Semi Lockdown, Presiden Jokowi Jangan Kelewat Ngawurlah
Maret 2020, tepatnya tanggal 31 Maret Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Heading Kepres ini adalah Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat CoronaVirus Disease 2019 COVID-19. Diktumnya berisi dua hal.
Pertama, pernyataan tentang Covid-19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Kedua, pernyataan tentang penanganan Covid-19 wajib dilakukan sesuai peraturan perundangan. Kepres inilah yang mengawali tindakan pemerintahan Presiden Jokowi mengurus Covid.
Kepres itu dikeluarkan bersamaan dengan diterbitknnya PP Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kala itu covid-19 telah merajalela. Sialnya penanganannya tidak cukup menjanjikan harapan. Disana-sini bermunculan masalah demi masalah. Sebabnya Kepres ini tidak mengatur lembaga penanganan.
Kelembagaannya dibuat belakangan. Kepres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid, diterbitkan tanggal 13 Maret 2020 mengatur kelembagaan dimaksud. Seminggu setelah itu, Presiden kembali menerbitkan Kepres Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus -2019. Kepres ini diterbitkan tanggal 20 Maret 2020.
Tidak fokus. Karena bukan Menteri Kesehatan yang diangkat menjadi Ketua, tetapi Menteri Kordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Ketua dibantu dua wakil ketua. Kedua wakil ketua itu adalah Menko Polhukam dan Menteri Kesehatan. Tragis, urusan kesehatan diserahkan kepada organ non kesehatan. Sungguh tercela.
Salah urus ini menghadirkan keraguan besar tentang keberhasilannya. Rakyat dibatasi pergerakannya. Tragis, warga negara asing, khususnya tenaga kerja China, negeri yang darinya Covid-19 berawal, dibiarkan terus berdatangan ke Indonesia.
Menjaga performa pertumbuhan ekonomi, begitu yang disajikan secara luas justru menemui akhir yang pahit. Postur ekomomi dalam pandangan ekonom kredibel, misalnya Rizal Ramli, Didik Rachbini, dan Faisal Basri tak melihat kebaikan yang dihasilkan dari kebijakan double goal itu untuk cegah covid dan menjaga ekonomi.
Buruknya kedua keadaan itu, membawa Presiden memasuki meja kebijakan. Presiden mengeluarkan kebijakan baru. Presiden membentuk Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 Tentang Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Kepres ini diterbitkan tanggal 20 Juli 2020.
Melalui Perpres yang terlambat itu, Presiden membentuk satu komite dan dua satuan tugas. Komite dan satuan tugas itu adalah (a) Komite Kebijakan. (b) Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan (c) Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional. Kebijakan ini baru diambil setelah lima bulan Indonesia diterpa pandemi.
Efeknya terhadap terhadap postur kesehatan masyarakat dan keadaan ekonomi, jelas buruk. Dengan argumen pembenar sehebat apapun, kebijakan ini jelas menyepelekan kredit rakyat. Dalam kajian tata negara, hal ini berkualifikasi sebagai penghancuran kepercayaan rakyat atau public trust. Kajian tata negara memberi kualifikasi tindakan itu sebagai perbuatan tercela.
Tercela Secara Konstitusi
Tak mengherankan pandemi terus membara dan ekonomi menjauh dari baik. Awal Juli 2021 Covid-19 menggila. Orang mati dimana-mana. Rumah sakit tak cukup tersedia untuk orang sakit. Oksigen tak diduga mencekik rumah sakit, karena kelangkaannya.
Presiden merespon keadaan itu cukup menarik. Tidak seperti respon pertama, kali ini, tidak dibuat dalam Kepres. Setelah dapat masukan dari menteri, ahli kesehatan dan kepala daerah saya memutuskan memberlakukan PPKM darurat sejak 3 Juli hingga 20 Juli 2021 khusus untuk Jawa Bali," kata Jokowi (CNBCindonesia 1 Juli 2021).
Sungguh tercela Presiden. Keputusan itu tidak diberi bentuk. Apalagi berbasis UU Nomor 6 Tahun 2018. Tercela dilaksanakan, dengan menerbitkan Instruksi Menteri, terlepas siapapun menteri yang menerbitkan instruksi itu.
Apa itu PPKM darurat? Apa dasarnya? Samakah dengan karantina wilayah? Samakah dengan PSBB? Jawabannya tidak. Konsep ini sepenuhnya merupakan kreasi keliru yang patal. Suka-suka Presiden saja. Menariknya setelah hampir sebulan berjalan, Presiden memberi pernyataan atas kebijakannya itu, yang harus diakui keliru.
