KESEHATAN

Pilkada & Label Jokowi Inkompeten dari The Economist

by Jusman Dalle Jakarta FNN - Rabu (23/09). Majalah ekonomi papan atas dunia, The Economist melabeli Joko Widodo tidak kompeten menangani krisis Covid. Dalam laporannya yang terbit akhir Agustus, The Economist membagi empat kluster pemimpin dunia dalam merespons krisis Covid-19. Kluster pertama, mereka yang menyangkal ada masalah. Seperti Gurbanguly Berdymukhamedov dari Turkmenistan, yang mendenda rakyatnya karena memakai masker. Meski kemudian kebijakan itu diervisi. Wajib masker dengan alasan agar tidak menghirup debu. Aneh! Kelompok kedua, yaitu para kepala negara yang mengakui ancaman Covid-19. Melawannya dengan upaya maksimum dan keras. Relatif berhasil. Meski cenderung mengabaikan kebebasan sipil. Hal ini misalnya dilakukan Xi Jinping di Tiongkok, dan Nguyễn Phú Trọng di Vietnam. Kelompok ketiga, mencakup sebagian besar negara demokrasi. Berusaha kompromi. Antara menangani virus, dan tetap menimbang segala dampak sosial ekonominya. Kelompok keempat, para kepala negara yang mencoba bertindak keras. Namun melakukannya dengan tidak kompeten. Di kluster terakhir inilah Presiden Joko Widodo ditempatkan. Kebijakan yang tidak solid sejak awal, memperburuk Covid-19 di Indonesia. Keinginan memaksakan Pilkada, dipastikan bakal memperparah keadaan. Rencana Pilkada ini, persis langkah tergesa-gesaan pemerintah menggenjot ekonomi. Padahal para pakar lintas disiplin ilmu secara tidak tertulis bersepakta pada satu diktum. Ekonomi hanya bisa jalan jika pandemi terkendali. Sebetulnya, pemerintah menyadari salah langkah. Namun bukannya menahan diri, malah terus berlari. Semakin jauh tersesat ke labirin gelap. Sebuah dokumen rahasia, bahan presentasi mengenai kondisi perbaikan ekonomi serta penanganan Covid-19 jangka panjang terungkap. Mengutip CNBC Indonesia, dokumen itu bersumber dari Kemenko Perekonomian. Menunjukkan Covid-19 baru bisa selesai di akhir 2021 jika proses vaksinasi berjalan sesuai rencana. Mulai pertengahan 2021. Masih dari dokumen yang sama, krisis ekonomi bakal sangat dalam. Skenario pemulihan yang diajukan berjalan sangat lamban. Recovery ekonomi seperti pre-Covid19 diperkirakan baru bisa terealisasi tahun 2022/2023. Memperhitungkan dampak Pilkada mentransmisi Covid-19 di 270 daerah, maka krisis multidimensi akan berlangsung lebih panjang, dalam, dan mematikan dari semua perkiraan yang pernah diajukan. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat semakin tidak menentu. Karena itu, seruan menunda Pilkada jadi opsi paling rasional saat ini. Apalagi di level masyarakat, tekanan agar Pilkada ditunda semakin kencang. Dua ormas terbesar di Indonesia, NU & Muhammadiyah bahkan kompak menyerukan Pilkada diundur. Para tokoh, pakar dan pengamat juga menyuarakan aspirasi senada. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, secara tegas meminta pemerintah menunda Pilkada hingga vaksinasi Covid19 selesai. Opsi penundaan Pilkada amat beralasan. Agar pesta demokrasi lima tahunan itu, tidak menjelma jadi monumen kematian. Situasi penanganan Covid-19 yang amburadul memendam bom waktu. Akan terjadi ledakan Corona yang sangat mengerikan jika agenda Pilkada tetap dipaksakan. Di masa-masa kampanye, pengumpulan massa skala besar hingga ribuan orang, tak bisa dihindari. Sudah terlihat pada proses pendaftaran para kandidat kemarin. Bakal calon kepala daerah bahkan tidak mampu mendisiplinkan tim sukses dan pendukungnya. Berkerumun mengabaikan protokol kesehatan. Penyelenggara pemilu, juga melakukan pembiaran atas pelanggaran protokol kesehatan itu. KPU bahkan membolehkan konser musik ketika kampanye. Perlu di catat, KPU memegang rekor sebagai lembaga negara paling mematikan. Tahun 2019, sebanyak 894 petugas KPPS gugur karena kelelahan mengurus Pemilu. Potensi angka kematian petugas KPPS akibat Pilkada bakal lebih besar. Tingkat ancamannya bertambah. Corona punya ruang yang nyaman di kerumunan dan sikap indisipliner menegakkan protokol kesehatan. Bagi Jokowi, menunda atau melanjutkan Pilkada memang dilematis. Jika dilanjutkan, tingkat kematian dan penyebaran Covid-19 bakal semakin menyeramkan. Bila ditunda, ongkos politiknya tidak kecil. Kredibilitas pemerintah jatuh. Buah simalakama. Itulah akibatnya, sedari awal Jokowi dan jajarannya tidak tegas merespons Covid-19. Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation.

Jangankan Masker, APD Saja Bisa Ditembus Covid-19!

