AGAMA

Menag Yaqut Bikin Blunder, Perlu Dikoreksi

by Ubedillah Badrun Jakarta FNN – Jum’at (25/12). Secara sosiologis politik, pernyataan Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas saya kira perlu dikoreksi. Bila tidak, bisa menimbulkan kekeliruan tafsir, bahkan salah paham di masyarakat. Ada dua narasi pernyataan Menag Yaqut yang perlu dikoreksi. Pertama, pernyataan Menag Yaqut bahwa agama sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Bahwa agama sebagai inspirasi, itu benar. Sebab agama telah memberi inspirasi kepada banyak umat manusia di muka bumi ini untuk berubah dalam membangun peradabanya. Peradaban yang semula jahiliyah (tidak beragama) berubah kepada peradaban Ilyahiyah (bersumber dari wahyu). Namun ketika Menag Yaqut mengatakan bahwa agama jangan dijadikan sebagai aspirasi, maka itu muncul masalah baru. Sebab Menag Yaqut telah mengabaikan fakta sosiologis politik bahwa Indonesia pada titik tertentu, demi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia, baik kini maupun di masa depan, agama perlu menjadi sandaran penting bagi pengusaha untuk membuat keputusan. Nilai-nilai agama justru penting disampaikan sebagai aspirasi untuk para penguasa dalam mengambil keputusan terbaik demi kemajuan masyarakat. Itulah sebabnya bermunculan partai-partai politik nasional yang berbasis pada masyarakat Islam seperti Pertai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan basis Nahadatul Ulama dan Partai Amanat Nasional (PAN), dengan basis Muhammadiyah. Tidak cukup sampai di situ saja. Ada juga partai-partai politik yang berbasis pada masa, dan sekaligus pemikiran pemikiran-pemikiran substantif Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Kedua aliran pertai politik yang berbasis pada masa Islam ini, sama-sama dalam bingkai ke-Indonesiaan. Keputusan Presiden Jokowi untuk memilih dan mengangkat Gus Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama, itu menjadi bukti bahwa agama sebagai aspirasi. Mengapa bukan pendeta Jacob Nahuway atau Romo Magnis Susena yang dipercaya menjadi Menteri Agama? Atau mengapa Menteri Agama bukan dari Muhammadiyah, tetapi dari Nahdatul Ulama? Karena ini soal representasi agama. Dengan demikian, itu juga soal agama sebagai aspirasi. Kedua, pernyataan bahwa Menag Yaqut akan melindungi minoritas Syiah dan Ahmadiyah. Jika maksud untuk melindungi itu dimaknai sebagai perlindungan atas hak-hak asasi sebagai warga negara, maka itu sudah menjadi kewajiban negara. Kontitusi UUD 1945 mewajibkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Dengan demikian, negara wajib untuk melindungi siapapun warga negara Indonesia. Tanpa ada pengcualian. Tetapi jika yang dimaksud Menag Yaqut adalah membatalkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang aliran sesat yang dianut oleh Syiah dan Ahmadiyah, maka pernyataan Menag Yaqut adalah keliru. Bahkan bisa dibilang sangat keliru. Sebab itu berarti Menaq Yaqut sepertinya mulai menabuh genderang perang dengan Majelis Ulama Indonesia. Menag Yaqut nampak sepertinya tidak bisa membedakan, bahkan tidak dapat melihat posisi individu sebagai warga negara dengan segala hak-hak politiknya yang harus dilindungi di satu sisi, dan posisi otoritas ulama dalam memutuskan perkara Islam dan aliran yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pokok dalam Islam di sisi lain. Menag Yaqut tampak kabur dan buram membedakan dua masalah ini, yaitu hak warga negara dan posisi MUI sebagai lembaga resmi negara yang menafsir aliran sesat dalam Islam. Pernyataan Menag Yaqut ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru. Nampak terlalu cepat Menag Yakut membuat konfrontasi. Ini akan menimbulkan persoalan baru dalam hubungan umat Islam dengan pemerintah. Semestinya hari-hari awal awal bertugas sebagai Menag ini, Gus Yaqut menampilkan keteduhan dan kesejukan dalam kepemimpinan dulu. Misalnya, merangkul semua golongan dalam masyarakat. Baik itu yang mayoritas, maupun yang minoritas. Bukan malah menabuh genderang konfrontasi. Ada baiknya Gus Yakut erlu belajar banyak dari kegagalan Menag sebelumnya Fakhrul Rozi. Penulis adalah Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta.

