NASIONAL
Habibie Yang Sangat Demokratis Itu Telah Meninggalkan Kita
Tuntutan reformasi diakomodir oleh Habibie. Bahkan semua tuntutan diusahakan bisa terwujud. Setelah tuntutan untuk membuat pemilu yang jujur dan adil, kebebasan pers, selanjutnya adalah pemerintahan yang bebas KKN. Untuk itu, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi bukti keseriusan Presiden Habibie ingin mewujudkan demokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Oleh Dr. Ahmad Yani SH. MH. Jakarta, FNN - Reformasi tahun 1998 menjadi siklus perubahan penting dalam politik Indonesia. Setelah terjadi protes massa terhadap pemerintahan Soeharto, rezim yaang sudah berkuasa 32 tahun itupun tumbang. Akhirnya Baharuddin Jusuf Habibie yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden otomatis menggantikan Presiden menggantikan Soeharto. Naiknya Habibie pada awalnya tidak terlalu menggembirakan bagi kaum reformis. Karena dianggap masih "bagian orde baru". Bagi sebagian kaum reformis, yang namanya orde baru itu mutlak harus ditolak dengan sangat keras. Transisi politik dan demokrasi berpuncak. Krisis ekonomi masih belum bisa teratasi. Isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan mencuat ke permukaan. Korupsi politik dan KKN menjadi perhatian penting. Habibie tentu harus menguras pikiran dan tenaganya memperbaiki keadaan yang sedang gawat itu. Habibie juga harus mengambil sikap untuk menyelamatkan negara. Harus menegakkan hukum, mewujudkan demokrasi bagi negara yang berada dibawah kendalinya ketika itu. Ada banyak permasalahan hukum dan HAM selama pemerintahan orde baru yang menjadi tuntutan rakyat untuk segera di atasi. Tidak mudah bagi pemerintahan Habibie yang baru seumur jagung itu untuk membayar lunas tuntutan reformasi yang terus menggeliat. Kondisinya betul-betul sangat berat. Namun disitulah kegeniusan seorang Habibie. Dia mampu melakukan perbaikan secara cepat dan tepat. Meskipun dikenal sebagai presiden dengan masa jabatan terpendek, yaitu dari Mei 1998 hingga Oktober 1999. Di bawah kendali pemerintahannya, Indonesia mulai melembagakan demokrasi. Habibir membuat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Dibuka seluas-luasnya pendirian partai politik bagi masyarakat. Sehingga pemilu tahun 1999 dapat dibilang sebagai pemungutan suara paling demokratis setelah pemilu tahun 1955. Tinggi komitmen seorang Habibie tentang demokrasi, mendorongnya menggelar referendum di Timor Timur. Meskipun keputusan tersebut kontreversial, namun Habibie tetap kukuh dengan keputusannya. Ujungnya provinsi termuda Indonesia itupun lepas dari pengkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sosok Habibie adalah sosok demokratis tulen. Dia telah memberikan kebebasan bagi keterkungkungan pers selama 32 tahun. Dilahirkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Langkah ini sebagai wujud dari komitmen Habibie menegakkan demokrasi di Indonesia. Kebebasan diberikan kepada media massa nasional untuk menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya tanpa harus disensor oleh kekuasaan. Hanya dengan semangat demokratis, yang menuntun jalannya pemerintahan Habibie, sehingga dapat memulihkan gejolak politik pada 21 Mei 1998. Meskipun pemerintahan Habibie hanya singkat, tetapi kecerdasan dan kemampuannya yang jenius, memudahkan melahirkan segala produk-produk demokrasi bisa terwujud secara cepat dan tepat. Tuntutan reformasi diakomodir oleh Habibie. Bahkan semua tuntutan diusahakan bisa terwujud. Setelah tuntutan untuk membuat pemilu yang jujur dan adil, kebebasan pers, selanjutnya adalah pemerintahan yang bebas KKN. Untuk itu, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi bukti keseriusan Presiden Habibie ingin mewujudkan demokrasi yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Presiden Habibie ingin mengubah tampilan wajah pemerintah. Dari yang begitu otoriter ke arah demokrasi. Dari pemerintahan yang dianggap KKN menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Selain itu muncul dorongan untuk membebaskan tahanan politik yang dikemukakan oleh tokoh reformasi, Deliar Noer ,Ali Sadikin, Amien Rais dan Adnan Buyung Nasution, ditanggapi dengan serius. Tiga hari setelah dilantik, Habibie membebaskan terdakwa kasus subversi Sri Bintang Pamungkas, Timsar Zubil, Muchtar Pakpahan dan lain-lain. Pengumuman ini disampaikan langsung ole Presiden Habibie. Itulah salah satu peristiwa penting yang terjadi pada tangga 24 Mei 1998. Mereka semua yang berada dalam tahanan politik lainnya yang diusahakan dibebaskan. Aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Budiman Sudjatmiko, Andi Arif , Nuku Sulaiman, Andi Syahputra, hingga Xanana Gusmao juga dibebaskan. Pembebasan terhadap para tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) orde baru ini membuktikan keseriusan Habibie menjalankan agenda demokratisasi dan mengakhiri cara politik feodalisme yang otoritarian. Rangkul Cendekiawan & Mendirikan ICMI Habibie merupakan salah satu tokoh Islam di zaman orde baru yang patut menjadi kebanggaan bagi umat Islam. Perhatiannya terhadap politik Islam dan masa depan Islam patut diapresiasi. Memang kebijakan orde baru antara 1980-an membuat ledakan besar bagi populasi kaum cendekiawan Islam Indonesia. Presiden Soeharto memberikan perhatian yang agak serius akan perkembangan pesantren dan pendidikan Islam. Ledakan besar intelektual Islam mendorong adanya keinginan untuk membentuk sebuah wadah ormas, kajian dan diskusi. Maka pada tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990, lahirlaqh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau disingkat ICMI. Pada pertemuan itu juga dipilih BJ Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Selanjutnya dibentuk juga lembaga pemikir. Namanya Center For Information and Development Studies (Cides). Lembaga ini tugasnya mendorong isu demokrasi, hak asasi manusia dan ekonomi kerakyatan. Begitu juga penerbitan Harian Republika dan Bank Islam Muamalat. Peran Habibie dalam mengkonsolidasikan kekuatan Islam zaman orde baru, dibantu oleh Dr. Imaduddin Abdurrahim dan Adi Sasono. Ketiganya menjadi pilar uatama titik temu antara Islam dan negara. Mereka bertiga juga menjadi bagian dari tampilnya para intelektual Islam dalam panggung politik yang dapat diterima oleh pemerintahan Soeharto. Hal itu sangat positif bagi umat Islam. Wajah orde baru yang sebelumnya tidak terlalu memberikan keramahan pada Islam, setelah ICMI terbentuk justru menampakkan perubahan sikap yang sangat berbeda. Tidak mengherankan fenomena tersebut menjadi bagian dari kembalinya tokoh-tokoh Islam di panggung politik orde baru. Sebagai pengimbang bagi kelompok Islam, Habibie dibantu oleh dokter Hariman Siregar, tokoh Malari tahun 1974. Kehadiran dokter Hariman Siregar untuk melihat perspektif pembangunan dan demokrasi secara nasional yang komperhensip dan menyeluruh. Akhirnya Semua Pergi Habibie adalah sosok teladan yang patut menjadi contoh bagi kita semua. Keteladanan dalam membangun akhlak politik yang ramah dan santun. Keteladanan dalam mengelola negara dengan baik dan benar. Kejeniusannya dalam merumuskan kebijakan yang memberikan manfaat bagi rakyat. Habibie patut dijadikan sebagai cerminan dalam kehidupan kebangsaan kita. Habibie yang menjadi pelaku sejarah itu telah meninggalkan kita menghadap Rob yang menciptakannya. Dia telah mengorbankan pikiran dan tenaganya demi negara. Habibie harus dikenang dengan menjadikan setiap sikap dan kepribadiannya sebagai panutan. Ditengah distorsi, peluruhan dalam kehidupan kebangsaan kita akhir-akhir ini, maka tidak ada jalan selain menimba pengalaman dan sejarah dari Habibie yang menjadi legenda di masa dahulu kita itu. Salah satunya contohnya adalah Habibie sebagai membangun demokrasi dan mengantarkan negara keluar dari kemelut politik. Akhirnya kita semua menjadi saksi bisa Habibie kini kembali menghadap kepada pencipta. Pemilik otoritas mutlak atas gelaga yang mernama kehidupan dan kematian. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan khilafnya. Semoga Allah SWT menerima segala amal baiknya, serta dikumpulkan bersama para orang-orang yang sholeh. Amin. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Vice Presiden KAI.