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selada (22/09/. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Achmad Yurianto, menyoroti PT KCL yang sedang sosialisasi kepada pengguna KRL untuk menghindari pemakaian masker buff dan masker scuba karena penyebaran droplet masih mungkin terjadi. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan scuba bukan termasuk masker. “Masker ya masker, titik. Kenapa melari-larikan ke scuba segala macam. Kan disuruhnya pakai apa? Masker. Scuba itu masker bukan? Lha bukan. Emang scuba itu masker?” kata Yuri. Hal itu ditegaskan Yuri di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/9/2020), seperti dilansir Detik.com, Rabu (16 Sep 2020 14:45 WIB). Yuri juga menyinggung soal penerapan protokol kesehatan 3M, yaitu memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Yuri menegaskan masker tidak hanya sebagai penutup hidung. Ia menilai, tidak ada salahnya penggunaan scuba sebagai masker dilarang. “Ajarin masyarakat dong, masker ya masker, titik. Kenapa sih dibikin konflik? Masker, bukan penutup hidung,” lanjutnya. “Kalau nutup hidung pakai kertas bisa kan. Tapi yang diminta apa? Masker,” tegas Yuri. “3M itu nomor satu apa? Masker. Saya tanya, scuba itu masker bukan? Buff itu masker bukan? Berarti nggak memenuhi kan. Kalau dilarang apa salahnya?” lanjut Yuri. Yuri juga kembali menegaskan bahwa scuba maupun buff bukanlah masker. Ia menekankan pentingnya menggunakan masker yang bukan sekadar sebagai penutup wajah. “Jadi ini yang kemudian bikin masyarakat bingung. Jadi please, masker, masker, titik.” ujar Yuri. “Jangan ditawar-tawar lagi. Kan 3M itu tidak diawali dengan yang pertama menutup muka. Kalau menutup muka pakai ember juga bisa. Yang diminta itu apa? Scuba itu apa? Kalau scuba itu masker, berani kamu nyelam pakai ini? Jadi bukan, ya,” tandasnya. Sebelumnya diberitakan, akun media sosial PT KCI, seperti Instagram, melakukan sosialisasi menghindari penggunaan masker scuba dan buff. Dalam penjelasan PT KCI, masker scuba atau buff hanya 5% efektif mencegah risiko terpapar virus. “Hindari pemakaian masker scuba atau buff yang hanya 5% efektif dalam mencegah risiko terpaparnya akan debu, virus, dan bakteri,” tulis Instagram @commuterline. VP Corporate Communications PT KCI, Anne Purba, mengatakan hal ini baru sebatas sosialisasi. Sosialisasi agar menghindari penggunaan masker scuba dan buff di KRL ini karena penyebaran droplet masih mungkin terjadi. Anne menyarankan pengguna KRL memakai masker kain berlapis dan masker kesehatan. “Masker kain 2-3 lapis dan masker kesehatan mengurangi penyebaran droplet yang masih mungkin terjadi,” ucap Anne. Sementara itu, masker jenis ini juga tidak disarankan oleh Satgas Penanganan COVID-19. Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan masyarakat yang sehat memang tetap dibolehkan memakai masker kain. Masker bedah lebih diperuntukkan bagi masyarakat yang sakit atau bergejala. “Masker kain yang bagus adalah yang berbahan cotton dan berlapis 3 karena kemampuan memfiltrasi partikel virus akan lebih baik dengan jumlah lapisan lebih banyak," kata Wiku dalam jumpa pers yang disiarkan di YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (15/9). About Mask Ada tulisan menarik perihal masker dari alumni ITB, seorang Pharma-Excellent bernama Arie Karimah Muhammad. Menurutnya, sampai saat ini hanya ada Dua jenis masker yang bisa mencegah masuknya virus Covid-19 ke mulut atau saluran pernafasan, yaitu: Respirator N-95 dan Surgical Mask (masker bedah) 3 lapis. Spesifikasi Respirator N-95: Melindungi dari Seluruh Partikel yang ada di udara: bakteri, virus, debu, dan serbuk sari; Melindungi dari cairan, misal: droplets dari batuk atau bersin; Memblokir > 95% partikel berukuran 0,3 mikron. Perlu dicatat, FDA mengatakan, yang Berhak memakai Respirator N-95 adalah dokter dan tenaga kesehatan lainnya, yang Bersentuhan Langsung dengan pasien terinfeksi. Respirator N-95 Tidak untuk digunakan oleh masyarakat, meski mereka sanggup membelinya. “Karena jika masyarakat ikut-ikutan membeli Respirator N-95, maka bisa terjadi kekurangan stock untuk tenaga kesehatan,” tulis Arie Karimah. Masker yang sangat populer di Jepang, Japanese Pitta mask sampai perlu melakukan riset untuk mengetahui apakah maskernya Bisa mencegah virus Covid-19 masuk ke mulut atau saluran pernafasan? Jawabannya adalah: Sama Sekali Tidak Bisa. “Pitta mask terbuat dari bahan polyurethane, yang biasa digunakan untuk spons dan puff bedak. Jadi terasa lembut dan ringan,” ungkap Arie Karimah. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa Pitta mask efektif menyaring hingga 64% partikel berukuran > 2,5 mikron, sedangkan virus Covid-19 berukuran Jauh Lebih Kecil, yaitu 0,125 mikron atau 125 nanometer. Menurut Arie Karimah, jadi Pitta mask 99% efektif menyaring: Debu dan serbuk sari, yang ukurannya di kisaran 5 – 100 mikron; Bakteri, yang berukuran > 2,5 mikron. Bagaimana dengan Scuba mask? Scuba mask dibuat dari bahan serat poliester, sehingga jika dipegang terasa halus, tampak agak mengkilap dan jika dipakai menyesuaikan dengan lekuk wajah. Jika dilihat bentuknya mirip dengan pitta mask. “Namun saya tidak menemukan riset dari scuba fabric mask seperti hanya yang dilakukan oleh pitta mask,” tulis Arie Karimah dalam status FB-nya, Kamis (17 September 2020). Arie Karimah memberi perbandingan ukuran: Virus secara umum: 0,003 – 0,5 mikron, atau 3 – 500 nanometer. Covid-19: 0,125 mikron (125 nm). Influenza: 0,1 mikron (100 nm). Polio: 0,03 mikron (30 nm); Bakteri: 1-5 mikron. Contoh: Staphylococcus: 1 mikron. E.coli: 2 mikron. Serbuk sari: 10-90 mikron. Tetes hujan: 600-10.000 mikron. “Jadi kalau Anda melihat meme KAI di kolom komentar, sekarang Anda tahu: itu efektif menyaring apa? Informasinya Tidak Lengkap,” tegas Arie Karimah. Jadi, “Jika masker scuba dilarang dipakai penumpang kereta, maka masker kain satu lapis yang banyak dijual seharga Rp 5 ribu di pinggir jalan itu juga harus dilarang.’ Tentang Masker Bahan (Fabric), Tidak Harus Kain (Cloth), Arie Karimah merujuk kepada 2 institusi besar yang sangat terpercaya: WHO dan CDC (Centers for Disease Control and Prevention). WHO: Merekomendasikan masker bahan 3 lapis untuk dipakai di ruang publik, di dalam toko atau transportasi umum ketika physical distance 1,5 – 2 meter sulit dipraktekkan. Jika Anda menyopir sendirian di dalam mobil tidak perlu memakai masker. Sampai saat ini WHO belum mengetahui berapa besar proteksinya. Hanya dikatakan secara kualitatif bahwa jika Anda memakai masker berarti Anda melindungi orang lain. Sebaliknya, jika orang lain memakai masker berarti dia melindungi Anda. Masker bahan yang ideal terdiri dari 3 lapis: Lapisan dalam, yang bersentuhan langsung dengan mulut dan hidung: terbuat dari bahan material hidrofilik, yang akan menyerap droplet. Contoh: katun, rajutan. Lapisan tengah: berfungsi sebagai filter dari luar. Bisa dalam bentuk sisipan (insert) atau lapisan. Bahan hidrofobik, misal: polipropilen non woven. Lapisan yang menghadap luar: hidrofobik, yang akan mencegah cairan/droplet/lembab menembus lapisan dalam. Contoh bahan: sintetik material poliester, atau campuran poliester dan katun. Masker harus menjamin penyaringan dan membuat pemakaianya tetap bisa bernafas dengan baik. Pertanyaaannya: masker dengan spesifikasi seperti itu apakah harganya terjangkau oleh masyarakat kelas bawah? Arie Karimah mengatakan, CDC merekomendasikan pemakaian masker di area publik atau berada di sekitar orang yang tidak tinggal serumah dengan Anda. “Masker minimum terdiri dari 2 lapis bahan, tanpa menyebutkan jenis bahannya,” ungkapnya. “Rekomendasi CDC ini lebih mudah diterapkan. Yang penting bahan 2 atau 3 lapis, dan tetap bisa bernafas dengan leluasa,” jelas Arie Karimah. Ia menyarankan, gunakan masker bahan setiap Anda berada di luar rumah dan saat berada di tengah-tengah orang lain. Itu adalah kewajiban sosial kita semua, untuk melindungi satu sama lain. Memakai masker Tetap Lebih Baik dibandingkan tidak memakainya. Pertanyaannya, apakah memakai masker (apapun jenisnya) bisa menjamin seseorang tidak akan terinfeksi Virus Corona alias Covid-19? Belum tentu juga! Para dokter dan nakes lainnya yang sudah pakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap saja bisa terpapar Covid-19 dan sudah menjadi korban, apalagi rakyat jelata! Ini bisa jadi bukti, varian Covid-19 baru seperti D614G mampu menembus APD. Menjadi bukti pula, APD saja bisa ditembus, apalagi cuma masker dan kulit manusia. Karena itulah jaga imun tubuh kita! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Pak Presiden Kok Tiba-tiba Jadi Luhut?

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Sabtu (19/09). Akhirnya Presiden Jokowi menurunkan Menko Marinvest Luhut B Panjaitan dalam palagan “perang” melawan Corona. Instruksinya jelas. Luhut, bersama Kepala BNPB Doni Monardo, diperintahkan menurunkan tingkat penularan Covid-19 di sembilan provinsi, termasuk DKI Jakarta. Waktu yang diberikan sangat pendek. Hanya dalam dua pekan. Jelas ini bukan tugas main-main. Mission imposible. Karena itu figur yang dipilih juga bukan figur orang atau pejabat biasa. Luhut selama ini dikenal sebagai tangan kanan dan pembantu utama Jokowi. Banyak yang menjulukinya sebagai super minister. Orang ketiga setelah Jokowi dan Wapres Ma’ruf. Bila dilihat dari peran dan kewenangannya, dia sesungguhnya jauh lebih penting dan lebih powerful dibandingkan dengan Ma’ruf. Perannya selama ini kira-kira seperti Perdana Menteri. RI-3! Tugas-tugas berat yang tidak bisa diselesaikan oleh menteri atau Menko lainnya, biasanya diserahkan ke Luhut. Sudah biasa bagi Luhut masuk ke sektor lain, di luar tugas pokok dan fungsinya sebagai Menko Marinvest. Luhut selalu menjadi andalan dan senjata pamungkas. Jadi penugasan yang disampaikan oleh Jokowi Selasa (15/9) sesungguhnya bisa dibilang sangat terlambat. Kok Luhut baru diturunkan setelah 10 bulan, atau setidaknya 6 bulan setelah Covid-19 membuat babak belur pemerintahan Jokowi. Dengan background Luhut, kita tidak perlu bahkan tidak boleh bertanya-tanya. Mengapa Luhut yang diturunkan. Kalau mau dicari-cari hubungannya, sebagai Menko Maritim dan Investasi, jelas posisi Luhut erat kaitannya dengan Covid-19. Virus ini berasal dari Cina. Dari seberang lautan (maritim). Dampaknya membuat investasi Indonesia babak belur. Covid-19 adalah masalah lautan dan investasi. Langsung Menggebrak Setelah mendapat mandat, Luhut langsung menggebrak. Bukan Covid-19 yang digebrak. Tapi lawan-lawan politik. Kritikus pemerintah. Dia minta agar tidak nyinyir. “Kami kerja kok. Kami juga punya otak, punya kekuatan dan tim yang bagus. Jadi, tidak usah merasa bahwa ini tidak bisa, Anda belum pernah dipekerjakan jadi tidak usah berkomentar kalau belum paham,” tegasnya. Gertakan model begini sangat khas Luhut. Sebagai perwira tinggi militer, etnis Batak pula, dia terbiasa bersuara keras. Bagi yang belum kenal gayanya, dijamin langsung mengkeret. Tapi apakah resep yang sama juga manjur dan bisa diterapkan ke Corona? Apakah virus made in China itu juga bakal mengkeret dan kabur setelah digertak Luhut? Dipilihnya Luhut, menunjukkan cara pikir dan pendekatan Jokowi terhadap virus tidak berubah. Dia tidak melihat masalah utama terus meningkatnya penyebaran Covid karena masalah kesehatan. Luhut berada dalam madzhab yang sama dengan Jokowi. Dia lebih khawatir ekonomi Indonesia ambyar karena Covid. Kali ini yang menjadi sasaran adalah disiplin masyarakat. Pemerintah menilai terus menyebarnya Covid-19 karena masyarakat tidak disiplin. Karena itu perlu diterapkan operasi penegakan hukum (yustisi) yang tegas. Polisi dan militer dilibatkan. Luhut sebagaimana kata seorang anggota DPR dari PDIP, lebih bisa berkoordinasi dengan para Pangdam dan Kapolda karena latar belakang militernya. Penugasan Luhut juga menunjukkan bahwa manajemen pemerintahan Jokowi benar-benar acakadut. Selalu berubah-ubah, tanpa pernah menyentuh persoalan utama. Sejak awal, jika benar Jokowi memahami bahwa masalah utama adalah kesehatan, maka seharusnya yang menjadi penanggung jawab Menkes Terawan. Kalau Menkes tidak mampu, dia tinggal diganti. Cari figur yang jauh lebih mampu, lebih memahami persoalan dibanding Terawan. Terawan hanya difungsikan sebentar, pada awal-awal pandemi bulan Maret. Karena kebijakan dan pernyataannya sering blunder, dia langsung diberangus. Tak boleh bicara. Peran itu kemudian diserahkan kepada Kepala BNPB Doni Monardo. Namun Doni lama-lama tampak frustrasi karena tidak mendapat kewenangan dan dukungan sepenuhnya. Tanggal 20 Juli peran Doni diamputasi. Posisinya diturunkan di bawah kendali Meneg BUMN Erick Thohir. Erick membawahi Satgas Pemulihan Ekonomi dan Satgas Kesehatan. Sementara Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ditunjuk sebagai koordinatornya. Tiba-tiba saja sekarang Jokowi menunjuk Luhut dan Doni untuk menangani dan menurunkan tingkat penularan dan kematian akibat Covid-19 di sembilan provinsi. Keputusan itu mengingatkan kita pada pepatah lama “tiba masa, tiba akal.” Sebuah keputusan yang diambil secara tiba-tiba, tanpa pemikiran dan pertimbangan yang matang. Tiba-tiba saja mewanti-wanti para menterinya agar mendahulukan kesehatan. Ekonomi tidak akan berjalan bila kesehatan rakyat terganggu. Padahal sebelumnya Jokowi dengan bangga memuji sendiri kebijakannya tidak melakukan lockdown. Membuat ekonomi Indonesia lebih baik dibanding negara lain. Semua kebijakan, termasuk anggaran pemerintah, menunjukkan Jokowi lebih mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan. Tiba-tiba saja kita jadi kian tersadar, punya Presiden yang cara berpikir dan bertindaknya tiba-tiba. Ah seandainya saja tiba-tiba…………. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Jokowi Kalah Berkali-Kali di Masa Pandemi

