AGAMA

Hanya Ada Dua Macam: Hukum Kosmetik dan Hukum Rimba

by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (31/12). Sejak kemarin (30/12/2020) banyak sekali tulisan, cuitan, status, dlsb, yang intinya menilai pembubaran FPI sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Tidak sesuai dengan prinsip “due process of law”. Pembubaran itu tidak mematuhi hukum. Alias, sewenang-wenang. Begitu penilaian banyak orang. Sebetulnya, respon masyarakat terhadap pembubaran FPI lewat SKB 6 menteri, sangat bagus sekali. Publik masih menerikakkan mana proses hukum? Kenapa penguasa bertindak sesuka hati? Masyarakat bilang, Pemerintah melanggar UU ini dan itu. Pemerintah zalim, dst. Ini menunjukkan bahwa warga negara Indonesia ini, khususnya pihak yang terlindas kesewenangan, masih berpegang teguh pada hukum. Masih taat hukum. Memang seperti itulah seharusnya. Luar biasa orang Indonesia. Ketika penguasa mengumumkan pembubaran FPI, spontan khalayak bertanya: mana proses hukumnya? Artinya, masyarakat ingin agar semua tindakan penguasa memiliki landasan hukum. Bersyukurlah kita bahwa rakyat masih tetap menghormati hukum. Cuma, yang perlu diingat ialah bahwa respon yang taat hukum, untuk saat ini, kelihatannya salah alamat. Reaksi yang bagus itu seharusnya ditujukan kepada para penguasa yang menjunjung tinggi asas taat hukum juga. Di situ kekeliruannya. Anda menyangka pengelolaan negara ini sudah sesuai dengan hukum yang disusun dan disetujui oleh rakyat. Padahal, mereka menggunakan hukum yang mereka buat sendiri, yaitu hukum yang lahir dari kesewenangan. Kalau pun mereka ada menyebutkan UU yang jadikan landasan, itu semua mereka perlakukan seperti kosmetik di wajah. Sebagai dandanan saja. Tentu Anda tahu kosmetik itu bisa dihapus, ditipiskan, ditebalkan, diukir, dicampur, dlsb. Inilah hukum kosmetik. Merah di bawah mata, biru muda di atas alis, tebal di bagian borok, tipis di bagian hidung. Jadi, teriakan-teriakan tentang penguasa melanggar hukum, pastilah terdengar aneh di telinga mereka. Sebab, mereka merasa apa saja yang mereka lakukan itu sudah sesuai dengan hukum kosmetik. Selain hukum kosmetik, ada lagi hukum rimba. Titah para penguasa menjadi putusan tertinggi yang harus dilaksanakan. Sebagai ‘rule of law’. Kalau penguasa ingin supaya sebuah organisasi diberangus, atau mereka ingin agar seseorang maupun kelompok orang dilenyapkan, maka keinginan itu langsung menjadi pasal-pasal hukum yang wajib diegakkan. Kalau para penguasa ingin agar orang ini dan orang itu masuk penjara, walau tak punya landasan hukum, maka akan dicarikan pasal-pasal yang bisa menjerat orang itu. Tidak ada protes. Tidak ada pembelaan yang diterima. Yang berlaku adalah aturan di hutan rimba. Begitulah hari ini. Hanya ada dua hukum: yaitu hukum kosmetik dan hukum rimba.[] Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