BJ Habibie dan Islam Politik yang Tersandung
Puncaknya adalah pembentukan organisasi elitis yang langsung bermerek Islam. Yaitu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau yang sangat terkenal dengan singkatan ICMI. Berdiri pada Desember 1990. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu kenangan dari almarhum BJ Habibie adalah Islam politik di era Presiden Soeharto. Selalu digambarkan sebagai putar haluan Pak Harto yang sangat fenomenal. Peristiwa pembantian umat Islam di Tanjung Priok pada 1984 banyak dikaitkan dengan kebencian Jenderal Leonardud Benny Moerdani terhadap Islam. LB Moerdani waktu itu menjabat sebagai Menhankam merangkap Panglima ABRI. Moerdani dijuluki sebagai jenderal bengis dengan wajah ketat. Dalam sejumlah buku memoir, LB Moerdani disebut-sebut sebagai penerus kelompok anti-Islam yang dikelola oleh Letjen Ali Moertopo Cs. Moerdani adalah gemblengan langsung Ali. Ali Moertopo mendirikan kelompok pemikir (think tank) yang diberi nama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1971. Banyak pengamat berpendapat bahwa CSIS adalah pabrik pemikiran dan konsep yang dianggap tidak suka Islam. CSIS-lah yang konon menyiapkan ‘blue print’ politik untuk pemerintahan Presiden Soeharto pada masa-masa awal kekuasaannya yang disahkan lewat pemilu pertama pada 1971. Think-tank inilah yang memasok pemikiran mengenai arah pembangunan pemerintah Orde Baru. Seiring dengan itu, Ali Moertopo menjadi sangat kuat di kabinet Pak Harto. Ali kemudian menjadi dominan dalam tahun-tahun selanjutnya. Dia memang diakui hebat dalam memainkan kartu Islam. Dikatakan, di masa Ali-lah muncul kelompok-kelompok Islam radikal dan berbagai peristiwa ‘anti-pemerintah’ yang mereka lakukan. Tujuan dari semua ini adalah untuk memojokkan umat Islam. Kartu Islam ini dimainkan terus oleh Ali bersama CSIS. Sampai akhirnya Pak Harto sendiri terjebak jauh dalam kebijakan yang tak bersahabat dengan umat Islam. Dekade pertengahan 1970-an hingga 1980-an adalah masa-masa puncak perseteruan Pak Harto dan umat Islam. Semua ini diyakini sebagai akibat rekayasa Ali Moertopo Cs. Pak Harto mencium gelagat tak baik dari Ali Moertopo. Dirasakan ada skenario yang bertujuan untuk mendistkreditkan Pak Harto. Singkat cerita, peranan Ali pun dipangkas. Sampai akhirnya Ali tersingkir dari kabinet dan meninggal dunia pada 1984 Tetapi, menurut beberapa sumber, Ali telah menyiapkan penerusnya. Yaitu, LB Moerdani yang disebut di awal tulisan ini. Diyakini bahwa Moerdani meneruskan pemikiran Ali. Hanya saja, dalam beberapa catatan memoir, Moerdani sangat loyal kepada Pak Harto. Begitu pun, Pak Harto disebut-sebut oleh para pengamat merasa terancam oleh gerak-gerik Moerdani. Dianggap ada bahaya besar ‘gerakan politik’ anti-Islam yang dikomandoi oleh Moerdani. Ini membuat hubungan Pak Harto dengan Moerdani menjadi tidak mulus, kata para pengamat. Sementara itu, di tubuh milliter dimunculkan terminologi ‘tentara hijau’ untuk menyebut para petinggi yang dikatakan memihak Islam politik. Pak Harto yang sebelumnya juga tidak mulus dengan umat Islam, akhirnya memutuskan untuk menghentikan itu. Pak Harto membaca gelagat LB Moerdani yang dikatakan semakin berbahaya. Beliau mencari kekuatan baru. Kekuatan baru yang diperlukan itu tidak ada. Kecuali umat Islam. Mulailah kelihatan manuver-manuver yang bertujuan untuk memeluk umat Islam. Puncaknya adalah pembentukan organisasi elitis yang langsung bermerek Islam. Yaitu, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia atau yang sangat terkenal dengan singkatan ICMI. Berdiri pada Desember 1990. Tidak tanggung-tanggung. Pak Harto merestui Prof BJ Habibie yang waktu itu bertugas sebagai Menristek/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk memimpin ICMI. Habibie menjadi ketua umum pertama ICMI. Kegusaran kalangan Islam membuat kehadiran ICMI menjadi sesuatu yang membangkitkan semangat baru. Apalagi, sponsor pembentukan ICMI bukan orang biasa. Tujuan resmi ICMI adalah memperjuangkan pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan untuk rakyat. Tetapi, bisa dibaca bahwa ICMI mempunyai misi utama untuk mengimbangi apa yang disangkakan sebagai keberadaan ‘gerakan anti-Islam’. ICMI disosialisasikan secara masif. Berhasil menjadi wadah para sarjana dan cendekiawan muslim. Di mana-mana ada cabang ICMI. Ormas ini seolah berfungsi sebagai ‘parpol Islam’ di seluruh jajaran birokrasi dan kampus plus di level akar rumput. Meskipun berstatus ormas, ICMI mampu menjadi pengimbang ‘gerakan anti-Islam’ yang dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Pak Harto mendukung penuh. Habibie pun berubah menjadi sosok kekuatan politik. Beliau kemudian menjadi nakhoda Islam politik. ICMI berkibar. Apalagi ada keyakinan waktu itu bahwa ‘gerakan anti-Islam’ sedang berlangsung gencar untuk mengerdilkan umat. Figur Habibie sebagai pimpinan ICMI sangat menentukan sukses organisasi itu dalam menghimpun kekuatan umat. Wadah ini menjadi ‘melting pot’ (tempat bertemu) para cendekiawan dari berbagai latar belakang ormas dan instansi. Tetapi, politisasi ICMI tidak selalu mulus. Banyak yang mencemoohkannya. Antara lain tokoh ormas NU waktu itu, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Meskipun kemudian Gus Dur sempat mengatakan, ketika dia menjadi presiden ke-4 menggantikan BJ Habibie, bahwa umat Islam menjadi maju berkat keberadaan ICMI. Pak Harto memang serius merangkul umat Islam. Dan beliau menaruh harapan pada Habibie. Harapan besar itulah yang kemudian ditunjukkan ketika Pak Harto menggandeng Habibie menjadi wakil presiden pada 1998. Tetapi, ‘positioning’ umat Islam lewat tangan Habibie terkena badai ketika Indonesia dilanda krisis moneter (krismon) 1997-1998. Krisis ini bercampur krisis politik. Gerakan perlawanan terhadap kekuasaan otoriter Pak Harto menjadi matang. Tapi, ICMI menjadi tak kelihatan. Tenggelam oleh ‘persatuan’ semua elemen bangsa yang menginginkan Pak Harto lengser. Waktu itu, umat Islam tidak membawa bendera sendiri. Amien Rais sebagai motor tuntutan Reformasi, melancarkan gerakan yang sifatnya nasional. Meskipun beliau tokoh Muhammadiyah, tetapi Pak Amien mengedepankan suara rakyat secara umum. Rakyat yang merasa tertindas oleh kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto. Gerakan Reformasi akhirnya berhasil mendesakkan pengunduran diri Pak Harto. Pada 21 Mei 1998, Habibie disumpah menjadi presiden. Pak Harto turun. Tetapi, Pak Habibie malah tidak meneruskan Islam politik. Nakhoda Islam politik ini memilih untuk menjadi presiden semua orang. Tidak mengherankan, sebenarnya. Sebab, sejatinya Pak Habibie adalah seorang demokrat. Beliau hidup lama di alam demokrasi Barat. Demokratis adalah jiwa Habibie. Pak Habibie tidak menjadi presiden yang menonjolkan keinginan umat Islam. Tidak lagi ada ICMI di mata beliau. Tidak ada lagi Islam politik di tangan pakar ilmu pesawat terbang itu. Bahkan, setelah beliau berhenti menjadi presiden pada 20 Oktober 1999, Pak Habibie melakukan manuver ‘self-reinventing’ atau mengubah jati diri. Beliau menjadi seorang nasionalis sejati. Bersamaan dengan itu, Islam politik tersandung di sini. Namun, suasana Reformasi membuat Islam politik menemukan jalan baru. Meskipun ICMI tidak ada lagi, gerakan baru malah membuka peluang yang lebih besar lagi. Kekuatan Islam politik menjadi faktual. Malahan lebih kuat. Sekiranya digambarkan sebagai kompetisi terbuka, piala pertama yang direbut oleh Islam politik adalah hasil pilkada DKI 2017 yang mencegah Ahok menjadi gubernur. Pak Habibie menyaksikan ini. Suka atau tak suka, Habibie dengan ‘credential’ barunya sebagai seorang demokrat sejati harus mengakui kekuatan Islam politik itu. Ternyata, tidak harus selalu tersandung. Selamat jalan Pak Habibie. InsyaAllah husnul khatimah. 12 September 2019
