Penyesatan Logika (Logical Fallacy)
BANGSA ini dijajah, ditindas, dijarah, didzolimi, ratusan tahun oleh bangsa Eropah (Portugis-Spanyol- Belanda-Inggris) dan Jepang.
Tapi, narasi yang dibangun saat ini adalah narasi kebencian terhadap bangsa Arab.
Yang merusak dan menghancurkan negeri kita hari ini adalah ; budaya korupsi, konsumsi narkoba, gaya hidup materialistik dan hedonis, perampokan sumber kekayaan alam negara oleh elit oligharki, sex bebas, dan LGBT.
Namun di spanduk beberapa seminar, upacara, sekolah, yang dianggap ancaman adalah ; Radikalisme, Intoleransi, Politik identitas.
Oknum dan kelompok yang banyak merusak dan menghancurkan bangsa ini hingga banyak masyarakat yang miskin dan bodoh adalah : Politisi partai politik, aparat negara, cukong, dan pejabat.
Tapi yang diprovokasi untuk dimusuhi seolah jadi musuh negara adalah ; Ulama, Kiyai, Habaib, Aktifis dan Pejuang Demokrasi.
Yang secara fakta dan sejarah kelompok yang berkhianat, membunuhi rakyat dan mau mengganti Pancasila adalah ; PKI di zaman Soekarno, dan RUU HIP diusulkan PDIP di zaman Jokowi.
Tapi yang selalu dituduh anti Pancasila dan dibubarkan ormasnya adalah ; FPI dan HTI.
Yang selalu bohong, tidak menepati janji, membuat hutang dan perjanjian investasi merugikan negara hari ini adalah rezim penguasa.
Tetapi yang dipenjarakan adalah para pejuang yang mengkritik dan mengingatkan untuk perbaikan.
Demikianlah potret buram bangsa kita hari ini. Telah terjadi upaya penggeseran nilai moralitas dan nilai-nilai kebaikan menjadi terbalik.
Nilai moralitas dan nilai-nilai kebaikan yang baik, disulap menjadi kata-kata yang menakutkan.
Nilai kehidupan yang membawa dampak kerusakan dan maksiat, dipoles seolah menjadi nilai kebaikan atas nama moderenisasi dan kemajuan.
Radikalisme (taat kepada ajaran agama yang mengakar), Intoleransi (ke-istiqomahan atas nilai moral individual), Politik identitas (Nilai kodrati dan fitrah atas keberagaman), disulap jadi kata-kata yang sangat buruk menakutkan.
Padahal, Indonesia ini tidak akan merdeka kalau tidak ada radikalisme terhadap agama dan keyakinan sehingga lahirlah semangat perlawanan berbasis nilai spritualitas yang tinggi.
Padahal sikap intoleransi ini adalah benteng manusia secara individu atas nilai-nilai yang merusak nilai dan moralitas yang sudah ada hidup dan berkembang sesuai kearifan lokal nusantara.
Namun intoleransi saat ini, menjadi alat “pemukul” kepada mereka yang tidak mau ikut dan tunduk pada nilai nilai kehidupan liberal dan sekulerisme. Sambil, melemahkan dominasi kelompok mayoritas agar tunduk dan takluk pada minoritas.
Padahal politik identitas untuk kondisi keberagaman nusantara adalah karakter dasar yang harus dijaga, agar tidak larut dalam budaya budaya global yang merusak jati diri anak bangsa. Sehingga bangsa Indonesia tetap berkarakter Indonesia berjati diri nusantara yang religius.
Begitu juga dengan isu “War on terror”, dimana di Barat isu ini sudah tak laku lagi dan basi. Karena barat khususnya Amerika sudah sadar dan kecolongan, ketika mereka sibuk tiga dasa warsa memerangi kelompok Islam di timur tengah, di satu sisi China bangkit sebagai negara naga raksasa baru dunia. Malah hari ini China negara komunis adi daya hari ini, sudah berani terang terangan menantang hegemoni Amerika dan sekutunya.
