KESEHATAN
Salah Sasaran, Serangan Saifudin Hakim ke Profesor Sukardi!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (05 Agustus 2020). Nama dr. Mohamad Saifudin Hakim, MSc, PhD menjadi viral sejak wawancara Erdian Anji Prihartanto, penyanyi yang akrab dipanggil Anji, dengan klaim Hadi Pranoto yang disebut dalam kanal Youtube-nya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Mengutip Kompas.com, Minggu (02/08/2020, 18:50 WIB), dalam video itu, Hadi Pranoto memperkenalkan diri sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19. Ia menyebutkan bahwa cairan Antibodi Covid-19 yang ditemukannya bisa menyembuhkan ribuan pasien Covid-19. Cairan antibodi Covid-19 tersebut diklaim telah didistribusikan di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan. Melansir Tempo.co, Minggu (Minggu, 2 Agustus 2020 21:01 WIB), para dokter spesialis seperti Pandu Riono, Jaka Pradipta, Aris Ramdhani, dan Ferdiriza Hamzah mengungkapkan kegusarannya kepada Anji di Twitter mereka, Ahad, 2 Agustus 2020. Mereka pun merespons konten Anji berjudul Bisa Kembali Normal? Obat Covid-19 Sudah Ditemukan!! yang tayang di kanal Youtube-nya, Jumat, 31 Juli 2020. Aris Ramdhani, dokter spesialis bedah umum, misalnya menyatakan perbuatan Anji dengan menghadirkan narasumber yang tidak jelas latar jelas keilmuwannya tapi mengklaim telah menemukan obat, sangat membahayakan. Yang tak kalah serunya adalah reaksi Saifudin Hakim. Kalau dalam tulisan awalnya lebih mempertanyakan “kepakaran mikrobiologi” Hadi Pranoto, pada tulisan berikutnya justru terkesan “menyerang” kepakaran “Profesor Ainul Fatah”. Tampaknya, pria kelahiran Rembang, 22 Februari 1985, ini mulai sadar bahwa penyebutan Prof Ainul Fatah alias Prof Sukardi sebagai ahli mikrobiologi ternyata salah. Dari googling yang dia lakukan, ternyata Prof Sukardi itu ahli mikro kultur bakteriologi. Dosen dan juga peneliti virus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Jogjakarta itu kali ini benar-benar blejeti Formulator Probiotik Siklus yang formulanya memang benar-benar bisa disebut sebagai Revolusi Kesehatan. Terlebih di saat dunia kini dilanda Virus Corona atau Covid-19 yang belum juga ditemukan vaksinnya. Untuk Mas Dokter Hakim – saya panggil demikian saja supaya akrab – dari yang saya baca, Prof AF tidak pernah klaim sebagai penemu Antibodi Covid-19. Kalau kemudian ada yang klaim sebagai penemu, itu di luar tanggung jawab Prof AF. Yang menjadi pertanyaan sekarang ini, mengapa Mas Dokter Hakim mengalihkan “serangan” ke Prof AF? Ayolah bersikap sebagai profesional peneliti muda jenius yang pinter. Dari catatan yang saya baca, Anda termasuk dosen dan dokter yang pinter. Terbukti, Anda 2 kali mendapat beasiswa. Beasiswa LPDP, Erasmus University Rotterdam (2014). Beasiswa Luar Negeri DIKTI, Erasmus University Rotterdam (2011). Undergraduate, Bachelor Degree (S.Ked), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, 08/2003 - 01/2007 Thesis : Faktor risiko anemia saat persalinan pada ibu hamil di daerah endemik malaria, Jepara, Jawa Tengah . Undergraduate, Medical Doctor (MD), Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, 05/2007 - 01/2009 Thesis : Faktor risiko anemia saat persalinan pada ibu hamil di daerah endemik malaria, Jepara, Jawa Tengah. Master, Infection and Immunity, Erasmus University Rotterdam, Belanda, 08/2011 - 08/2013 Thesis : Inhibitory receptor molecules in chronic hepatitis B and C infections. Doctor, Virology and Immunology, Erasmus University Rotterdam, Belanda, 10/2014 - 09/2018 Thesis : Hepatic and Enteric Viral Infections: Molecular epidemiology, immunity and antiviral therapy. Namun, sayangnya, Mas Dokter Hakim sedikit terjebak dengan pola “sesat pikir”. Mungkin karena Anda merasa lebih pinter dan unggul – karena sering nulis di berbagai jurnal ilmiah dan sebagainya – sehingga dengan mudah mem-bully seorang AF. Siapakah sebenarnya “Profesor Ainul Fatah” (PROF. DR. AINUL FATAH) alias "Sukardi", yang meng-klaim dirinya sebagai "professor ahli kultur mikrobakteriologi"? Dan juga “penemu” obat anti-covid-19? “Dongeng” tentang ini terpusat pada, a so called “genius professor”, misterius, tapi di saat yang sama “terkenal” di dunia, bernama Prof. Dr. Ainul Fatah alias Sukardi. Saya sendiri pernah bertemu dengan beliau ini di Suncity Hotel, Sidoarjo, sekitar bulan April 2019 dalam sebuah seminar yg diselenggarakan oleh komunitas mereka. Saya sendiri memberanikan diri mendaftar atas bantuan seorang teman yang juga membiayai perjalanan saya dari Jogja-Surabaya pp dengan kereta. (Rasanya deg-degan saat itu meskipun saya mendaftar secara resmi, di kereta juga sulit tidur) Sosoknya sendiri digambarkan sebagai sosok misterius. Ketika dia hadir di lokasi seminar, pembawa acara berkali2 mengingatkan untuk tidak boleh mengambil gambar (foto beliau). Apalagi merekam dengan video. Saya sendiri berhasil memfoto beliau secara sembunyi2 (supaya tidak ketahuan panitia) ketika itu. Dia disebut sebagai “formulator”. Beliau ini digambarkan sebagai “aset negara”, keluar rumah pun ada pengawalnya de el el. Pokoknya melebihi pejabat lah. Sosok ini digambarkan kurang lebih seperti ini, di berbagai website: https://m.facebook.com/photo.php?fbid=330080957733416&id=100021945434609&set=a.115187722556075&source=57 Siapa saja yang sudah malang melintang di dunia akademisi (sains) dan riset, mengenali kejanggalan-kejanggalan seperti ini sangat mudah. Namun bagi orang awam, mungkin harus djelaskan terlebih dahulu. Kita bahas satu per satu kejanggalan-kejanggalan sosok ini. 1. Kultur Mikrobakteriologi atau Mikrokultur bakteriologi. Ini adalah taktik untuk mengelabuhi orang awam. Sebagaimana Vicky Prasetyo menciptakan istilah-istilah aneh dengan menggabungkan kata-kata yang seolah berhubungan. Mikrobakteriologi? Mikro-bakterio-logi → Mikro - Bakteri - Logos? Ilmu ttg bakteri mikro? Semua bakteri itu termasuk microbes. Microbes adalah organisme yang terlalu kecil untuk dilihat dengan mata telanjang. Mayoritas bakteri tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Mikrobakteriologi? Apakah ada bidang "Makrobakteriologi"? TIDAK ADA. Saya sengaja tidak mengutip point selanjutnya (sampai 5 point) karena rasanya tidak terlalu penting untuk dikomentari. Mungkin Mas Dokter Hakim perlu saya kutipkan komentar dari seorang dokter senior yang mengkritisi tulisan panjenengan itu. Waduh... Nih orang (yang bantah) ilmunya juga masih cetek sebetulnya. Saya dulu juga sangat heran dengan istilah2 yang ada. Sadar pemahaman saya yang masih super dangkal, lalu saya browsing2. Nah ketemu istilah Mikrobakteri, yakni bakteri yang hanya bisa terlihat dengan mikroskop elektron dengan pembesaran di atas 1.000 kali. So.. Mikrobakteri/Mikrobakteriologi itu bukan istilah yang mengada-ada. Poin ini aja doi dah kelihatan ceteknya... Jadi males bahas poin lainnya. Mungkin Mas Dokter Hakim tidak tahu kalau sekarang ini justru sudah banyak dokter yang mulai mengenal “ilmu baru” yang disampaikan Prof AF. Termasuk tenaga medis lainnya. Di sini Mas Dokter Hakim perlu telisik siapa saja mereka ini. Jangan sampai sampeyan ketinggalan kereta hanya karena “sesat pikir”, merasa lebih pinter dan unggul dari seorang AF. Seperti yang Anda bilang, “kultur bakteri, bukan cabang spesifik di bidang mikrobiologi”. (ttps://www.hopkinsmedicine.org/microbiology/services/BACTERIOLOGY/culture/index.html). Dari sini saja Anda kemarin tidak cermat dan kurang teliti ketika googling nama Prof AF sebagai ahli mikrobiologi seperti keahlian Mas Dokter Hakim. First, who has the authority to make a list of so-called “ahli”? One thing in common dari sesiapa pun yang dianggap “ahli” oleh publik adalah mereka PUNYA TRACK RECORD PENELITIAN. Apalagi ini seseorang dengan gelar “Profesor”. (Wow banget kan?) Mari kita cari di database penelitian ilmiah pubmed -bisa dicoba untuk kroscek kalau ada yang mengaku-aku ahli lainnya-. TIDAK ADA record penelitian atas nama “Ainul Fatah”. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=ainul+fatah. Mengapa Mas Dokter Hakim tidak menemukan satu pun artikel atau publikasi ilmiah hasil penelitian Prof AF? Karena yang saya tahu, catatan ilmiah yang Anda minta itu ada dalam otaknya. Dia tidak pernah merekan dalam bentuk catatan. Yang mencatatnya selama ini ya “murid-murid” Prof AF yang setia belajar “ilmu baru” yang disampaikan Prof AF itu: Probiotik Siklus/Komunitas! *** Penulis adalah wartawan senior.