FPI Dibubarkan, Mati Satu Tumbuh Seribu

by Tjahja Gunawan Jakarta FNN - Kamis (31/12). Rezim Jokowi kembali menunjukkan sikap otoriternya. Setelah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 19 Juli 2017, Jokowi kembali membubarkan Ormas Islam Front Pembela Islam (FPI), Rabu 30 Desember 2020. Bahkan pembubaran FPI didahului dengan pembunuhan terhadap enam orang laskar FPI yang mengawal perjalanan Habib Rizieq Shihab pada Senin dinihari (7/12). Setelah membunuh dengan keji enam orang syuhada, beberapa hari kemudian aparat kepolisian menahan Habib Rizieq di Polda Metro Jaya. Setelah itu berbagai tuduhan dan gugatan kepada Habib Rizieq dan FPI datang silih berganti. Kasus lama yang sudah di SP-3 pun dibuka kembali. Kasus chat sex yang dituduhkan ke Habib Rizieq, sengaja dihidupkan kembali oleh pengacara yang ingin namanya terkenal yakni Febriyanto Dunggio. Beliaulah yang menggugat dikeluarkannya SP3 tersebut. Tidak hanya itu, lahan seluas 30 hektar lebih di Kawasan Megamendung yang telah dibeli Habib Rizieq dari para petani yang telah menggarap lahan disana puluhan tàhun, tiba-tiba sekarang mau diambil alih oleh PTPN VIII. Terhadap kasus lahan yang sekarang dijadikan pesantren Megamendung maupun tentang pembubaran FPI, Habib Rizieq telah memberikan pernyataan secara terbuka kepada publik sebelum beliau ditahan. Habib seolah sudah mengetahui dengan apa yang hendak dilakukan rezim Jokowi kepada dirinya dan FPI. Tidak Ambil Pusing Habib Rizieq sudah sejak lama menyatakan dirinya tidak ambil pusing jika sampai FPI dibubarkan. Pernyataan tersebut disampaikan Habib jauh sebelum dia pergi ke Arab Saudi tiga setengah tahun lalu. Video tersebut kembali viral di media sosial beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan Pembubaran FPI, Rabu siang (30/12). Sebelum rezim Jokowi membubarkan FPI, Habib Rizieq sudah lama mencium adanya gerakan yang ingin membubarkan ormas yang dipimpinnya itu. "Apa kerugian yang akan dialami bangsa Indonesia seandainya FPI sampai dibubarkan ? Secara pribadi kalau FPI dibubarkan tidak ada masalah. Kalau hari ini Front Pembela Islam dibubarkan, maka besok akan saya bikin Front Pecinta Islam. Dengan singkatan yang sama, pengurus yang sama, gerakan yang sama dan wajah yang sama pula, kan UU tidak melarang. Jadi saya tidak pernah pusing dengan pembubaran," tegas Habib Rizieq. Nanti kalau Front Pecinta Islam juga dibubarkan, lanjut Habib, maka akan saya bentuk Front Penyelamat Islam. "Jadi mengapa pusing-pusing, saya tidak pernah pusing mengenai pembubaran ini, tidur saya tetap nyenyak," kata Habib dalam tayangan video itu. Habib menegaskan, ada FPI atau tidak ada FPI amar makruf nahi mungkar tetap wajib dijalankan. Ada FPI atau tidak ada FPI, perjuangan para kader FPI yang ada dimana saja tetap berjalan. Dia menegaskan bahwa dirinya dan kawan-kawan di FPI tidak pernah menjadikan FPI sebagai tujuan perjuangan. Dalam berbagai kesempatan, Habib selalu mengingatkan, FPI cuma kendaraan (wasilah). Jadi kalau kendaraan (FPI) ini rusak ditengah jalan atau dibakar orang atau dicuri orang atau kendaraan terbalik dan tidak bisa dipakai lagi, tinggal diganti dengan kendaraan yang lain. "Tujuan (ghoyah) kita hanya mencari ridha Allah, tujuan kita Li’ilai Kalimatillah Subhanahu Wa Ta’ala (Meninggikan kalimat Allah). Jadi bukan tujuan kita mencitrakan FPI, membaguskan FPI, membesarkan FPI. Itu hanya proses perjuangan, tujuannya Li’ilai Kalimatillah Subhanahu Wa Ta’ala," kata Habib Rizieq. Beliau melihat pembubaran FPI merupakan gerakan sistimatis yang dilakukan musuh-musuh Islam. Diakui bahwa yang concern terhadap Amar Ma’ruf Nahi Mungkar terhadap penegakan keadilan melawan kedholiman, bukan hanya urusan FPI tetapi juga merupakan kepentingan umat Islam. Oleh karena itu keputusan pemerintah membubarkan FPI kemungkinan akan dijadikan proyek percontohan untuk memberangus ormas lain yang juga lantang melawan setiap praktek kedzoliman di negeri ini. Dengan begitu, nanti masyarakat jadi takut melawan praktek kemungkaran seperti korupsi, narkoba, perjudian, LGBT, dan lainnya. Di satu sisi, pembubaran ormas Islam bisa melemahkan semangat juang umat Islam Indonesia. Namun sebaliknya, disisi lain pembubaran tersebut juga akan semakin mengokohkan persatuan Umat Islam Indonesia. Hilang satu tumbuh seribu. Terbukti setelah FPi dibubarkan pemerintah, di hari yang sama langsung terbentuk Front Persatuan Islam (baca FPI Baru). Nah, FPI Baru diinisiasi oleh Munarman dan sejumlah pengurus FPI lainnya. Deklarasi Front Persatuan Islam ini dilakukan setelah Front Pembela Islam resmi dilarang pemerintah. Menanggapi lahirnya Ormas baru tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD membolehkannya. "Boleh," kata Mahfud lewat pesan singkat kepada portal berita Detik, Kamis (31/12/2020). Jawaban Mahfud ini disampaikan untuk menanggapi pertanyaan apakah deklarasi Front Persatuan Islam oleh Munarman dkk diperbolehkan setelah Front Pembela Islam dilarang oleh pemerintah. Bahkan logo dan mars Front Persatuan Islam hasil kreasi anak-anak milenial sudah menyebar luas di sejumlah grup-grup WA. Meskipun logo resmi belum ada, tetapi mars dan logo FPI Baru tersebut mendapat apresiasi dari warganet karena dinilai sangat kreatif dan membumi. "Logo resmi belum ada. Sedangkan logo dan mars FPI Baru yang muncul adalah kreasi dari umat. Ngga apa-àpa bagus untuk bikin ramai," kata seorang laskar di Petamburan Jakarta. Pernyataan resmi FPI Baru yang pertama dirilis Rabu kemarin antara lain menyebutkan, pembubaran ormas maupun parpol sudah pernah terjadi pada era nasionalis, agama dan komunis (Nasakom) di zaman Orde Lama dibawah Presiden Soekarno. Pada era Nasakom tersebut, sasaran pembubaran juga adalah Ormas dan Parpol yang menentang terhadap Rezim Nasakom, terutama Ormas dan Parpol Islam. "Jadi pelarangan Front Pembela Islam (FPI) saat ini adalah merupakan De Javu alias pengulangan dari Rezim Nasakom yang lalu," demikian bunyi rilis yang dikeluarkan FPI Baru. Pembubaran FPI melalui keputusan bersama enam Instansi Pemerintah, juga dianggap sebagai bentuk pengalihan isu dan obstruction of justice (penghalang-halangan pencarian keadilan) terhadap peristiwa pembunuhan 6 anggota FPI dan bentuk kedzaliman yang nyata terhadap rakyat sendiri. Pembubaran FPI merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konstitusi Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, Pasal 24 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa hak berserikat adalah Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat. Munarman dan deklarator lainnya menghimbau kepada seluruh pengurus, anggota dan simpatisan Front Pembela Islam di seluruh Indonesia dan mancanegara, untuk menghindari hal-hal yang tidak penting dan benturan dengan rezim dzalim. Untuk itu kemudian dideklarasikan Front Persatuan Islam. Ormas.baru ini dibentuk untuk melanjutkan perjuangan membela Agama, Bangsa, dan Negara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sekarang Ormas baru sudah terbentuk dengan visi, misi dan kegiatan yang sama dengan FPI yang sudah dibubarkan pemerintah. Selanjutnya kembali fokus menuntaskan penyelidikan dan pengungkapan terhadap kasus pembunuhan enam orang syuhada. Akankah Komnas HAM mampu mengungkap otak dibalik kasus pembunuhan keji tersebut ? Kita lihat saja nanti. Wallohu a'lam bhisawab. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pembubaran FPI: “Memperkosa” Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul! (1)

