NASIONAL
People Power, Gerakan Mahasiswa, dan Masa Depan Rezim Jokowi
Oleh Dr. Syahganda Nainggolan (Sabang Merauke Circle) Jakarta, FNN - "Jokowi turun, Jokowi turun..., Jokowi turun", demikian sebagian lagu-lagu dari sebagian mahasiswa long march ke DPR dan di berbagai daerah ke DPRD beberapa hari belakangan ini. Meskipun tuntutan semula mahasiwa hanya pada DPR terkait revisi UU KPK, aksi mahasiwa meluas ke arah pusat kekuasaan yakni Jokowi. Sebab, memisahkan DPR yang dikuasai Jokowi dengan Jokowi sendiri, yang turut mendukung revisi UU tersebut tidak mungkin terjadi. Hari ini gerakan mahasiswa tidak surut karena kemarin gerakan ini dipatahkan oleh aparat polisi. Beberapa mahasiswa terluka, dan sebagaian pecah kepala dan pendarahan otak. Bahkan, dikabarkan seorang mahasiwa meninggal akibat kekerasan fisik yang dialami saat bentrok dengan aparat. Tidak surutnya gerakan ini bahkan ditandai dengan munculnya gerakan remaja alias siswa. Hari ini dan kemarin anak-anak STM (Sekolah Teknik Menengah) datang ke DPR, malah lebih berani dari seniornya mahasiswa. Beberapa video viral menunjukkan anak-anak remaja ini menyerang aparat dan menendang-nendang mobil patroli aparat. Kemarin saya sudah menulis bahwa "the unprecedented" adalah situasi baru era sekarang ini, yang dijelaskan oleh professor Shoshona Zuboof of Harvard University dalam "the Surveillance Capitalism", 2019, untuk melihat bahwa suatu kejadian besar haruslah secara serial dari sesuatu yang kecil. Hal ini untuk menjelaskan publik kenapa gerakan mahasiswa tiba-tiba saja besar, tanpa gerakan kecil dalam skala kampus maupun kota. Pada kesempatan ini saya ingin menambahkan penjelasan teoritik situasi sekarang ini dengan menambah suatu kazanah baru dalam ilmu sosial, yang disebut "Youthquake". James Sloam dan Matt Henn dalam "Youthquake 2017: The Rise of Young Cosmopolitans in Britain", Palgrave, 2018, melihat berbagai kebangkitan politik anak-anak usia remaja, 18-24 tahun di berbagai negara Eropa dan Amerika. Kebangkitan politik ini bukan dalam pengertian elektoral alias partai politik dan parlemen, melainkan antara lain kepedulian pada isu2 kebebasan, kemanusian, lingkungan hidup dan anti korupsi. Gerakan mahasiwa dan remaja ini pada intinya adalah "anti establishment", dan sensitif terhadap kesombongan kekuasaan. Dalam kasus di Inggris, penulis ini menunjukkan adanya pergeseran kaum mudah menjadi pro pada "globalist-left", setelah isu Brexit. The unprecedented dan Youthquake di atas penting untuk dipahami kekuasan dan kaum cendikiawan untuk menilai bahwa tuduhan bahwa gerakan mahasiswa ini ditunggangi atau diarahkan untuk kepentingan tertentu tidak berdasar. Dengan alasan teoritik yang tepat tentu kita mengetahui bahwa gejala sosial di Indonesia, sesungguhnya adalah penyebab utama gerakan mahasiswa dan juga remaja kita saat ini. Gejala sosial itu antara lain ditunjukkan oleh kesombongan kekuasaan dalam kasus lingkungan hidup kebakaran hutan, isu pindah ibukota dan revisi UU KPK yang tidak mengindahkan dialog pada rakyat. Independensi Gerakan dan Pengkhianatan Demokrasi Ray Rangkuti, intelektual pendukung rezim Jokowi, yang juga pelaku utama reformasi 98, sudah dua hari ini menjelaskan bahwa gerakan mahasiswa saat ini adalah gerakan murni, tidak ditunggangi. Dia