by Jusman Dalle Jakarta FNN - Rabu (17/09). Bagi Jokowi yang ingin lekas menggenjot ekonomi, penanganan Covid-19 telah menjelma jadi kekalahan besar. Telak. Legacy yang berupaya dibangun sejak enam tahun lalu, longsor terbawa krisis multi dimensi ini. Sejauh enam bulan perjalanan Covid-19, Jokowi telah ditimpa tiga kekalahan besar. Pertama, pemerintah terbukti gagal mengendalikan Covid-19. Awalnya menjanjikan Covid-19 selesai bulan Mei. Lalu bergeser Juni, Juli dan September. Saat ini sudah mendekati Oktober, namun Covid-19 makin jauh dari kata terkendali. Angka terinfeksi melambung. Mencatat rekor-rekor anyar nan mengerikan. Tenaga medis tumbang. Rumah sakit nyaris over kapasitas. Bahkan bakal kolaps dalam beberapa waktu ke depan. Ini bukan menakut-nakuti. Tapi prediksi berdasarkan simulasi yang berpijak pada data-data terkini. Penanganan Covid-19 yang tidak kompeten, mengakibatkan dampak turunan. Merambah ke problem sosial ekonomi. Jika berlarut-larut, bahkan berpotensi menjadi krisis politik. Kegagalan penanganan Covid-19 bahkan jadi studi ilmiah di Swiss. Tereskpos dan dipelototi sedunia. Kegagalan yang go internasional. Lembaga think thank berbasis di Swiss, Deep Knowledge Group membuat kajian yang menyimpulkan, Indonesia adalah zona merah Corona. Wilayah berbahaya. Sehingga wajar jika diblokir oleh 59 negara. Ada enam indikator umum dalam kajian itu. Semuanya menunjukkan, jika kinerja kebijakan pemerintah tidak perform. Sangat jauh di bawah rata-rata dunia. Termasuk kebijakan karantina/PSBB yang tidak efektif. Akibat direcok urusan politik. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Jimly Ash Shiddieqy menyebut pemerintah pusat beroposisi ke Pemda. Lucu dan aneh! Kekalahan kedua, krisis kesehatan telah menjelma jadi krisis ekonomi. Indonesia dipastikan resesi di Kuartal III nanti. Preseden buruk bagi pemerintah. Kepercayaan investor dan pasar merosot. Di dalam negeri, ekonomi yang terpuruk sudah terkonfirmasi oleh survei SRMC. Sigi itu menyebut persepsi masyarakat terhadap ekonomi menurun. Artinya, masyarakat tidak lagi melihat ada harapan terhadap perbaikan ekonomi jangka pendek. Semua cemas dan khawatir. Pijakan realitas persepsi yang ditangkap dari survei SRMC itu bukan pepesan kosong. Terlihat di tengah gemuruh jalanan. Di kehidupan sehari-hari. Rakyat memaksakan diri untuk mencari sesuap nasi. Terpaksa keluar rumah, meski PSBB. Covid-19 yang siap menginfeksi setiap saat, diabaikan. Demi mempertahankan dapur mengepul. Dalam ketegangan itu, rakyat tidak melihat geliat harapan dari para pejabat negara. Sehingga harus bertaruh nyawa. Memperjuangkan nasib sendiri. Gelombang kecemasan dari bawah ini, terakumulasi oleh perjalanan hari demi hari yang semakin tidak pasti. Kekalahan ketiga, secara politis legitimasi Jokowi semakin keropos. Bukan cuma karena kelompok oposisi ekstra perlemen yang terkonsoliasi di KAMI. Namun karena secara de facto, Jokowi memang gagal membawa negara menghindar krisis multidimensi : Covid-19, krisis ekonomi, krisis penegakan hukum, dll. Diperparah akrobat para menteri Jokowi. Overlapping antara satu sama lain. Menteri Pertahanan kerja pertanian. Menteri Pertanian bikin kalung anti virus. Menko Kemaritiman urus macam-macam. Pokoknya, kacau balau. Tidak ada orkestrasi kepemimpinan yang solid. Puncak kekacauan itu mendunia. Majalah majalah ekonomi papan atas The Economist, menobatkan dan bahkan secara gamblang menyebut Jokowi tidak kompeten menangani krisis Covid-19. Penulis adalah Konsultan Digital Crisis Menagement