Sukses “Drama Chen Wei” versi Dahlan Iskan!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Kamis (30 Juli 2020). Nama Jenderal Chen Wei sangat dikagumi oleh Dahlan Iskan. Dalam tulisannya di Disway, Senin, 27 Juli 2020, Mas Dahlan, begitu saya biasa sapa beliau, menuliskan peran Jenderal Besar Wanita China terkait penemuan Vaksin Corona (Covid-19). Menurutnya, pemenang putaran pertama balapan vaksin ini jelas: CanSino Biologics. Yakni penemu vaksin (corona) yang dari Wuhan itu. Yang dipimpin jenderal wanita Chen Wei itu. Di balapan putaran kedua terjadi saling salip. Boleh dikata imbang. Tapi, di putaran ketiga terjadi pembalikan. Yang finis duluan adalah Sinovac. Yakni vaksin Covid-19 yang dari Beijing itu. Setidaknya Sinovac-lah yang lebih dulu mencapai garis finis di Kota Bandung. “Di ibu kota Jawa Barat itu Sinovac akan dicoba terhadap 1.600 orang sukarelawan yang mendaftar secara gratis,” tulis Mas Dahlan tentang rencana uji coba Vaksin Sinovac yang akan dilakukan di Bandung itu. Walhasil Indonesia telah memilih berpartner dengan Sinovac. Kalau uji coba tahap 3 nanti berhasil Indonesia akan diizinkan memproduksi sendiri vaksin itu. Biofarma, milik BUMN, mampu melakukannya. Mas Dahlan mengibaratkan lomba balapan produsen vaksin Covid yang kini dilakukan oleh 4 perusahaan: Sinovac, CanSono Biologics, Moderna Inc, dan Oxford University. Dan, Sinovac telah memenangkannya: mencapai finish di Bandung. Para pendiri CanSino itu adalah orang-orang China lulusan Kanada. Tokoh utama CanSino, Yu Xuefeng, kini 57 tahun, meraih gelar doktor di bidang mikrobiologi di McGill University Montreal, Kanada. Setelah lulus dari McGill mereka tidak pulang. Mereka bekerja di perusahaan farmasi yang terkemuka di dunia: Sanofi Pasteur. Mereka sangat berprestasi di situ. Banyak yang sampai menduduki posisi level atas. Mereka ingin mewujudkan idealisme di bidang farmasi bagi kemajuan China. Mereka pun berhenti dari Sanofi. Ada 4 orang yang segera memilih pulang. Mereka ini yang mendirikan perusahaan farmasi di kota Tianjin, sebelah timur Beijing. Ketika terjadi wabah Ebola, CanSino aktif mengembangkan vaksin itu. Saat itulah mereka bertemu Jenderal Chen Wei, ahli mikrobiologi yang juga Kepala Pusat Riset Farmasi Militer China. Mereka pun bekerja sama. Sebelum itu pun mereka sudah lama mengenal nama Chen Wei. Nama jenderal wanita ini amat harum. Juga heroik. Terutama saat terjangkit wabah SARS di Tiongkok. Kala itu Chen Wei melakukan riset sangat serius. Dia ingin menemukan vaksin anti-SARS. Dan berhasil. Keberhasilan itu bukan tidak dramatik. Sangat-sangat dramatik. Chen Wei menjadikan anak lelaki satu-satunya sebagai objek uji coba vaksin yang dia temukan itu. Umur si anak masih 4 tahun. “Itu bukan karena Chen Wei tidak sayang anak. Tapi dia begitu yakin akan penemuannya itu. Dia memastikan anaknya tidak akan bermasalah,” tulis Mas Dahlan dalam tulisan berjudul: Drama Chen Wei. Kalau tahun lalu di China beredar film Wolf Warrior II yang sangat laris di bioskop-bioskop, inspirasinya dari perjalanan kepahlawanan Chen Wei itu. Kali ini, untuk vaksin anti-Covid-19 ini, Chen Wei merangkul CanSino. Seperti dilansir Liputan6.com, Senin (23 Mar 2020, 12:02 WIB), sebagai ahli epidemiologi, Chen menempatkan diri di garda depan dengan melakukan penelitian di sebuah labolatorium di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Mengutip Ibtimes.sg, Senin (23/3/2020), Chen bahkan menyuntikkan vaksin Virus Corona yang masih dalam tahap uji coba pada diri sendiri dan enam anggota timnya. Saat berita ini tersebar, sebagian orang menganggap tindakan ini ceroboh. Sisanya, memandang keputusan Chen itu sebagai loyalitas tanpa batas. Kendati, unggahan yang dimaksud disebut telah dihapus dari akun Weibo People's Liberation Army (PLA), spekulasi disertai komentar pro-kontra akan tindakan tersebut terus bergulir. South China Morning Post menulis, jenderal besar berusia 54 tahun tersebut dikenal sebagai ahli biokimia terbaik di Tiongkok. Chen Wei sendiri sudah tiba di Wuhan sejak pertengahan Januari bersama tim yang merupakan para peneliti militer terbaik Negeri Tirai Bambu. Chen sudah dikenal lewat kontribusinya dalam memimpin tim peneliti menemukan vaksin demi mengendalikan wabah SARS dan Ebola di Afrika Barat pada 2014-2016. Juga, telah membantu penanganan gempa bumi di Sichuan pada 2008. Dibandingkan kepala ahli epidemiologi seperti Zhong Nanshan yang berusia 84 tahun dan Li Lanjuan berusia 72, Chen jauh lebih muda. Ia mampu menjembatani tenaga medis militer dan tenaga medis lokal di Wuhan dalam penanganan pasien Corona Covid-19. Pada 2013, Chen jadi delegasi mewakili PLA dalam National People’s Congress. Dua tahun kemudian, Chen dipromosikan jadi jenderal besar. Kemudian di 2018, Chen didapuk sebagai anggota Chinese People’s Political Consultative Conference. Sukses Vaksin? Kesan yang muncul dari tulisan soal Chen Wei, Mas Dahlan ingin mengunggulkan para ahli China, terutama Chen Wei, dan perusahaan yang memproduksi vaksin. Padahal, dalam kasus flu burung (H5N1) saja hingga kini belum berhasil hentikan. Kasus flu burung di China telah memakan korban cukup banyak, hal tersebut terjadi karena China menolak produk probiotik dan lebih bangga dengan produk herbal mereka, sehingga penanggulangan flu burung menjadi kurang efektif. Bahkan beberapa waktu terakhir ini, sering kita dengar adanya berbagai varian flu burung diantaranya H1N1, H5N1, H7N9 (di China), New Corona, yang konon dianggap lebih mematikan dibanding varian terdahulu. Yang membedakan tiap varian virus flu burung sebenarnya adalah jumlah bulu getar pada virus tersebut. Bulu getar/flagel itu sebenarnya adalah semacam alat penghangat pada virus itu yang berfungsi untuk mempertahankan hidup mereka sendiri. Maka apabila telah dijumpai terdapat jumlah bulu getar yang berbeda, oleh para ahli virologi dikatakan sebagai mutasi genetik dari virus flu burung. Tamiflu jelas tidak akan efektif untuk tiap kasus flu burung. Setiap jenis obat hanya akan efektif pada daerahnya sendiri, dan obat itu pun “belum mampu mematikan” virus flu burung ini. Pengobatan yang paling efektif untuk flu burung ya dengan probiotik atau bioto karena jumlah laktat yang tinggi. Formula ini sudah banyak membuktikan efektifitas probiotik/bioto terhadap kasus flu burung, sehingga bagi yang sudah tahu, sekarang flu burung bukanlah penyakit yang menakutkan dan mematikan. Virus H5N1, atau dikenal sebagai virus flu burung, menyebabkan gangguan pernafasan pada burung atau unggas dan dapat menular ke manusia. Virus ini pertama dideteksi pada 1996 di China. Menurut WHO, virus flu burung mungkin saja menular dari manusia ke manusia, meski sulit. Sejak 2003 hingga 2019, WHO melaporkan total 861 kasus penularan virus flu burung pada manusia di dunia, 455 di antaranya meninggal. Di China, ada 53 kasus penularan ke manusia telah dilaporkan sepanjang 16 tahun terakhir, 31 diantaranya meninggal dunia. Melalui riset yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa penyakit flu burung adalah “murni buatan pihak tertentu” yang tidak menginginkan adanya keseimbangan dunia ini. Sifat virus flu burung, di tiap negara, bahkan tiap daerah bisa berbeda. Tiap jenis obat hanya akan efektif pada daerahnya sendiri, dan obat itu pun ternyata “belum mampu mematikan” virus flu burung tersebut. Terbukti, saat di China belum selesai merebak Covid-19 di Wuhan, dikabarkan telah melaporkan adanya wabah H5N1. Seperti dilansir Kompas.com, Minggu (02/02/2020, 09:11 WIB), temuan tersebut berlokasi di Provinsi Hunan, perbatasan selatan Hubei, yang merupakan provinsi pusat penyebaran virus Corona. Kementerian Pertanian dan Urusan Pedesaan China pada hari Sabtu sebagaimana dikutip dari South China Morning Post, Minggu (2/2/2020) menyebutkan bahwa wabah terjadi di sebuah peternakan di distrik Shuangqing di Kota Shaoyang. “Peternakan memiliki 7.850 ayam, dan 4.500 ayam telah mati karena penularan. Pemerintah setempat telah memusnahkan 17.828 unggas setelah wabah,” begitu pernyataan Kementeri Pertanian dan Urusan Pedesaan Cina seperti dilansir dari SCMP. Meski demikian, sampai sejauh ini tak ada kasus virus H5N1 Hunan yang dilaporkan terjadi pada manusia. Jarak antara Shaoyang di Hunan dengan Wuhan di Hubei sekitar 556 km. Ternyata, “Drama Chen Wei” versi Dahlan Iskan berlanjut saat awal Corona mewabah di China. Belum Sukses! *** Penulis adalah wartawan senior.
Jahatnya Covid-19 Mampu Dilunturkan Formula Probotik Berbasis Bakteri!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (29 Juli 2020). Sepasang suami-istri telah pulih kembali setelah 16 hari dirawat di sebuah RS di Surabaya, karena terpapar Virus Corona (Covid-19). Menariknya, diantara beragam obat yang diminum, ada formula Probiotik yang disuplai oleh teman-temannya. Berikut cerita sang istri: Alhamdulillah, saya dan suami sudah sehat dan bugar, tetapi tetap masih Isolasi Mandiri di rumah 14 hari lagi biar benar-benar bersih dari Virus Covid-nya, gak terasa saya dan suami diisolasi di Ruang Bertekanan Negatif di sebuah RS di Surabaya, sudah 16 hari. Benar-benar umur kami berdua bisa kembali sehat. Karena ini sakitnya luar biasa ampun dan sempat droup 2 kali karena oksigen dalam darah dan tubuh saya droup ngliyung, belum lagi yang sakit sangat di uluhati sampai tembus ke punggung. Di situ kami ingatnya cuma mati saja di RS. Kami 1 kamar itu berdua dan saling menguatkan setiap pagi selalu tanya apa yang gak enak pagi ini jeng atau papa Yaa Allah. Virus Covid benar-benar jahat, amat sangat menyakitkan. Karena, saya dan suami juga ada sakit diabet dan tensi selama 8 hari, 1 hari 3 kali disuntik berbagai macam obat Antibiotik dan berbagai macam Vitamin yang jumlahnya 10 ampul suntikan besar. Sampai tangan saya dan suami bengkak gedhe-nya seperti pisang. Pada hari ke-6 indra perasa dan penciuman hilang gak ada sama sekali itu selama 8 hari. Menurut suaminya, “cukup banyak probiotik dikasih teman-teman diminum bergantian.” Setelah selesai dengan suntikan diganti obat oral yang jumlahnya 10 sampai 12 sekali minum. Belum saat lagi tengah malam diambil darahnya di Vena yang paling besar yang letaknya di selangkangan. Masyaa’ Allah sakitnya Na'udhubillah itu gak 1 kali dan harus foto torak jam 12 malam, Yaa Allah bisanya saya dan suami hanya dzikir dan dzikir minta ampunan-Nya sambil menangis, karena susah sekali untuk tidur baru jam 3 atau 3.30 pagi baru bisa tidur. Semoga saya dan suami saja yang ditunjuk oleh Allah SWT untuk sakit seperti ini. Semoga panjenengan semua sehat dan tetep Sefti dan manut dengan Protokol Kesehatan apa yang dibilang dan diingatkan Dokter Ninuk (Satgas Covid di Kelurahan Pepelegi). Mohon dituruti karena benar-benar sangat gak enak kalau sakit seperti yang saya dan suami alami. Selalu menghibur diri kalau sudah kesakitan droup bahwa Allah SWT sangat sayang pada kami itu yang kami lakukan berdua. Selama sakit kami saling menguatkan satu sama lain, dan setelah ini semoga saya dan suami sehat terus dan bisa lihat cucu kami tumbuh cerdas dan sehat walau jauh dari eyang mama papanya. Begitu cerita pasangan suami-istri itu yang disampaikan di akun FB isterinya. “Siapa bilang Covid-19 itu “Rekayasa” para Petugas Medis itu, Keterlaluan!” tegasnya. Mereka itu benar-benar mengalami “serangan” Covid-19. Serangan Covid-19 sebelumnya menimpa Kompleks Sekolah Calon Perwira TNI AD (Secapa AD) di Jl. Hegarmanah, Kota Bandung, Selasa (7/7/2020). Namun, berkat langkah strategis KSAD Jenderal TNI Andika Perkasa, sekitar 62,6 persen diantaranya pulih total. Menurut Jenderal Andika, sebanyak 819 atau 62,6 persen dari 1.308 siswa dari Secapa AD telah pulih total dari penyakit Covid-19. Sisanya, 489 siswa masih didiagnosis dengan Covid-19 di mana hanya 10 orang yang tetap dirawat di Rumah Sakit Tentara Dustira di Bandung, kata Jenderan Andika dalam sebuah pernyataan, Sabtu (25/7/2020). Mengutip Antara, sebanyak 479 siswa lainnya menjalani karantina di kompleks Secapa. Jenderal Andika menambahkan, penanganan oleh Gugus Tugas Covid-19 Secapa menunjukkan tren positif karena meningkatnya jumlah orang yang pulih. KSAD menegaskan bahwa tentara telah bekerja sama dengan Universitas Airlangga dalam hal pengobatan Covid-19. Pada 16 Juli 2020, laboratorium PCR di Rumah Sakit Tentara Sariningsih di Bandung mulai beroperasi untuk mempercepat proses pemeriksaan spesimen swab test. Ini adalah bagian dari 68 fasilitas laboratorium PCR yang tersedia di 68 rumah sakit tentara di seluruh Indonesia. Dalam mendukung