Namun di Indonesia, aparat dan penguasanya semakin serius menjadikan isu terorisme untuk menghabisi kelompok Islam yang mayoritas di Indonesia. Islam berhasil mereka balik menjadi ancaman dan musuh negara berbasis Fasisme-Feodalistik. Yaitu ; Mengadu domba sesama ummat Islam, ummat Islam dengan kelompok non-muslim radikal, Islam Vs Syiah, Islam Vs Kelompok Sekuler/Liberal, dan Islam Vs musuh abadinya Neo-Komunis.
Kelompok Islam yang tak mau tunduk akan di cap radikal, intoleran, ujungnya diteroriskan agar punya legitimasi untuk dihabisi.
Tapi kelompok Islam yang manut, patuh, meskipun tolol dan idiot akan diberikan fasilitas kekuasaan dan jabatan. Sempurna sudah kelompok Islam yang taat (fundamental) dikeroyok kekuasaan dan antek-antek peliharaannya.
Kondisi sosial hari ini kalau kita tanyakan kepada para tokoh sepuh dan orang tua memang sangat mirip sekali dengan suasana sosial politik ketika PKI berkuasa pada tahun 1960an di bawah kekuasaan rezim orde lama Soekarno.
Ummat Islam dibuat gerah dan tidak nyaman hidup di negeri ini. Kriminalisasi, persekusi, penistaan, hingga pembunuhan sadis dialami ummat Islam saat itu.
Ulama dan tokohnya dipenjarakan. Ajaran Islam dinistakan. Ormas pelindung ummat Islam yang idealis dibubarkan. Tapi sebaliknya para pembenci Islam dipelihara dan diback-up kekuasaan. Lalu apa bedanya dengan hari ini ???
Itulah yang disebut dengan perang asymetris berbasis ideologi. Menggunakan methode logical fallacie dalam hal mencuci otak masyarakatnya agar menjadi terbalik. Agar mudah disusupi, diracun pikirannya, dan kemudian dikuasai kehidupannya.
Sebagai mana strategi komunis dalam menguasai sebuah negara yaitu ; Miskinkan, bodohi, pecah belah, hancurkan, kuasai, dan teror.
Awalnya mereka akan angkat isu menjunjung tinggi nilai keberagaman agar tidak terjadi hegemoni kelompok mayoritas. Setelah itu masing kelompok yang beragam ini mereka pertentangkan dan ado domba hingga berpecah belah dan saling cakar. Kemudian baru mereka masuk dan kuasai sambil mengatakan agama sebagai sumber masalah yang melahirkan keberagaman, maka solusinya tinggalkan agama dan hidup jauh dari nilai agama yang dianggap sebagai racun dan candu.
Awalnya sejalan dengan ideologi sekuler dan liberal yaitu memisahkan kehidupan dari agama dan hidup bebas dari nilai agama yang doktrin. Namun puncaknya adalah ; Mereka hidup tanpa agama, anti terhadap agama, dan tunduk hanya pada penguasa tunggal atas nama negara. Itulah puncak dari ideologi komunisme itu.
Jadi sudah jelas bukan ?? Siapa musuh sejati bangsa kita hari ini ?? Jawabannya adalah kelompok Neo-Komunis yang disponsori negara super power baru China.
China hari ini di bawah kepemimpinan Xi Jin Ping, akan menjadikan instrumen ideologi komunisme sebagai sarana mewujudkan impiannya menguasai dunia. Dan Indonesia adalah salah satu target utamanya. Menggunakan sentimen dendam para anak PKI yang gagal dua kali kudeta, memanfaatkan sentimen kebencian kelompok minoritas non-muslim radikal, memanfaatkan sentimen penganut Syiah dan kelompok Liberal untuk jadi ujung tombak proxy China untuk “soft-aneksasi” Indonesia menjadi Indochina 2030.
Jawabannya sekarang ada pada seluruh rakyat Indonesia. Musuh sudah jelas di depan mata. Masih mau ditipu daya dan dibodohi? Masih jadi pengecut? Atau bangkit bersama melawan? Alias bangkit atau punah?
Biarkan waktu yang menjawabnya. Wallahualam.