintah sudah mencapai Rp6.445,07 triliun. Jumlah itu setara dengan 41,64% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kedua, utang Bank Indonesia (BI). Utang Pemerintah termasuk di dalamnya adalah utang Bank Indonesia.
Ketiga, utang BUMN. Sampai September 2020 total utang BUMN mencapai Rp1.682 triliun. Jika diproyeksikan hingga kuartal I-2021 total utang BUMN bisa mencapai Rp1.800 triliun.
Sehingga menurut Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini total utang Pemerintah dan BUMN sampai saat ini berkisar Rp8.300 triliun. Sampai dengan Presiden Jokowi menyelesaikan tugasnya pada 2024 diperkirakan Jokowi akan mewariskan utang sedikitnya Rp10.000 triliun.
Apakah total utang tersebut masih aman? Masih well managable? Atau sudah sampai tahap over borrowing?
Tentu saja Menkeu Sri Mulyani Indrawati menyebut total utang tersebut masih aman, masih di bawah 60% dari PDB. Musni Umar sebaliknya sudah tembus 80% dari PDB. Tapi Rizal Ramli menyebut sudah over borrowing.
Paling tidak ada tiga instrumen untuk mengukur utang suatu negara masuk kategori over borrowing atau lower borrowing. Yaitu, pertama, DSR (Debt Service Ratio), rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20%.
Kedua, DER (Debt Export Ratio), rasio total ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200%.
Ketiga, DGDP (Debt to GDP Ratio), rasio antara total utang luar negeri terhadap PDB dengan batas aman 40%.
Jika mengacu pada data ULN Februari 2021, nilai DGDP ratio Indonesia sebesar 39,7%, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86% dan 215.4% pada IV-2020.
Itu menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilainya hampir melampaui batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur.
Di sinilah letak titik krusial, dimana anggota koalisi kabinet menyadari bahwa kondisi utang Indonesia yang sudah over borrowing dan belum ada tanda-tanda solusi yang kongkrit, sehingga masing-masing anggota koalisi di kabinet mulai berbicara sumbang.
Menkeu Sri Mulyani sudah mulai minta nasihat World Bank dan Monetary International Fund (IMF). Ini adalah bahasa isyarat karena sang penguasa pemerintahannya sudah di luar kendali, sehingga Menkeu harus pinjam mulut World Bank atau IMF untuk mengingatkan sang penguasa.
Dikabarkan Sri Mulyani akan menerbitkan utang baru dengan target Rp1.200 triliun, dimana Rp600 triliun untuk dibagikan kepada rakyat berupa financial safety net (FSN) dan Rp600 triliun untuk supply kepada sektor perbankan. Namun rencana itu ditolak Bank Dunia.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mulai berbicara lantang dengan mengatakan indeks demokrasi Indonesia di bawah indeks demokrasi Timor Leste. Ma’ruf yang merupakan representasi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga minta dispensasi agar santri dibolehkan mudik lebaran di tengah kebijakan Pemerintah melarang mudik.
Kepala Bappenas/Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Manoarfa meminta Menkeu Sri Mulyani mencek perusahaan Indonesia yang berinvestasi besar-besaran ke China di tengah Indonesia butuh investasi. Ini merupakan sinyal orkestra keretakan di dalam tubuh kabinet, khususnya wakil dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Pada saat yang sama Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin dari Fraksi Golkar tengah ditarget Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diperkirakan akan merambat kepada Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, sehingga Airlangga pun melakukan manuver politik bertemu dengan Prabowo Subianto (Ketua Umum Gerindra), Surya Paloh (Ketua Umum Nasdem), Achmad Syaikhu (Presiden PKS), Suharso (Ketua Umum PPP), dan entah dengan siapa lagi.
Mungkin saja setelah Golkar, Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB) akan digoyang sehingga keutuhan kabinet semakin rapuh. Belum lagi manuver PDI Perjuangan sebagai pimpinan koalisi, yang kesemuanya memberi isyarat bahwa keutuhan kabinet mulai goyah.
Kalau semua itu terjadi, tentu saja akan terjadi tsunami politik. Dan itu membahayakan posisi Presiden Jokowi, dikhawatirkan beliau tidak sampai menyudahi kepemimpinannya hingga 2024. Alih-alih ingin memimpin Indonesia tiga periode, malah terjungkal di jalan.
Kita tentu tidak mengharapkan hal itu terjadi, semoga saja analisis di atas tidak terjadi.