juga berharap agar kawan-kawan angkatan 1998, khususnya Masinton Pasaribu dan Fahri Hamzah, tidak menyepelekan gerakan ini. Persoalannya kemudian adalah gerakan murni ini dihalau dengan kekuasaan. Pada 12 April 1989, misalnya, kepala Fadjroel Rahman, komisaris utama Adhi Karya, otak rezim Jokowi, kepalanya pecah dipukul polisi, ketika demo mahasiswa di Bandung. Pada saat itu setting politik Indonesia Orde Baru memang bukan demokrasi, melainkan otoriter, sehingga gerakan mahasiswa haruslah dimusnahkan. Namun, pecahnya kepala mahasiswa saat ini, sangat kontras dengan klaim Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar. Menyerang gerakan-gerakan rakyat seperti kelompok-kelompok Islam 212, oleh kekuasaan Jokowi, dengan alasan kelompok-kelompok ini dituduhkan mempunyai ciri-ciri radikalisme dan fanatisme agama, mungkin masih dapat diterima sebagian kelompok-kelompok pro-demokrasi. Namun, ketika gerakan mahasiswa, yang merupakan gerakan non-ideologis kiri/kanan, mengalami penghalauan dengan kekerasan, semua akhirnya harus meyakini bahwa rezim ini tidak "compatible" dengan demokrasi. Pandangan Ray Rangkuti hanyalah "puncak gunung es" dari elemen-elemen pendukung Jokowi. Sebelumnya media pendukung Jokowi, TEMPO, sudah membuat karikatur Jokowi dengan bayangnya Pinokio dan JP membuat karikatur Jokowi dengan bayangan Suharto. Di balik "puncak gunung es" ini tentu ada kekuatan besar rakyat Indonesia yang kecewa dengan Jokowi. Pengkhianatan demokrasi buat mereka adalah kebiadaban besar. Hal ini tertutupi ketika 5 tahun belakangan ini Indonesia terbelah dalam politik identitas. Setelah Pemilu usai, maka pengkhianatan ini menjadi muncul kepermukaan. Masa Depan Rezim Jokowi Jokowi telah memenangkan pilpres 2019. Dalam memasuki term keduanya, Jokowi dihadapi kenyataan bahwa demokrasi mati atau hampir mati di bawah kekuasannya. Persoalannya kemudian apakah rakyat menerima kehidupan autokrasi ke depan? Khususnya ketika globalisasi era internet ini mengantarkan dunia pada kebebasan sipil. Jika rezim Jokowi akan mengelola pemerintahan tanpa demokrasi, Jokowi harus mampu seperti Suharto di masa orde baru, yang mengangkat ekonomi Indonesia menjadi salah satu negara "new emerging countries". Jika Jokowi memberlakukan autokrasi tapi ekonomi terus memburuk, maka pembrontakan rakyat tidak mungkin terhindarkan. Catatan Akhir Keberanian mahasiwa dan anak-anak remaja sekolah menengah tidak kalah dari kelompok-kelompok Islam 212 dalam membicarakan kebenaran dan keadilan. Gejala dunia di mana kebangkitan kalangan remaja yang anti-establishment meningkat, sudah saatnya kekuasaan dikelola dengan demokrasi dan dialog. Apalagi ketika keadilan sosial yang dijanjikan negara tidak terpenuhi. Pengkhianatan terhadap demokrasi dan komitmen pemberantasan korupsi akan menjadi sumber ketidakstabilan bagi rezim Jokowi ke depan. Termasuk elit-elit partai-partai pendukung Jokowi. Hati hati, gerakan people power bisa segera terjadi. Lihatlah tagar #AnakSTM sudah mencapai 356.000 tweets dan #STMmelawan 238.000 tweets belum sampai 12 jam di medsos. Dunia medsos akan mempercepat krisis jika kekuasaan Jokowi tidak hati-hati meng "handle" situasi yang ada. Satu-satunya jalan bagi Jokowi adalah kembali pada demokrasi dan dialog sosial politik. End.
