AGAMA

Surat Terbuka kepada Menkeu: Wakaf dan Dampak Negatif Bagi Ekonomi

by Anthony Budiawan Jakarta, FNN - Menteri Keuangan yang Terhormat. Akhir-akhir ini rakyat dibuat bingung lagi dengan manuver kebijakan pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara terkait peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang. Surat ini tidak membahas apa arti wakaf secara umum dan wakaf uang secara khusus. Surat ini mencoba membahas wakaf uang dalam konteks ekonomi makro, kebijakan publik dan fiskal atau keuangan negara. Sedangkan untuk pengertian wakaf uang yang sempat mengundang kontroversi, apakah sah atau tidak, biarlah diserahkan kepada pendapat para ahli di bidangnya masing-masing. Pertama, mengenai fiskal dan Keuangan Negara. Dalam undang-undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa pemungutan pendapatan negara harus terlebih dahulu ditetapkan dengan undang-undang (pasal 8 huruf e). UU juga menjelaskan, pendapatan negara hanya terdiri dari tiga jenis, yaitu penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan hibah (pasal 11 ayat (3)). Sedangkan hibah hanya boleh dilakukan, pertama, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seperti dijelaskan pasal 22 ayat(2) dan ayat (3). Kedua, antara pemerintah pusat dengan pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR, sesuai pasal 23 ayat (1). Dan ketiga, antara pemerintah dengan perusahaan negara/daerah setelah terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD, sesuai pasal 24 ayat (1) dan ayat (2). Menteri Keuangan Yang Terhormat, rakyat bertanya-tanya apakah wakaf uang yang dimaksud dalam Gerakan Nasional Wakaf Uang termasuk salah satu dari tiga jenis pendapatan negara tersebut di atas: pajak, bukan pajak atau hibah? Kemudian, apakah jenis pungutan wakaf uang yang dimaksud sudah ditetapkan oleh undang-undang seperti di maksud pasal 8 huruf e dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara? Kami perkirakan wakaf uang tidak termasuk pungutan pajak dan bukan-pajak. Semoga, Menteri Keuangan yang Terhormat sepakat dengan ini. Alasannya, pungutan pajak dan bukan-pajak dasar hukumnya adalah wajib, bukan suka rela. Sedangkan, kalau tidak salah, wakaf uang adalah tidak wajib, tetapi hanya sebatas imbauan. Mohon koreksinya. Kalau begitu, apakah wakaf uang adalah hibah? Sepertinya wakaf uang juga bukan hibah. Karena negara tidak boleh menerima hibah dari rakyat, seperti dijelaskan di atas. Mohon konfirmasinya. Kalau wakaf uang tidak termasuk bagian dari pendapatan negara, maka pemerintah secara luas, termasuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian dan lembaga, tidak boleh memungut wakaf uang. Bukankah begitu? Di salah satu media nasional diberitakan bahwa Kementerian Agama sudah menghimpun wakaf uang hingga Rp4,13 miliar per 21 Januari 2021: https://www.republika.co.id/berita/qnjqn1457/gerakan-wakaf-uang-kemenag-himpun-rp-413-miliar Untuk itu, kami mengimbau kepada Menteri Agama agar hati-hati dalam melakukan pungutan wakaf uang atas nama kementerian karena bisa melanggar hukum dan undang-undang tentang Keuangan Negara. Menteri Agama sebaiknya menunggu klarifikasi dari Menteri Keuangan atas Surat Terbuka ini. Oh maaf, mungkin pemerintah memang tidak rencana memasukkan wakaf uang sebagai bagian dari pendapatan negara. Kalau begitu, apa gunanya wakaf uang bagi negara? Apa gunanya Gerakan Nasional Wakaf Uang? Mohon pencerahannya. Oh ya, pemerintah pernah mengatakan wakaf uang berguna untuk membiayai proyek infrastruktur. Apakah ini berarti dalam bentuk pinjaman syariah? Kalau dugaan kami benar, bukankah selama ini Kementerian Keuangan senantiasa menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), atau disebut juga Sukuk Negara, untuk membiayai berbagai kebutuhan Belanja Negara? Mohon penjelasan lebih rinci apa bedanya SBSN dengan pembiayaan wakaf uang ini? Kalau wakaf uang yang dimaksud benar dalam bentuk pinjaman syariah, menurut hemat kami, pertama, wakaf uang ini tidak ada dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi. Karena, sumber pembiayaan, apakah dari Sukuk Negara atau Wakaf Uang, tidak relevan bagi pertumbuhan ekonomi. Yang relevan adalah nilai belanja. Sedangkan, nilai belanja, defisit dan jumlah utang negara sudah dianggarkan, dan besarnya tidak tergantung dari pembiayaan. Kedua, kami asumsikan bahwa dana wakaf uang yang sedang ditarget ini sudah ada di dalam sistem perbankan dalam bentuk tabungan, atau dana pihak ketiga. Artinya, bukan dari uang yang disimpan di bawah bantal. Kalau ini benar, pemindahan buku dari tabungan ke rekening wakaf uang tidak pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena, uang di tabungan akan berkurang sebesar uang yang dipindahbukukan ke rekening wakaf uang. Artinya, secara makro tidak ada penambahan uang: hanya pindah dari kantong kiri ke kantong kanan. Ketiga, imbauan wakaf uang ini malah bisa berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi karena uang di sektor perbankan tersedot ke rekening wakaf uang, sehingga terjadi crowding out effect yang berakibat pada berkurangnya likuiditas untuk sektor swasta, membuat suku bunga naik, dan kredit turun. Terakhir, menurut rumor nilai wakaf uang Indonesia bisa mencapai Rp2.000 triliun. Semoga pemerintah belum mendengar rumor ini. Oh maaf, ternyata informasi ini katanya dari pemerintah. Untuk itu, mohon nilai ini dikonfirmasi ulang karena sepertinya hampir tidak mungkin. Alasannya, nilai seluruh uang masyarakat di sektor perbankan, sebagai dana pihak ketiga, hanya Rp6.665 triliun saja. Sedangkan uang beredar dalam arti luas (M2), termasuk cash, hanya Rp6.800 triliun. Oleh karena itu, sulit dipercaya nilai wakaf uang bisa mencapai Rp2.000 triliun. Semoga pemerintah tidak tergoda dengan isu yang tidak benar. Menteri Keuangan yang Terhormat, sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas jawaban yang diberikan. Kami doakan semoga ekonomi Indonesia dapat pulih secepatnya, dengan pertumbuhan 5 persen, sesuai target dalam APBN 2021. Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