upaya pemerintah yang berkelanjutan untuk memerangi pandemi Covid-19, TNI AD juga telah berupaya menyediakan stok peralatan medis dan mendorong uji klinis kombinasi obat Covid-19 di rumah sakit militer, katanya. Melansir dari CNNIndonesia.com, Sabtu (11/07/2020 19:24 WIB), KSAD menjelaskan ihwal kasus penularan Covid-19 yang terjadi di lingkungan Kompleks Secapa AD di Kota Bandung, Jawa Barat. Jenderal Andika mengatakan, mulanya ada dua prajurit siswa yang berobat di Rumah Sakit Dustira Kota Cimahi. Kedua prajurit tersebut mengaku mengalami gejala sakit bisul disertai demam. Sedangkan, satu prajurit lainnya masalah tulang belakang. “Tepatnya dua minggu lalu, saya mendapat laporan dari Komandan Secapa AD. Diawali ketidaksengajaan dua siswa berobat ke RS Dustira,” ujarnya di Markas Komando Daerah Militer (Makodam) III/Siliwangi, Sabtu (11/7/2020). Keduanya kemudian menjalani pemeriksaan tim medis di RS Dustira dengan metode swab sebagai prosedur otoritas layananan kesehatan. Ternyata, hasil kedua siswa itu positif terjangkit corona. Tim medis kemudian melapor kepada Markas Besar TNI AD di Jakarta. Pimpinan di Jakarta kemudian mengirim 1.400 alat rapid test. Menurut Andika, jumlah alat rapid test sebanyak itu untuk memeriksa 1.198 prajurit siswa dan 200-an pelatih serta staf. “Awalnya ada 187 orang yang hasil rapid test-nya reaktif sehingga dicurigai terinfeksi Covid-19. Dari situ saya kirim VTM (alat tes PCR) ke Kakesdam kemudian dilakukan swab dari situ kemudian jumlahnya bertambah terus hingga 1.280 orang,” ujar Jenderal Andika. Ia merinci sebanyak 991 prajurit siswa terjangkit virus corona, sedangkan sisanya 289 orang merupakan staf anggota Secapa dan keluarganya. Sebagian besar dari mereka yang positif itu melakukan karantina mandiri, dan hanya 17 orang yang dirawat di RS. “Dari 17, satu negatif dan 16 masih positif tapi semua tidak merasakan gejala apapun juga. Satu negatif masih di sana karena masalah TBC paru-paru,” tutur Andika. Andika kemudian mengunjungi Secapa TNI AD. Saat kunjungan itu, menurut sumber, Jenderal Andika menyerahkan bantuan berupa formula probiotik yang selama ini berhasil menyembuhkan pasien positif Covid-19 di berbagai daerah. Inikah “rahasia” sukses penanganan Covid-19 di Secapa AD? Gagal Nafas Menurut seorang pakar mikro bakteri, yang sering membuat pasien terpapar Covid-19 itu karena adanya Badai Sitokin di dalam tenggorokan dan paru-paru pasien. Badai Sitokin adalah reaksi imun di tubuh yang berlebihan. Sitokin sendiri itu merupakan zat yang dikeluarkan virus itu sendiri untuk mempertahankan hidup. Agar lingkungan sekitarnya menjadi nyaman buat dia sendiri. Tapi toxic untuk inang. Karena toksik di tubuh terutama paru-paru. Sehingga, paru-parunya terganggu fungsinya. Bisa sampai gagal nafas. Biasanya bakteri/virus itu membuat lendir/cairn pertahanan hidup. Sitokin itu bisa jadi juga berupa lendir kental yang mengganggu pernafasan. Dari sitokin berupa lendir yang numpuk itu yang menjadikan susah bernafas, karena kadar oksigen menurun, sehingga gagal nafas yang bisa menyebabkan pasien Covid-19 meninggal dunia. Lendir itu terbentuk dari 2 sisi. Pertama, Covid-19 ketika meriplikasi dirinya beratus-ratus kali lipat, mereka membutuhkan media untuk hidup. Media untuk hidup itu ya berupa cairan yang berisi protein-protein yang mereka hasilkan tersebut. Nah, cairan tempat hidup mereka itu, ternyata bersifat toksik bagi tuan rumahnya (manusia). Kedua, Reaksi antibodi terhadap cairan yang membahayakan tersebut, antara lain berupa memproduksi cairan untuk menghambat protein yang toksik itu. Perpaduan antara cairan protein yang toksik dengan cairan reaksi antibodi, akhirnya berupa cairan yang kental, dan volumenya banyak. Cara kerja bakteri siklus, ada 2 sisi pendekatan, yakni: Pertama, bakteri-bakteri komunitas mengkoloni Covid-19, sehingga mereka tidak regeneratif lagi, karena tidak memproduksi cairan-cairan lagi. Kedua, Senyawa-senyawa enzim yang dihasilkan oleh bakteri-bakteri komunitas ini mampu merusak protein-protein yang dihasilkan oleh Covid-19, sehingga mereka tidak mampu lagi melakukan proses regenerasi selnya. Itulah “rahasia” yang menjadikan pasien Covid-19 berhasil disembuhkan dengan formula probiotik berbasis bakteri. *** Penulis adalah wartawan senior.
Vaksin Sinovac Berbahaya: Virus “Mati” Bisa Hidup Lagi!
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Jumat (24 Juli 2020). Pada awal Agustus 2020, Universitas Padjadjaran Bandung bersama BUMN Biofarma akan melakukan melakukan uji klinis calon vaksin Virus Corona (Covid-19) yang akan disuntikkan kepada 1.620 orang. Uji klinis itu akan dilakukan setelah mendapatkan izin penelitian dari Komite Etik Penelitian Universitas Padjadjaran (UNPAD). Manajer Lapangan Tim Penelitian Uji Klinis Tahap Ketiga calon Vaksin Covid-19 Fakultas Kedokteran UNPAD dr. Eddy Fadliana mengatakan, meski dinyatakan aman untuk manusia, pada uji klinis fase pertama dan kedua yang telah dilakukan di China. Yaitu, adanya efek samping yang akan ditimbulkan ketika vaksin tersebut disuntikkan kepada manusia. Hal itu disampaikan Eddy dalam konferensi pers di Rumah Sakit Pendidikan (RSP) UNPAD Jalan Prof Eyckman, Kota Bandung, Rabu (22/7/2020). Menurutnya, kita berpatokan pada penelitian. Dari penelitian yang dipublikasikan, ada reaksi lokal berupa nyeri di tempat suntikan 20 sampai 25 persen (dari jumlah orang yang menjadi relawan uji klinis fase satu dan dua),” kata Eddy, seperti dilansir Kompas.com. Lebih lanjut Eddy menambahkan, pada uji klinis fase satu dan fase dua, beberapa relawan yang telah disuntik calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Sinovac Biotech Ltd (Sinovac), mengalami radang paru-paru, diare dan penyakit lainnya. Tapi, “Setelah diaudit tidak berhubungan dengan vaksin,” ungkapnya. Selain itu, dari uji klinis fase satu dan dua, calon vaksin yang dibuat dari virus corona yang dimatikan ini dipastikan tidak menimbulkan penyakit baru. “Fase satu dan fase dua menunjukkan tingkat keamanan cukup tinggi. Pada fase satu dan dua tidak timbul demam, hanya reaksi lokal nyeri di tempat suntikan tadi,” jelasnya. Ketua Tim Penelitian uji Klinis tahap 3 calon Vaksin Covid 19 dari Fakultas Kedokteran UNPAD Prof. Kusnandi Rusmil menambahkan, nyeri bekas suntikan calon vaksin covid-19 tersebut akan hilang dengan sendirinya. “Nyerinya akan hilang sendiri dalam berapa jam. Yang nyerinya hilang sampai 2 hari paling hanya beberapa orang,” tandasnya. Seperti diketahui, sebanyak 2.400 sampel calon vaksin Covid-19 dari Sinovac Biotech Ltd, China, tiba di Indonesia. Bakal vaksin itu akan diuji klinis di laboratorium milik PT Bio Farma (Persero) dan fasilitas penelitian lain di dalam negeri. Kedatangan ribuan kandidat vaksin tersebut diharapkan membuat peluang produksi vaksin Covid-19 di Indonesia bisa dilakukan pada awal tahun depan. Uji klinis di Indonesia akan dilakukan selama 6 bulan. Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir mengatakan, calon vaksin yang dikirim Sinovac diterima Bio Farma pada 19 Juli 2020. Kandidat vaksin itu akan diuji klinis tahap tiga. Melalui akun Twitternya, @jokowi, Presiden Joko Widodo juga menyampaikan rencana uji klinis vaksin virus corona dari Sinovac tersebut. “Kita akan melaksanakan uji klinis vaksin Covid-19 tahap ketiga dengan melibatkan 1.620 sukarelawan. “Proses dan protokolnya mendapat pendampingan secara ketat oleh BPOM. Apabila berhasil, BUMN Bio Farma siap memproduksi vaksin ini dengan kapasitas 100 juta dosis per tahun,” demikian Jokowi, seperti dilansir Kompas.com, Kamis (23/07/2020, 15:16 WIB). Sekretaris Perusahaan PT Bio Farma Bambang Heriyanto menjelaskan, uji klinis vaksin yang dilakukan di negara lain adalah sesuatu hal yang lumrah. “Ini hal lumrah dan berlaku untuk semua di selurh dunia untuk uji klinis,” ungkap Bambang. “Bio Farma juga pernah melakukan itu. Pernah uji klinis suatu produk dilakukan di Swedia, Afrika. Memang enggak ada masalah,” lanjut Bambang dihubungi Kompas.com, Kamis (23/7/2020). Uji klinis fase ketiga vaksin Sinovac ini tak hanya dilakukan di Indonesia. Uji klinis juga dilakukan di Brazil, Turki, dan Cile. Alasan lainnya, kata Bambang, saat ini kasus Covid-19 di China sendiri sudah menunjukkan penurunan. Sementara, kasus di Indonesia, Brazil, dan Cile masih terjadi peningkatan dengan angka yang tinggi. Menurutnya, ada keuntungan bagi Indonesia dengan uji klinis ini. Keuntungannya, kita bisa mengetahui langsung respons vaksin virus corona pada penduduk Indonesia. Dengan demikian, bisa dilihat kesesuainnya dibandingkan jika harus membeli vaksin yang sudah jadi. Menurut Bambang, vaksin Sinovac yang akan diuji klinis di Indonesia juga telah melalui sejumlah tahap pengujian sehingga aman untuk diujikan pada manusia. Ia menjelaskan, baik vaksin ataupun obat sesuai standar WHO harus dilakukan uji dari uji hewan terlebih dahulu atau yang disebut dengan praklinis. Selanjutnya, baru dilakukan uji klinis pada manusia. “Uji hewannya bisa macam-macam. Bisa marmut, monyet, dan sebagainya. Ada standar. Ini untuk melihat vaksin aman atau enggak untuk manusia dan melihat khasiatnya di hewan,” kata Bambang. Setelah uji praklinis, dilakukan uji pada manusia yang meliputi fase I, II, dan III. Adapun, vaksin Sinovac yang akan diuji klinis di Indonesia telah memasuki fase ketiga. Bahaya Sinovac Menurut dr. Tifauzia Tyassuma, pertanyaan besar dan paling fundamental adalah: Mengapa Uji Klinis Fase III Vaksin Cina, harus dilakukan pada Manusia Indonesia? Dan ternyata jenis Vaksin Cina ini adalah virus yang dilemahkan dari virus yang ada di Cina. Vaksin dari virus yang dilemahkan adalah jenis vaksin paling sederhana alias paling primitif. Sementara itu, Uji Klinis Fase II, yang dilakukan di Cina, baru dilakukan pada sampel kecil, hanya 603 subjek. Jumlah yang terlalu kecil untuk Uji Coba Vaksin. Sementara untuk diketahui, pada waktu bersamaan, Vaksin Mandiri yang berasal dari seed virus lokal yang ditemukan di Indonesia, sedang dikembangkan oleh Lembaga Eijkmann, Lembaga kebanggaan milik Indonesia. Eijkmann saat ini sedang membangun tahap ke tahap menuju pengembangan vaksin yang sesuai dengan virus asli yang berkembang di Indonesia. Vaksin yang sedang dibuat adalah Vaksin Tipe Protein Rekombinan. “Menguliti mRNA virus dan membuat fondasinya dan membuat scaffolding dan membuat kloningnya dan seterusnya dan seterusnya yang membuat saya sangat bangga dengan Lembaga Eijkmann, atas pilihan teknologi pembuatan vaksinnya,” ungkapnya. Menurut Arie Karimah Mochamad, Pharma-Excellent, Alumni ITB, Pemerintah sebaiknya membuka informasi seluas-luasnya tentang hal berikut, sehingga kaum ilmuwan seperti dia bisa ikut memonitor dan mengontrol jalannya uji klinis: Jenis vaksin apakah Coronavac yang diproduksi oleh Sinovac, China itu: Tradisional, Viral Vector atau m-RNA? Perbedaannya: Tradisional: menggunakan virus yang sudah dilemahkan atau dimatikan. Kabarnya vaksin jenis ini tidak mudah dikembangkan dalam waktu cepat. Viral vector: menggunakan viral vector, versi yang tidak berbahaya (harmless) dari virus lain untuk menghasilkan materi genetik dari Covid-19. Ini semacam rekayasa genetika dengan bakteri E.coli. “Vaksin jenis ini yang sedang dikembangkan oleh Oxford University bekerja sama dan AstraZeneca, serta vaksin Cansino Biologics, China,” ungkap Arie dalam akun FB-nya. m-RNA (messenger RiboNucleic Acid): Hanya menggunakan platform m-RNA, yang mengandung instruksi agar sel-sel tubuh kita menghasilkan protein yang menyerupai permukaan virus covid. “Yang kemudian oleh tubuh dikenali sebagai benda asing dan akan diserang oleh respon immune. Vaksin ini menggunakan kode Spike protein yang digunakan oleh virus untuk menginfeksi manusia,” lanjutnya. Dikenal juga sebagai faktor kejahatan (virulence) dari virus. Uji klinis National Institute of Health di atas menggunakan vaksin jenis ini. Vaksin yang dikembangkan lembaga Eijkman juga Belum menyebutkan jenis yang mana? Dugaan dia, jenis yang pertama, karena berbicara tentang virus asli Indonesia. Seperti halnya India yang juga menggunakan indigenous vaccine. Jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itu pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Catat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang "bersifat" tidak hanya ke reseptor ACE2 saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin), Ada juga yang langsung berikatan/nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! *** Penulis adalah wartawan senior.
