Ponpes Megamendung Mau “Digusur”, Ada Bau Politis di Belakangnya?
by Mochamad Toha
Surabaya FNN - Kamis (24/12). Masih belum puas juga atas upaya kriminalisasi pada Habib Rizieq Shihab dan pembunuhan terhadap 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) pengawal HRS dalam peristiwa Rest Area KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek, kini muncul “somasi” PTPN 8.
Somasi “Pertama dan Terakhir” dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 8 ditujukan kepada Pimpinan Pondok Pesantren Alam Agrokultur Markaz Syariah Megamendung Bogor yang dipimpin HRS. Diminta dikosongkan dalam waktu seminggu!
18 Desember 2020
Somasi Pertama dan Terakhir
Kepada Yth Pimpinan
Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah
Megamendung Bogor
Dengan hormat,
Sehubungan dengan adanya permasalahan penguasaan fisik tanah HGU PT Perkebunan Nusantara VIII Kebun Gunung Mas seluas +/- 30,91 Ha yang terletak di Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat oleh Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah sejak tahun 2013 tanpa ijin dan persetujuan dari PTPN VIII kami tegaskan bahwa lahan yang Saudara kuasai tersebut merupakan aset PTPN VIII berdasarkan sertifikat HGU Nomor 299 tanggal 4 Juli 2008.
Tindakan Saudara tersebut merupakan tindak pidana penggelapan hak atas barang tidak bergerak, larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya dan atau pemindahan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 385 KUHP, Perpu No 51 Tahun 1960 dan pasal 480 KUHP.
Berdasarkan hal tersebut, dengan ini kami memberikan kesempatan terakhir serta memperingatkan Saudara untuk segera menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN VIII selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini.
Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterima surat ini Saudara tidak menindaklanjuti maka kami akan melaporkan ke Kepolisian cq. Polda Jawa Barat.
PTPN VIII
Surat PTPN pic.twitter.com/jkoB351RmI — Fahmi Alkatiri (@FKadrun) December 22, 2020
Surat Somasi “Pertama dan Terakhir” itu ditandatangani Dirut PTPN 8 Mohammad Yudayat, 18 Desember 2020. Selama ini Yudayat dikenal sebagai orang dekat Rini Suwandi, mantan Menteri BUMN, dan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Yang perlu dicatat, hampir seluruh wilayah Puncak, Gunung Geulis, hingga Sentul awalnya merupakan Tanah Garapan. Pemilik rumah di kawasan itu baru sekitar 5% yang pegang sertifikat. Sisanya di mana? Masih proses pembuatan sertifikat oleh developer.
Cek sekarang, ada kawasan perumahan mewah di sana yang sedang berproses, pegang surat apa developernya? Kabarnya, sebelum PTPN 8 meminta HRS meninggalkan lahan itu, ada warga yang diminta Bareskrim Polri untuk menyoal pondok HRS. Tapi tidak mau.
Pada 2017, lahan Megamendung itu sudah pernah dilaporkan ke Polda Jabar. HRS dituduh telah merampas lahan tersebut dari warga sekitar. Namun, setelah ditelusuri, ternyata tidak ada satu pun warga yang pernah melaporkan hal tersebut.
Laporan itu ternyata fiktif hasil rekayasa kasus. HRS secara sah mengambil alih dari warga (ganti rugi kepada warga) dengan uang disaksikan kades setempat. Sehingga upaya untuk mempermasalahkan lahan tersebut pada 2017 gagal total.
Apakah surat somasi kali ini benar-benar dari PTPN 8 atau aspal (asli tapi palsu), seperti saat HRS dilaporkan “warga” ke Polda Jabar pada 2017? Di sinilah perlunya dicek kebenarannya. Memalsu surat semacam “Somasi Pertama dan Terakhir” itu sangatlah mudah.
Jika benar itu adalah surat dari PTPN 8 yang ditanda tangani oleh Dirutnya, pasti mengerti bagaimana prosedur hukum untuk menarik kembali lahan milik negara tersebut. Somasi itu setidaknya dikirim sebanyak 3 kali, bukan “Somasi Pertama dan Terakhir”.
Lahan yang digunakan oleh HRS di Megamendung itu memang milik negara (PTPN) yang sudah tidak produktif atau karena terlalu dekat dengan pemukiman warga, sehingga HGU-nya diubah menjadi CSR bagi yang mau mengelolanya.
Dan, biasanya dikelola oleh yayasan, ponpes juga bisa (ada banyak ponpes lahannya milik negara/PTPN yang sudah tidak produktif lagi). Jika benar lahan itu memang mau ditarik kembali oleh PTPN, tidak semudah itu main ultimatum mengosongkan.
Lahan Markaz Syariah Group (Habib Rizieq Shihab) seluas sekitar 30,91 ha ini dibeli HRS dari warga sekitar yang menggarap lahan milik PTPN 8 itu pada 2013 di depan Kepala Desa Kuta, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor.
Sekarang tinggal cek ulang saja ke Kades Kuta yang saat itu menjabat. Dari penelusuran, nama Kades Kuta yang menjabat saat itu adalah Kusnadi (2008-2014), dan kini untuk periode kedua juga dijabat Kusnadi (2020-2026).