Sebagai Garda Terdepan, Keselamatan Dokter dan Nakes Harus Dijaga

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (14/09). Jangan pernah meremehkan Virus Corona atau Covid-19 lagi. Para dokter dan nakes yang sudah pakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap saja masih bisa “ditembus” Covid-19. Tidak hanya itu. Padahal, asupan beragam vitamin dan suplemen pun sudah mereka minum. Apalagi kita rakyat biasa yang bisa makan pun sudah sangat bersyukur. Karenanya tetap jaga protokol kesehatan. Pakai masker pun belum menjamin tidak terpapar Covid-19. Lihat saja di Radio Suara Surabaya. Sebagian awaknya terpapar Covid-19 meski bermasker. Begitu pula di MNC Group. Ada sebagian awaknya yang sudah terpapar Covid-19. Padahal, mereka juga telah menerapkan protokol kesehatan yang sangat ketat. Apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini? Faktanya, Covid-19 tidak pandang bulu dalam memilih sasaran. Simak saja tulisan Okezone.com, Sabtu (12 September 2020 14:14 WIB). Jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 terus bertambah. Hingga saat ini, total sudah ada 115 dokter yang meninggal dunia akibat terpapar virus corona. “Total saat ini 115 (dokter yang meninggal dunia),” kata Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi saat dikonfirmasi, Sabtu (12/9/2020). Dalam diskusi Polemik MNC Trijaya, Adib Khumaidi membeberkan kondisi yang sangat memprihatinkan terhadap para dokter di Indonesia. Bahkan, bukan hanya dokter, sejumlah tenaga kesehatan ;ainnya juga kondisinya memprihatinkan. “Jadi kenaikan, lonjakan angka kesakitan dan angka kematian yang di wilayah-wilayah kemudian juga terdampak kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan ini masih dari sudut pandang dokternya,” ungkapnya. “Dan mungkin nanti di teman-teman perawat dan tenaga kesehatan yang lain juga ada data yang mungkin sama dengan kondisi yang ada di medis,” lanjut Adib. Adib menyatakan, saat ini PB IDI bersama dengan organisasi kesehatan sangat serius dalam melakukan berbagai upaya untuk membentuk pertahanan terhadap dokter dan nakes. Hal itu dilakukan agar tidak ada lagi dokter maupun nakes yang meninggal. Setidak-tidaknya ada 181 tenaga kesehatan yang meninggal dunia, dengan rincian 112 dokter dan juga 69 perawat. Dan dengan angka ini, Indonesia berada di jajaran negara dengan angka kematian tenaga kesehatan yang terbesar di dunia, Melansir Tempo.co, Minggu (6/9/2020), Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut angka kematian nakes yang gugur akibat Covid-19 di Indonesia, masuk daftar salah satu yang tertinggi di dunia. Catatan Amnesty International Indonesia, setidaknya ada 181 tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal dunia selama 6 bulan pandemi. Mereka terdiri dari 112 orang dokter dan 69 orang perawat. “Setidak-tidaknya ada 181 nakes yang meninggal dunia, dengan rincian 112 dokter (terakhir mencapai 115 dokter) dan juga 69 perawat. Dan dengan angka ini, Indonesia berada di jajaran negara dengan angka kematian tenaga kesehatan yang terbesar di dunia,” kata Usman. Mantan Direktur KONTRAS tersebut menyatakan hal itu saat acara peluncuran pusara digital bagi tenaga kesehatan, Sabtu (5 September 2020). Usman menuturkan, Amnesty International mencatat setidaknya ada 7.000 nakes meninggal akibat terinfeksi Covid-19 di seluruh dunia. Negara dengan jumlah tenaga kesehatan yang wafat akibat Covid-19 tertinggi nomor wahid adalah Meksiko dengan jumlah kematian 1.320 orang. Kemudian, Amerika Serikat 1.077, India 573 orang, Brazil 324 orang, dan Afrika Selatan 240 orang. Kemudian Indonesia dengan 181 orang (plus 3 dokter). Ratusan jiwa nakes yang meninggal ini, kata Usman, bukan sekadar angka yang bisa dilewatkan begitu saja. Ia berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan keselamatan para nakes dengan mencukupi kebutuhan mereka akan alat pelindung diri atau APD dan kebutuhan akan fasilitas kesehatan lainnya. Dalam tulisan Kompas.com, Jum’at (11/09/2020, 11:40 WIB), sebelumnya PB IDI menyebut, sudah 109 dokter meninggal dunia sejak pandemi Covid-19 melanda Tanah Air pada 2 Maret 2020. Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah dokter meninggal dunia terbanyak. Menurut Anggota Bidang Kesekretariatan, Protokoler dan Public Relations PB IDI Halik Malik, dari 109 dokter yang meninggal dunia, tujuh orang merupakan guru besar, sedangkan 53 orang lainnya merupakan dokter umum. “Sebannyak 49 orang adalah dokter spesialis,” ungkap Halik, seperti dilansir Kompas.com, Jumat (11/9/2020). Menurutnya, masih tingginya kasus penyebaran virus corona (Covid-19) di masyarakat mengakibatkan risiko yang harus dihadapi dokter di lapangan juga tinggi. Pasalnya, dokter dan tenaga medis merupakan garda terdepan dalam membantu pemerintah menangani persoalan Covid-19. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menunjukkan, akumulasi kasus positif Covid-19 mencapai 207.203 kasus hingga 10 September 2020, setelah bertambah 3.861 orang dalam sehari. Penambahan kasus harian yang dicatat kemarin dicatat sebagai rekor tertinggi sejak kasus pertama muncul. “Perkembangan situasi pandemi di berbagai wilayah, itu semua mempengaruhi kondisi para petugas medis di lapangan termasuk dokter yang kita ketahui masih aktif melayani sepanjang pandemi ini,” ucapnya. Berdasarkan sebaran, ia menambahkan, terdapat 29 dokter yang meninggal dunia di Jawa Timur. Provinsi pimpinan Gubernur Khofifah Indar Parawansa itu menempati urutan kedua sebagai provinsi dengan penyebaran kasus Covid-19 terbanyak di Indonesia: 37.093 kasus. Sementara, DKI Jakarta yang tercatat dengan sebaran kasus tertinggi, yakni 50.671 kasus, diketahui terdapat 13 dokter yang meninggal dunia atau ketiga terbanyak setelah Sumatera Utara (20 dokter). Sebuah resume kesimpulan dan rekomendasi Giant Webinar 6 bertema “Mengungkap Misteri Kematian Dokter Akibat Covid-19 Di Rumah Sakit” beredar di WA Group. Dengan Host: dr. Ita Roswita, MARS; Moderator: dr. Emil Ibrahim, MARS. Pembicara: Prof Meinaldi (PM) Guru besar FKUI; dr. Kuntjoro (DK) Ketua PERSI dan dr. Joni Wahyuhadi (JW) Direktur RS dr. Sutomo Surabaya. Waktu:12.45 - 03.20 Ringkasan materi: Telah dibahas aspek patogenesa Covid-19 oleh Prof Meinaldi dan Joni Wahyuhadi. Menurut Joni, perlu ditekankan, Covid-19 bukan Flu Biasa. Kata Prof Meinaldi, itu merupakan masalah klinis. “Hasil otopsi memperlihatkan kematian disebabkan oleh kerusakan paru dan vaskular,” ujar Prof Meinaldi. Di RS Persahabatan mortalitas Dokter tercatat antara 10 Maret (pertama) dan terakhir 5 Mei 2020 ada 9 orang. Menurut Prof Meinaldi, komorbid penyerta: Hipertensi, DM, CKD, Asma, Ca dan CVD serta geriatric. Mengutip Detik.com, di Jatim, sampai 21 Agustus 2020, jumlah kematian dokter di Indonesa sudah 95 orang. Ada 65% kematian dokter karena Covid-19 di Pulau Jawa. Sebanyak 30% diantaranya dari Jatim. Komposisi dokter yang meninggal terdiri dari dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Kematian yang terbanyak dialami oleh dokter umum, bedah umum, psikiater, dan dokter spesialis penyakit dalam. “Di Jatim 88% dokter yang meninggal bukan DPJP yang merawat Covid-19,” ungkap Joni. Menurut dr. Kuntjoro, dampak utama kematian nakes adalah kapasitas pelayanan menurun dengan dampak morbiditas dan mortalitas masyarakat meningkat. Adapun asumsi penyebab kematian, menurut dr. Kuntjoro dan Prof Meinaldi diantaranya: Tidak mengetahui pasien merupakan pembawa virus Covid-19; Tidak mengggunakan atau tidak adekuat penggunaan APD; Terkait dengan aktivitas sosial di luar Faskes; Kelelahan; Desain fisik Faskes; Klinik mandiri; Pemahaman diri dan disiplin diri; Kondisi tubuh: Jenis kelamin, Usia, Gemuk, Gaya hidup, Komorbid; Zonasi tak diterapkan dengan benar (bangunan zona merah); Pengaturan kerja tak dilakukan. “Sampai saat ini belum dilakukan audit kematian pada dokter, sehingga penyebab utama belum bisa dipastikan,” ungkap dokter dalam forum tersebut. Kesimpulan: 1. Menghentikan pandemi covid harus dengan memutus rantai penularan; 2. Kematian dokter dapat akibat sikap pribadi maupun sbg korban sistem; 3. Kematian Nakes akibat Covid-19 telah menjadi masalah penting. Karena posisi strategis dari nakes, efek domino yang menyertai, utamanya pada masyarakat. 4. Berbagai kebijakan yang ada dan yang telah diusulkan masih terbatas pada upaya untuk mengurangi penularan ke nakes, belum ke arah mengurangi kematian nakes akibat Covid-19. Rekomendasi: 1. Faskes: Fasilitas kesehatan dan RS harus menjadi bagian dari pemutusan rantai penularan; RS tetap harus “Balancing Act”, yaitu perawatan untuk pasien Covid-19 tetap berjalan bersamaan pelayanan pasien umum juga berjalan dengan resiko penularan seminimal mungkin; RS harus melakukan Safety Protocol yang lebih ketat. 2. Aspek Perilaku: a. Meningkatkan kepedulian Nakes terhadap kondisi dirinya sendiri; b. Waspada dan jangan mengabaikan adalah sikap kunci untuk keselamatan semua; c. Dokter harus menjadi contoh disiplin dalam penanganan covid yang benar. 3. Aspek peraturan: a. Menjadikan isu penurunan angka kesakitan dan kematian nakes karena Covid-19 menjadi salah satu prioritas nasional; b. Menyusun dan menjalankan Covid-19 Morbidity and Mortality Reduction Program (C-MMRP) untuk nakes secara nasional. 4. Aspek tenaga: a. Dokter adalah tenaga strategis dalam penanganan Covid; b. Dokter yang memilik comorbid, usia lanjut, bukan DPJP Covid dan bekerja di luar RS Rujukan Covid lebih berisiko dalam mortalitas dan morbiditas Covid-19. “Untuk itu perlu perhatian khusus,” tegas para dokter. Termasuk, apakah Pemerintah sudah melengkapi seluruh dokter dan nakes dengan APD? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