Gerakan Mahasiswa 2019: Manusia Bodoh dan Kuda Tunggang?
Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - “Ditunggangi” menjadi kosa kata itu paling banyak disematkan kepada aksi mahasiswa 2019. Anehnya kosa kata yang sangat disukai oleh penguasa Orde Baru itu, kali ini tidak hanya digunakan oleh penguasa dan para pendukungnya. Kelompok-kelompok oposisi tertentu dengan senang hati menggunakannya. Pendukung pemerintah mencoba menggunakan mantra lama yang sukses pada Pilpres 2019: Aksi mahasiswa kali ini ditunggangi oleh kelompok khilafah dan radikal! Stigma ini disematkan dalam aksi mahasiswa di Yogya dengan tajuk: Gejayan Memanggil. Tujuannya untuk mengaborsi gerakan mahasiswa dan menimbulkan ketidak-percayaan publik. Sebaliknya beberapa kelompok oposisi juga mengamati dengan waspada dan curiga. Mereka mencurigai gerakan mahasiswa ini dimanfaatkan rezim pemerintah. Tujuannya untuk mengalihkan perhatian publik dari beberapa isu yang tengah mendera pemerintah. Berbagai teori konspirasi dikembangkan. Salah satu argumennya: mengapa tiba-tiba mahasiswa bergerak tak terbendung. Selama ini kemana saja? Pasti ada yang menggerakkan. Apes benar! Menjadi mahasiswa dalam posisi serba salah. Diam saja ketika terjadi hiruk pikuk politik, dibullly. Begitu turun ke jalan dicurigai. “Mahasiswa itu bukan manusia bodoh,” ujar Ketua BEM Universitas Gajah Mada (UGM) Atiatul Muqtadir (Fatur) dalam talkshow ILC TV One Selasa (24/9). Siapapun menyaksikan para ketua BEM mahasiswa saat tampil di ILC bersama Fatur, pasti sepakat dengannya. Fatur tampil memukau dan menjadi trending di dunia maya. Basis argumentasinya jelas. Sikapnya terhadap isu nasional yang dipersoalkan juga jelas dan tegas. Perbedaan generasi Mengapa sampai muncul kecurigaan terhadap aksi mahasiswa, terutama dari kelompok-kelompok oposisi tertentu? Pendekatan secara sosiologis bisa membantu kita menjawabnya. Penjelasannya adalah adanya perbedaan sosiologis antar-generasi. Generation gap. Latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda antar-generasi, membuat respon mereka juga berbeda ketika menghadapi sebuah situasi. Dua orang penulis asal Amerika Serikat William Strauss dan Neil Howe yang pertamakali memperkenalkan Generation Theory. Berdasarkan pembagian Strauss dan Howe setidaknya ada tiga generasi yang saat ini aktif di dunia bisnis, politik, pemerintahan, dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Generasi Baby boomer (1946-1966). Generasi X (1965-1980). Generasi Milenial (1981-1994). Mereka berada di puncak kekuasaan. Lingkaran kekuasaan di seputar Presiden Jokowi didominasi oleh generasi baby boomer. Figur seperti Megawati, Wiranto, Luhut Panjaitan, Hendropriyono, termasuk Presiden Jokowi adalah generasi ini. Mereka adalah generasi pasca Perang Dunia II. Cenderung berorientasi pada pencapaian dalam karir secara konsisten. Mereka juga jauh dari era digital. Kalau toh mengenal dunia digital, mereka masuk kategori imigran digital. Mereka juga hidup di era otoriter (Orde Baru) dan kemudian memasuki