"Lockdown itu artinya tutup total. Kemarin yang namanya PPKM darurat itu namanya semi lockdown. Itu masih semi saja, saya masuk kampung, masuk daerah, semuanya menjerit untuk dibuka," kata Jokowi, Jumat (CNBCIndonesia, 30/7/2021).
Presiden, dengan pernyataannya itu, jelas hendak meremehkan hukum yang menjadi kewajibannya untuk ditegakan selurus-lurusnya dan seadil-adil-adilnya. Pernyataan Presiden itu menandai Presiden, bukan hanya tidak memahami UU Nomor 6 Tahun 2018 yang turut dibentuknya itu, tetapi lebih dari itu.
UU Nomor 6 tahun 2018 hanya mengenal Karantina Wilayah dan Pembatasan Sosial Berskala Besar. UU ini tidak mengenal konsep semi lockdown Presiden. UU ini tidak menyerupakan, sebagian atau seluruhnya, karantina Wilayah dengan PSBB. Apalagi dengan semi lockdown.
Suka atau tidak, kebijakan ini tidak memiliki rasio konstitusional. Sukar sekali untuk tidak menunjuk tindakan Presiden itu berdimensi tercela secara konstitusi. Untuk alasan kemanfaatan secanggih apapun, kebijakan yang berakibat menyengsarakan rakyat pada hampir semua aspek, logis dikualifikasi perbuatan tercela.
Bebebasan orang bergerak dibatasi dimana-mana. Padahal ini hanya satu kebijakan melalui Instruksi Menteri. Bukan perintah UU. Batasi kebebasan orang, padahal tidak sedang dilakukan karantina Wilayah, juga tak sedang diterapkan PSBB. Jutaan vaksin yang tak dapat digunakan. Nilai uang yang hilang akibat kegagalan vaksin terjadi di tengah hutang yang terus membengkak, memiliki dimensi perbuatan tercela Presiden.
Hal tercela lainnya yang telanjang, hampir seratus ribu nyawa mati di tengah kebijakan ini. Terlepas jumlahnya, tenaga kesehatan mati dimana-mana. Wajar menilai ini sebagai akibat langsung dari kebijakan yang tak kredibel. Bukan PSBB, bukan pula Karantina Wilayah. Tetapi yang teridentifikasi melanggar protokol kesehatan dipidana. Orang juga diberi sanksi administratif.
Mengaitkan sertifikat vaksin dengan kebebasan bergerak, bepergian, jelas salah dalam konteks konstitusi. Di Banyuwangi, Kades Temuguruh, Asmuni didenda Rp 48 ribu. Anggota DPRD Banyuwangi, Syamsul Arifin didenda Rp 500 ribu. Seorang tukang bubur di Tasikmalaya, dikenai hukuman denda hingga Rp 5 juta karena nekat berdagang di masa PPKM (RMol, 29/7/2021).
Bansos mengharuskan kategorisasi warga negara di satu sisi. Di sisi lain bansos tidak dikenal dalam UU Nomor 6 Tahun 2018. Tentu ketika diterapkan karantina wilayah atau lockdown. Siapapun mereka, berduit atau tidak, semuanya menjadi subyek UU Nomor 6 Tahun 2018 pada penerapan karantina wilayah.
Konsep “semi lockdown” yang konstruksi hukumnya asal-asalan oleh Presiden, tidak logis diterima secara konstitusional. Suka atau tidak, kebijakan itu tidak berbasis UU Nomor 6 Tahun 2018. Presiden harus diingatkan kebijakan jenis ini menandai Presiden menyerupakan eksistensinya dengan negara.
Melaksanakan sebagian UU, dan mengabaikan sebagiannya, malah membuat sendiri tindakan pemerintahan tanpa dasar hukum, dengan akibat menyengsarakan rakyat, menandai sekali lagi, betapa tercelanya kebijakan ini. Beralasan untuk menimbang perbuatan ini berdasarkan pasal 7A UUD 1945.
Perbuatan tercela, menurut kajian tata negara universal, tidak dapat diserupakan, dan tidak memiliki akar pidana. Perbuatan ini, berkarangka jamak. Awalnya perbuatan maladministrasi, sebelum akhirnya merujuk pengingkaran terhadap kepercayaan masyarakat. Tidak ada ketidakpercayaan masyarakat, kalau tidak pernah terjadi salah urus pada urusan pemerintahan.
Sayangnya, DPR yang telah terlihat sejauh ini sebagai sub-ordinat Presiden, menjadi penghalang terbesar untuk mempertimbangkan tindakan tata negara, menyelidiki “kualifikasi tindakan penanganan covid ini” dalam dimensi perbuatan tercela. Inilah harga politik yang mendekorasi postur tata negara dan politik mutakhir.