PSBB: Obat, Madu, dan Racun di Tangan

by Hersubeno Arief Jakarta FNN – Senin (14/09). Dalam beberapa hari terakhir Presiden Jokowi dihadapkan pada pilihan yang sangat-sangat sulit. Terus meningkatnya jumlah korban pandemi. Desakan berbeda dari pendukung dan kelompok kepentingan di sekitarnya, membuatnya sangat bingung mengambil keputusan.Seperti buah simalakama: Dimakan mati bapak. Tidak dimakan mati emak. Jika dituruti, dia akan ditinggalkan pendukungnya. Tidak dituruti dia bakal ditagih dan juga ditinggalkan para cukongnya. Sebuah pilihan yang sungguh sangat sulit. Persis seperti pernah dikatakan Jokowi “Ruwet….ruwet…..ruwet……” Kebingungan Jokowi sangat terlihat pada rencana Gubernur DKI Anies Baswedan menarik rem darurat dan memberlakukan PSBB total di Jakarta. Ahad (13/9) mantan Duta Besar RI di Polandia Peter F Gontha membocorkan surat bos perusahaan rokok Djarum Budi Hartono kepada Presiden Jokowi.Dalam suratnya, orang terkaya di Indonesia itu secara tegas menolak rencana PSBB total di DKI. Budi Hartono mengutip data-data menunjukkan warga yang terinfeksi di Jakarta terus meningkat, kendati sudah dilakukan PSBB. Agaknya Budi lupa atau pura-pura tidak tahu bahwa pada awal pandemi, Anies mengusulkan lockdown. Bukan PSBB. PSBB adalah keputusan pemerintah pusat. Mereka lebih khawatir harus menanggung ongkos dari kebijakan tersebut. Di luar itu pemerintah juga masih lebih mengkhawatirkan ambruknya ekonomi ketimbang jatuhnya ribuan nyawa rakyat. Pada hari yang sama, WA mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif kepada Presiden Jokowi juga bocor ke publik. Kepada Jokowi, anggota Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) mengkhawatirkan tingginya jumlah dokter yang tewas karena Covid-19. Salah satu pendukung utama Jokowi itu meminta agar Menkes dan jajarannya diperintahkan segera bertindak. Menghentikan angka kematian dokter dan tenaga kesehatan. Meski tidak menyebut secara spesifik agar Jokowi mengutamakan penanganan kesehatan, Syafii jelas sangat khawatir. Dia bahkan menyinggung kemungkinan negara oleng bila sikap abai itu diteruskan. Pilihan sulit Desakan Budi Hartono dan Syafii Maarif yang berbeda kepentingan, membuat Jokowi dalam dilema besar. Kepada para menterinya Jokowi sudah secara jelas —tapi bukan tegas — agar lebih mengutamakan kesehatan ketimbang ekonomi. Namun ucapan itu bisa diartikan hanya sekadar public relation, hanya lips service. Meminjam istilah anak-anak muda sekarang “utamakan kesehatan, tapi boong. ”Terbukti ketika Anies Baswedan berniat menarik rem darurat, dia diserang oleh para menteri dan beberapa kepala daerah di sekitar Jakarta. Narasi yang dibangun senada. Seperti sebuah orkestrasi besar. Kebijakan Anies menghancurkan ekonomi nasional. Konduktor orkestrasi besar itu tak tanggung-tanggung. Langsung dipimpin oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Desakan untuk mengutamakan kesehatan, termasuk WA dari Syafii Maarif sesungguhnya obat. Pahit, tapi Insya Allah akan menyehatkan. Sebaliknya iming-iming pertumbuhan ekonomi seperti dinyatakan bos Pabrik rokok Budi Hartono adalah racun disalut madu. Kelihatannya manis, tapi dampaknya sangat mematikan. Bagaimana Jokowi menyikapinya? Kita bisa membacanya dari keputusan Anies Baswedan. Jelang pemberlakuan PSBB total, Anies mendapat tekanan keras dari para punggawa Jokowi di kabinet. Jalan tengahnya kompromi. Kebijakan PSBB total menjadi PSBB diperlonggar. Keputusan Anies adalah dejavu. Persis seperti tarik menarik pada awal pandemi. Anies menginginkan lockdown. Pemerintah pusat maunya PSBB. Kita sudah melihat hasilnya sekarang. Jumlah korban terus meningkat. Kita juga belum tahu kapan masa puncak dan berharap kemudian melandai. Di media, Walikota Bogor Bima Arya Sugianto, salah satu pendukung Jokowi hanya bisa meratap dan menyesali. “Kalau saja enam bulan lalu, lima bulan lalu, atau tiga bulan pertama, serempak presiden sampaikan nomor satu kesehatan, kita lockdown semua, luar biasa itu,” kata Bima dalam sebuah diskusi di Jakarta. Sudah sangat jelas, Jokowi lebih memilih tetap mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Lebih tepatnya mengakomodasi kepentingan para taipan dan korporasi besar. Bukan kesehatan rakyat. Jokowi lebih memilih racun bersalut madu, ketimbang obat pahit yang menyehatkan. Seperti Bima Arya kita tinggal bisa berandai-andai. Kalau saja, andai saja semua mulai siuman seperti Buya Syafii Maarif. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Alhamdulillaah, Syafi'i Maarif Sudah Siuman

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Ahad (13/09). Sepanjang hari Ahad (13/9) pesan WA tokoh sepuh Ahmad Syafii Maarif kepada Presiden Jokowi viral. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengaku batinnya menjerit dan goncang membaca berita kematian para dokter. Sudah mencapai 115 orang. Syafii mohon Presiden memerintahkan Menteri Kesehatan dan jajarannya untuk berupaya semaksimal mungkin menolong nyawa para dokter. Jika terus dibiarkan bangsa ini bisa oleng. Permohonan Syafii ini secara substansi, sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Malah boleh dibilang sangat terlambat. Ikatan Dokter Indonesia (IDI), ahli epidemi dan para pengamat kebijakan, sudah lebih dulu memperingatkan pemerintah. Bukan hanya karena kematian dokter, tetapi juga angka korban terinfeksi jumlahnya sangat besar. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara terbesar dalam jumlah korban. Bahkan sudah melampaui Cina, negara asal pandemi. Sudah lebih dari 200 ribu terinfeksi, dan meninggal 8.650 orang. Itu bila menggunakan data resmi. Para ahli virus memperkirakan jumlah sesungguhnya jauh lebih besar, baik yang positif maupun meninggal dunia. Seruan dokter, tenaga medis, ahli virus, dan pengamat kebijakan dianggap angin lalu. Disangkal, dan dibuli. Dicap sebagai seruan kelompok oposisi yang selalu mencari-cari kesalahan pemerintah, bahkan berniat menjerumuskan. Hanya suara kadal gurun (kadrun) yang tak perlu didengar. Seruan Syafii tentu saja berbeda. Sebagaimana pengakuannya, dia adalah tokoh sepuh. Salah satu yang tertua di negeri ini. Kalangan dekat memanggilnya Buya. Bukan hanya sekadar tua. Dia juga sangat berpengaruh karena pernah memimpin Muhammadiyah. Salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Di luar itu yang harus dicatat dan digaris bawah tebal, Syafii adalah salah satu pendukung utama dan pembela Jokowi. Tidak mungkin dia menyampaikan keprihatinan, karena alasan politik, atau kebencian. Sangat sulit bagai para buzzer Jokowi menyerangnya. Apalagi melabelinya sebagai Kadrun. Mudah-mudahan saja tidak. Kalau toh tetap dipaksakan memberi labeling kepada Syafii, maka kategorinya kadrun muallaf. Cebong yang insyaf, atau setidaknya siuman. Sebuah labeling yang sangat tidak layak dan tidak pantas diberikan kepada tokoh terhormat sekelas Buya Syafii Maarif. Presiden Siuman Istilah siuman ini belakangan menjadi hype. Kepada CNNIndonesia Seorang ahli epidemi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo menyambut baik arahan Presiden agar para menterinya lebih mengutamakan kesehatan. “Alhamdulillah, Jadi kalau bahasanya orang itu, Pak Presiden sudah mulai sadar. Mulai siuman,” ujar Windu. Siuman, merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa makna. Sadar (dari pingsan, lupa, melamun, termenung, dan sebagainya); ingat kembali (tentang orang mabuk, orang gila, dan sebagainya). Agar tetap memuliakan Presiden, kita sebaiknya memilih makna pertama saja: Sadar. Artinya Presiden sadar bahwa kebijakannya yang selama ini lebih mementingkan pemulihan ekonomi, salah. Cuma masalahnya sebagai nahkoda, Presiden siuman, sadar saat kapal tengah oleng. Selama Presiden pingsan — lupa, melamun, termenung dan sebagainya— para menterinya, sebagai anak buah kapal seperti kehilangan arah. Mereka lebih melihat kepentingan ekonomi sebagai sebuah pulau fatamorgana. Tempat mereka akan selamat berlabuh, di tengah ombak dan badai pandemi. Apalagi sejumlah penumpang kapal kelas VVIP, kalangan pengusaha besar meyakinkan mereka, pemulihan ekonomi lebih penting. Negara bisa kolaps, kalau ekonomi tidak diselamatkan. Sebelum siuman, sebagai nahkoda Jokowi juga sangat jelas memberi instruksi agar kapal menuju pulau fatamorgana itu. Tidak terlalu salah bila Anies Baswedan tiba-tiba mau menarik rem darurat karena kapal akan menabrak karang besar, mereka sangat marah. Rame-rame menghajar Anies. Para menteri ini tetap yakin, percaya diri, mengutamakan ekonomi adalah pulau yang aman untuk berlabuh. Bukan karang berbahaya sebagaimana dilihat Anies. Setelah siuman, tampaknya perlu waktu agar Presiden sebagai nahkoda kapal besar bernama Indonesia, menyadari kondisi sepenuhnya. Perlu ngopi-ngopi dulu. Mudah-mudahan saja peringatan keras dari Syafii Maarif bisa membuat Jokowi sepenuhnya siuman. Kapal besar Indonesia sedang menghadapi bahaya besar. Crash. Menabrak karang dan tenggelam. Ngomong-ngomong dalam KBBI ada kata lain yang mirip-mirip maknanya dengan siuman, yakni mendusin. Bedanya mendusin ini sama-sama terbangun, tetapi tidak tersadar sepenuhnya. Hanya bangun sejenak, setelah itu menarik selimut dan tertidur lagi. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Pertempuran Tiada Henti Anies Vs Jokowi