Misteri Orang-orang Papua di Istana Presiden
Gubernur Papua Lukas Enembe mengaku kaget dan baru tahu dari media ada pertemuan tersebut. Lukas juga mempertanyakan kapasitas “para tokoh” yang bertemu Jokowi. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Puluhan orang yang mengaku sebagai tokoh dan kepala suku Papua bertemu Presiden Jokowi? Tapi mengapa Gubernur Papua dan para tokoh Papua lainnya tak mengakui mereka? Wajah puluhan orang yang mengenakan batik Papua dan topi dari bulu burung cenderawasih, Selasa (10/9) tampak berbinar. Mereka duduk rapih di Istana Merdeka, Jakarta. 61 orang yang dipimpin oleh Ketua DPRD Jayapura Abisai Rollo itu menyebut dirinya tokoh Papua dan Papua Barat. Mereka diundang Presiden Jokowi menyusul kerusuhan di Papua Barat dan Papua pertengahan Agustus lalu. Kepada Presiden mereka menyodorkan sejumlah usulan untuk menyelesaikan masalah di dua provinsi di ujung Timur Indonesia itu. Presiden Jokowi sangat bersemangat menyambut usulan mereka. Termasuk soal pemekaran provinsi di lima wilayah adat, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Papua. Semua usulan diakomodir. Saking bersemangatnya Jokowi mengaku akan memaksa sejumlah BUMN dan perusahaan besar untuk menampung 1.000 sarjana asal Papua yang baru lulus. Sementara pemekaran provinsi, untuk sementara Jokowi menjanjikan, dua sampai tiga provinsi baru. “Siang hari ini saya mau buka (lapangan kerja), ini untuk BUMN dan perusahaan swasta besar yang akan saya paksa. Kalau lewat prosedur nanti kelamaan,” kata Jokowi. Jokowi juga sepakat dengan usulan untuk membangun istana di Jayapura. Apalagi Ketua DPRD Jayapura berjanji menyiapkan 10 hektar lahan gratis. “Tahun depan istana itu akan mulai dibangun,” ujar Abisai menirukan Jokowi. Tak lama setelah Jokowi bertemu para “kepala suku,” muncul pernyataan mengejutkan dari Gubernur Papua Lukas Enembe. Dia mengaku kaget dan baru tahu dari media ada pertemuan tersebut. Lukas juga mempertanyakan kapasitas “para tokoh” yang bertemu Jokowi. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yunus Wonda dan Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib juga bersikap sama. Mengapa mereka tidak dilibatkan? (Salah garuk) Pernyataan Lukas Enembe dan para tokoh Papua menyadarkan kita, ada yang salah dalam penanganan Papua. Seperti bunyi pepatah lama “Kepala yang gatal. Kaki yang digaruk.” Penyakitnya (gatal) tidak sembuh. Yang tidak sakit gatal malah menjadi luka yang lebih dalam. Ada kesan yang sangat kuat Presiden Jokowi menggampangkan persoalan. Atau, jangan-jangan tidak memahami persoalan. Hal itu menjelaskan mengapa Presiden sangat santai menghadapi persoalan Papua. Dia masih bisa nonton wayang dan dagelan sampai tertawa terbahak-bahak. Naik sepeda jalan-jalan di candi Borobudur dan bagi-bagi sertifikat. Masalah Papua, kata Lukas Enembe, tidak cukup hanya diselesaikan dengan membangun istana di Jayapura, membangun asrama mahasiswa, dan pemekaran wilayah seperti disampaikan oleh Abisai. Lagipula di tengah anggaran pemerintah yang sedang defisit, dari mana pula anggaran membangun istana dan pemekaran provinsi itu? Masalah Papua sangat complicated. Salah mendiagnose persoalan, apalagi menggampangkan persoalan. Harga yang dibayar akan sangat mahal. Pulau yang kaya dengan berbagai sumber daya alam itu bisa lepas dari tangan NKRI. Negara-negara adidaya yang sekarang terlibat dalam perang global, dengan senang hati menampung dan mengambil-alih. Hadirnya “para tokoh” yang dipimpin Abisai menjadi contoh kesalahan yang terang benderang. Ada kesan para pembantu dan bawahan Jokowi hanya memberi laporan yang menyenangkan. Abisai adalah Ketua DPRD Jayapura. Politisi Golkar ini pada Pilpres lalu menjadi ketua tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Jaya Pura. Melihat level ketokohan dan posisinya, sudah jelas dia tidak dalam kapasitas mengatasnamakan tokoh Papua. Sebagai timses Jokowi, Abisai pasti tidak bisa mewakili aspirasi para tokoh yang menuntut pemisahan diri. Agak sulit untuk menemukan adanya tokoh sentral di Papua. Kecuali pejabat formal seperti gubernur atau ketua DPRP. Ada lebih dari 3.00 suku di Papua dan Papua Barat. Bahasa mereka pun berbeda-beda. Apalagi kepentingannya. Tidak mengherankan bila mantan komisioner Komnas HAM Natalius Pigai juga mempersoalkan posisi Abisai. Pigai berasal dari suku Mee, salah satu suku terbesar di Papua. Mereka tersebar mulai dari pegunungan sampai kawasan pesisir di Paniai, Nabire, Doiyai, dan Dogai. Sementara Lukas Enembe berasal dari suku yang lebih besar, yakni Suku Dani. Mereka mendiami kawasan pegunungan. Mulai dari Tolikara,Wamena,Puncak Jaya, Ilaga,Yahukimo, Kurima,dan Tiom. Kalau mau klaim ketokohan, keduanya jelas lebih layak. Lebih representatif untuk diajak bicara. Bukan kali ini saja Jokowi dan para pembantunya terkesan salah memahami orang Papua. Dalam berbagai kesempatan dia membanggakan keberhasilannya membangun jalan Trans Papua. Dia juga pernah naik sepeda motor trail menyusuri beberapa kawasan di Papua. Sayangnya seperti dikatakan oleh Lukas Enembe, orang Papua tidak butuh jalan trans. Mereka tidak pernah melewati jalan itu. Yang dibutuhkan oleh orang Papua adalah dibangun kehidupannya. Pembangunan jalan Trans Papua malah sering menjadi sumber konflik dan masalah. Salah satu contohnya adalah insiden di Nduga. Anggota TNI dan warga menjadi korban tewas. Kasus Papua menjadi tantangan dan pertaruhan besar bagi Jokowi. Di harus membuktikan bahwa basis legitimasinya sangat kuat di dua wilayah ini. Pada Pilpres 2019 Jokowi-Ma’ruf meraih suara di Papua Barat 79.81 persen. Di Papua prosentasenya bahkan lebih besar. Mereka memperoleh 90,12 persen. Di lima kabupaten, yakni Puncak Jaya, Puncak, Lany Jaya, Nduga dan Mamberamo Tengah malah meraih suara fantastis: 1.00 persen. Di kabupaten wilayah pegunungan ini pemilihan dilakukan dengan menggunakan sistem noken. Dengan modal politik seperti itu seharusnya Papua adalah masalah KECIL bagi Jokowi. Kecuali………….End
Lho....Opung Luhut Kok Takut Rem Mobil Esemka Blong?
