KESEHATAN

Jokowi Bisa Dipidana Jika Suntik Vaksin Bohongan

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Sudah banyak yang mewanti-wanti agar dalam proses vaksinasi ini kepeloporan Presiden Jokowi harus diikuti dengan transparansi. Selain itu, tidak membuka celah pintu dugaan negatif dalam pelaksanaan vaksinasi vaksin yang berasal dari Cina Tiongkok tersebut. Bermain-main dengan vaksin bukan saja berbahaya tetapi juga mengarah pada skandal. Penyuntikan yang tidak tanggung-tanggung. Penyuntikan dilakukan seorang Guru Besar yang tangannya "gemetaran" ketika menyuntik. Prof. dr. Abdul Mutholib, Sp. PD. KHOM. Mungkin sebenarnya dapat lebih tegar dan mahir jika dilakukan oleh seorang paramedis. Tetapi itulah fungsi pencitraan. Presiden disuntik vaksin oleh Guru Besar Kedokteran. Benar saja, banyak yang curiga. Yang paling menonjol dan viral adalah surat terbuka seorang dokter dari Cirebon. Dokter spesialis penyakit dalam dr. Taufiq Muhibbudin Waly, Sp PD. Beliau berpendapat setelah mendiskusikan dengan dokter dan paramedis senior, bahwa cara penyuntikan vaksin kepada Presiden Jokowi adalah salah. Harusnya tidak begitu. Menurut dr. Taufik Muhibbudin Waly, agar masuk intramuskular harus lurus 90 derajat. Jika intramuskular miring seperti yang dilakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. kepada Presiden Jokowi, maka vaksin salah masuk. Demikian juga alat suntik, harusnya spuit 3 cc. Bukan spuit 1 cc seperti yang terlihat kemarin itu. Meski ini hanya opini, yang kemudian dinafikan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr. Daeng Faqih yang juga ikut disuntik bersama Presiden, tetapi hal tersebut harus dikarifikasi serius. Tidak cukup hanya dengan dibantah saja. Apalagi sekedar menyebut surat hanya berdasar pada opini. Publik berhak tau apa sesungguhnya yang dengan vaksin sinovac yang banyak ditolak di berbagai belahan dunia. Rakyat Indonesia menyaksikan dan mempertaruhkan diri kelak terhadap penyuntikan yang dicontohkan oleh Pak Jokowi. Presiden pun berbahagia dan menyatakan "tak terasa, terimakasih Prof". Sikap refleks yang menimbulkan multi tafsir di masyarakat. Sehingga uji kesahihan harus dilakukan. Apakah dr.Taufik Muhibbudin Waly yang benar, atau dr. Daeng Faqih yang benar ? Jika ada kesalahan suntik, maka solusinya jelas, harus dilakukan pengulangan sebagaimana saran dr Taufik Muhibbudin Waly. Jika cara penyuntikan yang dlakukan oleh Prof. dr. Abdul Mutholib Sp. PD. KHOM. dan isinya sudah benar, maka dr Taufik dapat dikenakan sanksi oleh IDI. Masalah terberat adalah jika ternyata "salah suntik" itu "by design" semata. Kalau salah suntik yang terjadi pada Presiden Jokowi ini hanya by design semata, makan ini akan masuk ranah penipuan publik. Hoaks yang tersebar di banyak media. Presiden dan tim telah menyebarkan kebohongan.Bukan hanya satu dua orang, tetapi 260 juta rakyat telah tertipu. Bisa dikatagorikan sebagai pembohongan publik yang sengaja dan direncanakan. Merujuk peristiwa kebohongan yang dilakukan oleh Ratna Sarumpaet, yang kemudian dihukum penjara selama dua tahun, maka bila Presiden yang melakukan hal serupa, juga tidak boleh kebal hukum. Delik pelanggaran yang dikenakan kepada Ratna Sarumpaet adalah penyebaran berita bohong Pasal 14 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tuduhan kepada Ratna Sarumpaet dikaitkan pula dengan Pasal 28 Jo Pasal 45 UU ITE. Untuk itu, Penelusuran secara transparan dan obyektif untuk menyimpulkan bahwa penyuntikan vaksin sinovac kepada Presiden itu benar, salah, ataupun suatu kebohongan menjadi sangat penting, mengingat akibat hukum yang ditimbulkannya. Pertanyaannya kini adalah mungkinkah pihak-pihak yang terlibat berani memberi pengakuan atau kesaksian di bawah sumpah? Atau mungkin perlu dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Independen untuk menyelidiki kasus vaksinasi vaksin sinovac kepada Presiden Jokowi ini? Memang lucu juga jadinya, tetapi apa sih yang tidak lucu di negeri ini? Terlalu banyak pemimpin yang menjadi pelawak suntik,,, eh pelawak politik. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Geger Baru Vaksin Sinovac: Jokowi vs Ribka Tjiptaning

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Presiden Joko Widodo sudah divaksin Sinovac di Istana Negara pada Rabu, 13 Januari 2021. Prof. dr. Abdul Muthalib, Wakil Ketua Tim Dokter Kepresidenan, yang menyuntik Presiden itu sempat gemetaran ketika proses penyuntikan. “Menyuntik orang pertama di Indonesia ada rasa (gemetar) juga. Tapi, masalah itu tidak jadi halangan buat saya untuk menyuntikkannya,” kata Prof Muthalib. Proses penyuntikan selesai dalam waktu singkat. Presiden Jokowi menyebut tidak ada yang dirasakannya saat disuntik vaksin tersebut. “Waktu menyuntikkannya tidak masalah, pertamanya saja agak gemetaran. Bapak tidak ada pendarahan sama sekali di bekas suntikannya,” lanjutnya. Setelah disuntik, Jokowi menunggu sebentar untuk memastikan kondisinya. Dilihat di akun YouTube Sekretariat Presiden, Jokowi masih terlihat bugar seperti sebelum disuntik. Jokowi pun terlihat berdiri dan berjalan di dalam ruangan Orang yang sudah disuntik vaksin harus menunggu 30 menit. Setelah itu, orang yang disuntik tadi bisa kembali beraktivitas. Vaksinasi Corona perdana ini juga disiarkan langsung di akun YouTube Sekretariat Presiden. Jokowi disuntik vaksin oleh tim vaksinasi COVID-19. Sebelum disuntik, Jokowi duduk di kursi pertama. Jokowi menjalani tes tekanan darah dan ditanya ada atau tidaknya gejala yang dirasakan Jokowi oleh tim tenaga kesehatan terlebih dahulu. Selain Jokowi, sederet pejabat lain juga turut divaksinasi. Di antaranya Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Ketua PB IDI dr. Daeng M. Faqih. Juga ada Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan tokoh agama (Islam, Katolik, Protestan dan lain-lain), termasuk MUI. MUI sendiri sudah “melabeli” vaksin Sinovac sebagai produk “suci dan halal”, seolah telah menjawab keraguan umat Islam atas kehalalan vaksin Sinovac buatan China ini. Pasalnya, bibit vaksin Sinovac itu dikulturkan di jaringan organ monyet (vero cell). Meski Presiden Jokowi sudah berusaha meyakinkan masyarakat dengan “demo” suntikan vaksin Sinovac atas dirinya, tapi toh suara sumbang masih terjadi di lingkungan PDIP, partai yang mengusung dan membesarkannya. Lihat saja ungkapan Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning yang berpendapat, bisa saja cairan yang disuntikkan kepada Presiden Jokowi dan sejumlah tokoh lainnya pada Rabu (13/1/2021) bukan vaksin buatan Sinovac. Dugaan tersebut dilontarkan Ribka dalam Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat Lanjutan Komisi IX DPR RI bersama dengan Menkes Budi Gunadi Sadikin, Kepala BPOM Penny Lukito, dan Direktur Utama PT Biofarma Honesti Basyir pada Rabu (13/1/2021). “Bisa saja itu bukan Sinovac yang dikasih, kan kita enggak tahu semuanya, jangan ada dusta di antara kita,” kata Ribka. Di sisi lain, Ribka melanjutkan, Jokowi tidak bakal mengalami kesulitan jika ditemukan masalah ke depan imbas dari suntikan tersebut. Pasalnya, Jokowi bersama tokoh lainnya dilengkapi dengan fasilitas kesehatan masyarakat yang prima. “Kalau Pak Jokowi jadi contoh demonstratif begitu disuntik orang pertama, kita semua tahu kalau itu Sinovac, kalau ada apa-apa? Ya, memang dokternya saja yang ngikuti ada berapa, rumah sakit siap, tetapi yang [ada di daerah] di ujung-ujung sana, susah,” tutur Ribka. Sikap itu disampaikan Ribka berlatar pada pengalamannya saat menjabat Ketua Komisi IX. Ketika itu, dia mengingat, terdapat sejumlah vaksin yang ditemukan bermasalah dan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat. “Yang tadinya vaksin untuk polio malah [jadi] lumpuh layu, yang kaki gajah jadi mati 12 [orang] di Sindangaya sana di Jawa Barat,” kata Ribka. Kekhawatiran Ribka yang berlatar belakang dokter tentu saja cukup beralasan. Tak hanya tokoh PDIP seperti Ribka saja yang mengkritisi vaksinasi pasca Presiden Jokowi divaksin. Seorang dokter spesialis, dr Taufiq Muhibbuddin Waly, SpPD, mengirim surat ke Presiden Jokowi pada Rabu, 13 Januari 2021. “Setelah melihat berkali-kali video itu dan berdiskusi dengan para dokter serta para perawat senior, maka saya menyimpulkan bahwa vaksinasi yang Anda lakukan adalah gagal. Atau, Anda belum divaksinasi,” tulis Dokter Taufiq. Alasannya adalah injeksi vaksin Sinovac, seharusnya intramuskular (menembus otot). Untuk itu, penyuntikan haruslah dilakukan dengan tegak lurus (90 derajat). Dan, memakai jarum suntik untuk ukuran volume minimal 3cc (spuit 3cc). “Tetapi yang menyuntik tadi siang memakai spuit 1cc dan tidak tegak lurus 90 derajat. Hal tersebut menyebabkan vaksin tidak menembus otot sehingga tidak masuk ke dalam darah,” lanjutnya. Suntikan vaksin yang dilakukan pada Jokowi itu hanyalah sampai di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (sub kutan). Dan, itu berarti vaksin tidak masuk ke darah. Pabrik vaksin Sinovac telah membuat zat vaksin tersebut, hanya bisa masuk ke dalam darah bila disuntikkan dengan cara intramuskular. Penyuntikan di kulit (intrakutan) atau di bawah kulit (subkutan) tersebut tak akan menyebabkan vaksin tersebut masuk ke dalam darah. Kalaupun bisa masuk, hanya sedikit sekali. Lain halnya bila vaksin atau obat itu di desain untuk tidak disuntikkan secara intramuskular. Misalnya menyuntikkan insulin. Injeksi insulin harus dilakukan secara subkutan. “Setelah menonton berkali-kali, saya melihat bahwa masih ada vaksin yang tertinggal pada spuit tersebut. Atau, tidak seluruh vaksin disuntikkan,” ungkap Dokter Taufiq. Ia juga melihat vaksinasi pada Raffi Ahmad. Penyuntikan dengan sudut 90 derajat itu sudah benar. Vaksin dalam spuit telah habis dikeluarkan semuanya. Tetapi, karena yang digunakan spuit 1cc, maka sudah pasti spuit itu tidak bisa menembus otot Raffi Ahmad. Atau, Raffi Ahmad pun harus mengulang vaksinasi Covid-19 seperti juga Presiden Jokowi. Dokter Taufiq tentunya tidak mungkin berkirim surat itu tanpa dasar. Apalagi, dalam surat itu disebut, “berdiskusi dengan para dokter serta para perawat senior”. Begitu pula Ribka Tjiptaning yang lebih ekstrim lagi dengan menyebut, bisa saja cairan yang disuntikkan itu “bukan vaksin buatan Sinovac”. Bisa jadi, “suara” Ribka ini sebenarnya suara riil rakyat dan PDIP yang menolak vaksinasi! Masyarakat juga banyak yang ragu dengan vaksin Sinovac. Apalagi, kata Ribka, vaksin Sinovac adalah rongsokan asal Cina. Sebelumnya dia dengan tegas menolak divaksin. Ribka lebih memilih membayar denda. WHO tidak memungkiri jika banyak kalangan yang masih meragukan efektivitas dan keamanan vaksin corona. WHO dan seluruh kepentingan di dunia perlu berjuang meyakinkan masyarakat umum agar mau divaksinasi. “Cerita soal vaksin adalah berita bagus. Ini adalah kemenangan usaha manusia atas musuh mikroba. Kita perlu meyakinkan orang dan kita perlu meyakinkan mereka," kata Direktur Urusan Darurat WHO, Micahel Ryan, seperti dikutip AFP. Lebih dari 50 negara kini dilaporkan telah memulai vaksinasi Covid-19. Diperkirakan 70-90 persen dari 7,8 miliar orang di dunia perlu divaksin sebelum mencapai “herd immunity” agar dapat kembali ke kehidupan normal. Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Izinkan Emergency Sinovac, BPOM Tunduk Kekuasaan?