By Mochamad Toha Surabaya FNN - Kamis (31/12). Organisasi Massa dibentuk sesungguhnya sebagai wadah berkumpul demi mencapai suatu tujuan bersama anggotanya, sebagai pengejewantahan kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. Pasal 28 UUD 1945 menyatakan, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kebebasan berserikat dan berkumpul tersebut tetap harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak bertujuan untuk merusak tatanan bangsa apalagi kehendak melakukan aktivitas yang mengarah kepada disintegrasi bangsa dan tindakan terorisme. Karena itu, munculnya SKB pembubaran Front Pembela Islam (FPI) patut dipertanyakan apa landasannya. Pemerintah harus memberikan bukti-bukti nyata “pelanggaran yang meresahkan masyarakat” seperti apa yang menjadi landasan pembubaran FPI. Ini harus dilakukan Pemerintah agar tidak muncul anggapan, Pemerintah telah memberikan kebijakan yang sewenang-wenang. Tak hanya kepada FPI, tetapi juga kepada seluruh ormas di Indonesia. Pasalnya, dari pengamatan di lapangan, sejak Peristiwa Monas, FPI berubah menjadi ormas yang dicintai masyarakat karena aktivitas sosialnya. Tapi, karena belakangan ini FPI berani “berseberangan” sikap/kebijakan dengan Pemerintah, FPI dianggap “kontra” Pemerintah. Sehingga muncullah SKB tersebut. “Tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol, dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI)”. Kesatu: Menyatakan Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, sehingga secara de jure telah bubar sebagai Organisasi Kemasyarakatan. Kedua: Front Pembela Islam sebagai Organisasi Kemasyarakatan yang secara de jure telah bubar, pada kenyataannya masih terus melakukan berbagai kegiatan yang mengganggu ketenteraman, ketertiban umum dan bertentangan dengan hukum. Ketiga: Melarang dilakukannya kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat: Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diuraikan dalam diktum ketiga di atas, Aparat Penegak Hukum akan menghentikan seluruh kegiatan yang sedang dilaksanakan oleh Front Pembela Islam. Pembubaran FPI yang diumumkan Menko Polhukam Mahfud MD pada Rabu, 30 Desember 2020, sama halnya saat Menko Polhukam dijabat Wiranto ketika membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada Senin, 8 Mei 2017. HTI merupakan badan hukum yang tercatat di Kemenkum HAM sejak 2 Juli 2014. Setdaknya, ada tiga alasan yang disampaikan pemerintah untuk menindak HTI. Yakni: Pertama, HTI tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kedua, kegiatan HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Ketiga, aktivitasnya menimbulkan benturan di masyarakat yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta membahayakan keutuhan NKRI. Upaya pemerintah mengambil langkah hukum membubarkan HTI dengan alasan indikasi HTI bertentangan dengan UUD 1945 menjadi kontradiktif terhadap jaminan perlindungan HAM dalam UUD 1945: Pasal 28 UUD 1945 jo Pasal 28 E UUD 1945 ayat (3). “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pembubaran FPI ditandatangani 6 pejabat tinggi negara, yaitu: Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna H. Laoly, Menkominfo Johnny G. Plate, Jaksa Agung Burhanuddin, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis, Kepala BPPT Boy Rafli Amar. Isu rencana pembubaran FPI itu sudah mencuat sejak medio 2019. Saat itu di medsos terjadi perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua faksi di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi gencar mendorong Presiden Joko Widodo untuk membubarkan Ormas Islam FPI. Satu faksilain menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada. Menurut Sugito Atmo Pawiro, seorang kuasa hukum Habieb Rizieq Shihab, pemerintahan Presiden Jokowi tidak sulit untuk membubarkan ormas semacam FPI tersebut. Habib Rizieq Shihab adalah pendiri FPI semasa Wiranto menjadi Panglima ABRI. Dengan Perppu Nomor 2/2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17/2013 tentang Ormas yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16/2017, membuka peluang bagi pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Pembubaran bisa dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut Surat Keterangan Terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. Untuk sampai kepada level beleid ini, harus bisa dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas ini memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara. Sugito mengungkapkan bahwa fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada Kamis, 20 Juni 2019. Mendagri Tjahjo Kumolo saat itu sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu yang dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Tapi, Presiden Jokowi menyatakan, kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas. Tampaknya rencana Presiden Jokowi untuk tidak memperpanjang izin FPI sebagai Ormas ini lebih bersifat politis semata. Padahal, kiprah sosial FPI sudah dilakukan di mana-mana dan terekam media mainstream maupun non-mainstream. Bahkan, media asing kelas dunia seperti The Washington Post sempat menulis kiprah FPI saat ada bencana. Tampaknya, Presiden AS Donald Trump tidak alergi lagi pada ormas FPI yang sering digambarkan sebagai “Ormas Radikal dan Intoleran”. Melansir Demokrasi.co.id, Kamis (13/6/2019), kiprah FPI dalam membantu korban bencana alam di Indonesia tidak bisa dianggap sepele. Front bentukan Habib Rizieq Shihab itu selalu terdepan dalam setiap penanganan bencana. Jurnalis Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help yang diunggah di The Washington Post, Selasa, 11 Juni 2019 lalu. Dia mengawali tulisan itu dengan menceritakan bendera FPI yang terpasang di rumah Anwar Ragaua, korban tsunami Palu, Sulawesi Tengah, 28 September 2018. Pria berusia 50 tahun itu menghiraukan perintah polisi untuk menurunkan bendera tersebut. Anwar adalah satu-satunya nelayan yang selamat saat tsunami melanda ibukota Sulteng, 28 September 2018 lalu. Anwar mengenang bahwa saat itu tidak ada polisi dan pemerintah yang membantu evakuasi di daerahnya. Sebaliknya, pihak pertama yang menawarkan harapan kepadanya adalah FPI. Bahkan, FPI turut menyerahkan kapal baru untuknya kembali melaut. Anwar tinggal di kampung nelayan di daerah terpencil yang sulit terjangkau. Itulah sebagian fakta yang ditulis Wright di The Whasington Post. Kehadiran FPI dalam tanggap bencana mulai dilakukan saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Tsunami ini menewaskan lebih dari 100 ribu orang di Serambi Mekkah itu. Terakhir, FPI juga turut berperan ikut mengevakuasi korban gempa dan tsunami Palu yang menewaskan lebih dari 4.000 jiwa. Mereka membantu pencarian korban, pendistribusian bantuan ke daerah pelosok, dan membangun perumahan sementara dan masjid baru. Wright menguraikan, sejak didirikan dua dekade lalu, FPI konsisten mendorong hukum Islam untuk mengatur kehidupan 230 juta muslim Indonesia. FPI menilai, ada kesalahan konstitusi di Indonesia yang mengubah negara menjadi lebih sekuler. Dalam tulisannya itu, Wright juga mencatat, FPI dibentuk di Jakarta oleh unsur-unsur militer Indonesia setelah jatuhnya diktator Suharto pada 1998 sebagai alat untuk menghadapi aktivis pro-demokrasi dan liberalisme. Menurut Putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo, sebaiknya semua nilai agama di negeri juga diajarkan sebagai upaya menegakkan hukum dan keadilan untuk melawan ketidak-adilan dan penindasan. Diajarkan pula untuk menegakkan hukum guna melindungi seluruh rakyat secara adil, serta keberanian untuk melawan, jika hukum digunakan menjadi alat segolongan penguasa yang munafik serta menindas. “Diajarkan juga untuk berpikir kritis, terbuka, jujur dan adil guna memupuk keberanian rakyat melawan faham otoritarianisme gaya baru, praktek jual beli hukum dan jabatan,” lanjut Ketum Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IP-KI) ini. Diajarkan untuk menumbuhkan rasa saling menghormati, mengasihi sesama dan antar umat beragama untuk menumbuhkan keberanian melawan adu domba antar umat bergama yang didasarkan kecurigaan dan kebencian buta. Diajarkan pula bahwa untuk meningkatkan kesadaran berbangsa, bernegara dan ber-Pancasila guna melawan merebaknya penghianatan yang ingin menggiring negara ini jadi antek bangsa dan negara lain. Diajarkan untuk membentuk keberanian membela dan mendidik kaum pengusaha lemah bumiputera guna berani melawan kerakusan, liberalisme, dan anarkisme pengusaha kuat. Tentunya, pengusaha kuat yang ingin menguasai kehidupan negara ini yang dampaknya bisa menimbulkan ketimpangan, kecemburuan, keresahan dan ketegangan sosial. (Bersambung) Penulis wartawan senior FNN.co.id

Dari Chicago ke Moscow?