Semoga saja berita acara “peralihan” hak garap atas lahan tersebut masih tercatat dan aman di Desa Kuta, dan tidak “dihilangkan” karena tekanan dari pihak ketiga. Mengapa lahan tersebut yang “dikejar” oleh PTPN 8, tidak dengan lahan yang lain?
Ke mana saja dulu, padahal sudah puluhan tahun lahan itu digarap warga. HRS juga membelinya dari warga, bukan menyerobotnya.
Memang, kalau menurut hukum lahan HGU ya tetap HGU. Artinya, kalaupun ada CSR status tanah tetap HGU. Kecuali, kalau sudah ada redistribusi/hibah lahan yang mengubah status tanah ponpes menjadi HGB.
Sebab, status yayasan setahu saya sudah tidak boleh lagi mengajukan SHM. Jika pun boleh, luasannya sekitar 2-5 ha saja. Kalaupun bisa dipermasalahkan ya somasinya. Karena, somasi itu harus dilakukan sebanyak 3 kali sebelum dilakukan eksekusi.
Jadi, tidak ada yang namanya “somasi pertama dan terakhir”. Itu pun kalau sudah dilakukan jatuhnya hanya penundaan waktu untuk boyongan.
Jadi, secara hukum PTPN 8 itu sudah benar. Kecuali, kalau pihak ponpes bisa menunjukkan adanya surat hibah/wakaf dari Direktur PTPN 8 sebelumnya. Surat-surat ini perlu dihadirkan sebagai “saksi” yuridis. Termasuk jika HRS sudah membeli dari warga.
Sudah kesekian kalinya lahan Megamendung yang dikuasai HRS ini ada yang mencoba ambil paksa dengan berbagai dalih. Tapi, upaya itu selalu gagal. Dan, HRS sendiri sudah merasakan kalau lahan tersebut juga akan tetap dipersoalkan.
Dalam video yang direkam November 2020 lalu, HRS sempat menyinggung masalah status tanahnya itu. Melihat isi ceramahnya, jelas HRSsudah tahu bahwa dalam waktu dekat status tanah yang sudah dibeli hak garapnya tersebut akan dipersoalkan.
Para pemilik tanah di sekitar Markaz Megamendung itu pun sudah diintimidasi dan dihasut untuk mempersoalkan status tanah dan memfitnah HRS. Pihak PTPN 8 juga telah didatangi polisi agar segera mengambil alih tanah di Megamendung ini.
Maka HRS sudah membuat pesan kepada para santrinya agar melawan jika terjadi pengusiran tanpa ada ganti rugi.
Lahan Taipan?
Jika menyimak Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia pada 2015, lahan HGU Megamendung yang dikuasai HRS itu tak seberapa luas jika dibandungkan dengan Daftar Penggarap Hak Guna Usaha (HGU) terbesar di Indonesia.
Dalam Breaking News, Rabu (23/12/2020) TUK Indonesia menyebutkan 25 grup usaha besar yang didominasi keturunan China telah menguasai 51% atau 5,1 juta ha lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa.
Dari luasan tersebut baru 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum digarap. Dari ke-25 grup bisnis itu, 21 perusahaan telah terdaftar di bursa efek.
Ada sebelas perusahaan yang terdaftar di bursa efek di Jakarta, enam di bursa efek Singapura, tiga di Kuala Lumpur dan satu perusahaan di bursa efek London.
Lima perusahaan diantranya, bahkan memiliki penguasaan lahan melebihi 300 ribu ha. Ke-5 grup usaha itu adalah Sinar Mas, Salim Group, Jardine Matheson, Wilmar Group serta Surya Dumai Group.
Berikut daftar 10 besar taipan sawit berdasarkan data TuK, beserta luas landbank dan nilai kekayaan bersih taipan pada 2018:
1. Sinar Mas Group (Eka Tjipta Wijaya) menguasai 788 ribu ha senilai Rp 120,4 triliun; 2. Salim Group (Anthoni Salim) 413 ribu ha Rp 74,2 triliun; 3. Jardine Matheson Group (Henry Keswick) 363 ribu ha Rp. 84,6 triliun;
4. Wilmar Group (Robert Kuok, Khoo Hok Kuok, dan Martua Sitorus) 342 ribu ha Rp 240,8 triliun; 5. Surya Dumai Group (Martias & Cilandra Fangiono) 304 ribu ha Rp 16,1 triliun; 6. Darmex Agro Group (Surya Darmadi) 257 ribu ha Rp 18,2 triliun;
7. Royal Golden Eagle Group (Sukanto Tanoto) 225 ribu ha Rp 37,8 triliun; 8. Harita Group (Lim Haryanto Wijaya Sarwono) 206 ribu ha Rp 21 triliun;
9. Triputra Group (Benny Subianto) 200 ribu ha Rp 9 triliun; 10. Sampoerna Agro Group (Putra Sampoerna) seluas 192 ribu ha senilai Rp 60,2 triliun.
Jika diurutkan, entah ada di urutan ke berapa lahan Markaz Syariah Group (HRS) seluas 30,91 ha tersebut. Tapi, mengapa yang dikejar cuma lahan Megamendung, bukan yang dikuasai 10 taipain di atas?
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id