Perpres Nomor 7 Itu Arahnya ke Umat Islam Lagi

by Asyari Usman Medan, FNN - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan dia sudah lebih dulu menduga Perpres 7/2021 pasti akan dicurigai. Padahal, menurut Kepala Sataf, perpres ini didukung oleh 50 ‘civil society organisation’ (CSO). Dia tak menyebutkan CSO-CSO yang ‘credible’. Hanya menyebutkan Wahid Foundation (WF). Tak jelas mengapa dia tidak bisa menyebutkan beberapa CSO yang hebat-hebat. Hanya WF yang lumayan dikenal. Yang 49 lagi boleh jadi entah siapa-siapa saja. Kalau dibaca konsideran, ‘timing’ (waktu) penerbitan, dan tujuan Perpres ini, maka tidak mengherankan kalau Moeldoko bisa menduga sambutan curiga dari publik. Mari kita cermati berbagai aspek dari penerbitan Perpres ini. Sambil mencari poin-poin yang mencurigakan itu. Pertama, judul Perpres 7/2021. Nama Perpres itu adalah Rencana Aksi Nasional Penanggulangan dan Pencegahan Ekstremisme Berbasis Tindak Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Disingkat RAN PE. Kita lihat kata terakhirnya: “terorisme”. Sudah bisa ditebak siapa yang dimaksudkan oleh Perpres ini. Pastilah orang akan mengaitkan Perpres ini dengan umat Islam. Apa saja indikasinya? Pertama, semua peristiwa yang disebut terorisme di masa lampau selalu berurusan dengan umat Islam. Tindakan penguasa terkait peristiwa-peristiwa terorisme acapkali melibatkan umat Islam, para tokoh Islam, pendidikan Islam, sampai ke hal-ihwal pengelolaan masjid, pengajian, dlsb. Kemudian, program pencegahan terorisme yang dilakukan para penguasa selama ini selalu terkait dengan konten ceramah agama, tipe ustad, kiyai maupun ulama, hingga ke cara berpakaian dan tampilan (celana cingkrang, cadar, janggut, dll). Kedua, ‘timing’ (waktu) penerbitan Perpres 7/2021 ini berdekatan dengan kepulangan Habib Rizieq Syihab (HRS) dari Arab Saudi dan peristiwa pembunuhan 6 pemuda FPI pada 7 Desember 2020. Kalau dilihat skala tindakan penguasa terhadap HRS dan FPI, jelas sekali para penguasa melihat peristiwa KM-50 sebagai drama ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Kalau bukan kepada HRS dan FPI, ke mana para penguasa meletakkan narasi “ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme” itu? Apakah masuk akal dikaitan dengan kelompok separatis Papua? Atau para bandar Narkoba? Mau dikaitkan ke para koruptor, tampaknya kejauhan. Sebab, para koruptor hanya melakukan ‘terorisme keuangan’ yang sering berefek positif bagi orang-orang yang pandai memainkannya. Ketiga, tujuan penerbitan Perpres 7/2021. Aspek ini malah akan lebih memperkuat kecurigaan bahwa umat Islam-lah yang dimaksudkan peraturan baru itu. Lihat saja rencana yang akan dilakukan para penguasa berdasarkan peraturan ini. Ada pelatihan warga untuk menjadi pelapor hal-hal yang mencurigakan di lingkunga mereka. Nah, sebagai komponen mayoritas di negara ini, maka 85% calon pelapor dan yang akan dilaporkan adalah orang Islam. Ini logika persentase umat Islam. Sekarang begini saja. Mari kita blak-blakan dan logis-logisan tentang siapa yang mau dibidik Perpres 7/2021 itu. Satu pertanyaan saja. Komunitas mana di luar umat Islam yang mau disasar? Budha? Hindu? Kristen? Kong Hu Chu? Syiah? Ahmadiyah? Penganut Aliran Kepercayaan? Kelompok liberal? Apakah ada di antara komunitas ini yang mau ditarget RAN PE itu? Sebagai penutup, yang menjadi masalah di negara ini bukanlah umat Islam maupun komunitas-komunitas lainnya. HRS, FPI, atau pun individu dan kelompok lain yang selama ini menunjukkan sikap kritis, itu hanyalah reaksi. Reaksi terhadap ketidakadilan, kesewenangan, kezaliman. Yang menjadi masalah bangsa ini adalah korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kerakusan oligarkhi bisnis, kemiskinan yang dibiarkan, penegakan hukum tebang pilih, dan salah kelola. Tidak perlu berputar-putar mencari dan mengidentifikasi masalah. Kalau para penguasa berlaku adil, membela rakyat, dan membasmi korupsi secara sungguh-sungguh, sudah sejak dulu negeri ini damai. Sudah sejak lama Indonesia menjadi salah satu negara maju.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Mengenang 40 Hari Laskar Dibunuh