By Daniel Mohammad Rosyid Surabaya FNN - Kamis (32/12). Kemarin siang, didampingi beberapa profesor, Menkopolhukam Mahfud MD mengumumkan bahwa FPI telah bubar dan tidak memiliki lagi legal standing, Lalu melarang FPI untuk melakukan berbagai kegiatan yang membuatnya sebuah organisasi yang konon paling berbahaya di Republik ini. Hemat saya, ini upaya putus asa Pemerintah untuk menghentikan sebuah trajectory yg ditempuh rezim ini untuk membawa Republik ini ke jurang kehancuran. Kesalahan ditutup-tutupi dengan kesalahan yang makin besar. Ini sekaligus upaya untuk membelokkan perhatian masyarakat atas skandal pelanggaran HAM berat yg telah dilakukan oleh aparat kepolisian atas 6 laskar FPI baru-baru ini di Ibukota. Saat Wamenkumham Prof. Omar Sharif mengumumkan Surat Keputusan Bersama sekian Menteri dan Kepala lembaga negara dalam rangka menghentikan FPI, saya membaca upaya memindahkan fokus perhatian publik dari kasus Al Capone di Chicago ke Dr. Zhivago di Moscow. Dari kejahatan telanjang nyata ke fiksi roman. Seperti sinyalemen Yudi Latief beberapa waktu lalu, apakah arus besar kedunguan sedang mentsunami Republik ini, sehingga para profesor rela mempertaruhkan kredibilitasnya untuk mengingkari amanat konstitusi ? Sesi pengumuman kemarin siang adalah bukti terbaru maladministrasi publik di mana hukum diciptakan dan ditafsirkan semena-mena untuk kepentingan penguasa, bukan untuk kepentingan publik. Yang tahu plot licik ini adalah Munarman yang segera mendeklarasikan Front Persatuan Islam. Pada saat ormas Facebook beranggotakan 2 milyar lebih pengguna, organisasi di era internet ini semakin menjejaring, dengan struktur yang pipih, horizontal, dengan hubungan antar simpul yang sukarela, lentur, dan dinamis. Yang mengikat anggotanya cuma satu: kesetiaan pada visi yang sama. Persetan dengan legal standing. Penulis adalah Direktur Rosyid College of Arts.

Pembubaran FPI, Penegakan Hukum Tanpa Keadilan

by Sugito Atmopawiro Jakarta, FNN - (Rabu 30/12). Penyelidikan kasus pembunuhan terhadap 6 (enam) laskar FPI oleh polisi pada 7 Desember lalu sudah nyaris terungkap. Kepolisian yang melakukan tindakan membunuh tanpa alasan hukum (unlawful killing) tersebut sebentar lagi akan dinyatakan sebagai pelanggar HAM berat oleh negara. Pelaku dan pemberi perintahnya tentu saja akan dimintakan pertanggungjawaban hukumnya, jika tidak oleh peradilan HAM domestik, ya, seyogyanya oleh peradilan pidana internasional (International Justice Court). Di tengah situasi inilah tindakan pengalihan isu (deception) dilakukan. Tiba-tiba saja tanpa ada angin, kasus sumir dan aneh tahun 2017 yang menimpa HRS kembali digelar. Kasus yang dilatari laporan polisi nomer LP/510/I/2017/PMJ/Ditreskrimsus oleh Jefri Azhar, atas beredarnya percakapan palsu seolah antara FH dan HRS di website bodong, www.baladacintarizieq.com. Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak kasus penembakan lascar FPI, upaya menghentikan Langkah dan kiprah HRS terus dilakukan. Menyusul PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII melayangkan somasi kepada HRS agar segera mengosongkan tanah di Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang kini dimanfaatkan sebagai Pondok Pesantren (Ponpes) Agrokultural Markaz Syariah, dan FPI diwacanakan untuk dibubarkan, kasus chat porno ini pun diungkap lagi. Seluruh permasalahan aneh ini terkait. Sulit dipahami mengapa kemudian HRS sebagai korban fitnah keji justru ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Mei 2017 atas beredarnya konten porno yang dipastikan palsu di website tersebut. Uniknya, HRS dipersangkakan dengan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 32 UU RI No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 atas Perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Norma-norma hukum yang sejatinya dialamatkan kepada pembuat konten dan website tersebut. Penyidikan kasus ini sebenarnya sudah dihentikan oleh penerbitan Surat PErintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Polda Metro Jaya tahun 2018. Alasan pemberhentian penyidian perkara ini karena kasus tersebut tidak mungkin diteruskan jika pelaku pembuat web dan konten porno itu tidak ditemukan polisi. Ironisnya kasus ini dibuka lagi dengan putusan praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan nomor perkara: 151/Pid.Prap/2020/PN.Jkt.Sel. Asal Bisa Menahan HRS Menangkap dan menahan HRS di penjara karena perbuatan menciptakan kerumunan massa di tengah pandemic Covid 19, 10 Desember lalu, tampaknya tidak cukup bagi polisi atau pihak yang menghendakinya. HRS terus dijadikan target dan selalu dicarikan alasan hukum agar bisa tetap di tahanan negara. Penegak hukum tidak lagi peduli apakah dasar dan prosedur hukum penahannya benar atau tidak. Masyarakat yg memahami hukum sebenarnya mudah sekali untuk mencerna kasus ini. Orang akan mudah memahami bahwa cara-cara yang ditempuh untuk menjerat HTS tidak lebih dari sebuah desain aksi dengan menggunakan prosedur hukum formal sehingga terkesan memenuhi aspek legal formal. Polisi berusaha mendapatkan justifikasi, yang seolah-olah dapat dibenarkan menurut hukum, dengan melalui usaha menindaklanjuti laporan dari masyarakat. Padahal para pelapor perkara ini dipastikan karena adanya usaha sengaja untuk membunuh karakter dan hak kebebasan HRS sebagai warga negara. Desain aksi atau rekayasa proses hukum dalam kasus chat porno karya si pembuat website bodong itu semata-mata untuk membangun propaganda di masyarakat agar kredibilitas HRS hancur. Tujuan akhirnya adalah agar langkah dan kiprah HRS, bersama FPI dan diikuti umat Islam simpatisan lainnya, tidak lagi bisa kritis dalam memperjuangkan amar ma'ruf nahi munkar versus kekuasaan. Desain aksi ini berbentuk tindakan seseorang atau sekelompok orang atas inisiatif sendiri, atau diperintahkan, telah membuat situs (website) bodong tanpa penanggungjawab bernama: www.baladacintarizieq.com. Konten dari web tersebut adalah potongan percakapan porno dari aplikasi WA (screenshot) yang dilakukan oleh seorang wanita dan pria. Dalam potongan percakapan porno itu, oleh pengelola web kemudian ditulis bahwa pelaku percakapan adalah HRS dan seorang wanita bernama FH. Seseorang bernama Jefri Azhar kemudian melaporkan HRS ke polisi dengan sangkaan perbuatan melawan UU Pornografi dan UU ITE. Padahal jika menggunakan dasar hukum UU Pornografi dan UU ITE yang benar dan tepat untuk tujuan penegakan hukum, maka sejatinya proses hukum melalu penyelidikan dan penyidikan ditujukan untuk: 1. Polisi terlebih dahulu mengungkapkan, menangkap dan menahan pelaku pembuat website www.baladacintarizieq.com berikut konten-konten pornografi di dalamnya; 2. Kepada pembuat web dan kontennya (uploader) kemudian dimintakan untuk mengklarifikasi kebenaran (otentisitas) konten yang ada pada website tersebut disertai dengan bukti-buktinya; 3. Apabila web dan kontennya adalah palsu maka pelaku pembuat website ini harus dimintai pertanggungjawaban hukum melalui proses peradilan dengan dasar hukum bahwa ia telah melakukan perbuatan pornografi dan penyebaran fitnah melalui dunia maya. Celakanya, apa yang dilakukan polisi justru sebaliknya. Polisi mempertontonkan kenaifan tanpa malu-malu di hadapan publik, yang seolah-olah seluruh warga negara buta hukum sehingga tidak mampu mengidentifikasi proses penegakan hukum yang fair-play. Tidak ada alasan pembenar bilamana subjek hukum yang dimintakan pertanggungjawabannya justru orang yang menjadi korban fitnah oleh web tersebut, yakni HRS. Inilah sebenarnya esensi kasus ini. FPI pun Dibubarkan Tidak cukup sampai disini saja, pada 30 Desember 2020 ini pemerintah pun secara resmi menghentikan kegiatan dan membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI). Keputusan pemberhentian ini tergolong berlebihan dengan Keputusan Bersama Menteri-Menteri Negara, Kapolri, dan Jaksa Agung, yakni Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menkominfo Johnny G Plate, Kapolri Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar dalam SKB Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI. ​Di mata penguasa negara saat ini, tampaknya FPI sangat istimewa sebagai organisasi yang dianggap musuh negara. Dengan berdalihkan, antara lain, FPI memiliki aktivitas yang mengganggu masyarakat dan terbukti terafiliasi dengan ISIS, serta tidak memperpanjang izinnya, menjadi dasar pembubarannya. Kelompok non-Islam anti FPI serta-merta berteriak girang tanda kemenangannya. Mudah-mudahan bubarnya FPI tidak menjadi peluang Gerakan Islamophobia mendapatkan anginnya di negeri ini. ​Apa pun alasannya, tampak sekali bahwa pemerintah mengambil langkah komprehensif untuk menghabisi setiap potensi kekuatan yang dimiliki HRS dalam menjalankan kegiatan mengontrol pemerintahan. Dengan bubarnya FPI dipersepsikan bahwa HRS tidak memiliki kendaraan yang terorganisir lagi dalam memobilisasi massa. Sayangnya, pemerintah melupakan satu hal, bahwa ketidakadilan dalam praktek penyelenggaraan negara dan penegakan hukum tidak sekedar berhadapan dengan FPI. Pesan Sederhana Apa yang bisa disampaikan disini adalah bahwa langkah penegakan hukum terhadap HRS ini sama sekali di luar nalar hukum dan kebenaran objektif. Polisi dengan senyatanya tidak lagi peduli dengan kebenaran materiil dan sebagainya, oleh karena tujuan sebenarnya adalah menangkap dan menahan HRS. Kasus demi kasus ini sebenarnya menjadi contoh bagi publik bahwa betapa kepolisian merupakan institusi negara yang bertindak dengan memaksakan kehendak dalam menjerat seorang warga negara agar dapat dipidana, sekali pun tanpa perbuatan melawan hukum. Kepolisian melakukan tindakan menghukum tanpa prosedur hukum yang benar (due process of law) sehingga mengingkari tujuan penegakan hukum itu sendiri, yakni kepastian hukum dan keadilan. Pertanyaannya, untuk apa penegakan hukum tanpa keadilan? Mubazir! Semua orang kini menyadari bahwa pesan di balik kasus ini sangatlah sederhana. Siapa pun yang memiliki kaliber seperti HRS, memiliki pengikut besar, dapat mempengaruhi persepsi publik untuk mendelegitimasi penguasa, akan bernasib sama dengan HRS. Hukum hanya dijadikan alat legal formal untuk mensahkan perampasan hak asasi warga negara yang selalu berekspresi menyerukan ketidakadikan negara. Siapa pun memahami pula bahwa tiada gunanya menegakkan hukum dengan cara memelintir hukum dan menghasilkan ketidakadilan. Jika fenomena ini terus berlangsung maka hukum tidak lagi ditujukan untuk menciptakan ketertiban sosial melainkan akan berujung pada kekacauan.* Penulis adalah Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab.

Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (3)

By Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (30/12). Kalau memang proyektil dan selongsong peluru yang ditemukan Komnas HAM adalah yang dipakai menembak 6 Laskar FPI, dalam uji balistik nanti juga bisa mengarahkan jenis senjata yang dipakai si penembaknya dan dari satuan atau unit apa. Dari sini pula akan diketahui siapa nama pemegang senjatanya. Pertanyaannya sekarang ini, beranikah Komnas HAM tanya sampai sedetail itu kepada Bareskrim Polri? Jika tidak berani menanyakannya, sebaiknya hentikan saja penyelidikannya! Karena semua yang dilakukannya selama ini akan sia-sia dan tak berguna lagi. Proyektil dan selongsong peluru itu menjadi pintu masuk untuk membuka tabir penembakan 6 laskar FPI yang saat itu mengawal Rombongan Habib Rizieq Shihab. Pasalnya, ada kejanggalan tindakan polisi di TKP, terutama di Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Setidaknya, hal itu berdasarkan sumber saksi di TKP yang diliput Edy Mulyadi, wartawan FNN.co.id yang tayang juga di Bang Edy Channel. Termasuk dari hasil liputan dan investigasi Majalah TEMPO. Aparat kepolisian sejak sore sudah berada di sekitar TKP dengan banyak kendaraan dan diantaranya kendaraan patroli kepolisian berseragam resmi. Ini seolah sudah direncanakan untuk melakukan penyergapan terhadap rombongan kendaraan HRS yang akan lewat di Tol Japek. Karena, berkumpulnya mereka di situ tidak dalam rangka ada pengamanan pengguna jalan tol secara umum. Dengan kata lain, besar kemungkinan telah ada rencana penyergapan rombongan HRS yang lebih dahulu telah diselidiki lebih dahulu bahwa HRS akan lewat di jalan itu. *Kesaksian* Seperti diketahui, lokasi KM 50 itu biasa menjadi lokasi penyergapan para teroris, bandar narkoba, dan lain-lain seperti dijelaskan saksi kepada Bang Edy Channel maupun TEMPO. Apalagi, polisi yang berada di lokasi itu berpakaian preman, tidak berpakaian dinas, sehingga pihak rombongan HRS tak mengenali jika mereka adalah polisi. Sesuai rilis FPI, sehingga semula menyebutnya sebagai OTK oleh pihak rombongan HRS. Seandainya mereka berpakaian dinas dan tujuannya hanya pengamanan biasa tentu pada saat rombongan HRS lewat, polisi memberi tanda sirine kendaraan, sehingga dikenali kendaraan umum termasuk rombongan HRS “sebagai polisi yang sedang patroli”. Tetapi dalam kasus ini mereka menguntit berpakaian preman dan menghadang rombongan HRS dengan senjata laras panjang dan pistol, sebagaimana pengakuan saksi di TKP. Polisi tidak menunjukkan indentitas diri sebagai aparat. Masih berdasarkan keterangan saksi di TKP yang melihat kejadian itu, hanya 2 letusan yang terdengar dan kenyataannya ada 2 laskar tertembak yang setengah jam kemudian dibawa ke mobil ambulan. Sementara, 4 laskar lainnya yang dibawa polisi dengan kendaraan lain dalam kondisi masih hidup. Artinya, saat itu tidak terjadi tembak menembak di TKP atau korban lebih dahulu menembak polisi sebab jika ada tentu akan sangat banyak suara tembakan dan bisa saja peluru ke mana-mana. Jika hal ini benar, maka korban sesungguhnya tidak punya senjata api karena tidak ada balasan tembakan dari korban ke arah polisi. Jika kemudian dalam jumpa pers polisi menunjukkan pistol rakitan, seharusnya di TKP tentu ditemukan proyektil yang ditembakkan oleh korban untuk menyerang polisi, namun ternyata tidak ada satupun korban di pihak polisi. Menjadi pertanyaan, dari mana polisi mendapatkan pistol yang diklaim sebagai barang bukti tersebut? Ataukah memang telah dipersiapkan sebagai alibi seolah korban membawa senjata dan menyerang polisi? Yang perlu diingat dan dicatat, selain jasad laskar yang tewas itu bisa bicara, TKP bisa juga bicara dan menjadi petunjuk kalau memang ada saksi yang melihat. Tapi, berdasarkan keterangan Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imrn di Polda Metro Jaya, Senin (7/12/2020), “Tidak ada anggota yang terluka.” Kerugian hanya materil. Kendaraan anggota rusak karena dipepet dan ditembaki. Jelas, hal ini tidak sinkron dengan peristiwa di TKP sebagaimana telah dijelaskan di atas, karena jelas tidak ada tembak-menembak. Ada beberapa saksi yang melihat langsung. Terkait kendaraan yang dikatakan rusak, rasanya juga agak aneh. Bagaimana kaca mobil polisi bisa tertembak, sedangkan korban sendiri tidak punya senjata, apalagi jika ditembaknya seolah mobil korban berada di depan. Sebab, kaca mobil yang tertembak itu kaca depan, bukan kaca belakang. Apalagi, titik sudut tembak pun janggal. Karena bekas peluru di dalam mobil mengarah ke bawah, tepatnya dekat handle kopling. Ini berarti kaca mobil sengaja ditembak sambil berdiri tepat di depan mobil. Apakah mungkin korban berdiri depan mobil polisi? Jika dicermati pada kendaraan polisi yang tertembak, ini tidak terkesan kendaraantersebut dipepet oleh kendaraan pengawal HRS, apalagi berbenturan. Sebab jika terjadi benturan dengan kecepatan cukup tinggi, meski disrempet tentu akibatnya cukup fatal, bahkan bisa hilang kendali. Tetapi yang terlihat pada kendaraan polisi tidak parah, hanya sedikit penyok, itu pun posisinya di atas dekat spion, bukan serudukan dari bawah. Ini juga jadi memperkuat dugaan bahwa tembakan kaca depan di mobil polisi tambah janggal. Seharusnya, jika memang ada tembak-menembak tentu saja sopir polisi bakal ditembak dari sisi kanan ketika dipepet, bukannya malah di depan kaca. Seharusnya kaca samping sopir yang tertembak! Dari kondisi fisik mobil polisi inipun sudah berbicara faktanya. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, bahwa yang terjadi itu hanya “tembak-tembakan”, bukan tembak-menembak! Secara umum setiap kejadian kriminal seringkali akan ada prosedur olah TKP dan garis polisi di lokasi. Namun kenyataannya itu tidak dilakukan polisi. Bahkan, setelah membawa korban mereka langsung meninggalkan TKP dan ini pelanggaran prosedur kepolisian! (Bersambung) Penulis wartawan senior FNN.co.id