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pro kontra mobil Esemka terus berlanjut. Fakta ini menunjukkan “rekonsiliasi” yang coba dibangun oleh elit politik, tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Mau Prabowo bergabung ke dalam pemerintahan kek. Mau tetap di luar pemerintahan kek, masyarakat sudah telanjur terbelah dalam dua kekuatan besar. Pendukung dan penentang pemerintah. Kelompok pendukung pemerintahan Jokowi mati-matian membela mobil Esemka. Kelompok penentang menganggap mobil Esemka sebagai mobil tipu-tipu. Sama seperti kebanyakan program Jokowi. Bagi para pendukung Jokowi, sebagai pemain pemula, wajar Esemka bekerja sama dengan pabrikan lain. Termasuk pabrikan mobil dari Cina. Sebagaimana pepatah (Cina juga), seribu mil perjalanan, dimulai dengan langkah pertama. Mereka menyebut kubu seberang hanya pandai nyinyir. Tidak punya kontribusi nyata terhadap bangsa. Sekali nyinyir, sampai kapan pun akan tetap nyinyir! Sebaliknya, kubu penentang menilai, peluncuran mobil Esemka oleh Presiden Jokowi, merupakan bukti nyata, rezim pemerintah saat ini sepenuhnya berada di bawah kendali Cina. Mobil Esemka Bima 1.2 itu tak lebih cuma rebadge, alias ganti merek mobil Cina. Mantan Sekretaris Kementrian BUMN Said Didu menyebutnya sebagai pabrik tempel merek. Bukan pabrik mobil. Di tengah-tengah pro kontra tersebut, tiba-tiba muncul video dari Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan. Dalam video tersebut Luhut tampak sedang bercanda dengan wartawan. “Apakah mobil Esemka akan digunakan sebagai kendaraan resmi presiden Jokowi? Luhut menjawab: Kamu, wartawan saja yang naik. "Jangan suruh presiden naik, nanti kita sudah pilih-pilih gara-gara Esemka blong lagi remnya," kata Luhut. Video pendek tersebut langsung viral. Luhut dikenal sebagai tangan kanan Jokowi. Pendukung setia semua gagasan Jokowi. Jadi rada aneh kalau tiba-tiba bersuara miring. Ini berita besar! Sesuai dengan jargon, orang menggigit anjing. Bukan anjing menggigit orang! Luhut "menggigit" Jokowi, jelas berita besar! Setelah ditelusuri, ternyata pernyataan Luhut itu merupakan berita lama. Berita bulan Maret 2017. Konteks beritanya saat itu diketahui mobil presiden beberapa kali mogok. Wakil Ketua DPR Fadlizon menyarankan agar mobil presiden segera diganti dengan mobil Esemka. (Sangat relevan) Lepas dari soal berita baru, atau berita lama, seorang presiden menggunakan kendaraan produk “dalam negeri.” Produk “anak bangsa” sendiri merupakan sebuah kelaziman. Di beberapa negara malah menjadi semacam kewajiban. PM Mahathir dan para pejabat tinggi Malaysia menggunakan Proton Perdana. Ketika Jokowi berkunjung ke Malaysia belum lama ini, dia disopiri Mahathir naik Proton Persona. Kebetulan pula mobil yang dikendarai oleh Jokowi beberapa hari terakhir, kembali mogok. Kamis (5/9) mobil Mercedes Benz tipe S-600 Guard itu mogok ketika digunakan dalam kunjungan ke Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam peresmian pabrik Esemka di Boyolali, Jokowi menyerukan agar bangsa Indonesia membeli dan menggunakan mobil tersebut. "Kalau lihat produknya tadi, saya sudah buka, sudah nyoba, sudah lihat sudah test, memang wajib kita beli barang ini. Kalau beli barang dari produk lain ya kebangeten, apalagi yang impor," kata Jokowi. Menyambut pernyataan Jokowi, warga mendorong agar presiden dan para pejabat tinggi memberi contoh. Mereka harus terlebih dahulu menggunakan mobil produk Esemka. Jangan hanya mendorong rakyat, sementara mereka memilih produk lain. Sebagaimana diumumkan oleh Sekretariat Negara, untuk periode 2019-2024 akan ada pengadaan mobil baru. Presiden akan kembali menggunakan kendaraan Mercedes Benz Tipe S-600 Guard. Sementara para menteri tetap menggunakan merek Toyota. Kali ini naik kelas. Dari Toyota Camry menjadi Toyota Royal Saloon. Di dunia maya bergema seruan agar pengadaan mobil baru dari pabrikan Jerman dan Jepang itu dibatalkan. Diganti dengan mobil dari produk Esemka. Momennya pas! Sebagai pemimpin, Jokowi seharusnya memberi contoh. Sesuai dengan prinsip kepemimpinan, Ing Ngarso Sung Tulodo. Seorang pemimpin harus menjadi tauladan. Jangan Jarkoni. Hanya bisa berujar, tapi tidak menjalaninya. Dari beberapa kendaraan yang dipamerkan di pabrik Esemka di Boyolali, ada satu mobil yang tampaknya cocok untuk presiden. Namanya Esemka Moose. Tampilannya gagah dan sangar. Diklaim anti peluru. Lapis baja. Di bagian belakangnya ada tulisan: Armored by Esemka. Kereeennn. TOP Abizz..... Sebuah media melaporkan, Moose sangat mirip dengan mobil mewah merek Volvo XC90. Perbedaan yang mencolok hanya pada grill dan logo. Ketika diintip, di tengah roda kemudi ada logo Volvo. Barangkali ini hanya kebetulan saja. Jangan berpikir negatif dulu. Jangan-jangan ada teknisi Esemka yang iseng menempelkan, karena kemiripannya dengan Volvo. Boleh dong bangga, karena produk Esemka sudah mirip mobil kelas atas di Eropa. Untuk para menteri tersedia dua pilihan. Mobil Jenis SUV Garuda 1 dan Rajawali. Kalau lihat tampilannya, ketiga mobil itu — baik Moose, Garuda 1 dan Rajawali— sangat gagah. Pasti kalau digunakan oleh presiden, para menteri dan pejabat tinggi, dijamin tidak malu-maluin. Dengan predikat mobil buatan anak bangsa sendiri, akan membuat tampilan presiden dan para menteri lebih gagah lagi. Sekaligus sangat nasionalis. Sangat NKRI, karena menggunakan produk dalam negeri. Tak perlu khawatir dicemooh, ditertawakan dunia, kalau sekali-kali, atau beberapa kali mobil Esemka mogok. Mercedes Benz presiden saja sudah berkali-kali mogok. Toh orang berduit di seluruh dunia, tak berhenti menggunakan Mercedes Benz. Mobil Jerman itu tetap menjadi simbol prestise dan gengsi. Hanya yang perlu diantisipasi, kalau sampai remnya blong, seperti kata Opung Luhut. Kalau soal ini sudah berkaitan dengan keselamatan seorang kepala negara. Bagaimana kalau mobil pengangkut barang Esemka Bima yang remnya blong? Please jangan sampai diplesetkan bahwa Bima adalah singkatan dari “bikin malu.” Ini bukan soal bikin malu atau tidak. Tapi sudah menyangkut nyawa manusia. Nyawa seorang warga negara juga sangat berharga lho. Bukan hanya nyawa seorang kepala negara. Jangan dibuat bercanda! End
Undang-Undang KPK Bukanlah Barang Yang Haram Untuk Direvisi
Menurut saya, setelah belasan tahun KPK berdiri, dan setelah ada evaluasi yang menyeluruh, KPK memang gagal mewujudkan agenda reformasi yang mengamanatkan terwujudnya pemerintahan yang berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. akibat kegagalan itu, menurut saya undang-undang KPK harus dirubah, sehingga pemberantasan korupsi tidak terlalu bias seperti sekarang ini. Oleh Dr. Ahmad Yani Palu sidang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diputuskan oleh DPR RI. Proses menghidupkan lagi revisi undang-undang KPK sempat tertunda beberapa kali. Tahun 2017, sempat hangat isu revisi terhadap undang-undang tersebut. Namun penolakan dari internal KPK begitu kuat, sehingga tidak bisa terlaksana. Meskipun penolakan begitu kuat, DPR dengan kewenangan legislasi yang melekat padanya, akhirnya mengambil keputusan dalam suasana senyap. Sepi dari pemberitaan media, DPR RI pada hari Kamis 6 September 2019 menggelar rapat paripurna yang salah satu agendanya adalah mengesahkan perubahan undang-undang KPK yang menjadi inisiatif DPR. Reaksi terhadap keputusan DPR merubah undang-undang KPK bermunculan. Lima unsur perguruan tinggi memberikan reaksi bersamaan. Alumni Universitas Indonesia (UI), Asosiasi Pengajar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogyakarta, Dosen Universitas Paramadina, Kampus Univeritas Gajah Mada (UGM), Universitas Mulawarman Samarinda, menolak revisi undang-undang KPK dengan alasan masing-masing. Kesimpulan dari lima unsur perguruan tinggi itu menyatakan bahwa revisi undang-undang KPK adalah upaya melemahkan KPK. Sebaliknya, dukungan terhadap inisiatif DPR merubah undang-undang KPK juga tidak kalah besarnya. Guru besar dan Dosen Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Tata negara, Hukum Keuangan Negara, dari berbagai Universitas baik negeri maupun swasta menyatakan mendukung DPR. Masyarakat dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti Korupsi, Aliansi Masyarakat Cinta KPK, Forum Peduli Keadilan Bangsa dan lain sebagainya juga menyatakan dukungan terhadap perubahan undang-undang KPK. Terlepas dari dua kekuatan yang saling berlawanan