KESEHATAN

Alhamdulillaah, Syafi'i Maarif Sudah Siuman

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Ahad (13/09). Sepanjang hari Ahad (13/9) pesan WA tokoh sepuh Ahmad Syafii Maarif kepada Presiden Jokowi viral. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengaku batinnya menjerit dan goncang membaca berita kematian para dokter. Sudah mencapai 115 orang. Syafii mohon Presiden memerintahkan Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter. Jika terus dibiarkan bangsa ini bisa oleng. Permohonan Syafii ini secara substansi, sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Malah boleh dibilang sangat terlambat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ahli epidemi dan para pengamat kebijakan, sudah lebih dulu memperingatkan pemerintah. Bukan hanya karena kematian dokter, tetapi juga angka korban terinfeksi jumlahnya sangat besar. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara terbesar dalam jumlah korban. Bahkan sudah melampaui Cina, negara asal pandemi. Sudah lebih dari 200 ribu terinfeksi, dan meninggal 8.650 orang. Itu bila menggunakan data resmi. Para ahli virus memperkirakan jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, baik yang positif maupun meninggal dunia. Seruan dokter, tenaga medis, ahli virus, dan pengamat kebijakan dianggap angin lalu. Disangkal, dan dibuli. Dicap sebagai seruan kelompok oposisi yang selalu mencari-cari kesalahan pemerintah, bahkan berniat menjerumuskan. Hanya suara kadal gurun (kadrun) yang tak perlu didengar. Seruan Syafii tentu saja berbeda. Sebagaimana pengakuannya, dia adalah tokoh sepuh. Salah satu yang tertua di negeri ini. Kalangan dekat memanggilnya Buya. Bukan hanya sekadar tua. Dia juga sangat berpengaruh karena pernah memimpin Muhammadiyah. Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Di luar itu yang harus dicatat dan digaris bawah tebal, Syafii adalah salah satu pendukung utama dan pembela Jokowi. Tidak mungkin dia menyampaikan keprihatinan, karena alasan politik, atau kebencian. Sangat sulit bagai para buzzer Jokowi menyerangnya. Apalagi melabelinya sebagai Kadrun. Mudah-mudahan saja tidak. Kalau toh tetap dipaksakan memberi labeling kepada Syafii, maka kategorinya kadrun muallaf. Cebong yang insyaf, atau setidaknya siuman. Sebuah labeling yang sangat tidak layak dan tidak pantas diberikan kepada tokoh terhormat sekelas Buya Syafii Maarif. Presiden Siuman Istilah siuman ini belakangan menjadi hype. Kepada CNNIndonesia Seorang ahli epidemi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo menyambut baik arahan Presiden agar para menterinya lebih mengutamakan kesehatan. “Alhamdulillah, Jadi kalau bahasanya orang itu, Pak Presiden sudah mulai sadar. Mulai siuman,” ujar Windu. Siuman, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa makna. Sadar (dari pingsan, lupa, melamun, termenung, dan sebagainya); ingat kembali (tentang orang mabuk, orang gila, dan sebagainya). Agar tetap memuliakan Presiden, kita sebaiknya memilih makna pertama saja: Sadar. Artinya Presiden sadar bahwa kebijakannya yang selama ini lebih mementingkan pemulihan ekonomi, salah. Cuma masalahnya sebagai nahkoda, Presiden siuman, sadar saat kapal tengah oleng. Selama Presiden pingsan — lupa, melamun, termenung dan sebagainya— para menterinya, sebagai anak buah kapal seperti kehilangan arah. Mereka lebih melihat kepentingan ekonomi sebagai sebuah pulau fatamorgana. Tempat mereka akan selamat berlabuh, di tengah ombak dan badai pandemi. Apalagi sejumlah penumpang kapal kelas VVIP, kalangan pengusaha besar meyakinkan mereka, pemulihan ekonomi lebih penting. Negara bisa kolaps, kalau ekonomi tidak diselamatkan. Sebelum siuman, sebagai nahkoda Jokowi juga sangat jelas memberi instruksi agar kapal menuju pulau fatamorgana itu. Tidak terlalu salah bila Anies Baswedan tiba-tiba mau menarik rem darurat karena kapal akan menabrak karang besar, mereka sangat marah. Rame-rame menghajar Anies. Para menteri ini tetap yakin, percaya diri, mengutamakan ekonomi adalah pulau yang aman untuk berlabuh. Bukan karang berbahaya sebagaimana dilihat Anies. Setelah siuman, tampaknya perlu waktu agar Presiden sebagai nahkoda kapal besar bernama Indonesia, menyadari kondisi sepenuhnya. Perlu ngopi-ngopi dulu. Mudah-mudahan saja peringatan keras dari Syafii Maarif bisa membuat Jokowi sepenuhnya siuman. Kapal besar Indonesia sedang menghadapi bahaya besar. Crash. Menabrak karang dan tenggelam. Ngomong-ngomong dalam KBBI ada kata lain yang mirip-mirip maknanya dengan siuman, yakni mendusin. Bedanya mendusin ini sama-sama terbangun, tetapi tidak tersadar sepenuhnya. Hanya bangun sejenak, setelah itu menarik selimut dan tertidur lagi. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Pertempuran Tiada Henti Anies Vs Jokowi

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Jumat (12/09). Setelah beberapa saat tiarap dihajar publik dan media, BuzzeRp menggeliat kembali. Mereka ramai-ramai menghajar Gubernur DKI Anies Baswedan. Suara mereka bersahut-sahutan, seperti kodok bernyanyi menyambut musim penghujan. Kebijakan Anies menarik rem darurat, akan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta diserang habis. Jumat (11/9) #4niesDanCovidBerbahaya menjadi salah satu trending topik. Sejumlah artis alias influencer juga turut mempersoalkan kebijakan Anies. Cuma caranya lebih halus. Tidak langsung membully. Orkestra nada menyerang Anies di medsos, bersamaan dengan serangan secara sporadis para menteri kabinet Jokowi. Tak tanggung-tanggung. Pasukan tempur menggeruduk Anies dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga menuding rencana Anies menarik rem darurat sebagai biang keladi nyungsepnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham Jakarta. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang selama ini tak pernah jelas rimbanya, tiba-tiba juga muncul. Dia mengingatkan PSBB di DKI Jakarta jangan sampai menghalangi distribusi logistik. Dampaknya bisa menghancurkan Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Perindustrian Agus Gurmiwang Kartasasmita mengingatkan PSBB jangan sampai menghancurkan industri manufaktur yang kini tengah menggeliat. Di luar ketiga menteri yang membidangi ekonomi, yang paling menarik adalah pernyataan Wamenlu Mahendra Siregar. Dia mengingatkan, jika PSBB dipukul rata, termasuk industri manufaktur, dampaknya ekonomi akan kolaps. Sebagai Wamenlu tidak pada tempatnya Mahendra bicara semacam itu. Benar dia pernah menjadi Mendag pada era SBY. Dia punya kompetensi bicara. Namun dengan posisinya sekarang, sungguh tak elok. Akan lebih baik bila Mahendra bicara bagaimana upaya pemerintah membuka “lockdown” dari lebih 60 negara terhadap Indonesia. Itu tugas pokok dan fungsi dia yang tidak kalah seriusnya. Nabok nyilih tangan Fenomena pengeroyokan rame-rame atas Anies, dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai “nabok nyilih tangan.” Alias memukul dengan meminjam tangan orang lain. Jokowi tak mau tangannya kotor dengan menyerang Anies. Dia meminjam tangan para menterinya, bahkan para buzzer untuk menghajar Anies. Tangannya tetap bersih. Bersamaan dengan itu Jokowi agaknya berharap, publik lupa atau setidaknya tidak sadar bahwa apa yang dilakukan Anies merupakan tindak lanjut instruksinya. Dalam rapat kabinet Senin (7/9) Jokowi mewanti-wanti agar penanganan kesehatan lebih didahulukan ketimbang ekonomi. Logika yang sesungguhnya sangat benar. Media menyebutnya Jokowi siuman. Selama ini berbagai kebijakan Jokowi selalu lebih mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan. Kebijakan inilah yang menjadi arena pertempuran antara Anies Vs Jokowi selama pandemi. Anies menginginkan lockdown untuk Jakarta. Pemerintahan Jokowi menolaknya. Jokowi sampai harus mengutus Mendagri Tito Karnavian menemui Anies di Balaikota DKI. Tito mengingatkan bahwa kewenangan lockdown berada di pemerintah pusat. Pemda tidak boleh mengambil kebijakan sendiri. Sepanjang pademi ketegangan antara pemerintah pusat dan Anies terus berlangsung. Menkeu Sri Mulyani pernah menyebut Pemprov DKI tak punya dana Bansos. Mensos Juliari Batubara menyebut penyaluran Bansos di DKI tumpang tindih. Sementara Menko PPM Muhadjir Effendi mengaku menegur Anies karena data dan penyaluran Bansos di DKI acakadut. Belakangan justru terungkap pemerintah pusat dalam hal ini Depkeu berutang besar kepada DKI. Dana perimbangan yang belum dibayarkan sebesar Rp 6,39 triliun. Anies sudah sempat menagih dan mengeluhkannya ke Wapres Ma’ruf Amin. Perseteruan kali ini setidaknya menjadi arena pertempuran babak ketiga antara Anies Vs Jokowi. Hanya saja kali ini Anies harus ekstra hati-hati. Kendati opini publik berpihak kepadanya, namun kondisi psikologis masyarakat sudah sangat berbeda. Secara ekonomi daya tahan publik kian melemah. Mereka terpaksa melakukan pelanggaran pembatasan karena tuntutan perut tidak bisa dikompromikan. Dampak penarikan rem darurat akan membuat kontraksi besar. Apalagi bila tidak dibarengi kompensasi bagi rakyat. Rakyat bisa ngamuk. Anies akan menjadi sasaran. Sudah menjadi rahasia umum keuangan DKI memburuk dan menyusut hampir separoh. Pemerintah pusat sejak awal tidak mau bertanggungjawab atas beban anggaran akibat kebijakan yang diambil. Jokowi mati-matian menolak lockdown karena tidak mau bertanggung jawab atas beban anggaran yang harus dipikul. Anies juga dihadapkan pada penolakan kepala daerah di sekitar DKI yang bakal terkena dampak kebijakan tersebut. Walikota Bogor Bima Arya Sugianto tegas menolak rencana PSBB total. Dia minta Anies berkonsultasi dengan pemerintah pusat. Dilihat dari paduan suara para menteri dan serangan para buzzer, sudah jelas menunjukkan kemana arah kebijakan Jokowi. Jokowi menegaskan penanganan kesehatan harus diutamakan, eh ketika Anies mau menjalankan, malah diserang habis-habisan. Anies pasti tahu belaka bahwa pernyataan Jokowi tidak bisa diartikan secara harfiah. Linier. Jokowi selalu melakukan hal-hal yang berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan. Dia menyatakan akan reshufle, tapi ternyata tidak. Dia menyatakan ekonomi akan meroket, itu artinya ekonomi akan nyungsep. Kalau sekarang dia menyatakan kesehatan harus diutamakan, maka harus diartikan tetap ekonomi lah yang diutamakan. Masalahnya Anies saat ini tidak punya pilihan lain. Rem darurat harus ditarik. Bila tidak akan terjadi crash. Korban jatuh lebih besar. Terus meningkatnya pasien terinfeksi. Membludaknya pasien di rumah sakit rujukan, serta jumlah kematian yang terus bertambah, menunjukkan situasi sudah darurat tingkat tinggi. Anies harus pandai-pandai mengatur siasat. Di satu medan tempur harus melawan Covid-19 yang tidak kasat mata. Di medan tempur lain harus menghadapi pemerintah pusat yang berada di depan mata. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Sinovac Diragukan, Indonesia Malah Terjepit Masuknya Corona D614G