Menag Yaqut Qoumas Buat Susah Orang Syiah dan Ahmadiyah

by Asyari Usman Medan FNN - Jumat (25/12). Bisa dipahami tujuan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ketika dia mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah akan melakukan afirmasi (pembelaan) untuk orang Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Tujuannya ialah untuk menyenangkan mereka. Agar mereka bisa leluasa mendakwahkan ajaran sesat, dan agar mereka terlindungi dalam memperkuat kegiatan untuk mencelakan umat. Itu tujuan Yaqut. Mungkin tujuan ini dianggap “mulia” oleh Pak Menteri. Tetapi, Pak Yaqut lupa bahwa pernyataan terbuka seperti itu malah akan membuat orang Syiah dan Ahmadiyah menjadi susah. Mengapa menyusahkan? Karena dengan pernyataan tentang afirmasi itu, Pak Yaqut membangunkan umat Islam. Umat tersentak melihat bahaya penyesatan aqidah yang bakal dilakukan orang Syiah dan Ahmadiyah. Umat Islam akan teringat lagi dengan ancaman kesesatan Syiah dan Ahmadiyah. Pastilah umat yang sudah sarat dengan berbagai tekanan dan ancaman itu akan melakukan upaya untuk menghadapi keleluasaan baru yang diberikan oleh Pak Menteri kepada Syiah dan Ahmadiyah. Untuk itu, kaum muslimin malah akan berterima kasih kepada Pak Yaqut. Karena beliau telah mengingatkan kembali umat mengenai kegiatan ajaran sesat yang akan semakin leluasa. Lantas, apakah Pak Yaqut tidak tahu bahwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) plus NU, Muhammadiyah, dan ormas-ormas Islam lainnya sudah menegaskan bahwa kedua sekte itu sesat? Rasanya tidak mungkin. Beliau harusnya tahu. Kalau tidak tahu, tak mungkin soal Syiah dan Ahmadiyah menjadi prioritas kerjanya. Nah, bagaimana kira-kira reaksi kaum muslimin yang bakal “dipaksa” memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk mendakwahkan ajaran sesat kedua sekte itu? Tampaknya, di tengah situasi yang “pressurizing” (menekan) hari-hari ini, umat akan mencerna dulu tindakan afirmasi versi Yaqut itu. Bisa dibayangkan bahwa umat merasa Pak Yaqut melakukan ‘fait accompli’ agar kaum muslimin menerima ajaran sesat. Pak Menteri tentu ingin menunjukkan kepada boss beliau bahwa sekte Syiah dan Ahmadiyah bisa “diterima” kaum muslimin. Yaqut berjanji akan memfasilitasi dialog intensif agar kedua sekte itu “dipahami” umat. Tetapi, Pak Menag mestinya ingat bahwa kesesatan Syiah dan Ahmadiyah bukan isu perbedaan (khilafiyah) di internal ahlussunah wal jamaah. Perbedaan itu sangat fundamental. Yaitu soal rukun iman. Yang tidak akan pernah bisa diharmonisasikan di satu ruangan. Tidak mungkin bisa paralel karena persoalannya senantiasa frontal. Tetapi, kalau sekadar mempertemukan kedua pihak dalam bingkai kemanusiaan, masih mungkin dilakukan. Pak Menag bisa memprakarsai dialog yang bersisi kemanusiaan. Sebagaimana dialog umat Islam dengan umat-umat agama lainnya. Tidak ada masalah. Namun, untuk mendapatkan pengakuan dari umat bahwa Syiah dan Ahmadiyah adalah bagian dari Islam yang berpedoman pada al-Quran dan Hadith, boleh dikatakan mustahil. Sebab, kedua pihak sebenarnya sudah paham tentang perbedaan yang mendasar itu. Sudah berlangsung ratusan tahun. Jadi, lebih baik Pak Menteri tidak usah mengutak-atik isu ini agar kaum muslimin menerima kesesatan kedua ajaran tsb. Upaya beliau malah akan merepotkan semua pihak. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Paniknya Kekuasaan Menurut Al-Quran Shamsi Ali

by Shamsi Ali Macazzart FNN - Selasa (22/12/20). Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan, baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis. Al-Quran sendiri penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah. Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang. Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Quran adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter “ketakwaan”. Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (Al-Haq), kejujuran (al-amanah), dan keadilan (al-adl). Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter “fujuur” (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidak jujuran dan kebohongan, ketidak adilan (kezholiman), bahkan kekejaman dan kebiadaban. Lalu menurut sejarah juga Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan fujuur (Korup) itu. Musa AS diutus kepada Fir’aun, Ibrahim AS kepada Namrud, dan seterusnya. Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup itu. Bahkan sering terjadi pembungkaman, represi bahkan eliminasi (pembunuhan). Ada dengan cara kasar dan terbuka. Tidak jarang juga dengan senyuman, bahkan keluguan. Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezholiman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya terkadang bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justeru justeru karena kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan. Kapan dan kenapa Fir’aun tenggelam di laut Merah (Red Sea?). Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk? Kapan dan kenapa Tsamud binasa? Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zholim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya? Al-Quran memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zholim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzholimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi. Di saat-saat seperti itulah tabir samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushroh” samawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia. Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justeru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Ini yang dikenal dalam istilah Al-Quran dengan “al-istidraaj”. Fir’aun misalnya diingatkan berkali-kali dengan berbagai bentuk peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut merah. Tenggelamnya Fir’aun menjadi indikasi langsung bahwa kekuasaan itu, sekuat apapun, jika kehilangan amanah dan keadilan akan tenggelam. Bisa secara fisik. Boleh juga secara non fisik. Secara fisik mungkin dengan terjungkalnya sang penguasa. Boleh juga tenggelam secara popularitas dan kecintaan publik. Yang pada akhirnya dibenci oleh rakyatnya sebenci-bencinya. Karakter Fir’aun yang keras kepala di hadapan berbagai peringatan mengindikasikan bahwa harapan untuk penguasa zholim berubah itu sangat kecil. Apalagi jika penguasa itu dikelilingi oleh berbagai pihak yang memang kuat dan punya kepentingan. Fir’aun misalnya dikelilingi oleh Haman sang penjilat kekuasaan dan Qarun yang memiliki kepentingan ekonomi. Dalam situasi seperti itu hanya intervensi Ilahi yang diharapkan. Dengan rintihan dan doa-doa tulus dari mereka yang “mahzluumiin” (terzholimi) Allah akan membuka pintu langit dengan ta’yiid (penguatan) dan “nashrun” (pertolongan) untuk mereka. Hal yang harusnya disadari oleh semua kalangan adalah bahwa kezholiman penguasa terhadap rakyat kecil adalah jalan kebencanaan yang besar bagi sebuah bangsa. Karena rakyat adalah “ra’iyah” (terjaga atau terlindungi) yang seharusnya memang dijaga, digembala, diurus, diperhatikan. Bukan ditekan, disemena-seme akan, dan ditelantarka demi kelanggenan kekuasaan itu sendiri. Hanya saja, memang kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan akan berbuat apa saja, bahkan terkadang di luar nalar atau logika sehat manusia untuk mempertahankan kekuasaannya. terkadang rasa malu itu menjadi semakian kecil. Kebohongan, sandiwara, tipuan, dan tidak jarang urusan rakyat banyak dijadikan “mainan” demi kepentingan semata. Sebaliknya upaya koreksi kekuasaan oleh rakyat dibalik menjadi kejahatan, usaha penggulingan, dan lain-lain. Ini adalah realita Qurani: “dan jika dikatakan kepada mereka jangan merusak, mereka berkata kami ini orang-orang yang melakukan kebaikan” (Al-Baqarah:11). Prilaku irrasionalitas kekuasaan itu tergambarkan misalnya ketika Namrud terjepit oleh logika Ibrahim AS. Dengan arogansi dan perasaan menguasai segalanya dia menjerit bak kesurupan syetan “uqtuluuhu wanshuruu alihatakum” (bunuh Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian). Tapi konsistensi dan ketabahan Ibrahim di jalan kebenaran (Al-Haqq), seraya terus berjalan di lorong-losing juang itu, Pada akhirnya menemukan buahnya. “Innni jaa’iluka linnaasi imaama” merupakan buah dari perjuangan panjang itu. Dan karenanya di tengah derasnya ombak di jalan juang itu, teruslah mengayuh dengan sekuat mungkin. Seraya menjaga keseimbangan, bangun optimisme bahwa di ujung samudra luas itu ada pulau impian yang akan tercapai. “Innallaha laa yukhliful mii’aad” (Allah takkan pernah ingkar janji). Percayalah! Udara Macazzart, 22 Desember 2020 Penulis adalah Imam di kota New York USA/Presiden Nusantara Foundation