by Mochammad Toha Surabaya, FNN - ATAS nama darurat, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengizinkan penggunaan vaksin Covid-19 Sinovac buatan China disuntikkan kepada masyarakst. Izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) itu diberikan karena sudah memenuhi persyaratane sesuaiketentuan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Healt Organization (WHO). Izin penggunaan darurat itu diumumkan Kepala BPOM Penny Lukito Penny dalam konferensi pers daring, Senin,11 Januari 2021. Pemberian persetujuan penggunaan vaksin adalah yang diproduksi PT Bio Farma. Penny memastikan, pengambilan keputusan didasarkan pada rekomendasi dan sudah dirumuskan dalam rapat pleno anggota Komite Nasional Penilaian Obat, dan para ahli di bidangnya, 10 Januari 2021. Hasil pemantauan keamanan dan khasiat selama 6 bulan untuk uji klinis fase 1 dan 2, dan 3 bulan pada uji klinis fase 3, secara keseluruhan menunjukkan efek samping yang ditimbulkan bersifat ringan sehingga aman digunakan. Tekanan Presiden Joko Widodo dan Menkes Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan penyuntikan Vaksin Covid-19 dilakukan serentak di 34 provinsi pada Rabu, 13 Januari 2021, diperkirakan membuat BPOM akhirnya juga mempercepat pengumuman itu. Vaksinasi diawali oleh Joko Widodo bersama sederet nama lainnya, di Istana Kepresidenan, Rabu kemarin. Sebagai menteri kesehatan, seharusnya Budi Gunadi tidak boleh memaksakan percepatan evaluasi atas suatu hasil uji klinis vaksin Sinovac. Evaluasi uji klinis itu tidak bisa disamakan dengan uji laboratorium seperti potensi tambang yang sebelumnya digelutinya. Sebagai Presiden, Jokowi juga tidak boleh menekan menteri kesehatan agar segera memvaksin tenaga kesehatan atau nakes, sebelum BPOM mengizinkan EUA. Sebab, uji klinis pada relawan itu juga tak sama dengan uji laboratorium hasil hutan yang bisa dihitung waktunya. Jadi, seharusnya Menkes tidak bisa memutuskan vaksinasi dimulai Rabu, 13 Januari 2021, padahal BPOM baru akan mengumumkan pada 15 Januari 2021. Akan tetapi, akhirnya BPOM harus mengumumkan pada Senin, 11 Januari 2021, sesuai “arahan” Presiden. Yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah terkesan buru-buru melakukan vaksinasi ini? Padahal, hitungan secara medis dan uji klinis pun belum tuntas? Apalagi, China sendiri tidak memakai Sinovac untuk memvaksin rakyatnya. China malah mengimpor vaksin! Berhasilkah China mengatasi Covid-19 di negerinya sendiri? Ternyata hingga kini tidak berhasil. Faktanya, sejak Selasa (29/12/2020), China telah menutup 10 area di ibukota Beijing karena adanya ledakan kasus baru Cpvid-19 di sana. Penutupan ini kembali dilakukan setelah wabah meledak pada Juni-Juli 2020 lalu. Channel News Asia menyebutkan, kota itu melaporkan 16 infeksi dan 3 kasus asimptomatik sejak 18 Desember 2020. Sebagian besar kasus terjadi di Distrik Shunyi. Beijing juga mendesak penduduk untuk tinggal di rumah selama liburan. Pejabat di distrik utara Yanqing dikabarkan akan terus menyalakan pengeras suara untuk menasihati penduduk agar tidak bepergian ke luar wilayah tersebut. Masih percaya dengan Vaksin Sinovac, meski gagal mengatasi pandemi Covid-19 di China sendiri? Ingat! China itu pernah gagal mengatasi Virus Flu Burung hingga sempat menelan korban begitu banyak. Anehnya kita malah beli vaksin dari China. Lebih aneh lagi, program vaksinasi ini telah menjadi keharusan dan kewajiban bagi rakyat di Indonesia. Padahal, WHO menyatakan tidak setuju jika negara mewajibkan vaksin Covid-19 kepada rakyatnya, apalagi dengan ancaman pidana atau denda. Vero Cell Pihak PT Bio Farma mengatakan, tidak ada bahan berbahaya yang terkandung dalam vaksin Covid-19 Sinovac. Menurut Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Bio Farma Bambang Heriyanto, Sinovac itu tidak mengandung sel vero. Sel vero hanya digunakan sebagai media kultur untuk pengembangan dan bertumbuhnya virus dalam proses perbanyakan virus sebagai bahan baku vaksin. Setelah mendapatkan virus yang cukup, maka akan dipisahkan dari media pertumbuhan. Sel vero ini tidak akan ikut atau terbawa sampai dengan proses pembuatan. Benarkah? Tentunya masih patut dipertanyakan lagi. Adapun vaksin Sinovac yang akan digunakan di Indonesia, disebut hanya mengandung virus yang sudah dimatikan. Karena ini platform-nya inactivated, jadi virusnya sudah dimatikan atau di-inaktivasi. Jadi, Sinovac sama sekali tidak mengandung virus hidup atau yang dilemahkan. Cara tersebut menjadi salah satu cara yang paling umum dalam pembuatan sebuah vaksin. Ini yang bahaya! Virus yang sudah “dimatikan” bisa saja suatu saat pada suhu tertentu hidul lagi. Kandungan lain di dalam vaksin Covid-19 Sinovac itu adalah alumunium hidroksida. Zat ini berfungsi sebagai adjuvan untuk meningkatkan kemampuan vaksin. Kandungan berikutnya adalah larutan fosfat atau sebagai penstabil, atau biasa kita sebut dengan stabilizer. Kandungan terakhir adalah larutan garam natrium klorida sebagai isotonis untuk memberikan kenyamanan penyuntikan. Tapi, garam yang digunakan telah memenuhi standar penggunaan farmasi. Benarkah sel vero itu hanya sebagai media kultur untuk pengembangan dan bertumbuhnya virus dalam perbanyakan virus sebagai bahan baku vaksin? Jawab dr. Tifauzia Tyassuma: “Betul! Tapi kalau (dibilang) tidak terbawa, itu bohong!” Analoginya seperti tanam pohon mangga. “Betul kita cuma ambil buah mangganya dan tidak makan tanahnya. Tapi buah mangga itu bisa besar dari mana? Dari unsur saripati yang ada di tanah itu,” ungkapnya kepada FNN.co.id. Artinya, buah mangga mengandung saripati tanah itu tentu saja. Sama halnya dengan virus. “Pabrik farmasi kan sudah 200 tahun biasa bohong,” sindir Dokter Tifa. Pantas saja, politisi PDIP yang anggota DPR dr. Ribka Tjiptaning menolak divaksin. Apa ini karena sudah kenyang dibohongin pabrik farmasi? ** Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Gagal Vaksin Manifestasi Presiden Yang Gagal