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (01/9). Masih seputar Virus Corona Kode D614G yang beberapa waktu lalu di Filipina dan Malaysia melaporkan temuan virus Corona yang telah bermutasi menjadi 10 kali lebih ganas. Virus ini dikhawatirkan akan masuk ke Indonesia. Dan kekhawatiran ini benar adanya usai Universitas Airlangga mengaku menemukan mutasi ini di beberapa kota besar Indonesia. Bahkan Unair menyebut mutasi serupa juga ditemukan di Surabaya, meskipun data ini masih perlu diteliti lebih jauh. “Indonesia, kalau lihat di Jatim dan Jawa Barat, Indonesia masih sangat terbatas datanya. Masih 21 virus yang sudah disubmit,” ungkap Ahli Biomolekuler Unair, dr Ni Nyoman Tri Puspaningsih, seperti dilansir Kumparan.com, Jum’at (Aug 28, 2020). “Dan mutasinya ditemukan sekitar 8 datanya di Indonesia, di Jabar dan Jatim, dan ditemukan juga di Surabaya mutasi ini,” lanjut Nyoman dalam webinar internasional bertajuk “Ending Pandemics COVID-19: Effort and Challenge”, Jumat (28/8/2020). Menurut Nyoman, mutasi virus ini sebenarnya sudah ditemukan di Eropa sejak Februari 2020. Dan sejak itulah virus SARS-CoV-2 dengan tipe mutasi D614G menjadi yang paling dominan ditemukan di berbagai sampel usap global. Mutasi ini, terletak pada bagian dalam protein yang membentuk spike virus yang berfungsi untuk menembus masuk ke dalam sel tubuh manusia. Mutasi ini akan mengubah asam amino pada posisi 614, dari D (asam aspartat) menjadi G (glisin), sehingga diberi label D614G. “Jadi kami belum tahu mekanismenya persis. Tapi peningkatan mutasinya meluas,” ujar Nyoman, merujuk pada mekanisme penularan dan “cara kerja” baru virus hasil mutasi ini. “Kalian bisa lihat mutasi aslinya di Eropa, banyak mutasi varian virus ini dari Eropa.” Untuk memahaminya, diperlukan penelitian menyeluruh atas semua karakter virus. Namun saat ini Indonesia masih melakukan analisis awal, seperti Unair yang sudah menyerahkan sekitar 6 karakter virus. “Unair sudah submit 6 karakter virus, dua diantaranya karakternya terkait dengan virus di Eropa, dan keduanya termasuk D164G,” ujar Nyoman. “Tapi menariknya salah satu nomor virus ini menarik, karena enggak cuma ada mutasi D164G (di Surabaya).” Karakter Corona Mengapa mutasinya begitu cepat? Perlu diketahui, sifat dasar antibodi, bakteri/virus/hewan, tanaman, dan manusia itu, kalau disakiti, pasti akan melawan, karena untuk mempertahankan keberadaan dirinya. Maka sudah barang tentu, mereka akan melawan semaksimal yang bisa mereka lakukan atau menyerah. Pada saat tersakiti dengan des infektan atau apapun sejenisnya, mereka yang tidak mati (tentu sebagian mati,sebagian hidup) itu membiakkan diri beratus-ratus atau beribu-ribu kali lipat, dibanding kalau tidak disakiti. Padahal konsep yang ada saat ini, corona harus dibunuh dengan antivirus atau antiseptik/des infektan. Naluri virus, yang tidak mati, akan menggandakan diri sebanyak-banyaknya agar eksistensi mereka tetap ada di muka bumi ini. Mereka sebenarnya tidak ingin menyakiti, tetapi setiap ketemu media baru, tangan manusia, itu media asing yang menakutkan bagi mereka, sehingga mereka meriplikasi diri berkali lipat. Pada saat mereka mampu bertahan hidup, tentu saja mereka sudah menjadi lebih kuat, sudah mengenali semua zat yang membunuhnya atau sudah merubah asesoris tubuhnya, sehingga bisa difahami kalau akhirnya sekarang diketahui sudah ada 500 jenis virus corona. Sehingga, menjadi wajar, kalau corona yang tersebar itu: jumlahnya jauh lebih banyak; telah mengalami mutasi genetik; dan lebih kuat. Masalahnya, “siapa yang mempercayainya konsep itu”? Andaikan penglihatan dan pendengaran kita ini dibukakan hijab-nya oleh Allah SWT, bisa berkomunikasi dengan virus itu, bisa memahami sifat mereka, tidak tega menyemprotkan cairan des infektan kepada mereka. Mereka juga menderita. Mereka takut mati, seperti halnya manusia. Bagaimana gemuruhnya di kalangan mereka ketika itu datang. Serupa dengan hebohnya di kalangan manusia sendiri. Tapi sayangnya, siapa yang mempercayai ungkapan ini? Padahal, Covid-19 sudah menelan korban tenaga medis seperti dokter. Setidaknya sudah 100 dokter meninggal dunia sejak wabah Corona melanda Indonesia. Ketua Umum PB IDI dr Daeng M Faqih membenarkan kabar tersebut. “Iya dari laporan terakhir tadi malam yang kami terima sudah mencapai 100 orang (dokter yang meninggal),” bebernya melalui pesan singkat kepada Detikcom, Senin (31/8/2020). Dr. Daeng menyebut data tersebut diterima PB IDI pada Minggu malam (30/8/2020). Kasus Corona di Indonesia pun terus meningkat hingga tembus 3 ribu kasus perhari. Hingga saat ini total sudah ada 172.053 kasus. DKI Jakarta pada Minggu (30/8/2020) melaporkan kasus sebanyak 1.094 kasus. Sebelumnya, Indonesia juga mencatat rekor penambahan kasus harian selama tiga hari berturut-turut. Sabtu (29/8/2020): 3.308 kasus baru dari 28.905 pemeriksaan spesimen yang telah dilakukan. Jumat (28/8/2020): 3.003 kasus baru dari 33.082 pemeriksaan spesimen. Kamis (27/8/2020): 2.719 kasus baru dari 29.663 pemeriksaan spesimen yang dilakukan. Sementara itu Menteri BUMN Erick Thohir sibuk menghitung “untung” jika Sinovac sudah masuk ke Indonesia. Erick menyampaikan, harga vaksin Covid-19 untuk satu orang sekitar 25-30 dolar AS atau Rp 366.500 - Rp 439.800 (kurs Rp 14.660 per dolar AS). “Harga vaksin ini untuk satu orang dua kali suntik kurang lebih harganya 25 sampai 30 dolar AS, tapi ini Bio Farma lagi menghitung ulang,” ujar Menteri Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis pekan lalu. Sementara untuk harga bahan baku vaksin COVID-19, ia mengemukakan sekitar 8 dolar AS pada 2020. Pada 2021 harganya turun menjadi 6-7 dolar AS. “Jadi ada penurunan harga bahan baku pada 2021. Kita memang menginginkan bahan baku supaya kita bisa belajar memproduksi vaksin jadi, tidak hanya terima vaksin yang sudah jadi," ucapnya, dikutip Antara. Agar tidak menambah beban APBN, Erick mengusulkan melakukan vaksin ke masyarakat dengan dua pendekatan, yakni menggunakan APBN berdasarkan data BPJS Kesehatan dan vaksin mandiri. “Vaksin mandiri tidak lain ingin memastikan tidak membebani keuangan negara secara jangka menengah dan panjang,” ucapnya. Dalam kesempatan itu, Erick yang juga Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) mengatakan bahwa Covid-19 masuk dalam kategori pintar. “Catatan buat pimpinan Komisi VI dan anggota, memang virus COVID-19 termasuk kategori virus pintar, masuk kategori flu, vaksin bukan untuk selamanya, 6 bulan sampai 2 tahun kekuatannya. Karena itu kita berharap ada temuan lanjutan agar kita terjaga,” paparnya. Erick memperkirakan pelaksanaan protokol Covid-19 akan berjalan dalam waktu yang lama. Menurutnya, pihaknya meminta kepada seluruh BUMN untuk mulai mengkaji persiapan kinerja bisnis, diperlukan medium strategi dengan kondisi seperti saat ini. Jika menyimak mutasi Covid-19 D614G di atas, apakah belanja vaksin Sinovac masih efektif dan tetap mau dilakukan? Sebab, varian baru ini, bisa terjadi pada orang yang terkena tidak bergejala, tiba-tiba diketahui sudah pada stadium lanjut. Bisa diketahui, kondisi paru-parunya sudah dipenuhi cairan, dan akhirnya saturasi oksigen sudah rendah, dan sulit tertolong. Sebenarnya dengan varian ini, otomatis vaksin yang kini sedang uji klinis, tidak ada gunanya. Karena ada cairan yang banyak di paru-paru ini, maka kadar oksigen yang bisa diserap oleh paru-paru menjadi sangat sedikit/terbatas. Bisa dibayangkan, jika lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorongkan. Sehingga, menyebabkan saluran nafas buntu. Masih tetap mau menggunakan vaksin Sinovac? Mengutip dr. Tifauzia Tyassuma, pihak Sinovac menjual vaksin curah itu ke Biofarma. Harga berapa itu vaksin literan belum jelas. Biofarma masukin botol dan dikardusin, terus dijual Rp 72,000 per dosis. Sampai di tempat Erick dijual Rp 440,000. Modalnya Rp 72 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 39 Triliun. Omzetnya Rp 440 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 240 Triliun. Kata Erick, untuk menekan cash flow pemerintah, maka rakyat harus beli secara mandiri. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID.

Lebih Ganas 10 Kali, Mutasi D614G Covid-19

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (30/8). Dalam tulisan lalu, saya ungkap tentang adanya varian baru yang sudah ditemukan di Malaysia, Thailand, dan Philipina, yang berkemampuan 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19. Apalagi, saat ini mutasi Virus Corona sudah lebih dari 500 varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis. Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Jadi, Covid-19 tersebut tak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Dia mampu menyerang saluran pencernaan dan syaraf. Varian baru itu diberi Kode D614G. Farmasetika.com pada dua pekan lalu menulis, Institute of Medical Research (IMR) telah mendeteksi mutasi Covid-19 tipe D614G dalam tes kultur sampel yang diambil dari 3 kasus yang terkait dengan Cluster Sivagangga, dan satu dari Cluster Ulu Tiram, Malaysia. Sebelumnya, pada Juli 2020 ditemukan di Eropa. Dalam sebuah posting Facebook, Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Datuk Dr Noor Hisham Abdullah mengatakan, mutasi D614G pertama kali terdeteksi pada Juli 2020. Dan, penelitian kemungkinan akan mengungkapkan, vaksin apa pun yang ada tidak efektif melawan mutasi tersebut. “Itu ditemukan 10 kali lebih mungkin untuk menginfeksi individu lain dan lebih mudah disebarkan oleh individu penyebar super,” jelasnya seperti dikutip dari New Straits Times, Minggu (16/8/2020). “Selama ini, kedua cluster tersebut terkendali karena berbagai kontrol kesehatan masyarakat di lapangan,” lanjutnya. Meski demikian, masyarakat harus tetap waspada dan berhati-hati karena Covid-19 dengan mutasi D614G telah terdeteksi di Malaysia. “Terus melakukan tindakan preventif dan (tetap) patuhi standar operasional prosedur yang ditetapkan, seperti menjaga jarak fisik, praktik kebersihan diri, dan memakai masker saat berada di tempat umum,” ujarnya. Ia menambahkan, pengujian ini masih pendahuluan, dan ada beberapa uji lanjutan yang sedang dilakukan terhadap kasus-kasus lain, termasuk kasus indeks kedua klaster. Dr Noor Hisham menekankan, situasi Covid-19 di negara itu terkendali dan Kementerian Kesehatan, bersama dengan lembaga lain, masih melakukan upaya untuk mengekang penyebaran virus corona. “Kerja sama dari masyarakat sangat dibutuhkan, agar kita bisa bersama-sama menekan penularan infeksi Covid-19 dari segala jenis mutasi,” imbuhnya. Covid-19 D614G Mutasi genetik itu ditandai dengan perubahan permanen urutan DNA yang mungkin terjadi karena faktor lingkungan (radiasi UV), atau karena kesalahan selama proses replikasi DNA. Mutasi genetik tersebut bisa terjadi dari banyak jenis, termasuk missense, nonsense, insertion, deletion, duplikasi, frameshift, dan repeat expansion mutation. Mutasi D614G adalah mutasi missense di mana perubahan pasangan basa DNA tunggal menyebabkan substitusi asam aspartat (kode satu huruf: D) dengan glisin (kode huruf tunggal: G) pada protein yang dikodekan oleh gen yang bermutasi. Kodon RNA yang mengkode asam aspartat dan glisin dirancang masing-masing sebagai GAU/GAC dan GGU/GGC. Jadi, mutasi tunggal pada kodon RNA yang menyebabkan pergeseran A ke G tersebut bisa menyebabkan pergeseran asam aspartat menjadi glisin dalam urutan peptida dari protein target. Glisin adalah asam amino nonpolar dengan satu atom hidrogen sebagai rantai sampingnya; sedangkan asam aspartat adalah asam amino polar dengan rantai samping asam. Mengingat perbedaan substansial antara sifat dasar asam amino ini, mutasi D614G diharapkan memiliki implikasi biologis yang signifikan. Secara umum, virus dapat mengalami mutasi genetik yang sering karena beberapa faktor, seperti seleksi alam dan pergeseran genetik acak. Karena faktor-faktor ini dapat bekerja secara berurutan, seringkali sangat sulit untuk mengidentifikasi kapan mutasi virus menjadi lebih umum. Dalam kasus virus corona baru, mutasi D614G pada protein lonjakan virus terjadi pada tahap awal pandemi, dan bukti terbaru menunjukkan bahwa virus yang mengandung residu glisin di posisi 614 kini telah menjadi varian paling umum secara global. Untuk mengidentifikasi faktor penyebab yang bertanggung jawab atas kemunculan cepat G614 yang mengandung virus corona, para ilmuwan telah memantau secara ekstensif semua data sekuensing genom virus corona yang tersedia secara global di database Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID). Dengan menggunakan metode bioinformatis yang sesuai, para ilmuwan telah menemukan bahwa mutasi G614G pada protein lonjakan virus adalah mutasi yang paling sering terjadi di banyak lokasi geografis. Sebagai virus pseudotipe, varian G614 memiliki titer infeksi yang jauh lebih tinggi daripada varian D614. Ini menunjukkan bahwa lonjakan mutasi D614G membuat virus korona baru lebih menular dan virus dapat ditularkan dengan lebih mudah dan cepat dari orang ke orang. Selain itu, para ilmuwan telah menunjukkan, orang yang terinfeksi varian G614 memiliki viral load yang lebih tinggi di saluran pernapasan bagian atas dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi varian D614. Namun, mutasi D614G itu tidak terkait dengan peningkatan keparahan penyakit. Karena mutasi D614G terletak pada antarmuka antara protomer protein lonjakan yang berdekatan, mutasi ini bisa memodulasi interaksi protomer-protomer dengan mengganggu pembentukan ikatan hidrogen antar-protomer. Menariknya, satu studi yang dilakukan pada pseudovirus yang mengandung D614 atau G614 telah mengklaim bahwa virus yang mengandung G614 lebih rentan terhadap netralisasi yang dimediasi sera. Penemuan ini menunjukkan, mutasi D614G tidak memfasilitasi virus keluar dari respon imun host. Apakah mutasi Spike D614G dikaitkan dengan kasus kematian yang lebih tinggi? Meski tidak ada bukti yang menunjukkan, mutasi D614G dikaitkan dengan peningkatan keparahan Covid-19, sebuah penelitian terbaru yang menggunakan pohon filogenetik lebih dari 4000 genom virus corona telah mengklaim, virus yang mengandung mutasi D614G lebih ganas, dan karenanya, dikaitkan dengan penyakit dengan tingkat kematian yang lebih tinggi. Penelitian ini berspekulasi, patogenisitas virus yang lebih tinggi mungkin disebabkan oleh perubahan konformasi yang dimediasi oleh mutasi pada protein spike, yang memfasilitasi pemaparan situs pembelahan polibasik ke protease seluler. Bisakah mutasi D614G mempengaruhi pengembangan vaksin? Protein spike mendapatkan banyak perhatian dari sistem kekebalan inang karena terletak di permukaan luar virus (protein eksternal). Dengan demikian, mutasi spike D614G tersebut diharapkan memainkan peran utama dalam memodulasi kemampuan virus untuk melarikan diri dari respons imun yang diinduksi oleh vaksin. Namun, ada bukti yang menunjukkan bahwa kemungkinan mutasi D614G mempengaruhi kemanjuran vaksin sangat kecil. Karena mutasi itu tidak berada dalam domain pengikat reseptor protein spike, mutasi kecil kemungkinan memengaruhi kemampuan domain tersebut untuk menginduksi respons imun inang, yang diyakini sebagai prasyarat untuk netralisasi virus yang dimediasi antibodi. Selain itu, sebagian besar vaksin yang sedang berlangsung dikembangkan untuk melawan domain pengikat reseptor, dan dengan demikian, mutasi D614G seharusnya tak berpengaruh pada kemanjuran vaksin. Pengamatan penting lainnya adalah bahwa serum penyembuhan yang diperoleh orang yang terinfeksi virus D614 telah ditemukan bisa menetralkan virus yang mengandung G614, begitu pula sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa mutasi D614G tidak mengubah respons imun yang dimediasi oleh antibodi. Kabarnya, sebelum di Malaysia, D614G itu sudah ditemukan di Indonesia. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Rezim Ini, Orang Miskin Tidak Boleh Sehat

by M Rizal Fadillah Bandung FNN- Ahad (30/08). Gila memang. Harga vaksin yang diimpor pemerintah dari China melalui Bio Farma akan bertarif Rp, 440.000, kata Erick Thohir Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Artinya, cukup mahal dengan harga setinggi itu. Kemungkinan hanya orang yang bisa membayar dengan uanga Rp. 440.000 saja yang bisa divaksin. Bagi orang-orang yang mampu, tentu saja uang sebesar itu tidak ada persoalan. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya, khususnya yang dikategorikan kelompok rakyat miskin. Nilai vaksin Rp 440.000 tersebut, tentu sangat dirasakan berat. Untuk kebutuhan makan sehari-hari saja masih susah. Apalagi untuk membeli vaksin buatan China. Pemerintah negeri ini memang aneh. Ngotot memaksakan untuk dapat mengambil dan menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) demi covid 19 tanpa akibat hukum melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Lalu pemerintah pun mendapatkan dukungan mudah dari DPR, sehingga jadilah UU No. 2 tahun 2020. Akan tetapi untuk vaksin, ternyata masih dibebankan juga kepada rakyat masing-masing untuk bisa mendapatkan. Rapanya orang miskin sangat susah untuk menjadi sehat di negeri ini. Covid 19 adalah penyakit mematikan. Pandemi yang menggoncangkan, dan berdampak bukan saja kepada aspek kesehatan tetapi juga sosial, ekonomi, bahkan politik. Pemerintah pun menetapkan status darurat kesehatan dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai pilihan kebijakan berdasarkan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Penandatanganan "kerjasama" impor sebanyak 50 juta dosis vaksin dari China pada tanggal 20 Agustus 2020 lalu di Hainan. Penandatanganan tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengiriman mulai bulan Nopember 2020 hingga Maret 2021. Penyuntikan vaksin massal pun nantinya akan dilakukan. Masalahnya adalah biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat itu sendiri cukup mahal. Malah ada yang mencurigai jangan-jangan Pemerintah sedang berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Pemerintah rupanya masih perlu mencari keuntungan dari penjualan vaksin buatan China tersebut dari rakyat. Susah juga ornga miskin untuk menjadi sehat di negeri ini. Akibat pandemi covid-19, rakyat telah mengalami kesulitan bertingkat. Kesulitan yang tidak pernah dirasakan rakyat sebelumnya.Kesulitan tingkat satu, tertekan oleh serangan pandemi covid 19. Sekurang-kurangnya stress dengan protokol kesehatan yang ditetapkan pemrintah. Kesulitan tingkat dua adalah dampak yang mengikutinya. Misalnya soal kerugian usaha, kesempitan mendapatkan lapangan kerja, atau silaturahmi yang terkendala diatara masyarakat. Kini masyarakat juga akan memasuki kesulitan tingkat tiga, yaitu harus membayar mahal biaya vaksin asal China. Rakyat akan semakin merasakan ketidakhadiran negara untuk melindungi dirinya, seperti perintah tujuan bernegara pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945. Negara yang hanya bisa menguras dan memeras rakyatnya sendiri di tengah penderitaan bertingkat. Negara pemberikan fasilitas kepada orang kaya. Sedangkan simiskin semakin menderita. Kini dengan vaksin berharga Rp. 440.000, maka akan bertambah berat beban si miskin untuk sehat di negeri ini. Orang miskin tidak boleh sehat. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Tingkat Kematian Tertinggi, Masih Tetap “Ngotot” Mau Konser?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (30/08). Penambahan kasus harian pada Kamis (27/8/2020) tercatat sebanyak 2.719 kasus. Angka ini memecahkan rekor penambahan kasus harian terbanyak sampai saat ini. Secara total, jumlah pasien positif Covid-19 kini bertambah menjadi 162.884 kasus. Meskipun demikian, pasien yang berhasil sembuh terus meningkat. Pada Kamis (27/8/2020) bertambah 3.166 pasien. Maka, total pasien sembuh telah mencapai 118.575 pasien. Pasien yang meninggal dunia bertambah 120 orang, sehingga secara total 7.064 orang pasien telah meninggal dunia akibat terjangkit Covid-19 di Indonesia. Dari sebanyak 1.233.486 spesimen yang diperiksa, tercatat 1.070.602 kasus negatif Corona. Sementara itu, data pada Kamis (27/8/2020) untuk jumlah Suspek sebanyak 76.201 kasus. Rekor tertinggi penambahan kasus covid-19 harian: 1) 27 Agustus 2020 = +2.719; 2) 9 Juli 2020 = +2.657; 3) 7 Agustus 2020 = +2.473; 4) 25 Agustus 2020 = +2.447; 5) 29 Juli 2020 = +2.381. Sebelumnya, Reuters menulis. Indonesia dinilai gagal mengontrol wabah Covid-19. Secara resmi Indonesia melaporkan 6.594 kematian akibat Covid-19, ini yang tertinggi di seluruh negara Asia Tenggara. Jika dihitung juga mereka yang meninggal karena gejala Covid-19 akut namun belum diuji, Reuters menduga angka kematian menjadi 3 kali lipat dari itu. Reuters menilai Indonesia tidak nampak adanya kemampuan untuk menahan laju penyebaran virus, bahkan kini penyebaran virus di Indonesia sudah menjadi yang tercepat di Asia Timur. Dari mereka yang menjalani tes dalam sepekan terakhir: Secara nasional 16,1% terbukti positif. Di Jakarta: 9,1%. Di luar Jakarta: angka tersebut bahkan mencapai 25%. Menurut WHO angka positif lebih dari 5 % berarti wabah Tidak Terkontrol. Tercatat kasus positif sebanyak 151.498. Angka ini memang jauh di bawah angka jutaan seperti yang dilaporkan AS, Brazil, dan India, dan masih lebih rendah dari Filipina, yang populasinya kurang dari setengah populasi Indonesia. Tapi angka sebenarnya dari kasus yang terinfeksi masih tanda tanya, karena jumlah penduduk yang dites per kapita di Filipina 4 kali lebih banyak, dan AS bahkan 30 kali lebih banyak dari Indonesia. Makin banyak yang dites berarti makin besar kemungkinan memperoleh angka yang positif. Seorang epidemiolog dari UI mengatakan bahwa puncak wabah mungkin akan datang pada bulan Oktober, dan wabah belum akan berlalu sampai akhir tahun. Meskipun Indonesia memiliki 269 lab dengan mesin PCR, namun lab semakin tidak mampu memenuhi permintaan tes karena infeksi terus meningkat. Juga karena kurangnya staf dan reagen untuk pengujian. Menurut salah seorang pejabat jumlah kasus suspect, memiliki gejala Covid-19 namun belum dites, mencapai angka 79.000 bulan lalu. Problem lain adalah sulitnya contact tracing, terutama di daerah atau luar Jawa. Mereka yang hendak dilacak karena melakukan kontak dengan orang yang positif seringkali namanya tidak lengkap, nomer hp tidak aktif, atau alamatnya sudah ganti. Dengan bantuan kepala desa pun sebagian kontak tersebut tidak berhasil ditemukan. Jika pun ketemu sebagian dari mereka menolak dites, karena takut akan kehilangan pekerjaan atau dikucilkan di lingkungannya. Data dari pemerintah yang diperoleh Reuters menunjukkan, hanya 53,7% dari mereka yang terkonfirmasi atau suspect yang dilakukan contact tracing. Pemerintah berusaha melacak 30 orang untuk setiap kasus positif. Angka ini masih jauh lebih rendah dibandingkan negara Asia lainnya. Korsel misalnya, pada Mei 2020 lalu mereka melacak dan mengetes hampir 8.000 orang setelah seorang pria yang terbukti positif mengunjungi sebuah night club. Pejabat WHO mengatakan, Indonesia semestinya melakukan contact tracing setidaknya 20 orang per kasus terkonfirmasi atau suspect. Tapi, kata Arie Karimah Muhammad, nyatanya Indonesia hanya melakukan rata-rata 2 orang per kasus. “Di Jakarta angkanya malah kurang dari 2 sedangkan di Jatim 2,8 kontak. Ini pun baru mulai dilakukan pertengahan Juli,” lanjut Pharma-Excellent alumni ITB itu. Seorang dokter di RSUD Soetomo mengatakan, angka mortalitas di sana antara 50-80%, dan tempat tidur yang tersedia tak mencukupi. Indonesia hanya memiliki 2,5 tempat tidur di ICU untuk setiap 100.000 orang. Sebagai perbandingan: di India angkanya mencapai 6,9. Konser Jatim Arie Karimah menyoroti rencana Konser Ari Lasso yang digelar di kawasan “Wisata Ngopi Bareng Pintu Langit”, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, pada 12 September 2020. Ini juga dalam rangka New Normal. Saifullah Yusuf alias Gus Ipul yang juga pemilik sekaligus penggagas kawasan wisata halal Ngopi Bareng Pintu Langit ini mengatakan, semuanya sudah siap. Ia mengaku juga sudah bertemu dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Gus Ipul menjelaskan, ini adalah konser pertama yang digelar di Jatim, bahkan Indonesia di era new normal ini. Menurutnya, konser ini menjadi pilot project untuk menggelar konser-konser berikutnya. “Makanya dicoba konser Ari Lasso di era new normal ini. Tentunya, dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat ketat. Ini sedang dipersiapkan semuanya,” tambah Gus Ipul, seperti dilansir Surya.co.id, Selasa (25 Agustus 2020 23:46). Gus Ipul menjelaskan, ini adalah konser uji coba yang langsung mendapatkan dukungan dari Presiden Joko Widodo, dan kebetulan Jatim ditunjuk sebagai tempat penyelenggara, yakni di Wisata Ngopi Bareng Pintu Langit. “Kami akan betul-betul tetap mematuhi protokol kesehatan agar konser ini berjalan lancar, aman dan tidak menimbulkan resiko-resiko yang tidak diinginkan,” sambungnya. “Berdasarkan data pagi ini, nggak pakai tapi dan asumsi. Dengan prestasi seperti ini, apa pantas Jatim mengadakan konser musik, yang akan mengundang kerumunan dan Risiko Penularan Covid, yang mungkin akan tidak sanggup ditangani?” tegas Arie Karimah. Jumlah kasus positif: peringkat Kedua secara nasional setelah Jakarta, yakni 31.329 kasus. Jumlah kematian terbanyak: peringkat Pertama nasional dengan angka 2.252. Persentase kematian terbanyak: peringkat Kedua nasional dengan angka 7,2% setelah Bengkulu. “Cemana Khofifah? Dengan ilmuwan kita bicara data dan statistik,” sindir Arie Karimah. Perlu dicatat, phycical distancing kini nyaris tidak berguna. Sebab, daya jangkau Covid-19 sekarang ini bisa mencapai sekitar 8 meter. Apalagi, mutasi Corona sudah mencapai angka 500 karakter atau varian. Karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor Angiotensin Converting Enzyme-2 (ACE-2) saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis. Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan pada pasien anak-anak di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Terutama mampu menyerang saluran pencernaan dan syaraf. Sekarang ini varian baru yang sudah ditemukan di Malaysia, Thailand, dan Philipina, punya kemampuan 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Apakah Gubernur Khofifah dan Gus Ipul sudah tahu soal itu semua? Sebaiknya rencana itu Konser Ari Lasso itu ditunda, bila perlu dibatalkan! *** Penulis wartawan senior fnn.co.id

Sinovac, Vaksin Merdeka yang Tidak Merdeka!

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Selasa (25/08). “Vaksin Merdeka”. Begitu judul tulisan Dahlan Iskan (DI) di Disway.id, Minggu (23 August 2020). Berita baik minggu ini datang dari Hainan. Menteri BUMN Erick Thohir dan Menlu Retno L.P. Marsudi terbang ke kota Sanya. Itulah 'Pantai Kuta'-nya pulau Hainan. Di situ mereka bertemu Menlu Tiongkok Wan Yi. Perjanjian awal pun ditandatangani: Indonesia bisa membeli 50 juta ampul vaksin Covid-19 dari Sinovac pada Januari 2021. Memang, berita media tidak rinci: apa yang disebut membeli 50 juta ampul itu. Bukankah Bio Farma Bandung bisa memproduksi sendiri – berdasar perjanjian dagang antara Sinovac dengan Bio Farma. Kemungkinan Indonesia ingin lebih cepat mendapat vaksin itu. Tanpa menunggu Bio Farma. “Yang baru bisa berproduksi setelah hasil tes klinis tahap 3 disahkan BPOM,” tulis Mas DI. Mas DI menyebutkan, di Tiongkok (China) uji klinis tahap 3 itu sudah dilakukan lebih dulu. Tiongkok sudah bisa memproduksinya lebih awal. Ketika yang 50 juta itu habis dipakai tepat ketika Bio Farma sudah diizinkan mulai memproduksi. “Saya memperkirakan seperti itu,” tulisnya. Kemungkinan lain, lanjut Mas DI, selama ini uji klinis tahap 3 di Bandung tersebut belum disertai perjanjian dagangnya. Maka di pertemuan Hainan itulah Bio Farma mulai mendapat hak memproduksi 50 juta. Juta-juta berikutnya akan dibicarakan kemudian. “Terutama berapa yen yang harus dibayar Bio Farma ke Sinovac untuk setiap satu juta ampulnya. Kemungkinan yang mana pun tidak ada masalah. Saya anggap itu sebagai langkah cepat yang harus dilakukan,” lanjutnya. “Ups.... Akhirnya saya mendapat konfirmasi dari Bio Farma. Kemarin. Ternyata kemungkinan pertama itu yang benar. Pembelian 50 juta unit itu semata-mata karena di sana sudah boleh diproduksi,” ungkap Mas DI. Sedang untuk bisa produksi di Indonesia masih harus menunggu hasil uji klinis tahap 3 yang di Bandung itu. Juga masih harus menunggu izin edar dari BPOM. Berarti akan ada kiriman 50 juta unit vaksin langsung dari Tiongkok. Kiriman itu, menurut Iwan Setiawan, dalam bentuk bulk. Bukan dalam bentuk botol-botol kecil. Iwan adalah Kepala Departemen Komunikasi Bio Farma. Kiriman itu dilakukan secara bertahap mulai tiga bulan lagi. “Di November 10 juta unit. Desember 10 juta. Januari, Februari dan Maret masing-masing 10 juta,” ujar Iwan. Setelah vaksin itu tiba di Bandung, Bio Farma melakukan pembotolan dan seterusnya. “Jadi akan ada untuk komponen dalam negerinya,” ujar Iwan. Bio Farma, baru akan memproduksi sendiri setelah uji klinik tahap 3 selesai dievaluasi dan dinyatakan berhasil. “Maka membeli dulu dari Tiongkok itu saya anggap langkah yang sigap. Saya salut tim Erick Thohir mampu menemukan jalan kuda itu. Dirut Bio Farma Honesti Basyir sampai hari ini masih di Tiongkok. Untuk bisa bertemu langsung Sinovac di tengah pandemi,” tulis Mas DI. Pertemuan dua menteri Indonesia dengan Menlu Tiongkok sendiri memilih tempat di Hainan. Pilihan yang tepat. Hainan hanya 3,5 jam terbang langsung dari Jakarta. Dengan pesawat carter. Mereka bisa langsung balik ke Jakarta hari itu juga. Tanpa harus bermalam di sana. Mas DI pun memuji Erick Thohir. “Gerak cepat itu memang menjadi ciri khas orang seperti Erick Thohir. Apalagi pemerintah sudah menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun depan antara 4,5 sampai 5 persen. “Angka yang sangat optimistis. Saya sampai terkaget-kaget. Berarti prioritas vaksinasi nanti harus dikaitkan dengan sektor-sektor ekonomi: para karyawan pabrik, para pramugari dan awak angkutan, komunitas pasar, dan seterusnya,” ungkapnya. Siapa pun yang diprioritaskan tetap saja baik untuk semua. Dengan 40 juta orang yang akan divaksinasi berarti potensi penularannya juga turun.Sejauh ini isu negatif yang sempat ramai sudah reda. Tidak ada lagi isu halal-haram. Tanpa harus terjadi caci-maki. Mas DI juga mengungkapkan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil bersama Pangdam Siliwangi dan Kapolda Jabar telah mendaftar sebagai Relawan Uji Klinis Tahap III di Bandung pada Selasa, 25 Agustus 2020. Gubernur yang akrab dipanggil Kang Emil itu merasa sudah mendapat penjelasan lengkap mengenai konsekuensi menjadi relawan. Termasuk harus menjalani dua kali suntikan. Ia merasa aman-aman saja. Kenapa harus dua kali? “Karena vaksin ini bukan dari virus Covid-19 yang dilemahkan, tapi dari virus yang dimatikan,” katanya. Itulah penjelasan yang ia terima. Maksudnya: vaksin ini lebih aman. Sejauh ini di Tiongkok sendiri belum ditemukan efek negatif dari vaksin ini. Berarti nantinya Bio Farma harus memproduksi 2 kali lebih banyak dari jumlah orang yang harus divaksinasi. Kalau pun Erick kini juga lagi bicara dengan dua perusahaan vaksin Tiongkok lainnya, bukan berarti meragukan Sinovac. Itu semata-mata melihat kemampuan produksi pabrik vaksin. Yang tidak akan sebesar keperluan seluruh dunia. Bio Farma bukan baru sekali ini bekerjasama dengan Sinovac. Di program vaksinasi polio, misalnya, Bio Farma juga bekerjasama dengan Sinovac. Saham Sinovac, yang sudah lama go public di pasar modal Nasdaq New York, mengalami kenaikan besar bukan di vaksin Covid-19 ini, tapi saat mulai memproduksi vaksin hepatitis A dan B dulu. Sedang nama Bio Farma ngetop saat memproduksi vaksin flu burung. Kini semua orang memang menunggu vaksin Covid-19 itu. Apalagi kalau melihat berita Harian DI's Way kemarin: kini di Beijing tidak wajib lagi pakai masker. Rasanya di bulan Agustus ini justru orang Beijing yang merdeka. Apa yang dinyatakan Mas DI dalam penutup tulisannya itu memang benar. Vaksin Merdeka lebih tepat untuk China. Tapi, Vaksin Merdeka yang Belum Merdeka itu untuk Indonesia. Itu fakta yang sebenarnya! *Belum Aman!* Jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, diantara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itulah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Ingat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin). Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Itu adalah fakta klinis yang ditemukan di rumah sakit. Jadi, Covid-19 itu tidak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Perlu diingat, Covid-19 itu terjadi dan meledak sekitar 5-6 bulan lalu. Padahal, kalau tidak salah, fase membuat vaksin itu butuh waktu 12-18 bulan. Dari mana specimen virusnya itu diperoleh? Karena, kabarnya, basic dari vaksin ini adalah kasus SARS-Corona 5 tahun yang lalu, bukan Covid-19 ini. Apakah efektif untuk Covid-19? Bagaimana pula kalau sekarang ini varian baru yang telah ditemukan di Malaysia, Thailand, Philipina, yang kemampuannya 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19? Terutama mampu menyerang saluran pencernaan dan syaraf. Varian baru itu diberi Kode D614G. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Perbaiki Prosedur Vaksin Covid 19 Baru Bisa Lolos

by Mochamad Toha Jakarta, FNN (Senin 23/08). Uji klinis 3 kombinasi obat untuk virus Corona (Covid-19) di Universitas Airlangga diwarnai kontroversi. Sempat diklaim sebagai bakal jadi obat Corona pertama di dunia, namun Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berkata lain. “Ditemukan ada critical finding,” kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito kepada pers di channel YouTube BPOM, Rabu (19/8/2020). Ada beberapa catatan yang disampaikan Penny dalam kesempatan tersebut. Pertama, terkait validitas. Hasil inspeksi di pusat penelitian di Bandung menunjukkan perlunya beberapa klarifikasi data yang kritikal terkait efektivitas kombinasi obat yang diuji. “Belum menunjukkan perbedaan yang signifikan,” ungkap Penny. Catatan lainnya adalah soal subjek uji yang belum merepresentasikan randomisasi. Semua kasus di Secapa TNI AD di Bandung yang diteliti merupakan pasien dengan gejala ringan. “Sehingga efektivitas pada subjek dengan derajat penyakit sedang dan berat tidak terwakili,” lanjutnya. Bahkan, beberapa pasien adalah OTG (orang tanpa gejala). Menurut Penny, sesuai protokol yang berlaku OTG seharusnya tidak perlu mendapat obat tersebut. Atas beberapa catatan tersebut, BPOM akan menilai perbaikan dan klarifikasi yang diberikan oleh tim peneliti maupun sponsor. “Jika perbaikan dan klarifikasi itu tidak dapat mendukung validitas hasil uji klinik, maka peneliti harus mengulang pelaksanaan uji klinik,” rilis BPOM. Ketiga kombinasi obat yang menjalani uji klinis, bekerja sama dengan TNI-AD dan BIN itu adalah sebagai berikut: 1. Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin; 2. Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyclin; 3. Hydrochloroquine dan Azithromycin. Obat yang dikembangkan tim peneliti Unair, TNI AD, dan BIN itu diberikan kepada 1.308 pasien di Secapa AD, Bandung. BIN menyebut sebanyak 85 persen pasien positif Covid-19 telah sembuh. Uji klinis itu dilakukan pada 7 Juli hingga 4 Agutus 2020, dalam keterangan yang diterima CNNIndonesia.com, protokol uji klinis telah mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji klinik (PPUK) oleh BPOM dengan Nomor PP.01.01.1.3.07.20.06. Sementara, Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menyebut pengembangan obat virus corona hasil penelitian Unair bersama dengan TNI AD dan BIN belum teregistrasi uji klinis di Badan Kesehatan Dunia (WHO). Ingat, hingga kini WHO belum merekomendasikan satu pun obat untuk mencegah/mengobati infeksi Covid-19. Obat dari gabungan Unair-TNI AD-BIN ini juga belum mendapatkan izin edar dari BPOM. Selain itu, tim Unair-TNI AD-BIN pun belum mengungkapkan secara rinci hasil serta metode uji klinis. Melansir SINDOnews.com, Minggu (16 Agustus 2020 – 19:16 WIB), Ahli Epidemologi UI Pandu Riono menegaskan bahwa yang paling penting dari sebuah riset adalah prosedurnya. Jika obat Covid-19 hasil penelitian Unair bekerja sama dengan BIN dan TNI itu tidak memenuhi secara prosedural, maka obat itu tidak layak terdaftar BPOM. Ia pun siap menggugat jika BPOM menerimanya. “Yang paling penting adalah prosesnya, apakah diikuti nggak standar prosedurnya. Itu yang paling penting. Makanya saya berani bilang, jangan percaya. Karena itu berdasarkan kaidah standar, kalau itu udah dilanggar sama mereka, jangan dipercaya,” lanjutnya. “Apalagi sampai didaftarkan oleh Badan POM, dan Badan POM menerima, saya gugat,” kata Pandu saat dihubungi SINDOnews, Minggu (16/8/2020). Menurut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI ini, untuk semua penelitian yang bersifat nasional apakah itu obat atau vaksin, harus di-review oleh Komite Etik Balitbangkes. Selain me-review, Balitbangkes juga akan memonitor setiap proses penelitian tersebut. Obat Covid-19 ini tak sesuai standar prosedur yang seharusnya. “Saya menggugatnya bukan ke TNI/BIN, tapi ke akademis Unair-nya, sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap integritas ilmu pengetahuan,” tegasnya. “Mereka tahu itu, tidak ada jalan pintas untuk pengembangan ilmu,” ujar Pandu. Menurutnya, semua tahu bahwa Covid-19 ini bencana dunia, tetapi WHO membuat Clinical International Trial, di mana ada multi center study terkait obat-obatan yang semuanya mengikuti prosedur. Di Indonesia pun Balitbangkes berperan sebagai motornya. Semua harus patuh pada regulasi karena hasilnya nanti digunakan masyarakat. “Buat apa mengobati jika tidak ada manfaatnya. Seperti Hydrochloroquine,” ungkap Pandu mencontohkan. Hasil studi dunia di beberapa negara sudah mengomunikasikan bahwa hydrochloroquine itu tidak ada manfaatnya. Di Amerika sudah dicabut sebagai obat untuk pengobatan Covid-19, di Indonesia belum dicabut. Apakah masih mau diberikan Covid-19 karena ada efek sampingnya yang sampai meninggal. Di daerah ada kematian, dia meninggal karena ada obat yang tidak perlu diberikan,” ungkap Pandu lagi. Karena itu, ia mempertanyakan kenapa Unair tidak bekerja sama dengan lembaga penelitian lainnya agar ada saling koreksi, dan justru bekerja sama dengan BIN dan TNI. “Kok Unair tidak kerja sama dengan lembaga penelitian lain dan malah kerja sama dengan lembaga militer. Unpad Bandung misalnya, Unpad juga kuat kok clinical trial-nya, kerja sama akademik itu diperlukan untuk saling koreksi,” katanya. Dokter Tifauzia Tyassuma, Peneliti dan Penulis Presiden AHLINA Institute mengatakan, Uji Klinis untuk obat itu harus Randomized Controlled Trials atau RCT. Tahapannya juga harus diikuti dengan ketat: Uji Klinis Fase 1; Uji Klinis Fase 2; Uji Klinis Fase 3. Dan, semua harus dipublikasi terlebih dahulu dengan pengujian Peer Review yang ketat. Baru bisa di-BPOM-kan. Baru bisa diproduksi. “Kecuali kalau formula obat itu hanya utak-atik dosis dari formula obat yang sudah ada sebelumnya,” ungkap Dokter Tifauzia. “Maka Anda bisa langsung lompat ke Uji Klinis Fase 3. Kepada orang sakit dengan beberapa tahapan,” lanjut Dokter Tifauzia. Tahapan pertama Uji Klinis Fase 3 Hospital-Based. Dengan pengawasam ketat untuk menguji efficacy-nya (keamanannya). Tahapan kedua Uji Klinis Fase 3 Population Based (karena ini obat maka populasinya tetap Hospital Based dengan jumlah sampel lebih besar dan multi site multi center dari berbagai ragam karakteristik populasi) dan Gold Standar (Baku Emas). “Yaitu obat yang sudah digunakan sebelumnya yang sudah teruji,” katanya. Setelah itu baru publikasi. Berhasil harus publikasi. Gagal pun harus publikasi. Baru setelah itu BPOM akan melakukan verifikasi apakah obat ini layak edar atau tidak. Pengembangan obat untuk pasien positif Covid-19 dilakukan Unair, TNI AD, dan BIN. Mereka menggunakan tiga kombinasi obat. Pertama, Lopinavir-Ritonavir-Azithromycin. Kedua, Lopinavir-Ritonavir-Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine-Azithromycin. Lopinavir dan Ritonavir adalah dua jenis yang telah lama digunakan dalam mengobati pasien HIV/AIDS. Azithromicin adalah Anti bakteri jenis makrolid yang sudah sering digunakan untuk infeksi kulit dan pernafasan. Doxycycline adalah Antibiotika yang sudah sering digunakan untuk berbagai infeksi dari paru-paru hingga saluran kemih. Hydrochloroquine adalah obat Malaria yang sudah dikenal puluhan tahun. “Sepertinya yang dikutak-katik adalah dosis dan kombinasinya. Artinya aspek Novelty atau Kebaruannya adalah dari kedua sisi tersebut,” tegas Dokter Tifauzia. Bukan menemukan obat yang sama sekali baru. “Dan ini ok saja tidak ada masalah. Asal jangan ada klaim ini penemuan obat baru yang belum pernah ada di dunia. Hanya masyarakat perlu tahu ini formulasi obat yang bukan main-main, baik dari level kekerasan obatnya maupun kemungkinan efek sampingnya,” lanjutnya. Obat yang lagi dibuat ini kelas Rumah Sakit semua dan untuk kasus Moderate sampai Severe. Jadi, kalau obat ini jadi pun, dan lolos BPOM, “Anda jangan mengharapkan obat ini nanti dijual di Alfamart apa Indomaret ya. Apalagi dijual di warung kaya panadol apa Komix.” Apa Ahli Epidemiologi Klinik atau Farmakologi tidak dilibatkan? Inisiatif untuk membuat obat itu bagus dan sah dilakukan. Tetapi prosedurnya harus dijalankan. Prosedur Uji Klinis itu kaidahnya Zero Mistakes. Tidak boleh ada kesalahan sekecil apapun. Dokter Tifauzia menyarankan: perbaiki prosedur! Arie Karimah Muhammad, Pharma-Excellent, Alumni ITB, mengungkapkan, benchmarking akan membuat kita menyadari “How good are we?”, sekaligus “Where are we now?”. Masih tentang klaim bahwa Unair “Sudah Menemukan” obat untuk Covid-19, yang ternyata Hanya mengkombinasikan existing products yang sudah lama ada di pasaran, digunakan untuk penyakit infeksi lain. Produk tersebut adalah antibiotik, antivirus dan antimalaria. Mari kita tengok headline pada Juni 2020 tentang satu langkah keberhasilan terapi Covid-19. Universitas Oxford, yang memimpin uji klinis Recovery (Randomised Evaluation of Covid-19 Therapy) Terbesar di Dunia. Universitas Oxford berhasil menemukan fakta bahwa injeksi deksametason secara intravena 6 mg selama 10 hari terbukti Mengurangi Risiko Kematian pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit: Sebanyak18% pada kategori parah yang memerlukan tambahan oksigen, dan 6% kategori kritis yang membutuhkan life support ventilator. Kedua kategori tersebut mengindikasikan bahwa pasien sudah mengalami ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome) atau kegagalan fungsi pernafasan akut. Studi tersebut membandingkan 2.104 pasien yang mendapat deksametason dengan 4.321 pasien yang mendapat perawatan biasa (usual care). Apakah lantas Universitas Oxford mempublikasikan hasil itu dengan mengatakan “Sudah Menemukan Obat” untuk mengurangi risiko kematian pasien Covid-19? Nope. Mereka hanya mengatakan, telah menemukan sebuah terobosan (breakthrough) atau sebuah langkah besar ke depan (a msjor step forward) dalam mengobati infeksi Covid-19. Temuan itu kini menjadi guideline baru dalam penanganan pasien Covid-19 di seluruh dunia, karena sudah dibakukan oleh WHO. “Jadi sekali lagi, Unair….please segera lakukan klarifikasi di depan publik. Bukan KSAD atau pihak TNI AD yang harus melakukannya. Diantos nya ku abdi dan netizen/masyarakat,” tulis Arie Karimah Muhammad dalam status FB-nya, 21 Agustus 2020. Namun, kalau BIN menyebut sebanyak 85 persen pasien positif Covid-19 di Secapa Bandung telah sembuh, berarti ada formula lain yang membantu proses penyembuhan mereka! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID

Ada Apa dengan Dokter Saifuddin Hakim?

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Jumat (13/8). Setidaknya ada dua kali status di Facebook atas nama Muhammad Saifuddin Hakim, dokter dan peneliti di Universitas Gadjah Mada-UGM Jogjakarta melakukan “pelecehan intelektual” terhadap Prof. Sukardi alias Ainul Fatah, ahli mikrokultur bakteriologi. Gelar Profesor di depan nama AF diragukan: Profesor. Gelar apa ini? Profesor adalah gelar yang tidak didapat dari mengikuti perkuliahan. Gelar profesor diberikan oleh suatu lembaga, entah itu universitas, institut atau lembaga penelitian, misalnya LIPI. Gelar Prof di depan nama Ainul Fatah ini dari institusi mana? Tidak Jelas. Saya sendiri pernah melacak ke teman2 yang ada di LIPI untuk mengecek databse mereka, adakah nama ini? tidak ada. Saya cek ke databse Dikti, nihil. Lanjut, klaim tentang enam ahli dunia. Penemu obat atau ramuan anti-covid-19. Well, kalau ini tidak perlu saya bahas panjang lebar, kalau track record penelitian saja tidak bisa dilacak, buat apa menanggapi klaim semacam ini. Saya sendiri pernah didatangi bapak-bapak paruh baya di kantor menanyakan obat covid-19 bikinan Sukardi. Saya jelaskan apa adanya, dan alhamdulillah beliau mau nerima penjelasan saya. (Lega sekali saya ketika itu.) Kesimpulan : Gelar professor yang disematkan kepada Ainul Fatah alias Sukardi sangat diduga kuat adalah fiktif. Nama dr. Muhammad Saifuddin Hakim, MSc, PhD menjadi viral sejak wawancara Erdian Anji Prihartanto, penyanyi yang akkrab dipanggil Anji, dengan klaim Hadi Pranoto yang disebut dalam kanal Youtube-nya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Mengutip Kompas.com, Minggu (02/08/2020, 18:50 WIB), dalam video itu, Hadi Pranoto memperkenalkan diri sebagai profesor sekaligus Kepala Tim Riset Formula Antibodi Covid-19. Ia menyebutkan bahwa cairan Antibodi Covid-19 yang ditemukannya bisa menyembuhkan ribuan pasien Covid-19. Cairan antibodi Covid-19 tersebut diklaim telah didistribusikan di Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan. Seingat saya, selama ini Prof AF tidak pernah mengklaim dirinya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Jangankan mengklaim penemu Antibodi Covid-19, menyebut dan menulis nama Prof AF saja, saya pernah “dilarang” langsung oleh Prof AF saat bertemu. Sehingga, dalam menulis Formula Probiotik Siklus/Komunitas yang ditemukannya pun saya cuma tulis Formulator. Kalau pun sekarang ini saya menyebut namanya, karena sudah sangat terpaksa, apalagi nama Prof AF sudah dibawa-bawa oleh Mas Dokter Hakim. Dalam status FB Masih di RS EMC Dokter Hakim yang di-share pada Rabu (12 Agustus pukul 14.00) saja masih menyindir dan “menyerang” Prof AF, meski tak menyebut namanya secara langsung. Coba simak isi statusnya dalam FB berikut: Bandingkan dengan pihak2 yang mengaku "melakukan uji klinik obat/ramuan COVID-19" namun tidak jelas protokolnya bagaimana, sesuai standar etik ataukah tidak, siapa yang memonitor, kemudian "sok-sokan" tampil sebagai superhero dengan bilang: “Saya menemukan obat atau vaksin COVID-19” (!!!). Meski tidak menyebut nama, namun arahnya sudah jelas, yang dituju itu Prof AF! Padahal, dari jejak digital hanya Agung Suradi dan Hadi Pranoto yang pernah mengaku sebagai penemu “obat” Covid-19. Humas Sinovac? "Betulkah manusia dijadikan “kelinci percobaan” Vaksin Sinovac asal China, karena vaksin-nya tidak pernah diuji coba di hewan terlebih dahulu? Apakah fase pre-klinis dilewati demi “cepat-cepat” mendapatkan vaksin Covid-19?" Itulah kalimat pembuka Mas Dokter Hakim dalam status FB-nya, Rabu (12/8/2020). Apakah kali ini dokter dan peneliti muda dari UGM itu sudah menjadi “humas” Vaksin Sinovac asal China itu? Hanya beliau yang tahu isi hatinya. “Melalui postingan ini, sebelumnya kami memohon kepada pihak-pihak yang tidak paham bagaimana uji pre-klinis dan uji klinis vaksin dilakukan, untuk tidak berbicara sesuatu yang dia sendiri tidak paham ilmunya,” lanjutnya. Menurutnya, sebagian pihak yang menghembuskan hoax bahwa Uji Klinis Fase III ini “terburu-buru karena vaksin-nya sendiri tidak pernah diuji coba ke hewan terlebih dahulu”. “Ini Salah!!!” tegasnya. Kandidat vaksin Sinovac Sudah melewati uji pre-klinis secara in vivo dan penelitiannya sudah diterbitkan di jurnal terkemuka, Science. Berikut publikasi penelitiannya: https://science.sciencemag.org/content/369/6499/77 Di situ dijelaskan, bahwa kandidat vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac ini menunjukkan potensi imunogenisitas yang menjanjikan(promising) dan sudah diuji coba ke tikus dan non-human primate, yaitu di macaque (abaikan data yang rumit itu). Hewan coba divaksinasi dengan strain SARS-CoV-2 asal China, kemudian dipajankan (di-challenge) dengan beberapa virus SARS-CoV-2 yang diisolasi dari berbagai negara (SARS-CoV-2 isolat dari China sendiri, Italia, UK, dan lain-lain). (Catatan saya: dipajankan itu semacam diadu. Misalnya, tubuh hewan yang sudah diberikan vaksin X, lalu dimasuki virus Covid-19. Isolat itu semacam virus atau calon vaksin yang sudah dibiakkan). Hasilnya, menurut Mas Dokter Hakim, hewan-hewan yang sudah mendapatkan vaksinasi ini terproteksi ketika mereka dipajankan dengan virus SARS-CoV-2 sesungguhnya. Pun, mereka sudah melalui Uji Klinik Fase I dan II, meskipun hasilnya belum terpublikasi. Akan tetapi, laporan Fase I dan II tersebut tentu sudah diterima Badan POM sebagai regulator pelaksanaan Semua uji klinis di Indonesia. Menurutnya, Badan POM Tidak Akan mengeluarkan izin PUPK (Pengajuan Persyaratan Uji Klinik) kecuali jika persyaratan uji klinik fase III lengkap, termasuk laporan dari Uji Klinik Fase I dan II. Selain itu, dalam pelaksanaan uji klinik, ada banyak pihak yang terlibat untuk memastikan keamanan subjek penelitian, bukan hanya tim peneliti, tetapi juga pihak-pihak di luar tim peneliti, yaitu: 1. Komite Etik Fakultas Kedokteran --> mereka akan mengeluarkan izin jika semua persyaratan etik terpenuhi. 2. DSMB (Drug Safety Monitoring Board) --> panel ahli independen yg menilai setiap laporan adverse events selama uji klinik berlangsung. Mereka Berhak sewaktu-waktu menghentikan uji klinik. 3. Badan POM sebagai regulator utama. 4. External monitor untuk memastikan pelaksanaan uji klinik sudah dijalankan sesuai prosedur yang standar [SOP harus dijalankan, semua peneliti harus sudah dilatih GCP (Good Clinical Practice) misalnya, dan seterusnya]. Bandingkan dengan pihak-pihak yang mengaku “melakukan uji klinik obat/ramuan Covid-19” namun tidak jelas protokolnya bagaimana, sesuai standar etik ataukah tidak, siapa yang memonitor, kemudian “sok-sokan” tampil sebagai superhero dengan bilang: “Saya menemukan obat atau vaksin COVID-19” (!!!). Begitu tulis Mas Dokter Hakim dalam status FB-nya. Selain itu, sambungnya, Uji Klinis Fase 3 Vaksin Sinovac ini juga dilakukan di Brazil: https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT04456595 “Sekian. Disclaimer: Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Sinovac dan uji klinik Vaksin Sinovac yang sedang berlangsung,” ungkap Mas Dokter Hakim. Meski Mas Dokter Hakim sudah declare “tidak memiliki hubungan apapun dengan Sinovac” namun dalam menjawab komentar dari Facebooker lainnya, ada kesan, Mas Dokter Hakim sudah menjadi Purel untuk perusahaan Sinovac China. Nanda Seftyana Mungkin yg mjd salah satu pertanyaan publik adalah, mengapa vaksin yg dipilih harus vaksin yg di produksi oleh sinovac? Diantara kandidat vaksin yg dikembangkan di seluruh dunia, mengapa harus vaksin dari sinovac? Karena (mungkin) beberapa kalangan publik berkaca pada keefektifan rapid test yg dibeli sebelumnya yg juga berasal dr cina. Terima kasih postingannya, dokter, alhamdulillah mengedukasi. Muhammad Saifuddin Hakim Dari bbrp kandidat vaksin yg ada, Oxford memakai teknologi viral vector vaccines, Moderna memakai mRNA vaccines, sedangkan Sinovac dan Sinopharm memakai teknologi inactivated vaccines. Dari 3 teknologi itu, yg dimiliki oleh Biofarma adalah inactivated vaccines, shg memungkinkan transfer teknologi secara cepat jika vaksin lolos uji fase 3. Vaksin Covid-19 dibuat berdasarkan patogen yang di non aktifkan (inactivated). Pembuatan vaksin dilakukan dengan menumbuhkan virus corona SARS-CoV-2 di laboratorium. Virus ini lalu dinonaktifkan lewat reaksi kimia untuk dijadikan vaksin. Sekedar mengingatkan lagi, jika memang Vaksin Sinovac yang siap Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan atau dimatikan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi rakyat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, yang dorman dan dikira mati itu pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Catat! Virus atau bakteri corona itu mahluk hidup yang cerdas! Misalnya, bila virus corona dihantam desinfektan chemikal (kimia), maka asumsi umumnya mereka mati. Tapi, ternyata saat ini mutasi corona sampai di atas 500 karakter atau varian. Karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE-2) saja, tapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis (contoh kasus artis Glen Fredly kemarin). Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. “Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit,” ungkap seorang dokter spesialis anak. Apakah Mas Dokter Hakim sudah menyaksikan kasus seperti itu yang terjadi di depan mata dokter kerabat sampeyan? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Dukun-dukun dan Jimat Corona

by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Kamis (06/08). Barisan pembela Anji dan Hadi Pranoto. Fenomena menarik ini dalam beberapa hari terakhir bermunculan di media sosial. Gegara obrolan mereka ditayangkan di channel youtube, Anji dan Hadi jadi korban bully. Tayangannya di-takedown youtube. Keduanya juga dilaporkan ke polisi dan terancam pidana. Bukan karena mereka setuju dengan pandangan Anji yang kontroversial. Apalagi percaya obat pencegah dan penyembuh corona temuan Hadi. Tapi lebih pada perlakuan yang tidak adil. Munculnya fenomena Anji dan Hadi adalah dampak kekacauan dan disinformasi dalam penanganan corona di Indonesia. Mereka bisa dikategorikan sebagai korban. Badan kesehatan dunia WHO bahkan menyebutnya “penyakit” baru yang tidak kalah berbahaya itu dengan sebutan unik. Infodemic. Disinformasi, pengobatan palsu. Dalam sepekan terakhir, dua media asing berpengaruh The New York Times dan The Guardian menyoroti kekacauan penanganan Covid di Indonesia. Sikap pemerintah Indonesia dinilai meremehkan. Mendorong pengobatan palsu. Para pejabat pemerintah lebih percaya kepada obatan-obatan buatan dukun. Quack remedies, begitu Richard C Paddock dari New York Times menyebutnya. Kita tentu masih ingat, sebelum ditemukan pasien positif pada awal Maret, para petinggi negara sangat yakin bahwa Indonesia kebal dari Covid. Mereka malah menjadikannya sebagai bahan candaan. Menhub Budi Karya Sumadi yakin orang Indonesia kebal. Alasannya karena sering makan nasi kucing. Sejenis nasi bungkus murah yang banyak dijual di kota Yogyakarta. Budi akhirnya menjadi pejabat tinggi pertama yang kena Covid. Syukurlah kemudian dia berhasil sembuh. Menkes Terawan juga menyampaikan pesan sangat meremehkan soal masker. Menanggapi petanyaan wartawan soal mahalnya harga masker, Terawan malah menyalahkan masyarakat. Salah sendiri kenapa beli? Menurutnya yang harus menggunakan masker adalah mereka yang positiv covid. Bukan yang sehat. Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi juga kedapatan tidak mengenakan masker dengan baik di ruang publik. Presiden Jokowi hanya mengenakan masker yang menutupi dagunya. Hidung dan mulutnya dibiarkan terbuka. Mentan Syahrul Yasin Limpo mengaku Litbang Departemen Pertanian menemukan kalung anti Covid. Kalung itu terbuat dari pohon ekaliptus, yang selama ini dikenal sebagai bahan minyak kayu putih. Syahrul sangat serius dengan temuannya itu. Dia berharap kalung itu jadi terobosan. Memutus mata rantai penyebaran Covid. Gubernur Bali Wayan Koster meyakini minuman tradisional arak Bali sebagai obat ampuh penyembuh covid. Dengan sangat pede dia mempromosikannya kepada Menko Marinvest Luhut Panjaitan dan Menteri Pariwisata Wisnutama. Koster berharap keampuhan Arak Bali bisa menjadikannya sebagai komoditi yang menembus pasar internasional. Lantas apa bedanya Syahrul dan Koster dengan Hadi Pranoto? Sama-sama mengaku menemukan obat anti virus. Soal kompetensi medis, ketiganya juga sama-sama tidak punya. Kalau dianggap menyesatkan publik, menyebarkan kabar bohong, bukankah dampaknya lebih berat yang dilakukan Syahrul dan Koster. Syahrul dan Koster pejabat publik. Punya pengaruh besar. Ucapan dan tindakannya mendapat coverage media yang sangat luas. Hadi hanya profesor abal. Begitu kedoknya terbongkar, ambyar semua bualannya. Orang tidak percaya. Penyanyi Dangdut Iis Dahlia pernah mengenakan kalung Syahrul dan membagikan infonya kepada 12 juta followernya. Dia mengaku merasa aman dan lebih terlindungi setelah mengenakan kalung itu. Penyanyi lawas Yuni Shara juga mengaku membentengi diri dengan mengenakan kalung ekaliptus ketika keluar rumah. Baik Iis dan Yuni menggunakan kosa kata yang sama. “Bangga menggunakan produk Indonesia.” Netizen menghubung-hubungkan pemakaian jimat anti corona itu setelah mereka sebelumnya bertemu Presiden Jokowi di istana. Jokowi mengundang para seleb untuk membantu sosialisasi penanganan corona. Jadi apa bedanya Anji dengan Is Dahlia dan Yuni Shara? Apa bedanya Hadi dengan Syahrul dan Koster. Lebih serius lagi pertanyaannya, “Apa bedanya Menkes Terawan sebagai figur yang harusnya paling bertanggung jawab dalam penanganan pandemi dengan Anji dan Hadi?” Terawan juga semula sangat meremehkan Covid. Menganggap kita tak perlu mengenakan masker. Dia juga sempat membagikan jamu kepada pasien pertama covid ketika sembuh. Terawan merayakannya sambil memberi bingkisan jamu yang katanya biasa diminum Presiden Jokowi. Inilah yang disebut oleh the Guardian "Negara dengan dampak terparah di Asia Tenggara terhambat oleh kurangnya pengujian, buruknya komunikasi dari pemerintah, dan promosi obat palsu.” Sementara The New York Times menyebut penggunaan pengobatan palsu justru didorong oleh mereka yang seharusnya tahu lebih baik. Maksudnya tentu para pejabat pemerintah. Kalau Anji dan Hadi harus dipenjara, bagaimana dengan Terawan, Syahrul dan Koster? Kalau publik harus didisiplinkan dan didenda bila tidak mengenakan masker di area publik, bagaimana dengan Presiden Jokowi? Dia sering mengenakan masker yang tak sesuai standard. Tidak proper. Hanya jadi asesoris. Bukankah negara kita negara hukum. Ada persamaan di mata hukum. Equality before the law. Ayolah Berlaku Adil. Pepatah mengajarkan. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Lha ini para pejabat yang harus jadi teladan, bukan lagi kencing berdiri. Mereka sudah kencing sambil berlari. Terus rakyatnya disuruh kencing gaya apa? End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id