Setiap muslim meyakini, doa anak yatim dan piatu, yatim piatu sangat cepat diterima oleh Sang Khalik, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian juga doa orang tua, terutama doa ibu kepada anak. by Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - SENIN dini hari, 7 Desember 2020 sekitar pukul 00.30, enam laskar Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak polisi. Mereka adalah bagian dari iring-iringan mobil pengawal Habib Rizieq Shihab dan kelurga yang akan mengikuti pengajian keluarga inti di sebuah tempat di daerah Karawang, Jawa Barat. Sejak menjelang subuh sudah ada informasi di media sosial, terutama di WatsApp yang mengabarkan adanya laskar yang hilang. Diduga, mereka diculik orang tidak dikenal. Namun, tabir kemudian dibuka Allah. Siang hari Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Fadil Imran mengumumkan bahwa anggotanya yang menembak enam laskar tersebut. Alasannya, karena melawan petugas dengan senjata api. Terjadi baku-tembak. Tapi, alasan itu kemudian berubah. Mereka ditembak (khusus empat orang yang dibawa ke mobil polisi tanpa diborgol atau tangannya diikat menggunakan tali) karena di dalam mobil berusaha merampas senjata polisi. (?) Apa pun alibi atau alasan yang dikemukakan, sangat sulit dipercaya karena saksi hanya sepihak, yaitu polisi yang masih hidup. Akan tetapi, sebagai manusia yang beragama, terutama agama Islam, kesaksian di dunia itu adalah tipu-tipu belaka. Kesaksian yang berat itu adalah di hadapan Allah yang menjadi hakim yang paling adil. Biarlah tempat peristirahatan KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek ditutup secara permanen dan selamanya menjadi saksi bisu. Akan tetapi, tempat itu beserta benda dan bangunan yang ada di sana kelak menjadi saksi di hadapan Allah. Biarlah pistol yang meletus menjadi saksi bisu di dunia. Kelak di akhirat akan menjadi saksi yang sebenarnya. Biarlah mobil laskar sudah rusak, dan mobil petugas yang membawa mereka masih utuh menjadi saksi bisu yang kelak berbicara di hadapan Allah. Biarkan semua jadi saksi bisu, termasuk aspal yang dilewati, ambulans yang mengangkut jenazah, rumah sakit tempat autopsi menjadi saksi bisu. Kelak semua akan bicara apa adanya di hadapan Allah. Biarlah di dunia mulut membela, tapi di akhirat mulut dikunci, tangan dan kaki bersaksi. Ingat Firman Allah dalam surat Yaasin ayat 65. Artinya, walau di dunia lolos dari hukuman, tetapi di akhirat tidak. Di akhirat, semua menjadi saksi, apakah pernyataan dan keterangan polisi yang benar atau sebaliknya salah. Apakah keterangan dan pernyataan FPI yang benar atau sebaliknya salah. Allah adalah hakim yang seadil-adilnya. Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM ) sudah mengeluarkan rekomendasi, pembunuhan terhadap enam orang laskar FPI itu adalah pelanggaran HAM. Harus diusut secara pidana. Artinya, dalam kasus ini pelaku pembunuhan harus dibawa ke peradilan umum, tidak cukup hanya atasan menghukum. Jumat, 15 Januari 2021 malam, kepulangan mereka ke Sang Khalik diperingati dengan mengadakan doa tahlil di rumah keluarga masing-masing. Ya, pengajian mengenang 40 hari mereka berpulang dengan senyum walau tubuhnya penuh dengan bekas penyiksaan. Yang jelas dan pasti, rata-rata mereka ditembak pada bagian dada dan jantung, menembus ke belakang. Pengajian atau tahlil 7 hari, 40 hari, 100 hari dan bahkan 1.000 hari adalah kebiasaan yang dilakukan umat Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa yang mayoritas penganut Imam Syafi'i. Mazhab Imam Syaf'i jugalah yang dianut oleh Nahdlatul 'Ulama (NU). Jumlah penganut Imam Syafi'i yang tidak menjadi pengurus dan anggota NU secara struktural jauh lebih banyak. Mereka tidak tercatat secara struktural, tapi dikenal secara kultural NU, termasuk yang ada di FPI. Padahal, yang tidak tercatat di NU itu adalah pengikut Imam Syafi'i yang fanatik membaca doa qunut setiap salat subuh, zikir dan doa bersama, peringatan Maulid Nabi Muhammad, membaca surat Yasin setiap malam Jumat, dan kegiatan keagamaan lainnya. Itu juga yang dilakukan FPI yang setelah dibubarkan pemerintah, dan berganti nama menjadi Front Persaudaraan Islam. Masih ingat, peringatan Maulid Nabi Muhammad di Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang menjadikan Habib Rizieq Shihab menjadi tersangka. Sebagai informasi, ketika H Burhanuddin Lubis, ayah Ketum FPI Ahmad Sabri Lubis meninggal dunia pada 7 November 2019 dalam usia 83 tahun. Saat pemakaman di lingkungan Pesantren An-Nur, Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, doa tahlilnya panjang. Tahlil malam ketujuh diselenggarakan di rumah almarhum. Sedangkan tahlil mengenang 40 hari diadakan di Pesantren An-Nur, tempat almarhum dimakamkan. Jamaah yang datang membludak. Semasa hidupnya, almarhum adalah penganut mazhab Imam Syafi'i tulen, dan sangat fanatik, walau menganut toleransi mazhab. Padahal, almarhum lulusan Universitas Al Azhar Kairo, Mesir. Sepanjang hidupnya, tidak pernah putus membaca surat Yaasin tiap malam Jumat, kecuali bulan Ramadhan. Tahlil juga dilakukan FPI, organisasi yang mengikuti mazhab Imam Syafi'i. Oleh karena itu, jangan heran jika HRS dan pengikutnya sering mengadakan tablig akbar, yang sudah pasti diisi dengan pembacaan solawat secara bersama, zikir dan doa juga bersama. Jadi, jangan benturkan antara NU dam FPI yang sama-sama penganut mazhab Imam Syafi'i. Terkecuali, karena kepentingan politik yang penuh intrik. Kembali ke tahlil. Tidak mengherankan jika keluarga enam pengawal HRS itu mengadakan di rumah masing-masing. Hal Itu karena pandemi corona yang menyebabkan PSBB di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Andaikan tidak ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dipastikan jamaah yang hadir dalam tahlil 40 hari itu akan membludak, walau diselenggarakan berpencar, di rumah keluarga masing-masing almarhum. Di Pondok Pesantren Alam Agrokultural Markaz Syariah, Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tahlil hanya dilakukan oleh para santri dan ustaz yang tiap hari tinggal di sana. Doa Anak Yatin Sebab, daerah markas sudah ditutup untuk tamu lain, karena Kabupaten Bogor juga memberlakukan PSBB. Jika tidak dalam kondisi "ditutup" sudah dipastikan jamaah yang datang ke Markaz Syariah Mega Mendung berjubel. Hal ini mengingat lima jenazah laskar dimakamkan di area pesantren. Kepastian Markaz Syariah tertutup terhadap pihak luar disampaikan kepada Sabri Lubis melalui WA dari pengurus pesantren. "Wa Alaikum Salam Wr Wb. MS (maksudnya Markaz Syariah) sudah LOCKDOWN Ust Sobri karena di Bogor sedang ada PSBB hingga Tanggal 25, In Sya Allah MS akan buat. Namun Internal saja Dewan Guru & Santri. Sehingga siapa pun dilarang masuk. Jad mohon maaf karena kondisi tidak memungkinkan utk ada peliputan di dalam MS 🙏🙏." Itu kalimat WA yang disampaikan Sabri Lubis kepada FNN.co.id. Ya, walaupun tahlil 40 tidak terlalu ramai, namun mereka senantiasa didoakan oleh umat Islam. Apalagi, khatib Jumat yang mendoakan seluruh kaum muslimin dan muslimat, baik yang masih hidup apalagi yang sudah mati atau meninggal dunia. Doa dari keluarga enam laskar, terutama kedua orang tua, lebih khusus doa dari anak yang ditinggalkan, sangat dahsyat getarannya. Setiap muslim meyakini, doa anak yatim dan piatu, yatim piatu sangat cepat diterima oleh Sang Khalik, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demikian juga doa orang tua, terutama doa ibu kepada anak. Doa oran tua, anak yatim adalah doa yang tidak ditolak oleh Allah. Ketika mereka mengangkat tangan, malaikat penghuni langit bergetar, seraya ikut mengaminkan doanya.** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jihad Melawan Kemungkaran Informasi