itu, saya berpendapat Bahwa perubahan undang-undang merupakan kewenangan DPR dan Presiden. Dukungan yang datang dari berbagai pihak itu hanya sebagai bahan masukan. Selama ini ada opini yang berkembang bahwa KPK itu lembaga super body yang tidak bisa diintervensi oleh kekuasaan manapun. Sehingga ketika regulasi ingin dilakukan perubahan, selalu dianggap sebagai bentuk intervensi terhadap KPK. Padahal KPK bukan lembaga legislatif, tidak memiliki kewenangan apapun dalam hal membuat dan merubah undang-undang. Penolakan KPK terhadap kehendak legislasi yang dimiliki oleh DPR dan pemerintah, sebenarnya mencerminkan sebagai lembaga yang tidak taat hukum. KPK ingin menjadi single power, dengan menempatkan diri sebagai lembaga paling "suci" yang tidak bisa dipersoalkan oleh lembaga lain termasuk lembaga inti negara. Kegagalan KPK Kegagalan KPK menempatkan diri sebagai lembaga negara bantu (Auxiliary State Organ) tidak hanya melahirkan kerancuan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Namun malah telah tjuga melahirkan institusi yang menyalahgunakan kekuasaannya (Abuse of power). Padahal kehadiran KPK adalah untuk melakukan trigger mecanism karena dua institusi penegak hukum seperti Kejaksaan dan Kepolisian dianggap gagal memberantas Korupsi. KPK dalam hal penindakan seharusnya berperan sebagai trigger mechanism. Yaitu mendorong kepolisian dan kejaksaan untuk melakukan penegakan hukum korupsi dengan baik, bukan melakukan penindakan berdasarkan seleranya sendiri. Peran KPK harus maksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kejaksaan dan kepolisian. Sebab, selama KPK dibentuk, fungsi kordinasi, supervisi, belum maksimal dalam menjalakan peran trigger mekanism atau mendorong upaya pemberantasan korupsi kepada lembaga-lembaga lain agar lebih efektif dan efisien, dalam hal ini Jaksa dan Polisi. KPK selalu mengambil jalan sendiri dalam penegakan hukum korupsi. Sampai hari ini keberhasilan KPK masih jauh panggang dari api. Kegagalan yang paling mencolok adalah pada fungsi pencegahan dan pada audit investigasi BPK. Pada tahun 2013-2017, KPK sama sekali gagal dalam melakukan pencegahan. Adapun penindakan yang dilakukan KPK dengan menggunakan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sarat dengan tindakan entrapment (jebakan) kepada calon tersangka. Karena itu banyak pihak menilai bahwa KPK bekerja menurut selera kekuasaan bukan menurut aturan hukum. KPK adalah lembaga yang pada awalnya dibentuk dengan desain untuk yang sangat ketat. Kewenangan yang dimiliki sangat besar,untuk menindak pelaku korupsi. Dalam menangani perkara KPK tidak mengenal Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara (SP3). Karena itu dalam melakukan proses penegakan hukum yang benar dan adil, bukan atas dasar stigma, apalagi kebencian terhadap warga yang belum tentu bersalah atas sesuatu yang disangkakan atau dituduhkan kepadanya (asas praduga tak bersalah) Namun dalam perjalanannya, pada beberapa kasus terlihat bahwa KPK tidak hati-hati dalam menetapkan orang sebagai tersangka. Beberapa tersangka yang ditetapkan menyalahi prosedur seperti Budi Gunawan, Hadi Purnomo, Taufiqurrahman (Bupati Nganjuk), Ilham Arif Sirajuddin (Walikota Makassar) dan Serta Novanto, membuktikan KPK tidak hati-hati dalam menggunakan kewenangan yang melekat padanya. Meskipun Setya Novanto dan Ilham kembali ditetapkan tersangka setelah memenangkan Gugatan Pra-peradilan. Namun putusan pengadilan itu cukup menjadi bukti bahwa KPK bukanlah lembaga yang sepenuhnya benar dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Kegagalan KPK dalam supervisi, kordinasi, penindakan, pencegahan dan memonitoring sesuai perintah pasal 6 undang-undang KPK adalah cerminan kebijakan lembaga negara yang berpotensi merugikan negara dan kegagalan mencegah terjadinya korupsi. Kenyataan ini membuat Indonesia belum dapat menjadi peringkat negara yang aman dan bebas korupsi. Kegagalan itu menjadi satu masalah tersendiri bagi transisi demokrasi. Cara kerja KPK memperpanjang transisi demokrasi membuat iklim investasi banyak yang terhambat. Kebijakan tidak dapat diambil akibat adanya ketakutan terhadap ancaman untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sebab keputusan yang akan dibuat, bisa saja dianggap korupsi dengan dalil pasal 3 undang-undang KPK. Selain itu, KPK masih menjadi penikmat gegap gempita pujian dalam membongkar Big News, sehingga asyik sendiri. KPK gagal membongkar BiG Case, seperi kasus, sumber Daya Alam (SDA) dan Migas (SKK Migas). KPK hanya berhenti di kasus suap menyuap saja, seperti kasus perbankan, reklamasi, Trans Jakarta, Rumah Sakit Sumber Waras, dan perpajakan. KPK seharusnya Fokus kasus-kasus besar, seperti di SDA dan Migas, perpajakan, perbankan, pasar modal, hutang luar negeri, impor pangan dan barang lain, reklamasi, meikarta, kejahatan corparasi, cost recovery. Sayangnya, KPK terlalu ambisi menangkap korupsi kecil, seperti OTT Rp 100 juta, yang sebenarnya bukan domain kerja KPK diambil juga. Merevisi UU KPK Kegagalan-kegagalan KPK itu nampaknya oleh pendukung KPK tidak dianggap sebagai kegagalan. Mereka para pendung KPK terus memobilisasi opini untuk melawan hak anggota DPR mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) maupun amandemen undang-undang. Tentu bagi saya ini merupakan cara yang tidak sehat dalam bernegara. Tanpa disadari, undang-undang KPK sudah beberapa kali dirubah melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh beberapa pihak dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kita patut merasa heran bahwa LSM boleh mengajukan perubahan UU KPK melalui Judicial Review tanpa diributkan oleh oknum-oknum di KPK. Sementara DPR dan Presiden yang memiliki fungsi sekaligus hak untuk membuat maupun merubah undang-undang, dianggap haram merubah undang-undang KPK. Saya pun sudah sejak lama mengusulkan perubahan undang-undang KPK. Ususlan tersebut, baik dalam rapat kerja dengan KPK maupun dalam beberapa tulisan. Sebab undang-undang KPK sekarang masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Harus diketahui bahwa hak DPR itu adalah yang melekat dan tidak boleh di persoalkan dengan cara memobiliasi massa dan membuat panggung protes. Sebab KPK tidak bisa melawan hak lembaga negara inti (state mein organ) dengan cara-cara "jalanan" seperti itu. Menurut saya, setelah belasan tahun KPK berdiri, dan setelah ada evaluasi yang menyeluruh, KPK memang gagal mewujudkan agenda reformasi yang mengamanatkan terwujudnya pemerintahan yang berwibawa bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. akibat kegagalan itu, menurut saya undang-undang KPK harus dirubah, sehingga pemberantasan korupsi tidak terlalu bias seperti sekarang ini. Perubahan undang-undang KPK ini harus memberikan penegasan terhadap tiga hal. Pertama, menagaskan posisi KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Apakah dia di eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Tetapi melihat tugas dan kewenangannya, KPK adalah lembaga Eksekutif. Kedua, KPK tidak bisa bekerja sendiri dalam melakukan penindakan. Sebab KPK merupakan trigger mecanism yang harus bersinergi dengan lembaga kejaksaan dan kepolisian. Ketiga, KPK harus diawasi oleh satu dewan, sehingga tidak "liar" dalam melakukan pemberantasan korupsi. Masih perlukah ada KPK? Banyak isu yang berkembang bahwa perubahan undang-undang KPK akan memperlemah KPK. Bahkan akan mengarah pada pembubaran KPK. Isu seperti ini memang selalu hadir bersamaan dengan mencuatnya isu perubahan undang-undang KPK. Bagi saya, perubahan undang-undang KPK sama sekali tidak melemahkan KPK. Bahkan sebaliknya memperkuat sistem organisasi KPK. Pembentukan dewan Pengawas, memperjelas posisi KPK dalam tiga cabang kekuasaan, dan menambahkan beberapa aturan tentang kordinasi dan pencegahan, merupakan jalan perbaikan bagi KPK. Langkah ini sekaligus memperkuat posisi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang sangat dibutuhkan. Perubahan undang-unang KPK juga mempertegas bahwa KPK masih sangat dibutuhkan oleh Negara. KPK juga masih diharapkan dapat memperbaiki kehidupan bangsa dan Negara, sehingga bebas dari KKN. Oleh karena itu, perubahan undang-undang KPK adalah jalan memperkuat posisi KPK dalam menjalan tugas dan kewenangannya Penulis adalah mantan Anggota Komisi III DPR RI dan Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas MuhammadiyahJakarta.
Kita Lihat, Apakah Presiden Jokowi Akan Ikut Hancurkan KPK
By Asyari Usman Semua orang sudah jelas melihat bahwa Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) tidak lagi diinginkan keberadaannya oleh DPR. Semua fraksi di lembaga wakil rakyat itu setuju UU tentang KPK Nomor 30 Tahun 2002 diubah (direvisi) sampai kandas. Sampai KPK tak punya apa-apa lagi. Karena revisi UU harus disetujui Presiden, maka manuver berikutnya ada di tangan Presiden Jokowi. Rakyat bisa mengamati apakah Jokowi akan ikut juga menghancurkan KPK atau tidak. Presiden bisa menolak revisi itu seluruhnya. Apa-apa saja yang membuat KPK ‘mati’ akibat revisi itu? Ada sembilan poin perubahan UU KPK yang membuat lembaga antikorupsi itu akan hancur. Independensi KPK terancam. Sebab, revisi itu menciptakan ‘atasan kedua’ KPK selain Presiden. Yaitu, Dewan Pengawas (DP). DP akan dipilih oleh DPR. Kekuasaannya sangat besar. Penyadapan telefon terduga koruptor harus mendapat izin dari DP. Begitu juga untuk tindakan penggeledahan, harus juga ada izin mereka. Penyadapan dipersulit dan dibatasi. Padahal, inti dari tugas pemberantasan korupsi KPK itu adalah penyadapan telefon. Kalau DP tidak mengizinkan, berarti OTT tak bisa dilakukan. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR. Ini artinya DPR ingin agar KPK bisa mereka kekang gerak-geriknya. Hampir pasti akan banyak kepentingan pribadi para anggota Dewan yang akan dilindungi oleh DP. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi. Berarti, KPK tidak bisa melakukan rekrutmen secara independen. KPK dipaksa mengambil tenaga penyidik dari kepolisian saja. Ini sangat rawan. Bisa terjadi penyelewengan. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung. Anda bisa duga sendiri apa tujuan koordinasi ini. Sampai sekarang reputasi Kejaksaan tidak pernah pulih di mata rakyat. Revisi ini akan memberikan peluang kepada Kejaksaan untuk ‘mempengaruhi’ penuntutan di KPK. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria. Sudah pastilah KPK akan ditelefon terus-menerus oleh entah siapa-siapa di DP atau di institusi-institusi lain agar KPK tidak melanjutkan kasus ini atau kasus itu. Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas. Ini menjelaskan bahwa KPK tidak bisa lagi mengambil alih wewenang penuntutan perkara-perkara yang mengalami kemacetan. Hanya bisa di tingkat penyelidikan. Tentu bisa ditebak mengapa revisi soal pengambilalihan penuntutan ini dimunculkan. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan. Revisi ini juga membuat KPK bangkrut total. Kalau revisi disetujui oleh Presiden, maka KPK tak bisa lagi meminta pencekalan tersangka korupsi. Tak bisa meminta bantuan bank. Tidak bisa pula meminta bantuan agar transaksi korupsi diblok. Juga tak bisa meminta bantuan Polri dan Interpol. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas. Ini berarti para calon pejabat atau pejabat petahana bisa sesuka hati mereka mau melaporkan atau tidak melaporkan harta-kekayaan mereka. Selama ini, KPK punya wewenang untuk menagih laporan harta-kekayaan penyelenggara negara. Itulah formula ‘racun ganas’ yang ditawarkan DPR untuk KPK. Apakah KPK akan dipaksa menenggak racun ini, tergantung pada sikap Presiden Jokowi.
Natalius Pigai : Lempar Ular ke Asrama Mahasiswa Papau, “Wujud Kebencian Rasial”
Jakarta, FNN – Aktivis kemanusiaan Natalius Pigai mengatakan, tindakan melempar karung yang berisi ular piton ke asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya adalah bentuk tindakan kebencian atas dasar rasial. Subuah perbuatan yang sangat keji dan tidak bermartabat. Bantuk lain dari teror terhadap rasa kemanusian. “Tindkan seperti ini tidak pantas dilakukan oleh mereke-mereka yang mengaku loyalis pancasialis. Mengaku menjunjung tinggi Pancasila sebagai harga mati. Tidak pantas bagi masyarakat yang mengedepankan toleransi, menghargai kebhinekaan dan fluralisme, “ujar Natalus Pigai kepada FNN di Jakarta, Senin (09/09) Ditambahkan Natalius, setelah berhasil menteror mahasiswa Papua dengan jenis binatang yang namanya “monyet” sebagai bentuk rasis, kini giliran ada yang melancarkan perbuatan rasis dengan jenis binatang yang lain. Sekarang, giliran penyerangan rasial tersebut dengan menggunakan ular piton. Sungguh perbuatan yang sangat tidak bermartabat dan tidak berprikemanusiaan Menanggapi penyerangan terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya dengan karung yang berisi ular piton, Menteri Kordinator Politik dan Keamanan (Polhukam) Wiranto mengatakan, perbuatan tersebut adalah skenario tindakan oknum pengacau. Berkaitan dengan pernyataan Wiranto tersebut, Natalius Pigai mengatakan, “silahkan Wiranto tunjuk batang hidungnya”. Jangan hanya asal ngomong, namun tidak bisa tunjuk siapa orangnya. Tunjuk dong siapa orangnya, dan silahkan diproses secara hukum. “Saya minta Wiranto tunjuk batang hidungnya. Jangan hanya menghindar dari ketidakmampuan pemimpin melindungi dan menghadirkan rasa kepada warga negara. Kalau tidak bisa tunjuk batang hidungnya, maka saya katakana tidak ada skenario dari pengacau. Itu adalah bentuk nyata dari tindakan rasis oleh masyarakat kepada anak-anak mahasiswa Papua, “ujar Natalius Pigai Kejadian ini adalah bentuk nyata orang Jawa yang rasis terhadap rakyat dan bangsa Melanesia. Harus diusut pemimpin-pimpinannya. Usut juga pelaku yang menyatakan negara hadir melindungi rakyat. “Untuk itu, ke depan pemimpin negara ini jangan hanya dimonopoli oleh satu suku saja. Pasti akan subjektif dan terkesan rasis dalam pelayanan kepada warga negara. Saya minta negara tangkap itu pemimpin-pemimpin yang mengusir, menteror dan mengintimidasi kepada rakyat Papua atas dasar kebencian rasialisme, “tambah Natalius Pigai Menurut Natalius Pigai, pemerintah juga sudah berlaku diskriminatif dan rasialis. Rakyat Papua diintimidasi dimana-mana. Sementara mereka menyerang dan menguber–uber rakyat Papua seperti penjahat atau kriminal. Korban dianggap sebagai pelaku. Sebaliknya, pelaku dibilang sebagai korban. Luar biasa kebencian rasial tersebut. “Jika tindakan segregasi ras dan etnik terhadap bangsa Papua ini terus dibiarkan, maka tidak ada kehidupan ras negro Melanesia di Indonesia. Setiap asrama Papua disisir. Mahasiswa Papua disweeping, dan terancam tidak bisa melanjutkan pendidikan di luar Papua. Saya mengecam semua tindakan rasis dan biadab ini, “tegas Natalius Pigai
Iuran BPJS Naik, Listrik Naik, Pajak Naik, Terus Rakyat Mau Makan Apa ?
Coba Anda bayangkan, berapa beban hidup keluarga di zaman yang super zalim ini. Katakanlah, satu keluarga terdiri dari empat orang. Jika mereka terdaftar BPJS pada kelas ke-1, maka per bulan pengeluaran rumah tangga khusus untuk bayar iuran BPJS kesehatan sebesar 4 X 160.000. Totalnya Rp. 640.000. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Luar biasa zalim rezim ini. Belum juga dilantik untuk periode kedua, sejumlah kebijakan yang akan mencekik rakyat telah dipersiapkan. Pada saat yang sama, rezim justru pamer kemewahan dengan rencana membeli sejumlah mobil dinas untuk Presiden, menteri dan pejabat tinggi, yang menekan anggaran hingga ratusan miliar. Pemerintah sudah bulat menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan sebesar 100 persen berdalih untuk menutup defisit JKN. Kenaikan iuran akan diberlakukan mulai 1 Januari 2020. Kenaikan ini berlaku untuk peserta BPJS kelas I dan kelas II. Kelas I kelas II terhitung mulai 1 Januari 2020 iuranya naik menjadi Rp 160.000 dan Rp 110.000. Pemerintah juga berencana mencabut subsidi listrik 24,4 juta pelanggan 900 VA pada 2020. Usul pencabutan subsidi 24,4 juta pelanggan listrik 900 VA datang langsung dari Kementerian ESDM yang berdalih karena 24,4 juta pelanggan tersebut merupakan rumah tangga mampu (RTM). Belum lagi, kenaikan pengenaan tarif pajak, ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, jelas semakin membebani rakyat. Nampaknya, rezim mau menikmati kemenangan Pilpres dan berbagi kue kekuasan, dengan membebankan 'pesta kekuasan' itu kepada pundak rakyat. Coba Anda bayangkan, berapa beban hidup keluarga di zaman yang super zalim ini. Katakanlah, satu keluarga terdiri dari empat orang. Jika mereka terdaftar BPJS pada kelas ke-1, maka per bulan pengeluaran rumah tangga khusus untuk bayar iuran BPJS kesehatan sebesar 4 X 160.000. Totalnya Rp. 640.000. Jika pengeluaran listrik rata-rata 200 kwh yang harganya nanti bisa mencapai 400.000,- maka pengeluaran per bulan untuk urusan listrik dan iuran BPJS sejumlah 400.000 ditambah 640.000. Total pengeluaran per bulan Rp. 1.040.000,- Jika penghasilan keluarga itu hanya ditopang oleh pekerjaan sang ayah dengan asumsi pendapatan UMR sekitar 3,7 juta, maka pengeluaran untuk listrik dan iuran BPJS telah memangkas Alokasi hingga nyaris 30 % menyedot Penghasilan. Apalagi jika keluarga ini tinggal di daerah Jawa tengah yang UMR nya masih kisaran 2-3 juta. Pengeluaran listrik dah BPJS ini akan menyedot nyaris 50 % dari total pendapatan keluarga. Bukankah kebutuhan rumah tangga bukan hanya bayar listrik dan iuran BPJS ? Masih ada kebutuhan makan, bayar kontrakan, biaya sekolah anak, yang semuanya juga wajib dipenuhi. Lantas, bagaimana keluarga mau mengaturnya ? Pemerintah sih enak, defisit anggaran tinggal memalak rakyat dengan pajak ini itu, iuran ini itu, pungutan ini itu. Mobil juga maunya baru, sampai mobil untuk Presiden dan menteri saja menelan biaya hingga 147 miliar. Urusan Papua tidak pernah kelar, yang diurusi cuma menari nari diatas bangkai penderitaan rakyatnya. Luar bisa, belum pernah ada rezim sezalim rezim ini sejak Republik ini berdiri. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Ruang Publik