Vaksin China Diduga Bermasalah dan Diragukan, Indonesia Ngotot Mau Pakai?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Fakta berikut ini adalah sebuah ironi. Mengapa uji coba tahap ketiga Vaksin Sinovac produk Sinovac Biotech asal China tidak dilakukan di Negeri Tirai Bambu sendiri? Sementara, kita dengan mudahnya menerima untuk uji coba di Indonesia. Vaksin Sinovac ini akan diuji-coba oleh PT Bio Farma di Kota Bandung. Konon, untuk tahap pertama dan kedua sudah dilakukan di China. Tapi, mengapa untuk tahap ketiga tidak di China lagi? Hal tersebut muncul karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin setelah terjadi skandal oleh perusahaan vaksin di China. Skandal besar pada 2018 tersebut membuat kepercayaan masyarakat lokal menurun. Menurut investigasi South China Morning Post menemukan perusahaan vaksin terkemuka, Changchun Changsheng Biotechnology telah dengan sengaja membuat produk vaksin yang kadaluarsa. Tidak hanya itu, mereka juga melaporkan hasil yang difabrikasi mengenai pembuatan vaksin rabies pada 2018 silam. Perusahaan yang berada di Provinsi Jilin, China tersebut mendapat gugatan sebesar 1.3 miliar Dolar Amerika pada Oktober tahun lalu. Seperti dilansir Gelora.co, Kamis (23 Juli 2020), skandal tersebut dibicarakan pada media sosial China dan menjadi debat heboh yang setelah dihimpun oleh tim ilmuwan Amerika, ditemukan lebih dari 11 ribu pesan mengenai kepercayaan rakyat terhadap vaksin. Bahkan, semenjak insiden tersebut, rakyat juga tidak percaya dengan pemerintah mereka. Kini, perdebatan di Weibo meningkat lagi mengenai tingginya keraguan penduduk dan ketidakpercayaan mereka dengan pemerintah China. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Pengambil Keputusan Laboratorium Universitas George Washington, David Broniatowski. Setahun kemudian, diskusi tersebut telah terpecah menjadi beberapa bagian. Namun, banyak orang mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap ancaman yang mungkin muncul dari vaksin tersebut. “Kekhawatiran itu membesar tidak hanya untuk vaksin rabies tetapi semua vaksin yang dibuat dari Changchun Changsheng Biotechnology,” ujarnya. Hal ini jelas mengkhawatirkan. Sebab, jika begitu maka penanganan penyakit Covid-19 di China bisa terhambat hanya karena persepsi masyarakat telah menyamaratakan semua vaksin dan semua perusahaan farmasi. Pada Juli 2018, pemerintah China menyebut jika perusahaan vaksin tersebut telah melanggar peraturan nasional dan prosedur standar dengan memproduksi 250 ribu dosis vaksin rabies. Berita itu dengan cepat beredar di Weibo tidak lama setelah insiden tersebut, yang membuat pimpinan perusahaan dan 14 pegawainya ditangkap. Beberapa pegawai nasional, provinsi dan lokal juga ditahan atas keterlibatan mereka dalam skandal tersebut. Termasuk dari para aparatur negara adalah empat dari Balai Makanan dan Obat China. Yang membuat warga sulit percaya adalah mantan pimpinan Balai Makanan dan Obat China adalah salah satu yang terlibat dalam skandal tersebut. Broniatowski menyebut meski Covid-19 tidak ada saat skandal itu terjadi, tapi kemungkinan vaksin Covid-19 tidak dipercaya oleh warga China masih sangat tinggi sampai saat ini. “Hasil kerja sebelumnya menunjukkan kecenderungan jika warga yang memiliki kepercayaan rendah pada pemerintah akan lebih tidak mau untuk mempercayai (kepada) pihak medis yang mendesak mereka menggunakan vaksin tersebut,” ungkap Broniatowski. “Jika kekhawatiran mereka menyebar luas, maka orang lain akan ragu untuk menggunakan vaksin tersebut, sehingga akan menambah kasus pasien Covid-19,” lanjutnya. WHO sendiri menemukan keraguan pada vaksin sebagai satu dari 10 tantangan terberat mereka pada 2019. Peneliti menyebut, pemerintah dan petugas medis di seluruh dunia harus memprioritaskan usaha mengkomunikasikan kesehatan lebih baik lagi. Pentingnya vaksin saat ini adalah karena beberapa ilmuwan, termasuk Broniatowski, percaya satu-satunya cara mencegah penyebaran virus Corona adalah dengan pengembangan “herd immunity”. Herd immunity adalah kekebalan manusia yang terbangun setelah terkena penyakit Covid-19 dan sembuh. Kekebalan juga bisa terbangun melalui vaksinasi. Jika herd immunity tercapai dengan cara pertama, tingkat kematian yang dicapai sangatlah tinggi dari total populasi seluruh manusia di dunia. Oleh sebab itu vaksin saat ini sangatlah penting untuk segera bisa digunakan dan efektif sembuhkan penyakit Covid-19. WHO-China Sekongkol? Dokter asal China yang juga pakar dalam virologi dan imunologi di Hong Kong School of Public Health, Li-Meng Yan, melarikan diri ke Amerika Serikat (AS) sejak 28 April 2020 lalu. Mengutip Law-justice.co, Selasa (14/07/2020 08:07 WIB), pasalnya ahli virus ini menuduh pemerintah negaranya menutup-nutupi virus corona baru penyebab Covid-19. Beberapa jam sebelum dia naik pesawat Cathay Pacific 28 April ke AS, dokter terkemuka ini telah merencanakan pelariannya, mengemas tasnya dan menyelinap melewati sensor dan kamera video di kampusnya di Hong Kong. Dia saat itu sudah membawa paspor dan dompetnya dan akan meninggalkan semua orang yang dicintainya. Jika dia tertangkap, dia tahu dia bisa dijebloskan ke penjara, atau, lebih buruk lagi, menjadikan dirinya salah satu dari “orang yang hilang”. Yan mengatakan kepada Fox News dalam sebuah wawancara eksklusif bahwa dia percaya pemerintah China tahu tentang virus corona jauh sebelum mengklaim itu. Menurut Yan, atasan yang terkenal sebagai beberapa ahli top di lapangan, juga mengabaikan penelitian yang dia lakukan pada awal pandemi yang dia percaya bisa menyelamatkan nyawa manusia. Hingga saat ini virus corona masih menjadi misteri, pasalnya kabar apakah virus itu dibentuk dari alam atau buatan manusia hingga kini belum terjawab. Namun banyak sebagian ahli berpendapat bahwa virus ini buatan manusia. Hal inilah yang turut diungkap oleh Dr. Li-Meng Yan, seorang virologi lulusan Universitas Hongkong yang melakukan penelitian virus dan berhasil melarikan diri ke AS itu. Li-Meng Yan mengaku pernah bertugas di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hongkong. Laboratorium tempat Yan bekerja itu adalah salah satu laboratorium terbaik di dunia untuk penelitian virus pneumonia Wuhan. Dalam wawancaranya dengan Fox News itu Yan banyak mengungkapkan sejumlah kebenaran yang menakjubkan. “Alasan saya datang ke AS adalah karena saya menyampaikan pesan kebenaran Covid,” katanya kepada Fox News dari lokasi yang dirahasiakan. Dia menambahkan bahwa jika dia mencoba menceritakan kisahnya di China, dia “akan menghilang dan dibunuh”. Kisah Yan dengan klaim yang luar biasa tentang virus corona yang ditutup-tutupi di tingkat tertinggi pemerintahan bisa mengekspos dorongan obsesif Presiden Xi Jinping dan Partai Komunis China-nya untuk mengendalikan narasi coronavirus. Yakni apa yang diketahui China, kapan diketahui dan apa informasi yang diedit yang dijajakan ke seluruh dunia. “Pemerintah China menolak untuk membiarkan para ahli di luar negeri, termasuk yang di Hong Kong, melakukan penelitian di China,” katanya. “Jadi saya menoleh ke teman-teman saya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut,” ungkap Yan. Yan memiliki jaringan kontak profesional yang luas di berbagai fasilitas medis di China daratan, yang telah tumbuh dan menyelesaikan banyak studinya di sana. Dia mengatakan itu adalah alasan tepat dia diminta untuk melakukan penelitian semacam ini, terutama pada saat dia mengatakan timnya tahu mereka tidak mendapatkan seluruh kebenaran dari pemerintah. Seorang teman, seorang ilmuwan di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di China, memiliki pengetahuan tangan pertama dari kasus-kasus tersebut dan telah dilaporkan mengatakan kepada Yan pada 31 Desember 2020 tentang penularan virus dari manusia ke manusia jauh sebelum China atau WHO mengakui penyebaran semacam itu mungkin terjadi. Beberapa hari kemudian, pada 9 Januari 2020, WHO justru mengeluarkan pernyataan virus tidak menular dari manusia ke manusia. “Menurut pihak berwenang China, virus tersebut dapat menyebabkan penyakit parah pada beberapa pasien dan tidak mudah menular di antara orang-orang...Ada informasi terbatas untuk menentukan risiko keseluruhan cluster yang dilaporkan ini,” kata WHO. Yan frustrasi, tapi tak terkejut. “Saya sudah tahu itu akan terjadi karena saya tahu korupsi diantara organisasi internasional seperti WHO kepada pemerintah China, dan PKC,” katanya. “Jadi pada dasarnya...saya menerimanya tetapi saya tidak ingin informasi yang menyesatkan ini menyebar ke dunia.” WHO dan China selama ini telah membantah keras klaim telah menutup-nutupi virus corona. Kedutaan Besar China di AS mengatakan kepada Fox News bahwa mereka tidak tahu siapa Yan dan menegaskan China telah menangani pandemi secara heroik. “Kami belum pernah mendengar tentang orang ini,” bunyi pernyataan Kedubes China yang di-email tersebut. “Pemerintah China telah merespons Covid-19 dengan cepat dan efektif sejak wabahnya,” lanjutnya. “Semua upayanya telah didokumentasikan dengan jelas dalam buku putih `Fighting COVID-19: China in Action` dengan transparansi penuh. Fakta menunjukkan semuanya,” lanjut klaim Kedubes China. WHO juga terus membantah melakukan kesalahan selama hari-hari awal virus. Kementerian Luar Negeri China dan para ilmuwan yang dituduh Yan telah dihubungi Fox News untuk dimintai komentar. Namun, sejauh ini belum merespons. Li-Meng Yan mengatakan bahwa dia akan terus berbicara – meski tahu ada target di punggungnya. Masih akan paksakan Vaksin China dipakai di Indonesia? *** Penulis adalah wartawan senior.