by Hersubeno Arief Jakarta FNN - Jumat (12/09). Setelah beberapa saat tiarap dihajar publik dan media, BuzzeRp menggeliat kembali. Mereka ramai-ramai menghajar Gubernur DKI Anies Baswedan. Suara mereka bersahut-sahutan, seperti kodok bernyanyi menyambut musim penghujan. Kebijakan Anies menarik rem darurat, akan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta diserang habis. Jumat (11/9) #4niesDanCovidBerbahaya menjadi salah satu trending topik. Sejumlah artis alias influencer juga turut mempersoalkan kebijakan Anies. Cuma caranya lebih halus. Tidak langsung membully. Orkestra nada menyerang Anies di medsos, bersamaan dengan serangan secara sporadis para menteri kabinet Jokowi. Tak tanggung-tanggung. Pasukan tempur menggeruduk Anies dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga menuding rencana Anies menarik rem darurat sebagai biang keladi nyungsepnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di bursa saham Jakarta. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang selama ini tak pernah jelas rimbanya, tiba-tiba juga muncul. Dia mengingatkan PSBB di DKI Jakarta jangan sampai menghalangi distribusi logistik. Dampaknya bisa menghancurkan Produk Domestik Bruto (PDB). Menteri Perindustrian Agus Gurmiwang Kartasasmita mengingatkan PSBB jangan sampai menghancurkan industri manufaktur yang kini tengah menggeliat. Di luar ketiga menteri yang membidangi ekonomi, yang paling menarik adalah pernyataan Wamenlu Mahendra Siregar. Dia mengingatkan, jika PSBB dipukul rata, termasuk industri manufaktur, dampaknya ekonomi akan kolaps. Sebagai Wamenlu tidak pada tempatnya Mahendra bicara semacam itu. Benar dia pernah menjadi Mendag pada era SBY. Dia punya kompetensi bicara. Namun dengan posisinya sekarang, sungguh tak elok. Akan lebih baik bila Mahendra bicara bagaimana upaya pemerintah membuka “lockdown” dari lebih 60 negara terhadap Indonesia. Itu tugas pokok dan fungsi dia yang tidak kalah seriusnya. Nabok nyilih tangan Fenomena pengeroyokan rame-rame atas Anies, dalam khasanah budaya Jawa disebut sebagai “nabok nyilih tangan.” Alias memukul dengan meminjam tangan orang lain. Jokowi tak mau tangannya kotor dengan menyerang Anies. Dia meminjam tangan para menterinya, bahkan para buzzer untuk menghajar Anies. Tangannya tetap bersih. Bersamaan dengan itu Jokowi agaknya berharap, publik lupa atau setidaknya tidak sadar bahwa apa yang dilakukan Anies merupakan tindak lanjut instruksinya. Dalam rapat kabinet Senin (7/9) Jokowi mewanti-wanti agar penanganan kesehatan lebih didahulukan ketimbang ekonomi. Logika yang sesungguhnya sangat benar. Media menyebutnya Jokowi siuman. Selama ini berbagai kebijakan Jokowi selalu lebih mengutamakan ekonomi ketimbang kesehatan. Kebijakan inilah yang menjadi arena pertempuran antara Anies Vs Jokowi selama pandemi. Anies menginginkan lockdown untuk Jakarta. Pemerintahan Jokowi menolaknya. Jokowi sampai harus mengutus Mendagri Tito Karnavian menemui Anies di Balaikota DKI. Tito mengingatkan bahwa kewenangan lockdown berada di pemerintah pusat. Pemda tidak boleh mengambil kebijakan sendiri. Sepanjang pademi ketegangan antara pemerintah pusat dan Anies terus berlangsung. Menkeu Sri Mulyani pernah menyebut Pemprov DKI tak punya dana Bansos. Mensos Juliari Batubara menyebut penyaluran Bansos di DKI tumpang tindih. Sementara Menko PPM Muhadjir Effendi mengaku menegur Anies karena data dan penyaluran Bansos di DKI acakadut. Belakangan justru terungkap pemerintah pusat dalam hal ini Depkeu berutang besar kepada DKI. Dana perimbangan yang belum dibayarkan sebesar Rp 6,39 triliun. Anies sudah sempat menagih dan mengeluhkannya ke Wapres Ma’ruf Amin. Perseteruan kali ini setidaknya menjadi arena pertempuran babak ketiga antara Anies Vs Jokowi. Hanya saja kali ini Anies harus ekstra hati-hati. Kendati opini publik berpihak kepadanya, namun kondisi psikologis masyarakat sudah sangat berbeda. Secara ekonomi daya tahan publik kian melemah. Mereka terpaksa melakukan pelanggaran pembatasan karena tuntutan perut tidak bisa dikompromikan. Dampak penarikan rem darurat akan membuat kontraksi besar. Apalagi bila tidak dibarengi kompensasi bagi rakyat. Rakyat bisa ngamuk. Anies akan menjadi sasaran. Sudah menjadi rahasia umum keuangan DKI memburuk dan menyusut hampir separoh. Pemerintah pusat sejak awal tidak mau bertanggungjawab atas beban anggaran akibat kebijakan yang diambil. Jokowi mati-matian menolak lockdown karena tidak mau bertanggung jawab atas beban anggaran yang harus dipikul. Anies juga dihadapkan pada penolakan kepala daerah di sekitar DKI yang bakal terkena dampak kebijakan tersebut. Walikota Bogor Bima Arya Sugianto tegas menolak rencana PSBB total. Dia minta Anies berkonsultasi dengan pemerintah pusat. Dilihat dari paduan suara para menteri dan serangan para buzzer, sudah jelas menunjukkan kemana arah kebijakan Jokowi. Jokowi menegaskan penanganan kesehatan harus diutamakan, eh ketika Anies mau menjalankan, malah diserang habis-habisan. Anies pasti tahu belaka bahwa pernyataan Jokowi tidak bisa diartikan secara harfiah. Linier. Jokowi selalu melakukan hal-hal yang berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan. Dia menyatakan akan reshufle, tapi ternyata tidak. Dia menyatakan ekonomi akan meroket, itu artinya ekonomi akan nyungsep. Kalau sekarang dia menyatakan kesehatan harus diutamakan, maka harus diartikan tetap ekonomi lah yang diutamakan. Masalahnya Anies saat ini tidak punya pilihan lain. Rem darurat harus ditarik. Bila tidak akan terjadi crash. Korban jatuh lebih besar. Terus meningkatnya pasien terinfeksi. Membludaknya pasien di rumah sakit rujukan, serta jumlah kematian yang terus bertambah, menunjukkan situasi sudah darurat tingkat tinggi. Anies harus pandai-pandai mengatur siasat. Di satu medan tempur harus melawan Covid-19 yang tidak kasat mata. Di medan tempur lain harus menghadapi pemerintah pusat yang berada di depan mata. End Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Sinovac Diragukan, Indonesia Malah Terjepit Masuknya Corona D614G