masa transisi demokrasi (Reformasi 1998). Jadi mereka adalah imigran demokrasi. Generasi ini adalah double imigran. Digital sekaligus demokrasi. Sebagian lainnya adalah Generasi X dan Generasi Milenial. Mereka masuk dalam kelompok native digital, namun dari sisi demokrasi adalah imigran. Mahasiswa yang kini turun ke jalan, adalah Generasi Z (1995-2010). Termasuk dalam kelompok ini pelajar Sekolah Teknk Menengah (STM) yang pada hari Rabu (25/9) ikut berunjukrasa ke Gedung DPR. Mereka adalah generasi native digital, sekaligus native demokrasi. Begitu lahir sudah terintegrasi dengan dunia digital dan demokrasi sekaligus. Latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda, membuat mereka juga berbeda dalam merespon peristiwa dan keadaan. Bagi generasi imigran demokrasi, bila sudah masuk ke dunia politik, pemilu sudah dilaksanakan, maka sebuah negara dianggap sudah demokratis. Persoalan HAM, kebebasan pers, dan berbagai kebebasan individual tidak masuk dalam hitungan. Mereka beranggapan, indikator kepedulian mahasiswa bila terlibat dalam politik praktis. Ketika mahasiswa seperti tak peduli ketika generasi yang lebih tua, turun ke jalan selama pilpres, maka mereka dianggap apolitis. Bagi generasi Z, demokrasi tidak hanya sebatas parpol dan kontestasi pemilu. Banyak fitur demokrasi yang seharusnya bisa dimaksimalkan. Mulai dari kebebasan individu, berekspresi, penghargaan terhadap ras, gender, agama, pemerintahan yang demokratis, sampai penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi dan kolusi. Hal itu menjelaskan mengapa begitu muncul satu isu bersama, yakni pelemahan KPK, aksi mahasiswa bermunculan. Mulai dari kota-kota besar, sampai dengan kota-kota kecil di seluruh Indonesia. Isu-isu lain, hanya isu ikutan. Aparat keamanan, generasi tua tiba-tiba menjadi bingung. Makanya kemudian muncul pertanyaan: Siapa yang menggerakkan? Kok tiba-tiba muncul sangat massif. Jawaban yang paling mudah, menoleh pada referensi lama. Gerakan-gerakan semacam ini hanya bisa terjadi bila ada mobilisasi massa. Ada bandar, dan ada yang menunggangi. Yang tidak mereka pahami, dalam dunia digital, isu-isu semacam itu dengan mudah didesiminasi dan disebarluaskan. Mereka juga dengan cepat berkoordinasi dan membangun gerakan. Aksi 212 adalah contoh lain, betapa isu populis yang menyentuh kepentingan orang banyak, bisa menggerakkan publik dengan sangat mudah dan cepat. Jangan dicari-cari, siapa yang menggerakkan, menjadi bandar, dan siapa yang menungganginya. Tidak akan ketemu. Karena memang tidak ada. Andai saja para orang tua yang curiga ini tak lupa, atau pernah membaca puisi Khalil Gibran. Mereka tidak perlu mengernyitkan kening. Apalagi sampai harus nyinyir. Anakmu, bukanlah milikmu. Anak adalah kehidupan, Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu. Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu, Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu Karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri. End
Nasib Jokowi Akan Seperti Sukarno dan Soeharto, Tumbang!