by M. Rizal Fadillah Bandung FNN - Vaksin Sinovac sudah didistribusikan ke beberapa Provinsi. Bulan Januari mulai penyuntikan vaksin. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) belum mengumumkan izin. Jika dipaksakan untuk dikeluarpun, itu tidak sehat karena tanpa penelitian tuntas dan seksama. Mau dipaksakan dan diburu-buru. Presiden Jokowi paksakan tanggal 13 Januari 2021 hari ini mulai dilakukan vaksinasi serentak. Konon Presiden akan disuntik pertama kali di istana negara. Begitulah Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengumumkan. Di beberapa negara banyak pimpinan negara memulai penyuntikan vaksin atas dirinya. Kemudian diketahui ternyata itu hanya suntikan rekayasa. Rupanya para pimpinan negara yang takut terinfeksi virus Covid 19, sama takutnya dengan disuntik vaksin. Ketakutan ini didasarkan pada keraguan akan jaminan keamanan vaksin yang disuntikan. Vaksin Sinovac masih menjalani uji klinis tahap tiga. Artinya pengujian belum selesai. Masih butuh waktu yang panjang untuk sampai pada penyelesaian uji klinis tersebut. Namun sudah dipaksakan untuk disuntikan. Tentu hari ini kita akan menyaksikan penyuntikan perdana atas diri Presiden Jokowi. Belajar dari karakter bawaan Presiden yang senang pada pencitraan, maka penyuntikan yang dilakukan mesti diperhatikan dengan seksama. Teliti benar isi vaksin, maupun cara penyuntikan. Presiden tak boleh bohong atau mekakukan rekayasa kepada rakyatnya sendiri. Jika sampai terjadi suntukan vaksin yang rekayasa dan pencitraan, maka tentu akan berdampak besar. Disamping akumulasi dari kebohongan juga bakal menjadi bagian dari penyunyikan skandal vaksin. Penolakan untuk divaksin karena keraguan keamanan khususnya vaksin China ini terjadi dimana-mana. Penolakan hampir terjadi seluruh belahan dunia. Kalangan tenaga medis sebagai klaster pertama target penyuntikan, ternyata banyak yang menyatakan menolak dan tak bersedia disuntik. Video Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir yang tak mau disuntik pertama, viral kembali. Begitu juga teraktual video anggota DPR Faksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning yang tegas-tegas menolak untuk divaksin. Ribka juga mengatakan menolak anak-cucunya divaksin. Ribka bilang, lebih baik memilik untuk didenda daripada di suntik vaksin. “Memaksakan untuk melakukan penyuntikan vaksin adalah perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), “kata Ribka Tjiptaning. Sementara di tingkat elit dan kalangan medis saja banyak yang ragu dan menolak. Apalagi untuk masyarakat kebanyakan. Wajar saja kalau makin banyak masyarakat yang ragu dengan penyuntikan vaksin sinovac ini. Belum lagi soal kehalalan vaksin yang masih menjadi persoalan. Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin terkesan harus "mengemis-ngemis" agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa halal untuk vaksin sinovac. Soal halal haram tidak boleh dikaitkan dengan kebutuhan politik dan ekonomi. Jika program vaksin gagal, yakni tidak memenuhi target, maka berapa Trilyun kerugian negara yang secara tergesa-gesa telah membeli vaksin Cina Sinovac. Padahal vaksin ini ditolek oleh banyak negara di dunia. Kecurigaan terjadinya bisnis vaksin tersebut dikemukakan oleh banyak kalangan, termasuk anggota DPR Fraksi PDIP dr. Ribka Tjiptaning. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya mulai menyisir akibat kerugian negara yang mungkin terjadi dari korupsi vaksin sinovac ini. Sementara DPR yang "kritis" soal vaksin juga harus mengejar pertanggungjawaban Presiden atas problema vaksin yang merugikan keuangan negara tersebut. Skandal vaksin sinovac harus dicegah dan dipertanggungjawabkan. Rakyat jangan menjadi obyek mainan dengan dalih apapun termasuk kesehatan.Gagal vaksin adalah manifestasi dari Presiden yang gagal. Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.

Satgas Covid-19, “Vaksin Bukan Obat!”

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Kamis (07/01). Ada pernyataan menarik yang ditulis CNN Indonesia, Senin (28/12/2020 11:01 WIB), dikutip dari laman resmi #SatgasCovid-19. Di laman resminya, #SatgasCovid-19 meluruskan bahwa vaksin tidak sama dengan obat, vaksin tak bisa disebut sebagai obat suatu penyakit. “Vaksin bukanlah obat. Vaksin mendorong pembentukan kekebalan spesifik pada penyakit Covid-19 agar terhindar dari tertular ataupun kemungkinan sakit berat,” begitu tulisan di laman Satgas Covid-19, Minggu (27/12/2020). Sekitar 1,2 juta dosis calon vaksin Covid-19 yang berada di PT Bio Farma, Kota Bandung, Jawa Barat, mulai didistribusikan ke provinsi. Vaksin Sinovac tersebut masih terus diawasi penelitiannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Setelah ada vaksin yang memegang persetujuan edar dan guna dari BPOM, maka vaksinasi nasional akan dilakukan. Tenaga medis menjadi kelompok prioritas yang akan terlebih dahulu menerima vaksin Covid-19. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri telah mengamankan anggaran senilai Rp 54,44 triliun untuk pemenuhan vaksin corona atau covid-19 secara gratis kepada masyarakat pada 2021. Kementerian PPN atau Bappenas mengungkapkan, Indonesia sudah memesan sekitar 371 juta dosis vaksin covid-19. Vaksin tersebut dipesan dari beberapa perusahaan farmasi asing. Menurut Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, angka pesanan itu diperoleh dari Komite Penanganan Covid-19 dan Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN). “Secara total sampai 2022 ada 371 juta vaksin, itu sudah direncanakan dalam KPC-PEN,” ujarnya dalam konferensi pada akhir tahun Kementerian PPN/Bappenas, Senin (28/12/2020). Vaksin covid-19 dipesan untuk kedatangan pada 2021 dan 2022 mendatang. Detailnya, Indonesia telah memesan vaksin covid-19 dari Sinovac sebanyak 116 juta dosis pada 2021 dan Novavax sebanyak 52 juta dosis di 2021. Lalu, vaksin covid-19 dari Pfizer Inc and BioNtech 45 juta dosis di 2021, AstraZeneca 50 juta dosis dan terakhir Covax sebanyak 12 juta dosis. Covax adalah inisiatif WHO dengan membuat aliansi untuk mendapatkan vaksin bagi negara yang besar maupun akses financial terbatas. Nantinya, vaksin yang berasal dari aliansi Covax itu merupakan vaksin yang ada di pasaran seperti AstraZeneca, Pfizer hingga Sinovac. “Jika semua sudah diorder 3 merek terakhir saya sebutkan ada 275 juta vaksin yang akan bisa diperoleh 2021,” tambahnya. Selain itu, Indonesia juga telah memesan kebutuhan vaksin covid-19 untuk 2022 mendatang. Vaksin dari Sinovac dan Novavax dengan total sebanyak 87 juta dosis. Sebelumnya, pemerintah telah mendatangkan vaksin Sinovac sebanyak 1,2 juta dosis pada Minggu (6/12/2020). Selanjutnya, kloter berikutnya akan datang sebanyak 1,8 juta dosis, sehingga totalnya mencapai 3 juta dosis. Kemenkes sudah menetapkan 6 jenis vaksin covid-19 yang dapat digunakan di Indonesia. Keenam vaksin tersebut diproduksi oleh PT Bio Farma (Persero), AstraZeneca, dan China National Pharmaceutical Group Corporation (Sinopharm). Selanjutnya, ada vaksin covid-19 buatan Moderna, Pfizer Inc and BioNtech, serta Sinovac Biotech. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menkes Nomor HK.01.07/ Menkes/ 9860/ 2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin Untuk Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19. Namun, 6 vaksin tersebut baru bisa digunakan ketika mendapatkan izin edar atau persetujuan penggunaan pada masa darurat (Emergency Use Authorization-EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Seperti dilansir Merdeka.com, Senin (4 Januari 2021 16:16), Kepala BPOM Penny K Lukito mengingatkan, vaksin Covid-19 Sinovac yang sudah didistribusikan ke sejumlah daerah itu belum boleh disuntikkan. Sebab, masih belum mengantongi izin EUA. “EUA masih berproses, tapi vaksin sudah diberikan izin khusus untuk didistribusikan karena membutuhkan waktu untuk sampai ke seluruh daerah target di Indonesia,” kata Penny kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/1/2021). Ia mengatakan, seperti diberitakan Antara, proses penyuntikan vaksin Covid-19 hanya boleh dilakukan jika sudah mendapatkan EUA. BPOM akan terus mengevaluasi uji klinis Sinovac di Bandung. Selain itu, BPOM akan terus mengkaji secara seksama berbagai hal terkait vaksin Covid-19, termasuk data dari berbagai negara terkait uji klinis antivirus SARS-CoV-2 tersebut. Menariknya, meskipun belum mengantongi EUA dari BPOM, ternyata Menkes Budi Gunadi Sadikin mengatakan penyuntikan Vaksin Covid-19 dilakukan serentak di 34 provinsi pada 13 Januari 2021. Menurutnya, hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dan partisipasi tenaga kesehatan dan publik dalam program vaksinasi gratis bertahap. “Arahan Bapak Presiden jelas, akan dilakukan secara serentak, diawali di pusat, kemudian dilanjutkan di daerah, melibatkan tokoh masyarakat dan kalau ada tokoh kesehatan atau figur dokter yang berpengaruh, misalnya, untuk diikutsertakan,” ucapnya, Selasa (5/1/2021). Sebagai Menkes, seharusnya Budi Gunadi tidak boleh memaksakan percepatan evaluasi atas suatu hasil uji klinis vaksin Sinovac. Evaluasi uji klinis itu tidak bisa disamakan dengan uji laboratorium seperti potensi tambang yang sebelumnya digelutinya. Sebagai Presiden, Joko Widodo juga tidak boleh menekan Menkes agar segera memvaksin nakes, sebelum BPOM mengizinkan EUA. Sebab, uji klinis pada relawan itu juga tak sama dengan uji laboratorium hasil hutan yang bisa dihitung waktunya. Jadi, seharusnya Menkes tidak bisa memutuskan vaksinasi dimulai pada 13 Januari 2021, padahal BPOM baru akan mengumumkan pada 15 Januari 2021. Tim riset uji klinis vaksin corona Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran mengatakan, hasil uji keamanan dan efikasi vaksin Covid-19 Sinovac di Bandung akan diumumkan pada 15 Januari 2021. Pengumuman akan disampaikan oleh BPOM. “(Diumumkan) pada tanggal 15 Januari oleh BPOM,” kata Eddy Fadlyana, manajer tim riset Fakultas Kedokteran Unpad, melalui pesan singkat, Senin (4/1/2021). Yang menjadi pertanyaan, mengapa Pemerintah terkesan buru-buru melakuka vaksinasi ini? Padahal, hitungan secara medis dan uji klinis pun belum tuntas? China sendiri tidak memakai Sinovac untuk memvaksin rakyatnya. Vaksin (memang) bukan obat! Untuk apa kita beli? Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id