Indonesia Punya Formula, Mengapa Harus Vaksin China?
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Kamis (23 Juli 2020). Ketika musim haji pada 2012 mewabah Flu Burung varian baru, New Corona, di sekitar Arab Saudi, melalui Onta, apakah vaksin yang dikirim ke sana itu dari China, Amerika Serikat atau negara lainnya yang selama ini dikenal sebagai produsen virus? Bukan! Bukan dari China atau AS yang biasanya memang rajin bikin vaksin! Tahukah Anda jika yang dikirim ke Arab Saudi itu ternyata formula bioto atau probiotik siklus/komunitas, berasal dari Indonesia yang dikemas dalam bentuk ampul vaksin? Atas permintaan Unicef, sebanyak 5.000 liter bioto dikemas oleh PT OM dalam ampul vaksin. Pengiriman ke Arab Saudi diatasnamakan Unicef, kemudian dibagikan kepada jamaah haji dan relatif berhasil menghindarkan jemaah haji dari wabah new corona. Beberapa waktu yang lalu, bioto dengan merk BJ dikirim ke Glenn Eagles, Singapore serta RS Malaya Malaysia, dan diberi merk sendiri, dengan indikasi untuk toksoplasma dan flu burung. Produk bioto tersebut dijual ke pasien, yang mayoritas orang Indonesia, dijual laris dengan harga Rp 1,5 juta rupiah. Di tempat lain, di Indonesia, ada profesor yang menjual suatu produk mikrobakteri dan diklaim hanya untuk toksoplasma, dijual dengan harga Rp750.000,-per botol (1,5 lt) dan laris. Faktanya ternyata produk yang dijual ini merupakan fermentasi bioto generasi ke 8 atau 9. Melalui riset yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa penyakit flu burung adalah murni buatan pihak tertentu yang tidak menginginkan adanya keseimbangan dunia ini. Sifat virus flu burung, di tiap negara, bahkan tiap daerah bisa berbeda. Bahkan beberapa waktu terakhir ini, sering kita dengar adanya berbagai varian flu burung diantaranya H1N1, H5N1, H7N9 (di China), New Corona, yang konon dianggap lebih mematikan dibanding varian terdahulu. Yang membedakan tiap varian virus flu burung sebenarnya adalah jumlah bulu getar pada virus tersebut. Bulu getar/flagel itu sebanarnya adalah semacam alat penghangat pada virus itu yang berfungsi untuk mempertahankan hidup mereka sendiri. Maka bila telah dijumpai terdapat jumlah bulu getar yang berbeda, oleh para ahli virologi dikatakan sebagai mutasi genetik dari virus flu burung. Tamiflu jelas tidak akan efektif untuk tiap kasus flu burung. Tiap jenis obat hanya akan efektif pada daerahnya sendiri, dan obat itupun belum mampu mematikan virus flu burung tersebut. Pengobatan yang paling efektif untuk flu burung adalah dengan probiotik atau bioto karena jumlah laktat yang tinggi. Formula ini sudah banyak membuktikan efektifitas probiotik/bioto terhadap kasus flu burung, sehingga bagi yang sudah tahu, sekarang flu burung bukanlah penyakit yang menakutkan dan mematikan. Kasus flu burung di China telah memakan korban cukup banyak, hal tersebut terjadi karena China menolak produk probiotik dan lebih bangga dengan produk herbal mereka, sehingga penanggulangan flu burung menjadi kurang efektif. Perlu dicatat, di dunia ini, pusat pengembangan produk bakteri terdapat di negara Jepang, Israel, dan Jerman. Sementara AS merupakan pusat produk virus. Jepang dengan revolusi mikrobakteri yang dilakukan melalui proses penanaman tumbuhan dengan menggunakan teknologi pupuk alami non kimia, telah berhasil menghidupkan serta menghijaukan kembali wilayah Hiroshima dan Nagasaki. Orang yang sangat berperan pada proses tersebut bernama Teruo Higa, yang terkenal sebagai penemu teknologi EM (efektif mikroorganisme). Vaksin Sinovac Mulai pekan ini tersebar berita Vaksin Corona buatan China bernama Sinovac sudah datang di Indonesia. Senin, 20 Juli 2020, tiba di Kota Bandung. Vaksin buatan China ini diproduksi perusahaan China bernama PT Sinovac. Di Indonesia uji coba dilakukan PT Biofarma, sebuah BUMN yang laboratorium besarnya di Bandung. Biofarma akan mencari relawan dalam jumlah banyak yang mau disuntik Sinovac. Tulisan Dahlan Iskan, Menanti Sinovac, Rabu (22 Juli 2020) menarik disimak. Itulah orang yang disebut dengan relawan uji coba klinis tahap tiga. Khusus untuk uji coba tahap tiga ini jumlah relawannya harus banyak. Boleh dikata: sebanyak mungkin. Kalau bisa sampai 3.000 orang. Setidaknya 300 orang. Kian banyak dari angka 300 kian baik. Agar bisa mendapatkan hasil evaluasi yang terbaik. Berdasarkan evaluasi uji coba tahap tiga itulah badan-badan dunia akan memberi ijin edar. Yakni badan yang terkait dengan obat/vaksin baru. Setelah izin keluar barulah vaksin itu boleh dipakai secara umum. Istilahnya pun belum disebut 'resmi boleh dipakai' melainkan 'uji coba tahap empat'. Tapi, untuk uji coba tahap empat itu sasarannya bukan relawan lagi. Siapa pun boleh disuntik dengan vaksin baru itu. Sambil terus dimonitor oleh badan-badan perizinan obat/ vaksin-baru dunia. Itulah sebabnya penemuan obat baru itu mahal sekali. Untuk uji coba tahap 4 ini saja, biayanya bisa mencapai Rp 200 miliar. Itu kalau di negara-negara Barat. Padahal di sana tidak ada Pilkada. Karena itu untuk mencari relawan tidak mudah. Mereka sangat takut pada efek samping obat baru itu. Di sana relawan jenis ini mirip relawan Pilkada/ Pilpres kita: harus dibayar. Di samping harus ada gizi, mereka juga harus menandatangani banyak dokumen: misalnya tidak akan menuntut apa pun kalau ternyata ada masalah dengan obat/vaksin itu. Mereka juga harus lebih dulu menjalani pemeriksaan kesehatan. Lengkap. Pun setelah sebulan disuntik. Pemeriksaan setelah penyuntikan itu bisa sampai dua kali. Berarti dua bulan. Kalau pun uji coba tahap 3 ini berhasil, berarti paling cepat Oktober izin pakai dari badan-badan dunia akan keluar. Katakanlah: November. Di bulan November tepat setahun Presiden Jokowi menjabat, vaksin itu sudah bisa diproduksi masal. Itu sudah sungguh-sangat- amat-luar-biasa cepat. Hanya 10 bulan setelah Covid-19 menyerang Wuhan, China, vaksin sudah ditemukan – dan sudah bisa dipakai secara umum. Normalnya, jika di dunia barat, vaksin atau pun obat baru seperti itu baru bisa meluncur ke pasar paling cepat lima tahun. Rasanya ini rekor sepanjang masa. Pun tidak mungkin terjadi kalau bukan China. Bukan saja perizinannya cepat tapi mencari relawan di sana tidak perlu ada tim sukses. Terutama untuk relawan tahap satu. Yang fokusnya pada dampak efek samping. Betapa bahayanya. Di tahap ini perlu waktu dan penelitian yang sangat cukup untuk mengetahui aman tidaknya obat baru. Itu masih diteruskan dengan uji coba untuk tahap dua: untuk mengetahui tingkat keberhasilan. Dengan jumlah relawan sampai 60 orang. Semua itu sudah sukses dilakukan di China. Tinggal uji coba tahap tiga. Yang sasarannya tidak boleh hanya di satu negara. Itulah sebabnya biayanya mahal sekali. Jika di dunia barat. Dengan uji coba di banyak negara maka efektivitas obat/vaksin baru bisa diketahui secara luas. Pun terhadap berbagai jenis manusia. Yang gen dan darahnya berbeda-beda. “Saya bersyukur Indonesia dipilih menjadi salah satu dari banyak negara lain untuk uji coba tahap tiga itu. Itu sebagai pertanda bahwa kita akan boleh memproduksi sendiri nantinya,” tulis Dahlan Iskan, seperti dikutip Disway.id, Rabu (22 Juli 2020). Relawan tahap tiga ini harus dari berbagai macam manusia: anak, remaja, muda, setengah umur dan orang tua –asal jangan tua sekali. Masing-masing dengan jenis kelamin yang berbeda-beda: laki, perempuan dan yang half-half. Mengapa harus Vaksin China? Apakah di Indonesia tidak ada ahli yang bisa membuat vaksin untuk atasi Virus Corona atau Covid-19? Padahal China sendiri pernah gagal saat menangani Flu Burung sehingga memakan korban cukup banyak. Hal itu terjadi karena China menolak produk probiotik, China lebih bangga dengan produk herbal mereka, sehingga penanggulangan flu burung menjadi kurang efektif. Masih adanya serangan Virus Corona di China sekarang ini bukti kegagalan China. Sebagai warga biasa, saya cuma bisa menyarankan, sebaiknya Biofarma tak perlu lakukan uji coba (lanjutan dari China) Vaksin Sinovac pada orang Indonesia. Jika ada kemauan, di sini sudah ada formula probiotik yang terbukti efektif atasi Covid-19. Sudah banyak uji klinis yang membuktikan, formula probiotik berhasil “mengobati” pasien Covid-19. "Kalau pake probiotik kan gak bisa korupsi. Covid-19 ini sangat menguntungkan pemain, Mas!" ujar seorang sumber. Penulis adalah Wartawan Senior.