Paniknya Kekuasaan Menurut Al-Quran

by Shamsi Ali Macazzart FNN - Selasa (22/12). Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan, baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis. Al-Quran sendiri penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah. Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang. Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Quran adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter “ketakwaan”. Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (Al-Haq), kejujuran (al-amanah), dan keadilan (al-adl). Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter “fujuur” (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidak jujuran dan kebohongan, ketidak adilan (kezholiman), bahkan kekejaman dan kebiadaban. Lalu menurut sejarah juga Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan fujuur (Korup) itu. Musa AS diutus kepada Fir’aun, Ibrahim AS kepada Namrud, dan seterusnya. Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup itu. Bahkan sering terjadi pembungkaman, represi bahkan eliminasi (pembunuhan). Ada dengan cara kasar dan terbuka. Tidak jarang juga dengan senyuman, bahkan keluguan. Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezholiman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya terkadang bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justeru justeru karena kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan. Kapan dan kenapa Fir’aun tenggelam di laut Merah (Red Sea?).Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk?Kapan dan kenapa Tsamud binasa?Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zholim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya? Al-Quran memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zholim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzholimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi. Di saat-saat seperti itulah tabir samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushroh” samawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia. Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justeru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Ini yang dikenal dalam istilah Al-Quran dengan “al-istidraaj”. Fir’aun misalnya diingatkan berkali-kali dengan berbagai bentuk peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut merah. Tenggelamnya Fir’aun menjadi indikasi langsung bahwa kekuasaan itu, sekuat apapun, jika kehilangan amanah dan keadilan akan tenggelam. Bisa secara fisik. Boleh juga secara non fisik. Secara fisik mungkin dengan terjungkalnya sang penguasa. Boleh juga tenggelam secara popularitas dan kecintaan publik. Yang pada akhirnya dibenci oleh rakyatnya sebenci-bencinya. Karakter Fir’aun yang keras kepala di hadapan berbagai peringatan mengindikasikan bahwa harapan untuk penguasa zholim berubah itu sangat kecil. Apalagi jika penguasa itu dikelilingi oleh berbagai pihak yang memang kuat dan punya kepentingan. Fir’aun misalnya dikelilingi oleh Haman sang penjilat kekuasaan dan Qarun yang memiliki kepentingan ekonomi. Dalam situasi seperti itu hanya intervensi Ilahi yang diharapkan. Dengan rintihan dan doa-doa tulus dari mereka yang “mahzluumiin” (terzholimi) Allah akan membuka pintu langit dengan ta’yiid (penguatan) dan “nashrun” (pertolongan) untuk mereka. Hal yang harusnya disadari oleh semua kalangan adalah bahwa kezholiman penguasa terhadap rakyat kecil adalah jalan kebencanaan yang besar bagi sebuah bangsa. Karena rakyat adalah “ra’iyah” (terjaga atau terlindungi) yang seharusnya memang dijaga, digembala, diurus, diperhatikan. Bukan ditekan, disemena-seme akan, dan ditelantarka demi kelanggenan kekuasaan itu sendiri. Hanya saja, memang kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan akan berbuat apa saja, bahkan terkadang di luar nalar atau logika sehat manusia untuk mempertahankan kekuasaannya. terkadang rasa malu itu menjadi semakian kecil. Kebohongan, sandiwara, tipuan, dan tidak jarang urusan rakyat banyak dijadikan “mainan” demi kepentingan semata. Sebaliknya upaya koreksi kekuasaan oleh rakyat dibalik menjadi kejahatan, usaha penggulingan, dan lain-lain. Ini adalah realita Qurani: “dan jika dikatakan kepada mereka jangan merusak, mereka berkata kami ini orang-orang yang melakukan kebaikan” (Al-Baqarah:11). Prilaku irrasionalitas kekuasaan itu tergambarkan misalnya ketika Namrud terjepit oleh logika Ibrahim AS. Dengan arogansi dan perasaan menguasai segalanya dia menjerit bak kesurupan syetan “uqtuluuhu wanshuruu alihatakum” (bunuh Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian). Tapi konsistensi dan ketabahan Ibrahim di jalan kebenaran (Al-Haqq), seraya terus berjalan di lorong-losing juang itu,Pada akhirnya menemukan buahnya. “Innni jaa’iluka linnaasi imaama” merupakan buah dari perjuangan panjang itu. Dan karenanya di tengah derasnya ombak di jalan juang itu, teruslah mengayuh dengan sekuat mungkin. Seraya menjaga keseimbangan, bangun optimisme bahwa di ujung samudra luas itu ada pulau impian yang akan tercapai. “Innallaha laa yukhliful mii’aad” (Allah takkan pernah ingkar janji). Percayalah! Udara Macazzart, 22 Desember 2020 Penulis adalah Imam di kota New York USA/Presiden Nusantara Foundation