Vaksin Monyet

by Mochamad Toha Surabaya, FNN - Senin (04/01). Tahukah Anda bahwa salah satu bahan Vaksin COVID-19 merk Sinovac itu dari Vero Cell atau jaringan kera hijau Afrika? Juga virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya, seperti boraks, formaline, aluminium, dan merkuri? Itulah fakta yang tertulis di kemasan Vaksin Sinovac dari China. Kita soroti Vaksin Sinovac ini tak bermaksud diskriminasi atas produk China, meski Pemerintah sudah memesan produk serupa dari negara lainnya. Tapi, karena Sinovac itu sudah masuk ke Indonesia. Sesaat setelah mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pun Sinovac mendapat pengawalan yang super ketat dengan mobil petugas yang meraung-raung sirinenya. Pertanda, yang dikawal ini “barang penting”, khawatir dibajak oleh pencoleng atau bajing loncat jalanan. Dari referensi ahli ditemukan, vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Menariknya, China tidak memakai Sinovac untuk vaksin warganya. Jika benar yang digunakan sampel cairan tubuh pasien di 5 negara itu, mengapa kita percaya begitu saja dengan vaksin yang virusnya “tidak kenal” dengan cairan tubuh pasien Covid-19 asli Indonesia? Jadi, tidak ada jaminan Sinovac membuat heard immunity rakyat kita! China sendiri hingga kini juga belum berhasil mengatasi Covid-19. Di China pun muncul varian baru yang dituduh berasal dari Inggris: VUI - 202012/01. “Tidak perlu panik,” ujar Xu Wenbo, seorang pejabat Chinese Center for Disease Control and Prevention (CDC), kepada TV Pemerintah, seperti dikutip Reuters, Sabtu (2/2/2021). “Varian yang bermutasi, dibandingkan dengan varian sebelumnya .... sejauh ini belum ada perubahan yang jelas dalam kemampuannya menyebabkan penyakit,” lanjutnya. China telah mengonfirmasi kasus pertama varian baru virus corona pada Rabu (30/12/2020). Ia adalah seorang siswi berusia 23 tahun yang baru kembali dari Inggris, Senin, 14 Desember 2020. Beberapa tindakan pengendalian telah diterapkan dalam menanggapi kasus ini. Pasien telah dipindahkan ke institusi medis yang ditunjuk untuk isolasi dan pengobatan. Ini menimbulkan potensi ancaman besar bagi pencegahan dan pengendalian Covid-19 di China. Dari pernyataan CDC China itu saja tampak kekhawatiran China munculnya varian baru virus corona ini. Apalagi, saat wabah virus flu burung, China pernah gagal menanganinya. Kasus flu burung di China telah memakan korban cukup banyak. Epideimolog dari Griffith University, Dicky Budiman menyebut situasi pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini akan memasuki masa kritis. Langkah pemerintah dalam beberapa waktu ke depan dinilai sangat menentukan nasib rakyat. “Kondisi Indonesia saat ini dan dalam 3 sampai 6 bulan ke depan (kita) memasuki masa kritis mengingat semua indikator termasuk angka kematian semakin meningkat,” kata Dicky, Sabtu (2/1/2020). Menurut Dicky, ada pemahaman yang keliru jika masyarakat mengira dengan adanya vaksin semua akan selesai. Sebab, vaksin itu bukan solusi ajaib, tapi hanyalah salah satu cara untuk membangun kekebalan individual dan perlindungan masyarakat. “Harus diketahui bahwa tidak ada vaksin yang sempurna memberi perlindungan. Sebagian kecil penerima vaksin masih memungkinkan untuk tertular Covid-19 hanya saja diharapkan dampaknya tidak terlalu parah,” katanya. Disebutkan, berdasarkan data sejarah sejauh ini tak ada pandemi yang selesai dengan vaksin. Contohnya, pandemi cacar, walau sudah ada vaksin, selesainya dalam 200 tahun. Kemudian polio baru selesai dalam 50 tahun. “Covid-19 pun sama, bukan berarti setelah disuntikan langsung hilang. Akan perlu bertahun-tahun untuk mencapai tujuan herd immunity,” ujar Dicky. Semisal, lebih dari 1 juta warga Israel sudah disuntik vaksin Covid-19, pada akhir 2020. Tapi, diantara 1 juta orang yang divaksin tersebut ada 240 orang yang dinyatakan positif Covid-19 usai menerima vaksinasi sebagaimana dikutip dari Sputniknews. Bisa saja dalam rentang waktu tersebut memang masih memungkinkan si pasien terinfeksi virus Corona. Ingat, China sendiri ternyata mengimpor vaksin Pfizer. Tidak menggunakan Sinovac! Vaksin Sinovac sudah jelas, termasuk vaksin yang bahannya menggunakan virus yang sudah “dilemahkan”. Ini sesuai dengan kemasannya: SARS-Cov-2 Vaccine (Vero Cell), Inactivated. Vaksin jenis ini tidak mudah dikembangkan dalam waktu cepat. Jika memang Vaksin Sinovac yang Uji Klinis di Indonesia itu dari Virus Corona yang sudah “dilemahkan”, itu sama saja dengan China sedang menginfeksi masyarakat Indonesia dengan Covid-19 secara massal. Sebab, di antara virus yang “dimatikan” itu, dipastikan ada yang dorman (tidur). Nah, virus dorman dan dikira mati inilah pada saat atau dengan suhu tertentu akan hidup lagi! Yang dikira tidur dan terbangun kembali itulah yang kemudian mereplikasi dirinya lebih kuat lagi daya tularnya dengan jangkauan yang lebih luas. Jika tak ingin lebih parah lagi, batalkan rencana vaksinasi massal ini. Balikin Sinovac ke China! Lindungi nyawa para nakes! Karena mereka-lah garda terdepan dalam penanganan Covid-19. Di Indonesia masih ada ahli yang mampu membuat “ramuan” untuk pasien Corona! Ketika musim haji pada 2012 mewabah Flu Burung varian baru, New Corona, di sekitar Arab Saudi, tidak ada satupun produk vaksin yang dikirim ke sana itu dari China, Amerika Serikat atau negara lainnya yang selama ini dikenal sebagai produsen virus! Tahukah Anda, yang dikirim ke Arab Saudi itu formula yang diramu ahli asli Indonesia yang dikemas dalam bentuk ampul vaksin. Atas permintaan Unicef, sebanyak 5.000 liter formula itu dikemas oleh PT OM dalam ampul vaksin. Pengiriman ke Arab Saudi diatasnamakan Unicef, kemudian dibagikan untuk jamaah haji dan relatif berhasil menghindarkan jamaah haji dari wabah new corona. Ramuan ahli yang sama dengan merk BJ dikirim ke Glenn Eagles, Singapore dan RS Malaya Malaysia, diberi merk sendiri, dengan indikasi untuk toksoplasma dan flu burung. Jika ada political will, Pemerintah tidak perlu vaksin rakyat dengan Vaksin Monyet. Karena kita punya ahlinya! Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

Vaksin Sinovac dari Vero Cell: Mengandung Virus Hidup yang Dilemahkan!