Aturan Baru Bikin Susah, Advokat Soleh Menggugat, Rapid Test Diragukan Pakar!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Sepanjang Kamis (16/7/2020) sejak pagi hingga sore, pendengar Radio Suara Surabaya telah mengkritisi Perwali No. 33 Tahun 2020 yang merevisi Peraturan Walikota (Perwali) No. 28 Tahun 2020: Pedoman Tata Kehidupan Baru Menghadapi Pandemi Covid-19. Ada ketentuan bagi pekerja dari luar Kota Surabaya harus bisa menunjukkan hasil rapid test nonreaktif atau swab negatif yang berlaku 14 hari. Ada pula pemberlakuan lagi jam malam mulai pukul 22.00. Perwali tersebut merevisi perwali sebelumnya yang berisi protokol kesehatan di 12 sektor. Ketentuan wajib rapid test nonreaktif atau tes swab negatif itu berlaku bagi karyawan atau pekerja di perusahaan. Selain itu, ketentuan tersebut juga berlaku untuk karyawan di restoran, rumah makan, kafe, warung, dan usaha sejenis. Pemilik gerai di toko swalayan, toko, dan pusat perbelanjaan juga mewajibkan karyawan untuk menunjukkan hasil rapid test nonreaktif atau swab negatif. Surat tersebut dikeluarkan oleh dokter rumah sakit atau Puskesmas. Bahkan, orang dari luar Kota Surabaya (baca: Surabaya Raya) yang hendak masuk ke Surabaya harus menunjukkan surat rapid test nonreaktif atau swab negatif. Surat itu berlaku 14 hari. Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya Irvan Widyanto mengungkapkan, aturan terkait dengan ketentuan rapid atau swab test itu didasarkan pada surat edaran dari BNPB. Selain itu, pemkot ingin menekan persebaran Covid-19 di Surabaya. ”Terutama di bidang yang berhubungan dengan orang banyak. Seperti SPG di mal atau waiters di restoran, mereka harus dipastikan kesehatannya,” ujar Irvan, Selasa (14/7/2020). Edaran dari BNPB itu terkait dengan penggunaan rapid atau swab test untuk orang yang naik moda transportasi, baik darat, udara, maupun laut. Sebelumnya, ketentuan tersebut hanya berlaku tujuh hari. Namun, dengan adanya surat edaran tersebut, surat itu berlaku 14 hari. ”Berlaku untuk warga dari luar kota. Kami ingin memastikan tidak ada penularan dari luar kota,” tambahnya, seperti dilansir JawaPos.com, Rabu (15 Juli 2020, 15:48:04 WIB). Selain soal surat rapid dan swab test, perwali juga mengatur jam malam mulai pukul 22.00. Pada jam tersebut, tidak boleh lagi ada aktivitas di luar rumah. ”Jadi, warkop-warkop atau tempat usaha yang biasanya buka 24 jam kini tak boleh buka lagi,” ungkap Irvan. Namun, memang ada kegiatan yang dikecualikan. Yakni, kegiatan yang berkaitan dengan kesehatan seperti rumah sakit, apotek, dan fasilitas kesehatan lainnya. Diperbolehkan pula pasar, stasiun, terminal, pelabuhan, SPBU, jasa pengiriman barang, dan minimarket. Namun, minimarket tersebut harus terintegrasi dengan bangunan sebagai fasilitas pelayanan masyarakat. Melansir Detik.com, Sabtu (04 Jul 2020 14:24 WIB), menurut pakar Epidemiolog UI Pandu Riono, bicara mengenai rapid test yang marak dilakukan pemerintah daerah di tengah wabah Virus Corona atau Covid-19, rapid test semestinya dihentikan secepatnya. “Menurut saya, harus segera. Kalau perlu, besok Senin rapid test di seluruh Indonesia itu bisa dihentikan,” ujar Pandu dalam diskusi “Jelang Usai PSBB Transisi”, Sabtu (4/7/2020). Menurut dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) itu, rapid test sangat tidak akurat. Menurutnya, hasil rapid test tidak bisa menjadi acuan. “Adanya testing cepat antibodi, rapid test, ini sangat tidak akurat,” imbuh Pandu. “Yang dites itu antibodi. Antibodi itu artinya respons tubuh terhadap adanya virus. Itu terbentuk seminggu atau beberapa hari setelah terinfeksi. Kalau tidak reaktif, bukan berarti tidak terinfeksi. Kalau reaktif, bukan berati bisa infeksius,” kata Pandu. Dengan maraknya fenomena rapid test, terang Pandu, terjadilah komersialisasi. Salah satunya ketika rapid test menjadi syarat seseorang sebelum boleh menggunakan transportasi pesawat ataupun kereta api. Padahal, menurutnya, rapid test belum dijamin akurasinya. “Itu useless sebenarnya,” jelas Pandu. “Karena kalau tidak, publik rugi, atau banyak uang negara yang seharusnya bisa meningkatkan kapasitas tim PCR, (malah) hanya untuk membeli (alat) rapid,” tuturnya. Warga Berat Aturan “wajib” rapid test dinilai memberatkan warga. Karena itulah, dua advokat Surabaya, Muhammad Sholeh dan Singgih Tomi Gumilang, menggugat Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 kepada Mahkamah Agung (MA), Selasa (30/6/2020). Gugatan tersebut diajukan untuk kali kedua. Kali ini, laporan mereka menegaskan permintaan uji materi agar rapid test ditiadakan. “Kita menuntut dihapus kewajiban rapid test ini, bukan untuk diubah masa berlakunya,” tegas Sholeh kemarin. Aturan yang digugat adalah Ketentuan Huruf F ayat (2) huruf b dalam SE Nomor 9 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Sholeh menerangkan, mulanya SE itu mengatur agar penumpang pesawat, kereta api, dan kapal wajib menyertakan rapid test nonreaktif untuk penumpang jika ingin bepergian. Masa berlakunya 3 hari untuk rapid test. Aturan tersebut kemudian diubah menjadi 14 hari atau dua minggu. “Meski sudah diubah, ini tetap menyusahkan penumpang. Sebab, tidak semua penumpang orang kaya,” lanjut Sholeh. Biaya rapid test rata-rata Rp 300 ribu dirasa memberatkan banyak warga yang bepergian. Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa dalam kurun waktu tiga hari atau tujuh hari setelah tes itu penumpang tetap bebas Covid-19. Ia juga mempertanyakan orang yang bepergian dengan mobil pribadi, bus antarkota, dan sopir truk tidak diwajibkan. Padahal menurut Sholeh mereka juga rentan. “Bukankah ini kebijakan diskriminatif,” lanjut Sholeh, seperti dilansir JawaPos.com, Rabu (1/7/2020). Meski sudah membawa hasil rapid test, penumpang tetap akan dites suhu badan di bandara, terminal, atau stasiun. Jika suhunya di atas 38, maka dia tidak bisa berangkat walau sudah membawa hasil rapid test nonreaktif. Padahal biaya rapid test cukup mahal. Sholeh memutuskan untuk menggugat aturan tersebut karena sudah banyak keluhan juga dari penumpang tiga moda transportasi. “Kebijakan rapid test ini sangat menyusahkan penumpang pesawat, kereta api, dan kapal laut,” jelasnya. Dalam gugatannya, Sholeh merasa keberatan dengan syarat wajib rapid test bagi penumpang yang akan bepergian menggunakan pesawat, kereta api, mau pun kapal laut selama masa pandemi Covid-19. “Pertama, apa yang menjadi dasar calon penumpang harus mempunyai rapid test? Rapid test itu bukan vaksin, hanya mengetahui seseorang terserang virus atau tidak. Bisa jadi orang dengan hasil reaktif karena sakit flu atau lainnya bukan karena Covid-19,” ujar Sholeh. “Kalau orang yang pergi banyak tentu akan memberatkan calon penumpang,” ungkap Sholeh. Ia mengatakan, kewajiban rapid test itu bertentangan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Sholeh juga berharap permohonan uji materi yang sudah mereka layangkan hingga dua kali ini mendapat perhatian dari MA. *** Penulis Wartawan Senior
Selain Tenaga Medis, Virus Corona Mulai Serang Institusi Militer
by Mochamad Toha Jakarta FNN - Senin (13/07). Sudah banyak dokter dan tenaga medis di berbagai rumah sakit meninggal dunia akibat Virus Corona (Covid-19). Bahkan, belakangan ini masih ada yang dalam perawatan medis di rumah sakit di beberapa Kota/Kabupaten di Indonesia. Terakhir, sebanyak 25 dokter residen di RSUD Dokter Moewardi, Kota Solo, Jawa Tengah. Mereka merupakan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) paru Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS). Jadi, “Saat ini RS UNS menerima rujukan sebanyak 25 pasien positif Covid-19 dari RS dr. Moewardi untuk menjalani masa isolasi di RS UNS,” kata Wakil Direktur Penelitian dan Pendidikan RS UNS Solo, dr. Tonang Dwi Ardyanto, Sabtu (11/7/2020). Tonang menjelaskan 25 orang itu adalah tenaga medis sekaligus mahasiswa PPDS paru atau sering disebut sebagai dokter residen paru. Menurutnya, awalnya hanya satu dokter residen yang terkonfirmasi positif Covid-19 pada Kamis (9/7/2020) lalu. Dalam waktu yang nyaris bersamaan, pada Selasa (7/7/2020) Covid-19 juga telah menyerang Kompleks Sekolah Calon Perwira TNI Angkatan Darat (Secapa AD) di Jl. Hegarmanah, Kota Bandung. Melansir dari CNNIndonesia.com, Sabtu (11/07/2020 19:24 WIB), KSAD Jenderal Andika Perkasa menjelaskan ihwal kasus penularan Covid-19 yang terjadi di lingkungan Kompleks Secapa AD di Kota Bandung, Jawa Barat. Andika mengatakan, mulanya ada dua prajurit siswa yang berobat di Rumah Sakit Dustira Kota Cimahi. Kedua prajurit tersebut mengaku mengalami gejala sakit bisul disertai demam. Sedangkan, satu prajurit lainnya masalah tulang belakang. “Tepatnya dua minggu lalu, saya mendapat laporan dari Komandan Secapa AD. Diawali ketidaksengajaan dua siswa berobat ke RS Dustira,” ucap Andika di Markas Komando Daerah Militer (Makodam) III/Siliwangi, Sabtu (11/7/2020). Keduanya, lanjut Andika, kemudian menjalani pemeriksaan tim medis di RS Dustira dengan metode swab sebagai prosedur otoritas layananan kesehatan. Ternyata, hasil kedua siswa itu positif terjangkit corona. Tim medis kemudian melapor kepada Markas Besar TNI AD di Jakarta. Pimpinan di Jakarta kemudian mengirim 1.400 alat rapid test. Menurut Andika, jumlah alat rapid test sebanyak itu untuk memeriksa 1.198 prajurit siswa dan 200-an pelatih serta staf. “Awalnya ada 187 orang yang hasil rapid test-nya reaktif sehingga dicurigai terinfeksi Covid-19. Dari situ saya kirim VTM (alat tes PCR) ke Kakesdam kemudian dilakukan swab dari situ kemudian jumlahnya bertambah terus hingga 1.280 orang,” ujar Andika. Andika merinci sebanyak 991 prajurit siswa terjangkit virus corona, sedangkan sisanya 289 orang merupakan staf anggota Secapa dan keluarganya. Sebagian besar dari mereka yang positif itu melakukan karantina mandiri, dan hanya 17 orang yang dirawat di RS. “Dari 17, satu negatif dan 16 masih positif tapi semua tidak merasakan gejala apapun juga. Satu negatif masih di sana karena masalah TBC paru-paru,” tutur Andika. Andika kemudian mengunjungi Secapa TNI AD. Dalam kesempatan itu, dia menanyakan secara acak siswa yang positif dengan penerapan protokol kesehatan. Di Secapa, Jenderal Andika tanya satu per satu ambil tiga orang tidak ada pengkondisian. “Saya tanya apa yang dirasakannya, dan mereka bilang yang dirasakan sama sekali tidak ada (gejala),” ucap Andika. KSAD juga menjelaskan bahwa sejak Selasa (7/7/2020) sudah dilakukan swab tahap kedua. Dari tes swab kedua, hasilnya ada 14 yang dinyatakan negatif. Sedangkan, 296 orang masih menunggu hasil lab. “Sekarang, siswa maupun staf Secapa yang tadinya 1.280 itu sudah berkurang (karena hasil negatif Covid-19). Dari siswa kurang 17 dari staf kurang 12,” ucapnya. Ia menambahkan, siswa dan staf yang sudah negatif kini berada di tempat terpisah di Secapa AD. Menyusul temuan 1.262 kasus Covid-19 di lingkungan Secapa AD, tidak lama kemudian juga muncul 99 kasus pasien positif Covid-19 di Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdikpom) AD di Kota Cimahi. Mengapa Virus Corona sampai bisa masuk ke Secapa dan Pusdikpom AD? Ini menarik untuk ditelusur. Menurut saya, dua siswa yang berobat ke RS Dustira itu bukanlah yang mengawali sebaran Covid-19 di Komplek Secara tersebut. Tetapi, jauh sebelum berobat, sebenarnya Virus Corona sudah tersebar ke dalam Secapa AD itu. Setidaknya, sekitar seminggu sebelum kedua siswa itu berobat ke RS Dustira. Jika yang menularkan kedua siswa tadi, tidak mungkin yang positif sampai 1.280 orang. Karena Virus Corona itu butuh waktu untuk menginfeksi saluran pernafasan dan paru-paru seorang korban. Jadi, bukan tidak mungkin, memang ada yang sengaja membawa virus itu masuk ke dalam Komplek Secapa AD (dan juga) ke Pusdikpom AD. Seperti halnya saat awal mula ditemukannya Virus Corona di Kota Wuhan, Provinsi Hubai, China. Dapat dipastikan, ada pihak yang sengaja meletakkan di pasar ikan Wuhan melalui kelelawar. Demikian pula halnya yang