by Adian Husaini Jakarta FNN - AMAR ma’ruf nahi munkar adalah salah satu kewajiban penting yang harus dilakukan setiap Muslim, baik secara individual maupun secara bersama atau berjamaah. Allah berfirman: "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemungkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS At Taubah:71). Aktivitas amar ma’ruf nahi munkar memang merupakan kewajiban yang sangat ditekankan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Bahkan, disebutkan, sejumlah dampak buruk bagi masyarakat, jika amar makruf nahi munkar tidak ditegakkan. Siksaan dan azab Allah akan turun kepada seluruh masyarakat, baik masyarakat yang baik maupun yang zalim. Tanpa pandang bulu. "Dan jagalah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya." (QS Al Anfal:25). "Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemungkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum. (HR Abu Dawud) Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi SAW membuat paparan tentang sekelompok penumpang kapal sebagai tamsil sebuah masyarakat. Penumpang menempati tempat duduknya masing-masing, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Penumpang yang di bawah, enggan naik ke atas, untuk mengambil air. Dari pada repor-repot, maka ia lubangi saja bagian bawah tempat duduknya, untuk mengambil air. Digambarkan oleh Nabi SAW, jika para penumpang lainnya mendiamkan saja tindakan si penumpang yang membuat lubang itu, maka akan binasalah si penumpang, dan juga binasa seluruh penumpang kapal itu. Kemungkaran informasi dapat memiliki dampak yang jauh lebih dahsyat dibandingkan dengan kemungkaran secara amaliyah. Sebab, kemungkaran informasi merupakan kemungkaran di bidang keilmuan, sehingga dapat mengubah persepsi seseorang terhadap sesuatu. Opini atau informasi yang salah dapat menimbulkan penyesatan opini yang sangat membahayakan masyarakat bahkan dapat merusak aqidah Islam, dan menimbulkan berbagai perilaku yang salah. Karena itu, ”informasi yang salah” adalah kemungkaran yang wajib diluruskan oleh setiap Muslim, baik dengan tangan, lisan, atau hati, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah saw. Orang yang termakan oleh informasi sesat -- misalnya, pemikiran bahwa semua agama adalah sama dan benar -- maka akan rusaklah keyakinan atau keimanannya. Sebab, al-Quran menegaskan, Hanya Islam agama yang benar dan diridhoi Allah (QS Ali Imran:19, 85). Dalam dunia pendidikan, misalnya, dikembangkan opini bahwa sekolah atau perguruan tinggi yang unggul adalah yang lulusannya mudah mencari pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan banyak uang. Aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia, tidak dianggap sebagai indikator penting dalam menentukan kualitas atau rangking suatu perguruan tinggi. Akhirnya, terjadilah pemujaan yang berlebihan terhadap gelar, harta dan jabatan. Demi jabatan, tak jarang, kebenaran dikorbankan. Penyesatan Opini Berbeda dengan kemungkaran yang jelas dan mudah dipahami seperti tindak kejahatan pencurian, perampokan, korupsi, perkosaan, perzinahan, minuman keras, dan sebagainya, penyesatan opini merupakan tindak kemungkaran yang cukup rumit dan memerlukan sedikit pemikiran untuk memahami kemungkaran tersebut. Kemungkaran jenis ini memang memungkinkan terjadinya -- apa yang disebut Ibnul Jauzy -- sebagai talbis, yakni menampilkan kebatilan dalam wajah kebenaran (manipulasi). Di dalam kitabnya, Talbis Iblis, Ibnu Jauzi menjelaskan dengan panjang lebar berbagai talbis yang dilakukan oleh setan terhadap berbagai golongan dan jenis manusia, mulai talbis terhadap orang awam sampai golongan ulama. Apa yang digambarkan oleh Ibnu Jauzi dalam talbis Iblis terhadap golongan batiniyah mirip sekali dengan gerakan spiritualisme, sinkretisme, dan penyamaan agama yang ramai berkembang di Indonesia saat ini. Kelompok batiniyah berpandangan bahwa yang lebih penting dari Al Quran dan hadis adalah "batin", dan bukan hal-hal yang zahir seperti ketentuan-ketentuan syariat (hukum-hukum) Islam. Justru aspek-aspek yang zahir seperti itu harus ditinggalkan (dibuang) agar tidak menjadi beban/belenggu bagi manusia. Mereka menggunakan QS Al A'raf ayat 157 sebagai landasannya: "Dan, mereka membuang beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada diri mereka." Orang yang sudah termakan oleh talbis Iblis dapat saja menjadi fanatik dan militan dalam memperjuangkan pemahamannya, seperti yang dilakukan oleh kelompok khawarij, yakni kelompok yang melampaui batas dalam pemahaman dan pengamalan agama. Jadi, penyesatan melalui opini sangat berpotensi memicu terjadinya talbis terhadap kebenaran, apalagi jika penyesatan itu dilakukan dengan metode yang baik, secara terus-menerus, terencana, dan didukung oleh tokoh-tokoh publik. Talbis akan semakin mudah terjadi jika kaum Muslim -- terutama tokoh-tokoh dan ulama mereka -- bersikap pasif dan tidak melakukan tindakan yang berarti untuk melawan usaha penyesatan opini terhadap umat Islam. Lebih berat lagi, jika informasi yang salah itu disebarkan oleh tokoh dan pemuka agama. Dampaknya akan sangat besar, karena dapat menyesatkan banyak orang. Karena itu, pada hari kiamat nanti, banyak orang dimasukkan ke neraka, karena mereka tertipu oleh informasi yang disebarkan oleh para pemimpin mereka. Mereka hanya mengikuti pemikiran para tokohnya, meskipun jelas-jelas itu bertentangan dengan kebenaran. "Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul." Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan Kami, timpakanlah kepada mereka azab, dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (QS Al Ahzab:66-68). Jihad di bidang informasi memerlukan kesungguhan dan pengorbanan yang besar, termasuk dalam soal pembiayaan. Sebab, umat Islam wajib memiliki media-media yang berkualitas agar mampu menyampaikan kebenaran dan menangkal informasi atau opini yang salah. Rasulullah SAW mengingatkan, agar umat Islam berjihad melawan kemusyrikan dengan harta, jiwa, dan lisan mereka. Maknanya, semua potensi umat wajib dikerahkan untuk perjuangan melawan berbagai macam kebatilan. Namun, di era serba internet saat ini, kemungkaran informasi itu bisa juga datang dari kalangan muslim sendiri. Biasanya itu akibat dari ketidaktahuan dan kecerobohan dalam menerima dan menyebarkan informasi yang salah. Oleh karena itu, berilmulah dan berhati-hatilah dalam menerima dan menyebarkan informasi. ** Penulis adalah Ketua Umum Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII).

Melumpuhkan Umat Islam Dengan Isu Radikalisme

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (10/01). Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas terus menyerang umat Islam. Ini semacam strategi perang frontal dan gerilya. Senjata penghancurnya adalah isu radikalisme dan intolerasi. Bagai menginginkan agar umat Islam menjadi umat yang lemah, hilang gairah, runtuh kekebalan keimanan, dan menjadi terjajah. Setelah itu, wibawa umat Islam menjadi sirna. Lalu suka dan senang menghamba. Bahkan lebih suka untuk berjoged-joged daripada berjuang dan bertempur di medan berda'wah, dengan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Umat Islam diharapkan menjadi umat yang "kaleng-kelang, odong-odong dan beleng-beleng ". Beberapa hari lalu Menteri Agama Yaqut mendatangi Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin. Yaqut meminta untuk dilibatkan dalam menyusun konten seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam rangka mencegah radikalisme. Pada era Jokowi khususnya periode kedua ini, fokus Kementrian Agama hanya pada masalah radikalisme dan intoleransi semata. Asumsinya Kementerian Agama adalah, bahwa umat beragama, khususnya umat Islam adalah kaum yang intoleran, radikalis, dan bahkan teroris. Agama ditempatkan menjadi musuh bagi kehidupan, dan harmoni berbangsa dan bernegara. Bahkan menjadi lawan ideologi. Terorisme mungkin lebih memiliki batasan yang jelas. Walaupun penuh dengan rekayasa, dan kepentigan global memainkan peran dominan. Sama dengan radikalisme yang menjadi mainnan elit global seperti disampaikan Komjen Pol. Dharma Pongrekun, “Islam itu Sangat Mencintai Kedamaian”, (FNN.co.id edisi 23/11/2019). Bahkan radikalime samkin tidak jelas lagi. Memiliki pengertian yang bias, dan dapat disalahmaknakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun hanya memberi batasan radikalisme untuk aliran politik. Bukan untuk pengertian yang berkaitan dengan keagamaan. Yaqut yang menempatkan diri sebagai panglima toleransi dan deradikalisasi, terkesan ingin membawa budaya kelompoknya menjadi kultur keberagamaan umat Islam. Keragaman yang diubah menjadi keseragaman. Beragama secara monolit yang seperti ini, bukan integrasi tetapi aneksasi dan. Penaklukan terhadap tata cara beragama. Moderasi atau toleransi tidak boleh menyebabkan seorang muslim menjadi kehilangan identitas kemusliman atau menjadi sinkretis. Bukan dengan mesti shalawat atau azan di gereja. Bukan pula dengan mencium tangan pastur, atau berpidato mengakui Yesus sebagai anak Tuhan. Bukan juga dengan meyakini semua agama itu, benar sehingga agama apapun dapat mengantarkan ke Surga. Gerakan anti radikalisme menjadi fenomena dan strategi melumpuhkan umat Islam. Sejarah politik bangsa menunjukkan terjadinya persaingan politik antara kelompok politik keagamaan dan kelompok kebangsaan sekuler. Memadukan kedua kekuatan potensial bangsa tersebut telah dilakukan melalui konsensus dalam rumusan ideologi Pancasila. Ketika kelompok kebangsaan sekuler "menang" dalam kompetisi demokrasi, maka ada kesan misi "menghajar" kekuatan politik Islam saat dimulai. Meski ada partai politik berbasis Islam, tetapi sebagian besarnya lumpuh dan ikut irama permainan politik pragmatik. Hanya karena takut dan tersandra dengan ancaman-ancaman permasalahan hukum. Pelemahan partai politik sekarang terus bergeser dan bergerak ke aras kehidupan sosial kemasyarakan. Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau pergerakan Islam menjadi target yang harus dilumpuhkan. Isu strategis yang dinilai layak dan efektif untuk dipakai adalah radikalisme dan intoleransi. Menteri Agama sebelumnya Fakhrul Rozi yang berlatar belakang militer terkesan diamanati Jokowi untuk mengemban misi mengangkat isu radikalisme. Begitu juga dengan Menteri Agama penggantinya Yaqut Cholil Qoumas. Jika Kementrian Agama menjadi kementrian yang berisik dengan isu dan pandangan negatif terhadap aspek keagamaan umat Islam, maka kementrian ini telah menjauh dari misi awal sejarah pembentukannya. Kita harus malu dengan ucapan aktivis HAM Natalius Pigai yang non muslim bahwa "sampai kapan umat yang mayoritas, terutama muslim, akan tenang. Tidak ada Islam yang intoleran, tidak ada Islam yang teroris, tidak ada Islam yang radikal. Yang ada adalah cara pandang pemimpin yang radikal dan teroris ". Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