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Minggu (03/01). Narasi berupa peringatan beredar luas di WA Group dan media sosial. Entah dari mana dan siapa yang pertama kali menulis dan mengedarkannya. Namun, jika diamati, memang seperti itulah faktanya. Bukan hoax dan bukan pula mengada-ada. Coba perhatikan kemasan Vaksin Sinovac Covid-19 yang akan di suntikkan kepada warga. Jelas bertuliskan “Only for clinical trial” (Hanya untuk uji coba klinis alias untuk kelinci percobaan). Dan perhatikan “Composition and Description” Yaitu berasal dari Vero Cell atau berasal dari jaringan Kera hijau Afrika (Jelas tidak halal), kemudian mengandung Virus hidup yang dilemahkan, dan mengandung bahan dasar berbahaya (Boraks, formaline, aluminium, merkuri, dll). Belum lagi yang tidak tertulis pada kemasan yaitu tidak ada jaminan tidak tertular penyakit setelah di vaksin dan tidak ada jaminan atau kompensasi dari perusahaan Sinovac jika terjadi cedera vaksin atau KIPI pada korban Vaksin. Sumber yang membahas efek samping vaksin Sinovac Covid-19: Hasil keterangan FDA klik https://www.fda.gov/media/143557/download?fbclid=IwAR2U4e-sAyI1FmRSsxwFncalEoEoPVEoLI6y2zFLWL2Y7QtCzpToO41sMwM Hasbunallah wani'mal wakiil. Coba kita simak ulasan Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB. Bagaimana Vaksin Sinovac merangsang pembentukan antibodi. Vaksin Sinovac dibuat dengan salah satu teknologi yang paling kuno, yang sudah digunakan sejak 100 tahun yang lalu. Yaitu menggunakan virus Covid-19 yang telah “dinonaktifkan” atau “dimatikan”. Berarti benar: mengandung virus hidup yang dilemahkan. Sinovac mengumpulkan sampel cairan tubuh yang mengandung virus dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China sendiri digunakan sebagai dasar vaksin. Dari sini nanti juga bisa menjawab: Mengapa dengan menggunakan teknologi yang sama bisa menghasilkan efikasi vaksin yang berbeda? Mengapa diperlukan uji klinis internasional untuk mengukur efikasi yang lebih baik, karena produknya kelak juga akan dipasarkan ke berbagai negara? Bagaimana cara membunuh virus Covid-19? Para peneliti di Sinovac memiliki kultur virus dalam jumlah besar di sel-sel ginjal monyet, yang mereka pilih sebagai hewan percobaan. Virus tersebut kemudian dibunuh dengan zat kimia beta-propiolactone, yang akan berikatan dengan gen-gen virus. Akibatnya virus tidak bisa lagi melakukan replikasi (membelah diri, beranak-pinak). Namun spike proteinnya yang menonjol di bagian luar virus tetap utuh. Virus tersebut kemudian “diekstraksi” dan dicampur dengan adjuvant, yaitu senyawa berbasis alumunium. Fungsi adjuvant dalam proses vaksinasi adalah untuk merangsang sistem immune tubuh kita merespon terhadap vaksin yang disuntikkan. Karena virusnya sudah mati, maka penyuntikan vaksin tidak akan menyebabkan seseorang terinfeksi virus Covid-19. Setelah berada di dalam tubuh kita virus tersebut akan dimakan (difagositosis) oleh salah satu jenis sel immune yang bernama sel T, yang memiliki bagian yang disebut dengan “antigen-presenting cell”. Antigen-presenting cell ini akan melumatkan virus dan menyisakan sebagian fragmennya di permukaan tubuhnya. Nantinya sel immune yang lain, yaitu Helper T cell akan mengenali fragmen tersebut. Jika fragmen tersebut cocok dengan protein yang ada di permukaan Helper T cell, maka sel-sel T akan diaktifkan, dan mengundang sel-sel immune yang lain untuk merespon terhadap vaksin. Sel immune lainnya yang bernama sel B juga akan menemukan fragmen protein virus. Sel B memiliki protein di permukaan tubuhnya dengan berbagai bentuk, yang beberapa diantaranya mungkin akan cocok untuk berikatan dengan fragmen protein virus Covid-19. Jika sudah berikatan, sel B akan menarik sebagian atau keseluruhan fragmen tersebut ke dalam tubuhnya kemudian mulai memproduksi antibodi yang cocok dengan bentuk permukaan virus. Produksi antibodi setelah vaksinasi ini belum diketahui akan berlangsung selama berapa bulan. Itu sebabnya kelak jika diajukan permohonan izin edar, bukan Emergency Use of Authorization, monitoring titer antibodi dan kemampuan mencegah terinfeksi akan berlangsung selama 2-4 tahun, bukan sekedar 3-6 bulan. Setelah divaksinasi sistem immune akan merespon jika kelak terjadi infeksi oleh virus Covid-19 yang hidup. Sel-sel B akan segera mengenali virus tersebut dan menghasilkan antibodi yang akan berikatan/menetralkan virus melalui spike proteinnya, sehingga virus tidak bisa memasuki sel-sel tubuh kita. Meskipun dalam waktu beberapa bulan tetelah vaksinasi titer antibodi akan berkurang, tapi tubuh kita memiliki memori B cells, yang akan mengingat bentuk virus Covid-19 hingga bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun kemudian. Jika suatu hari kelak virus Covid-19 mencoba menginfeksi, maka sel-sel B akan segera memproduksi antibodinya untuk mencegah infeksi. Vaksin Sinovac Pada Januari 2020: Sinovac mulai mengembangkan vaksin dari virus yang sudah dimatikan. Kemudian pada Juni melakukan uji klinis kombinasi fase 1 dan 2. Volunteers 743 orang. Hasil uji keamanan: tidak ditemukan reaksi yang tidak diharapkan dengan kategori parah. Pada Juli uji klinis fase 3 di Brazil, diikuti dengan Indonesia dan Turki. Pada Oktober pihak berwenang di China bagian timur, Jiaxing, memberikan vaksin tersebut pada kelompok yang berisiko tinggi tertular: tenaga kesehatan, inspektor di pelabuhan dan petugas layanan publik. Tidak disebutkan berapa jumlah orang yang divaksinasi. Pada Oktober 2020 pejabat di Brazil mengatakan bahwa vaksin Sinovac adalah yang paling aman dari 3 vaksin yang sedang diuji klinis fase 3 di sana. Pada 19 November 2020 Sinovac mempublikasikan hasil uji klinis fase 1 dan 2 di jurnal ilmiah Lancet. Hasilnya: produksi antibodi yang dirangsang oleh vaksin hanya memiliki titer sedang saja. Hanya uji klinis fase 3 yang kelak akan membuktikan apakah itu cukup untuk melindungi orang dari tertular Covid-19. Pada 18 November 2020: pemerintah Brazil mengumumkan mereka menghentikan sementara uji klinis fase 3-nya karena adanya reaksi yang tidak diharapkan (katanya paling aman?). Dua hari berikutnya uji dilanjutkan. Tak ada penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Brazil mengatakan sudah mendapat cukup data volunteers yang tertular infeksi, sehingga efikasinya sudah bisa dihitung. Mereka berencana mengumumkan laporannya, 23 Desember 2020. Tapi diundur 15 hari kemudian. Apakah vaksin Pfizer, Moderna atau Sinovac efektif untuk virus strain baru, maka jawaban Arie Karimah adalah: “Sains membutuhkan Bukti Ilmiah untuk mengklaim sesuatu. Kalau ingin tahu efektif atau tidak ya perlu dilakukan dulu uji klinis selama 3-6 bulan”. Tentu para ilmuwan juga melakukan prediksi ini. Tapi anda perlu membaca dulu untuk bisa memahaminya. Tidak bisa jump into conclusion. Pahami dulu apa itu mutasi genetik dan bagaimana vaksin Pfizer, Moderna atau Sinovac dulu dikembangkan sebelum strain baru ini ditemukan. Virus Covid adalah membran berminyak yang berisi instruksi genetik untuk membuat jutaan copy “tubuh”nya sendiri. Instruksi tersebut tertanam dalam bentuk kode di 30.000 “surat” RNA: a, c, g dan u. Saat virus menginfeksi sel tubuh kita, dengan cara spike proteinnya berikatan dengan reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzyme), maka virus akan memasukkan materi genetiknya ke dalam sel tubuh kita dan mengambil alih fungsi reproduksi sel yang dilakukan ribosome. Satu sel-sel tubuh kita yang terinfeksi bisa menghasilkan jutaan anak-anak virus, semua itu membawa copies dari original genome, yaitu semua DNA yang terdapat pada virus induknya. Tapi, saat sel tubuh kita memperbanyak genome, kadang-kadang terjadi kesalahan, umumnya hanya 1 dari 30.000 “surat” RNA. “Salah ketik” inilah yang dikenal sebagai Mutasi. “Jadi mutasi adalah perubahan kecil yang bersifat acak pada materi genetik virus, yang terjadi ketika terjadi proses replikasi (reproduksi),” ungkap Arie Karimah. Ketika virus menyebar dari orang ke orang maka mutasi-mutasi itu akan terkumpul secara acak. Berikut contoh genome dari salah seorang pasien di Wuhan yang identik dengan kasus pertama. Perbedaan atau mutasinya hanya terjadi pada surat ke 186, yang tertulis u bukan c. Setelah beberapa bulan menginfeksi dan menyebar, maka sebagian genome virus sudah mengalami berbagai mutasi. Selama pandemik telah terdeteksi lebih dari 4.000 mutasi di area spike protein. Bagian genome yang sudah mengumpulkan banyak mutasi bersifat lebih fleksibel. Mereka dapat mentoleransi perubahan urutan genetik mereka tanpa membahayakan eksistensi virus itu sendiri, sedangkan bagian yang hanya mengalami sedikit mutasi justru lebih rentan. Mutasi pada bagian ini mungkin bisa saja menghancurkan virus, karena menyebabkan perubahan yang membahayakan pada bagian proteinnya. Bagian ini sering dijadikan sebagai target cara kerja obat antivirus. Mutasi genome virus covid sebanyak 10 atau kurang dianggap biasa, dan hanya sedikit virus yang mengalami mutasi lebih dari 20, kurang dari seperseribu dari total genome. Posisi dan banyaknya mutasi yang telah terjadi bisa diketahui dengan cara sequencing genomes. *** Penulis wartawan senior FNN.co.id

Tegas, Peraturan Perundangan Bolehkan Rakyat Tolak Vaksin Covid Bermasalah!

