Ramadan Jadi Pertaruhan Ekonomi

BADAN Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya kenaikan harga beberapa komoditas pada April 2021. Hal itu.menyebabkan inflasi sebesar 0,13 persen. Angka tersebut, meleset dari perkiraan yang dikeluarkan Bank Indonesìa sebesar 0,18 persen.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto dalam konferensi vidio, Senin, 3 Mei 2021 menyebutkan, komoditas daging ayam ras memberikan andil sebesar 0,06 persen. Komoditas lainnya adalah minyak goreng, jeruk, bahan bakar rumah tangga, emas perhiasan, anggur, pepaya, rokok kretek filter, ikan segar dan ayam hidup memberi andil terhadap inflasi sebesar 0,01 persen.

Ada beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga (deflasi).sehingga menghambat laju inflasi. Cabai rawit memberi andil deflasi 0,05 persen, bawang merah 0,02 persen, beras, bayam, kangkung dengan andil masing-masing 0,01 persen.

Belum ada yang menggembirakan dengan angka inflasi yang hanya 0,13 persen pada bulan April 2021. Juga dengan angka April 2021 sebesar 1,42 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Sebab, rendahnya laju inflasi itu tidak mencerminkan telah terjadinya pemulihan ekonomi.

Angka inflasi yang diumumkan BPS itu justru menunjukkan betapa perekonomian masih jalan di tempat. Sebab, pertengahan April 2011, sudah memasuki bulan Ramadan. Semestinya, permintaan mulai bergerak.

Biasanya, bulan Ramadan inflasi cukup tinggi akibat harga barang naik yang diikuti dengan meningkatnya permintaan konsumen. Akan tetapi, bulan April tanda-tanda permintaan membaik belum terlalu kelihatan.

Justru yang terjadi adalah kenaikan harga beberapa komoditas. Hal ini sudah terbiasa terjadi pada bulan Ramadan dan Idulfitri. Akan tetapi, dalam situasi perekonomian tumbuh positif, katakanlah lima persen, biasanya kenaikan harga masih diikuti dengan peningkatan permintaan dari konsumen.

Akan tetapi, Ramadan tahun ini tidak seperti itu. Hari Raya Idulfitri yang tinggal sepekan lagi, juga belum menunjukkan adanya peningkatan permintaan.

Kalau dibandingkan dengan Ramadan dan Idulfitri 2020 yang.lalu, tentu ada sedikit perubahan. Sebab, tahun lalu adalah awal Covid-19, dan memaksa sejumlah pasar dan mal ditutup.

Tidak jelas, apakah stagnannya permintaan itu karena rakyat tidak punya uang untuk belanja. Akankah dalam sepekan menjelang Idulfitri akan meningkat karena Tunjangan Hari Raya (THR), baik pekerja swasta maupun pegawai pemerintah sudah cair.

Anggaran THR tahun 2021 yang dikeluarkan pemerintah meliputi kementerian/lembaga, ASN, TNI, dan Polri melalui DIPA sebesar Rp 7 triliun, sedangkan untuk ASN daerah dan P3K dialokasikan Rp 14,8 triliun. THR yang diberikan kepada para pensiunan dialokasikan sebesar Rp 9 triliun. Nah, andaikan THR itu dibelanjakan, tentu sedikit akan mendongkrak permintaan. Apakah semua THR itu dibelanjakan oleh si penerima? Belum tentu.

Ajakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar masyarakat yang tidak mudik belanja baju baru, malah menjadi bahan olok-olokan di media sosial.

"Mudik dilarang. Akan tetapi Sri (Mulyani Indrawati) ajak masyarakat belanja baju baru. Mau dipake ke mana? Ternyata saat ngomong, otaknya masuk keranjang sampah." Demikian antara lain olok-olokan yang dapat dibaca di medsos.

Harus diakui, perekonomian masih berat. Daya beli masyarakat masih lemah. Kalaupun ada kegiatan ekonomi mulai membaik, itu masih sangat sedikit, dan pengaruhnya masih kecil terhadap perekonomian nasional.

Oleh karena itu, tidak salah jika banyak yang sinis terhadap rencana pertumbuhan ekonomi yang disampaikan pemerintah pada kisaran 4,5 sampai 5,3 persen. Angkanya sangat ambisius di tengah daya beli masyarakat yang masih lemah. Sementara pendapatan dari ekspor masih sulit meningkat akibat pandemi Covid-19.

Nah, kalau mau melihat, salah satu indikator daya beli itu terjadi pada bulan Ramadhan dan Idulfitri. Sebab, di bulan yang sangat mulia itu, banyak masyarakat yang membelanjakan uangnya, baik untuk keperluan pribadi dan keluarga, serta keperluan kepada saudara lainnya. **

481

Related Post