Kalau Pembunuhan KM-50 Tak Diungkap, “Dark Forces” Akan Menjadi-jadi

by Asyari Usman Medan FNN - Senin (28/12). Kartel-kartel narkoba sangat berkuasa di Meksiko. Mereka “boleh” membunuh siapa saja yang mereka inginkan. Tanpa bisa diungkap oleh penegak hukum. Mereka, kartel-kartel itu, bagaikan memiliki negara masing-masing di dalam wilayah Meksiko. Dalam bentuk yang berbeda, Indonesia berkemungkinan akan menjadi ajang kesewenangan model kartel Meksiko itu. Bakal berlangsung pembunuhan di mana-mana. Sewenang-wenang. Tanpa bisa dibawa ke ranah hukum. Na’uzubillah, ‘God forbids’. Kapan itu bisa terjadi? Jawabannya: kalau pembunuhan KM-50 tidak diungkap secara tuntas dan transparan, baik oleh instansi-instansi pemerintah maupun oleh tim pencari fakta independen (TPFI). Pembunuhan 6 anggota FPI pada 7 Desember 2020 diakui oleh Polda Metro Jaya sebagai tindakan aparat kepolisian. Bisakah dipercaya? Wallahu a’lam. Terlalu sarat memori manusia Indonesia ini dengan rekayasa kasus dan rekayasa peradilan. Kepolisian tampak gagap ketika menjelaskan kronologi pembunuhan KM-50. Polisi tak siap dan tak sigap menjelaskan kronologi “yang baik dan benar” –meminjam slogan pengajaran bahasa Indonesia. Sehingga, dari jam ke jam, dari hari ke hari, penjelasan itu tidak konsisten. Intinya, tragedi pembunuhan KM-50 penuh dengan penjelasan yang meragukan akal sehat. Pada titik inilah pikiran menerawang ke situasi di Meksiko. Di negara yang terkenal dengan kartel-kartel narkoba yang sangat kuat itu, pembunuhan terhadap siapa pun bisa terjadi kapan pun dan di mana pun. Kartel-kartel itu mempunyai “dark forces” atau “pasukan hitam” alias “pasukan siluman”. Yang beroperasi sesuka hati mereka tanpa bisa disentuh hukum. Sangat menakutkan. Publik di negara ini wajar merasa gelisah. Gelisah terhadap kemungkinan pembunuhan sewenang-wenang ala kartel Meksiko akan teradopsi dan terbawa ke sini. Gelisah, jangan-jangan akan terjadi lagi pembunuhan yang tidak bisa atau ‘tidak boleh’ diungkap secara transparan. Karena itu, pembunuhan KM-50 harus diusut terang-benderang. Cara yang terbaik adalah dengan membentuk TPFI. Tim ini akan melibatkan banyak pihak sehingga kecil kemungkinan bisa diarahkan untuk merugikan pihak tertentu. Tetapi, sayangnya, Presiden Jokowi tidak setuju. Dia mempercayakan penyelidikan pembunuhan KM-50 kepada Kepolisian dan Kejaksaan. Menurut Jokowi, masyarakat bisa mengadu ke Komnas HAM jika ada masalah. Sedangkan publik mendesak agar penyelidikan dilakukan oleh TPFI. Masyarakat tak percaya kalau pengusutan dilakukan oleh pihak yang tidak independen. Sangat mengherankan mengapa Pak Jokowi tak setuju penyelidikan yang dipercaya oleh masyarakat? Tak mungkin rasanya Presiden menghadapi tekanan. Dan tak mungkin pula Presiden harus melindungi pihak tertentu. Kembali ke “dark forces”, sangat lumrah “pasukan siluman” itu dimiliki oleh para penguasa yang memegang posisi kuat. Bisa juga “pasukan hitam” itu peliharaan oligarkhi yang punya kekuatan finansial besar. Itu tidak boleh terjadi di Indonesia. Namun, belakangan ini gelagat ke arah ini semakin jelas. Misalnya, sudah sering beredar rekaman video yang menunjukkan orang-orang tertentu bisa mendapakan pengawalan dari berbagai satuan keamanan. Yang melibatkan anggota kepolisian dan militer. Ada kejadian orang sipil jogging di Bali dengan pengawalan patrol-patwal polisi. Tak lama kemudian, orang yang sama sedang wisata alam dengan pengawalan oknum tentara. Ada pula pasangan selebriti yang berpacaran dengan pengawalan sejumlah prajurit. Sebelum itu, beredar pula video yang menunjukkan seorang warga sipil menggunakan mobil yang berplat militer. Ini bisa dilihat sebagai “symptom” (gejala) menuju “pasukan siluman”. Jika dibiarkan, maka dalam waktu tak terlalu lama kita mungkin akan dilanda tindak kekerasan, pembunuhan sewenang-wenang, dlsb. Yang akan dilakukan oleh satuan-satuan bersenjata di bawah kendali berbagai pihak seperti ‘splinter group’ di berbagai instansi penegak hukum. Bisa jadi nanti ada “pasukan siluman” bentukan lembaga intelijen. Atau yang dipelihara oleh para oligarkhi bisnis, bandar narkoba, mafioso impor, mafioso proyek, hingga para eksekutor bayaran (mercenary). Jadi, para wakil rakyat yang masih lurus dan kekuatan sipil harus mencegah kemungkinan “dark forces” menjadikan pembunuhan 6 anggota FPI sebagai ujicoba reaksi publik. Mereka akan mengamati apakah tekanan publik akan berhasil, atau tidak, untuk membongkar pembunuhan itu secara transparan. Kalau pembunuhan KM-50 tidak bisa diusut karena intimidasi, maka operasi “dark forces” bisa semakin menjadi-jadi di masa depan. (Penulis wartawan senior fnn.co.id)