Selamat Jalan Para Mujahid

Wahai para mujahid. Kalian lebih dahulu bertemu dengan Allah. Kalian adalah kekasih pilihan Allah. Kalian gugur karena membela ulama, habib yang senantiasa lantang membela agama Islam by Mangarahon Dongoran Jakarta, (FNN) - Rabu (9/12).Satu per satu ambulans pembawa jenazah laskar Front Pembela Islam (FPI) itu memasuki Jalan Petamburan II, Kelurahan Petambutan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ambulans pertama dengan membawa jenazah Andi tiba pukuk 21.00.Harap maklum, kedatangan ambulans pembawa enam laskar ke markas FPI tersebut tidak sekaligus. Jenazah mereka dibawa dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur secara bergilir/bergantian. Ambulans kedua tiba sekitar 20 menit kemudian. Diikuti ambulan ketiga yang tiba sekitar pukul 21.34. Secara total, enam jenazah tiba di Petamburan sekitar pukul 22.34. Rata-rata jenazah tiba berselang waktu 15 menit. Ambulans pembawa jenazah tersebut kemudian mundur dan pintu belakangnya masuk Gang Paksi. Dari pintu gang tersebut, seluruh jenazah dibawa ke halaman rumah Habib Rizieq untuk dimandikan dan disalatkan. Halaman rumah tersebut biasa digunakan sebagai tempat pengajian (majelis taklim). Suasana haru begitu terasa sejak ambans melewati Jalan Petamburan Raya. Begitu mendengarkan raungan sirene ambulans, laskar FPI dan masyarakat yang berkumpul langsung mengucapkan, "Allahu Akbar." Kemudian ambulans yang dikawal laskar FPI sampai masuk FPI diiringi dengan ucapan, "La ilaha Illallah…" Kalimat la ilaha illallah pun semakin nyaring diucapkan ketika peti jenazah diturunkan dari mobil ambulans. Para laskar kemudian mengangkat peti jenazah sampai ke tempat pemandian jenazah yang sudah disiapkan. Masyarakat sangat antusias menunggu kedatangan ambulans yang membawa laskar yang ditembak polisi saat mengawal Habib Rizieq dan keluarga menuju pengajian keluarga inti di daerah Karawang. Walau mereka sama sekali tidak bisa melihat jenazahnya dan tidak kenal orangnya sewaktu hidup, namun mereka rela berdiri berjam-jam di sisi kiri dan kanan Jalan Petamburan Raya, terutama menuju Jalan Petamburan III. Seorang pria paruh baya mengungkapkan kegemasannya atas meninggalnya enam orang pengawal Habib Rizieq itu. "Rasanya ingin dendam, Pak. Saya tidak mengenal mereka (para mujahid). Tetapi kabar meninggalnya mereka akibat ditembak polisi, rasanya…" kata Anton sambil mengepalkan tangan ke dadanya. Pria tersebut bukan laskar dan bukan juga anggota Bang Japar. Sebab, terlihat jelas pakaiannya biasa. Kalau laskar jelas atribut dengan pakaian putih. Sedangkan Bang Japar dengan pakaian serba hitam dan peci merah. Anggota Bang Japar juga ikut mengamankan sekitar markas FPI. Tidak ada yang bisa masuk ke tempat pemandian maupun tempat yang disiapkan untuk mengkafani. Hanya pengurus FPI, laskar dan keluarga inti yang diizinkan masuk. Pengawalan jenazah sangat ketat. Ya, jenazah para syuhada itu hanya sebentar di Petamburan. Selesai dimandikan dan disalatkan, jenazah kemudian dibawa ke rumah keluarga. Ketua Umum FPI Ahmad Shabri Lubis kepada FNN.co.id mengatakan, jenazah dibawa ke rumah keluarga agar keluarga dan tetangga bisa tahlil. Keluarga dan tetangga bisa menyalatkan lagi. Sebab, tidak semua kerabat dan tetangga almarhum bisa datang ke Petamburan. Keberangkatan ke Mega Mendung dilakukan beriringan setelah berkumpul di sebuah rest area Jalan Tol Jagorawi (Jakarta-Bogor Ciawi). Sesuai rencana, jenazah kemudian akan di bawa ke Markas Syariah Mega Mendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Di tempat ini, jenazah yang insya Allah syahid ini dimakamkan. Ya hari ini, Rabu (9/12), jasad kalian satu per satu masuk liang kubur, tetapi semangat jihad kalian tidak akan pernah terkubur. Oh ya, ada peristiwa menarik di Mega Mendung. Berdasarkan video viral, kemarin sore, pelangi memperlihatkan keindahannya di kawasan gunung itu. Kemunculan pelangi seakan-akan ikut menyambut para mujahid yang dimakamkan di tempat tersebut. Wahai para mujahid. Kalian lebih dahulu bertemu dengan Allah. Kalian adalah kekasih pilihan Allah. Kalian gugur karena membela ulama, habib yang senantiasa lantang membela agama Islam. Kalian semua masih muda. Kalian dipilih dan gugur dengan senyum. Kalian telah mendahului kami yang lebih tua, dan belum tentu dipanggil Allah seperti kalian. Selamat jalan para mujahid. Syurga dengan berbagai kenikmatannya menunggu harumnya darah kalian.** Penulis, Wartawan Senior FNN.co.id.