FPI Dibubarkan, FPI Baru Juga Diancam. Maunya Apa Sih?

by Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Jumat (08/01). Rezim pemerintahan Joko Widodo telah membubarkan Front Pembela Islam (FPI) tanggal 30 Desember 2020 lalu. Meski secara hukum pembubaran tersebut sangat lemah karena hanya diputuskan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani enam pimpinan kementerian dan lembaga, namun para pengurus FPI tidak mau ambil pusing. Oleh karena itu lalu para fungsionaris FPI segera mendeklarasikan Front Persatuan Islam (baca: FPI Baru). Pembentukan ormas baru ini sangat dimungkinkan karena memang dijamin dan dilindungi undang-undang. Bahkan Menko Polhukam Mahfud MD membolehkan pembentukan ormas bernama Front Persatuan Islam. "Boleh," kata Mahfud lewat pesan singkat kepada portal berita Detik, Kamis (31/12/2020). Jawaban Mahfud ini disampaikan untuk menanggapi pertanyaan apakah deklarasi Front Persatuan Islam oleh Munarman dkk diperbolehkan setelah Front Pembela Islam dilarang oleh pemerintah. Nah karena sudah mendapat sinyal dari pemerintah melalui pernyataan Menko Polhukam, kemudian deklarasi FPI Baru pun dilakukan di berbagai daerah. Tapi rupanya melihat soliditas umat Islam dalam melanjutkan kegiatan dakwah Amar ma'ruf nahi munkar melalui FPI Baru makin kuat, aparat keamanan justru menjadi gerah. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan tegas mengancam akan membubarkan seluruh kegiatan Front Persatuan Islam (FPI) di seluruh daerah di Indonesia. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Rusdi Hartono menegaskan bahwa Front Persatuan Islam sudah tidak memiliki legalitas dan payung hukum. Oleh karena itu menurutnya, polisi diperbolehkan untuk membubarkan organisasi tersebut jika melakukan kegiatan di setiap wilayah. "Jika tidak mendaftarkan artinya di sini ada kewenangan dari pemerintah untuk bisa melarang dan membubarkan," ujar Rusdi sebagaimana dikutip portal berita Pikiranrakyat-Bekasi, Rabu 6 Januari 2021. Indonesia Negara Kekuasaan? Menanggapi hal tersebut, pakar hukum tata negara Refly Harun mengaku merasa aneh dengan sikap yang diambil pihak kepolisian tersebut. "Ini agak aneh rasanya kalau kita belajar hukum, terutama hukum tata negara yang terkait dengan konstitusi dan hak asasi manusia," kata Refly Harun seperti dikutip Pikiranrakyat-Bekasi.com Dari kanal YouTube Refly Harun. Menurut Refly, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memberi putusan bahwa di Indonesia terdapat dua jenis organisasi massa (ormas), yaitu ormas berbadan hukum dan tidak berbadan hukum. Ormas yang tidak berbadan hukum itu ada dua juga, ormas yang terdaftar di Kemendagri dengan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan ormas yang tidak mendaftar atau tidak terdaftar. Refly Harun meminta aparat keamanan untuk bisa memahami tentang seluk-beluk ormas di Indonesia. "Legalitasnya bukan dari penguasa, karena itu adalah HAM, sudah melekat kepada warga negara dan warga negara berhak setiap saat berserikat dan berkumpul, termasuk mengeluarkan pendapat baik secara lisan maupun tulisan," jelas Refly Harun. Namun, jika ormas tersebut sudah terbukti mengganggu ketertiban masyarakat, keamanan, dan melanggar hukum, maka aparat penegak hukum berhak untuk membubarkan kegiatan ormas tersebut. "Jadi, tidak bisa aparat kepolisian ujug-ujug membubarkan sebuah kegiatan ormas, walaupun ormas itu belum mendaftar di Kemendagri," tegas Refly Harun. Kalau hanya ingin berkumpul, melakukan kegiatan tanpa berpikir bantuan dari negara, jelas Refly, maka tidak perlu mendaftar dan tidak perlu mendapatkan SKT. Pernyataan Refly tersebut juga didukung oleh aturan baru MK yang menyatakan bahwa tidak terdaftar bukan berarti kemudian bisa dibubarkan. "Karena sekali lagi, eksistensi semua ormas itu tidak digantungkan dengan ada tidaknya pengakuan dari negara, melainkan dari kegiatan atau aktivitas ormas itu sendiri," ungkap Refly Harun. Dia meminta kepada aparat keamanan agar bisa memahami secara matang tentang konstitusi dan HAM. "Supaya aparat tidak menggunakan bahasa kekuasaan untuk melakukan tindakan-tindakan yang justru bisa dikatakan melanggar hukum, HAM dan konstitusi," tuturnya. Ia juga meminta kepada pemerintah ke depannya agar tidak lagi membubarkan sebuah ormas tanpa proses hukum yang jelas, walaupun UU memungkinkan hal tersebut. Namun menurutnya, UU yang memungkinkan hal tersebut yakni UU No. 16 Th. 2017 adalah sebuah produk otoriter. Dalam menyikapi lahirnya FPI Baru ini, sikap pemerintah sendiri tidak sama. Di satu sisi, Menko Polhukam Mahfud MD membolehkan terbentuknya Front Persatuan Islam. Di sisi lain, Polri justru mengancam akan membubarkan segala bentuk kegiatan FPI Baru itu. Aneh bin ajaib. Menko Polhukam berbicara dengan bahasa hukum, sebaliknya pihak kepolisian menggunakan bahasa kekuasaan. Jadi sebenarnya Indonesia ini negara hukum atau negara kekuasaan sih? Kalau melihat Konstitusi NKRI Pasal 3 sebenarnya sudah sangat jelas dikatakan bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum” (Rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (Machstaat), sehingga seseorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana tidak bisa langsung dihukum tanpa melalui proses hukum.. Konsep Negara hukum tentu mengutamakan supremasi hukum dalam setiap tindakan yang dilakukan oleh para pejabat di Republik ini dan bukan atas dasar kekuasaan yang dimilikinya. Setiap orang yang dituduh bersalah secara harus diproses secara hukum. Tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang faktanya Indonesia sebenarnya sudah bergeser menjadi negara kekuasaan dimana proses hukum hanya sebagai formalitas belaka. Dengan demikian, isi yang terdapat dalam UUD kini tinggal rangkaian kata-kata yang tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Yang berlaku sekarang adalah tangan besi kekuasaan. Oleh karena itu menjadi dianggap biasa oleh penguasa otoriter untuk menahan dan memberangus pihak-pihak yang tidak sejalan dengan penguasa. Rezim pemerintah otoriter bisa dengan bebas dan leluasa memenjarakan orang-orang yang dianggap berlawanan dengan penguasa termasuk para ulama dan para tokoh masyarakat lainnya. Jika mengikuti perjalanan bangsa ini, silahkan Anda menilai sendiri apakah reformasi yang telah berjalan sejak tàhun 1998 ini sedang bergerak maju atau sebaliknya berjalan mundur ke era Orde Lama? Semangat kebangsaan untuk mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera, nampaknya tinggal harapan kosong. Optimisme yang menggelora diawal-awal reformasi, kini menjadi seperti antiklimaks manakala menyaksikan perilaku pejabat pemerintah dan aparatur keamanan di republik ini. Upaya pihak kepolisian untuk menghambat kegiatan FPI Baru, sangat boleh jadi didasari oleh skenario untuk melumpuhkan berbagai upaya hukum dari para pengurus FPI Lama dalam mengungkap kasus pembunuhan keji yang dilakukan aparat kepolisian terhadap enam laskar FPI pada Senin 7 Desember 2020. Jika eks fungsionaris FPI Lama ini dianggap tidak mampu membentuk Ormas "yang diakui" pemerintah, maka bisa saja nanti pihak kepolisian secara sepihak mengesampingkan orang-orang yang memperjuangkan penyelidikan terhadap kasus pembunuhan tenam laskar FPI. Kalau sudah demikian kondisinya, wis angel tuturane. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior Fnn.co.id.