By Mochamad Toha Surabaya, FNN - Minggu (03/01). Diberitakan, tiga Uskup senior Australia mengkritik keras Vaksin Corona/COVID-19 buatan Universitas Oxford, Inggris dan perusahaan farmasi AstraZeneca yang memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. WowKeren Aug 26, 2020 menulis, Universitas Oxford, bersama dengan perusahaan farmasi AstraZeneca tengah mengembangkan vaksin untuk Covid-19. Vaksin tersebut telah dipesan oleh Pemerintah Australia. Sayangnya, vaksin tersebut justru menuai kritikan keras dari 3 orang uskup senior Australia, lantaran memiliki masalah etis karena terbuat dari sel-sel janin yang sengaja digugurkan. Pemerintah Australia sendiri pada Senin (24/8/2020) mengatakan, komunitas keagamaan tak perlu risau, karena tak ada masalah etis terkait vaksin yang sudah dipesan sebanyak 25 juta dosis itu. Vaksin Covid-19 milik AstraZeneca saat ini menjadi kandidat paling siap untuk diproduksi dan jadi rebutan banyak negara. Dalam proses pengembangannya itu mereka menggunakan sel-sel ginjal janin yang sengaja digugurkan. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, praktik seperti itu sendiri sudah biasa dilakukan dalam dunia medis. Namun, pada Kamis (20/8/2020), Uskup Agung Gereja Anglikan, Glenn Davies; Uskup Agung Sidney (Katolik), Anthony Fisher; dan pemimpin Gereja Ortodoks Yunani Australia, Uskup Makarios Griniezakis menyatakan keberatannya terkait vaksin Covid-19. Mereka mengirim surat kepada PM Australia Scott Morrison. Para uskup itu mengatakan, mereka mendukung adanya vaksin COVID-19, tetapi penggunaan “sel-sel janin sesungguhnya adalah sesuatu yang sangat tidak bermoral.” Terlepas dari polemik para uskup Australia tersebut, apakah rakyat atau warga negara di Indonesia punya hak untuk menolak vaksinasi atau imunisasi, meski Pemerintah sudah mengeluarkan “Surat Perintah” vaksinasi Covid-19? Berhak Menolak Seperti disebutkan di dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004, Hak dan Kewajiban Pasien Pasal (52), pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran dan kesehatan mempunyai hak: 1. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud pasal 45 ayat (3); 2. Meminta pendapat dokter atau dokter yang lain; 3. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; 4. Menolak Tindakan Medis, dan; 5. Mendapatkan isi rekam medis. Pasien bisa menyatakan menolak dilakukannya tindakan Vaksinasi atau Imunisasi padanya dengan alasan: Pertama, UUD 1945 Pasal 29 ayat 2, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Hal ini terkait status kehalalan vaksin yang sudah diberitahukan oleh MUI bahwa vaksin pada anak belum bersertifikasi halal. Menjalani hidup dan kehidupan adalah pilihan, halal dan haram adalah ketentuan. “La iqraha fiddin”, tidak ada pemaksaan dalam agama apalagi untuk perkara duniawi. Kedua, UUD 1945 pasal 28G ayat 1, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, dan harta benda dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan Hak Asasi.” Jadi, setiap orang berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari ancaman. Ketiga, UUD 1945 Pasal 28I ayat 1-2:(1),“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” (2), ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.” Keempat, Pasal 28b ayat 2: “Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan demikian, pasien atau rakyat berhak atas perlindungan dari intimidasi serta diskriminasi karena pilihan untuk tidak memberikan vaksin pada anaknya. Kelima, Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008 dan UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 45, tentang informed consent, yaitu persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien. Di Indonesia, informed consent secara yuridis formal terdapat pada pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 Tahun 1988, dipertegas lagi dengan Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik/informed consent. Keenam, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1, “Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.” Ketujuh, UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 45 ayat 1, “Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak dan merawat sejak dalam kandungan.” Ini bentuk perlindungan rakyat atas status kehalalan dan keamanan vaksin dan perlindungan terhadap Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI), Efek Negatif Vaksin, Vitamin K Sintetis dan sejenisnya. Kedelapan, UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal, produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai syariat islam yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Kesembilan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur barang atau jasa yang bersifat halal. Kesepuluh, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang kewajiban memberikan perlindungan pada anak berdasakan asas-asas non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak hidup dan kelangsungan hidup, dan penghargaan terhadap pendapat anak. Kesebelas, UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Hak-hak sipil meliputi hak hidup; hak bebas dari siksaan, penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat; hak atas praduga tak bersalah; hak kebebasan berpikir; hak berkeyakinan dan beragama; hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan orang lain; hak perlindungan anak; hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Keduabelas, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Mengenai status kehalalan vaksin yang ternyata belakangan dibantah oleh MUI dan Halal Watch. Mengenai kasus-kasus kejadian KIPI yang diinformasikan di media-media massa maupun media sosial dan penjelasan mengenai wabah. Ketigabelas, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, penjelasan pasal 5 ayat 1: bahwa upaya penanggulangan wabah haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat setempat, antara lain: agama. Status halal haram itu dalam agama Islam adalah hal yang essensial; Pasal 6: bahwasannya keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan wabah tidak mengandung paksaan. Keempatbelas, UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pasal 5 ayat 2 dan 3, hak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman dan hak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan baginya. Pasal 7, tentang mendapatkan informasi dan edukasi yang seimbang dan bertanggung jawab. Pasal 8, berhak mendapatkan informasi tentang data kesehatan dirinya, termasuk tindakan yang telah dan akan diterima dari tenaga kesehatan. Kelimabelas, Permenkes Nomor 12 Tahun 2017, pasal 26 ayat 2 poin b, pengecualian penyelenggaraan imunisasi program bagi orang tua/wali yang menolak menggunakan vaksin yang disediakan pemerintah. Keenambelas, Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2016, ketentuan hukum, bahwa hukum imunisasi adalah mubah, kewajiban menggunakan vaksin yang halal dan suci. Sedangkan alasan darurat yang disyaratkan harus dengan fatwa ulama atau ahli terkait, Bukan Fatwa Dokter! Kewajiban pemerintah menyediakan vaksin halal dan melakukan sertifikasi halal kepada produsen vaksin sesuai dengan peraturaan perundang-undangan. Orang tua memang wajib memberikan dukungan pada program pemerintah, tapi pelaksanaan imunisasi itu tidak wajib, karena penceghan terhadap penyakit akibat virus atau bakteri bisa dilakukan dengan cara lain yaitu dengan meningkatkan antibodi. Terkait program vaksinasi untuk masyarakat yang mau menerimanya tersebut, maka kewajiban pemerintah untuk menjamin penyediaan vaksin yang Halal adalah “Mutlak”. Mereka wajib menyertakan alasan dan landasan hukum atas tindakan yang dipilih. Karena menolak, rakyat berhak pula menolak bentuk “Intimidasi” dan “Diskriminasi” serta menolak tindakan pemberian vaksin pada anaknya di luar sepengetahuannya. Dan, bila tetap dilakukan, maka rakyat bisa mengajukan Tuntutan Hukum baik terjadi Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dalam jangka pendek ataupun panjang, ataupun tidak. Serta jika terjadi KIPI pada anak mereka, maka semua pihak yang terkait harus membiayai seluruh terapi dan pengobatan saat dan pasca KIPI Seumur Hidup anaknya. Dan, bahwasannya anak-anak dan keluarga yang tidak divaksin maupun yang divaksin itu juga memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, oleh karena itu rakyat menolak diskriminasi dan intimidasi atas keputusannya tersebut. Terakhir, yang perlu dicatat, hingga kini WHO juga belum menyatakan ketersediaan Vaksin Covid-19 hingga 2021. Penulis wartawan senior FNN.co.id

Adu Cepat: Vaksin vs Mutasi Covid-19, Pemerintah Harus Tanggap!