Mungkinkah Perlawanan Rakyat Bersama Habib Rizieq Dilenyapkan?

by Asyari Usman Medan FNN - Sabtu (05/12). Sampai hari ini, tidak satu pun kekuatan sosial-politik atau simbol perlawanan rakyat yang “diterge” oleh penguasa kecuali Habib Rizieq Syihab (HRS). Yang lain-lainnya dibiarkan saja bagai angin lalu. Suara NU diabaikan. Begitu juga suara Muhammadiyah. Atau ormas-ormas lainnya. Semua dianggap tidak penting oleh para penguasa. Bahkan, penguasa kelihatan yakin kekuatan OPM di Papua pun tidak dianggap mengganggu. Lihat saja bagaimana Menko Polhukam Mahfud MD menanggapi deklarasi kemerdekaan Papua oleh Benny Wenda. Mahfud bilang itu “deklarasi Twitter”. Ini menandakan penguasa tidak takut pada OPM. Lain halnya dengan HRS. Tampak sekali para penguasa merasa tak nyaman. Mereka sepertinya sangat paham bahwa kekuatan Habib bisa mencelakakan para penguasa bejat. Mungkin para penguasa itu membayangkan kekuatan HRS sekarang ini menjadi ‘uncalculable’ alias ‘tak bisa dihitung’. Sekaligus ‘unpredictable’ alias ‘tak bisa diramalkan’. Dalam arti, kekuatan Habib semakin susah dipetakan setelah Beliau “diasingkan” di Arab Saudi selama tiga tahun. Ada efek positif untuk Habib dari pengasingan itu. Blessings in disguise. Kini para penguasa berusaha keras agar Habib bisa dipidanakan. Semua cara dilakukan. Dan semuanya menjadi tertawaan publik. Misalnya, apa saja aspek yang terkait dengan karumunan di Petamburan dikejar tuntas. Termasuk pihak yang menyediakan tenda untuk acara pernikahan putri Habib, belum lama ini. Amazing! Dahsyat sekali. Mengapa penguasa begitu fokus dan detail mengejar Habib? Tentu karena mereka sangat ingin membungkam Imam Besar (IB) itu. Mengapa harus dibungkam? Karena banyak orang yang semakin gerah dengan kehadiran pengkritik lantang ini. Siapa-siapa saja yang gerah? Banyak sekali. Khususnya orang-orang yang selama ini bebas melakukan apa saja untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Yang selama ini bisa korupsi besar. Yang bisa seenaknya menjarah kekayaan rakyat. Yang selama ini menerima upeti dari para oligarkhi cukong yang membuat negara ini berantakan. Mereka itu adalah para penguasa, terutama penguasa yang punya pasukan dan mantan-mantan petinggi berbintang, yang selama ini menggendutkan rekening bank mereka. Yang memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh para cukong bangsat. Orang-orang inilah yang gerah terhadap kekuatan perlawanan Habib. Itulah sebabnya mereka akan terus mencari-cari kesalahan IB. Mereka akan terus memburu habis HRS. Sampai tidak ada lagi perlawanan yang tersisa. Itulah target penguasa. Tapi, mungkinkah perlawanan rakyat dilenyapkan tanpa sisa? Sangat tidak mungkin. Bahkan, selagi pengejaran dengan cara-cara kotor dan zalim terhadap Habib tak dihentikan, perlawanan itu tampaknya akan semakin besar.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Inikah Prolog Dajjal?

