KESEHATAN

Vaksin Sinovac dari Vero Cell: Mengandung Virus Hidup yang Dilemahkan!

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Minggu (03/01). Narasi berupa peringatan beredar luas di WA Group dan media sosial. Entah dari mana dan siapa yang pertama kali menulis dan mengedarkannya. Namun, jika diamati, memang seperti itulah faktanya. Bukan hoax dan bukan pula mengada-ada. Coba perhatikan kemasan Vaksin Sinovac Covid-19 yang akan di suntikkan kepada warga. Jelas bertuliskan “Only for clinical trial” (Hanya untuk uji coba klinis alias untuk kelinci percobaan). Dan perhatikan “Composition and Description” Yaitu berasal dari Vero Cell atau berasal dari jaringan Kera hijau Afrika (Jelas tidak halal), kemudian mengandung Virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya (Boraks, formaline, aluminium, merkuri, dll). Belum lagi yang tidak tertulis pada kemasan yaitu tidak ada jaminan tidak tertular penyakit setelah di vaksin dan tidak ada jaminan atau kompensasi dari perusahaan Sinovac jika terjadi cedera vaksin atau KIPI pada korban Vaksin. Sumber yang membahas efek samping vaksin Sinovac Covid-19: Hasil keterangan FDA klik https://www.fda.gov/media/143557/download?fbclid=IwAR2U4e-sAyI1FmRSsxwFncalEoEoPVEoLI6y2zFLWL2Y7QtCzpToO41sMwM Hasbunallah wani'mal wakiil. Coba kita simak ulasan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Bagaimana Vaksin Sinovac merangsang pembentukan antibodi. Vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Berarti benar: mengandung virus hidup yang dilemahkan. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Dari sini nanti juga bisa menjawab: Mengapa dengan menggunakan teknologi yang sama bisa menghasilkan efikasi vaksin yang berbeda? Mengapa diperlukan uji klinis internasional untuk mengukur efikasi yang lebih baik, karena produknya kelak juga akan dipasarkan ke berbagai negara? Bagaimana cara membunuh virus Covid-19? Para peneliti di Sinovac memiliki kultur virus dalam jumlah besar di sel-sel ginjal monyet, yang mereka pilih sebagai hewan percobaan. Virus tersebut kemudian dibunuh dengan zat kimia beta-propiolactone, yang akan berikatan dengan gen-gen virus. Akibatnya virus tidak bisa lagi melakukan replikasi (membelah diri, beranak-pinak). Namun spike proteinnya yang menonjol di bagian luar virus tetap utuh. Virus tersebut kemudian “diekstraksi” dan dicampur dengan adjuvant, yaitu senyawa berbasis alumunium. Fungsi adjuvant dalam proses vaksinasi adalah untuk merangsang sistem immune tubuh kita merespon terhadap vaksin yang disuntikkan. Karena virusnya sudah mati, maka penyuntikan vaksin tidak akan menyebabkan seseorang terinfeksi virus Covid-19. Setelah berada di dalam tubuh kita virus tersebut akan dimakan (difagositosis) oleh salah satu jenis sel immune yang bernama sel T, yang memiliki bagian yang disebut dengan “antigen-presenting cell”. Antigen-presenting cell ini akan melumatkan virus dan menyisakan sebagian fragmennya di permukaan tubuhnya. Nantinya sel immune yang lain, yaitu Helper T cell akan mengenali fragmen tersebut. Jika fragmen tersebut cocok dengan protein yang ada di permukaan Helper T cell, maka sel-sel T akan diaktifkan, dan mengundang sel-sel immune yang lain untuk merespon terhadap vaksin. Sel immune lainnya yang bernama sel B juga akan menemukan fragmen protein virus. Sel B memiliki protein di permukaan tubuhnya dengan berbagai bentuk, yang beberapa diantaranya mungkin akan cocok untuk berikatan dengan fragmen protein virus Covid-19. Jika sudah berikatan, sel B akan menarik sebagian atau keseluruhan fragmen tersebut ke dalam tubuhnya kemudian mulai memproduksi antibodi yang cocok dengan bentuk permukaan virus. Produksi antibodi setelah vaksinasi ini belum diketahui akan berlangsung selama berapa bulan. Itu sebabnya kelak jika diajukan permohonan izin edar, bukan Emergency Use of Authorization, monitoring titer antibodi dan kemampuan mencegah terinfeksi akan berlangsung selama 2-4 tahun, bukan sekedar 3-6 bulan. Setelah divaksinasi sistem immune akan merespon jika kelak terjadi infeksi oleh virus Covid-19 yang hidup. Sel-sel B akan segera mengenali virus tersebut dan menghasilkan antibodi yang akan berikatan/menetralkan virus melalui spike proteinnya, sehingga virus tidak bisa memasuki sel-sel tubuh kita. Meskipun dalam waktu beberapa bulan tetelah vaksinasi titer antibodi akan berkurang, tapi tubuh kita memiliki memori B cells, yang akan mengingat bentuk virus Covid-19 hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun kemudian. Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi. Vaksin Sinovac Pada Januari 2020: Sinovac mulai mengembangkan vaksin dari virus yang sudah dimatikan. Kemudian pada Juni melakukan uji klinis kombinasi fase 1 dan 2. Volunteers 743 orang. Hasil uji keamanan: tidak ditemukan reaksi yang tidak diharapkan dengan kategori parah. Pada Juli uji klinis fase 3 di Brazil, diikuti dengan Indonesia dan Turki. Pada Oktober pihak berwenang di China bagian timur, Jiaxing, memberikan vaksin tersebut pada kelompok yang berisiko tinggi tertular: tenaga kesehatan, inspektor di pelabuhan dan petugas layanan publik. Tidak disebutkan berapa jumlah orang yang divaksinasi. Pada Oktober 2020 pejabat di Brazil mengatakan bahwa vaksin Sinovac adalah yang paling aman dari 3 vaksin yang sedang diuji klinis fase 3 di sana. Pada 19 November 2020 Sinovac mempublikasikan hasil uji klinis fase 1 dan 2 di jurnal ilmiah Lancet. Hasilnya: produksi antibodi yang dirangsang oleh vaksin hanya memiliki titer sedang saja. Hanya uji klinis fase 3 yang kelak akan membuktikan apakah itu cukup untuk melindungi orang dari tertular Covid-19. Pada 18 November 2020: pemerintah Brazil mengumumkan mereka menghentikan sementara uji klinis fase 3-nya karena adanya reaksi yang tidak diharapkan (katanya paling aman?). Dua hari berikutnya uji dilanjutkan. Tak ada penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Brazil mengatakan sudah mendapat cukup data volunteers yang tertular infeksi, sehingga efikasinya sudah bisa dihitung. Mereka berencana mengumumkan laporannya, 23 Desember 2020. Tapi diundur 15 hari kemudian. Apakah vaksin Pfizer, Moderna atau Sinovac efektif untuk virus strain baru, maka jawaban Arie Karimah adalah: “Sains membutuhkan Bukti Ilmiah untuk mengklaim sesuatu. Kalau ingin tahu efektif atau tidak ya perlu dilakukan dulu uji klinis selama 3-6 bulan”. Tentu para ilmuwan juga melakukan prediksi ini. Tapi anda perlu membaca dulu untuk bisa memahaminya. Tidak bisa jump into conclusion. Pahami dulu apa itu mutasi genetik dan bagaimana vaksin Pfizer, Moderna atau Sinovac dulu dikembangkan sebelum strain baru ini ditemukan. Virus Covid adalah membran berminyak yang berisi instruksi genetik untuk membuat jutaan copy “tubuh”nya sendiri. Instruksi tersebut tertanam dalam bentuk kode di 30.000 “surat” RNA: a, c, g dan u. Saat virus menginfeksi sel tubuh kita, dengan cara spike proteinnya berikatan dengan reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme), maka virus akan memasukkan materi genetiknya ke dalam sel tubuh kita dan mengambil alih fungsi reproduksi sel yang dilakukan ribosome. Satu sel-sel tubuh kita yang terinfeksi bisa menghasilkan jutaan anak-anak virus, semua itu membawa copies dari original genome, yaitu semua DNA yang terdapat pada virus induknya. Tapi, saat sel tubuh kita memperbanyak genome, kadang-kadang terjadi kesalahan, umumnya hanya 1 dari 30.000 “surat” RNA. “Salah ketik” inilah yang dikenal sebagai Mutasi. “Jadi mutasi adalah perubahan kecil yang bersifat acak pada materi genetik virus, yang terjadi ketika terjadi proses replikasi (reproduksi),” ungkap Arie Karimah. Ketika virus menyebar dari orang ke orang maka mutasi-mutasi itu akan terkumpul secara acak. Berikut contoh genome dari salah seorang pasien di Wuhan yang identik dengan kasus pertama. Perbedaan atau mutasinya hanya terjadi pada surat ke 186, yang tertulis u bukan c. Setelah beberapa bulan menginfeksi dan menyebar, maka sebagian genome virus sudah mengalami berbagai mutasi. Selama pandemik telah terdeteksi lebih dari 4.000 mutasi di area spike protein. Bagian genome yang sudah mengumpulkan banyak mutasi bersifat lebih fleksibel. Mereka dapat mentoleransi perubahan urutan genetik mereka tanpa membahayakan eksistensi virus itu sendiri, sedangkan bagian yang hanya mengalami sedikit mutasi justru lebih rentan. Mutasi pada bagian ini mungkin bisa saja menghancurkan virus, karena menyebabkan perubahan yang membahayakan pada bagian proteinnya. Bagian ini sering dijadikan sebagai target cara kerja obat antivirus. Mutasi genome virus covid sebanyak 10 atau kurang dianggap biasa, dan hanya sedikit virus yang mengalami mutasi lebih dari 20, kurang dari seperseribu dari total genome. Posisi dan banyaknya mutasi yang telah terjadi bisa diketahui dengan cara sequencing genomes. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Tegas, Peraturan Perundangan Bolehkan Rakyat Tolak Vaksin Covid Bermasalah!

