Tangan Istana di Balik Manuver Tiga Periode
Oleh Tamsil Linrung *)
Jakarta, FNN - Gagasan presiden tiga periode agaknya semakin serius. Kalau dulu sebatas opini, sekarang jadi tindakan. Dulu hanya selentingan pemikiran, sekarang menjadi gerakan terorganisir. Bahkan difestivalisasi. Gimiknya bahkan dibuat heroik. Seolah jadi pilihan terakhir republik. Padahal konstitusi jelas-jelas tidak mengenal kosa kata tiga periode.
Komunitas Jokowi-Prabowo (Jokpro) 2024, begitu seorang peneliti politik mengenalkannya ke publik. Tiba-tiba, sang surveyor menjadi praktisi. Berperan sebagai inisiator terbentuknya Sekretariat Nasional Jokpro 2024. Lengkap secara struktural.
Banyak yang geram. Tak sedikit menuding inkonstitusional. Bahkan dari kubu dan pendukung pemerintah sendiri. Entah itu otentik, atau juga orkestrasi gimik. Semua serba buram sekarang ini.
Rakyat Menolak
Untuk memperoleh gambaran kemauan rakyat terhadap wacana presiden tiga periode, yang menjadi patokan harusnya survei yang fokus memotret respon responden pada wacana tersebut.
Saiful Mujani Research Center (SMRC) melakukannya pada 21-28 Mei 2021. SMRC menanyakan kepada responden, apakah ketentuan masa jabatan presiden perlu diubah? Hasilnya, 74 responden menyatakan harus dipertahankan alias tetap dua periode, sementara hanya 13 persen menyatakan perlu diubah.
Hasil itu terlihat timpang bila mengaca pada keyakinan Qodari yang sejak beberapa bulan lalu mewacanakan presiden tiga periode. Malah semakin dipertegas ketika SMRC juga menemukan, sebanyak 52,9 persen responden tidak menginginkan Jokowi mencalonkan diri lagi.
Di sisi lain, Presiden Jokowi Widodo terlihat tampak dan seolah konsisten menolak wacana tiga periode sejak awal isu ini bergulir. Kalimat presiden yang lekat terngiang, hanya ada tiga kemungkinan bagi mereka yang menggulirkan isu tersebut: ingin menampar mukanya, ingin menjerumuskannya, atau ingin cari muka.
Dalam polemik Jokpro 2024 pun tak jauh beda. Sejauh ini, Jokowi mengisyaratkan kekeh menolak. Ditimpali pernyataan berkop Istana lansiran Juru Bicara Presiden. Katanya, Jokowi tegak lurus kepada konstitusi UUD 1945 dan setia kepada reformasi 1998.
Kendati menolak, namun tidak terlihat respon tegas Presiden . Tidak ada larangan atau teguran keras kepada mereka yang mengusung dirinya. Padahal, hanya Jokowi yang berhak melarang dan menegur. Atas nama demokrasi, yang lain di luar Jokowi tidak memiliki hak tersebut.
Hal ini membangkitkan ingatan kolektif publik ketika Jokowi selaku Gubernur DKI Jakarta. "Saya mau fokus menyelesaikan banjir, macet, bajaj, monorel, MRT. Saya gak ada mikir itu (pencalonan pilpres)," imbuhnya kepada media pada 7 Februari 2013. Namun bandul politik yang tampak menciptakan momentum kala itu, rupanya mengubah sikap Jokowi 180 derajat.
Dalam polemik presiden tiga periode kali ini, Jokowi tentu saja kembali berada di pusaran. Mengapa Jokowi? Karena nama Jokowi-lah yang diusung Jokpro 2024 dan Jokowi pula yang menjadi aktor paling memungkinkan dalam wacana presiden tiga periode. Seseorang yang tidak ingin diusung tentu punya hak melarang orang lain yang memaksakan diri mengusungnya, wabil khusus jika dilakukan tanpa izin.