terjadi di Secapa dan Pusdikpom AD tersebut. Dalam era modern ini tidaklah sulit untuk mengirim Covid-19 ke dalam sebuah kawasan seperti Secapa maupun Pusdikpom AD. Mereka bisa saja mengirimnya lewat Drone yang kemudian menyebarkannya melalui udara. Sasaranpun bisa terarah ke satu tujuan saja. Apalagi, selama ini drone itu tidak bisa dipantau melalui radar. Obyek yang sulit dideteksi radar. Inilah yang menjadi tantangan TNI dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang bukan tidak mungkin sudah dijadikan sebagai “amunisi” yang berbasis senjata biologis. Untuk melawan Virus Corona ini, tentunya harus mengetahui bagaimana karakternya. Airbone Infection Virus corona itu basic-nya seperti virus influenza. Habitatnya juga ada di kulit sekitar hidung manusia. Seperti halnya virus atau bakteri yang ada di tubuh manusia itu, mereka hidup juga berpasangan. Sayangnya, ada “tangan jahat” yang memisahkan mereka. Padahal, mereka bertugas membersihkan zat-zat patogen yang menempel pada kulit sekitar hidung dan bibir atas. Juga membantu menjaga kelembaban kulit manusia. Sifat dasar virus atau bakteri itu serupa dengan antibodi manusia, hewan, dan tanaman. Yaitu “kalau mereka tersakiti, mereka akan memperkuat dirinya, dan menggandakan dirinya beratus-ratus kali lipat, dibanding pada kondisi normal”. Hewan, akan beranak sebanyak mungkin. Tanaman, akan berbuah dan bertunas sebanyak mungkin. Terlepas dari siapa yang membawa Virus Corona ini ke Wuhan, corona itu, begitu masuk ke dalam tubuh kelelawar, mereka meriplikasi dirinya sebanyak mungkin. Karena bagi mereka itu adalah tempat asing. Dan itu yang membuat mereka ketakutan, sehingga mereka menggandakan dirinya sebanyak mungkin. Begitu sang kelelawar ini dimakan manusia, maka Corona ini beralih ke manusia, dan langsung menggandakan diri lebih hebat lagi. Mengapa kelelawar-kelelawar itu tidak sakit seperti manusia? Karena kelelawarnya ndablek, cuek, masa bodoh, dan tidak berpikir, sehingga antibodinya kuat, dan tidak tersakiti. Kalau manusia ingin sehat, walaupun sudah terpapar Covid-19, bersikaplah seperti kelelawar. Covid-19 yang tertuduh sebagai pembunuh massal sadis itu, berusaha dibunuh secara massal pula, dengan disemproti desinfektan secara massal. Ada sebagian yang mati, ada sebagian yang masih hidup. Barangkali yang masih hidup lebih banyak dibanding yang mati. Karena sudah menjadi sifat dari virus/bakteri itu, maka yang hidup ini menggandakan dirinya beratus-ratus atau beribu-ribu kali lebih banyak dan lebih kuat dibanding yang sebelumnya. Kalau sebelumnya kemampuan terbangnya hanya sekitar 1,8-2 m, menjadi lebih jauh lagi dibanding itu. Kemampuan terbang lebih jauh inilah yang menyebabkan mereka menjadi bersifat airborne infection. Lalu karena jumlah mereka sangat banyak, mereka juga menemukan bakteri-bakteri lain yang mempunyai daya terbang lebih jauh. Corona menumpang pada bakteri lainnya. Akibat dari penyemprotan des infektan secara massal, menyebabkan mereka menjadi: Lebih banyak; Lebih kuat; Mampu terbang lebih jauh; Daya rusaknya lebih hebat. Jumlah Varian Corona pun sekarang ini sudah lebih dari 500 varian Cavid-19 di Indonesia. Langkah cepat dan strategis yang telah dilakukan Jenderal Andika Perkasa dalam mengatasi Covid-19 di Secapa AD dan Pusdikpom AD patut diapresiasi. Sehingga dapat dipastikan, dalam sepekan ke depan, insya’ Allah, semua siswa yang terpapar Covid-19 bisa terbebas dari Virus Corona! Penulis adalah Wartawan Senior
Komsumsi Dexamethasone atau Chloroquine, Pasien Covid-19 di Ambang Bahaya!
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Entah apa yang ada di benak pikiran para pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) hari-hari ini. Penggunaan obat hydroxychloroquine atau chloroquine yang sebelumnya dilarang dihentikan, karena alasan keamanan pada pasien Corona atau Covid-19, kini dicabut. Hidroksiklorokuin adalah obat quinoline yang digunakan untuk mengobati atau mencegah penyakit malaria, yaitu penyakit yang disebabkan parasit yang masuk ke tubuh melalui gigitan nyamuk. Mengutip Medlineplus, obat ini juga ditujukan untuk anti-rematik. Bisa digunakan untuk mengobati gejala rheumatoid arthritis, untuk mengurangi rasa sakit dan pembengkakan pada radang sendi. Selain itu, obat ini juga bisa mencegah dan mengobati discoid lupus erythematosus (DLE) yaitu suatu kondisi peradangan kronis pada kulit. Dan, systemic lupus erythematosus (SLE) kondisi peradangan kronis pada tubuh. Sebelumnya pemakaian dan uji coba hidroksiklorokuin dan klorokuin itu sempat dihentikan WHO karena alasan keamanan pada pasien Corona. Sebuah studi di The Lancet menunjukkan pasien Corona yang diberi obat malaria hidroksiklorokuin dan klorokuin alami gangguan jantung hingga tingkatkan risiko kematian. Namun, kini studi berjudul “Hydroxychloroquine or chloroquine with or without a macrolide for treatment of Covid-19: a multinational registry analysis” itu akhirnya ditarik. Alasannya karena peninjau independen tersebut tak bisa mengakses data yang digunakan untuk analisis sehingga validitasnya diragukan. Indonesia sendiri hingga saat ini masih menggunakan klorokuin untuk pasien Corona seperti di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet. Hingga Jumat (5/6/2020), setidaknya sudah lebih dari 3 ribu pasien yang dilaporkan sembuh dan sudah dipulangkan. “Total kami rawat 4.470 pasien (virus Corona Covid-19). Hingga saat ini yang sudah sembuh totalnya 3.325 pasien,” jelas Arief Riadi, Ketua Tim Medis Covid-19 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) melalui pesan singkat kepada Detikcom dan ditulis Sabtu (6/6/2020). Arief menjelaskan, seluruh pasien Corona di RS Wisma Atlet diberikan klorokuin. Pemberian klorokuin kepada seluruh pasien Corona di Wisma Atlet tidak memiliki efek samping serius atau berbahaya. “Semua pasien di RS Wisma Atlet pakai klorokuin. Alhamdulillah tidak ada (efek serius dari penggunaan klorokuin),” lanjutnya. Menurut Arief Riadi, persentase kesembuhan dari penggunaan klorokuin masih dalam tahap penelitian. Namun, untuk saat ini dapat dilihat dari banyaknya pasien sembuh Corona yang sudah dipulangkan. “Masih dalam penelitian untuk tingkat kesembuhannya. Tetapi dari data di atas jumlah yang pulang (pasien sembuh menjalani perawatan termasuk diberi klorokuin),” ungkapnya. Ternyata, satu dari lima kombinasi obat yang efektif melawan virus Corona atau Covid-19 yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada Jum’at (12/6/2020), efeknya bisa merusak mukosa lambung, yang diikuti iritasi lambung. Bukti nyata, adanya kerusakan mikrobioma lambung. Klorokuin itu obat malaria – parasit – bukan obat virus. Jadi, pemakaian antivirus, jelas merusak keseimbangan mikroorganisme. Pemakaian klorokuin pada lambung lebih dahsyat lagi efek sampingnya. Klorokuin ini akan menekan keberadaan dan membunuh virus-virus target. Sehingga, efeknya akan terjadi ketidak seimbangan ekosistem mikro dan akan berdampak pada ekosistem makro tentunya. Saat keseimbangan tersebut tidak terjadi, maka nantinya akan ada mikroorganisme lain yang akan “datang” untuk menyeimbangkan ekosistem. Secara konvensional akan disebut “wabah baru”. Melansir dari Farmasetika.com, WHO (World Health Organization) menyambut hasil awal tentang penggunaan Dexamethasone (deksametason) dalam mengobati pasien Corona atau Covid-19 yang sakit kritis dalam rilis resminya, Selasa (16/6/2020). Hasil uji klinis awal dari Inggris menunjukkan, obat golongan kortikosteroid deksametason dapat menyelamatkan nyawa bagi pasien yang sakit kritis dengan Covid-19. Untuk pasien yang menggunakan ventilator, pengobatan ini terbukti mengurangi kematian sekitar sepertiga, dan untuk pasien yang hanya membutuhkan oksigen, mortalitas dipotong sekitar seperlima, menurut temuan awal yang dibagikan kepada WHO. Manfaat hanya terlihat pada pasien sakit parah dengan Covid-19, dan tidak diamati pada pasien dengan penyakit ringan. “Ini adalah pengobatan pertama yang ditunjukkan untuk mengurangi angka kematian pada pasien dengan COVID-19 yang membutuhkan dukungan oksigen atau ventilator,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO di website resminya (16/6/2020). “Ini berita bagus dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Inggris, Universitas Oxford, banyak rumah sakit dan pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah yang menyelamatkan jiwa ini,” lanjutnya. Dexamethasone adalah steroid yang telah digunakan sejak 1960-an untuk mengurangi peradangan dalam berbagai kondisi, termasuk gangguan peradangan dan kanker tertentu. Telah terdaftar dalam Daftar Model Obat Esensial WHO sejak 1977 dalam berbagai formulasi, dan saat ini tidak memiliki paten dan tersedia dengan harga terjangkau di sebagian besar negara. Para peneliti dan WHO berbagi wawasan awal tentang hasil uji coba. Dan WHO menantikan analisis data lengkap dalam beberapa hari mendatang. WHO akan mengoordinasikan meta-analisis untuk meningkatkan pemahaman kita secara keseluruhan tentang intervensi ini. “Panduan klinis WHO akan diperbarui untuk mencerminkan bagaimana dan kapan obat harus digunakan dalam Covid-19,” ungkapnya. Beerita ini berkembang dari pertemuan Cetak Biru Penelitian dan Pengembangan WHO, di Jenewa pada pertengahan Februari guna mempercepat teknologi kesehatan untuk Covid-19, di mana penelitian lebih lanjut tentang penggunaan steroid disorot sebagai prioritas. Ini memperkuat pentingnya uji coba kontrol acak besar yang menghasilkan bukti yang bisa ditindaklanjuti. WHO akan terus bekerja sama dengan semua mitra untuk mengembangkan lebih lanjut terapi penyelamat dan vaksin untuk mengatasi Covid-19 termasuk di bawah payung Access to Covid-19 Tools Accelerator. Meski demikian, beberapa ahli farmakologi menyebut obat yang belakangan dijuluki “obat dewa” ini memiliki banyak efek samping sehingga tidak bisa digunakan sembarangan. Seperti dilansir SuaraJogja.id, Jum'at (19 Juni 2020 | 12:00 WIB), menurut Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi UGM Jogjakarta, Ika Puspita Sari, obat jenis steroid ini biasa diberikan untuk pasien inflamasi berat dan auto imun semisal lupus. “Selama ini untuk asma dan gatal-gatal juga, tapi semakin dibatasi penggunaannya karena ada yang lebih ringan efek sampingnya,” jelasnya seperti dilansir Harianjogja.com, Jumat (19/6/2020). Ika menyebut sejumlah efek samping yang dihasilkan obat ini di antaranya osteoporosis, peningkatan kadar gula, glukoma, pendarahan lambung, insomnia dan lainnya. Sebab itu penggunaan obat ini semestinya diawasi dokter. “Tapi yang terjadi di warung-warung sering bisa dijual bebas karena masyarakat sakit gigi, punggung pegal, kecetit dan sebagainya bisa dengan deksametason ini, tanpa menyadari efek sampingnya,” ungkap Ika. Karena bisa dipakai untuk segala inflamasi atau radang, deksametason pun mendapat julukan “obat dewa”. Di Jojga, penyembuhan Covid-19 belum memakai Dexamethasone, melainkan metil prednisolone, masih sejenis steroid namun memiliki efek samping lebih ringan. Guru Besar Farmakologi UGM, Zullies Ikawati, mengatakan Dexamethasone memang bisa digunakan pada pasien Covid-19 parah. Pada pasien dengan kriteria ini, umumnya telah terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan peradangan berat dengan terjadinya badai sitokin yang meningkatkan risiko kematian. Dexamethasone berfungsi menekan badai sitokin sehingga bisa menurunkan risiko kematian. Penggunaan jangka pendek seperti pada Covid-19 tersebut umumnya tak menyebabkan efek samping yang berarti, di mana manfaatnya lebih besar ketimbang risikonya. Tapi, dengan penggunaan jangka panjang obat ini bisa menimbulkan berbagai efek samping termasuk penurunan imun tubuh. Makanya, obat ini tidak digunakan untuk pasien Covid-19 ringan apalagi untuk pencegahan Covid-19. “Bukan untuk pencegahan karena justru menurunkan sistem imun dan menjadi lebih rentan pada penularan Covid-19,” ungkapnya. Penulis Wartawan Senior.