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Minggu (03/01). Diberitakan, tiga Uskup senior Australia mengkritik keras Vaksin Corona/COVID-19 buatan Universitas Oxford, Inggris dan perusahaan farmasi AstraZeneca yang memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. WowKeren Aug 26, 2020 menulis, Universitas Oxford, bersama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca tengah mengembangkan vaksin untuk Covid-19. Vaksin tersebut telah dipesan oleh Pemerintah Australia. Sayangnya, vaksin tersebut justru menuai kritikan keras dari 3 orang uskup senior Australia, lantaran memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. Pemerintah Australia sendiri pada Senin (24/8/2020) mengatakan, komunitas keagamaan tak perlu risau, karena tak ada masalah etis terkait vaksin yang sudah dipesan sebanyak 25 juta dosis itu. Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca saat ini menjadi kandidat paling siap untuk diproduksi dan jadi rebutan banyak negara. Dalam proses pengembangannya itu mereka menggunakan sel-sel ginjal janin yang sengaja digugurkan. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, praktik seperti itu sendiri sudah biasa dilakukan dalam dunia medis. Namun, pada Kamis (20/8/2020), Uskup Agung Gereja Anglikan, Glenn Davies; Uskup Agung Sidney (Katolik), Anthony Fisher; dan pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Australia, Uskup Makarios Griniezakis menyatakan keberatannya terkait vaksin Covid-19. Mereka mengirim surat kepada PM Australia Scott Morrison. Para uskup itu mengatakan, mereka mendukung adanya vaksin COVID-19, tetapi penggunaan “sel-sel janin sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat tidak bermoral.” Terlepas dari polemik para uskup Australia tersebut, apakah rakyat atau warga negara di Indonesia punya hak untuk menolak vaksinasi atau imunisasi, meski Pemerintah sudah mengeluarkan “Surat Perintah” vaksinasi Covid-19? Berhak Menolak Seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, Hak dan Kewajiban Pasien Pasal (52), pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran dan kesehatan mempunyai hak: 1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (3); 2. Meminta pendapat dokter atau dokter yang lain; 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4. Menolak Tindakan Medis, dan; 5. Mendapatkan isi rekam medis. Pasien bisa menyatakan menolak dilakukannya tindakan Vaksinasi atau Imunisasi padanya dengan alasan: Pertama, UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini terkait status kehalalan vaksin yang sudah diberitahukan oleh MUI bahwa vaksin pada anak belum bersertifikasi halal. Menjalani hidup dan kehidupan adalah pilihan, halal dan haram adalah ketentuan. “La iqraha fiddin”, tidak ada pemaksaan dalam agama apalagi untuk perkara duniawi. Kedua, UUD 1945 pasal 28G ayat 1, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi.” Jadi, setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman. Ketiga, UUD 1945 Pasal 28I ayat 1-2:(1),“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” (2), ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.” Keempat, Pasal 28b ayat 2: “Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan demikian, pasien atau rakyat berhak atas perlindungan dari intimidasi serta diskriminasi karena pilihan untuk tidak memberikan vaksin pada anaknya. Kelima, Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dan UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 45, tentang informed consent, yaitu persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien. Di Indonesia, informed consent secara yuridis formal terdapat pada pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 Tahun 1988, dipertegas lagi dengan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik/informed consent. Keenam, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1, “Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.” Ketujuh, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 45 ayat 1, “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat sejak dalam kandungan.” Ini bentuk perlindungan rakyat atas status kehalalan dan keamanan vaksin dan perlindungan terhadap Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), Efek Negatif Vaksin, Vitamin K Sintetis dan sejenisnya. Kedelapan, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal, produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat islam yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kesembilan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur barang atau jasa yang bersifat halal. Kesepuluh, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang kewajiban memberikan perlindungan pada anak berdasakan asas-asas non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Kesebelas, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil meliputi hak hidup; hak bebas dari siksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat; hak atas praduga tak bersalah; hak kebebasan berpikir; hak berkeyakinan dan beragama; hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan orang lain; hak perlindungan anak; hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Keduabelas, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mengenai status kehalalan vaksin yang ternyata belakangan dibantah oleh MUI dan Halal Watch. Mengenai kasus-kasus kejadian KIPI yang diinformasikan di media-media massa maupun media sosial dan penjelasan mengenai wabah. Ketigabelas, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, penjelasan pasal 5 ayat 1: bahwa upaya penanggulangan wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain: agama. Status halal haram itu dalam agama Islam adalah hal yang essensial; Pasal 6: bahwasannya keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan wabah tidak mengandung paksaan. Keempatbelas, UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 5 ayat 2 dan 3, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan hak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya. Pasal 7, tentang mendapatkan informasi dan edukasi yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8, berhak mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan yang telah dan akan diterima dari tenaga kesehatan. Kelimabelas, Permenkes Nomor 12 Tahun 2017, pasal 26 ayat 2 poin b, pengecualian penyelenggaraan imunisasi program bagi orang tua/wali yang menolak menggunakan vaksin yang disediakan pemerintah. Keenambelas, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016, ketentuan hukum, bahwa hukum imunisasi adalah mubah, kewajiban menggunakan vaksin yang halal dan suci. Sedangkan alasan darurat yang disyaratkan harus dengan fatwa ulama atau ahli terkait, Bukan Fatwa Dokter! Kewajiban pemerintah menyediakan vaksin halal dan melakukan sertifikasi halal kepada produsen vaksin sesuai dengan peraturaan perundang-undangan. Orang tua memang wajib memberikan dukungan pada program pemerintah, tapi pelaksanaan imunisasi itu tidak wajib, karena penceghan terhadap penyakit akibat virus atau bakteri bisa dilakukan dengan cara lain yaitu dengan meningkatkan antibodi. Terkait program vaksinasi untuk masyarakat yang mau menerimanya tersebut, maka kewajiban pemerintah untuk menjamin penyediaan vaksin yang Halal adalah “Mutlak”. Mereka wajib menyertakan alasan dan landasan hukum atas tindakan yang dipilih. Karena menolak, rakyat berhak pula menolak bentuk “Intimidasi” dan “Diskriminasi” serta menolak tindakan pemberian vaksin pada anaknya di luar sepengetahuannya. Dan, bila tetap dilakukan, maka rakyat bisa mengajukan Tuntutan Hukum baik terjadi Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dalam jangka pendek ataupun panjang, ataupun tidak. Serta jika terjadi KIPI pada anak mereka, maka semua pihak yang terkait harus membiayai seluruh terapi dan pengobatan saat dan pasca KIPI Seumur Hidup anaknya. Dan, bahwasannya anak-anak dan keluarga yang tidak divaksin maupun yang divaksin itu juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, oleh karena itu rakyat menolak diskriminasi dan intimidasi atas keputusannya tersebut. Terakhir, yang perlu dicatat, hingga kini WHO juga belum menyatakan ketersediaan Vaksin Covid-19 hingga 2021. Penulis wartawan senior FNN.co.id

Adu Cepat: Vaksin vs Mutasi Covid-19, Pemerintah Harus Tanggap!

By Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (28/12). Seperti yang saya tulis sebelumnya, varian Covid-19 yang mutasinya yang begitu cepat akan membuat Vaksin Covid-19 yang kini dikembangkan di berbagai negara bakal masuk kategori “vaksin jadul”, karena tak akan bisa mengimbangi Covid-19 yang terus bermutasi. “Sudah pernah saya uraikan tentang Covid-19, adanya gelombang 1, gelombang 2, gelombang 3, dan akan ada gelombang ke 4,” ungkap seorang sumber yang selalu mempelajari karakter Covid-19 sejak pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubai, China, akhir 2019. Covid-19 semula menyerang saluran pernafasan, kemudian saluran pencernaan, syaraf, mata, yang diikuti dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya. Orang-orang yang di tubuhnya ada proses infeksi, tentu wajar kalau diikuti dengan keluhan linu-linu di berbagai persendian, lemah, loyo, pengantukan, dan sebagainya. Itu gejala-gejala wajar yang menyertainya. Salah satu ciri khas dari virus Covid-19 itu akan mudah menempel, dan meriplikasi selnya, setelah menempel pada selaput mukosa-mukosa. Pada selaput mukosa-mukosa itulah protein sarana mereka regeneratif itu menjadi mudah berkembang . Mukosa itu lapisan lembut berlendir, seperti bibir mulut, tenggorokan, hidung, dan mata. Dari mukosa-mukosa itulah, mereka akan menyebar ke saluran pernafasan atau pencernaan, dan seterusnya. “Dan amat sering kami temukan kasus-kasus yang ditandai dengan gejala-gejala sakit perut, diare, setelah sekian hari, di paru-parunya sudah terjadi pneumonia advanced/serius, merata,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya itu. Menurutnya, ada yang positif thypus lewat tes widal, tapi imunoserologinya negatif. Bahkan, ada yang fungsi livernya terganggu, yang ditandai dengan SGPT, SGOT tinggi, “tapi HbsAg-nya negatif. Setelah di-swab, positif.” “Makanya kami amat sering menyampaikan ke siapapun yang sakit panas, disertai dengan gejala-gejala di saluran pernafasan, saluran pencernaan, atau lainnya, sebagai berikut: Lebih baik kita menduga positif covid,” tambahnya. “Sehingga segera bisa mengantisipasi secara maksimal. Daripada menduga minimal (non covid), tapi akhirnya kecolongan. Toh, jika menggunakan protokol covid dengan formula yang kami buat, tidak ada efek buruknya,” jelasnya. “Dengan konsep itulah, kami sudah membantu menyelamatkan ribuan orang pasien yang terpapar covid,” ujar sumber tadi. Mengapa mutasi Covid-19 yang menghasilkan berbagai varian itu begitu cepat? Inilah yang perlu dikaji. Perlu diketahui, sifat dasar antibodi, bakteri/virus/hewan, tanaman, dan manusia, jika disakiti, pasti akan melawan, karena untuk mempertahankan keberadaan dirinya. Dipastikan, mereka akan melawan semaksimal yang bisa mereka lakukan, atau menyerah. Pada saat disakiti dengan disinfektan atau apapun sejenisnya, mereka yang tidak mati (tentu sebagian mati, sebagian hidup) itu membiakkan diri beratus-ratus atau beribu-ribu kali lipat, dibanding kalau tidak disakiti. Padahal konsep yang ada saat ini, corona harus dibunuh dengan antivirus atau antiseptik/disinfektan. Naluri virus, yang tidak mati, akan menggandakan diri sebanyak-banyaknya agar eksistensi mereka tetap ada di muka bumi ini. Mereka sebenarnya tidak ingin menyakiti, tetapi setiap ketemu media baru, seperti tangan manusia, bagi mereka, itu media asing yang menakutkan, sehingga mereka meriplikasi diri berkali lipat. Pada saat mereka mampu bertahan hidup, tentu saja mereka sudah menjadi lebih kuat, sudah mengenali semua zat yang membunuhnya, atau sudah merubah asesoris tubuhnya, sehingga bisa dipahami kalau akhirnya sekarang diketahui sudah ada 500 jenis virus corona. Sehingga, menjadi wajar, kalau corona yang tersebar itu: jumlahnya jauh lebih banyak; telah mengalami mutasi genetik; dan lebih kuat. Masalahnya, “siapa yang mempercayainya konsep itu”? Andaikan penglihatan dan pendengaran kita ini dibukakan hijab-nya oleh Allah SWT, bisa berkomunikasi dengan virus itu, bisa memahami sifat mereka, tidak tega menyemprotkan cairan disinfektan kepada mereka. Mereka juga menderita. Mereka takut mati, seperti halnya manusia. Bagaimana gemuruhnya di kalangan mereka ketika itu datang. Serupa dengan hebohnya di kalangan manusia sendiri. Tapi sayangnya, siapa yang mempercayai ungkapan ini? Varian Corona Setelah munculnya laporan mutasi D614G pada Febuari, mutasi A222V dan N439K pada Maret, dan mutasi Y453F pada April, pada 14 Desember 2020, pihak berwenang Inggris Raya (UK) dan Irlandia Utara melaporkan kepada WHO. Yakni varian SARS-CoV-2 baru yang diidentifikasi melalui pengurutan genom virus yang disebut sebagai SARS-CoV-2 VUI 202012/01 (Variant Under Investigation, year 2020, month 12, variant 01) atau B.1.1.7. Publik dikejutkan dengan adanya peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang signifikan di Inggris pada Desember 2020 ini. Terkait hal itu, pakar Epidemiolog Inggris bernama Tim Spector menyampaikan, setidaknya ada 6 gejala Covid-19 yang kemungkinan muncul disebabkan oleh varian baru virus tersebut. Menurut tim yang juga seorang ilmuwan di aplikasi ZOE Covid Symptom Study dan Profesor Epidemiologi Genetik di King's College London itu, varian baru virus corona tersebut telah menyebabkan lonjakan infeksi di Inggris secara keseluruhan. Sebelumnya Lembaga Kesehatan Nasional atau NHS di Inggris merilis tentang tiga gejala utama dari Covid-19 adalah batuk, demam, dan hilangnya indera penciuman. Hasil analisis genomik virus Corona menunjukkan adanya sekelompok mutasi varian baru pada lebih dari separuh kasus Covid-19 di Inggris tersebut. Varian ini dikenal dengan nama VUI 202012/01 yang terdiri dari sekumpulan mutasi antara lain 9 mutasi pada protein S. Varian baru juga ditemukan secara signifikan pada kasus Covid-19 di Afrika Selatan yaitu kombinasi 3 mutasi pada protein S. Hingga sampai hari ini varian VUI 202012/01 telah ditemukan pada 1.2 persen virus pada database GISAID, 99 persen varian tersebut dideteksi di Inggris. Selain di Inggris, varian ini telah ditemukan di Irlandia, Perancis, Belanda, Denmark, Australia. Sedangkan di Asia baru ditemukan pada tiga kasus yaitu Singapura, Hong Kong dan Israel. Mutan SARS-CoV-2 Spike N501Y telah menjadi berita akhir-akhir ini. Inilah yang mereka ketahui. Pertama, Awalnya muncul di area London Raya. Kedua, Ini dapat meningkatkan penularan virus sebanyak 70%. Ketiga, Mutasi terjadi di bagian spike protein (yang digunakan virus untuk menempel dan memasuki sel) yang paling penting untuk mengikat ACE2, protein seluler yang sebenarnya ditempelkan oleh tonjolan tersebut. Keempat, Mutasi tampaknya meningkatkan kemampuan protein lonjakan untuk mengikat ACE2. Kelima, Tidak ada bukti terpercaya bahwa mutasi ini akan mengganggu efikasi vaksin. Keenam, mereka tidak tahu sejauh mana varian baru SARS-CoV-2 ini menyebar. Menurut Ketua Pokja Genetik FK-KMK UGM dr. Gunadi, SpBA, PhD, ada 9 mutasi itu pada VUI 202012/01, ada satu mutasi yang dianggap paling berpengaruh, yaitu mutasi N501Y. Hal ini karena mutasi N501Y terletak pada Receptor Binding Domain (RBD) protein S. “RBD merupakan bagian protein S yang berikatan langsung dengan receptor untuk menginfeksi sel manusia,” kata Dokter Gunadi. Menurutnya, mutasi ini diduga meningkatkan transmisi antar manusia sampai dengan 70%. Namun, mutasi ini belum terbukti lebih berbahaya atau ganas. “Demikian juga, mutasi ini belum terbukti memengaruhi efektivitas vaksin Corona yang ada,” lanjutnya. Varian mutasi virus ini, kata Gunadi, bisa mempengaruhi hasil tes swab PCR apabila tes PCR menggunakan gen S. Sebab, varian baru ini terdiri dari multipel mutasi pada protein S, maka diagnosis Covid-19 sebaiknya tidak menggunakan gen S karena bisa memberikan hasil negatif palsu. Oleh karena itu, peran surveilans genomik (whole genome sequencing) virus corona menjadi sangat penting dalam rangka identifikasi mutasi baru, pelacakan (tracing) asal virus itu dan dilakukan isolasi terhadap pasien dengan mutasi ini. Sehingga penyebaran virus corona bisa dicegah lebih lanjut. Ia mengimbau masyarakat lebih waspada dengan adanya mutasi baru itu, namun tidak perlu disikapi dengan kekhawatiran berlebihan. “Masyarakat tetap harus menerapkan 3M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak dengan menghindari kerumunan,” pungkasnya. “Mutasi ini diduga meningkatkan transmisi antar manusia sampai dengan 70 persen. Namun, mutasi ini belum terbukti lebih berbahaya/ ganas. Demikian juga, mutasi ini belum terbukti mempengaruhi efektivitas vaksin Corona yang ada,” ucapnya. Jika menyimak mutasi Covid-19 D614G di atas tadi, apakah belanja vaksin Sinovac masih efektif dan tetap mau dilakukan? Sebab, varian baru ini, bisa terjadi pada orang yang terkena tidak bergejala, tiba-tiba diketahui sudah pada stadium lanjut. Bisa diketahui, kondisi paru-parunya sudah dipenuhi cairan, dan akhirnya saturasi oksigen sudah rendah, dan sulit tertolong. Sebenarnya dengan varian ini, otomatis vaksin yang kini sedang uji klinis, tidak ada gunanya. Karena ada cairan yang banyak di paru-paru ini, maka kadar oksigen yang bisa diserap oleh paru-paru menjadi sangat sedikit/terbatas. Bisa dibayangkan, jika lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorongkan. Sehingga, menyebabkan saluran nafas buntu. Masih tetap mau menggunakan vaksin Sinovac? Penulis wartawan senior FNN.co.id

Vaksin Covid Masih Meragukan, Pakar: Telusuri Riwayat Uji Klinisnya (2)