by Mochamad Toha Jakarta FNN - Rabu (01/9). Masih seputar Virus Corona Kode D614G yang beberapa waktu lalu di Filipina dan Malaysia melaporkan temuan virus Corona yang telah bermutasi menjadi 10 kali lebih ganas. Virus ini dikhawatirkan akan masuk ke Indonesia. Dan kekhawatiran ini benar adanya usai Universitas Airlangga mengaku menemukan mutasi ini di beberapa kota besar Indonesia. Bahkan Unair menyebut mutasi serupa juga ditemukan di Surabaya, meskipun data ini masih perlu diteliti lebih jauh. “Indonesia, kalau lihat di Jatim dan Jawa Barat, Indonesia masih sangat terbatas datanya. Masih 21 virus yang sudah disubmit,” ungkap Ahli Biomolekuler Unair, dr Ni Nyoman Tri Puspaningsih, seperti dilansir Kumparan.com, Jum’at (Aug 28, 2020). “Dan mutasinya ditemukan sekitar 8 datanya di Indonesia, di Jabar dan Jatim, dan ditemukan juga di Surabaya mutasi ini,” lanjut Nyoman dalam webinar internasional bertajuk “Ending Pandemics COVID-19: Effort and Challenge”, Jumat (28/8/2020). Menurut Nyoman, mutasi virus ini sebenarnya sudah ditemukan di Eropa sejak Februari 2020. Dan sejak itulah virus SARS-CoV-2 dengan tipe mutasi D614G menjadi yang paling dominan ditemukan di berbagai sampel usap global. Mutasi ini, terletak pada bagian dalam protein yang membentuk spike virus yang berfungsi untuk menembus masuk ke dalam sel tubuh manusia. Mutasi ini akan mengubah asam amino pada posisi 614, dari D (asam aspartat) menjadi G (glisin), sehingga diberi label D614G. “Jadi kami belum tahu mekanismenya persis. Tapi peningkatan mutasinya meluas,” ujar Nyoman, merujuk pada mekanisme penularan dan “cara kerja” baru virus hasil mutasi ini. “Kalian bisa lihat mutasi aslinya di Eropa, banyak mutasi varian virus ini dari Eropa.” Untuk memahaminya, diperlukan penelitian menyeluruh atas semua karakter virus. Namun saat ini Indonesia masih melakukan analisis awal, seperti Unair yang sudah menyerahkan sekitar 6 karakter virus. “Unair sudah submit 6 karakter virus, dua diantaranya karakternya terkait dengan virus di Eropa, dan keduanya termasuk D164G,” ujar Nyoman. “Tapi menariknya salah satu nomor virus ini menarik, karena enggak cuma ada mutasi D164G (di Surabaya).” Karakter Corona Mengapa mutasinya begitu cepat? Perlu diketahui, sifat dasar antibodi, bakteri/virus/hewan, tanaman, dan manusia itu, kalau disakiti, pasti akan melawan, karena untuk mempertahankan keberadaan dirinya. Maka sudah barang tentu, mereka akan melawan semaksimal yang bisa mereka lakukan atau menyerah. Pada saat tersakiti dengan des infektan atau apapun sejenisnya, mereka yang tidak mati (tentu sebagian mati,sebagian hidup) itu membiakkan diri beratus-ratus atau beribu-ribu kali lipat, dibanding kalau tidak disakiti. Padahal konsep yang ada saat ini, corona harus dibunuh dengan antivirus atau antiseptik/des infektan. Naluri virus, yang tidak mati, akan menggandakan diri sebanyak-banyaknya agar eksistensi mereka tetap ada di muka bumi ini. Mereka sebenarnya tidak ingin menyakiti, tetapi setiap ketemu media baru, tangan manusia, itu media asing yang menakutkan bagi mereka, sehingga mereka meriplikasi diri berkali lipat. Pada saat mereka mampu bertahan hidup, tentu saja mereka sudah menjadi lebih kuat, sudah mengenali semua zat yang membunuhnya atau sudah merubah asesoris tubuhnya, sehingga bisa difahami kalau akhirnya sekarang diketahui sudah ada 500 jenis virus corona. Sehingga, menjadi wajar, kalau corona yang tersebar itu: jumlahnya jauh lebih banyak; telah mengalami mutasi genetik; dan lebih kuat. Masalahnya, “siapa yang mempercayainya konsep itu”? Andaikan penglihatan dan pendengaran kita ini dibukakan hijab-nya oleh Allah SWT, bisa berkomunikasi dengan virus itu, bisa memahami sifat mereka, tidak tega menyemprotkan cairan des infektan kepada mereka. Mereka juga menderita. Mereka takut mati, seperti halnya manusia. Bagaimana gemuruhnya di kalangan mereka ketika itu datang. Serupa dengan hebohnya di kalangan manusia sendiri. Tapi sayangnya, siapa yang mempercayai ungkapan ini? Padahal, Covid-19 sudah menelan korban tenaga medis seperti dokter. Setidaknya sudah 100 dokter meninggal dunia sejak wabah Corona melanda Indonesia. Ketua Umum PB IDI dr Daeng M Faqih membenarkan kabar tersebut. “Iya dari laporan terakhir tadi malam yang kami terima sudah mencapai 100 orang (dokter yang meninggal),” bebernya melalui pesan singkat kepada Detikcom, Senin (31/8/2020). Dr. Daeng menyebut data tersebut diterima PB IDI pada Minggu malam (30/8/2020). Kasus Corona di Indonesia pun terus meningkat hingga tembus 3 ribu kasus perhari. Hingga saat ini total sudah ada 172.053 kasus. DKI Jakarta pada Minggu (30/8/2020) melaporkan kasus sebanyak 1.094 kasus. Sebelumnya, Indonesia juga mencatat rekor penambahan kasus harian selama tiga hari berturut-turut. Sabtu (29/8/2020): 3.308 kasus baru dari 28.905 pemeriksaan spesimen yang telah dilakukan. Jumat (28/8/2020): 3.003 kasus baru dari 33.082 pemeriksaan spesimen. Kamis (27/8/2020): 2.719 kasus baru dari 29.663 pemeriksaan spesimen yang dilakukan. Sementara itu Menteri BUMN Erick Thohir sibuk menghitung “untung” jika Sinovac sudah masuk ke Indonesia. Erick menyampaikan, harga vaksin Covid-19 untuk satu orang sekitar 25-30 dolar AS atau Rp 366.500 - Rp 439.800 (kurs Rp 14.660 per dolar AS). “Harga vaksin ini untuk satu orang dua kali suntik kurang lebih harganya 25 sampai 30 dolar AS, tapi ini Bio Farma lagi menghitung ulang,” ujar Menteri Erick dalam rapat kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Kamis pekan lalu. Sementara untuk harga bahan baku vaksin COVID-19, ia mengemukakan sekitar 8 dolar AS pada 2020. Pada 2021 harganya turun menjadi 6-7 dolar AS. “Jadi ada penurunan harga bahan baku pada 2021. Kita memang menginginkan bahan baku supaya kita bisa belajar memproduksi vaksin jadi, tidak hanya terima vaksin yang sudah jadi," ucapnya, dikutip Antara. Agar tidak menambah beban APBN, Erick mengusulkan melakukan vaksin ke masyarakat dengan dua pendekatan, yakni menggunakan APBN berdasarkan data BPJS Kesehatan dan vaksin mandiri. “Vaksin mandiri tidak lain ingin memastikan tidak membebani keuangan negara secara jangka menengah dan panjang,” ucapnya. Dalam kesempatan itu, Erick yang juga Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPEN) mengatakan bahwa Covid-19 masuk dalam kategori pintar. “Catatan buat pimpinan Komisi VI dan anggota, memang virus COVID-19 termasuk kategori virus pintar, masuk kategori flu, vaksin bukan untuk selamanya, 6 bulan sampai 2 tahun kekuatannya. Karena itu kita berharap ada temuan lanjutan agar kita terjaga,” paparnya. Erick memperkirakan pelaksanaan protokol Covid-19 akan berjalan dalam waktu yang lama. Menurutnya, pihaknya meminta kepada seluruh BUMN untuk mulai mengkaji persiapan kinerja bisnis, diperlukan medium strategi dengan kondisi seperti saat ini. Jika menyimak mutasi Covid-19 D614G di atas, apakah belanja vaksin Sinovac masih efektif dan tetap mau dilakukan? Sebab, varian baru ini, bisa terjadi pada orang yang terkena tidak bergejala, tiba-tiba diketahui sudah pada stadium lanjut. Bisa diketahui, kondisi paru-parunya sudah dipenuhi cairan, dan akhirnya saturasi oksigen sudah rendah, dan sulit tertolong. Sebenarnya dengan varian ini, otomatis vaksin yang kini sedang uji klinis, tidak ada gunanya. Karena ada cairan yang banyak di paru-paru ini, maka kadar oksigen yang bisa diserap oleh paru-paru menjadi sangat sedikit/terbatas. Bisa dibayangkan, jika lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorongkan. Sehingga, menyebabkan saluran nafas buntu. Masih tetap mau menggunakan vaksin Sinovac? Mengutip dr. Tifauzia Tyassuma, pihak Sinovac menjual vaksin curah itu ke Biofarma. Harga berapa itu vaksin literan belum jelas. Biofarma masukin botol dan dikardusin, terus dijual Rp 72,000 per dosis. Sampai di tempat Erick dijual Rp 440,000. Modalnya Rp 72 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 39 Triliun. Omzetnya Rp 440 ribu x 273 juta x 2 dosis = Rp 240 Triliun. Kata Erick, untuk menekan cash flow pemerintah, maka rakyat harus beli secara mandiri. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.CO.ID.