Jahiliyah Yang Belum Berevolusi

by Felix Siauw Jakarta, FNN - Rabu (06/01). Satu waktu, Abu Dzar yang lumayan temperamen, mendapati Bilal bin Rabah tak sejalan dengan arahannya. Lalu ia mengatakan pada Bilal. "Bahkan engkau menyelisihiku wahai anak budak berkulit hitam?". Bilal kaget.... Kegalauan atas ucapan Abu Dzar itu dia sampaikan pada Rasulullah. Wajah Rasulullah berubah, lalu menegaskan pada Abu Dzar, "Rupanya di dalam dirimu masih ada sifat jahiliyyah". Abu Dzar menangis, menyesal dan panik. Ia mencari Bilal, meletakkan pipinya di atas tanah, lalu berkata pada Bilal, "Aku takkan mengangkat kepalaku sebelum engkau menginjaknya, engkau mulia, akulah yang hina". Abu Dzar menyesali dengan tanda, bahwa tak ada kemuliaan warna kulit, atau Arab lebih mulia dari Ajam. Bilal terhenyak, tak menyangka, lalu mengucap "Bahkan engkau lebih mulia dari padaku". Mana mungkin Bilal menginjak kepala yang senantiasa bersujud pada Allah, dimana dialah yang memanggil manusia untuk selalu bersujud pada Allah 5x dalam sehari. Perkataan Bilal, "Bahkan engkau lebih mulia daripadaku", karena Nabi Adam juga memohon ampun pada Allah setelah dosanya, sebab itu dia mulia. Tapi iblis angkuh dengan ibadahnya, lalu merasa lebih baik dari manusia, karena itu dia terlaknat. Tidak ada keutamaan warna kulit di dalam Islam. Allah yang mencipta semua itu, tak melihat padanya. Akan tetapi niat dan amal mereka itulah yang membedakan. Bahkan Bilal yang berkulit hitam, selalu diinginkan posisinya oleh sahabat yang lain Intoleransi dalam Islam sudah dihapus sejak pertamakalinya kalimat syahadat diajarkan. Sahabat menegaskan dan membuktikannya pada kita lewat kisah-kisah mereka. Jadi bila masa sekarang ada yang menganggap putih lebih baik dari hitam, itulah jahiliyyah. Itulah munafik sejati, menuduh orang-orang yang baik sebagai intoleran, sesungguhnya dia sendiri yang intoleran. Mereka merusak sementara mereka mencoba mengelabui manusia dengan berkata "Kami memperbaiki". Allahummaghfirlana. Berlainannya warna kulit, untuk mengenal dan mencintai. Allah yang mencipta semua, lalu apa hak kita untuk merasa yang berkulit hitam itu lebih jelek? Bahkan hingga 2021, jahiliyah itu tetap belum berevolusi. Penulis adalah Ustadz dan Penceramah.

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (4)