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (27/12). Sebenarnya Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB, sudah pernah memberitahu uji klinisnya harus multicenter, jangan cuma di Bandung, tapi tidak digubris. Alasannya, supaya mudah koordinasinya. Menurutnya, alasan memprioritaskan koordinasi itu “tolot banget”, tapi hasilnya tak ada! “Apanya yang mau dikoordinir? Coba multicenter di zona-zona merah dan kawasan padat penduduk, nggak bakalan pusing mendapatkan kasus terinfeksi,” tegasnya. Problem analysis: Volunteer datang cuma 5x: disuntik 2x, ambil darah dan swab 3x. Tinggal divideo dan kirim datanya. “Terus apa bedanya kalau volunteers itu ada di Bandung, Jakarta, Suroboyo, Sidoarjo, atau kota-kota lain?” lanjut Arie Karimah. “Fakultas Kedokteran Negeri ada di setiap kota besar. Dana Rp 900 triliun lebih itu ke mana?” sindir Arie Karimah. Karena belum ada hasil uji klinis di Bandung, maka Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) “merujuk” ke Turki. Seperti dilansir Kompas.com, Jum'at (25/12/2020, 14:04 WIB), Vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh China, Sinovac Biotech, efektif 91,25 persen, menurut data sementara dari hasil uji coba tahap akhir di Turki. Hasil itu berpotensi jauh lebih baik dari pada yang dilaporkan dari uji coba vaksin terpisah di Brasil, seperti yang dilansir dari Inquirer pada Jumat (25/12/2020). Para peneliti di Brasil, yang juga menjalankan uji coba terakhir fase III vaksin, mengatakan pada Rabu (23/12/2020) bahwa suntikan itu lebih dari 50 persen efektif. Benarkah efektivitas Vaksin Sinovac di Turki 91%? Arie Karimah kembali menganalisisnya. Sebelumnya kita perlu mengetahui bagaimana efektivitas atau efikasi suatu produk vaksin Ditentukan/Dihitung: Harus diketahui jumlah total volunteers, berapa yang mendapat vaksin dan berapa yang mendapat plasebo. Umumnya rasio 1:1. Harus ada jumlah tertentu volunteers yang akhirnya tertular infeksi, dibuktikan dengan tes PCR. Jika angka ini Tidak Tercapai, maka efektivitas/efikasi Tidak Boleh Dihitung. Efektivitas atau efikasi dihitung dari jumlah yang tertular tersebut: berapa dari kelompok plasebo, dibagi dengan total jumlah yang tertular, dikalikan 100%. Berikut analisa Arie Karimah atas berita tersebut: Uji Klinis di Turki Global Times, 25 Desember: Efikasi vaksin Sinovac dalam uji klinis di Turki: 91,25%; Volunteers: 13.000. Tidak disebutkan berapa yang masuk kelompok plasebo dan vaksin. Tercatat 20 volunteers akhirnya terinfeksi Covid-19. Tidak disebutkan berapa dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin. Untuk bisa menganalisis efikasi/efektivitas itu diperlukan Minimal 40 orang terinfeksi. Jadi, “Kalau tidak disebutkan berapa yang terinfeksi dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin, bagaimana bisa dihitung efikasinya? Lalu, angka 91,25% itu muncul dari mana?” ujar Arie Karimah. Jumlah minimum volunteers yang terinfeksi Belum Memenuhi Syarat (20 vs 40), bagaimana efikasinya bisa dihitung? Nikkei, Asia, 25 Desember: Efikasi vaksin Sinovac (sementara) dalam uji klinis di Turki 91,25%. Dikabarkan angka ini masih mungkin meningkat lagi karena sekarang jumlah volunteers yang mendapat plasebo sudah semakin berkurang. Pertanyaannya: Kok bisa efikasi dihitung sebelum seluruh volunteers disuntik, sehingga muncul kalimat, “Sekarang jumlah volunteers yang mendapat plasebo sudah semakin berkurang”? “Atau maksud kalimat tersebut: analisa data untuk kelompok plasebo itu hampir selesai, sedangkan kelompok vaksin masih banyak gitu? Kagak jelas blas (sama sekali),” ungkap Arie Karimah. Total jumlah volunteers: 7.371 (berita yang di atas, Global Times, bilangnya 13.000). Yang benar yang mana? Sebanyak 1.322 volunteers digunakan untuk studi efikasi: 752 orang mendapat vaksin, 570 orang mendapat plasebo. Sedangkan 2.964 volunteers digunakan untuk uji keamanan. Pertanyaaannya: Jadi total volunteers untuk uji efikasi dan keamanan hanya 4.286 orang (1.322 + 2.964). Lha sisanya yang 3.085 orang (7.371 – 4.286) untuk apa? “Memangnya uji efikasi dan keamanan tidak dijadikan satu?” tanya Arie Karimah. Efikasi: diambil darahnya, dihitung titer antibodinya. Atau di-swab dan dites PCR. Keamanan: dicatat keluhan yang muncul sebagai efek samping atau adverse reaction. Hasil studi efikasi: Dari 752 orang dalam kelompok vaksin, 3 orang terinfeksi Covid-19 sesuai tes PCR. Dari 570 orang dalam kelompok plasebo, 26 orang terinfeksi Covid-19. Uji klinis masih Harus Dilanjutkan hingga diperoleh minimal 40 orang terinfeksi, agar bisa dihitung efikasinya. “Data di atas baru mencapai 29 orang, jadi Belum Memenuhi Syarat Untuk Bisa Dihitung Efikasinya,” ungkap Arie Karimah. Uji keamanan: melibatkan 2.964 volunteers. Diketahui efek sampingnya adalah fatigue dan sakit kepala. Satu volunteer mengalami reaksi alergi ringan. Uji Klinis di Brazil Reuters, Desember: Jumlah volunteers tidak disebutkan. Sebanyak 74 volunteers terinfeksi Covid-19. Standar agar efikasi/efektivitas bisa dihitung: cukup 61 orang terinfeksi. Tidak disebutkan berapa dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin yang terinfeksi. Bagaimana bisa dihitung efikasinya? Jadi jangan heran kenapa laporan data interimnya terus-menerus diundur. Karena datanya juga “ajaib”, bagi yang mengerti bagaimana cara membaca data tersebut. Jadi, “Efektivitas/efikasi vaksin Sinovac dari hasil uji klinis di Brazil maupun Turki Belum Bisa Dihitung, karena datanya belum mencukupi,” tegas Arie Karimah menyimpulkan. Kabar terakhir, China kembali telah menunda pengumuman hasil Uji Klinis Vaksin Sinovac. Ini untuk ketiga kalinya China menunda: dari 14 Desember ke 23 Desesember, kemudian 28 Desember, dan sekarang Januari 2021. Jadi, “Mundur 15 hari lagi dari 23 Des. Ada apa coba? Kalau efikasi tinggi biasanya justru diumumkan Segera, meskipun sebagai kabar sementara, sebagai kabar gembira,” ujar Arie Karimah. “Mereka masih akan melakukan konsolidasi atas hasil-hasil uji klinis internasionalnya di Brazil, Turki, dan Indonesia, seperti saran dan dugaan saya tho?” lanjutnya. Jadi, “Yang sudah menyebarluaskan kabar efikasinya: hati-hati. Silakan baca artikel asli dalam bahasa Inggris-nya, jangan dari berita lokal hasil terjemahan.” Jika Uji Klinis Vaksin Sinovac di Turki maupun Brazil saja Belum Bisa Dihitung, apalagi Uji Klinis di Indonesia yang dilakukan Biofarma dan Universitas Padjadjaran di Bandung yang juga belum ada hasilnya. Sementara, varian baru Virus Corona SARS CoV-2 sendiri sudah mulai menyerang Inggris, dan diduga juga masuk ke Prancis dan Singapura. Seperti dilansir CNN Indonesia, Selasa (15/12/2020 15:55 WIB), Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, ada varian baru SARS CoV-2 yang teridentifikasi di Inggris dan terbuka kemungkinan tak mempan Vaksin Covid-19 yang saat ini ada. Virus corona jenis baru ini diyakini dapat menyebar lebih cepat dari virus corona yang ada sebelumnya. Ini juga memicu peningkatan kasus Covid-19 yang tajam di Inggris. Matt menyebut telah ditemukan lebih dari 1.000 kasus Covid-19 akibat infeksi dari varian virus jenis baru ini. Kasus akibat varian virus baru ini tersebar di 60 wilayah otoritas lokal Inggris. Diperkirakan virus varian baru ini serupa dengan mutasi yang ditemukan di sejumlah negara dalam beberapa bulan belakangan. “Kami telah mengidentifikasi varian baru dari virus corona yang mungkin penyebarannya lebih cepat di tenggara Inggris,” kata Matt, Selasa (15/12/2020), seperti dilansir dari The Guardian. Matt tidak menutup kemungkinan bahwa varian baru virus ini bisa kebal terhadap vaksin Covid-19 yang akan diberikan pada minggu ini di Inggris. Kalah Cepat Varian Covid-19 dan mutasinya yang begitu cepat akan membuat Vaksin Covid-19 yang kini tengah dikembangkan di berbagai negara bakal masuk kategori “vaksin jadul”, dan mungkin juga tidak akan bisa mengimbangi varian Covid-19 yang terus bermutasi. “Sudah pernah saya uraikan tentang Covid gelombang 1, gelombang 2, gelombang 3, dan akan ada gelombang ke 4,” ungkap seorang sumber. Covid-19 semula menyerang saluran pernafasan, kemudian saluran pencernaan, syaraf, mata, yang diikuti dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya. Orang-orang yang di tubuhnya ada proses infeksi, tentu wajar kalau diikuti dengan keluhan linu-linu di berbagai persendian, lemah, loyo, pengantukan, dan sebagainya. Itu gejala-gejala wajar yang menyertai nya. “Salah satu ciri khas dari virus Covid-19 itu akan mudah menempel, dan meriplikasi selnya, setelah menempel pada selaput mukosa-mukosa,” lanjutnya. Pada selaput mukosa-mukosa itulah protein sarana mereka regeneratif itu menjadi mudah berkembang . Mukosa itu lapisan lembut berlendir, seperti bibir mulut, tenggorokan, hidung, dan mata. Dari mukosa-mukosa itulah, mereka akan menyebar ke saluran pernafasan atau pencernaan, dan seterusnya. “Dan amat sering kami temukan kasus-kasus yang ditandai dengan gejala-gejala sakit perut, diare, setelah sekian hari, di paru-parunya sudah terjadi pneumonia advanced/serius, merata,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya itu. Menurutnya, ada yang positif thypus lewat tes widal, tapi imunoserologinya negatif. Bahkan, ada yang fungsi livernya terganggu, yang ditandai dengan SGPT, SGOT tinggi, “tapi HbsAg-nya negatif. Setelah di-swab, positif.” “Makanya kami amat sering menyampaikan ke siapapun yang sakit panas, disertai dengan gejala-gejala di saluran pernafasan, saluran pencernaan, atau lainya, sebagai berikut: Lebih baik kita menduga positif covid,” tambahnya. “Sehingga segera bisa mengantisipasi secara maksimal. Dari pada menduga minimal (non covid), tapi akhirnya kecolongan. Toh, jika menggunakan protokol covid dengan formula yang kami buat, tidak ada efek buruknya,” jelasnya. “Dengan konsep itulah, kami sudah membantu menyelamatkan ribuan orang pasien yang terpapar covid,” ujar sumber tadi. (Selesai) Penulis wartawan senior FNN.co.id

Vaksin Covid Masih Meragukan, Pakar: Telusuri Riwayat Uji Klinisnya (1)

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Sabtu (26/12). Prof. Yuwono, seorang Dokter Spesialis Mikrobiologi Klinik, mengungkapkan, pada pekan pertama uji klinis di United Kingdom (UK): Efek samping alergi dan bell's palsy (lumpuh wajah) yang terjadi setelah disuntik vaksin pfizer adalah hal yang serius secara medis. “Ada apa sebenarnya? Sebenarnya itu karena uji klinis fase 3 yang menjamin keamanan dan efektifitas Belum Selesai di seluruh dunia, termasuk uji klinis di Kota Bandung,” ungkapnya dalam akun Facebook Prof. Yuwono, Kamis (10/12/2020). Catatan lainnya, kata Prof. Yuwono, adalah vaksin pfizer itu hanya RNA Virus, sedangkan Sinovac itu Virus Utuh, logikanya bisa jadi efek sampingnya lebih beragam dibanding yang RNA saja. Sebagai dokter spesialis mikrobiologi klinik ia wajib menyuarakan ini, sebagai konsekuensi dari sumpah dokter: “Saya akan menghormati kehidupan mulai dari pembuahan” dan prinsip praktik dokter “the first do not harm”, yang utama dan pertama jangan bikin cilaka pasien”! “Moga ini didengar oleh siapapun para pemimpin agar jangan bikin cilaka warganya dalam hal apapun!” ujar Prof. Yuwono.Bahwa vaksin akan berkontribusi sebagai salah satu cara mengakhiri pandemi, menurut Prof Yuwono, itu mungkin. “Tapi faktor lain seperti sembuh sudah 80%, yang sakit berat kurang dari 1%, yang wafat 3%, dan kehati-hatian masyarakat yang semakin baik, apakah ini bukan modal untuk mengakhiri pandemi covid?” tegas Prof. Yuwono. “Coba buka data Pandemi HIV AIDS yang fatal 100% dan belum ada 1 pun yang sembuh! Jangan fokus dan cuma ngandalkan vaksin, tapi andalkan Allah Tuhan Yang Maha Kuasa serta kompak-kompak saling lindungi dan bantu sesama warga NKRI,” lanjutnya. “Jangan seperti berita ramai saat ini, apapun dalihnya, membuat warga takut, susah, sakit atau mati adalah langkah tak manusiawi!” ungkap Prof. Yuwono mengingatkan. Reaksi alergi setelah disuntik Vaksin Covid-19 Pfizer juga diuraikan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Dua tenaga kesehatan (perempuan setengah baya) di Alaska, AS, dan dua lainnya di UK dilaporkan mengalami reaksi alergi yang parah, dikenal sebagai reaksi anafilaktik. Reaksi muncul beberapa menit setelah vaksin disuntikkan secara intramuskular (ke dalam otot). Tandanya adalah: Pemerahan di wajah, akibat pelebaran pembuluh darah. Sesak nafas, akibat penyempitan saluran pernafasan. “Reaksi alergi ini disebut sebagai adverse effect atau reaksi yang tidak diharapkan, dan bersifat merugikan,” ungkap Arie Karimah. Sedangkan efek samping (side effect) juga merupakan reaksi yang tidak diharapkan, tidak selalu merugikan bahkan kadang-kadang membawa manfat. Efek samping vaksin Pfizer: demam, sakit kepala, atau nyeri otot. Kedua perempuan Alaska tersebut tidak mempunyai riwayat alergi sebelumnya. Perempuan pertama sebelumnya mencoba mengatasi reaksi alergi itu dengan minum kapsul antialergi Benadryl, namun tidak membawa manfaat. Akhirnya dibawa ke rumah sakit dan mendapat suntikan epinefrin (EpiPen), yang merupakan standar pengobatan untuk reaksi anafilaktik. Selain itu juga mendapat obat lambung Pepcid dan Benadryl melalui infus. Gejalanya segera mereda setelah mendapat epinefrin. Orang pertama itu mendapat vaksinasi hari Selasa, dan perlu diobservasi di rumah sakit semalam. Sementara orang kedua disuntik pada hari Rabu dan langsung pulih sepenuhnya. Reaksi anafilaktif terhadap suntikan vaksin tersebut merupakan kasus yang sangat jarang terjadi (langka), dan umumnya hanya berlangsung singkat, jika segera mendapat suntikan epinefrin. Dan sesuai aturan yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh FDA, barang siapa mengalami reaksi alergi pada suntikan vaksin yang pertama itu, maka yang bersangkutan tidak akan mendapat suntikan kedua (booster). Di UK seminggu sebelumnya juga dilaporkan ada 2 tenaga kesehatan yang mengalami reaksi anafilaktik. Reaksi segera tertangani karena keduanya memang sudah menyiapkan suntikan epinefrin. Keduanya memiliki riwayat alergi tersebut. Menurut Arie Karimah, UK kini telah membuat rekomendasi baru: Siapapun yang pernah punya riwayat alergi parah sebaiknya tidak ikut vaksinasi. Sebenarnya reaksi anafilaktik Sudah Pernah dilaporkan dalam uji klinis di UK, sehingga Alaska sudah siap dengan penangkalnya. Ini adalah kasus pertama di AS, dan program vaksinasi akan tetap berjalan sesuai yang sudah direncanakan. Para dokter di AS kini diminta untuk memberi perhatian tentang kemungkinan munculnya reaksi alergi yang langka ini pada suntikan pertama vaksin. FDA sendiri sebenarnya sudah mengeluarkan aturan tentang siapa yang Tidak Boleh divaksinasi: Mereka yang mempunyai riwayat alergi Parah, pada suntikan pertama dengan vaksin. Mereka yang alergi Parah terhadap komponen vaksin. Menurut Arie Karimah, arti aturan ini bagi praktisi: Tetap toh harus mengalami reaksi alergi dulu disuntikan pertama, baru tidak boleh mendapat suntikan kedua (booster); Bagaimana bisa tahu alergi terhadap komponen vaksin (yang begitu banyak), kalau tidak dilakukan tes alergi terlebih dahulu. Bagi yang belum pernah belajar tentang alergi: Alergi adalah suatu Kelainan, bukan penyakit, dimana tubuh seseorang menganggap zat yang tidak berbahaya bagi Sebagian Besar orang sebagai zat berbahaya untuknya. Uji klinis vaksin Sinovac itu sudah didesain Dengan Benar. Kalau ada “manipulasi” di tengah jalan akan diketahui dari hasilnya. Dokter, Clinical Pharmacist dan Clinical Trial Experts akan mengetahuinya. Ada istilah namanya inclusion criteria dan exclusion criteria. Siapa-siapa yang boleh menjadi volunteers dan siapa yang tidak diikutsertakan sebagai volunteers. “Daftar exclusion criteria sangat panjang. Artinya, jangan tanya efek vaksin terhadap orang-orang yang masuk dalam kategori exclusion criteria,” ujar Arie Karimah. Kenapa tidak dilibatkan? Menurutnya, ini akan membutuhkan waktu uji klinis yang panjang, sementara keberadaan vaksin Covid-19 sangat mendesak dibutuhkan, karena angka kematian di seluruh dunia yang begitu tinggi (1,6 juta). Dan, jumlah populasi yang terinfeksi terus meningkat dalam jumlah puluhan juta (76,6 juta). Biaya akan sangat tinggi. Resiko kematian dalam uji klinis mungkin lebih besar. Arie Karimah menyebut, biasanya akan dilibatkan dalam uji klinis lanjutan, atau diketahui efeknya secara tidak sengaja dalam uji klinis fase 4 (post marketing surveillance). “Klaim dalam obat dan vaksin itu harus berdasarkan bukti statistik (evidence-based), yang diperoleh dari uji klinis. Bukan asal mangap, atau saya kira, atau saya duga,” ungkapnya. Menurut Arie Karimah, jika uji klinis fase 2 dilakukan dengan baik, mestinya fase 3 berjalan lancar. Seperti kandidat-kandidat vaksin yang lain. Tapi kalau fase 3 dilakukan sebelum hasil fase 2 dipublikasikan, “Ya begini jadinya: maju kena mundur kena.” (Bersambung) Penulis wartawan senior FNN.co.id ***