Beduk Kematian KPK Itu Ditabuh Istana
Dengan bekal intruksi Presiden itu, Kapolri kemudian bergegas keluar dari kantor Presiden, diikuti Harso menuju ke Trunojoyo, Mabes Polri. Lalu berlangsunglah rapat terbatas antara Kapolri, dengan dua Perwira Tinggi, bersama Harso. Pertemuan yang berulang dalam beberapa kesempatan itu, akhirnya menelorkan keputusan. Intinya, agar semua penyidik yang menangani kasus Romy harus dari unsur kepolisian, atau unsur lain di dalam KPK yang kooperarif. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Sudah lama info skandal jahat ini tersimpan rapi. Dengan pertimbangan menjaga stabilitas politik nasional urung dipublikasikan. Namun dengan memperhatikan ancaman eksistensi lembaga anti KKN, dan kehancuran tatanan berbangsa bernegara, tampaknya tidak mungkin untuk tetap didiamkan. Sesunguhnya banyak pihak yang tidak suka dengan sepak terjang KPK. Berbagai upaya telah dicoba untuk menghabisi KPK, baik dalam bentuk tekanan non fisik, intimidasi, hingga kekerasan seperti yang menimpa Novel Baswedan. Namun lembaga antirasuah itu, tampaknya tidak surut melakukan pemberantasan korupsi. Belakangan upaya pelemahan KPK itu menemukan momentumnya. Kasus yang menimpa Ketua Umum PPP Romahurmuziy alias Romy yang terkena OTT KPK (15/03/19), menjadi pintu masuk skandal pelemahan KPK dimulai, dan dirancang dengan sangat serius. Kisahnya bermula dari surat khusus yang dikirim Romy sehari setelah ditetapkan sebagai tersangka dan kemudian ditahan di Rutan K4 KPK. Selain surat terbuka, diam-diam Romy ternyata, mengirim surat kepada Suharso Monoarfa, Penasehat Presiden, yang kemudian didaulat sebagai PJ Ketua Umum PPP. Surat terbuka Romy dalam sekejab telah beredar luas di media massa nasional, dan isinya diketahui umum. Sedang surat kepada Sumo, pangilan akrab Suharso Monoarfa, memang bersifat confidencial, sangat pribadi dan sangat rahasia. Isi singkatnya, Romy meminta kepada Sumo, agar membantu dirinya, dengan meminta kepada Presiden secara langsung, untuk membantu menyelesaikan kasusnya. Jika tidak, sesuai isi surat itu, Romy tidak segan-segan akan membongkar semua hal yang diketahuinya, termasuk tentang Pilpres 2019. Surat cinta yang juga berisi ancaman itu, ditanggapi Sumo dengan serius. Ini dapat dipahami, karena interaksi antara Romy dengan Presiden, bukanlah hubungan biasa. Hubungan diantara mereka, dibangun jauh sebelum Jokowi menjadi Presiden. Jalinan itu semakin intim setelah 2004, Romy selaku Staf Ahli Menteri Koperasi, turut menyerahkan bantuan modal kredit lunak senilai Rp 1 milyar kepada Jokowi, selaku pengusaha meubel di Solo. Wajar jika Romy merupakan salah satu ketua umum partai, yang sangat dekat dengan Jokowi. Saking dekatnya, Mas Romy, demikian Presiden selalu menyapa, seringkali diminta untuk datang selepas tengah malam, menemani Presiden yang sulit tidur, atau untuk sekedar tertawa cekikikan berdua. Tentu tidak hanya hahahihi, banyak hal tentang rahasia negara yang selain Tuhan, hanya mereka berdua yang tahu. Karena itu, pagi harinya, tanggal 17 Maret 2019, Sumo tergopoh-gopoh diterima Presiden di Istana Negara. Setelah sedikit menyampaikan pengantar, ia menyerahkan "surat cinta" Romy, kepada Presiden Jokowi. Sontak, sekejab setelah membaca surat cinta yang penuh dengan ratapan itu, wajah Presiden berubah tegang. Lantas, terjadilah diskusi serius, di antara keduanya, serta diputuskan untuk mengambil langkah cepat. Kurang dari satu jam setelah Presiden menelepon, Kapolri Tito Karnavian tiba di ruang Presiden. Kemudian Presiden memberikan perintah lesan, "Tolong diselesaikan dengan cepat, bersama Pak Harso". Dengan bekal intruksi itu, Kapolri kemudian bergegas keluar dari kantor Presiden, diikuti Harso menuju ke Trunojoyo, Mabes Polri. Lalu berlangsunglah rapat terbatas antara Kapolri, dengan dua Perwira Tinggi, bersama Harso. Pertemuan yang berulang dalam beberapa kesempatan itu, akhirnya menelorkan keputusan. Intinya, agar semua penyidik yang menangani kasus Romy harus dari unsur kepolisian, atau unsur lain di dalam KPK yang kooperarif. Skenario penanganan kasus Romy berjalan mulus, sesuai keinginan Presiden. Saksi-saksi diperiksa seolah-olah kasus Romy ditangani serius. Namun Romy tidak pernah disentuh. Tampak sekali permainannya, seperti mengubur bangkai di tengah pasar. Malah dengan alasan mengeluh sakit, pada 2 April 2019, kurang dari 2 minggu sebelum Pemilu Presiden, Romy dibantarkan ke Rumah Sakit Polri, Jakarta Timur. Tidak jelas apa penyakitnya, sebab baik KPK maupun penasehat hukumnya, enggan menjelaskan. Namun diduga keras, saat itu Romy mulai rewel dan merengek-rengek ke Harso, agar segera dibebaskan. Sebulan berselang, tepatnya 2 Mei 2019, izin pembantaran Romahurmuziy dicabut dan Romi kembali mendekam di rutan KPK. Namun pada Rabu (8/5/2019), ia kembali mengeluh sakit. Saat itu, tim dokter di rutan KPK masih bisa menangani keluhan Romi. Akibatnya, Romi tidak ditahan. Kemudian permainan berlanjut, ia kembali harus dirawat di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta Timur pada Senin (13/5/2019) malam. Hal itu dilakukan hanya lantaran alasan, bekas ketua umum PPP itu kembali mengeluh sakit. Meski demikian Romy sempat bersaksi pada sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (26/6/2019). Namun setelah itu, ia mengeluh sakit kembali, dan kemudin dirawat di RS yang sama. Aktivis ICW, Kurnia menduga bahwa kondisi sakit yang dialami Romy hanyalah alasan untuk berusaha menghindar dari proses pemeriksaan. Ia meminta agar KPK melakukan second opinion dari dokter yang lain dan jika terbukti Romi menggunakan alasan sakit untuk mengulur-ulur perkara, KPK bisa menjerat orang-orang yang terlibat dengan pasal obstruction of justice atau merintangi proses penyidikan . Diakui atau tidak, dalam penanganan kasus Romy, KPK tampak tidak profesional. Jangankan bertindak cepat mengajukan Romy dalam persidngan, diperiksa saja tidak. Sangat aneh, karena KPK dalam 3 bulan terakhir, malah melakukan tiga kali perpanjangan penahanan. Begitulah episode sandiwara keluar masuk RS dijalani Romy, dengan leluasa berikut berbagai fasilitasnya. Tentu semua itu bisa terjadi karena ada kekuatan yang sangat berpengaruh. Dalam suasana tarik ulur pemeriksaan Romy itulah, Harso menjalankan gerilya politik. Beberapa kali, ia dipangil Presiden untuk menjelaskan perkembangan kasus "Mas Romy". Tepat dua hari sebelum pertemuan Prabowo Jokowi pada pertengahan Juli 2019, Presiden menyetujui untuk merubah UU KPK. Keputusan itu cukup melegakan Romy, yang sebelumnya sempat mengancam Harso, jika dia tidak bebas murni, maka semua pengurus DPC, DPW dan DPP PPP yang terlibat akan diseret masuk bui. Sangat tragis, ini bukti bahwa Romy telah mengunakan instrumen partai sampai di tingkat kabupaten, menjadi makelar jabatan. Kabarnya Romy juga doyan komisi Rp. 10 juta untuk urusan jabatan ketua KUA di tingkat kecamatan. Memuakkan. Manuver politik Harso, berlanjut dengan merubah kemudi kapal untuk berjalan miring, menuju ke arah ketua umum parpol, dan para politisi Senayan. Pertemuan para politisi itu mirip seperti praktek blantik sapi, jika tidak boleh disebut sebagai pertemuan komplotan para bandit. Bagi mereka, tidak penting soal bangsa dan negara, asal harganya cocok. Sayang operasi politik Harso itu, terbentur masalah teknis, DPR telah reses hingga 15 Agustus 2019, sehingga pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR baru dapat dilakukan pada masa sidang selanjutnya. Terlebih revisi UU KPK tersebut, tidak masuk dalam daftar inventarisasi RUU dan non RUU Periode 2014-2019. Anehnya pada masa sidang pertama, 16 Agustus 2019, tiba-tiba Baleg DPR mengajukan usulan revisi UU-KPK. Dan dengan diam-diam rancangan itu dibahas maraton dalam waktu yang amat singkat di internal Baleg DPR. Permainan hampir berakhir karena Rapat Paripurna DPR (5/9/2019) dengan suara bulat telah sepakat utk mengajukan revisi UU-KPK agar dijadikan sebagai RUU atas usul inisiatif DPR. Langkah pelemahan lainnya, yang cukup mencolok dapat dilihat dari hasil kerja pansel KPK dengan menggolkan kandidat-kandidat capim KPK yang dinilai punya rekam jejak bermasalah. Tidak usah kaget, karena semua atas pesanan Istana, maka dalam waktu yang singkat, hanya dua hari selepas diserahkan oleh Pansel, Presiden kemudian menyerahkan 10 nama capim KPK itu kepada DPR. Kali ini episode lonceng kematian KPK telah diskenariokan, ditabuh dan dijalankan dengan cantik oleh Istana. Maka berharap agar Presiden mengambil langkah-langkah untuk menyelamatkan KPK adalah tindakan konyol. Akhirnya, kita hanya dapat berharap dari hati nurani wakil rakyat, sembari bersandar pada pertolongan Allah SWT. Semoga bangsa ini tidak runtuh dalam kondisi mati konyol. Penulis adalah Wartawan Senior dan Pemerhati Ruang Publik
Mengapa PDIP Terkesan Ingin Menghancurkan KPK?