By Mochamad Toha Surabaya FNN - Senin (28/12). Seperti yang saya tulis sebelumnya, varian Covid-19 yang mutasinya yang begitu cepat akan membuat Vaksin Covid-19 yang kini dikembangkan di berbagai negara bakal masuk kategori “vaksin jadul”, karena tak akan bisa mengimbangi Covid-19 yang terus bermutasi. “Sudah pernah saya uraikan tentang Covid-19, adanya gelombang 1, gelombang 2, gelombang 3, dan akan ada gelombang ke 4,” ungkap seorang sumber yang selalu mempelajari karakter Covid-19 sejak pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubai, China, akhir 2019. Covid-19 semula menyerang saluran pernafasan, kemudian saluran pencernaan, syaraf, mata, yang diikuti dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya. Orang-orang yang di tubuhnya ada proses infeksi, tentu wajar kalau diikuti dengan keluhan linu-linu di berbagai persendian, lemah, loyo, pengantukan, dan sebagainya. Itu gejala-gejala wajar yang menyertainya. Salah satu ciri khas dari virus Covid-19 itu akan mudah menempel, dan meriplikasi selnya, setelah menempel pada selaput mukosa-mukosa. Pada selaput mukosa-mukosa itulah protein sarana mereka regeneratif itu menjadi mudah berkembang . Mukosa itu lapisan lembut berlendir, seperti bibir mulut, tenggorokan, hidung, dan mata. Dari mukosa-mukosa itulah, mereka akan menyebar ke saluran pernafasan atau pencernaan, dan seterusnya. “Dan amat sering kami temukan kasus-kasus yang ditandai dengan gejala-gejala sakit perut, diare, setelah sekian hari, di paru-parunya sudah terjadi pneumonia advanced/serius, merata,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya itu. Menurutnya, ada yang positif thypus lewat tes widal, tapi imunoserologinya negatif. Bahkan, ada yang fungsi livernya terganggu, yang ditandai dengan SGPT, SGOT tinggi, “tapi HbsAg-nya negatif. Setelah di-swab, positif.” “Makanya kami amat sering menyampaikan ke siapapun yang sakit panas, disertai dengan gejala-gejala di saluran pernafasan, saluran pencernaan, atau lainnya, sebagai berikut: Lebih baik kita menduga positif covid,” tambahnya. “Sehingga segera bisa mengantisipasi secara maksimal. Daripada menduga minimal (non covid), tapi akhirnya kecolongan. Toh, jika menggunakan protokol covid dengan formula yang kami buat, tidak ada efek buruknya,” jelasnya. “Dengan konsep itulah, kami sudah membantu menyelamatkan ribuan orang pasien yang terpapar covid,” ujar sumber tadi. Mengapa mutasi Covid-19 yang menghasilkan berbagai varian itu begitu cepat? Inilah yang perlu dikaji. Perlu diketahui, sifat dasar antibodi, bakteri/virus/hewan, tanaman, dan manusia, jika disakiti, pasti akan melawan, karena untuk mempertahankan keberadaan dirinya. Dipastikan, mereka akan melawan semaksimal yang bisa mereka lakukan, atau menyerah. Pada saat disakiti dengan disinfektan atau apapun sejenisnya, mereka yang tidak mati (tentu sebagian mati, sebagian hidup) itu membiakkan diri beratus-ratus atau beribu-ribu kali lipat, dibanding kalau tidak disakiti. Padahal konsep yang ada saat ini, corona harus dibunuh dengan antivirus atau antiseptik/disinfektan. Naluri virus, yang tidak mati, akan menggandakan diri sebanyak-banyaknya agar eksistensi mereka tetap ada di muka bumi ini. Mereka sebenarnya tidak ingin menyakiti, tetapi setiap ketemu media baru, seperti tangan manusia, bagi mereka, itu media asing yang menakutkan, sehingga mereka meriplikasi diri berkali lipat. Pada saat mereka mampu bertahan hidup, tentu saja mereka sudah menjadi lebih kuat, sudah mengenali semua zat yang membunuhnya, atau sudah merubah asesoris tubuhnya, sehingga bisa dipahami kalau akhirnya sekarang diketahui sudah ada 500 jenis virus corona. Sehingga, menjadi wajar, kalau corona yang tersebar itu: jumlahnya jauh lebih banyak; telah mengalami mutasi genetik; dan lebih kuat. Masalahnya, “siapa yang mempercayainya konsep itu”? Andaikan penglihatan dan pendengaran kita ini dibukakan hijab-nya oleh Allah SWT, bisa berkomunikasi dengan virus itu, bisa memahami sifat mereka, tidak tega menyemprotkan cairan disinfektan kepada mereka. Mereka juga menderita. Mereka takut mati, seperti halnya manusia. Bagaimana gemuruhnya di kalangan mereka ketika itu datang. Serupa dengan hebohnya di kalangan manusia sendiri. Tapi sayangnya, siapa yang mempercayai ungkapan ini? Varian Corona Setelah munculnya laporan mutasi D614G pada Febuari, mutasi A222V dan N439K pada Maret, dan mutasi Y453F pada April, pada 14 Desember 2020, pihak berwenang Inggris Raya (UK) dan Irlandia Utara melaporkan kepada WHO. Yakni varian SARS-CoV-2 baru yang diidentifikasi melalui pengurutan genom virus yang disebut sebagai SARS-CoV-2 VUI 202012/01 (Variant Under Investigation, year 2020, month 12, variant 01) atau B.1.1.7. Publik dikejutkan dengan adanya peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang signifikan di Inggris pada Desember 2020 ini. Terkait hal itu, pakar Epidemiolog Inggris bernama Tim Spector menyampaikan, setidaknya ada 6 gejala Covid-19 yang kemungkinan muncul disebabkan oleh varian baru virus tersebut. Menurut tim yang juga seorang ilmuwan di aplikasi ZOE Covid Symptom Study dan Profesor Epidemiologi Genetik di King's College London itu, varian baru virus corona tersebut telah menyebabkan lonjakan infeksi di Inggris secara keseluruhan. Sebelumnya Lembaga Kesehatan Nasional atau NHS di Inggris merilis tentang tiga gejala utama dari Covid-19 adalah batuk, demam, dan hilangnya indera penciuman. Hasil analisis genomik virus Corona menunjukkan adanya sekelompok mutasi varian baru pada lebih dari separuh kasus Covid-19 di Inggris tersebut. Varian ini dikenal dengan nama VUI 202012/01 yang terdiri dari sekumpulan mutasi antara lain 9 mutasi pada protein S. Varian baru juga ditemukan secara signifikan pada kasus Covid-19 di Afrika Selatan yaitu kombinasi 3 mutasi pada protein S. Hingga sampai hari ini varian VUI 202012/01 telah ditemukan pada 1.2 persen virus pada database GISAID, 99 persen varian tersebut dideteksi di Inggris. Selain di Inggris, varian ini telah ditemukan di Irlandia, Perancis, Belanda, Denmark, Australia. Sedangkan di Asia baru ditemukan pada tiga kasus yaitu Singapura, Hong Kong dan Israel. Mutan SARS-CoV-2 Spike N501Y telah menjadi berita akhir-akhir ini. Inilah yang mereka ketahui. Pertama, Awalnya muncul di area London Raya. Kedua, Ini dapat meningkatkan penularan virus sebanyak 70%. Ketiga, Mutasi terjadi di bagian spike protein (yang digunakan virus untuk menempel dan memasuki sel) yang paling penting untuk mengikat ACE2, protein seluler yang sebenarnya ditempelkan oleh tonjolan tersebut. Keempat, Mutasi tampaknya meningkatkan kemampuan protein lonjakan untuk mengikat ACE2. Kelima, Tidak ada bukti terpercaya bahwa mutasi ini akan mengganggu efikasi vaksin. Keenam, mereka tidak tahu sejauh mana varian baru SARS-CoV-2 ini menyebar. Menurut Ketua Pokja Genetik FK-KMK UGM dr. Gunadi, SpBA, PhD, ada 9 mutasi itu pada VUI 202012/01, ada satu mutasi yang dianggap paling berpengaruh, yaitu mutasi N501Y. Hal ini karena mutasi N501Y terletak pada Receptor Binding Domain (RBD) protein S. “RBD merupakan bagian protein S yang berikatan langsung dengan receptor untuk menginfeksi sel manusia,” kata Dokter Gunadi. Menurutnya, mutasi ini diduga meningkatkan transmisi antar manusia sampai dengan 70%. Namun, mutasi ini belum terbukti lebih berbahaya atau ganas. “Demikian juga, mutasi ini belum terbukti memengaruhi efektivitas vaksin Corona yang ada,” lanjutnya. Varian mutasi virus ini, kata Gunadi, bisa mempengaruhi hasil tes swab PCR apabila tes PCR menggunakan gen S. Sebab, varian baru ini terdiri dari multipel mutasi pada protein S, maka diagnosis Covid-19 sebaiknya tidak menggunakan gen S karena bisa memberikan hasil negatif palsu. Oleh karena itu, peran surveilans genomik (whole genome sequencing) virus corona menjadi sangat penting dalam rangka identifikasi mutasi baru, pelacakan (tracing) asal virus itu dan dilakukan isolasi terhadap pasien dengan mutasi ini. Sehingga penyebaran virus corona bisa dicegah lebih lanjut. Ia mengimbau masyarakat lebih waspada dengan adanya mutasi baru itu, namun tidak perlu disikapi dengan kekhawatiran berlebihan. “Masyarakat tetap harus menerapkan 3M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak dengan menghindari kerumunan,” pungkasnya. “Mutasi ini diduga meningkatkan transmisi antar manusia sampai dengan 70 persen. Namun, mutasi ini belum terbukti lebih berbahaya/ ganas. Demikian juga, mutasi ini belum terbukti mempengaruhi efektivitas vaksin Corona yang ada,” ucapnya. Jika menyimak mutasi Covid-19 D614G di atas tadi, apakah belanja vaksin Sinovac masih efektif dan tetap mau dilakukan? Sebab, varian baru ini, bisa terjadi pada orang yang terkena tidak bergejala, tiba-tiba diketahui sudah pada stadium lanjut. Bisa diketahui, kondisi paru-parunya sudah dipenuhi cairan, dan akhirnya saturasi oksigen sudah rendah, dan sulit tertolong. Sebenarnya dengan varian ini, otomatis vaksin yang kini sedang uji klinis, tidak ada gunanya. Karena ada cairan yang banyak di paru-paru ini, maka kadar oksigen yang bisa diserap oleh paru-paru menjadi sangat sedikit/terbatas. Bisa dibayangkan, jika lendir itu tidak keluar, dan ada di dalam tenggorongkan. Sehingga, menyebabkan saluran nafas buntu. Masih tetap mau menggunakan vaksin Sinovac? Penulis wartawan senior FNN.co.id

Vaksin Covid Masih Meragukan, Pakar: Telusuri Riwayat Uji Klinisnya (2)