IDI "Tolak" Vaksin atau IDI Tolak Sinovac?

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Selasa (15/12). Flash News yang ditulis Kompas.id pada Sabtu, 12 Desember 2020, “IDI Menolak Menjadi yang Pertama Disuntik Vaksin, Beranikah Para Menteri Menggantikannya?”, ini sudah tak bisa ditemukan lagi, dan dijawab: “Kami tidak menemukan halaman yang Anda tuju”. Hanya jejak digital tanpa isi berita saja: https://www.kompas.id/baca/video/2020/12/12/idi-menolak-menjadi-yang-pertama-disuntik-vaksin-beranikah-para-menteri-menggantikannya/. Mengapa Kompas menghapus link flash news tersebut? Yang jelas, sehari setelah penayangan tulisan singkat itu, link tersebut sudah tak bisa dilihat lagi. Munculnya berita “IDI Tolak Disuntik Vaksin Covid-19 Duluan” itu praktis membuat Prof. Zubairi Djoerban memberikan klarifikasi. Ketua Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Pengurus Besar IDI (Satgas Covid-19 PB IDI) itu pun buka suara. Berita-berita penolakan vaksin dari pihak IDI itu memang dikaitkan dengan pernyataan Profesor Zubairi beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, lewat akun Twitter @ProfesorZubairi, ia mengklarifikasi semua pemberitaan terkait masalah vaksin. “Belakangan ini, ada pihak yang anggap saya atau IDI menolak vaksin,” seperti dikutip Pikiran-Rakyat.com dari cuitan @ProfesorZubairi pada Sabtu, 12 Desember 2020. “Itu anggapan yang tidak benar,” tegasnya. Menurut Profesor Zubairi, isu-isu yang tersebar di masyarakat hanyalah salah tafsir semata. “Jangan salah tafsir atas ucapan saya yang sepertinya diambil sepotong-sepotong,” ujarnya. Ia menegaskan, kalau IDI bukan tidak mendukung imunisasi menggunakan vaksin Codivd-19 Sinovac asal Tiongkok (China) tersebut. “Yang jelas, organisasi IDI mendukung vaksinasi,” kata Profesor Zubairi. “Tentu setelah izin edar darurat (EUA) BPOM keluar,” tulisnya. Klarifikasi Profesor Zubairi langsung viral dan cukup ramai direspon netizen. Kicauan itu dikomentari 34 kali, dicuit ulang 261 kali, dan disukai 1.200 pengguna Twitter per Minggu 13 Desember 2020 pukul 09.20 WIB. “Belakangan ini ada pihak yang anggap saya atau IDI menolak vaksin. Itu anggapan yang tidak benar. Jangan salah tafsir atas ucapan saya yang sepertinya diambil sepotong-sepotong. Yang jelas, organisasi IDI mendukung vaksinasi,” tulisnya. “Tentu setelah izin edar darurat (EUA) BPOM keluar,” ujar @ProfesorZubairi) (December 12, 2020). Sebagai asosiasi bagi dokter seluruh Indonesia, IDI memang menjadi sorotan utama selama pandemi Covid-19. IDI menyayangkan banyaknya tenaga medis yang menjadi korban pandemi Covid-19 ini. Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara, sebanyak 342 tenaga medis yang terdiri dari 192 dokter, 14 dokter gigi dan 136 perawat meninggal dalam tugas akibat terinfeksi Covid-19. Tenaga medis menjadi prioritas penyuntikan vaksin sebagai garda depan penanganan Covid-19, namun IDI meminta imunisasi dilakukan setelah keluar izin darurat dari BPOM. Ketua PB IDI Daeng M. Faqih menyatakan, dokter-dokter anggota organisasi kedokteran ini siap menjadi target pertama vaksinasi Covid-19, apabila Presiden Joko Widodo pun mau menjadi pionir disuntik vaksin. “Kalau Bapak Presiden menyampaikan sudah bersiap menjadi bagian yang pertama disuntik, IDI juga bersedia menjadi salah satu yang siap pertama dilakukan penyuntikan,” kata Daeng dalam keterangan pers via daring di Jakarta, Senin (14/12) seperti dikutip Antara. Ia pun menegaskan IDI mendukung program vaksinasi yang akan dilaksanakan pemerintah untuk mengendalikan penularan Covid-19. Dokter-dokter anggota IDI, lanjut Daeing, siap menjadi penerima pertama suntikan vaksin Covid-19 yang penggunaannya sudah mendapat izin dari BPOM. Daeng pun mengklarifikasi berita yang menyebutkan bahwa organisasinya menolak vaksinasi Covid-19, karena pemberitaan itu dinilainya bisa memengaruhi kepercayaan publik terhadap program vaksinasi pemerintah. “Pemberitaan seperti itu akan berdampak pada program vaksinasi, karena masyarakat percaya betul pada dokter dan IDI. Kalau IDI saja menolak, apalagi masyarakat,” kata Daeng. Selain itu, dia pun mengemukakan bahwa masyarakat tak perlu ragu menjalani vaksinasi jika vaksin Covid-19 sudah tersedia dan BPOM mengizinkan penggunaannya setelah memeriksa kemanjuran dan keamanan vaksin. IDI menyatakan, vaksinasi merupakan upaya kedua setelah penerapan protokol kesehatan untuk menekan penularan Covid-19 di Indonesia. “Program vaksinasi ini harapan besar bagi kita semua, tidak hanya untuk petugas kesehatan saja, tapi untuk seluruh rakyat. Vaksin ini alat terbesar kita untuk menurunkan serendah-rendahnya bahkan menghentikan penularan Covid-19,” kata Daeng. Menurutnya upaya intervensi untuk menekan kasus penularan Covid-19 di Indonesia dengan cara penerapan protokol kesehatan dinilai belum efektif, karena kasus konfirmasi positif harian yang terus meningkat dari hari ke hari. Pertambahan kasus positif yang terus meningkat sejak awal Maret lalu di Indonesia tak lepas dari perilaku masyarakat Indonesia belum benar-benar menerapkan prokes dengan disiplin dan ketat. Sebelumnya, Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban menyatakan para dokter siap jadi target vaksinasi Covid-19 jika sudah terbukti aman dan efektif. “Tujuan pemerintah kan untuk melindungi dokter dan perawat yang ada di garis terdepan, yang berisiko tinggi. Tujuannya sih baik. Kami mau mendapatkan vaksin yang aman dan efektif. Kalau belum, silakan saja duluan,” kata Profesor Zubairi, Sabtu (12/12/2020). Zubairi menjelaskan vaksin yang terbukti aman adalah vaksin yang sudah melewati uji klinis fase tiga dan dibuktikan dengan publikasi media jurnal yang terakreditasi serta sudah diulas oleh pihak ketiga yang netral. Selain itu, sambung pria yang karib disapa Pro Beri, vaksin juga harus mendapatkan surat izin edar dari Badan POM setelah melalui sejumlah uji kelayakan. Surat Dokter Menaggapi video Prof. Zubairi Djoerban, dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp.PD sempat kirim surat kepada Sejawat Para Pimpinan PB IDI. Judulnya: “Cerdaskan Masyarakat Indonesia”. Dikirim dari Cirebon, Minggu, 13 Desember 2020. Petikannya: Para Sejawat Yth,Pada hari ini saya membaca dan melihat video Ketua Tim Satgas Covid-19 PB IDI, Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM dalam masalah vaksinasi Covid-19 di Indonesia. Beliau menghimbau supaya bapak Presiden dan para Menterinya seyogyanya divaksinasi terlebih dahulu. Untuk menjadi contoh teladan bagi masyarakat Indonesia sehingga tidak ragu-ragu untuk di vaksinasi. Apakah ini suatu himbauan yang baik? Para Sejawat Yth,Pada hemat saya salah satu fungsi dari dokter adalah mencerdaskan masyarakat yang awam dalam masalah kesehatan, supaya dapat lebih mengerti tentang hal tersebut. Vaksin yang akan disuntikkan kepada masyarakat Indonesia saat ini adalah vaksin Sinovac. Dan, saya telah mengirimkan artikel pada sejawat semua, tentang 10 vaksin unggulan WHO yang telah masuk fase 3 (“Agama Covid-19, Vaksin Dagelan dan Vaksin Horror (Lawan Penjajahan Covid-19)”). Hasil investigasi terhadap jurnal-jurnal internasional yang saya dapatkan, telah dituliskan dalam artikel itu. Maka berdasarkan ilmu saya, 10 vaksin unggulan WHO tersebut masih di bawah standar (vaksin dagelan). Dan yang paling terlucu dari vaksin-vaksin dagelan tersebut adalah vaksin Sinovac. Apakah para sejawat setuju dengan penilaian saya itu? Di artikel tersebut saya tuliskan bahwa titer antibodi neutralizing Sinovac, bersama dengan CanSinoBio, adalah terendah dari vaksin-vaksin lainnya. Titer antibodi IgG terhadap spike protein SARS COV-2, bersama vaksin Sinopharm, adalah terendah diantara vaksin-vaksin lainnya. Limposit T sitotoksik tidak di periksa pada riset vaksin Sinovac. Percobaan vaksinasi pada orang tua (≥ 60 tahun), tidak mereka lakukan. Padahal uji coba pada orang tua mutlak harus ada pada uji klinis fase 2 riset vaksin. Dengan dasar-dasar di atas, wajar bila Sinovac, mempunyai efek samping yang setingkat dengan placebo. Atau tidak jelas, apakah Sinovac suatu vaksin atau bukan. Karena itulah saya menempatkannya sebagai vaksin terlucu dari 10 vaksin dagelan WHO. Bila sejawat setuju dengan apa yang saya tuliskan di atas, maka menyarankan supaya presiden, disuntik terlebih dahulu dengan vaksin terlucu itu (Sinovac), adalah suatu pembodohan. Seyogyanya sejawat menyarankan pada Presiden RI, supaya vaksin Sinovac itu, jangan dipakai atau dikembalikan lagi ke negara China. Sebab memvaksinasi ratusan juta rakyat Indonesia, dengan keefektifan vaksin sangat rendah, merupakan suatu sandiwara komedi yang sangat besar, dan memalukan kita semua. Memalukan kita semua, karena kitalah yang paling mengerti dalam masalah vaksin tersebut. Dan, adalah dosa yang sangat besar, bila kita tidak memberikan ilmu yang benar dalam masalah vaksin tersebut. Fase 3 dari vaksin Sinovac, yang saat ini tengah berjalan, tidaklah merubah derajat dari ke efektifan vaksin tersebut. Sebab keefektifan vaksin terutama dinilai pada fase 1-2. Sedangkan fase 3, terutama menilai safety atau efek samping dari vaksin tersebut. Tidak ada lagi pemeriksaan laboratorium untuk menilai IgG, antibodi neutralizing, limposit T sitotoksik dan sel NK pada uji klinis fase 3. Demikianlah surat saya. Semoga bermanfaat bagi kita semua khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk memperkuat pengembalian vaksin tersebut selain pada Presiden RI, surat inipun saya tembuskan pada anggota DPR RI. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Saling berlaku jujurlah dalam ilmu, dan jangan merahasiakannya . Sesungguhnya berkhianat dalam ilmu pengetahuan lebih berat hukumannya ketimbang berkhianat dalam harta” – (Abu Nu’ai). Salam sejawat. dr. Taufiq Muhibbuddin Waly, Sp.PD Tembusan: 1. Presiden RI; 2. DPR RI Jadi, paham kan mengapa IDI membuat bersuara seperti itu? Termasuk Surat Dokter Taufiq tersebut? Saling jujurlah dalam ilmu! Penulis wartawan senior FNN.co.id