Pemurtadan Dan Penistaan Agama

by M Rizal Fadillah Bandung FNN – Ahad (27/12). Viral video dua orang, laki-laki dan wanita, di sebelah pohon natal sebuah gereja dalam acara "Natal Bersama Kultum 2020" membacakan ayat Qur'an dan terjemahannya. Akan tetapi ternyata ayat-ayat yang dibaca dan diterjemahkan tersebut bercampur dengan Bible dan merusak makna sebenarnya ayat Qur'an. Diragukan bahwa pembaca Qur'an berpeci adalah muslim. Awalnya yang dibaca adalah Qur’an Surat Maryam, ayat 19-21. Akan tetapi calaknya lagi, sambungannya seolah-olah ayat Qur'an. Padahal yang dibaca adalah ayat Bible Yohanes 14:6 yang diarabkan. Bunyi lengkapnya yang diarabkan adalah "Qaala lahu yasuu'u ana huwath thoriiqu wal haqqu wal hayaatu laisa ahadun ya'tii ilaal abi illa bii. Artinya, kata Yesus kepadanya, "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku". Luar bisa pengecohannya. Dengan langgam membaca Qur'an mereka mensinkretiskan Qur'an dengan Bible. Seolah-olah hai ini merupakan wujud dari toleransi keagamaan. Padahal disadari atau tidak, ini adalah penodaan agama yang dapat dilaporkan sebagai nyata-nyata pelanggaran hukum. Pasal 156 a KUHP dapat dikenakan pada pelaku maupun pembuat skenarionya. Kasus demikian bisa terjadi akibat kekacauan yang dilakukan oleh sebagian komunitas umat Islam sendiri. Toleransi yang salah kaprah, yaitu mencampuradukan ajaran. Mulai dari ceramah natal oleh mubaligh, kolaborasi bernyanyi muslim dan kristiani di gereja, qashidah dengan joget sinterklas, adzan di gereja. Ada juga bagi-bagi tumpeng santri di acara gerejani, hingga Menteri Agama yang demonstratif memberi wejangan dan ucapan Natal. Bahkan ada film yang dinilai mengada-ada. Kader ormas yang sedang menjaga gereja mencurigai ada bom saat acara misa umat kristiani di gereja. Lalu heboh, dan secara "heroik dan demonstatif" ia membawa bom itu keluar dan meledaklah di tangannya. Duuar...lebaay. Harus ada rekonstruksi makna toleransi yang sebenarnya. Karena saat ini telah menciptakan kekacauan dalam pemahaman keagamaan. Toleransi seharusnya bukan untuk saling mencampuri dalam soal pelaksanaan ibadah keagamaan masing-masing agama. Toleransi adalah memahami dan menghargai perbedaan atas keyakinan masing-masing agama. Lebih dari itu, saling menghormati keyakinan masing-masing. Tidak lebih dari itu. Menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing agama adalah wujud dari sikpa teloransi yang paling tinggi dan bergensi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita yang majemuk. Umat Islam selalu dipojokkan sebagai umat yang intoleran. Sehingga merasa perlu harus merendahkan diri pada umat lain dengan sikap yang bukan saja melanggar syariat, tetapi juga akidah. Pemerintah semestinya mengubah kebijakan keumatan. Kementerian Agama harus menjadi penanggungjawab untuk menstabilkan relasi keagamaan umat Islam. Hanya semakin skeptis dan pesimis saja melihatnya. Sebab ternyata Menteri Agama hasil reshuffle saat ini justru diduga menjadi bagian dari kekacauan faham dan relasi keagamaan ini. Semoga ada perubahan sikap, agar wajah umat mayoritas ini tidak semakin muram. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Keagamaan.

