Pemurtadan Dan Penistaan Agama

by M Rizal Fadillah

Bandung FNN – Ahad (27/12). Viral video dua orang, laki-laki dan wanita, di sebelah pohon natal sebuah gereja dalam acara "Natal Bersama Kultum 2020" membacakan ayat Qur'an dan terjemahannya. Akan tetapi ternyata ayat-ayat yang dibaca dan diterjemahkan tersebut bercampur dengan Bible dan merusak makna sebenarnya ayat Qur'an.

Diragukan bahwa pembaca Qur'an berpeci adalah muslim. Awalnya yang dibaca adalah Qur’an Surat Maryam, ayat 19-21. Akan tetapi calaknya lagi, sambungannya seolah-olah ayat Qur'an. Padahal yang dibaca adalah ayat Bible Yohanes 14:6 yang diarabkan.

Bunyi lengkapnya yang diarabkan adalah "Qaala lahu yasuu'u ana huwath thoriiqu wal haqqu wal hayaatu laisa ahadun ya'tii ilaal abi illa bii. Artinya, kata Yesus kepadanya, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku".

Luar bisa pengecohannya. Dengan langgam membaca Qur'an mereka mensinkretiskan Qur'an dengan Bible. Seolah-olah hai ini merupakan wujud dari toleransi keagamaan. Padahal disadari atau tidak, ini adalah penodaan agama yang dapat dilaporkan sebagai nyata-nyata pelanggaran hukum. Pasal 156 a KUHP dapat dikenakan pada pelaku maupun pembuat skenarionya.

Kasus demikian bisa terjadi akibat kekacauan yang dilakukan oleh sebagian komunitas umat Islam sendiri. Toleransi yang salah kaprah, yaitu mencampuradukan ajaran. Mulai dari ceramah natal oleh mubaligh, kolaborasi bernyanyi muslim dan kristiani di gereja, qashidah dengan joget sinterklas, adzan di gereja. Ada juga bagi-bagi tumpeng santri di acara gerejani, hingga Menteri Agama yang demonstratif memberi wejangan dan ucapan Natal.

Bahkan ada film yang dinilai mengada-ada. Kader ormas yang sedang menjaga gereja mencurigai ada bom saat acara misa umat kristiani di gereja. Lalu heboh, dan secara "heroik dan demonstatif" ia membawa bom itu keluar dan meledaklah di tangannya. Duuar...lebaay.

Harus ada rekonstruksi makna toleransi yang sebenarnya. Karena saat ini telah menciptakan kekacauan dalam pemahaman keagamaan. Toleransi seharusnya bukan untuk saling mencampuri dalam soal pelaksanaan ibadah keagamaan masing-masing agama.

Toleransi adalah memahami dan menghargai perbedaan atas keyakinan masing-masing agama. Lebih dari itu, saling menghormati keyakinan masing-masing. Tidak lebih dari itu. Menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing agama adalah wujud dari sikpa teloransi yang paling tinggi dan bergensi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita yang majemuk.

Umat Islam selalu dipojokkan sebagai umat yang intoleran. Sehingga merasa perlu harus merendahkan diri pada umat lain dengan sikap yang bukan saja melanggar syariat, tetapi juga akidah. Pemerintah semestinya mengubah kebijakan keumatan. Kementerian Agama harus menjadi penanggungjawab untuk menstabilkan relasi keagamaan umat Islam.

Hanya semakin skeptis dan pesimis saja melihatnya. Sebab ternyata Menteri Agama hasil reshuffle saat ini justru diduga menjadi bagian dari kekacauan faham dan relasi keagamaan ini. Semoga ada perubahan sikap, agar wajah umat mayoritas ini tidak semakin muram.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

1158

Related Post