HRS Menolak Karena Tak Percaya RS dan Instansi Kesehatan

by Asyari Usman Medan FNN - Senin (30/11). Para penguasa kelihatannya gagal paham mengapa Habib Rizieq Syihab (HRS) enggan berurusan dengan sembarang rumah sakit (RS) dan instansi kesehatan pemerintah. Yang menjadi masalah ialah bahwa Imam Besar itu tidak percaya pada cara kebanyakan RS menangani pasien biasa dan pasien yang menyandang gejala Corona maupun yang dinyatakan positif setelah dites swab (PCR). Itulah yang terjadi ketika HRS masuk ke RS Ummi di Bogor. Habib lebih suka dirawat RS Ummi yang telah dikenalnya sejak lama. Habib dan keluarganya selalu datang ke situ untuk urusan medis. Soal kepercayaan pula yang menyebabkan Habib memilih tim medis Mer-C untuk tes swab. Pantaskah Habib tidak percaya? Sangat wajar. Sebab, masyarakat luas pun sudah tidak percaya pada RS. Semua RS. Diduga, banyak kematian non-Covid dikatakan Covid oleh pihak RS. Ketidakpercayaan masyarakat itu terjadi di seluruh Indonesia. Kita pernah mendengar atau membaca berita tentang keributan antara keluarga pasien yang mengambil paksa jenazah anggota keluarga karena mereka tidak yakin si pasien meninggal karena Covid. Ada kejadian di Situbondo, akhir Agustus 2020. Keluarga jenazah perempuan berusia 71 tahun tidak yakin dia meninggal karena Covid. Si wanita punya riwayat asma. Ini yang dipercaya keluarga. Lagi pula, dia baru 3 jam dirawat di RS langsung meninggal. Di Jambi, awal September 2020, ayah dari anak laki-laki 6 tahun yang meninggal dunia di satu RS, dibawa pulang paksa. Keluarga tak sabar menunggu hasil tes swab. Mereka tak percaya pada hasil tes awal yang dinyatakan “reaktif”. Di Makassar, awal Juli 2020, keluarga pasien berusia 55 tahun mengambil paksa jenazah laki-laki itu. Mereka tak percaya pria itu meninggal karena Covid. Mereka mengatakan, pasien mengidap penyakit maag akut. Dan RS tidak bisa meyakinkan bahwa pasien meninggal karena Civid-19. Masih di Makassar, awal Juli 2020 juga, keluarga pasien laki-laki hendak menjeput paksa jenazahnya. Mereka tidak yakin pasien berstatus PDP itu meninggal karena virus Corona. Mereka menolak dikuburkan dengan protocol Covid. Setidaknya ada tiga kejadian serupa di Makassar yang semuanya terkait dengan ketidakpercayaan keluarga bahwa sanak-saudara mereka meninggal karena Covid-19. Di Manado, awal Juni 2020, terjadi kericuhan antara keluarga pasien pria 52 tahun yang mengidap penyakit pneumonia. RS menyatakan dia meninggal karena Covid. Tetapi, keluarga tidak percaya. Bahkan, pihak RS dituduh menyogok keluarga untuk menyatakan pasien sebagai penderita Covid-19. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap semua RS di masa wabah Covid-19 ini sangat serius. Krisis kepercayaan itu begitu dalam. Banyak beredar cerita tentang akal-akalan pihak rumah sakit untuk meng-covid-kan pasien yang tidak menyandang gejala virus Corona. Sekarang, saya sendiri punya dua cerita tentang kematian yang sangat sarat dengan kecerobohan penetapan Covid. Keduanya berfamili dengan saya. Pertama, seorang dosen universitas negeri di Medan. Berusia sekitar 62 tahun. Dia pengidap diabetes. Entah bagaimana, dosen ini dinyatakan positif Covid. Sanak-familinya tidak percaya. Cuma, mereka tak berdaya karena sudah dinyatakan positif oleh RS. Jenazah langsung ditangani “heavy-handed” oleh Satgas Covid. Kedua, teman sekaligus saudara dekat saya. Dia seorang dokter di Medan. Usianya 65 tahun. Meninggal sekitar tiga minggu lalu. Teman saya ini juga menderita diabetes. Suatu hari dia harus dirawat di RS karena kadar gula darahnya turun drastis. Ketika dites sewaktu masuk RS, hasilnya negatif. Tes kedua juga negatif. Entah apa yang terjadi, si dokter ini meninggal. Warga di sekitar kediaman beliau setuju jenazah dikebumikan di pekuburan umum di situ. Warga tahu peris tentang si dokter ini. Warga tak percaya dia tertular Covid. Bahkan, lurah setempat mengeluarkan surat persetujuan untuk dikuburkan sebagaimana keinginan keluarga dan warga. Namun, Satgas Covid berkeras untuk mengebumikan jenazah di pekuburan khusus Covid. Keluarganya juga tidak percaya kesimpulan RS bahwa almarhum positif Corona. Itulah antara lain cuplikan tentang ketidakpercayaan publik terhadap RS dan instansi kesehatan pemerintah, termasuk Satgas Covid-19. Isu ini diakui sendiri oleh Kepala Staf Presiden, Moeldoko, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ketika mereka bertemu di Semarang, awal Oktober 2020. Moeldoko mengangkat soal keresahan masyarakat perihal keculasan banyak RS yang menggiring pasien ke Covid. Alias mong-covid-kan pasien untuk mendapatkan dana besar dari pemerintah. Ganjar sendiri menjelaskan tentang kejadian nyata. Kata Ganjar, ada orang yang dinyatakan meninggal karena Covid sebelum hasil tes keluar. Setelah keluar, hasil tesnya negatif. Ini Ganjar yang bilang. Jadi, ketidakpercayaan publik itu bukanlah isapan jempol. Itu terjadi meluas. Kecurigaan terhadap RS sangat tinggi pada masa sekarang ini. Termasuklah rasa was-was Habib Rizieq Syihab terhadap RS selain RS Ummi di Bogor itu. Dan juga bisa dipahami kalau Habib menolak dites swab ulang oleh tim medis resmi pemerintah. Tidaklah adil kalau para pejabat pemerintah mengeluarkan ucapan-ucapan yang hanya memojokkan HRS. Sementara persoalan fundamental di kalangan RS dan Satgas Covid-19 terlihat dibiarkan begitu saja. Tanpa ada pembenahan dan pembinaan yang konkret. HRS berhak tidak mempercayai RS selain RS Ummi Bogor. Beliau berhak pula tidak percaya kepada instansi kesehatan yang dia nilai tidak bekerja profesional, yang rawan sogok-menyogok.[] (Penulis wartawan senior FNN.co.id)

Surya Paloh DBD, Atau Positif Covid Juga?