by Mochamad Toha Surabaya FNN - Minggu (27/12). Sebenarnya Arie Karimah, Pharma-Excellent, Alumni ITB, sudah pernah memberitahu uji klinisnya harus multicenter, jangan cuma di Bandung, tapi tidak digubris. Alasannya, supaya mudah koordinasinya. Menurutnya, alasan memprioritaskan koordinasi itu “tolot banget”, tapi hasilnya tak ada! “Apanya yang mau dikoordinir? Coba multicenter di zona-zona merah dan kawasan padat penduduk, nggak bakalan pusing mendapatkan kasus terinfeksi,” tegasnya. Problem analysis: Volunteer datang cuma 5x: disuntik 2x, ambil darah dan swab 3x. Tinggal divideo dan kirim datanya. “Terus apa bedanya kalau volunteers itu ada di Bandung, Jakarta, Suroboyo, Sidoarjo, atau kota-kota lain?” lanjut Arie Karimah. “Fakultas Kedokteran Negeri ada di setiap kota besar. Dana Rp 900 triliun lebih itu ke mana?” sindir Arie Karimah. Karena belum ada hasil uji klinis di Bandung, maka Indonesia melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) “merujuk” ke Turki. Seperti dilansir Kompas.com, Jum'at (25/12/2020, 14:04 WIB), Vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh China, Sinovac Biotech, efektif 91,25 persen, menurut data sementara dari hasil uji coba tahap akhir di Turki. Hasil itu berpotensi jauh lebih baik dari pada yang dilaporkan dari uji coba vaksin terpisah di Brasil, seperti yang dilansir dari Inquirer pada Jumat (25/12/2020). Para peneliti di Brasil, yang juga menjalankan uji coba terakhir fase III vaksin, mengatakan pada Rabu (23/12/2020) bahwa suntikan itu lebih dari 50 persen efektif. Benarkah efektivitas Vaksin Sinovac di Turki 91%? Arie Karimah kembali menganalisisnya. Sebelumnya kita perlu mengetahui bagaimana efektivitas atau efikasi suatu produk vaksin Ditentukan/Dihitung: Harus diketahui jumlah total volunteers, berapa yang mendapat vaksin dan berapa yang mendapat plasebo. Umumnya rasio 1:1. Harus ada jumlah tertentu volunteers yang akhirnya tertular infeksi, dibuktikan dengan tes PCR. Jika angka ini Tidak Tercapai, maka efektivitas/efikasi Tidak Boleh Dihitung. Efektivitas atau efikasi dihitung dari jumlah yang tertular tersebut: berapa dari kelompok plasebo, dibagi dengan total jumlah yang tertular, dikalikan 100%. Berikut analisa Arie Karimah atas berita tersebut: Uji Klinis di Turki Global Times, 25 Desember: Efikasi vaksin Sinovac dalam uji klinis di Turki: 91,25%; Volunteers: 13.000. Tidak disebutkan berapa yang masuk kelompok plasebo dan vaksin. Tercatat 20 volunteers akhirnya terinfeksi Covid-19. Tidak disebutkan berapa dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin. Untuk bisa menganalisis efikasi/efektivitas itu diperlukan Minimal 40 orang terinfeksi. Jadi, “Kalau tidak disebutkan berapa yang terinfeksi dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin, bagaimana bisa dihitung efikasinya? Lalu, angka 91,25% itu muncul dari mana?” ujar Arie Karimah. Jumlah minimum volunteers yang terinfeksi Belum Memenuhi Syarat (20 vs 40), bagaimana efikasinya bisa dihitung? Nikkei, Asia, 25 Desember: Efikasi vaksin Sinovac (sementara) dalam uji klinis di Turki 91,25%. Dikabarkan angka ini masih mungkin meningkat lagi karena sekarang jumlah volunteers yang mendapat plasebo sudah semakin berkurang. Pertanyaannya: Kok bisa efikasi dihitung sebelum seluruh volunteers disuntik, sehingga muncul kalimat, “Sekarang jumlah volunteers yang mendapat plasebo sudah semakin berkurang”? “Atau maksud kalimat tersebut: analisa data untuk kelompok plasebo itu hampir selesai, sedangkan kelompok vaksin masih banyak gitu? Kagak jelas blas (sama sekali),” ungkap Arie Karimah. Total jumlah volunteers: 7.371 (berita yang di atas, Global Times, bilangnya 13.000). Yang benar yang mana? Sebanyak 1.322 volunteers digunakan untuk studi efikasi: 752 orang mendapat vaksin, 570 orang mendapat plasebo. Sedangkan 2.964 volunteers digunakan untuk uji keamanan. Pertanyaaannya: Jadi total volunteers untuk uji efikasi dan keamanan hanya 4.286 orang (1.322 + 2.964). Lha sisanya yang 3.085 orang (7.371 – 4.286) untuk apa? “Memangnya uji efikasi dan keamanan tidak dijadikan satu?” tanya Arie Karimah. Efikasi: diambil darahnya, dihitung titer antibodinya. Atau di-swab dan dites PCR. Keamanan: dicatat keluhan yang muncul sebagai efek samping atau adverse reaction. Hasil studi efikasi: Dari 752 orang dalam kelompok vaksin, 3 orang terinfeksi Covid-19 sesuai tes PCR. Dari 570 orang dalam kelompok plasebo, 26 orang terinfeksi Covid-19. Uji klinis masih Harus Dilanjutkan hingga diperoleh minimal 40 orang terinfeksi, agar bisa dihitung efikasinya. “Data di atas baru mencapai 29 orang, jadi Belum Memenuhi Syarat Untuk Bisa Dihitung Efikasinya,” ungkap Arie Karimah. Uji keamanan: melibatkan 2.964 volunteers. Diketahui efek sampingnya adalah fatigue dan sakit kepala. Satu volunteer mengalami reaksi alergi ringan. Uji Klinis di Brazil Reuters, Desember: Jumlah volunteers tidak disebutkan. Sebanyak 74 volunteers terinfeksi Covid-19. Standar agar efikasi/efektivitas bisa dihitung: cukup 61 orang terinfeksi. Tidak disebutkan berapa dari kelompok plasebo dan berapa dari kelompok vaksin yang terinfeksi. Bagaimana bisa dihitung efikasinya? Jadi jangan heran kenapa laporan data interimnya terus-menerus diundur. Karena datanya juga “ajaib”, bagi yang mengerti bagaimana cara membaca data tersebut. Jadi, “Efektivitas/efikasi vaksin Sinovac dari hasil uji klinis di Brazil maupun Turki Belum Bisa Dihitung, karena datanya belum mencukupi,” tegas Arie Karimah menyimpulkan. Kabar terakhir, China kembali telah menunda pengumuman hasil Uji Klinis Vaksin Sinovac. Ini untuk ketiga kalinya China menunda: dari 14 Desember ke 23 Desesember, kemudian 28 Desember, dan sekarang Januari 2021. Jadi, “Mundur 15 hari lagi dari 23 Des. Ada apa coba? Kalau efikasi tinggi biasanya justru diumumkan Segera, meskipun sebagai kabar sementara, sebagai kabar gembira,” ujar Arie Karimah. “Mereka masih akan melakukan konsolidasi atas hasil-hasil uji klinis internasionalnya di Brazil, Turki, dan Indonesia, seperti saran dan dugaan saya tho?” lanjutnya. Jadi, “Yang sudah menyebarluaskan kabar efikasinya: hati-hati. Silakan baca artikel asli dalam bahasa Inggris-nya, jangan dari berita lokal hasil terjemahan.” Jika Uji Klinis Vaksin Sinovac di Turki maupun Brazil saja Belum Bisa Dihitung, apalagi Uji Klinis di Indonesia yang dilakukan Biofarma dan Universitas Padjadjaran di Bandung yang juga belum ada hasilnya. Sementara, varian baru Virus Corona SARS CoV-2 sendiri sudah mulai menyerang Inggris, dan diduga juga masuk ke Prancis dan Singapura. Seperti dilansir CNN Indonesia, Selasa (15/12/2020 15:55 WIB), Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan, ada varian baru SARS CoV-2 yang teridentifikasi di Inggris dan terbuka kemungkinan tak mempan Vaksin Covid-19 yang saat ini ada. Virus corona jenis baru ini diyakini dapat menyebar lebih cepat dari virus corona yang ada sebelumnya. Ini juga memicu peningkatan kasus Covid-19 yang tajam di Inggris. Matt menyebut telah ditemukan lebih dari 1.000 kasus Covid-19 akibat infeksi dari varian virus jenis baru ini. Kasus akibat varian virus baru ini tersebar di 60 wilayah otoritas lokal Inggris. Diperkirakan virus varian baru ini serupa dengan mutasi yang ditemukan di sejumlah negara dalam beberapa bulan belakangan. “Kami telah mengidentifikasi varian baru dari virus corona yang mungkin penyebarannya lebih cepat di tenggara Inggris,” kata Matt, Selasa (15/12/2020), seperti dilansir dari The Guardian. Matt tidak menutup kemungkinan bahwa varian baru virus ini bisa kebal terhadap vaksin Covid-19 yang akan diberikan pada minggu ini di Inggris. Kalah Cepat Varian Covid-19 dan mutasinya yang begitu cepat akan membuat Vaksin Covid-19 yang kini tengah dikembangkan di berbagai negara bakal masuk kategori “vaksin jadul”, dan mungkin juga tidak akan bisa mengimbangi varian Covid-19 yang terus bermutasi. “Sudah pernah saya uraikan tentang Covid gelombang 1, gelombang 2, gelombang 3, dan akan ada gelombang ke 4,” ungkap seorang sumber. Covid-19 semula menyerang saluran pernafasan, kemudian saluran pencernaan, syaraf, mata, yang diikuti dengan berbagai gejala-gejala yang menyertainya. Orang-orang yang di tubuhnya ada proses infeksi, tentu wajar kalau diikuti dengan keluhan linu-linu di berbagai persendian, lemah, loyo, pengantukan, dan sebagainya. Itu gejala-gejala wajar yang menyertai nya. “Salah satu ciri khas dari virus Covid-19 itu akan mudah menempel, dan meriplikasi selnya, setelah menempel pada selaput mukosa-mukosa,” lanjutnya. Pada selaput mukosa-mukosa itulah protein sarana mereka regeneratif itu menjadi mudah berkembang . Mukosa itu lapisan lembut berlendir, seperti bibir mulut, tenggorokan, hidung, dan mata. Dari mukosa-mukosa itulah, mereka akan menyebar ke saluran pernafasan atau pencernaan, dan seterusnya. “Dan amat sering kami temukan kasus-kasus yang ditandai dengan gejala-gejala sakit perut, diare, setelah sekian hari, di paru-parunya sudah terjadi pneumonia advanced/serius, merata,” ungkap sumber yang enggan disebutkan namanya itu. Menurutnya, ada yang positif thypus lewat tes widal, tapi imunoserologinya negatif. Bahkan, ada yang fungsi livernya terganggu, yang ditandai dengan SGPT, SGOT tinggi, “tapi HbsAg-nya negatif. Setelah di-swab, positif.” “Makanya kami amat sering menyampaikan ke siapapun yang sakit panas, disertai dengan gejala-gejala di saluran pernafasan, saluran pencernaan, atau lainya, sebagai berikut: Lebih baik kita menduga positif covid,” tambahnya. “Sehingga segera bisa mengantisipasi secara maksimal. Dari pada menduga minimal (non covid), tapi akhirnya kecolongan. Toh, jika menggunakan protokol covid dengan formula yang kami buat, tidak ada efek buruknya,” jelasnya. “Dengan konsep itulah, kami sudah membantu menyelamatkan ribuan orang pasien yang terpapar covid,” ujar sumber tadi. (Selesai) Penulis wartawan senior FNN.co.id