PTPN VIII Bisa Menjadi Tertuduh, Jika Terbukti Telantarkan Lahan

PTPN VIII vs Pesantren Agrokultural Markas Syariah (HRS) sebuah pendekatan Normatif. by Maiyasyak Johan Bogor FNN - Sabtu (26/12). Somasi PTPN VIII kepada pihak Pesantren Agrokultural markas Syariah (HRS), telah membuat masyarakat luas tersentak - dan setuju atau tidak, pendekatan politik pun tak terhindarkan. Terlepas dari itu semua, secara formal hingga saat ini Indonesia masih merupakan negara hukum, karena itu kita harus melihat sengketa antara PTPN VIII dengan Pihak Pesantren ic HRS dari sisi hukum. Dari aspek hukum perdata, kedudukan dari Pihak Pesantren/HRS bisa disebut sebagai “Pihak pembeli yang beritikad baik”. Dikatakan sebagai pihak pembeli yang beritikad baik karena peralihan hak dari pihak yang mengaku sebagai pemilik. Dan itu sudah berlangsung lama, setidaknya sejak transaksi peralihan hak dari yang mengaku sebagai pemilik dengan pihak Pesantren/HRS. - sementara pihak PTPN VIII menjelaskan sejak tahun 2013. Yang membuat publik bertanya adalah dari tahun 2013 hingga saat ini, terutama kita bangunan fisik pesantren dilakukan pihak PTPN di mana? Pertanyaan ini mengajak kita mundur ke belakang, sejak tahun berapa pihak-pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/HRS menguasai tanah tersebut? Bisa jadi tanah itu merupakan HGU dari PTPN - tetapi telah ditelantarkan dan dikuasai oleh masyarakat termasuk beberapa pejabat. Dan pihak pesantren/HRS membeli dari mereka. Secara teoritis dan normatif di sini ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bahwa komplain pihak PTPN VIII telah lewat waktu (kadaluwarsa); kemungkinan kedua, menurut hukum acara seharusnya pihak PTPN VIII mengajukan komplain baik pidana atau perdata kepada pihak yang menjual tanah tersebut kepada pihak pesantren/HRS. Karena pihak pesantren/dengan diketahui semua aparat dari mulai kepala desa hingga gubernur membeli tanah tersebut dari pihak lain, yang mengaku dan menerangkan tanah tersebut miliknya. Pengakuan itu dibenarkan oleh pejabat-pejabat yang terkait yang mengetahui dan memproses administrasi peralihan hak atas tanah tersebut. Dari uraian di atas, maka, secara hukum, dilihat dari aspek hukum perdata dan hukum acara perdata PTPN VIII keliru dan tidak memiliki alasan hukum untuk meminta pihak HRS Mengosongkan lahan tersebut. Kecuali ada putusan pengadilan Yang berkekuatan tetap yang memutuskan bahwa kedudukan Pihak Pesantren/HRS sebagai pembeli beritikad baik dibatalkan. Dengan kata lain, Somasi tersebut prematur serta salah pihak. Dari aspek hukum pidana, pihak PTPN VIII harus menyadari bahwa posisi hukumnya saat ini adalah ada sengketa kepemilikan antara PTPN VIII dengan HRS. Sengketa itu berdiri di atas klaim Yang sah. PTPN mengaku itu tanah merupakan bagian dari HGU miliknya, dan Pihak Pesantren/HRS mengaku itu juga miliknya yang diperoleh secara sah dan halal dari pihak Yang mengaku sbg pemilik tanah tersebut. Berdasarkan ketentuan pasal 81 Kitab Undang undang Hukum Pidana, penyidik tidak dapat melakukan proses pidana dengan tuduhan menguasai hak orang lain, sebelum ada keputusan hukum yang menyatakan tanah itu milik siapa. Dan harus diingat, pihak PTPN VIII juga bisa menjadi pihak yang potensial tertuduh bila terbukti telah lalai menjalankan kewajibannya menjaga serta memelihara aset negara sehingga dikuasai pihak lain bahkan mengalihkannya kepada pihak lainnya, dalam hal ini pihak pesantren/HRS. Begitulah saya memandang kasusnya menurut hukum perdata, hukum acara perdata dan hukum pidana khususnya pasal 81 KUHP. Ini bila kita sepakat bahwa ini masalah hukum dan akan diselesaikan menurut hukum. Selain kita juga tahu siapa pihak yang mestinya dikejar oleh PTPN VIII secara hukum, ternyata bukan Pesantren/HRS. Bila bukan lewat mekanisme hukum, tentu itu jadi aneh dan luar biasa. Penulis adalah praktisi hukum.

Di Mana Hati Nurani dan Pancasilamu?

by Naniek S. Deyang Jakarta FNN - Jumat (25/12). Masih ingat tulisan saya soal aset-aset tanah yang kini dalam genggaman konglomerat dengan alasan BOT (build on transfer) setelah 20-30 tahun akan dikembalikan, tapi nyatanya juga belum ada yang mengembalikan dll, yang nyatanya terus diperpanjang. Padahal letaknya strategis seperti di segitiga emas Jakarta atau di sekitar Senayan? Lalu ada juga lahan-lahan punya PTPN, Perhutani, Yayasan TNI, Departemen,dll yang juga dipakai konglomerat dengan alasan yang sama atau alasan tukar guling. Saya mau tanya itu kawasan industri dari mulai Cikarang sampai Purwakarta yang dimiliki para konglomerat tanah siapa? Lalu perumahan Sentul itu juga tadinya punya siapa? Kemudian Patal Senayan yang sekarang jadi kawasan bisnis itu juga dulu tanah siapa? SCBD juga tanah siapa dulunya? Bagaimana dengan mudahnya mereka menguasai tanah -tanah itu dengan alasan tukar guling? Siapa yang mengaudit tanah- tanah itu dan dipastikan tukarnya dalam posisi imbang? Kalau dijual apakah duitnya benar masuk negara, BUMN atau Yayasan? Siapa penguasa tanah -tanah negara baik dalam bentuk HGU (hak guna usaha) dan HGB (hak guna bangunan), dan nyatanya kepemilikan itu terus berulang -ulang diperpanjang, hingga seperti sudah menjadi milik sang konglomerat, bahkan satu konglomerat bisa menguasai hingga 7 juta hektar? Lalu ada seorang ulama bikin Ponpes dan Masjid, dimana Ponpesnya menggratiskan siapapun yang mondok dari mulai makan sampai biaya pendidikan , dan masjidnya menjadi gudang ilmu karena di dinding masjid itu semua dipenuhi buku-buku, bukan hanya buku agama tapi buku-buku pengetahuan umum. Di pondok itu juga ada pendidikan konservasi lahan, bercocok tanah, berkebun dan beternak untuk para santrinya. Dan satu hal, di pondok itu BENDERA MERAH PUTIH berkibar sepanjang hari dan sepanjang tahun. Lalu sekarang lokasi tanah yang hanya berapa hektar untuk Ponpes dan Masjid itu akan diminta PTPN dengan alasan milik PTPN. Padahal sebelum dipakai sang Imam, tanah itu sudah 30 tahun digarap para petani dan Sang Imam tidak gratis dalam memperoleh tanah tersebut, tapi membeli dari petani penggarap lahan. Saya tidak dalam rangka membela Ponpes atau sang Imam Besar, saya hanya bertanya di mana letak keadilan itu bila konglomerat boleh menggunakan tanah negara seenaknya, bahkan gak dibalik-balikin, tapi ini ada manusia kebetulan namanya Imam Besar itu dan digunakan untuk pendidikan para santri kok sekarang diminta paksa tanahnya? Apalagi tanah itu diperoleh tidak gratis! Sekali lagi sebagai rakyat saya hanya bertanya, karena melihat yang demikian tidak adil dan manusiawi. Oh ya di pondok itu anak-anak santri nggak cuman belajar agama, tapi belajar pendidikan umum seperti Matematika, Fisika dll dan itu porsinya 60 persen. Demi Allah saya bersaksi karena saya termasuk yang berkali - kali melihat pendidikan di sana, di pondok itu tidak diajarin anak-anak menjadi teroris, tapi menjadi insan yang mencintai agama, bangsa dan negara Indonesia.😭 Guru-guru yang rumahnya jauh dibuatkan rumah-rumah sederhana di pondokan tersebut. Rumah sang Imam sendiri hanya sebuah bangunan ecek-ecek seluas 8x10 meter. Jauh dari gambaran keren apalagi mewah. Namun santri-santri yang makan gratis itu setiap hari tidak pernah hanya makan berlauk tempe, dan sayur saja, tetapi berlauk penuh gizi dan dikontrol langsung sang Imam, saat dulu beliau belum dibuat pergi ke Mekkah. Uang hasil ceramah bila dikasih pengundang semua diberikan Sang Imam untuk memenuhi gizi atau memberi makan para santrinya. Apakah manusia seperti ini memang layak terus dimusuhi ya? Penulis wartawan senior FNN.co.id