by Luqman Ibrahim Soemay Jayapura FNN – Kamis (19/11). Rabu kemarin media massa nasional ramai memberitakan Ketua Umum Partai Nasdem dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Surya dirawat di RSPD karena Demam Berdarah Donggie (DBD). Demikian tulis Kompas.com Rabu kemarin (18/11/2020). “Semalam saat diperiksa oleh tim dokter, trombosit Pak Surya memang menurun. Meski masih dalam batas yang nomal, “ujar Ketua Bidang Media dan Komunikasi Publik DPP Partai Nasdem, Charles Meikyansah. Charles menambahkan, “Surya dirawat di RSPAD sejak Selasa malam atas permintaan sendiri, guna mendapatkan perawatan yang lebih baik”. Lebih lanjut , Charles mengatakan, kondisi Surya Paloh saat ini sudah mulai membaik. Charles berharap, Surya dapat kembali sembuh. “Kami memohon do’a dari semuanya. Insya Allah Pak Surya cepat sembuh dan kembali beraktivitas seperti biasa, “pungkasnya. Apakah Hanya DBD? Terkait dengan DBD yang diderita Pak Surya Paloh sejak Selasa kemarin itu, kita sepakat untuk mendo’akan semoga Allah Subhanahu Wata’ala segera menyembuhkannya. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala segera mengangkat segala penyakit yang diderita Pak Surya Paloh. Baik itu DBD maupun penyakit-penyakit lain yang ada di dalam tubunya Pak Surya Paloh. Semoga Pak Surya Paloh sembuh dan sehat lagi, sehingga bisa segera keluar dari RSPAD. Semoga Pak Surya Paloh dapat kembali beraktivitas seperti biasa. Sebagai Panglima Besar restorasi, semoga Pak Surya Paloh kembali sehat untuk memimpin dan mengawal pelaksanaan restorasi yang masih mandeg. Baik itu restorasi di internal Partai Nasdem maupun bangsa. Namun pertanyaannya, apakah Surya Paloh hanya terkena DBD saja? Apaklah Pak Surya Paloh tidak terjangkit penyakit lain? Misalnya, bagaimana kalau Surya Paloh selain terkena DBD, juga terpapar virus covid 19? Apakah tetap dikondisikan untuk mengatakan bahwa Pak Surya hanya terkena DBD saja? Sangat tidak bijak kalau Pak Suya Paloh yang hanya terkena DPD. Tetapi dipaksakan untuk mengatakan, Pak Surya Paloh juga terkena penyakit selain DPD. Namun menjadi sangat menghawatirkan kita semua, bila Pak Surya Paloh kemungkinan terjangkit penyakit lain, covid 19 misalnya, tetapi mau dipaksakan untuk mengatakan bahwa Pak Surya Paloh hanya terkena DPD. Menyampaikan informasi yang sebenarnya menganai penyakit yang diderita Pak Surya Paloh selian DBD itu, menjadi sangat penting. Apakah Pak Surya Paloh sekarang hanya ansih terkena DPD? Atau selain DPD, Pak Surya Paloh juga positif terpapar covid 19? Ini menjadi penting, karena berkaitan dengan cara dan metodologi yang harus digunakan dalam penanganan terhadap Pak Surya Paloh. Kalau Pak Surya Paloh hanya terkana DPD, maka tidak perlu untuk diisolasi. Namun jika selain DBD, misalnya Pak Surua Paloh juga positif terpapar covid 19, maka penangannya menjadi berbeda lagi. Pak Surya Paloh perlu diisolasi di ruangan khusus. Ruangan isolasi untuk mencegah Pak Surya Paloh kemungkinan menjangkitkan kepada orang lain yang bersentuhan dengannya. Memproduksi Cluster Baru Sementara itu, berdasarkan infomasi A1 (katagori lingkaran satu) yang didapat Portal Berita Online FNN.co.id dari sumber yang sangat terpercaya, Surya Paloh sekarang positif terpapar covid 19. Meski demikian, sampai sekarang belum ada pernyataan resmi yang menyatakan kalau Surya Paloh positif terpapar covid 19. Baik itu pernyataan dari pihak RSPAD maupun Partai Nasdem. Tragisnya, Pak Surya Paloh sekarang ditangani di RSPAD bukan dengan pendekatan dan protokol pasien yang positif terpapar covid 19. Pak Surya Paloh tidak diisolasi di ruangan khusus. Pak Surya Paloh ditangani layaknya pasien DBD biasa. Sehingga kenyataan ini telah menimbulkan keresahan yang sangat tinggi di kalangan sebagian tenaga medis yang bekerja di RSPAD yang mengetahui informasi ini. Sebab setiap saat bisa menciptakan cluster baru covid 19 di RSPAD. Padahal, berdasarkan penelusuran yang dilakukan FNN.co.id, Pak Surya Paloh telah dengan legowo (besar hati) bersedia untuk ditangani berdasarkan protokol covid 19. Hanya saja, kebijakan menejemen RSPAD yang belum mau untuk mengumumkan bahwa Pak Surya Paloh positif terpapar covid 19. Belum diketahui, apa pertimbangan manajemen RSPAD, sehingga belum diumumkan? Babaiknya RSPAD perlu mengumumkan kalau Pak Surya Paloh positif terpapar covid 19. Dengan demikian, cara dan metode penanganan didasarkan pada protokol covid 19 yang sudah ditetapkan WHO. Toh, virus laknat covid 19 bukanlah penyakit yang memalukan. Bukan aib yang perlu untuk disembunyikan dari publik. Malah sebaliknya. Perlu disampaikan kepada publik untuk berjaga-jaga, dan meningkatkan kewaspadaan dalam rangka memutus mata rantai penularan. Banyak kepala kepala negara dan pemerintahan dunia yang sudah dinyatakan positif terpapar covid 19. Misalnya, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Amerika Donald Trump, Presiden Brasil Jair Balsonaro, dan Presiden Balarusia Alexander Lukashenko. Pejabat negara seperti Menteri Perhuhubungan Budi Karya Sumadi pernah positif terpapar covid 19. Infor tentang Budi Karya ini diumumkan terbuka kepada publik. Alhamdulillah wasyukurillaah, Pak Budi Karya sekarang sudah sembuh. Semoga Pak Surya Paloh juga segera sembuh, amin amin amin ya robbii. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Rakyat Boleh Tolak Vaksin Covid Bermasalah

by Mochamad Toha Surabaya FNN – Ahad (01/11). Diberitakan, tiga Uskup senior Australia mengkritik keras Vaksin Corona/COVID-19 buatan Universitas Oxford, Inggris dan perusahaan farmasi AstraZeneca yang memiliki masalah etis. Karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. WowKeren Aug 26, 2020 menulis, Universitas Oxford, bersama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca tengah mengembangkan vaksin untuk Covid-19. Vaksin tersebut telah dipesan oleh Pemerintah Australia. Sayangnya, vaksin itu justru menuai kritikan keras dari tiga orang uskup senior Australia, lantaran memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. Pemerintah Australia pada Senin (24/8/2020) mengatakan, komunitas keagamaan tak perlu risau. Karena tak ada masalah etis terkait vaksin yang sudah dipesan 25 juta dosis itu. Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca saat ini menjadi kandidat paling siap untuk diproduksi dan jadi rebutan banyak negara. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, praktik seperti itu sudah biasa dilakukan dalam dunia medis. Namun, pada Kamis (20/8/2020), Uskup Agung Gereja Anglikan, Glenn Davies, Uskup Agung Sidney (Katolik), Anthony Fisher, dan pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Australia, Uskup Makarios Griniezakis menyatakan keberatannya terkait vaksin Covid-19. Mereka mengirim surat kepada PM Australia Scott Morrison. Para uskup itu mengatakan, mendukung adanya vaksin COVID-19, tetapi penggunaan “sel-sel janin sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat tidak bermoral.” Terlepas dari polemik para uskup Australia tersebut, apakah rakyat atau warga negara di Indonesia punya hak untuk menolak vaksinasi atau imunisasi? Meski Pemerintah sudah mengeluarkan “Surat Perintah” vaksinasi Covid-19? Berhak Menolak Seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, Hak dan Kewajiban Pasien Pasal (52), pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran dan kesehatan mempunyai hak. Pertama, mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (3). Kedua, meminta pendapat dokter atau dokter yang lain. Ketiga, mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis. Keempat, menolak tindakan medis. Kelima, mendapatkan isi rekam medis. Pasien bisa menyatakan menolak dilakukannya tindakan Vaksinasi atau Imunisasi padanya dengan enam belas alasan. Pertama, UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini terkait status kehalalan vaksin yang sudah diberitahukan MUI bahwa vaksin pada anak belum bersertifikasi halal. Menjalani hidup dan kehidupan adalah pilihan, halal dan haram adalah ketentuan. “La iqraha fiddin”. Tidak ada pemaksaan dalam agama. Apalagi untuk perkara duniawi. Kedua, UUD 1945 pasal 28G ayat 1, “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Jadi, setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman. Ketiga, UUD 1945 Pasal 28I ayat 1-2. (1).“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. (2). ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”. Keempat, Pasal 28b ayat 2, “setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan demikian, pasien atau rakyat berhak atas perlindungan dari intimidasi serta diskriminasi karena pilihan untuk tidak memberikan vaksin pada anaknya. Kelima, Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dan UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 45, tentang informed consent, yaitu persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien. Di Indonesia, informed consent secara yuridis formal terdapat pada pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 Tahun 1988, dipertegas lagi dengan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik/informed consent. Keenam, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1, “negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak”. Ketujuh, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 45 ayat 1, “orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat sejak dalam kandungan”. Ini bentuk perlindungan rakyat atas status kehalalan dan keamanan vaksin dan perlindungan terhadap Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), Efek Negatif Vaksin, Vitamin K Sintetis dan sejenisnya. Kedelapan, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal, produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat islam yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kesembilan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur barang atau jasa yang bersifat halal. Kesepuluh, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang kewajiban memberikan perlindungan pada anak berdasakan asas-asas non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Kesebelas, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil meliputi hak hidup, hak bebas dari siksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, hak atas praduga tak bersalah, hak kebebasan berpikir, hak berkeyakinan dan beragama, hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan orang lain, hak perlindungan anak, hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Keduabelas, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mengenai kehalalan vaksin yang ternyata belakangan dibantah oleh MUI dan Halal Watch. Mengenai kasus-kasus kejadian KIPI yang diinformasikan di media-media massa maupun media sosial dan penjelasan mengenai wabah. Ketigabelas, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, penjelasan pasal 5 ayat 1: “bahwa upaya penanggulangan wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain agama. Status halal haram itu dalam agama Islam adalah hal yang essensial. Sedangkan Pasal 6, “bahwasannya keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan wabah tidak mengandung paksaan”. Keempatbelas, UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 5 ayat 2 dan 3, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan hak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya. Sedangkan Pasal 7, tentang mendapatkan informasi dan edukasi yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8, berhak mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan yang telah dan akan diterima dari tenaga kesehatan. Kelimabelas, Permenkes Nomor 12 Tahun 2017, pasal 26 ayat 2 poin b, pengecualian penyelenggaraan imunisasi program bagi orang tua/wali yang menolak menggunakan vaksin yang disediakan pemerintah. Keenambelas, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016, ketentuan hukum, bahwa hukum imunisasi adalah mubah, kewajiban menggunakan vaksin yang halal dan suci. Sedangkan alasan darurat yang disyaratkan harus dengan fatwa ulama atau ahli terkait. Bukan fatwa dokter. Kewajiban pemerintah menyediakan vaksin halal dan melakukan sertifikasi halal kepada produsen vaksin sesuai dengan peraturaan perundang-undangan. Orang tua wajib memberikan dukungan pada program pemerintah, tapi pelaksanaan imunisasi itu tidak wajib, karena penceghan terhadap penyakit akibat virus atau bakteri bisa dilakukan dengan cara lain yaitu dengan meningkatkan antibodi. Terkait program vaksinasi untuk masyarakat yang mau menerimanya itu, maka kewajiban pemerintah untuk menjamin penyediaan vaksin yang Halal adalah “Mutlak”. Mereka wajib menyertakan alasan dan landasan hukum atas tindakan yang dipilih. Karena menolak, rakyat berhak menolak bentuk “intimidasi” dan “diskriminasi” serta menolak pemberian vaksin pada anaknya di luar sepengetahuannya. Bila tetap dilakukan, maka rakyat bisa mengajukan tuntutan hukum, baik terjadi pada Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dalam jangka pendek ataupun panjang, ataupun tidak. Jika terjadi KIPI pada anak mereka, maka semua pihak yang terkait harus membiayai seluruh terapi dan pengobatan saat dan pasca KIPI Seumur Hidup anaknya. Bahwasannya anak-anak dan keluarga yang tidak divaksin maupun yang divaksin itu juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum. Karena itu rakyat menolak diskriminasi dan intimidasi atas keputusannya tersebut. Yang pasti, hingga kini WHO juga belum menyatakan ketersediaan Vaksin Covid-19 hingga 2021. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Vaksin Janin Ditolak Tiga Uskup Australia