Mengumpulkan duit besar tentu berisiko besar pula. Tidak mudah untuk menyembunyikan transaksi super-jumbo di tengah operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Karena itu, KPK dirasakan sebagai penghalang. Harus dikebiri. Harus dihabisi wewenangnya. By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu penganjur utama revisi UU tentang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang akan melumpuhkan lembaga ini adalah blok politik terbesar di DPR, yaitu PDIP. Partai wong cilik. Partai yang dulu melawan ketidakadilan. Partai yang pernah bersumpah untuk membasmi korupsi. Revisi yang telah desepakati oleh semua fraksi di DPR itu diusulkan oleh enam anggota DPR. Semuanya pendukung Jokowi. Dari PDIP ada dua, yaitu Masinton Pasaribu dan Risa Mariska. Dari Golkar ada Syaiful Bahri Ruray. Kemudian, Teuku Taufiqulhadi dari Parai Nasdem. Dari PPP ada Achmad Baidowi. Sedangkan inisiator dari PKB adalah Ibnu Multazam. Jika dilihat komposisi anggota DPR yang menggagas revisi UU KPK itu, PDIP terkesan ingin menghancurkan lembaga antikorupsi ini. Tak masuk logika politik untuk mengatakan orang lain yang menjadi biangnya. Kesimpulan ini bisa diuji. Misalnya, apakah usul revisi bisa sukses kalau PDIP menentangnya? Tak mungkin! Tidak mungkin revisi itu bisa lolos. Dengan begitu, apakah PDIP tidak lagi antikorupsi? Kalau dilihat statistik kasus korupsi di KPK, Partai Banteng lebih cocok disebut pura-pura antikorupsi. Apakah itu bermakna PDIP prokorupsi? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu balik bertanya: apakah PDIP bisa disebut antikorupsi ketika mereka sekarang berusaha menghancurkan KPK? Apakah layak disebut antikorupsi padahal PDIP, sejak 2015, sibuk ingin memandulkan lembaga itu? Pikiran yang jernih pastilah menyebutkan bahwa manuver PDIP untuk melumpuhkan KPK, merupakan sikap yang tidak antikorupsi. Anda bebas menilai sendiri. Yang jelas, dalam hal-ihwal korupsi hanya ada dua kubu. Antikorupsi atau prokorupsi. Tidak ada kubu ketiga, kubu abu-abu. Menurut hemat saya, pada saat ini PDIP berada pada posisi terdepan untuk menghancurkan KPK. Mereka menghendaki wewenang lembaga pembasmi korupsi ini dicabut habis. Sangat pantas disangka bahwa atas inisitaif merekalah dicapai kesepaktan seluruh fraksi di DPR untuk mengubah UU tentang KPK Nomor 30 Tahun 2002. Revisi ini mewajibkan KPK tunduk di bawah Dewa Pengawas (DP). Ini salah stau ciptaan revisi. Tujuannya sudah bisa dibaca. Yaitu, untuk mengekang pimpinan KPK supaya tidak bebas lagi melakukan tindakan yang paling ampuh untuk memergoki korupsi. Tindakan itu ialah penyadapan telefon para terduga. Kalau revisi itu disahkan, KPK harus meminta izin dulu kepada DP. Begitu juga kalau KPK mau melakukan penggeledahan. Harus ada restu dari DP. Revisi lainnya termasuk penghentian penyidikan kasus. KPK boleh menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan). Inilah salah satu yang sangat berbahaya. Bisa saja nanti para koruptor masuk jalan belakang untuk membuat ‘deal’ agar kasus seseorang dihentikan oleh KPK. Terus, apa yang kira-kira menyebabkan PDIP menjadi tidak antikorupsi lagi? Mungkin karena KPK selama ini terlalu banyak menjaring politisi dan kader Banteng. Atau, boleh jadi juga karena mereka masih belum selesai mengumpulkan duit sebanyak-banyaknya. Mengumpulkan duit besar tentu berisiko besar pula. Tidak mudah untuk menyembunyikan transaksi super-jumbo di tengah operasi tangkap tangan (OTT) KPK yang tak bisa dikendalikan oleh siapa pun. Karena itu, KPK dirasakan sebagai penghalang. Harus dikebiri. Harus dihabisi wewenangnya. Wajar diakui bahwa KPK telah membuat PDIP kecewa dan malu. Di mana-mana, kader Banteng tertangkap basah melakukan transaksi korupsi. LSM antikorupsi, Indonesian Corruption Watch (ICW) membuat grafik partai politik yang paling korup dalam periode 2002 sampai 2014. PDIP menempati urutan teratas. Disusul Golkar, PAN, PKB, dan parpol-parpol lain. Tercatat 157 kader PDIP, 113 kader Golkar, 41 kader PAN, 34 dari PKB, dst, yang masuk jaring KPK (data KPK Watch). Di awal tahun ini, di bulan Februari 2019, ledakan dahsyat kasus korupsi menggemparkan seluruh pelosok Nusantara. Bupati Kota Waringin Timur, Supian Hadi, ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka korupsi 5.8 triliun. Inilah rekor terbesar kerugian negara, mengalahkan kasus BLBI 4.5 triliun atau skandal KTP-el 2.3 triliun. Supian Hadi adalah kader PDIP. Salah seorang penggagas revisi dari PDIP, Masinton Pasaribu, sudah sejak lama tidak cocok dengan KPK. Di tahun 2015, dia pernah mengusulkan penggunaan hak inisiatif DPR untuk mengubah UU KPK. Menurut catatan situs JejakParlemen-id, pada 18 Februari 2018, di DPR, berlangsung rapat evaluasi KPK yang dihadiri pimpinan KPK. Di sini, Masinton mengkritik habis kinerja lembaga antikorupsi itu. Masinton mempertanyakan mengapa KPK tidak membawa kasus Pelindo II ke pengadilan padahal sudah memiliki dua barang bukti. Dalam hal ini, Masinton benar 100 persen. KPK seharusnya tidak menunjukkan keanehan terkait kasus Pelindo II. Audit BPK sudah menegaskan kerugian negara akibat skandal ini. Tidak ada alasan bagi KPK untuk mengulur-ulur waktu. Ada kesan, KPK tak berani. Atau, terkesan mau melindungi orang-orang tertentu yang menjadi aktor utama skandal Pelindo II. Masih di bulan Februari 2018, dalam rapat rekomendasi Pansus KPK, Masinton Pasaribu mengklarifikasi sikap PDIP tentang eksistensi KPK. Dia mengatakan, partainya konsisten untuk memperkuat pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. Tetapi, dia menambahkan perlu ada perbaikan KPK berdasarkan hasil temuan-temuan Pansus KPK. Bahkan Masinton mendukung penambahan anggaran KPK demi pemberantasan korupsi. Penilaian dan penegasan Masinton itu tentu pantas diapresiasi. Tetapi, mengapa sekarang PDIP ingin menghancurkan KPK?