by Asyari Usman Medan FNN - Kamis (03/11). Akhir zaman selalu dikaitkan dengan kedatangan Dajjal. Yaitu, makhluk mirip manusia yang bermata satu. Ia digambarkan akan keluar-masuk kampung untuk menaklukkan manusia dengan kekuatan mistisnya. Ngeri dan seram. Dajjal itu ngeri karena akan membawa pengikutnya ke jurang kekufuran. Seram, karena manusia terfana oleh kekuatan mistisnya. Hanya bisa mengekor si Dajjal. Semoga Allah SWT selamatkan kita semua dan anak-cucu dari kekuatan sihir Dajjal. Tapi, dia pasti akan turun di akhir zaman. Mungkin “tak lama” lagi. Rasulullah Muhammad SAW menjelaskan tanda-tanda akhir zaman. Para ulama dan ustad juga telah menerangkannya dengan tuntas. Tidak ada lagi yang tersisa untuk disampaikan kepada umat akhir zaman ini. Tinggal mengulang-ulang ceramah saja. Sambil menunggu tanda-tanda akhir zaman itu muncul satu per satu. Penjelasan tentang tanda-tanda akhir zaman tidak hanya terkait dengan kesulitan sosial-ekonomi saja. Juga termasuk keanehan di bidang politik, khususnya tentang pemilihan pemimpin. Baginda Nabi berkata, “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya. Pendusta dipercaya dan orang jujur didustakan. Pengkhianat diberi amanah, orang yang amanah dikhianati.” Sabda Nabi ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hadits yang sangat terkenal. Dengan redaksi yang lebih kurang sama, hadits ini dicatat juga oleh Hakim dan para perawih lainnya. Sumber hadits ini adalah Abu Hurairah. Hadits ini kelihatannya cocok kalau mau disebut sebagai hadits tentang politik akhir zaman. Tentang pengendalian kekuasaan yang berjalan ‘abnormal’. Penuh dengan hal-hal yang tak masuk akal. Orang bodoh dan goblok bisa menjadi pemimpin. Dan dipatuhi oleh kaum cerdas-cendekia. Pemimpin yang aneh dari segala sisi itu dipandang hebat oleh orang-orang yang mengelilinginya. Padahal, tidak punya kapabilitas dan kapasitas. Pemimpin yang aneh itu disosialisasikan sebagai orang yang dinanti-nantikan. Dia dielu-elukan sebagai penegak keadilan bagi kaum tertindas. Padahal, pemimpin dungu itulah yang justru melakukan penindasan. Sebagaimana kaum pengikut Dajjal, orang-orang yang membersamai pemimpin bodoh dan jahil di zaman ini pun juga hadir di bawah alam sadar. Setidak-tidaknya para pengikut “di bawah alam sadar” versi Dajjal itu setara dengan orang-orang yang tersandera oleh kepentingan pribadi dan kelompok versi pemimpin dungu masa kini. Pada saat ini, umat sedang disajikan pertunjukan pemimpin yang memiliki ciri-ciri Dajjal. Kalaupun bukan Dajjal, boleh jadi dia adalah prolog Dajjal. Tapi, mungkinkah ada prolog Dajjal? Wallahu a’lam. Tidak ada teks kenabian yang menjelaskan tentang prolog Dajjal. Belum pernah terdengar penjelasan tentang Dajjal Kecil (prolog Dajjal) dan Dajjal Besar. Seandainya ada, seluruh umat pantas resah dan gundah jika prolog Dajjal itu ternyata muncul di bilangan kita, di zaman kita.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Menyambut Pengurus Baru MUI, Pesan Buya HAMKA: Ulama Tidak Bisa Dibeli

by Dr. Adian Husaini Lampung FNN - Minggu (29/11). Pada 27 November 2020, Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-10 telah memilih jajaran pimpinan MUI periode 2020-2025. Semoga para pimpinan MUI dapat mengemban amanah yang berat! MUI adalah lembaga keulamaan dan ketokohan umat Islam yang didirikan oleh pemerintah Orde Baru tahun 1975. Dalam usianya yang ke-45, MUI memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah umat Islam Indonesia. Banyak sikap resmi dan fatwa MUI yang memiliki pengaruh besar terhadap umat Islam dan juga pemerintah. Saat ini, MUI adalah satu-satunya lembaga Islam yang diberi kewenangan undang-undang untuk menetapkan fatwa halal suatu produk. Dalam bidang Ekonomi Syariah, fatwa MUI – melalui Dewan Syariah Nasional – dijadikan pegangan resmi oleh otoritas keuangan RI. Karena itulah, ketua umum MUI memiliki kedudukan penting dalam kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan Indonesia. Hampir-hampir, ketua Umum MUI, menempati kedudukan seperti Mufti di beberapa negara. Masuk akal, kita berharap, semoga Munas MUI ke-10 dapat memilih ketua umum yang ideal dalam menghadapi tantangan zaman. Ulama tak dapat dibeli Buya Hamka adalah Ketua Umum MUI pertama. Ia dipilih di saat umat Islam Indonesia sedang menghadapi tantangan berat dalam berbagai bidang kehidupan. Hamka menjabat Ketua Umum MUI mulai 1975 sampai wafat tahun 1981. Kepada para peserta Munas ke-10 MUI, ada baiknya mengingat kembali pesan-pesan Hamka yang disampaikan dalam acara penutupan Munas MUI ke-1 di Jakarta, 27 Juli 1975. Dalam pidatonya, Buya Hamka mengingatkan, bahwa para ulama pengurus MUI adalah penerus perjuangan ulama-ulama terdahulu. Atas ajakan pemerintah untuk berpartisipasi dalam pembangunan, memberikan nasehat kepada pemerintah – diminta atau tidak diminta – dan agar memperteguh Ketahanan Nasional dari segi kerohanian, kata Buya Hamka, “Terbukalah bagi kita yang datang di belakang ini jalan buat meneruskan amal usaha dan jihad.” “Amar ma’ruf nahi munkar adalah pekerjaan yang sungguh-sungguh berat, menyebut mudah, melaksanakannya sangat sukar. Kalau iman tidak kuat gagallah usaha kita,” kata Hamka. Menguraikan makna QS Ali Imran ayat 110, Buya Hamka menyatakan, dalam ayat tersebut, ada tiga unsur kemerdekaan yang jadi syarat mutlak bagi kemuliaan suatu umat. Pertama, kemerdekaan menyatakan pendapat (amar ma’ruf). Kedua, kemerdekaan mengritik yang salah (nahyi munkar). Pada kalimat ma’ruf terkandunglah opini publik. Artinya, pendapat umum yang sehat dan pada kalimat munkar terdapat pula arti penolakan orang banyak atas yang salah. Oleh sebab itu, maka amar ma’ruf nahyi munkar maksudnya ialah membina pemikiran yang sehat dalam masyarakat. Yang ketiga, yang utama, adalah iman kepada Allah. Itulah yang menjadi dasar utama. “Artinya, kalau iman telah berkurang, telah muram, kita tidak berani lagi ber-amar ma’ruf dan lebih tidak berani lagi ber-nahyi munkar. Kalau kita beriman, kita tidak takut ber-amar ma’ruf nahyi munkar,” papar Hamka. Hamka mengibaratkan ulama-ulama yang tergabung dalam MUI laksana “kue bika” yang dipanggang dari atas dan bawah. Dari bawah dinyalakan api. Itulah berbagai keluhan masyarakat terhadap pemerintah. Dari atas dihimpit api pula. Itulah harapan-harapan pemerintah supaya rakyat diinsafkan dengan bahasa rakyat itu sendiri. Jika terlalu berat ke atas, maka putus dari bawah. Itu artinya berhenti jadi ulama yang didukung rakyat. Terlalu berat ke bawah, hilang hubungan dengan pemerintah. Bisa saja pemerintah menuduh ulama tidak berpartisipasi dalam pembangunan. “Memang sangat berat memikul beban ini. Kalau gelar ulama kita terima, padahal perbaikan diri, terutama peningkatan iman tidak kita mulai pada diri kita sendiri, niscaya akan turut hanyutlah kita dalam gelombang zaman sebagai sekarang, dimana orang berkejar-kejaran karena dorongan ambisi mencari dunia, mencari pangkat, mengambil muka kepada orang di atas, menjilat sehingga pernah terdengar suara-suara yang mengatakan: bahwa ulama bisa dibeli,” kata Buya Hamka. Terhadap suara-suara sumbang semacam itu, Buya Hamka menegaskan, “Tidak, bapak-bapak yang tercinta! Ulama sejati waratsatul anbiyaa tidaklah dapat dibeli. Janganlah Tuan salah tafsir. Tidak Saudara! Ulama sejati tidaklah dapat dibeli, sebab sayang sekali, ulama telah lama terjual. Pembelinya ialah Allah.” Hamka mengutip QS at-Taubah ayat 111: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, jiwa raganya dan harta bendanya, dan akan dibayar dengan sorga.” (Pidato Buya Hamka dimuat dalam buku berjudul “Majelis Ulama Indonesia” terbitan Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta Selatan (1976). Terakhir, untuk kita semua – pengurus MUI, para ulama, dan pimpinan Organisasi Islam lainnya -- ingatlah pesan Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin: “Rakyat rusak karena penguasa rusak. Penguasa rusak karena ulama rusak. Ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan!” Penulis adalah Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII)