by Mohammd Toha Surabaya FNN – Kamis (29/10). Dalam tulisannya disebutkan bahwa Gereja saja menolak Vaksin Corona. Sebab salah satu bahan pengembang biaknya menggunakan janin manusia yang diaborsi. Bagaimana ini dengan Rakyat Indonesia yang 85% penduduknya Muslim? Bagaimana Mejelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah? Penjelasannya adalah, janin manusia itu diaborsi secara sukarela oleh Ibunya. Yang menjadi masalah di sini bukan soal Ibunya sukarela atau dipaksa waktu mengakhiri kehamilannya dan menyerahkan bakal bayinya untuk digunting-gunting. “Memikirkan prosesnya saja bikin perut saya mulas dan hati serasa pecah berkeping,” ujar Dokter Tifauzia. Bukannya yang punya kehidupan adalah janin itu sendiri? Ditanya apa tidak dia, waktu mau dikeluarkan dari dalam rahim ibunya? Ikhlas apa tidak dia diaborsi demi kepentingan (bisnis) vaksin? Dalam beberapa penelitian, bagian janin yang digunakan adalah sel ginjal dan sel parenkim paru. “Kalau sudah terjadi organogenesis berarti usia janin itu lebih dari 120 hari dong,” tegasnya. Bagaimana Sumpah Dokter? Apakah seorang janin yang sudah ditiupkan ruh, yang jantung kecilnya sudah berdetak, atas nama kemanusiaan atau apapun itu, berhak untuk dihentikan kesempatan hidupnya? Sedangkan dia sama sekali tidak memiliki hak untuk jawab? Sekarang dari sisi manusia penerima vaksin. Ketika terjadi penerimaan vaksin, yang artinya juga menerima bagian dari sel janin yang diaborsi tadi, apakah tidak terjadi breeding antar sel? Apalagi itu akan menghasilkan konsekuensi yang sangat besar. Tak hanya sekedar bahwa manusia lain, dengan adanya vaksin ini, mendapatkan kesempatan hidup yang lebih besar. Tetapi juga ada tambahan sel baru. Sel yang berasal dari sel manusia lain, dengan segala kemungkinannya. Siapa yang bisa menjamin, segala pengorbanan ini akan memberikan hasil sesuai dengan yang dimaui manusia? Bahwa dengan vaksin yang isinya entah itu bayi, entah itu babi, kita menjamin bahwa coronavirus akan enyah selama-lamanya dari muka bumi? Bukankah, ketika bermain-main di area yang bukan wilayah kita, pada saat kita sedang playing God? Kok serasa pada menjadi Tuhan saja semua orang ini. “Saya, terus terang, cuma takut Azab saja. Masalah adalah kalau Azab-Nya datang, kita-kita yang ngga punya salah apa-apa, ikut kena akibatnya juga,” ujar Dokter Tifauzia mengakhiri tulisannya. Pendekatan Moral Sebelmnya diberitakan, tiga Uskup senior Australia mengkritik keras vaksin COVID-19 buatan Universitas Oxford, Inggris dan perusahaan farmasi AstraZeneca. Sebab vaksin yang diprokduksi memiliki masalah etis, karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. WowKeren 26 Agustus 2020 menulis, Universitas Oxford, bersama perusahaan farmasi AstraZeneca tengah mengembangkan vaksin untuk virus corona (Covid-19). Vaksin tersebut telah dipesan oleh Pemerintah Australia. Sayangnya, vaksin tersebut justru menuai kritikan keras dari tiga Uskup senior Australia, lantaran memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. Pemerintah Australia Senin (24/8/2020) mengatakan, komunitas keagamaan tak perlu risau, karena tak ada masalah etis terkait vaksin yang sudah dipesan 25 juta dosis itu. Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca saat ini menjadi kandidat paling siap untuk diproduksi dan jadi rebutan banyak negara. Dalam proses pengembangannya itu, mereka menggunakan sel-sel ginjal janin yang sengaja digugurkan. Konon, praktik seperti itu sudah biasa dilakukan dalam dunia medis. Tetapi, pada Kamis (20/8/2020), Uskup Agung Gereja Anglikan, Glenn Davies, Uskup Agung Sidney (Katolik), Anthony Fisher, dan pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Australia, Uskup Makarios Griniezakis menyatakan keberatannya terkait vaksin Covid-19 AstraZeneca. Ketiga Uskup tersebut mengirim surat kepada Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison. Para uskup itu mengatakan, mereka mendukung adanya vaksin Covid-19, tetapi penggunaan “sel-sel janin sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat tidak bermoral.” Meski tidak mengajak umat mereka masing-masing untuk memboikot vaksin AstraZeneca tersebut. Para uskup itu mengatakan bahwa umat berhak untuk menolak menggunakan vaksin tersebut. Bahkan jika mereka tak punya pilihan lain. Uskup Fisher bahkan menulis di akun Facebooknya soal masalah ini. Fisher menyatakan, vaksin Covid-19 dari Oxford itu menimbulkan apa yang disebutnya sebagai dilema etis. Menurut Deputi Kepala Kantor Kesehatan Australia Nick Coatsworth, kekhawatiran gereja itu tak bisa diabaikan. Tetapi disaat yang sama, dia menegaskan bahwa pengembangan vaksin memang membutuhkan kultur sel. “Sel-sel manusia sangat penting dalam pengembangan vaksin. Regulasi etis di sekitar penggunaan sel-sel manusia sangat ketat, terutama terkait sel janin manusia. Yang mengembangkan vaksin ini adalah unit penelitian di Universitas Oxford yang sangat terkemuka. Jadi menurut saya, kita bisa percaya pada cara mereka mengembangkan vaksin tersebut,” ungkap Nick. Menurut Robert Booy, pakar vaksin dari University of Sidney, penggunaan sel-sel janin yang digugurkan sudah biasa dalam pengembangan vaksin selama 50 tahun terakhir. Gereja tak pernah permasalahkan ini karena jarak yang sangat jauh antara penggunaan sel-sel janin dengan vaksin yang sudah rampung. Praktik ini sudah diterapkan sejak mengembangkan vaksin untuk Rubella, Hepatitis A, dan Cacar Air. “Sel-sel janin bisa melakukan 50 replikasi. Sementara sel-sel yang lebih tua lebih sedikit replikasinya. Jadi, untuk memproduksi vaksin, virus harus dibiakkan di dalam sel janin berkali-kali dan kemudian dipanen,” jelasnya. Kelak, elemen-elemen manusianya akan dibersihkan, dan yang digunakan hanya elemen virusnya saja. Artinya tidak ada DNA manusia lagi dalam vaksin yang sudah jadi. Diberitkan, PM Australia secara resmi telah memesan 25 juta dosis vaksin Covid-19 ke AstraZeneca. Rencananya vaksin-vaksin itu akan diberikan secara gratis kepada rakyatnya. Sementara Presiden Donal Trump yang sempat terpapar corona dengan pengobatan “sangat ampuh dan manjur”, yang disebutnya sebagai “berkah dari Tuhan”. Hanya beberapa hari kemudian Trump sudah kembali ke Gedung Putih. Seperti dikutip 24berita.com, Selasa (Oktober 13, 2020 610), obat eksperimental antibodi itu, dengan atau tanpa berkat tuhan, sejatinya adalah obat yang diberi nama REGN-COV2. Obat ini buatan perusahaan bioteknologi Regeneron di AS. Perusahaan itu sebelumnya mengajukan ijin penggunaan darurat kepada jawatan pengawasan obat dan makanan AS-FDA. Ternyata yang dipakai itu adalah obat berbasis jaringan sel janin manusia. Preparat eksperimental tersebut adalah kombinasi dan antibodi monoklonal REGN10933 dan REGN10987. Obat yang diberi nama REGN-COV2 itu berfungi sebagai imunisasi pasif, dengan unsur aktif yang dibuat secara sintetis dari antibodi yang dinetralkan. Dalam prosesnya, langsung maupun tidak langsung, digunakan jaringan sel yang berasal dari embrio alias janin manusia. Obat REGN-COV2 memang tidak langsung dibuat dari jaringan sel janin manusia. Mula-mula preparatnya dibuat dari sel yang berasal dari saluran indung telur hamster. Tetapi, untuk menguji keampuhan antibodi tersebut, dalam tes laboratorium digunakan jaringan sel yang berasal dari janin manusia yang digugurkan. Sel yang diberi nama ilmiah HEK 293T itu, berasal dari jaringan sel ginjal janin manusia yang digugurkan di Belanda pada 1970-an. Regeneron manfaatkan HEK 293T untuk produksi apa yang disebut pseudopartikel virus, yakni struktur seperti virus yang memiliki protein duri seperti pada virus corona. Hanya dengan cara dan prosedur semacam itu, bisa diketahui tingkat efektivitas antibodi dalam menyerang masing-masing virus. Apakah vaksin yang bakal dipakai di Indonesia itu juga berasal dari janin manusia? Wajar jika Dokter Tifauzia Tyassuma mengingatkan kita semua! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id