Senin, 7 Desember 2020 sampai Selasa, 7 Desember 2021: Di Mana Aktor Pembunuh Enam Laskar FPI Bersembunyi
SETAHUN yang lalu peristiwa tragis itu terjadi. Tidak ada angin dan tidak ada hujan, mereka harus dibunuh dengan peluru tajam yang menghujam ke badan. Tidak hanya bekas tembusan peluru, beberapa bagian tubuhnya pun terkelupas dan melepuh, diduga karena diseret atau diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh para pembantai yang dilakukan oleh anggota polisi. Hari ini, 7 Desember 2021, peristiwa tersebut genap setahun.
Ya, setahun sudah, peristiwa pembantaian terhadap enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) berlalu. Trageti itu terjadi pada 7 Desember 2020. Enam orang laskar yang pengawal Habib Rizieq Syihab (HRS) dan keluarga menuju pengajian keluarga inti di wilayah Karawang, Jawa Barat, harus mengerang nyawa. Peristiwa tragis itu terjadi sekitar pukul 00.30 WIB.
Rombongan HRS dan keluarga sudah mulai dibuntuti sejak berangkat dari kawasan Sentul, Bogor, Jawa Barat. Saat berada di jalan tol, terjadi aksi saling memotong jalan, antara mobil yang ditumpangi laskar dengan mobil yang awalnya tidak diketahui dikemudikan siapa.
Sebab, tidak ada pakaian resmi yang digunakan oleh pengemudi dan penumpang yang memepet mobil laskar. Juga tidak ada peringatan atau kode yang menyebutkan mereka petugas polisi. Akan tetapi, yang pasti, laskar yang terdiri dari dua mobil (total 10 orang laskar) berusaha mengamankan HRS dan keluarga. Di dalam mobil HRS, ada istri, anak, menantu dan cucu-cucunya.
Atas izin Allah Subhanahu Wa Ta’ala, perjuangan laskar mengamankan dan menyelamatkan HRS dan keluarga berhasil. Penguntit tidak bisa mendeteksi atau mengikuti mobil yang ditumpangi Imam Besar FPI itu. HRS dan keluarga selamat. Akan tetapi, tidak demikian dengan enam orang laskar yang akhirnya gugur dalam membela dan melindungi sang guru, sang imam yang sangat mereka cintai dan kagumi itu. Ya, tugas mereka mengawal HRS dan keluarga, apa pun risikonya.
Menjelang shalat Subuh, Munarman waktu itu Seretaris Umum FPI, mengirimkan pesan berantai. Isinya, “Enam orang pengawal Habib Rizieq Syihab hilang diculik orang tidak dikenal (OTK).” Wajar dia sebut diculik OTK, karena saat peristiwa terjadi, tidak ada orang yang menduga yang melakukan penculikan dan pembantaian itu adalah anggota Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya. Wajar disebut diculik, karena berdasarkan pantauan pembicaraan komunikasi yang dimiliki FPI, para laskar sempat melaporkan jika mereka diserang orang tidak dikenal.
Peristiwa menjadi terang-benderang. Siang hari, Senin, 7 Desember 2020, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inpektur Jenderal Muhammad Fadil Imran mengumumkan anggotanya yang menembak enam laskar itu. Saat jumpa pers, ia antara lain didampingi Mayor Jenderal Dudung Abdurrahman (Panglima Komando Daerah Jaya waktu itu), kini menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD). Fadil mengaku, anak buahnya “terpaksa” menembak laskar, karena melakukan perlawanan.
Nah, mari kita telusuri berbagai hal yang menyangkut tewasnya Muhammad Reza, Lutfi Hakim, M.Suci Khadafi, Ahmad Sofiyan, Faiz Ahmad Syukur dan Andi Oktaviana. Jika kita ikuti penuturan Fadil yang menyebutkan melakukan perlawanan, itu sangat mustahil dan tidak masuk akal. Hal itu bisa dilihat dari rekonstruksi yang dilakukan aparat kepolisian di KM-50, Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
Saat rekonstruksi, terlihat enam laskar masih hidup. Dua di antaranya terlihat disuruh jalan merangkak. Tidak terlihat ada benda yang membahayakan di dalam tubuh mereka (polisi mengatakan ditemukan senjata rakitan dan samurai di mobil). Artinya, semua barang berbahaya sudah di tangah polisi.
Keenam laskar kemudian disuruh masuk ke mobil lain yang sudah disiapkan polisi. Artinya, jelas pembunuhan terhadap enam laskar itu tidak dilakukan di KM-50. Akan tetapi, dilakukan di dalam mobil atau di suatu tempat yang sudah disiapkan sebelumnya. Wallohu a’lam.
Meski tidak ditembak atau dibunuh di tempat tersebut, akan tetapi peristiwa itu lebih dikenal dengan Tragedi KM-50. Banyak hal yang dirasakan kurang sinkron, antara keterangan pihak kepolisian dengan saksi di tempat, maupun keterangan dari pihak FPI.