Angkuh Ketika Berkuasa, Menyesal Setelah Pensiun

by Asyari Usman Jakarta FNN – Ahad (22/11). Banyak sekali contoh orang-orang yang bersikap angkuh, sombong, dan sok kuat ketika mereka sedang berkuasa. Tetapi, begitu pensiun, barulah tersentak bahwa kekuasaan yang diangkuhkan itu akhirnya hilang juga. Fisik pun melemah dan makin lemah. Anak-buah yang selama ini selalu “siap-gerak!”, tidak ada lagi. Kemarin masih Panglima TNI, Pangkostrad, Pangdam, Danjen, Kapolri, Kapolda, Kabareskrim, dan lain sebagainnya. Hari ini bisa lepas semuanya. Tidak ada lagi bintang di bahu. Tidak ada lagi hormat di gerbang. Sirna sudah semua kehebatan yang dibangun selama puluhan tahun itu. Kini, usia mencapai 58 tahun. Posisi hebat itu diduduki orang lain. Sebentar lagi 60 tahun. Setelah itu, perlahan menuju liang kubur. Sampailah saatnya Malaikat Maut datang memenuhi perintah Pemilik Nyawa dan janji ajal. Semua tanda pangkat yang dibangga-banggakan selama masih berdinas aktif. Berbagai penghargaan yang disematkan di dada, ternyata tidak dihitung oleh Pencabut Nyawa. Bahkan, meminta untuk penundaan sedetik pun tidak dipenuhi. Malaikat Maut datang dengan tampilan yang sesuai dengan cara hidup orang yang akan diakhiri hayatnya. Kalau tempohari sombong, mengancam-ancam, apalagi sampai mengatakan, “Jangan coba-coba ganggu, saya panglimanya, akan saya hajar nanti”. Maka kelak si Pencabut Nyawa (Izrail) akan datang dengan gaya angkuh juga. Seramnya, keangkuhan Izrail tidak bisa dilawan oleh siapa saja. Masih aktif, segar-bugar, dengan pangkat jenderal penuh pun tak sanggup menatap Izrail. Apalagi cuma seorang pensiunan yang terbaring lemah. Yang tak bisa lagi berkata-kata. Tak juga bisa lagi meneguk setetes air. Panser, senjata laras panjang, pasukan gagah-berani yang dipamerkan semasa hidup dulu, ternyata hari ini tidak bisa menolong Jenderal Angkuh (Purn) ketika dia menghadapi sakaratul maut. Jenderal yang 30 tahun silam mengucapkan “Saya panglimanya”, hari ini diantarkan ke liang lahat. Paling-paling penghormatan terakhirnya diberikan dalam bentuk tembakan salvo di upacara pemakaman. Setelah itu, Jenderal Angkuh (Purn) harus menjalani proses identifikasi di depan Munkar dan Nakir. Inilah dua malaikat yang bertugas untuk menanyakan beberapa hal fundamental kepada Jenderal Angkuh (Purn). Mereka tidak menanyakan berapa bintang yang dulu melekat di bahu. Tidak juga bertanya tentang harta-benda dan tanda jasa. Di liang kubur, Jenderal Angkuh (Purn) akan menjalani interogasi yang mengerikan. Kedua malaikat itu akan berwujud sangat menakutkan. Mereka lebih angkuh, lebih seram, dan lebih brutal dari sang jenderal. Jika catatan keangkuhan mendominasi riwayat hidup, maka bisa dipastikan perjalanan berikutnya akan sangat berat. Begitu sabda Nabi. Interogasi kuburan yang penuh horor itu baru sekadar “starter” saja. Estafet berikutnya adalah alam penantian. Di alam yang disebut “barzakh” itu, kepada setiap orang akan ditunjukkan destinasi finalnya. Diperlihatkan pagi dan petang. Orang yang angkuh, sombong dan memusuhi perjuangan di jalan Allah, akan melihat di mana dia akan menjalani “rehabilitasi”. Penyandang kesombongan dan keangkuhan adalah orang yang sangat dimurkai Allah ‘Azza wa Jalla. Jadi, wahai orang-orang yang masih segar-bugar dengan kekuasaan yang besar. Anda tak perlu tamasya spiritual ke alam ghaib untuk menelusuri tempat kembali orang-orang yang sombong. Anda cukup merasapi penderitaan batin orang-orang yang angkuh ketika berkuasa, tetapi menyesal setelah pensiun. Menyesal tidak melakukan ini dan itu. Menyesal telah menzalami para pejuang keadilan. Menyesal menghalangi perjuangan. Menyesal, menyesal, dan menyesal tak bersambut. Hingga Malaikat Maut datang menjeput. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