Meski Bisa Sembuh, Covid-19 Tetap Jadi "Histeria"
Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Mengapa sampai terjadi kasus keluarga pasien korban Virus Corona atau Covid-19 membawa lari jasad yang meninggal? Semua itu terjadi karena mereka tidak percaya kalau korban sudah terinfeksi Covid-19, apalagi hasil swabnya belum keluar. Mereka juga tidak tahu dan mengerti soal virus atau bakteri yang sedang mewabah di negara kita sekarang ini. Yang mereka tahu hanya, ada orang meninggal dibungkus plastik dikawal paramedis yang berpakaian “antivirus” Alat Pelindung Diri. Tidak ada yang boleh mendekat, apalagi sampai memegang jenazahnya. Karena mereka bisa tertular. Sehingga nantinya bisa dikarantina mandiri atau malah masuk RS rujukan Covid-10. Jadi, mereka ini awam, tidak mengerti bahaya Covid-19 itu. Apalagi, sampai sejauh ini tidak ada korban Covid-19 di Indonesia yang diotopsi jenazahnya, seperti yang dilakukan di China dan Italia. Sehingga bisa diketahui dengan jelas organ tubuh apa yang diserang Covid-19 sampai menyebabkan kematian. Melansir Detik.com, Senin (02 Mar 2020 17:23 WIB), seorang profesor kedokteran hukum di Tongji Medical College di Wuhan, Liu Liang, mengungkapkan ada beberapa temuan. Yakni, beberapa temuan selama membedah pasien terinfeksi Virus Corona. Prof. Liu Liang telah memimpin operasi bedah terhadap sembilan (9) jenazah pasien dari 12 yang dioperasi ilmuwan China. Profesor Liu Liang membedah dengan hati-hati tubuh pasien corona yang baru meninggal. Tanpa otopsi, pihaknya tak akan pernah tahu kebenaran yang mengejutkan. Dalam “Laporan Pengamatan Umum Anatomi Korban Meninggal karena Pneumoonia virus Corona” Journal of Forensic Medicine ini ditulis, ada cairan kental abu-abu di paru-paru jasad, lendir putih berbusa di rongga trakea dan bronkial paru-paru. Lendir yang seperti jelly itu melekat kuat. Cairan kental inilah yang menghalangi alveoli (kantung udara), memblokir saluran udara, memblokir paru-paru interstitial, memblokir tabung bronkial, secara bertahap membiarkan paru-paru kehilangan fungsi ventilasi; Membuat pasien dalam keadaan hipoksia, dan akhirnya mati karena gagal bernafas. Cairan kental ini merenggut nyawa pasien Corona dan membuat mereka menderita pada saat-saat terakhir kehidupan mereka. Ketakutan mereka mencapai ekstrem. Mereka berjuang seperti tenggelam di dalam sumur, berteriak “tolong”. Mereka dipenuhi dengan keputus-asaan dan rasa sakit. Mereka terengah-engah, bahkan jika mereka memakai masker oksigen dan ventilator, mereka juga tidak bisa menghirup oksigen. Mengapa mereka tidak bisa menghirup oksigen dengan dukungan ventilator? Karena cairan kental itu menghalangi jalur oksigen. Jalannya tidak bisa dilewati. Sejumlah besar oksigen dihirup, tapi penyumbatannya tambah meningkat. Oksigen tidak dapat disalurkan ke dalam darah, dan akhirnya mereka tercekik oleh cairan kental ini. Oleh karena itu, Profesor Liu Liang menunjukkan bahwa penggunaan alat ventilator oksigen secara buta tidak hanya gagal untuk mencapai tujuan tetapi bahkan mungkin menjadi kontra-produktif. Tekanan oksigen akan mendorong lendir lebih dalam ke ujung paru-paru, sehingga semakin memperparah keadaan hipoksia pasien. Dengan kata lain bahwa pengobatan Barat hanya melihat hipoksia pasien, tapi tidak melihat penyebab di balik hipoksia pasien. Cairan kental ini disebut dahak, harus ditangani sebelum memberikan oksigen, jika tidak, berapapun banyaknya oksigen disalurkan juga akan sia-sia. Kita hanya perlu membuka saluran udara ini dengan menghilangkan dahak, menghilangkan kelembaban, membiarkan alveoli mengering, dan membiarkan bronkus halus lancar dan tidak terhalang, dengan demikian tidak diperlukan ventilator oksigen sama sekali; Pasien akan pulihkan fungsi paru-paru sendiri, dan dia akan menghirup oksigen dari udara. Mengutip Dr. Aji Soso Santoso, Adventist Medical Center Manila, yang sudah membaca berita mengenai penelitian Prof Liu Liang seperti komen yang disampaikan Prof Hendrajit. Temuan ini diperkuat oleh Dr. Luciano Gattinoni dari Universitas Kedokteran di Gottingen, Jerman, dalam laporannya mengenai penanganan pasien corona yang menderita gagal nafas di Italia Utara di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, Maret lalu. “Dr. Gattinoti menganjurkan untuk meninjau pendekatan yang berbeda untuk pasien corona yang kritis. Kemudian Dr. Nathalie Stevenson dan Prof. Gary Mills dari NHF Foundation, Inggris memberikan pandangannya,” tulis Dokter Aji Soso Santoso. Bahwa corona merupakan penyakit baru dan membutuhkan penanganan yang berbeda dari gagal nafas biasa. Hal ini dicatat dalam interview oleh Medscape UK. Menurutnya, untuk mencairkan dahak atau mucus dari paru-paru, pasien harus diberi minum obat mukolitik atau pencair dahak seperti ambroxol, mucohexin, erdosteine atau n-acetyl cysteine (yang terkuat). Bila tidak bisa minum, harus dialirkan lewat selang. “Tanpa bantuan mukolitik, dahak kental yang memenuhi bronkus itu tidak akan bisa keluar. Dengan bantuan obat di atas, dahak akan menjadi encer dan dapat dikeluarkan lewat batuk atau suction pump low pressure,” ungkap Dokter Aji Soso Santoso. Lalu bagaimana kalaupun sudah diberikan mukolitik dan sudah dilakukan suction tapi dahak tetap tidak mau keluar? Menurut Prof. Hendrajit, dalam kasus seperti ini Bronchoscopy bisa menjadi pilihan. Mengutip Direktur Global Future Institute tersebut, baru-baru ini juga dikabarkan bahwa penggunaan Ventilator pada pasien Covid-19 ternyata banyak menimbulkan efek negatif tidak seperti yang diharapkan. Kembali ke temuan Prof Liu Liang di Wuhan tersebut. Sebenarnya, hasil otopsi di Tongji Medical College di Wuhan itu juga ditemukan pada seorang pasien Covid-19 di Indonesia. Ini dilihat dari rontgen, paru-parunya tenggelam oleh bercak-bercak putih. Dari hasil otopsi yang dilakukan di China dan Italia, diperkuat hasil rontgen pasien Covid-19 di Indonesia, jelas dan bisa disimpulkan bahwa Covid-19 itu menyerang paru-paru sehingga pasien gagal nafas hingga menyebabkan kematian. Secara klinis, pasien yang sembuh dari Covid-19 biasanya dari hidung dan tenggorokannya akan keluar lendir terus-menerus hingga berhenti sendirinya. Bisa dibayangkan, kalau lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorokan. Itulah yang terjadi pada pasien Covid-19 yang pada akhirnya bisa menyebabkan saluran nafas buntu. Jika lendir ini tidak keluar, maka yang terjadi adalah pasien akan mengalami kematian. Karena gagal bernafas. Lendir ini memang harus keluar. Keluarnya lendir dari hidung dan tenggorokan itu sebenarnya adalah proses perbaikan yang sedang berjalan. Perlu dicatat, saat Covid-19 mereplikasi dirinya beratus-ratus kali lipat mereka membutuhkan media untuk hidup. Media untuk hidup itu berupa cairan yang di dalamnya ini berisi protein-protein yang mereka hasilkan tersebut. Nah, cairan tempat hidup mereka itu, ternyata bersifat toksik bagi tuan rumahnya (manusia). Reaksi antibodi pada cairan yang membahayakan tersebut, antara lain berupa memproduksi cairan untuk menghambat protein yang toksik itu. Perpaduan antara cairan protein yang toksik dengan cairan reaksi antibodi, akhirnya berupa cairan yang kental, dan volumenya banyak. Jika lendir (atau ingus) itu berhasil keluar dari hidung dan tenggorokan, maka bisa dipastikan pasien Covid-19 akan sembuh. Penulis Wartawan Senior