Keterangan polisi berubah-ubah dan tidak sesuai dengan rekonstruksi (rekonstruksi lebih mendekati fakta keterangan dari FPI). Keterangan FPI yang disampaikan Munarman, selalu konsisten dan hampir sama dengan keterangan yang mulai terungkap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, saat dua orang anggota polisi duduk sebagai terdakwa dalam kasus tersebut.
Banyak kejanggalan. Banyak cerita yang seakan-akan dikarang-karang. Akan tetapi, begitu di hadapan hakim PN Jaksel, semua tidak bisa lagi mengarang cerita. Sebab, mereka yang menjadi saksi dan terdakwa disumpah sesuai dengan agama masing-masing. Bagi yang beragama Islam, disumpah dengan Kitab Suci AlQur’an di atas kepala. Sumpah seperti itu, bagi seorang yang beragama Islam (walaupun hanya Islam KTP), sangat berat.
Hingga sekarang persidangan perdana yang dimulai 18 Oktober 2021 itu masih berlanjut. Dua orang polisi menjadi terdakwa, yaitu Ispektur Polisi Dua (Ipda) M Yusmin Ohorella, dan Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan. Awalnya ada tiga orang anggota polisi menjadi terdakwa.
Akan tetapi, satu orang atas nama Elwira Priyadi Zendrato, kasusnya ditutup karena yang bersangkutan mati dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas di wilayah Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Peristiwa kecelakaan yang menyebabkan ia mati terjadi tanggal 3 Januari 2021, tetapi baru diumumkan Jumat, 26 Maret 2021. Wah hebat sekali polisi kita, karena hampir tiga bulan baru diumumkan?
Nah, hingga sekarang dua orang anggota polisi yang menjadi terdakwa dalam kasus pembantaian enam laskar FPI sama sekali tidak tersentuh hukum, alias tidak ditahan. Padahal, ancaman pidana terhadap terdakwa 15 tahun penjara. Sedangkan Pasal 21 ayat 4 KUHAP menjelaskan, penahanan dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa dengan ancaman penjara lima tahun atau lebih.
Sangat tidak adil! Diskriminatif ! Sangat melukai hati rakyat! Padahal, tidak sedikit juga polisi yang dihukum atasan karena sebuah kesalahan. Misalnya, anggota polisi Brigadir NP yang membanting (smackdown) mahasiswa di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten yang dihukum 21 hari penjara, turun pangkat dan tidak punya jabatan.
Bisa juga peristiwa teranyar, yaitu anggota polisi RB yang dijadikan tersangka dan ditahan dalam kasus bunuh diri mahasiswi Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur. RB ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana aborsi atau pasal dengan sengaja menggugurkan kandungan atau mematikan janin. RB dijerat pasal 348 KUHP juncto pasal 55 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara.
Lalu, mengapa terhadap dua orang pembunuh enam laskar tidak tersentuh hukum, alias tidak ditahan? Padahal, cara menembaknya sangat sadis. Diduga ditembak dari jarak dekat, dan lobang peluru ada yang sampai 2 dan tiga dalam pada jenazah laskar. Pembunuhan yang sadis dan kejam, karena terdapat luka yang mengerikan, mirip dibakar atau diseret di aspal?
Apakah karena mereka pelaku saja yang mendapatkan perlindungan dari atasan atau dari pihak tertentu? Mengapa tidak ada anggota polisi lain yang menjadi tersangka? Padahal, di pengadilan, sudah mulai terkuat siapa yang mengeluarkan surat perintah.
Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat disebut menjadi orang yang memerintahkan tujuh anggota kepolisian melakukan pembuntutan terhadap rombongan Muhammad Rizieq Syhab, dengan surat perintah penyelidikan (sprindik). Hal itu dikatakan, Toni Suhendar dalam kesaksiannya yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) sebagai saksi dalam sidang lanjutan perkara yang menewaskan 6 anggota laskar FPI, di PN Jakarta Selatan, Selasa, 26 November 2021. Toni sendiri merupakan anggota Sub Direktorat Resimen Mobil Direktorat Reserse Kriminam Umum (Subdit Resmob Ditreskrimum) Polda Metro Jaya yang juga mendapat mandat ikut melakukan pembuntutan tersebut.
Dari keterangan Toni Suhendar itu, juga semakin tekuak, yang diperintahkan membuntuti ada tujuh anggota polisi. Jika yang sudah ditetapkan menjadi tersangka 3 orang (satu kasus ditutup karena mati), lalu ke mana empat anggota polisi lain yang membuntuti itu? Apakah tugas mereka hanya membuntuti, mengamati, atau turut mengeksekusi? Kemana sopir mobil yang digunakan mengangkut enam laskar?
Akan tetapi, karena target utama mereka bukan laskar, melainkan Habib Rizieq Syihab, maka semua masih serba misteri. Semua yang mereka lakukan, apakah membuntuti, mengintai, membunuh, tidak lama lagi akan terungkap semua. Termasuk aktornya siapa? Jika tidak terungkap di pengadilan dunia, yang pasti di pengadilan akhirat akan terbuka secara terang-benderang. **