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Sabtu (02/01). Apa yang sebenarnya terjadi di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek? Mengapa sampai ada keterangan yang berbeda saat Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran melakukan jumpa pers, Senin (7/12/2020) dengan rekonstruksi Bareskrim Polri? Menurut Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Polisi Andi Rian Djajadi, empat Laskar FPI yang diamankan di TKP ketiga, yakni Rest Area KM 50 Tol Japek dalam perjalanannya melakukan perlawanan dan hendak merebut senjata aparat kepolisian. Seperti dilansir Okezone,com, Senin (14 Desember 2020 06:04 WIB), oleh sebab itu, aparat melakukan tindakan tegas dan terukur ketika pelaku mencoba merebut senjata milik polisi di dalam mobil. Hal tersebut diungkapkan Brigjen Andi usai rekonstruksi kasus penyerangan oleh Laskar FPI kepada polisi di Tol Japek, Senin (14/12/2020). “Bahwa TKP 4 ini adalah kelanjutan TKP 3, kami lihat akhir dari kegiatan atau adegan TKP 3,” ungkapnya. “Itu 4 pelaku yang masih hidup diamankan ke mobil dengan tujuan dibawa penyidik untuk ke Polda Metro Jaya. Dalam perjalanan tidak jauh jaraknya dari KM 50 sampai 51+200 terjadi penyerangan, pelaku mencoba merebut senjata anggota,” lanjut Brigjen Andi. “Dari situlah terjadi upaya dari penyidik yang ada dalam mobil untuk melakukan tindakan pembelaan, sehingga keempat pelaku di dalam mobil semuanya mengalami tindakan tegas dan terukur dari anggota yang ada dalam mobil,” ungkap Brigjen Andi. Dalam rekonstruksi ini, di TKP 1, di depan Hotel Novotel, Jalan Karawang Internasional, ada 9 adegan. Di lokasi 2 yakni, selepas bundaran Jalan Karawang Internasional hingga Gerbang Tol Karawang Barat arah Cikampek ke Rest Area KM 50 ada 4 adegan. Sedangkan di Rest Area KM 50 yang menjadi TKP 3 penyidik melakukan rekonstruksi 31 adegan. Di TKP terakhir yakni, Tol Japek selepas Rest Area KM 50 hingga KM 51 200, penyidik memperagakan 14 adegan. Awalnya petugas yang mengamankan 4 Laskar FPI itu hendak membawa ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada proses itu, polisi tidak memborgol pelaku hanya sebatas meletakkan mereka di kursi tengah dan belakang mobil. “Mereka dalam keadaan tidak diborgol mereka ditaruh di belakang kemudian satu lagi dibiarkan duduk di bagian tengah,” ujar Brigjen Andi. Ia mengukapkan, setelah dilakukan tindakan tegas dan terukur, alhasil aparat kepolisian langsung membawa anggota Laskar FPI tersebut ke Rumah Sakit (RS) Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur. “Setelah kejadian ternyata dalam kondisi luka langsung dibawa ke RS Kramat Jati,” ujar Brigjen Andi. Jika menyimak Kapolda Fadil Imran dalam jumpa pers pertama, Senin (7/12/2020), maka dapat disimpulkan, bahwa TKP itu berada di Rest Area KM 50 Tol Japek. Ini merujuk pada definisi TKP: adalah tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan atau terjadi dan tempat-tempat lain di mana tersangka dan/atau korban dan/atau barang-barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan. TKP Hilang Ada yang dirasa janggal setelah penembakan Laskar FPI, khususnya di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Polisi tidak menutup dengan police line seperti pada umumnya jika terjadi suatu peristiwa. Padahal, garis polisi ini sangat penting. Karena, di KM 50 itulah “tembak-menembak” antara polisi dengan laskar FPI, seperti versi polisi, terjadi hingga menyebabkan 2 laskar FPI tewas, termasuk 4 laskar lainnya yang sudah menyerah dan dibawa polisi meninggalkan Rest Area KM 50. Biasanya, olah TKP dimulai dari persiapan, penangananTKP, perjalanan ke TKP, Tindakan Pertama di Tempat Kejadian Perkara (TP-TKP). Olah TKP yang terdiri dari pengamatan umum, pemotretan,pembuatan sketsa, pengumpulan barang bukti, penanganan korban, saksi, dan pelaku, pengorganisasian olah TKP, dan yang terakhir penanganan TKP. Tapi, itu semua tidak dilakukan oleh pihak kepolisian pada saat itu. Tahu-tahu dalam jumpa pers telah ada barang bukti berupa pedang dan pistol yang disangkakan sebagai pemilik dari korban (laskar FPI). Sebagaimana dipahami secara umum bahwa jalan tol adalah jalan bebas hambatan, sehingga siapa pun yang melakukan penghadangan di jalan tol itu adalah sebuah bentuk pelanggaran hukum. Aparat kepolisian itu tidak seharusnya berada di jalan tol dengan beberapa unit kendaraan, apalagi merencanakan penyergapan itu pada rombongan HRS secara khusus seolah mereka adalah teroris dan bandar narkoba kelas kakap. Sekali lagi tidak mungkin tidak, direncanakan, apalagi sejak sore hari polisi sudah berada di sekitar lokasi TKP dan itu berarti bukan pihak korban yang mencari masalah melainkan polisi yang berupaya menghentikan kendaraan rombongan HRS. Jika dicermati dari beberapa keterangan saksi, hasil investigasi wartawan Eddy Mulyadi dan TEMPO serta uraian Munarman dapat diambil kesimpulan bahwa 4 orang yang dinyatakan masih hidup saat dibawa pergi tetapi tidak dibawa ke kantor Polisi untuk dilakukan introgasi, proses verbal atau pengumpulan keterangan dari mereka. Mereka dibawa polisi di suatu tempat dan diekskusi mati disitu. Dan, ini justru sama dengan upaya pembunuhan terhadap korban yang dilakukan polisi, lebih-lebih polisi telah menyalahi prosedur penangkapan korban yang disangkakan polisi. Penembakan polisi terhadap para korban adalah bentuk pembantaian mengingat banyak luka tembak pada korban dan bekas penganiayaan dilakukan polisi. Ini jelas sangat bertentangan denganUU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ini jelas bahwa polisi telah melakukan pembunuhan berencana yang diatur dalam pasal 340 KUHP. Ini juga menjawab bahwa di TKP KM 50 tidak ada tembak-menembak. Yang ada, setidaknya ada 19 luka tembak di 6 tubuh korban disertai penganiayaan. Polisi tidak bisa menjelaskan ke mana 4 korban yang masih hidup ketika itu dibawa setelah ada 2 orang ditembak di TKP KM 50 dan apa saja yang mereka perbuat terhadap laskar FPI pengawal HRS itu. Semua peristiwa terkait penyergapan dan penembakan di Rest Area KM 50 Tol Japek pada laskar FPI itu terekam di CCTV setempat. Apakah Komnas HAM sudah punya rekamannya atau minimal melihatnya. Siapa yang menyimpan rekaman CCTV di Rest Area KM 50 itu, hanya polisi dan PT Jasa Marga selaku pengelola Tol Japek yang tahu. Apalagi, setelah rekonstruksi pada Senin, 14 Desember 2020, mulai Minggu (20/12/2020), TKP ini “ditutup”. ”Mulai kemarin Rest Area KM 50 kami relokasi,” kata Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Dwimawan Heru, Selasa (22/12/2020). Penutupan Rest Area KM 50 Tol Japek ini dilakukan mulai 22 Desember 2020 secara permanen. Jasa Marga menyebut sejak dioperasikannya Jalan Tol Japek Elevated pada Desember 2019, khususnya pada masa liburan, kerap terjadi kepadatan di Jalan Tol Japek, arah Cikampek, pada ruas antara KM 48 – KM 50. “Hal ini disebabkan pada lokasi tersebut terjadi pertemuan arus lalu lintas yang baru keluar atau turun dari Jakarta-Cikampek Elevated, bertemu dengan arus lalu-lintas yang melintas di Jakarta-Cikampek bawah di wilayah Karawang Barat,” kata Dwimawan Heru. Kepadatan pada lokasi tersebut, ditambah dengan adanya kendaraan yang keluar-masuk Rest Area yang terletak di KM 50 A. Aktivitas tersebut menimbulkan antrean yang mengganggu arus lalu-lintas di jalur utama Jalan Tol Japek. Mencermati hal tersebut, Korlantas Polri melalui suratnya pada 6 Februari 2020 meyarankan penutupan Rest Area KM 50 A dan melakukan pelebaran jalur jalan tol mulai KM 48 – KM 50. “Hal ini diperkuat lagi dengan instruksi Badan Pengatur Jalan Tol melalui suratnya pada 20 Maret 2020, terkait hal yang sama,” kata Dwimawan Heru. Mengapa penutupan dilakukan dua pekan setelah peristiwa penembakan pada 6 laskar FPI? Mengubah TKP, menurut aturan hukum, itu sama halnya dengan “menghilangkan” TKP dan masuk kategori melanggar hukum, karena termasuk sebuah kejahatan! (Bersambung) Penulis wartawan senior FNN.co.id ***