FPI Pesta Pora, Pendukung Istana Ambyar (bagian 2)

Kabinet Joko Widodo terpecah dalam menyikapi kepulangan dan berbagai kegiatan HRS. By Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - Rabu (18/11). Kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke tanah air telah membawa banyak perdebatan dan caci-maki dari pendukung Istana. Bahkan, ketika HRS mengumumkan sendiri jadwal kepulangannya dari Tanah Suci Mekah, banyak pejabat negara dan bahkan menteri yang sewot. Sebut saja Menteri Koordinator Politik dan Hukum, Mahfud MD yang mengeluarkan dua pernyataan yang sangat menyakitkan pendukung dan simpatisan HRS. Pernyataan pertama ketika ia menyebut HRS bukan merupakan orang suci. Jumlah pengikut FPI sedikit jika dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan di Indonesia. Kedua, Mahfud mengatakan, jika penjemput Habib Rizieq melakukan perusakan akan disikat. "Nah kalau membuat kerusakan itu berarti bukan pengikutnya Habib Rizieq, kita sikat, gitu. Kalau dia membuat kerusuhan," kata Mahfud seperti dikutip dari RRI. Kedua pernyataan ini pun mendapatkan reaksi keras dari berbagai pihak. Sebab, pernyataan tersebut tidak pantas diucapkan seorang pejabat publik. Mestinya, Mahfud mengeluarkan pernyataan yang semakin menyejukkan dan mendinginkan suasana. Apalagi kata, sikat, yang menunjukkan ancaman kepada penjemput HRS kalau membuat onar. Sikat menimbulkan konotasi ancamam yang sangat tidak pantas. Kata itu lebih pantas dikemukakan oleh pejabat-pejabat yang duduk di pemerintahan otoriter, bukan di negara demokrasi. Saya tidak mau mengatakan atau menilai negara sekarang menuju otoriter, dan mulai meninggalkan demokrasi. Akan tetapi, biarlah masyarakat yang menilai, melihat dan merasakannya. Karena mendapat kritikan tajam dan malah diejek di berbagai media, akhirnya Mahfud melunak. Sehari sebelum HRS menginjakkan kaki di tanah air, Mahfud meminta agar aparat kepolisian tidak perlu represif. Ia meminta agar polisi mengamankan kepulangan HRS biasa saja. "Aparat tidak usah terlalu berlebih-lebihan ini masalah biasa saja anggap hal yang reguler," kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Senin (9/11/2020). Memancing Kemarahan Ya, ucapan-ucapan Mahfud sebelumnya dianggap provokatif guna memancing kemarahan pendukung dan simpatisan HRS dan FPI. Sebab, pernyataannya itu semakin memanaskan situasi di tengah perseteruan antara HRS dan FPI dan juga Persaudaraan Alumni 212 dengan pemerintah. Apa pun yang disampaikan Mahfud, pasti dianggap berusaha memojokkan HRS dan para pendukung serta simpatisannya. Ibarat api yang masih kecil, pernyataan itu bisa menjadi bensin penyulut kemarahan rakyat. Apalagi keadaan sekarang, ibarat api dalam sekam. Kalau ada yang menyulut kemarahan, rakyat akan marah di tengah ekonomi yang sangat sulit dan menyusahkan rakyat. Banyak yang maklum mengapa Mahfud MD mengeluarkan pernyataan bukan merupakan orang suci, pengikut FPI sedikit, dan main sikat. Sebab, suara pemerintah atas kepulangan HRS terpecah. Ya, kabinet pemerintahan Joko Widodo pun ambyar dalam menyikapi kepulangan dan kegiatan HRS sejak tiba di tanah air. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, ambyar artinya bercerai-berai; berpisah. Tidak konsentrasi lagi. ** (bersambung). Penulis adalah wartawan senior FNN.co.id