Respon keras Presiden Jokowi penting agar wacana presiden tiga periode tidak berlanjut sebagaimana juga menjadi keinginan Presiden Jokowi. Juga agar rakyat tidak keliru memahami sikap presiden.
Apalagi, Qodari menyatakan keyakinannya secara terbuka. "Ya, beliau bicara normatif saja karena amendemen UUD 1945 kan hanya menyatakan dua periode. Kalau nanti bisa diubah tiga periode, saya kira Pak Jokowi tidak bisa menolak apalagi kalau partai politik, seperti PDIP, yang meminta beliau maju …" demikian Qodari sebagaimana dikutip Republika.
Memagari Persepsi
Bila presiden menolak wacana tiga periode, ada baiknya segera bersikap tegas, melarang dan menegur mereka bertindak jauh mengusung dirinya meski berkali-kali telah menolak. Perlu ada korelasi yang saling membangun antara sikap dan perbuatan. Nanggung rasanya kalau presiden hanya menolak, namun tidak melarang kegiatan dimaksud.
Sikap tegas presiden menjadi penting agar persepsi rakyat dapat dipagari sehingga tidak berkembang liar. Bukan tidak mungkin muncul anggapan, presiden menikmati situasi ini. Atau, lebih ekstrim lagi, anggapan bahwa tangan istana ada di belakang wacana presiden tiga periode.
Wacana itu mulai menyeruak. TEMPO mengabarkan indikasi manuver Istana, melalui pengakuan politikus Partai Gerakan Indonesia Raya Arief Poyuono yang pernah diajak berdiskusi beberapa kali oleh pejabat Istana.
Arief didorong mewacanakan gagasan tiga periode Jokowi. Pertengahan Maret 2021, Arief mulai menggulirkan wacana tersebut. Dan dia pujian dari banyak orang dekat Jokowi, termasuk seorang menteri yang memberinya jempol melalui whatsapp.
TEMPO lalu melakukan penelusuran, menemui belasan petinggi partai politik dan lembaga survei yang mengetahui manuver Istana. Meski menolak namanya disebut, namun mereka membeberkan sejumlah menteri dan pejabat yang dekat dengan Jokowi ikut merancang skenario presiden tiga periode.
Ada dua skenario yang dibangun. Pertama, menggulirkan wacana presiden tiga periode, dan kedua memperpanjang masa jabatan presiden yang diikuti perpanjangan masa jabatan Anggota DPR dan DPD. Sinyalemen perpanjangan masa jabatan pernah juga diungkap Pendiri Partai Umat Amien Rais.
Barangkali, debatnya bukan sekadar boleh tidaknya presiden tiga periode, atau boleh tidaknya perpanjangan masa jabatan. Yang substansial adalah urgensi di balik kebutuhan perubahan masa jabatan tersebut.
Memandang dari sudut aturan konstitusi adalah satu perspektif. Tetapi, pencapaian pembangunan adalah perspektif lain yang seharusnya menjadi pertimbangan. Sayangnya, dalam debat yang mengemuka, capaian pembangunan tidak pernah menjadi titik tumpu pertimbangan.
Padahal, meski konstitusi membolehkan, belum tentu rakyat menghendaki petahana mencalonkan lagi. Nyaris tidak ada alasan memberikan tiket kepada pemerintah saat ini melanjutkan mengurus republik. Bahkan kita sering membaca, atau mendengarkan pemikiran yang sebaliknya. Publik mulai jengah.
Utang negara yang meroket, jor-joran pembangunan infrastruktur tidak tepat sasaran, BUMN terpuruk, dana haji misterius, ekonomi anjlok, penerimaan pajak ambruk, dan gelombang pengangguran. Apa beberapa indikator itu tidak cukup untuk membuat mawas diri? Situasi yang semakin runyam, semestinya menyadarkan realitas buruk muka yang perlu dibenahi.
*) Penulis adalah Anggota DPD RI