Musuh Manusia Bukan Kezaliman Tapi Rasa Takut Mati

by Asyari Usman Medan, FNN - Jumat (01/21). Sudah banyak ceramah tentang ‘takut mati’ yang kita dengar. Sudah banyak pula tulisan mengenai ‘mengapa orang takut mati’ yang telah kita baca. Dan semuanya kita pahami. Tetapi, kita semua tetap saja takut mati. Jangankan mati, cedera goresan saja pun kita takut. Inilah sebenarnya musuh terbesar manusia, termasuk umat Islam. Sekali lagi, bukan kezaliman dan kesewenangan penguasa yang menjadi musuh. Melainkan takut mati. Relevansinya sederhana saja. Kezaliman dan kesewenangan seharusnya bisa dilenyapkan jika manusia tidak takut terhadap konsekuensi apa saja. Inilah inti catatan sejarah di seluruh dunia tentang pelenyapan kesewenangan, kekejaman, keganasan, kesadisan, kebrutalan, dll. Banyak contoh historis mengenai penghancuran kekuasaan diktatorial, kekuasaan absolut, kekuasaan otoriter, di masa lampau. Mereka tumbang karena rakyat tidak takut mati. Ada cerita tentang penggulingan dan eksekusi mati Nikolai Ceausescu (1989) yang berkuasa di Rumania dengan tangan besi. Dia dituduh membunuhi rakyatnya secara semena-mena. Dia juga dikatakan menumpuk kekayaan melalui kesewenangan diktatorialnya. Ketika rakyat bangkit, Ceausescu lenyap. Ada Ferdinand Marcos di Filipina yang akhirnya mati di pengasingan karena diusir rakyatnya. Istri Ferdinand, Imelda, tidak rikuh menunjukkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan berat rakyat Filipina. Mereka mencuri uang negara dalam jumlah ratusan juta dollar. Pada 2011, Presiden Hosni Mubarak di Mesir juga digulingkan rakyatnya yang selama puluhan tahun dia ditindas dengan kejam. Rezim Mubarak menyiksa tahanan dengan sangat kejam dan sadis. Rakyat Mesir hidup dalam ketakutan. Namun, rasa takut itu serentak hilang. Mereka melawan. Di Tunisia, Presiden Zine el-Abidine Ben Ali digulingkan rakyatnya pada Januari 2011. Revolusi rakyat ini disulut oleh kematian seorang anak muda, Mohamed Boazizi (26), yang membakar dirinya di depan kantor gubernur karena jualan asongannya disita oleh petugas kota. Rakyat yang hidup susah dan di bawah kekejaman yang menakutkan, akhirnya bergerak. Mereka melancarkan aksi protes tanpa jedah selama berminggu-minggu. Shah Iran Reza Fahlevi digulingkan rakyat lewat revolusi 1979. Kesemena-menaan keluarga kerajaan yang hidup supermewah ini berakhir setelah rakyat Iran bersatu melawan kesewenangan penguasa. Jadi, rakyat yang takut mati merupakan ‘lahan subur’ bagi kekuasaan diktatur dan otoriter. Tetapi, begitu rasa takut mati itu hilang, situasi menjadi berbalik. Rakyat tak lagi enggan menghadapi konsekuensi apa saja. Kesewenangan menjadi lenyap setelah suasana psikologis rakyat mencapai ‘break even point’ (BEP) dalam aksi protes yang tak bisa dijinakkan lagi. Setelah BEP, rakyat menguasai situasi dan kembali memegang kedaulatan. Melihat berbagai peristiwa historis di atas, kita menjadi semakin paham bahwa rasa takut mati selalu menjadi hambatan untuk melenyapkan kezaliman yang cabang-cabangnya antara lain adalah kekejaman, kesadisan, kebengisan, kebrutalan, kesewenangan, dlsb. Begitu rakyat berada di titik tak takut mati, maka berakhirlah situasi yang mendera itu. Itulah yang ditunjukkan oleh rakyat di Rumania, Filipina, Mesir, Tunisia, Iran, dan banyak negara lain.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pembubaran FPI, “Memperkosa” Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul (2)

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Jumat (01/21). Menurut Panglima Laskar Pembela Islam (LPI) Maman Suryadi Abdurrahman bahwa jumlah anggota FPI saat ini mencapai lebih dari satu juta orang. Maman juga memastikan bahwa FPI tidak dalam tujuan mendorong Indonesia berpaham khilafah. Mereka bahkan memasang bendera merah-putih dalam seragam untuk memastikan tidak anti NKRI. “Tujuan kami adalah menjadikan Indonesia, di mana Islam adalah agama mayoritas rakyat, menjadi religius dan bersih dari amoralitas,” kata Abdurrahman. “Kami menginginkan negara Islami, bukan negara Islam, karena negara yang religius akan mencegah negara dari menderita ketidakadilan sosial,” sambungnya. Pemahaman seperti ini tampaknya sudah bisa diterima Presiden Donald Trump. Atensi media AS tersebut setidaknya menggambarkan sikap politik Pemerintahan Donald Trump. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI terkait bantuan ketika ada bencana alam tentu sangat menarik untuk dikaji. Pasalnya, selama ini sejak kampanye Pilpres AS lalu, Trump dikenal dengan kebijakannya “anti” Islam, sampai membatasi orang Islam yang mau masuk AS. Pujian The Washington Post atas kiprah FPI bisa mewakili sikap Pemerintah AS. Tapi, sayangnya di dalam negeri, sikap Presiden Jokowi bertolak belakang dengan Presiden Trump. Presiden Jokowi sepertinya mengikuti arus deras desakan Pembubaran FPI. Jika ini terjadi, dan akhirnya benar-benar terealisasi, diperkirakan bakal ada perlawanan dari FPI dan simpatisannya. Secara yuridis, sebenarnya ada ketegasan hukum berdasarkan Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas bisa mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan bisa juga tak mendaftarkan izinnya. Tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak boleh melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, “Sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum,” lanjut Sugito. Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Presiden Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya. Dengan demikian tak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tidak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya bahwa tidak ada alasan yuridis yang kuat dari pemerintah untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI. Dalam konteks FPI bahwa alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? “Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab,” tegas Sugito. Pernyataan Presiden dengan jelas menyatakan, FPI dapat saja dibubarkan, jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan NKRI. Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung Presiden Jokowi. Makanya, massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tak diperpanjang lagi sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associatte Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan. Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Shihab yang saat itu berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Semua itu memperkuat keyakinan bahwa adanya desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground “, bawah tanah, dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. “Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) dengan FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI,” tegas Sugito. Mereka menganggap bahwa intensitas kerja FPI ini mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu. Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI. Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden. Menurut Sugito, FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno pada Pilpres 2019, kian tersudutkan tidak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur. Situasi ini kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyerukan pembubaran FPI dengan alasan, dalam AD FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa. Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka). FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan, memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problem kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Mereka tak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan umat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Ponpes Al-Umm Ciputat. Misi utamanya pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini. Di mana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, Presiden harus kaji lagi. Sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI. Hal ini menjadi niscaya karena jika dilakukan cuma atas dasar ketidaksukaan bisa berdampak atas pemasungan hak sipil konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan rakyat untuk berserikat dan berkumpul. Pembubaran FPI oleh 6 pejabat Pemerintah itu bisa dianggap “mengebiri” kebebasan rakyat yang bertentangan dengan UUD 1945. Jelas, Pemerintah telah “memperkosa” UUD 1945. selesai. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.