Telat Lockdown, Apakah Indonesia Akan Seperti Itali?
By Tony Rosyid
Jakarta FNN - Tidak hanya China, Itali juga parah. Sejak diumumkan tanggal 20 Pebruari, warga Itali yang positif Covid-19 terus bertambah. Ketika angka kematian akibat covid-19 tembus 230 dari 6.000 orang yang dinyatakan positif, pada tanggal 8 Maret Itali umumkan lockdown. Hanya selang 18 hari. Gimana dengan nasib ekonominya? Pasti cukup berat.
Negara yang berpenduduk 16 juta orang ini semakin parah situasinya. Dalam sehari pernah ada 368 orang yang mati karena Covid-19. Per hari kemarin (16/3) sudah 1.809 orang yang meninggal dari 24.747 orang yang positif Covid-19. Setiap hari terus bertambah angkanya. Tidak saja jumlah warga yang postif Covid-19, tetapi tingkat kematiannya juga terus naik.
Saat ini, karena berbagai keterbatasan rumah sakit, para dokter dipaksa untuk memilih siapa yang harus dirawat dan diprioritaskan untuk hidup, dan siapa yang dibiarkan akan mati. Menurut data, 58% pasien yang mati itu berusia di atas 80 tahun. Dan 31% di usia 70-an tahun. Maka, para dokter terpaksa memprioritaskan pasien yang muda.
Apa kesalahan Itali sehingga mengalami situasi separah itu? Pertama, Itali telat lockdown. Bandingkan dengan Selandia Baru. Empat pasien ditemukan positif Covid-19, negara itu langsung mengisolasi ribuan orang. Dan Selandia Baru saat ini relatif aman dari Corona.
Kedua, warga yang tak disiplin. informasi lockdown bocor sehari sebelum diumumkan. Sebagian warga di Itali Utara, tempat Covid-19 mewabah, lari dan meninggalkan wilayah. Diantara mereka yang lari ada yang positif Covid-19. Akibatnya, menular ke wilayah lain.
Bagaimana dengan Indonesia? Banyak pihak menuntut agar pemerintah pusat segera ambil keputusan untuk lockdown. Langkah ini adalah cara paling konfensional. Tetapi dianggap paling efektif untuk menghadapi penyebaran Covid-19.
Kenapa harus lockdown? Karena langkah penanganan yang dilakukan selama ini belum terlihat bisa menghambat dan mengurangi penyebaran Covid-19. Ini karena Pertama, tidak ada informasi yang transparan, memadai, lengkap dan terukur terkait dengan Covid-19. Pola penyebarannya dan data yang dapat memberi pertimbangan masyarakat untuk melakukan aktifitas dan mewaspadainya.
Seperti apa karakter Covid-19? Bagaimana pola penyebarannya, lewat apa saja, dalam jangka waktu berapa lama, dan seterusnya? Tidak tersosialisasikan dengan baik. Yang muncul justru informasi tak resmi (bukan dari pemerintah) yang berseliweran di berbagai media social, yang akurasinya diragukan.
Kedua, tidak ada panduan yang terukur dan konsisten dari pemerintah pusat terkait apa yang harus diwaspadai dan dilakukan oleh rakyat. Bahkan cenderung diserahkan kepada masing-masing daerah (Kepala Daerah). Emang virus corona itu jenis dan karakternya berbeda di setiap daerah?
Ketiga, keterbatasan perlengkapan alat kesehatan yang dibutuhkan dan ruang isolasi untuk ODP dan PDP. Sampai hari ini, untuk melakukan tes Covid-19, hanya bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Sementara jumlah rumah sakit yang ditunjuk Pemerintah Pusat masih sangat terbatas. Ini jauh dari cukup untuk bisa menangani melonjaknya pasien yang datang ke rumah sakit rujukan.
DKI Jakarta sudah mengajukan surat resmi untuk diijinkan melakukan tes Covid-19. Langkah DKI Jakarta besar kemungkinan akan diikuti oleh daerah-daerah lain ketika Covid-19 semakin membesar jumlah penularannya di daerah-daerah tersebut.
Keempat, tingkat kedisiplinan masyarakat Indonesia tak lebih baik dari masyarakat Itali. Cenderung meremehkan dan menganggap enteng. Sikap mental seperti ini sudah direpresentasikan oleh sejumlah menteri, termasuk menteri kesehatan dan menteri perhubungan. Tentu, ini akan menjadi peluang potensial bagi Covid-19 untuk leluasa menyebar.
Inilah diantara alasan kenapa keputusan lockdown menjadi sangat urgent. Jangan karena terlambat, Indonesia mengalami seperti yang dialami oleh Itali. Silahkan Pemerintah Pusat berhitung dan mempertimbangkan secara cermat. Apa saja yang terbaik untuk dilakukan bangsa ini dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Tuntutan sejumlah tokoh untuk lockdown ini sangatlah obyektif. Jangan malah dituduh sebagai skenario untuk menggulingkan presiden Jokowi. Ini lucu dan amat menggelikan sekali. Banyak nyawa melayang, ada pihak-pihak yang masih terus berpikir politis. Lu saraf kali ya?
Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa