KESEHATAN
Mengapa Dokter Saifudin Hakim Terus Serang Profesor Sukardi?
by Mochamad Toha Surabaya FNN - (Rabu 07/10). Entah apa sebenarnya yang ada di benak pikiran dr. Mohamad Saifudin Hakim, MSc, PhD (sesuai nama yang tercantum sebagai Dosen dan Peneliti Virus pada Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Jogjakarta). Mengapa saya perlu mencantumkan nama lengkap Mohamad Saifudin Hakim? Karena saat masuk ke akun Facebook-nya itu namanya berbeda. Menjadi Mohammad Saifuddin Hakim. Huruf ‘m’dan ‘f’ yang ada di FB double. Orang yang sama? Entahlah! Nama dr. Mohamad Saifudin Hakim, MSc, PhD menjadi viral sejak wawancara Erdian Anji Prihartanto, penyanyi yang akrab dipanggil Anji, dengan klaim Hadi Pranoto yang disebut dalam kanal Youtube-nya sebagai penemu Antibodi Covid-19. Akun FB Muhammad Saifuddin Hakim (entah siapa sebenarnya yang ada di belakang akun ini) dipakai untuk “menyerang” Profesor Sukardi alias Ainul Fatah, ahli mikrokultur bakteriologi Indonesia, terutama terkait gelar “profesor” AF. Sebenarnya saya pribadi enggan mendebat (dengan tulisan) terkait tulisan-tulisan Saifuddin Hakim yang disebar di FB-nya. Karena saya sebelumnya juga sudah menanggapinya dengan beberapa tulisan terkait dengan sekian kali serangan pada Prof AF. Tapi. kali ini saya terpaksa harus menanggapi lagi karena Saifuddin Hakim dalam status FB terbaru sempat menyinggung kalimat yang ada dalam tulisan saya sebelumnya: Atau ketika ditanya, jawabnya, “Yang mencatat adalah murid2nya. Tidak perlu publikasi.” Mengapa Mas Dokter Hakim tidak menemukan satu pun artikel atau publikasi ilmiah hasil penelitian Prof AF? Karena yang saya tahu, catatan ilmiah yang Anda minta itu ada dalam otaknya. Dia tidak pernah merekan dalam bentuk catatan. Yang mencatatnya selama ini ya “murid-murid” Prof AF yang setia belajar “ilmu baru” yang disampaikan Prof AF itu: Probiotik Siklus/Komunitas! “Salah Sasaran, Serangan Saifudin Hakim ke Profesor Sukardi!” (5 Agustus 2020 fnn) by Mochamad Toha. Meski dalam status FB-nya sekarang ini tidak secara vulgar menyebut Sukardi atau Ainul Fatah, tapi bila dicermati, isinya masih mengarah serangan kepada Prof AF. Berikut ini saya kutipkan secara lengkap agar bisa dibaca secara seksama. Muhammad Saifuddin Hakim (20 September pukul 19.45). Benarkah “Ilmu Mikrokultur Bakteriologi” adalah “ilmu rahasia” yang tidak sembarang orang bisa mempelajarinya? Dan juga benarkah pemilik ilmu ini adalah “orang istimewa” yg harus dijaga lebih dari sekedar “rakyat biasa”? Sangat disayangkan, di era keterbukaan sains dan teknologi saat ini, kita dihadapkan realita adanya ulah pihak2 yg tidak bertanggung jawab yg menggambarkan bahwa ilmu kultur bakteri itu “ilmu istimewa”, “ilmu rahasia” yg tidak sembarang orang bisa mempelajarinya, harus ada syarat2 tertentu (misalnya, tidak boleh menjalankan syariat Islam), atau harus punya IQ tertentu, yg semua ini mengada-ada (karena memang tidak pernah ada). Juga digambarkan, seolah-olah orang yang ahli di bidang ini di dunia cuma sedikit, “satu-satunya” ahli di dunia, atau “satu dari lima ahli di dunia”, atau digambarkan bahwa bisa jadi pemilik ilmu ini mati mendadak (misterius), dan sebagainya. Seperti di dunia ini cuma sedikit orang pinter ya … Bagi yg keracunan film action, bisa jadi iya mudah percaya. Tapi, bagi yg melek literasi dan sains, akan dengan mudah paham kalau semua itu cuma omong kosong semata. Saifuddin Hakim pun mengutip beberapa artikel luar negeri. Ilmu tentang kultur mikrobiota bahkan sudah ada sejak 150 tahun yg lalu. Di artikel no 1 ini, Prof. Willem de Vos menggambarkan secara detail perjalanan kultur mikrobiota dari masa ke masa, sampai era teknologi next generation sequencing (NGS) sekarang ini. Jelas, ya, semua dibuka secara ilmiah dan transparan? Di artikel no. 2, saya cantumkan publikasi Nature, yang menjelaskan detail teknik cara kultur mikrobiota. Bisa dilihat metodenya dilukiskan secara gamblang, tidak ada yg ditutup-tutupin, semua orang bisa membaca dan mempelajarinya. Artikel no. 3, iya, ini peringatkan buat kita semua, jangan sampai mudah mengklaim ini itu terkait mikrobiota. Metode penelitian apakah sudah sesuai? Teknik sequencingnya dan analisisnya sudah bener? Ya, apalagi kalau melangkah lebih jauh lagi dengan mengklaim bisa terapi ini itu, tanpa ada publikasi riset yg jelas. Apalagi jika ujung2nya ingin jualan, hati2 jika ingin hartanya diberi keberkahan. Artikel no. 4, ini contoh bagaimana kalau orang itu meng-klaim menemukan strain bakteri, ya dia harus berani dong publikasi. Jangan cuma mengklaim punya 5.000, 6.000. 8.000, 10.000 strain bakteri, tapi ketika ditanya analisis datanya nggak punya, sequencingnya di mana nggak tau. Seolah-olah cuma dia aja yg ngerti ilmu ini. Atau ketika ditanya, jawabnya, “Yang mencatat adalah murid2nya. Tidak perlu publikasi.” Ini mengutip tulisan saya seperti judul di atas. Kalau sudah dijawab seperti ini, senyum saja, terus doakan. Akibatnya, ya gambar no. 5, tiba2 mengklaim ada bakteri golongan viruseae, padahal bakterinya apa tidak ada yg tau, karakternya gimana, genome-nya bagaimana? Ini adalah sebuah gambar dari seorang dokter yang sudah “berguru” pada Prof AF. Ya buat apa ngasih nama bakteri kalau hanya buat tipu2, supaya tampak “keren”, tapi tidak ada satu pun komunitas dunia ilmiah yg mau mengakui? Terahir, ayukkk kita belajar utk menjadi lebih kritis. Dunia sains sudah semakin maju, publikasi riset bisa diakses dg mudah, jangan sampai pikiran kita terkungkung dengan film2 yg menggambarkan ahli kultur virus atau bakteri ini dikejar2 CIA, FBI, BIN, atau apalah namanya, terus tiba2 “meninggal secara misterius”. Harus punya nama lain atau alias. Nama asli harus disembunyikan bla bla bla … Keluar rumah dikawal, bikin seminar publikasi sembunyi2, ngasih ceramah nggak boleh difoto atau direkam. Yukkk … jangan mau dibodoh2in propaganda semacam itu. Kita punya akal untuk berpikir dan mengkritisi itu semua! (20 September pukul 19.45) Noorma Rina Hanifah Kok ga rame sih, padahal sudah di tag. Apa masih pada kaget karena yang nulis status ini diundang ke BIN ya ? Padahal mereka sukanya nulis kalau si prof “aset negara” dan “intel” 6 • Suka • Tanggapi • Balas • Lainnya • 22 Sep Arief Hasan Alhamdulillah, formula probiotik beliau sangat membantu kami dan sodara2 kami yg berkenan mengkonsumsi. Formula sudah bekerja dan terbukti, alhamdulillah. Suka • Tanggapi • Balas • Lainnya • 27 Sep pukul 18.10 Dari puluhan komentar atas FB Saifuddin Hakim itu, hanya Arief Hasan yang berkomentar positif soal formula Prof Sukardi alias Ainul Fatah itu. Puluhan lainnya nadanya lebih banyak mem-bully dan mencibir layaknya Saifuddin Hakim. Menurut Wakil Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof Dr Endang Sukara, tak semua penelitian harus diungkap kepada publik, karena ada penelitian yang hasilnya merupakan rahasia negara dan ada hanya diberikan kepada otoritas tertentu. “Karena hasil penelitian jangan sampai meresahkan publik,” kata Endang, seperti dilansir Liputan6.com, 19 Februari 2011. http://lipi.go.id/berita/lipi:-tak-semua-penelitian-harus-dipublikasikan/6607. “Yang jelas hasil-hasil riset ilmuwan sebenarnya hanya ditujukan untuk mencari kebenaran ilmiah dan memberi sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat, bukan untuk niat apa pun,” lanjutnya. Peneliti memiliki integritas bahwa hasil penelitiannya harus bisa dipertanggungjawabkan. Namun, setiap peneliti memiliki kebijakan sebelum memulai penelitiannya apakah untuk diungkapkan atau tidak, termasuk sampelnya. “Kalau hasil penelitiannya hanya akan membuat chaos lebih baik tidak langsung diungkap ke publik, tapi cukup kepada otoritas yang berwenang,” katanya. Jadi, jelas kan, tak semua riset itu harus dipublikasi secara luas, termasuk hasil riset yang telah dilakukan Prof AF. Belum diungkap ke publik secara luas saja sudah membuat chaos Saifuddin Hakim dan follower fanatiknya, apalagi dibuka. Yang penting, hasil riset beragam formula Sukardi itu setidaknya sudah terbukti bermanfaat bagi masyarakat. Itupun sudah banyak ditulis media mainstream, seperti: “40 Pasien Covid-19 di Ambon Sembuh berkat Suplemen Herbal dari Profesor di Surabaya” (Kompas.com – 02/07/2020, 17:16 WIB). Suplemen herbal yang digunakan didapat langsung dari seorang profesor yang ahli dalam bidang molekuler. Hal itu diungkap Direktur Rumah Sakit FX Suhardjo Lantamal Ambon Mayor Laut Satrio Sugiharto kepada Kompas.com saat dikonfirmasi via telepon. “Kita langganan dari Surabaya, kita dapat dari profesor ahli molekuler namanya Prof Sukardi. Beliau ahli molekuler dan itu hanya segelintir orang yang ada di dunia,” katanya. Terapi herbal dan suplemen yang diberikan pihak rumah sakit sangat membantu para paisen corona. Bahkan, pasien berusia 84 tahun dengan penyakit bawaan yang dirawat di rumah sakit tersebut dapat sembuh. “Jadi, pendekatan herbal, cuma kita tidak mau memublikasi terlalu besar. Terapi herbal ini kan sudah melewati riset yang dilakukan Profesor Sukardi itu, lalu kita riset lagi di sini. Kita petakan lagi, bandingkan pasien si A, si B,” ungkapnya. Setidaknya sudah lebih dari 200 Dokter, beberapa Doktor, dan lebih dari 3 Profesor yang bisa menerima dan menerapkan formula Prof Sukardi ini untuk pasien-pasiennya. Pemkab Mojokerto, Pemkab Pasuruan, dan Pemkab sudah menggunakan formula ini untuk pencegahan dan penyembuhan pasien Covid-19. Bahkan, anggota TNI dan Polri juga sudah minum produk Prof AF. Mengapa Saifuddin Hakim tidak berani mem-bully ketiga Pemkab tersebut? Apa dia sudah pernah ngajak diskusi Prof AF yang setiap hari bisa ditemui di Remen Kafe, Pandaan? Tidak ada yang disembunyikan di sana. Masa’ Anda kalah dengan Hadi Pranoto yang sudah pernah bertemu langsung dengan Prof AF? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Potensi Bahaya Vaksin Virus Corona!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (06/10). Sejak Minggu, 4 Oktober 2020, beredar “GRAND DESIGN/ROADMAP PELAKSANAAN VAKSINASI COVID-19” atas nama Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan RI. Apa benar Roadmap Vaksinasi Covid-19 ini berasal dari Kemenkes? Baiklah coba kita simak beberapa isinya. KANDIDAT VAKSIN COVID-19. Terdapat 34 vaksin Covid-19 dengan platform berbeda (mRNA, Inactivated, DNA, VLP, Non Replicating Viral Vector, Protein Sub Unit). Terdapat 9 vaksin COVID-19 sedang memasuki uji klinik fase III. Kandidat vaksin Covid -19 kerjasama mulitlateral: Sinovac kerjasama Biofarma dengan China; Sinopharm, kerjasama Kimia Farma dengan Group 42 United Emirat Arab; Genexine – GX19, kerjasama Kalbe Farma dengan Genoxine Korea Selatan; Gavi-CEPI untuk Middle Income Country dan Low Middle Income Country dengan skema AMC Covax. TUJUAN VAKSINASI COVID-19. 1. Menurunkan kesakitan dan kematian akibat Covid-19; 2. Mencapai kekebalan kelompok (herd immunity) untuk mencegah dan melindungi kesehatan masyarakat; 3. Melindungi dan memperkuat sistem kesehatan secara menyeluruh; 4. Menjaga produktifitas dan meminimalkan dampak sosial dan ekonomi. Sasaran Vaksinasi Covid 19 Ini Berisi Pentahapan Prioritas sesuai dengan ketersediaan vaksin, penduduk dan wilayah berisiko, tahapan pemakaian dan indeks pemakaian. IDEAL: SELURUH PENDUDUK; OPTIMAL: 80% PENDUDUK BERISIKO TERTULAR. 1. Garda terdepan: Medis dan Paramedis contact tracing, pelayanan publik termasuk TNI/Polri, aparat hukum 3.497.737 orang dengan kebutuhan vaksin 6.995.474 dosis; 2. Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), perangkat daerah (kecamatan, desa, RT/RW), sebagian pelaku ekonomi) 5.624.0106 orang dengan kebutuhan vaksin 11.248.020 dosis; 3. Seluruh tenaga pendidik (PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan sederajat PT) 4.361.197 orang dengan kebutuhan vaksin 8.772.3942 dosis; 4. Aparatur pemerintah (Pusat, Daerah dan Legislatif) 2.305.689 orang dengan kebutuhan vaksin 4.611.378 dosis; 5. Peserta BPJS PBI 86.622.867 orang dengan kebutuhan vaksin 173.245.734 dosis; Sub total jumlah di atas 102.451.500 orang dengan kebutuhan vaksin 204.903.000 dosis; Jika ditambah Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis; Jadi, Total suluruhnya 160.000.000 orang dengan kebutuhan vaksin 320.000.000 dosis. Sesuai rekomendasi Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional atau Indonesian Technical advisory Group Immunization (ITAGI), prioritas pemberian imunisasi Covid-19 terdiri dari: Garda terdepan (front-line) yaitu Petugas medis: staf medis rumah sakit (dokter, perawat dan seluruh petugas yang bekerja di fasilitas pelayan kesehatan). Petugas non-medis: adalah petugas pelayanan publik (essensial worker), misalnya TNI-Polri, petugas bandara, stasiun kereta api, pelabuhan, pemadam kebakaran, PLN, PAM yang bertugas di lapangan, dll. Kelompok risiko tinggi/high risk lain. Terdapat Kelompok Pekerja berusia 18-59 tahun yang merupakan kelompok usia produktif dan berkontribusi pendidikan termasuk ke dalam sektor perekonomian; Penduduk < 60 tahun memiliki komorbid yang terkendali dan masih aktif; Contact tracing, kelompok risiko dari keluarga dan kontak kasus Covid 19; Administrator pemerintahan yang terlibat dalam memberikan layanan publik. Total target sasaran adalah 160 juta orang yang merupakan 80% dari total populasi penduduk yang berusia 18-59 tahun. Sesuai profile WHO, efikasi vaksin diharapkan minimal 70%. Mempertimbangkan masih terbatasnya ketersediaan jumlah, tahapan pasokan dan indeks pemakaian vaksin atau wastage rate suatu vaksin, maka disusun pentahapan pelaksanaan imunisasi Covid-19 sebagaimana dalam tabel tersebut di bawah ini. Garda terdepan: Medis dan Paramedis (1,2 juta), Contact tracing, pelayanan publik, aparatur pemerintah tingkat pusat; Masyarakat (tokoh agama/masyarakat), sebagian tenaga pendidik, aparatur pemerintah tingkat daerah; Pelaku ekonomi di 10 Provinsi terdampak (termasuk di dalamnya adalah pelaku sektor pariwisasta) dan sebagian tenaga pendidik; Pelaku ekonomi (24 Provinsi) dan perangkat daerah (kecamatan, kelurahan dll). Berdasarkan ketersediaan vaksin, maka total jumlah sasaran sebanyak 102.451.500 orang atau 204.903.000 dosis; Sub total 102.451.500 orang dengan kebutuhan vaksin 204.903.000 dosis; Masyarakat dan pelaku perekonomian lainnya 57.548.500 orang dengan kebutuhan vaksin 115.097.000 dosis; Sehingga Total 160.000.000 orang dengan kebutuhan vaksin 320.000.000 dosis. Ketersediaan rantai dingin yang berfungsi dan sesuai standar. Per Desember 2019, vaksin rutin dan vaksin baru memakai 35% dari total kapasitas rantai dingin sehingga masih tersedia 65%. Sehingga, diperkirakan dapat menampung seluruh vaksin rutin dan introduksi sampai 2021. Pengalaman kampanye MR dengan sasaran 70 juta dilakukan bertahap selama 2 bulan. Jawa dan luar Jawa. Pengadaan Lemari es pada 2020 sebanyak 449 dan 2021 sebanyak 1.028 buah. Jika menyimak “Grand Design/Roadmap Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19” yang disebut dari Direktur Jenderal P2P Kementerian Kesehatan RI tersebut, jelas sekali, Pemerintah tampak begitu menyiapkan Vaksinasi Nasional. Dalam Ratas Persiapan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang berlangsung via video konferensi, Senin, 28 September 2020, Presiden Joko Widodo mengingatkan kembali mengenai intervensi berbasis lokal dan rencana vaksinasi. Presiden Jokowi minta untuk rencana vaksinasi, rencana suntikan vaksin itu direncanakan detail se awal mungkin. “Saya minta selama dua minggu ini ada perencanaan yang detail,” tegasnya. “Kapan dimulai, lokasinya di mana, siapa yang melakukan, siapa yang di vaksin pertama, semuanya harus terencana dengan baik, sehingga saat vaksin ada implementasi langsung pelaksanaan di lapangan,” ungkap Presiden. Dari pernyataan Presiden tersebut, “Grand Design/Roadmap Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19” itu jelas merupakan wujud dari hasil Ratas Persiapan Pelaksanaan Vaksin Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Senin, 28 September 2020, tersebut. Bahaya Vaksin Melansir CNNIndonesia.com, Kamis (17/09/2020 08:35 WIB), peneliti berpesan agar para pelaku uji klinis Vaksin Covid-19 memerhatikan potensi bahaya jika Virus Corona SARS-CoV-2 terbukti menimbulkan fenomena ADE (Antibody-Dependent Enhancement). Hal ini diungkap Guru Besar Ilmu Biologi Molekuler Universitas Airlangga (UA) Surabaya, Chaerul Anwar Nidom terkait temuan susunan asam amino virus corona SARS-CoV-2 yang berpotensi menimbulkan fenomena ADE. “Ini yang perlu kami sampaikan kepada pihak-pihak yang sedang upayakan vaksin, tolong diamati hal-hal yang terkait perubahan-perubahan virus ini,” tuturnya dalam wawancara dengan CNNIndonesia TV, Rabu (16/9/2020). ADE adalah fenomena virus berikatan dengan antibodi untuk menginfeksi sel inang. Potensi terjadinya fenomena ADE ini bisa dilihat dari pola tertentu dari susunan DNA/RNA virus. Sebelumnya, virus corona menginfeksi sel lewat reseptor ACE2 yang ada di paru-paru. Tapi dengan fenomena ADE, maka sel akan masuk ke sel lewat makrofag. “Sehingga virus berkembang di sel mikrofag (sel darah putih) bukan di sel saluran pernafasan lagi,” tuturnya saat dihubungi CNNIndonesia.com lewat pesan teks, Rabu (16/9/2020). Akibatnya, infeksi virus corona bisa terjadi tanpa menunjukkan gejala klinis (orang tanpa gejala/OTG) seperti batuk, demam, dan sebagainya. Akibat lain, infeksi virus corona jadi berlangsung kronis dan lama serta melemahkan sistem imun. Nidom menyebut potensi ADE pada virus corona ini masih sebatas bukti empiris dari analisa data virus yang memiliki ADE. “Kemudian kita analogikan jika terjadi pada Covid,” ujarnya. Sehingga, ia mendorong agar dilakukan penelitian preklinis untuk mencegah hal itu terjadi ke manusia. “Jangan sampai kita terjadi seperti itu kita terlambat,” lanjut Nidom. Nidom menambahkan ADE menjadi titik kritis dalam disain dan pengembangan vaksin. Studi terdahulu terhadap kandidat vaksin Dengue (DENV) memberikan gambaran bahwa ADE bisa memicu tingkat keparahan penyakit pasca vaksinasi. Sebagai contoh seperti terjadi pada penerapan vaksin demam berdarah yang sempat diuji di Filipina pada 2017 lalu. Vaksin itu, menurut Nidom, sudah melewati uji klinis tahap III dan dikomersialisasikan. Menurut Nidom, saat vaksin itu duji ke anak-anak untuk memicu antibodi, vaksin itu malah menimbulkan patogensitas lebih tinggi ketika pasien terinfeksi virus berikutnya. Akibatnya, uji vaksin demam berdarah dihentikan di Filipina. Contoh kedua, pada uji klinis pada vaksin untuk HIV AIDS di negara di Afrika. Vaksin yang diproduksi oleh sebuah lembaga riset Amerika Serikat tersebut ternyata malah menimbulkan masalah baru akibat muncul fenomena ADE. “Maka program vaksinasi HIV distop,” ujarnya. Hingga saat ini, para ahli terus melakukan penelitian terhadap virus corona dan mendapat temuan-temuan baru. Salah satunya terkait dengan potensi virus corona SARS-CoV-2 yang menimbulkan fenomena ADE seperti diutarakan Nidom. Selain itu, Nidom mengatakan, keberadaan ADE ini menarik mengingat saat ini berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, sedang membuat vaksin yang akan menghasilkan antibodi. WHO menyatakan, tidak bisa mengharapkan vaksinasi Covid-19 hingga pertengahan 2021. Mengutip Reuters, mereka menekankan pentingnya pemeriksaan ketat terhadap efektivitas dan keamanan vaksin. Juru Bicara WHO Margaret Harris menyatakan, tak satu pun dari kandidat vaksin dalam uji klinis lanjutan sejauh ini yang menunjukkan “sinyal jelas” kemanjuran di tingkat setidaknya 50 persen yang dicari oleh WHO. Dari sini menjadi aneh jika Pemerintah tetap memaksakan Vaksinasi Nasional pada rakyat Indonesia, tanpa peduli bahaya vaksin Covid-19. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id
Covid-19 Menulari Orang Yang Paling Kuat di Dunia
by Asyari Usman Jakarta FNN - Jum'at (02/10). Tidak ada satu manusia pun di muka Bumi ini yang dijaga dengan tingkat pengamanan terketat, kecuali hanya presiden Amerika Serikat (AS). Begitulah kira-kira gambaran tentang penjagaan terhadap Presisden Donald Trump dan keluarganya. Presiden AS tidak mengenal ancaman apa pun. Termasuk ancaman penyakit. Presiden tidak boleh terpapar penyakit. Tim kesehatan kepresidenan dilengkapi dengan peralatan medis darurat tercanggih. Ke mana saja Presiden pergi, pasti ada rombongan medis yang mengikutinya. Begitulah protap untuk presiden negara terkuat di dunia itu. Tetapi, Covid-19 ternyata lebih dahsyat dari sistem pengawalan kesehatan presiden. Virus Wuhan itu berhasil menyelinap masuk ke tubuh Presiden Trump. Dan istrinya, Melania. Mereka dinyatakan positif setelah dites malam tadi (waktu AS). Presiden Trump sendiri yang langsung mengumumkannya lewat akun twitternya, @realDonaldTrump. “Tonight, @FLOTUS and I tested positive for Covid-19. We will begin our quarantine and recovery process immediately. We will get through this together!” “Malam ini, @FLOTUS (panggilan Melania) dan saya dites positif Covid-19. Kami akan menjalani karatina dan proses pemulihan segera. Kami akan menempuh ini bersama-sama!” Trump termasuk orang yang tidak mau patuh dengan protokol Covid. Padahal, dia sendiri yang mengeluarkan protokol itu. Dia tidak suka memakai masker atau menjaga jarak. Dia baru saja selesai menghadiri acara kampanye pilpres yang diikuti ribuan orang. Dengan keberhasilan menulari Presiden Trump, berarti Covid-19 telah mencapai puncak ‘prestasi’-nya. The most powerful man on Earth (orang yang terkuat di Bumi) kini masuk ke dalam daftar Covid. Artinya, para presiden dan perdana menteri atau kepada negara mana pun di dunia ini, sekarang tidak bisa lagi dijamin tak tertular Covid-19. Dan, perlu dicermati, bahwa Trump mendapatkan virus itu di tengah kegiatan pilpres yang tetap dilaksanakan di AS. Perlukah meninjau kembali kegiatan pilkada 2020 di Indonesia? Terserah Presiden Jokowi, tentunya. Kalau pilpres AS memang tak mungkin digeser.[] Penulis wartawan senior FNN.co.id.
Gubernur Khofifah “Dijebak” Luhut Pandjaitan?
by Mochamad Toha Surabaya FNN- Kamis (24/09). Editorial Koran Tempo berjudul “Utak-atik Kematian Covid” (21 September 2020), mencibir Pemerintah yang berencana mengubah data kasus kematian Covid-19 menjadi 2 kelompok kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid dan kematian karena Covid-19. Koran Tempo menyebut, pandemi tampaknya melahirkan orang-orang yang “kreatif”. Setelah Kementerian Pertanian mempromosikan kalung anti Covid-19, seseorang yang bernama Hadi Pranoto mengklaim berhasil menciptakan obat antivirus corona. Kini, pemerintah berupaya menurunkan angka kematian akibat Covid-19 lewat “jalan pintas”. Caranya bukan dengan menekan tingkat penularan atau menggenjot angka kesembuhan, tapi mengubah definisi kematian. Pemerintah berencana membuat 2 kategori: kematian karena Covid-19 dan kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid alias penyakit bawaan. Usul membuat kategori seperti itu datang dari Provinsi Jawa Timur. Gubernur Khofifah Indar Parawansa mengirim surat kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto agar klasifikasi pelaporan kasus kematian ditinjau ulang. Dari 2.922 kasus kematian di Jatim, sebanyak 91,1 persen meninggal disertai komorbid. Bila definisi kematian berubah angka kematian karena Covid-19 di Jatim bakal turun drastis. Perubahan definisi itu otomatis akan menekan angka kematian Covid-19 di seluruh wilayah Indonesia. Pasien yang meninggal setelah terjangkit virus corona, tapi memiliki penyakit asal seperti ganggunan jantung atau asma, akan dipisahkan dari kasus kematian akibat Covid-19. Bila sudah begitu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tak perlu bersusah-payah lagi menurunkan angka kematian di 9 provinsi. Belum lama ini, Presiden Jokowi memang menugasi Luhut untuk menekan angka kematian di daerah merah – termasuk Jatim – dalam dua pekan. Tanpa “mengolah” definisi kematian, target Jokowi itu jelas sangat muskil. Utak-atik angka kematian sejatinya bukan pertama kali terjadi. Hingga pertengahan Juli lalu, Kemenkes tak mau memasukkan pasien yang meninggal dengan gejala Covid-19, tapi belum terkonfirmasi oleh hasil tes laboratorium, ke dalam kurva kematian akibat corona. Padahal, 3 bulan sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan kasus berstatus probable itu dalam angka kematian Covid-19. Artinya, kematian dengan Covid-19 yang disertai komorbid itu tetap dimasukkan dalam angka kematian Covid-19. Koran Tempo mengingatkan, sia-sia saja mengutak-atik definisi kematian bila tujuannya untuk menutupi kegagalan mengendalikan wabah. Indonesia bukanlah sebuah koloni di dalam gua tertutup. Upaya menekan tingkat fatalitas dengan cara itu hanya akan menjadi bahan olok-olok dunia. Lebih berbahaya lagi, manipulasi data kematian iitu bisa menurunkan kewaspadaan dalam memerangi pandemi. Tanpa “diskon” angka kematian pun, kedisiplinan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan sangat rendah. Akurasi data kematian semestinya menjadi pegangan pemerintah dalam memotong mata rantai penularan Covid-19. Sekaligus membangun sistem kesehatan publik jangka panjang. Kalau tujuannya memang ingin menghibur diri atau meninabobokan banyak orang, kenapa pemerintah tidak sekalian membuat kategori kematian karena “sudah ajal” saja? Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan dr Achmad Yurianto, redefinisi kematian COVID-19 masih dalam pembahasan rapat internal. “Bukan saya yang mengubah, saya masih koordinasi ke staf ahli menteri dan staf khusus menteri, saat ini masih berproses, apakah perlu diubah atau tidak,” kata dia saat dihubungi IDN Times, Selasa (22/9/2020). Redefinisi kematian COVID-19 muncul saat Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi Kesehatan Kementerian Kesehatan M. Subuh menghadiri rapat koordinasi bersama Gubernur Khofifah di Jatim pada Kamis, 17 September 2020. Menurut Subuh, kehadirannya untuk melaksanakan pesan dari Menkes berdasarkan Instruksi Presiden untuk membantu penurunan angka penularan, kematian, dan meningkatkan angka kesembuhan di wilayah Jatim dalam waktu dua pekan ke depan. “Kita harus berusaha dalam dua minggu ke depan terjadi penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian di 9 provinsi, termasuk wilayah Jatim,” ungkap Subuh dilansir laman Kemkes.go.id. Subuh menyebutkan ketiga poin tersebut (penurunan angka penularan, peningkatan angka kesembuhan, penurunan angka kematian) bisa ditekan, khususnya penurunan untuk angka kematian. “Penurunan angka kematian harus kita intervensi dengan membuat definisi operasional dengan benar, meninggal karena Covid-19 atau karena adanya penyakit penyerta sesuai dengan panduan dari WHO, dan juga dukungan BPJS Kesehatan dalam pengajuan klaim biaya kematian pasien disertai Covid-19,'” kata Subuh. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Khofifah akan segera mengkoordinasikan dengan tim Covid-19 wilayah Jatim agar tiga poin tersebut tercapai. “Dengan adanya klasifikasi diharapkan adanya pendataan yang benar dan sinkronisasi data yang aktual antara pusat dan daerah, baik data kematian pasien yang memang disebabkan oleh Covid-19 dan kasus kematian karena Covid-19,” kata Khofifah. Tingkat kematian akibat infeksi virus SARS CoV-2 di Jatim secara persentase itu tinggi. Data terbaru Satgas Penanganan Covid-19, sebanyak 2.990 orang meninggal dunia (7,28%) dari total terkonfirmasi positif 41.076 kasus. Sebanyak 33.575 dinyatakan sembuh (81,74%). Merujuk data tersebut, Koordinator Rumpun Kuratif Penanganan COVID-19 Jatim dr. Joni Wahyuhadi mengakui pihaknya mengirimkan usulan kepada Kemenkes. Sebab, perlu adanya pelurusan mengenai pemberian status kematian akibat virus corona. Harusnya, ada pembedaan klasifikasi meninggal dunia seperti standar WHO. Yang mana meninggal murni Covid-19 dan meninggal akibat komorbid disertai virus corona. “Usulan kami kalau melihat di pengisian sistem online Kementerian Kesehatan,” ujar Joni. “Jjadi, angka kasus bukan berdasarkan rantai kasus sesuai WHO. Namun, kriteria saat Covid-19 pasien meninggal ini dicap negatif, probable, dan confirm,” ungkapnya saat di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin, 21 September 2020. Sementara, pedoman WHO yang ditunjukkan Joni, dokter sejak awal mencatat penyebab pasien terinfeksi mulai dia kontak erat atau masuk kategori suspect. Kemudian, harus dipastikan apakah ada penyakit penyerta atau tidak yang harus diisi, lalu dipantau terus apakah ada pneumonia atau tidak yang ini menjadi indikator penentuan pasien yang dinyatakan meninggal dunia. “Definisi kematian, kematian karena Covid-19 untuk tujuan pengawasan sebagai kematian yang kompatibel secara klinis dalam kasus Covid-19 yang suspect atau probable,” katanya. “Jadi, suspect itu gak boleh disebut kematian karena Covid-19. Ini bukan di-covid-kan. Sebab, suspect belum ada pemeriksaan labnya. Klinisnya, ada toraks fotonya, ada riwayat kontaknya, ada gejalanya,” lanjut Joni. “Kecuali ada penyebab kematian alternatif yang jelas, yang tidak dapat dikaitkan dengan Covid-19. Jadi, suspect maupun terkonfirmasi menyebabkan gagal napas itu Covid-19,” jelas Joni. Dirut RSUD dr Soetomo ini mencontohkan pasien yang meninggal dunia terdeteksi positif Covid-19, tapi tidak seharusnya tercatat meninggal akibat corona. Yakni, pasien yang mengalami kecelakaan. Saat akan dirawat diwajibkan tes swab. Ternyata hasilnya positif. Tak lama setelah itu, pasien meninggal dunia. “Harusnya bukan (masuk kematian akibat) Covid-19. Kematian Covid-19 (harusnya) tidak dikaitkan dengan hal lain. Misal kanker kronis mati kena Covid-19, ini bukan (meninggal karena) Covid-19. Tapi, karena kanker. Ini harus dihitung secara independen yang diduga memicu perjalanan Covid-19,” kata Joni. Kewenangan untuk menghitung itu, kata dia, menjadi kewajiban dokter di rumah sakit yang menangani pasien. Menurutnya, harus dibedakan ada pasien positif virus corona yang meninggal karena komorbidnya. Ada pula yang meninggal karena Covid-19. Berdasarkan data di Jatim, pasien meninggal dunia yang memiliki komorbid atau penyakit penyerta sebesar 91,9 persen. Mayoritas penyakit penyertanya adalah diabetes. Sedangkan yang meninggal murni karena Covid-19 hanya 8,1 persen. Contoh Kasus Usulan Gubernur Khofifah itu dikritisi Arie Karimah Muhammad, Pharma-Excelent Alumni ITB. “Buat yang mau otak-atik angka kematian, coba jawab dulu pertanyaan aye ini,” tulis Arie Karimah dei akun FB-nya. Jika seorang penderita diabetes terinfeksi Covid dan meninggal: Piye Carane menentukan kematiannya itu akibat diabetes atau Covid? Kriteria apa yang digunakan? Kadar gula darah puasanya? Atau viral load-nya? “Atau dilihat mana yang berhenti duluan: jantung atau paru-parunya? Atau: apa?” tulisnya. Kalau diputuskan kematiannya akibat diabetes (biar angka kematian Covid terlihat rendah): jenazah tetap diurus dan dimakamkan dengan protap Covid? Di pemakaman khusus Covid? Nanti kalau wartawan ngecek akan banyak selisih atuh antara angka kematian akibat Covid di RS dengan jumlah makam di pemakaman khusus? Njur piye? Beda kalau semua jenazah dikremasi: tidak bisa di-cross check. Ya tho? “Ingat lho, media asing seperti Reuters itu punya direct access ke sumber data. Mereka pasti melakukan cross checking jika datanya aneh. Testing number wae belum becussss,” ungkap Arie Karimah. Belum lagi masalah administrasi di RS apa nggak ruwet: meninggal bukan karena Covid tapi pemulasarannya dengan protap Covid. SOP-nya apa nggak ruwet itu? “Kalau ada audit ISO piye carane manipulasi data?” lanjutnya. “Kalau mau klaim biaya ke pemerintah juga gimana? Ada double SOP gitu? Khofifah, bisa jawab kagak?” sindir Arie Karimah. “Senengane kok akal-akalan. Gimana kalau kutanya: Penderita penyakit kronis itu kalau tidak terinfeksi Covid secara statistik berumur lebih panjang nggak?” ujar Arie Karimah. Apakah cause of death-nya bisa dibedakan secara significant. Lha kadang udah dikubur aja PCR-nya belum keluar. Apa yang meninggal di rumah pernah dihitung nggak yang akibat Covid? Mbok semangat itu belajar dari negara lain yang angka kematiannya rendah, atau berhasil menekan angka kematian. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
Pilkada & Label Jokowi Inkompeten dari The Economist
by Jusman Dalle Jakarta FNN - Rabu (23/09). Majalah ekonomi papan atas dunia, The Economist melabeli Joko Widodo tidak kompeten menangani krisis Covid. Dalam laporannya yang terbit akhir Agustus, The Economist membagi empat kluster pemimpin dunia dalam merespons krisis Covid-19. Kluster pertama, mereka yang menyangkal ada masalah. Seperti Gurbanguly Berdymukhamedov dari Turkmenistan, yang mendenda rakyatnya karena memakai masker. Meski kemudian kebijakan itu diervisi. Wajib masker dengan alasan agar tidak menghirup debu. Aneh! Kelompok kedua, yaitu para kepala negara yang mengakui ancaman Covid-19. Melawannya dengan upaya maksimum dan keras. Relatif berhasil. Meski cenderung mengabaikan kebebasan sipil. Hal ini misalnya dilakukan Xi Jinping di Tiongkok, dan Nguyễn Phú Trọng di Vietnam. Kelompok ketiga, mencakup sebagian besar negara demokrasi. Berusaha kompromi. Antara menangani virus, dan tetap menimbang segala dampak sosial ekonominya. Kelompok keempat, para kepala negara yang mencoba bertindak keras. Namun melakukannya dengan tidak kompeten. Di kluster terakhir inilah Presiden Joko Widodo ditempatkan. Kebijakan yang tidak solid sejak awal, memperburuk Covid-19 di Indonesia. Keinginan memaksakan Pilkada, dipastikan bakal memperparah keadaan. Rencana Pilkada ini, persis langkah tergesa-gesaan pemerintah menggenjot ekonomi. Padahal para pakar lintas disiplin ilmu secara tidak tertulis bersepakta pada satu diktum. Ekonomi hanya bisa jalan jika pandemi terkendali. Sebetulnya, pemerintah menyadari salah langkah. Namun bukannya menahan diri, malah terus berlari. Semakin jauh tersesat ke labirin gelap. Sebuah dokumen rahasia, bahan presentasi mengenai kondisi perbaikan ekonomi serta penanganan Covid-19 jangka panjang terungkap. Mengutip CNBC Indonesia, dokumen itu bersumber dari Kemenko Perekonomian. Menunjukkan Covid-19 baru bisa selesai di akhir 2021 jika proses vaksinasi berjalan sesuai rencana. Mulai pertengahan 2021. Masih dari dokumen yang sama, krisis ekonomi bakal sangat dalam. Skenario pemulihan yang diajukan berjalan sangat lamban. Recovery ekonomi seperti pre-Covid19 diperkirakan baru bisa terealisasi tahun 2022/2023. Memperhitungkan dampak Pilkada mentransmisi Covid-19 di 270 daerah, maka krisis multidimensi akan berlangsung lebih panjang, dalam, dan mematikan dari semua perkiraan yang pernah diajukan. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin tidak menentu. Karena itu, seruan menunda Pilkada jadi opsi paling rasional saat ini. Apalagi di level masyarakat, tekanan agar Pilkada ditunda semakin kencang. Dua ormas terbesar di Indonesia, NU & Muhammadiyah bahkan kompak menyerukan Pilkada diundur. Para tokoh, pakar dan pengamat juga menyuarakan aspirasi senada. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, secara tegas meminta pemerintah menunda Pilkada hingga vaksinasi Covid19 selesai. Opsi penundaan Pilkada amat beralasan. Agar pesta demokrasi lima tahunan itu, tidak menjelma jadi monumen kematian. Situasi penanganan Covid-19 yang amburadul memendam bom waktu. Akan terjadi ledakan Corona yang sangat mengerikan jika agenda Pilkada tetap dipaksakan. Di masa-masa kampanye, pengumpulan massa skala besar hingga ribuan orang, tak bisa dihindari. Sudah terlihat pada proses pendaftaran para kandidat kemarin. Bakal calon kepala daerah bahkan tidak mampu mendisiplinkan tim sukses dan pendukungnya. Berkerumun mengabaikan protokol kesehatan. Penyelenggara pemilu, juga melakukan pembiaran atas pelanggaran protokol kesehatan itu. KPU bahkan membolehkan konser musik ketika kampanye. Perlu di catat, KPU memegang rekor sebagai lembaga negara paling mematikan. Tahun 2019, sebanyak 894 petugas KPPS gugur karena kelelahan mengurus Pemilu. Potensi angka kematian petugas KPPS akibat Pilkada bakal lebih besar. Tingkat ancamannya bertambah. Corona punya ruang yang nyaman di kerumunan dan sikap indisipliner menegakkan protokol kesehatan. Bagi Jokowi, menunda atau melanjutkan Pilkada memang dilematis. Jika dilanjutkan, tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 bakal semakin menyeramkan. Bila ditunda, ongkos politiknya tidak kecil. Kredibilitas pemerintah jatuh. Buah simalakama. Itulah akibatnya, sedari awal Jokowi dan jajarannya tidak tegas merespons Covid-19. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation.
Jangankan Masker, APD Saja Bisa Ditembus Covid-19!
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selada (22/09/. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Achmad Yurianto, menyoroti PT KCL yang sedang sosialisasi kepada pengguna KRL untuk menghindari pemakaian masker buff dan masker scuba karena penyebaran droplet masih mungkin terjadi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan scuba bukan termasuk masker. “Masker ya masker, titik. Kenapa melari-larikan ke scuba segala macam. Kan disuruhnya pakai apa? Masker. Scuba itu masker bukan? Lha bukan. Emang scuba itu masker?” kata Yuri. Hal itu ditegaskan Yuri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/9/2020), seperti dilansir Detik.com, Rabu (16 Sep 2020 14:45 WIB). Yuri juga menyinggung soal penerapan protokol kesehatan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Yuri menegaskan masker tidak hanya sebagai penutup hidung. Ia menilai, tidak ada salahnya penggunaan scuba sebagai masker dilarang. “Ajarin masyarakat dong, masker ya masker, titik. Kenapa sih dibikin konflik? Masker, bukan penutup hidung,” lanjutnya. “Kalau nutup hidung pakai kertas bisa kan. Tapi yang diminta apa? Masker,” tegas Yuri. “3M itu nomor satu apa? Masker. Saya tanya, scuba itu masker bukan? Buff itu masker bukan? Berarti nggak memenuhi kan. Kalau dilarang apa salahnya?” lanjut Yuri. Yuri juga kembali menegaskan bahwa scuba maupun buff bukanlah masker. Ia menekankan pentingnya menggunakan masker yang bukan sekadar sebagai penutup wajah. “Jadi ini yang kemudian bikin masyarakat bingung. Jadi please, masker, masker, titik.” ujar Yuri. “Jangan ditawar-tawar lagi. Kan 3M itu tidak diawali dengan yang pertama menutup muka. Kalau menutup muka pakai ember juga bisa. Yang diminta itu apa? Scuba itu apa? Kalau scuba itu masker, berani kamu nyelam pakai ini? Jadi bukan, ya,” tandasnya. Sebelumnya diberitakan, akun media sosial PT KCI, seperti Instagram, melakukan sosialisasi menghindari penggunaan masker scuba dan buff. Dalam penjelasan PT KCI, masker scuba atau buff hanya 5% efektif mencegah risiko terpapar virus. “Hindari pemakaian masker scuba atau buff yang hanya 5% efektif dalam mencegah risiko terpaparnya akan debu, virus, dan bakteri,” tulis Instagram @commuterline. VP Corporate Communications PT KCI, Anne Purba, mengatakan hal ini baru sebatas sosialisasi. Sosialisasi agar menghindari penggunaan masker scuba dan buff di KRL ini karena penyebaran droplet masih mungkin terjadi. Anne menyarankan pengguna KRL memakai masker kain berlapis dan masker kesehatan. “Masker kain 2-3 lapis dan masker kesehatan mengurangi penyebaran droplet yang masih mungkin terjadi,” ucap Anne. Sementara itu, masker jenis ini juga tidak disarankan oleh Satgas Penanganan COVID-19. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan masyarakat yang sehat memang tetap dibolehkan memakai masker kain. Masker bedah lebih diperuntukkan bagi masyarakat yang sakit atau bergejala. “Masker kain yang bagus adalah yang berbahan cotton dan berlapis 3 karena kemampuan memfiltrasi partikel virus akan lebih baik dengan jumlah lapisan lebih banyak," kata Wiku dalam jumpa pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (15/9). About Mask Ada tulisan menarik perihal masker dari alumni ITB, seorang Pharma-Excellent bernama Arie Karimah Muhammad. Menurutnya, sampai saat ini hanya ada Dua jenis masker yang bisa mencegah masuknya virus Covid-19 ke mulut atau saluran pernafasan, yaitu: Respirator N-95 dan Surgical Mask (masker bedah) 3 lapis. Spesifikasi Respirator N-95: Melindungi dari Seluruh Partikel yang ada di udara: bakteri, virus, debu, dan serbuk sari; Melindungi dari cairan, misal: droplets dari batuk atau bersin; Memblokir > 95% partikel berukuran 0,3 mikron. Perlu dicatat, FDA mengatakan, yang Berhak memakai Respirator N-95 adalah dokter dan tenaga kesehatan lainnya, yang Bersentuhan Langsung dengan pasien terinfeksi. Respirator N-95 Tidak untuk digunakan oleh masyarakat, meski mereka sanggup membelinya. “Karena jika masyarakat ikut-ikutan membeli Respirator N-95, maka bisa terjadi kekurangan stock untuk tenaga kesehatan,” tulis Arie Karimah. Masker yang sangat populer di Jepang, Japanese Pitta mask sampai perlu melakukan riset untuk mengetahui apakah maskernya Bisa mencegah virus Covid-19 masuk ke mulut atau saluran pernafasan? Jawabannya adalah: Sama Sekali Tidak Bisa. “Pitta mask terbuat dari bahan polyurethane, yang biasa digunakan untuk spons dan puff bedak. Jadi terasa lembut dan ringan,” ungkap Arie Karimah. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa Pitta mask efektif menyaring hingga 64% partikel berukuran > 2,5 mikron, sedangkan virus Covid-19 berukuran Jauh Lebih Kecil, yaitu 0,125 mikron atau 125 nanometer. Menurut Arie Karimah, jadi Pitta mask 99% efektif menyaring: Debu dan serbuk sari, yang ukurannya di kisaran 5 – 100 mikron; Bakteri, yang berukuran > 2,5 mikron. Bagaimana dengan Scuba mask? Scuba mask dibuat dari bahan serat poliester, sehingga jika dipegang terasa halus, tampak agak mengkilap dan jika dipakai menyesuaikan dengan lekuk wajah. Jika dilihat bentuknya mirip dengan pitta mask. “Namun saya tidak menemukan riset dari scuba fabric mask seperti hanya yang dilakukan oleh pitta mask,” tulis Arie Karimah dalam status FB-nya, Kamis (17 September 2020). Arie Karimah memberi perbandingan ukuran: Virus secara umum: 0,003 – 0,5 mikron, atau 3 – 500 nanometer. Covid-19: 0,125 mikron (125 nm). Influenza: 0,1 mikron (100 nm). Polio: 0,03 mikron (30 nm); Bakteri: 1-5 mikron. Contoh: Staphylococcus: 1 mikron. E.coli: 2 mikron. Serbuk sari: 10-90 mikron. Tetes hujan: 600-10.000 mikron. “Jadi kalau Anda melihat meme KAI di kolom komentar, sekarang Anda tahu: itu efektif menyaring apa? Informasinya Tidak Lengkap,” tegas Arie Karimah. Jadi, “Jika masker scuba dilarang dipakai penumpang kereta, maka masker kain satu lapis yang banyak dijual seharga Rp 5 ribu di pinggir jalan itu juga harus dilarang.’ Tentang Masker Bahan (Fabric), Tidak Harus Kain (Cloth), Arie Karimah merujuk kepada 2 institusi besar yang sangat terpercaya: WHO dan CDC (Centers for Disease Control and Prevention). WHO: Merekomendasikan masker bahan 3 lapis untuk dipakai di ruang publik, di dalam toko atau transportasi umum ketika physical distance 1,5 – 2 meter sulit dipraktekkan. Jika Anda menyopir sendirian di dalam mobil tidak perlu memakai masker. Sampai saat ini WHO belum mengetahui berapa besar proteksinya. Hanya dikatakan secara kualitatif bahwa jika Anda memakai masker berarti Anda melindungi orang lain. Sebaliknya, jika orang lain memakai masker berarti dia melindungi Anda. Masker bahan yang ideal terdiri dari 3 lapis: Lapisan dalam, yang bersentuhan langsung dengan mulut dan hidung: terbuat dari bahan material hidrofilik, yang akan menyerap droplet. Contoh: katun, rajutan. Lapisan tengah: berfungsi sebagai filter dari luar. Bisa dalam bentuk sisipan (insert) atau lapisan. Bahan hidrofobik, misal: polipropilen non woven. Lapisan yang menghadap luar: hidrofobik, yang akan mencegah cairan/droplet/lembab menembus lapisan dalam. Contoh bahan: sintetik material poliester, atau campuran poliester dan katun. Masker harus menjamin penyaringan dan membuat pemakaianya tetap bisa bernafas dengan baik. Pertanyaaannya: masker dengan spesifikasi seperti itu apakah harganya terjangkau oleh masyarakat kelas bawah? Arie Karimah mengatakan, CDC merekomendasikan pemakaian masker di area publik atau berada di sekitar orang yang tidak tinggal serumah dengan Anda. “Masker minimum terdiri dari 2 lapis bahan, tanpa menyebutkan jenis bahannya,” ungkapnya. “Rekomendasi CDC ini lebih mudah diterapkan. Yang penting bahan 2 atau 3 lapis, dan tetap bisa bernafas dengan leluasa,” jelas Arie Karimah. Ia menyarankan, gunakan masker bahan setiap Anda berada di luar rumah dan saat berada di tengah-tengah orang lain. Itu adalah kewajiban sosial kita semua, untuk melindungi satu sama lain. Memakai masker Tetap Lebih Baik dibandingkan tidak memakainya. Pertanyaannya, apakah memakai masker (apapun jenisnya) bisa menjamin seseorang tidak akan terinfeksi Virus Corona alias Covid-19? Belum tentu juga! Para dokter dan nakes lainnya yang sudah pakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap saja bisa terpapar Covid-19 dan sudah menjadi korban, apalagi rakyat jelata! Ini bisa jadi bukti, varian Covid-19 baru seperti D614G mampu menembus APD. Menjadi bukti pula, APD saja bisa ditembus, apalagi cuma masker dan kulit manusia. Karena itulah jaga imun tubuh kita! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Pak Presiden Kok Tiba-tiba Jadi Luhut?
by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Akhirnya Presiden Jokowi menurunkan Menko Marinvest Luhut B Panjaitan dalam palagan “perang” melawan Corona. Instruksinya jelas. Luhut, bersama Kepala BNPB Doni Monardo, diperintahkan menurunkan tingkat penularan Covid-19 di sembilan provinsi, termasuk DKI Jakarta. Waktu yang diberikan sangat pendek. Hanya dalam dua pekan. Jelas ini bukan tugas main-main. Mission imposible. Karena itu figur yang dipilih juga bukan figur orang atau pejabat biasa. Luhut selama ini dikenal sebagai tangan kanan dan pembantu utama Jokowi. Banyak yang menjulukinya sebagai super minister. Orang ketiga setelah Jokowi dan Wapres Ma’ruf. Bila dilihat dari peran dan kewenangannya, dia sesungguhnya jauh lebih penting dan lebih powerful dibandingkan dengan Ma’ruf. Perannya selama ini kira-kira seperti Perdana Menteri. RI-3! Tugas-tugas berat yang tidak bisa diselesaikan oleh menteri atau Menko lainnya, biasanya diserahkan ke Luhut. Sudah biasa bagi Luhut masuk ke sektor lain, di luar tugas pokok dan fungsinya sebagai Menko Marinvest. Luhut selalu menjadi andalan dan senjata pamungkas. Jadi penugasan yang disampaikan oleh Jokowi Selasa (15/9) sesungguhnya bisa dibilang sangat terlambat. Kok Luhut baru diturunkan setelah 10 bulan, atau setidaknya 6 bulan setelah Covid-19 membuat babak belur pemerintahan Jokowi. Dengan background Luhut, kita tidak perlu bahkan tidak boleh bertanya-tanya. Mengapa Luhut yang diturunkan. Kalau mau dicari-cari hubungannya, sebagai Menko Maritim dan Investasi, jelas posisi Luhut erat kaitannya dengan Covid-19. Virus ini berasal dari Cina. Dari seberang lautan (maritim). Dampaknya membuat investasi Indonesia babak belur. Covid-19 adalah masalah lautan dan investasi. Langsung Menggebrak Setelah mendapat mandat, Luhut langsung menggebrak. Bukan Covid-19 yang digebrak. Tapi lawan-lawan politik. Kritikus pemerintah. Dia minta agar tidak nyinyir. “Kami kerja kok. Kami juga punya otak, punya kekuatan dan tim yang bagus. Jadi, tidak usah merasa bahwa ini tidak bisa, Anda belum pernah dipekerjakan jadi tidak usah berkomentar kalau belum paham,” tegasnya. Gertakan model begini sangat khas Luhut. Sebagai perwira tinggi militer, etnis Batak pula, dia terbiasa bersuara keras. Bagi yang belum kenal gayanya, dijamin langsung mengkeret. Tapi apakah resep yang sama juga manjur dan bisa diterapkan ke Corona? Apakah virus made in China itu juga bakal mengkeret dan kabur setelah digertak Luhut? Dipilihnya Luhut, menunjukkan cara pikir dan pendekatan Jokowi terhadap virus tidak berubah. Dia tidak melihat masalah utama terus meningkatnya penyebaran Covid karena masalah kesehatan. Luhut berada dalam madzhab yang sama dengan Jokowi. Dia lebih khawatir ekonomi Indonesia ambyar karena Covid. Kali ini yang menjadi sasaran adalah disiplin masyarakat. Pemerintah menilai terus menyebarnya Covid-19 karena masyarakat tidak disiplin. Karena itu perlu diterapkan operasi penegakan hukum (yustisi) yang tegas. Polisi dan militer dilibatkan. Luhut sebagaimana kata seorang anggota DPR dari PDIP, lebih bisa berkoordinasi dengan para Pangdam dan Kapolda karena latar belakang militernya. Penugasan Luhut juga menunjukkan bahwa manajemen pemerintahan Jokowi benar-benar acakadut. Selalu berubah-ubah, tanpa pernah menyentuh persoalan utama. Sejak awal, jika benar Jokowi memahami bahwa masalah utama adalah kesehatan, maka seharusnya yang menjadi penanggung jawab Menkes Terawan. Kalau Menkes tidak mampu, dia tinggal diganti. Cari figur yang jauh lebih mampu, lebih memahami persoalan dibanding Terawan. Terawan hanya difungsikan sebentar, pada awal-awal pandemi bulan Maret. Karena kebijakan dan pernyataannya sering blunder, dia langsung diberangus. Tak boleh bicara. Peran itu kemudian diserahkan kepada Kepala BNPB Doni Monardo. Namun Doni lama-lama tampak frustrasi karena tidak mendapat kewenangan dan dukungan sepenuhnya. Tanggal 20 Juli peran Doni diamputasi. Posisinya diturunkan di bawah kendali Meneg BUMN Erick Thohir. Erick membawahi Satgas Pemulihan Ekonomi dan Satgas Kesehatan. Sementara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ditunjuk sebagai koordinatornya. Tiba-tiba saja sekarang Jokowi menunjuk Luhut dan Doni untuk menangani dan menurunkan tingkat penularan dan kematian akibat Covid-19 di sembilan provinsi. Keputusan itu mengingatkan kita pada pepatah lama “tiba masa, tiba akal.” Sebuah keputusan yang diambil secara tiba-tiba, tanpa pemikiran dan pertimbangan yang matang. Tiba-tiba saja mewanti-wanti para menterinya agar mendahulukan kesehatan. Ekonomi tidak akan berjalan bila kesehatan rakyat terganggu. Padahal sebelumnya Jokowi dengan bangga memuji sendiri kebijakannya tidak melakukan lockdown. Membuat ekonomi Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Semua kebijakan, termasuk anggaran pemerintah, menunjukkan Jokowi lebih mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan. Tiba-tiba saja kita jadi kian tersadar, punya Presiden yang cara berpikir dan bertindaknya tiba-tiba. Ah seandainya saja tiba-tiba…………. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.
Jokowi Kalah Berkali-Kali di Masa Pandemi
by Jusman Dalle Jakarta FNN - Rabu (17/09). Bagi Jokowi yang ingin lekas menggenjot ekonomi, penanganan Covid-19 telah menjelma jadi kekalahan besar. Telak. Legacy yang berupaya dibangun sejak enam tahun lalu, longsor terbawa krisis multi dimensi ini. Sejauh enam bulan perjalanan Covid-19, Jokowi telah ditimpa tiga kekalahan besar. Pertama, pemerintah terbukti gagal mengendalikan Covid-19. Awalnya menjanjikan Covid-19 selesai bulan Mei. Lalu bergeser Juni, Juli dan September. Saat ini sudah mendekati Oktober, namun Covid-19 makin jauh dari kata terkendali. Angka terinfeksi melambung. Mencatat rekor-rekor anyar nan mengerikan. Tenaga medis tumbang. Rumah sakit nyaris over kapasitas. Bahkan bakal kolaps dalam beberapa waktu ke depan. Ini bukan menakut-nakuti. Tapi prediksi berdasarkan simulasi yang berpijak pada data-data terkini. Penanganan Covid-19 yang tidak kompeten, mengakibatkan dampak turunan. Merambah ke problem sosial ekonomi. Jika berlarut-larut, bahkan berpotensi menjadi krisis politik. Kegagalan penanganan Covid-19 bahkan jadi studi ilmiah di Swiss. Tereskpos dan dipelototi sedunia. Kegagalan yang go internasional. Lembaga think thank berbasis di Swiss, Deep Knowledge Group membuat kajian yang menyimpulkan, Indonesia adalah zona merah Corona. Wilayah berbahaya. Sehingga wajar jika diblokir oleh 59 negara. Ada enam indikator umum dalam kajian itu. Semuanya menunjukkan, jika kinerja kebijakan pemerintah tidak perform. Sangat jauh di bawah rata-rata dunia. Termasuk kebijakan karantina/PSBB yang tidak efektif. Akibat direcok urusan politik. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Ash Shiddieqy menyebut pemerintah pusat beroposisi ke Pemda. Lucu dan aneh! Kekalahan kedua, krisis kesehatan telah menjelma jadi krisis ekonomi. Indonesia dipastikan resesi di Kuartal III nanti. Preseden buruk bagi pemerintah. Kepercayaan investor dan pasar merosot. Di dalam negeri, ekonomi yang terpuruk sudah terkonfirmasi oleh survei SRMC. Sigi itu menyebut persepsi masyarakat terhadap ekonomi menurun. Artinya, masyarakat tidak lagi melihat ada harapan terhadap perbaikan ekonomi jangka pendek. Semua cemas dan khawatir. Pijakan realitas persepsi yang ditangkap dari survei SRMC itu bukan pepesan kosong. Terlihat di tengah gemuruh jalanan. Di kehidupan sehari-hari. Rakyat memaksakan diri untuk mencari sesuap nasi. Terpaksa keluar rumah, meski PSBB. Covid-19 yang siap menginfeksi setiap saat, diabaikan. Demi mempertahankan dapur mengepul. Dalam ketegangan itu, rakyat tidak melihat geliat harapan dari para pejabat negara. Sehingga harus bertaruh nyawa. Memperjuangkan nasib sendiri. Gelombang kecemasan dari bawah ini, terakumulasi oleh perjalanan hari demi hari yang semakin tidak pasti. Kekalahan ketiga, secara politis legitimasi Jokowi semakin keropos. Bukan cuma karena kelompok oposisi ekstra perlemen yang terkonsoliasi di KAMI. Namun karena secara de facto, Jokowi memang gagal membawa negara menghindar krisis multidimensi : Covid-19, krisis ekonomi, krisis penegakan hukum, dll. Diperparah akrobat para menteri Jokowi. Overlapping antara satu sama lain. Menteri Pertahanan kerja pertanian. Menteri Pertanian bikin kalung anti virus. Menko Kemaritiman urus macam-macam. Pokoknya, kacau balau. Tidak ada orkestrasi kepemimpinan yang solid. Puncak kekacauan itu mendunia. Majalah majalah ekonomi papan atas The Economist, menobatkan dan bahkan secara gamblang menyebut Jokowi tidak kompeten menangani krisis Covid-19. Penulis adalah Konsultan Digital Crisis Menagement
Sebagai Garda Terdepan, Keselamatan Dokter dan Nakes Harus Dijaga
by Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (14/09). Jangan pernah meremehkan Virus Corona atau Covid-19 lagi. Para dokter dan nakes yang sudah pakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap saja masih bisa “ditembus” Covid-19. Tidak hanya itu. Padahal, asupan beragam vitamin dan suplemen pun sudah mereka minum. Apalagi kita rakyat biasa yang bisa makan pun sudah sangat bersyukur. Karenanya tetap jaga protokol kesehatan. Pakai masker pun belum menjamin tidak terpapar Covid-19. Lihat saja di Radio Suara Surabaya. Sebagian awaknya terpapar Covid-19 meski bermasker. Begitu pula di MNC Group. Ada sebagian awaknya yang sudah terpapar Covid-19. Padahal, mereka juga telah menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini? Faktanya, Covid-19 tidak pandang bulu dalam memilih sasaran. Simak saja tulisan Okezone.com, Sabtu (12 September 2020 14:14 WIB). Jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 terus bertambah. Hingga saat ini, total sudah ada 115 dokter yang meninggal dunia akibat terpapar virus corona. “Total saat ini 115 (dokter yang meninggal dunia),” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi saat dikonfirmasi, Sabtu (12/9/2020). Dalam diskusi Polemik MNC Trijaya, Adib Khumaidi membeberkan kondisi yang sangat memprihatinkan terhadap para dokter di Indonesia. Bahkan, bukan hanya dokter, sejumlah tenaga kesehatan ;ainnya juga kondisinya memprihatinkan. “Jadi kenaikan, lonjakan angka kesakitan dan angka kematian yang di wilayah-wilayah kemudian juga terdampak kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan ini masih dari sudut pandang dokternya,” ungkapnya. “Dan mungkin nanti di teman-teman perawat dan tenaga kesehatan yang lain juga ada data yang mungkin sama dengan kondisi yang ada di medis,” lanjut Adib. Adib menyatakan, saat ini PB IDI bersama dengan organisasi kesehatan sangat serius dalam melakukan berbagai upaya untuk membentuk pertahanan terhadap dokter dan nakes. Hal itu dilakukan agar tidak ada lagi dokter maupun nakes yang meninggal. Setidak-tidaknya ada 181 tenaga kesehatan yang meninggal dunia, dengan rincian 112 dokter dan juga 69 perawat. Dan dengan angka ini, Indonesia berada di jajaran negara dengan angka kematian tenaga kesehatan yang terbesar di dunia, Melansir Tempo.co, Minggu (6/9/2020), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut angka kematian nakes yang gugur akibat Covid-19 di Indonesia, masuk daftar salah satu yang tertinggi di dunia. Catatan Amnesty International Indonesia, setidaknya ada 181 tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal dunia selama 6 bulan pandemi. Mereka terdiri dari 112 orang dokter dan 69 orang perawat. “Setidak-tidaknya ada 181 nakes yang meninggal dunia, dengan rincian 112 dokter (terakhir mencapai 115 dokter) dan juga 69 perawat. Dan dengan angka ini, Indonesia berada di jajaran negara dengan angka kematian tenaga kesehatan yang terbesar di dunia,” kata Usman. Mantan Direktur KONTRAS tersebut menyatakan hal itu saat acara peluncuran pusara digital bagi tenaga kesehatan, Sabtu (5 September 2020). Usman menuturkan, Amnesty International mencatat setidaknya ada 7.000 nakes meninggal akibat terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia. Negara dengan jumlah tenaga kesehatan yang wafat akibat Covid-19 tertinggi nomor wahid adalah Meksiko dengan jumlah kematian 1.320 orang. Kemudian, Amerika Serikat 1.077, India 573 orang, Brazil 324 orang, dan Afrika Selatan 240 orang. Kemudian Indonesia dengan 181 orang (plus 3 dokter). Ratusan jiwa nakes yang meninggal ini, kata Usman, bukan sekadar angka yang bisa dilewatkan begitu saja. Ia berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan keselamatan para nakes dengan mencukupi kebutuhan mereka akan alat pelindung diri atau APD dan kebutuhan akan fasilitas kesehatan lainnya. Dalam tulisan Kompas.com, Jum’at (11/09/2020, 11:40 WIB), sebelumnya PB IDI menyebut, sudah 109 dokter meninggal dunia sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air pada 2 Maret 2020. Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah dokter meninggal dunia terbanyak. Menurut Anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler dan Public Relations PB IDI Halik Malik, dari 109 dokter yang meninggal dunia, tujuh orang merupakan guru besar, sedangkan 53 orang lainnya merupakan dokter umum. “Sebannyak 49 orang adalah dokter spesialis,” ungkap Halik, seperti dilansir Kompas.com, Jumat (11/9/2020). Menurutnya, masih tingginya kasus penyebaran virus corona (Covid-19) di masyarakat mengakibatkan risiko yang harus dihadapi dokter di lapangan juga tinggi. Pasalnya, dokter dan tenaga medis merupakan garda terdepan dalam membantu pemerintah menangani persoalan Covid-19. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, akumulasi kasus positif Covid-19 mencapai 207.203 kasus hingga 10 September 2020, setelah bertambah 3.861 orang dalam sehari. Penambahan kasus harian yang dicatat kemarin dicatat sebagai rekor tertinggi sejak kasus pertama muncul. “Perkembangan situasi pandemi di berbagai wilayah, itu semua mempengaruhi kondisi para petugas medis di lapangan termasuk dokter yang kita ketahui masih aktif melayani sepanjang pandemi ini,” ucapnya. Berdasarkan sebaran, ia menambahkan, terdapat 29 dokter yang meninggal dunia di Jawa Timur. Provinsi pimpinan Gubernur Khofifah Indar Parawansa itu menempati urutan kedua sebagai provinsi dengan penyebaran kasus Covid-19 terbanyak di Indonesia: 37.093 kasus. Sementara, DKI Jakarta yang tercatat dengan sebaran kasus tertinggi, yakni 50.671 kasus, diketahui terdapat 13 dokter yang meninggal dunia atau ketiga terbanyak setelah Sumatera Utara (20 dokter). Sebuah resume kesimpulan dan rekomendasi Giant Webinar 6 bertema “Mengungkap Misteri Kematian Dokter Akibat Covid-19 Di Rumah Sakit” beredar di WA Group. Dengan Host: dr. Ita Roswita, MARS; Moderator: dr. Emil Ibrahim, MARS. Pembicara: Prof Meinaldi (PM) Guru besar FKUI; dr. Kuntjoro (DK) Ketua PERSI dan dr. Joni Wahyuhadi (JW) Direktur RS dr. Sutomo Surabaya. Waktu:12.45 - 03.20 Ringkasan materi: Telah dibahas aspek patogenesa Covid-19 oleh Prof Meinaldi dan Joni Wahyuhadi. Menurut Joni, perlu ditekankan, Covid-19 bukan Flu Biasa. Kata Prof Meinaldi, itu merupakan masalah klinis. “Hasil otopsi memperlihatkan kematian disebabkan oleh kerusakan paru dan vaskular,” ujar Prof Meinaldi. Di RS Persahabatan mortalitas Dokter tercatat antara 10 Maret (pertama) dan terakhir 5 Mei 2020 ada 9 orang. Menurut Prof Meinaldi, komorbid penyerta: Hipertensi, DM, CKD, Asma, Ca dan CVD serta geriatric. Mengutip Detik.com, di Jatim, sampai 21 Agustus 2020, jumlah kematian dokter di Indonesa sudah 95 orang. Ada 65% kematian dokter karena Covid-19 di Pulau Jawa. Sebanyak 30% diantaranya dari Jatim. Komposisi dokter yang meninggal terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Kematian yang terbanyak dialami oleh dokter umum, bedah umum, psikiater, dan dokter spesialis penyakit dalam. “Di Jatim 88% dokter yang meninggal bukan DPJP yang merawat Covid-19,” ungkap Joni. Menurut dr. Kuntjoro, dampak utama kematian nakes adalah kapasitas pelayanan menurun dengan dampak morbiditas dan mortalitas masyarakat meningkat. Adapun asumsi penyebab kematian, menurut dr. Kuntjoro dan Prof Meinaldi diantaranya: Tidak mengetahui pasien merupakan pembawa virus Covid-19; Tidak mengggunakan atau tidak adekuat penggunaan APD; Terkait dengan aktivitas sosial di luar Faskes; Kelelahan; Desain fisik Faskes; Klinik mandiri; Pemahaman diri dan disiplin diri; Kondisi tubuh: Jenis kelamin, Usia, Gemuk, Gaya hidup, Komorbid; Zonasi tak diterapkan dengan benar (bangunan zona merah); Pengaturan kerja tak dilakukan. “Sampai saat ini belum dilakukan audit kematian pada dokter, sehingga penyebab utama belum bisa dipastikan,” ungkap dokter dalam forum tersebut. Kesimpulan: 1. Menghentikan pandemi covid harus dengan memutus rantai penularan; 2. Kematian dokter dapat akibat sikap pribadi maupun sbg korban sistem; 3. Kematian Nakes akibat Covid-19 telah menjadi masalah penting. Karena posisi strategis dari nakes, efek domino yang menyertai, utamanya pada masyarakat. 4. Berbagai kebijakan yang ada dan yang telah diusulkan masih terbatas pada upaya untuk mengurangi penularan ke nakes, belum ke arah mengurangi kematian nakes akibat Covid-19. Rekomendasi: 1. Faskes: Fasilitas kesehatan dan RS harus menjadi bagian dari pemutusan rantai penularan; RS tetap harus “Balancing Act”, yaitu perawatan untuk pasien Covid-19 tetap berjalan bersamaan pelayanan pasien umum juga berjalan dengan resiko penularan seminimal mungkin; RS harus melakukan Safety Protocol yang lebih ketat. 2. Aspek Perilaku: a. Meningkatkan kepedulian Nakes terhadap kondisi dirinya sendiri; b. Waspada dan jangan mengabaikan adalah sikap kunci untuk keselamatan semua; c. Dokter harus menjadi contoh disiplin dalam penanganan covid yang benar. 3. Aspek peraturan: a. Menjadikan isu penurunan angka kesakitan dan kematian nakes karena Covid-19 menjadi salah satu prioritas nasional; b. Menyusun dan menjalankan Covid-19 Morbidity and Mortality Reduction Program (C-MMRP) untuk nakes secara nasional. 4. Aspek tenaga: a. Dokter adalah tenaga strategis dalam penanganan Covid; b. Dokter yang memilik comorbid, usia lanjut, bukan DPJP Covid dan bekerja di luar RS Rujukan Covid lebih berisiko dalam mortalitas dan morbiditas Covid-19. “Untuk itu perlu perhatian khusus,” tegas para dokter. Termasuk, apakah Pemerintah sudah melengkapi seluruh dokter dan nakes dengan APD? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id
PSBB: Obat, Madu, dan Racun di Tangan
by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Senin (14/09). Dalam beberapa hari terakhir Presiden Jokowi dihadapkan pada pilihan yang sangat-sangat sulit. Terus meningkatnya jumlah korban pandemi. Desakan berbeda dari pendukung dan kelompok kepentingan di sekitarnya, membuatnya sangat bingung mengambil keputusan.Seperti buah simalakama: Dimakan mati bapak. Tidak dimakan mati emak. Jika dituruti, dia akan ditinggalkan pendukungnya. Tidak dituruti dia bakal ditagih dan juga ditinggalkan para cukongnya. Sebuah pilihan yang sungguh sangat sulit. Persis seperti pernah dikatakan Jokowi “Ruwet….ruwet…..ruwet……” Kebingungan Jokowi sangat terlihat pada rencana Gubernur DKI Anies Baswedan menarik rem darurat dan memberlakukan PSBB total di Jakarta. Ahad (13/9) mantan Duta Besar RI di Polandia Peter F Gontha membocorkan surat bos perusahaan rokok Djarum Budi Hartono kepada Presiden Jokowi.Dalam suratnya, orang terkaya di Indonesia itu secara tegas menolak rencana PSBB total di DKI. Budi Hartono mengutip data-data menunjukkan warga yang terinfeksi di Jakarta terus meningkat, kendati sudah dilakukan PSBB. Agaknya Budi lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pada awal pandemi, Anies mengusulkan lockdown. Bukan PSBB. PSBB adalah keputusan pemerintah pusat. Mereka lebih khawatir harus menanggung ongkos dari kebijakan tersebut. Di luar itu pemerintah juga masih lebih mengkhawatirkan ambruknya ekonomi ketimbang jatuhnya ribuan nyawa rakyat. Pada hari yang sama, WA mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif kepada Presiden Jokowi juga bocor ke publik. Kepada Jokowi, anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) mengkhawatirkan tingginya jumlah dokter yang tewas karena Covid-19. Salah satu pendukung utama Jokowi itu meminta agar Menkes dan jajarannya diperintahkan segera bertindak. Menghentikan angka kematian dokter dan tenaga kesehatan. Meski tidak menyebut secara spesifik agar Jokowi mengutamakan penanganan kesehatan, Syafii jelas sangat khawatir. Dia bahkan menyinggung kemungkinan negara oleng bila sikap abai itu diteruskan. Pilihan sulit Desakan Budi Hartono dan Syafii Maarif yang berbeda kepentingan, membuat Jokowi dalam dilema besar. Kepada para menterinya Jokowi sudah secara jelas —tapi bukan tegas — agar lebih mengutamakan kesehatan ketimbang ekonomi. Namun ucapan itu bisa diartikan hanya sekadar public relation, hanya lips service. Meminjam istilah anak-anak muda sekarang “utamakan kesehatan, tapi boong. ”Terbukti ketika Anies Baswedan berniat menarik rem darurat, dia diserang oleh para menteri dan beberapa kepala daerah di sekitar Jakarta. Narasi yang dibangun senada. Seperti sebuah orkestrasi besar. Kebijakan Anies menghancurkan ekonomi nasional. Konduktor orkestrasi besar itu tak tanggung-tanggung. Langsung dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Desakan untuk mengutamakan kesehatan, termasuk WA dari Syafii Maarif sesungguhnya obat. Pahit, tapi Insya Allah akan menyehatkan. Sebaliknya iming-iming pertumbuhan ekonomi seperti dinyatakan bos Pabrik rokok Budi Hartono adalah racun disalut madu. Kelihatannya manis, tapi dampaknya sangat mematikan. Bagaimana Jokowi menyikapinya? Kita bisa membacanya dari keputusan Anies Baswedan. Jelang pemberlakuan PSBB total, Anies mendapat tekanan keras dari para punggawa Jokowi di kabinet. Jalan tengahnya kompromi. Kebijakan PSBB total menjadi PSBB diperlonggar. Keputusan Anies adalah dejavu. Persis seperti tarik menarik pada awal pandemi. Anies menginginkan lockdown. Pemerintah pusat maunya PSBB. Kita sudah melihat hasilnya sekarang. Jumlah korban terus meningkat. Kita juga belum tahu kapan masa puncak dan berharap kemudian melandai. Di media, Walikota Bogor Bima Arya Sugianto, salah satu pendukung Jokowi hanya bisa meratap dan menyesali. “Kalau saja enam bulan lalu, lima bulan lalu, atau tiga bulan pertama, serempak presiden sampaikan nomor satu kesehatan, kita lockdown semua, luar biasa itu,” kata Bima dalam sebuah diskusi di Jakarta. Sudah sangat jelas, Jokowi lebih memilih tetap mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Lebih tepatnya mengakomodasi kepentingan para taipan dan korporasi besar. Bukan kesehatan rakyat. Jokowi lebih memilih racun bersalut madu, ketimbang obat pahit yang menyehatkan. Seperti Bima Arya kita tinggal bisa berandai-andai. Kalau saja, andai saja semua mulai siuman seperti Buya Syafii Maarif. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id