Lebih Ganas 10 Kali, Mutasi D614G Covid-19

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (30/8). Dalam tulisan lalu, saya ungkap tentang adanya varian baru yang sudah ditemukan di Malaysia, Thailand, dan Philipina, yang berkemampuan 10 kali lebih mematikan dibanding Covid-19. Apalagi, saat ini mutasi Virus Corona sudah lebih dari 500 varian. Ternyata, karena gennya bermutasi, mutannya ada yang “bersifat” tidak hanya ke reseptor Angiotensin Converting Enzyme 2 (ACE2) saja, tetapi langsung menginfeksi sel-sel saraf. Manifesnya bisa meningitis. Ada juga yang langsung berikatan atau nempel di sel-sel darah merah, sehingga manifestasi klinisnya seperti DB, tapi setelah dites PCR: positif. Ini banyak ditemukan di pasien-pasien anak di rumah sakit. Jadi, Covid-19 tersebut tak hanya menginfeksi di saluran pernapasan seperti yang selama ini beredar! Dia mampu menyerang saluran pencernaan dan syaraf. Varian baru itu diberi Kode D614G. Farmasetika.com pada dua pekan lalu menulis, Institute of Medical Research (IMR) telah mendeteksi mutasi Covid-19 tipe D614G dalam tes kultur sampel yang diambil dari 3 kasus yang terkait dengan Cluster Sivagangga, dan satu dari Cluster Ulu Tiram, Malaysia. Sebelumnya, pada Juli 2020 ditemukan di Eropa. Dalam sebuah posting Facebook, Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Datuk Dr Noor Hisham Abdullah mengatakan, mutasi D614G pertama kali terdeteksi pada Juli 2020. Dan, penelitian kemungkinan akan mengungkapkan, vaksin apa pun yang ada tidak efektif melawan mutasi tersebut. “Itu ditemukan 10 kali lebih mungkin untuk menginfeksi individu lain dan lebih mudah disebarkan oleh individu penyebar super,” jelasnya seperti dikutip dari New Straits Times, Minggu (16/8/2020). “Selama ini, kedua cluster tersebut terkendali karena berbagai kontrol kesehatan masyarakat di lapangan,” lanjutnya. Meski demikian, masyarakat harus tetap waspada dan berhati-hati karena Covid-19 dengan mutasi D614G telah terdeteksi di Malaysia. “Terus melakukan tindakan preventif dan (tetap) patuhi standar operasional prosedur yang ditetapkan, seperti menjaga jarak fisik, praktik kebersihan diri, dan memakai masker saat berada di tempat umum,” ujarnya. Ia menambahkan, pengujian ini masih pendahuluan, dan ada beberapa uji lanjutan yang sedang dilakukan terhadap kasus-kasus lain, termasuk kasus indeks kedua klaster. Dr Noor Hisham menekankan, situasi Covid-19 di negara itu terkendali dan Kementerian Kesehatan, bersama dengan lembaga lain, masih melakukan upaya untuk mengekang penyebaran virus corona. “Kerja sama dari masyarakat sangat dibutuhkan, agar kita bisa bersama-sama menekan penularan infeksi Covid-19 dari segala jenis mutasi,” imbuhnya. Covid-19 D614G Mutasi genetik itu ditandai dengan perubahan permanen urutan DNA yang mungkin terjadi karena faktor lingkungan (radiasi UV), atau karena kesalahan selama proses replikasi DNA. Mutasi genetik tersebut bisa terjadi dari banyak jenis, termasuk missense, nonsense, insertion, deletion, duplikasi, frameshift, dan repeat expansion mutation. Mutasi D614G adalah mutasi missense di mana perubahan pasangan basa DNA tunggal menyebabkan substitusi asam aspartat (kode satu huruf: D) dengan glisin (kode huruf tunggal: G) pada protein yang dikodekan oleh gen yang bermutasi. Kodon RNA yang mengkode asam aspartat dan glisin dirancang masing-masing sebagai GAU/GAC dan GGU/GGC. Jadi, mutasi tunggal pada kodon RNA yang menyebabkan pergeseran A ke G tersebut bisa menyebabkan pergeseran asam aspartat menjadi glisin dalam urutan peptida dari protein target. Glisin adalah asam amino nonpolar dengan satu atom hidrogen sebagai rantai sampingnya; sedangkan asam aspartat adalah asam amino polar dengan rantai samping asam. Mengingat perbedaan substansial antara sifat dasar asam amino ini, mutasi D614G diharapkan memiliki implikasi biologis yang signifikan. Secara umum, virus dapat mengalami mutasi genetik yang sering karena beberapa faktor, seperti seleksi alam dan pergeseran genetik acak. Karena faktor-faktor ini dapat bekerja secara berurutan, seringkali sangat sulit untuk mengidentifikasi kapan mutasi virus menjadi lebih umum. Dalam kasus virus corona baru, mutasi D614G pada protein lonjakan virus terjadi pada tahap awal pandemi, dan bukti terbaru menunjukkan bahwa virus yang mengandung residu glisin di posisi 614 kini telah menjadi varian paling umum secara global. Untuk mengidentifikasi faktor penyebab yang bertanggung jawab atas kemunculan cepat G614 yang mengandung virus corona, para ilmuwan telah memantau secara ekstensif semua data sekuensing genom virus corona yang tersedia secara global di database Global Initiative for Sharing All Influenza Data (GISAID). Dengan menggunakan metode bioinformatis yang sesuai, para ilmuwan telah menemukan bahwa mutasi G614G pada protein lonjakan virus adalah mutasi yang paling sering terjadi di banyak lokasi geografis. Sebagai virus pseudotipe, varian G614 memiliki titer infeksi yang jauh lebih tinggi daripada varian D614. Ini menunjukkan bahwa lonjakan mutasi D614G membuat virus korona baru lebih menular dan virus dapat ditularkan dengan lebih mudah dan cepat dari orang ke orang. Selain itu, para ilmuwan telah menunjukkan, orang yang terinfeksi varian G614 memiliki viral load yang lebih tinggi di saluran pernapasan bagian atas dibandingkan dengan mereka yang terinfeksi varian D614. Namun, mutasi D614G itu tidak terkait dengan peningkatan keparahan penyakit. Karena mutasi D614G terletak pada antarmuka antara protomer protein lonjakan yang berdekatan, mutasi ini bisa memodulasi interaksi protomer-protomer dengan mengganggu pembentukan ikatan hidrogen antar-protomer. Menariknya, satu studi yang dilakukan pada pseudovirus yang mengandung D614 atau G614 telah mengklaim bahwa virus yang mengandung G614 lebih rentan terhadap netralisasi yang dimediasi sera. Penemuan ini menunjukkan, mutasi D614G tidak memfasilitasi virus keluar dari respon imun host. Apakah mutasi Spike D614G dikaitkan dengan kasus kematian yang lebih tinggi? Meski tidak ada bukti yang menunjukkan, mutasi D614G dikaitkan dengan peningkatan keparahan Covid-19, sebuah penelitian terbaru yang menggunakan pohon filogenetik lebih dari 4000 genom virus corona telah mengklaim, virus yang mengandung mutasi D614G lebih ganas, dan karenanya, dikaitkan dengan penyakit dengan tingkat kematian yang lebih tinggi. Penelitian ini berspekulasi, patogenisitas virus yang lebih tinggi mungkin disebabkan oleh perubahan konformasi yang dimediasi oleh mutasi pada protein spike, yang memfasilitasi pemaparan situs pembelahan polibasik ke protease seluler. Bisakah mutasi D614G mempengaruhi pengembangan vaksin? Protein spike mendapatkan banyak perhatian dari sistem kekebalan inang karena terletak di permukaan luar virus (protein eksternal). Dengan demikian, mutasi spike D614G tersebut diharapkan memainkan peran utama dalam memodulasi kemampuan virus untuk melarikan diri dari respons imun yang diinduksi oleh vaksin. Namun, ada bukti yang menunjukkan bahwa kemungkinan mutasi D614G mempengaruhi kemanjuran vaksin sangat kecil. Karena mutasi itu tidak berada dalam domain pengikat reseptor protein spike, mutasi kecil kemungkinan memengaruhi kemampuan domain tersebut untuk menginduksi respons imun inang, yang diyakini sebagai prasyarat untuk netralisasi virus yang dimediasi antibodi. Selain itu, sebagian besar vaksin yang sedang berlangsung dikembangkan untuk melawan domain pengikat reseptor, dan dengan demikian, mutasi D614G seharusnya tak berpengaruh pada kemanjuran vaksin. Pengamatan penting lainnya adalah bahwa serum penyembuhan yang diperoleh orang yang terinfeksi virus D614 telah ditemukan bisa menetralkan virus yang mengandung G614, begitu pula sebaliknya. Ini menunjukkan bahwa mutasi D614G tidak mengubah respons imun yang dimediasi oleh antibodi. Kabarnya, sebelum di Malaysia, D614G itu sudah ditemukan di Indonesia. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id