Rancangan UU KPK tampak sangat jelas digeber untuk mengejar setoran. Pengesahannya undang-undang seperti kejar tayang saja. Malah bisa dilang, kerja DPR seperti maling yang dikerjar hansip. Mana mungkin lembaga legislatif yang tinggal memiliki masa dinas tiga minggu bisa obyektif membahas sebuah produk perundang-undangan. Oleh Dimas Huda Akhirnya mahasiswa turun juga. Gerakan mahasiswa ini kali diharapkan dapat meredam sikap ugal-ugalan politisi di Senayan, juga Istana. Gerakan-gerakan lain boleh disepelekan, tapi jangan menganggap enteng gerakan mahasiswa. Mengabaikan gerakan yang diinisiasi kelompok intelektual muda sama saja dengan bunuh diri. Kini, gelombang demo mahasiswa kian massif. Mereka menolak pemberlakuan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi atau UU KPK. Mahasiswa juga menolah materi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau (RKUHP). Tentang UU KPK baru mereka menilai, hanya mengebiri kekuatan KPK dalam memberantas korupsi. Sedangkan RKUHP dinilai terlampau dalam merecoki hak sipil. Selain itu, kembali menghidupkan pasal ancaman hukuman terhadap presiden yang merupakan warisan kolonial. Sejarah membuktikan, pada tahun 1966 gerakan mahasiswa sukses menumbangkan Presiden Sukarno. Demikian halnya pada 1998, mahasiswa yang menduduki gedung DPR berhasil menggulingkan Presiden Soeharto dari singgasana yang sudah didudukinya selama 32 tahun. Mangacu pada fakta itu, jangan sekali-sekali mengabaikan gerakan mahasiswa. Tak berlebihan jika suara mahasiswa diidentikkan dengan suara rakyat. Jika para calon pemimpin masa depan sudah bersuara, tentu karena hati nurani rakyat sudah terusik. Korupsi yang marak sejak era Orde Baru terus berlangsung hingga hari ini. Dan hingga kini hanya KPK satu-satunya lembaga penegak hukum yang mendapat tempat di hari masyarakat untuk menegakkan keadilan. Maka, begitu institusi pimpinan Agus Rahardjo dilemahkan, pantaslah sdaja jika mahasiswa menggelar aksi demo di berbagai kota besar. Kejar Setoran Terlebih Rancangan UU KPK tampak sangat jelas digeber untuk mengejar setoran. Pengesahannya undang-undang seperti kejar tayang saja. Malah bisa dilang, kerja DPR seperti maling yang dikerjar hansip. Mana mungkin lembaga legislatif yang tinggal memiliki masa dinas tiga minggu bisa obyektif membahas sebuah produk perundang-undangan. Saat mengirim surat presiden menyetujui pembahasan RUU KPK, Presiden Joko Widodo sebenarnya punya waktu 40 hari untuk membahas dan meneliti materi bakal produk hukum itu. Tapi rupanya desakan dari parpol pendukung maupun parpol yang menjadi lawannya di pemilu lalu lebih didengar. Parpol memang punya kepentingan paling pekat di RUU KPK. Sepanjang 2004-2019 tercatat 255 anggota DPR dan DPRD masuk penjara lantaran korupsi. Ini angka kelompok koruptor paling tinggi dibandingkan birokrat, penegak hukum dan direksi BUMN. KPK juga makin tak pandang bulu. Sejumlah ketua partai politik dicokok. Kini setidaknya sudah ada lima ketum parpol yang diantar KPK menghuni hotel prodeo. Paling mutakhir tentulah Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Ia diciduk KPK di Surabaya, Jumat (15/3). Pria yang kerap disapa Romy itu diamankan atas dugaan suap jual beli jabatan di Kementerian Agama. Pimpinan partai politik pertama yang diciduk KPK adalah Luthfi Hasan Ishaaq. Anggota DPR sekaligus Presiden PKS periode 2009-2014 ini diciduk oleh petugas KPK pada Rabu, 30 Januari 2013. Luthfi ditetapkan sebagai tersangka atas kasus suap pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian. Atas perbuatannya, Luthfi digancar dengan vonis hukuman 16 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar. Pasien KPK selanjutnya, Anas Urbaningrum. Ketua Umum Partai Demokrat ini ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat, 22 Februari 2013. Anas terlibat dalam kasus korupsi dan pencucian uang proyek pembangun GOR Hambalang. Anas divonis 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subside 3 bulan kurungan penjara. Bos partai selanjutnya Suryadharma Ali. Ketua Umum PPP ini ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana haji. Politisi yang juga menjadi Menteri Agama itu divonis 6 tahun penjara dan denda Rp330 juta subside 2 bulan kurungan. Usai melakukan banding, masa tahanan Suryadharma justru diperberat menjadi 10 tahun penjara. Selanjutnya Setya Novanto. Ketua Umum Golkar ini ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi e-KTP. Mantan Ketua DPR ini divonis menjalani hukumn 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subside 3 bulan kurungan. Ranah Sipil Keberpihakan pemerintah dan para “wakil rakyat” terhadap koruptor kian nyata dengan RUU Pemasyarakatan yang menyusul segera disahkan. Revisi atas UU Pemasyarakatan usul inisiatif DPR mempermudah bebas bersyarat dan remisi koruptor. RKUHP setali tiga uang. Pemerintah memperlakukan calon perangkat hukum maha penting ini sama dengan RUU KPK. Tak meneliti secara mendalam materi yang diaturnya. Padahal banyak pasal yang mengusik ranah sipil diatur RUU itu. Salah satunya lurah bisa mengambil sanksi berdasarkan hukum adat terhadap pasangan non suami isteri. Tak kalah pentingnya pasal tentang penghinaan presiden. Pasal ini asli warisan kolonial dan sejatinya sudah dihapus oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Dihidupkannya pasal ini memicu kecurigaan pemerintah akan bertindak represif terhadap yang mengkritik kebijakan presiden. Belum lagi dengan diaturnya tindak pidana korupsi di RUU ini, otomatis melucuti sifat kejahatan luar biasa yang diatur oleh UU Tipikor. Saatnya pemerintah waspada. Mahasiswa sudah bergerak. Suara mahasiswa adalah suara rakyat. Tak perlu mengulang nasib tragis presiden sebelumnya: Sukarno dan Soeharto. Penulis adalah Wartawan Senior
Mungkinkah Jokowi Lengser Melalui Gerakan Mahasiswa ?
Penderitaan masyarakat itu dimulai dari harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak. Pemaksaan dalam pelaksanaan pembayaran iuran BPJS. Ada juga bencana asap di Sumatera dan Kalimantan yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang tidak bisa ditangani secara efektif. Selain itu, kerusuhan di Papua yang kerap meletus yang diakibatkan adanya diskriminasi. Oleh Tjahja Gunawan Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi dan Ma'ruf Amin tinggal beberapa saat lagi. Jika tidak ada halangan dan perubahan mereka akan dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada tanggal 20 Oktober 2019. Namun apakah gelombang aksi unjuk rasa yang terjadi di berbagai daerah dalam beberapa hari terakhir ini, bisa menggagalkan pelantikan Jokowi-Ma'ruf hingga memakzulkan (impeach) Presiden? Banyak kalangan meyakini bahwa reformasi kembali akan terulang. Ya namanya Reformasi Jilid II. Sama halnya seperti peristiwa bulan Mei 1998, pada Reformasi Jilid II juga tidak mustahil akan mampu melengserkan Jokowi dari kursi Presiden. Suasana sekarang ini persis seperti situasi kondisi tahun 1998 menjelang lengsernya rezim Orde Baru. Maraknya aksi demo di berbagai daerah di Tanah Air, menyebabkan kalangan elite Istana kalang kabu dan mendadak mengadakan rapat. Akhirnya bulan Mei 1998, rezim Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun tumbang juga dirobohkan oleh Gerakan People Power Bersatu. Yakni kekuatan mahasiswa dari berbagai civitas akademika dan rakyat sipil bersatu. Gejala kepanikan yang sama muncul lagi sekarang. Inilah yang dinamakan Dejavu Reformasi. Hari Senin (23/9), Jokowi mengumpulkan sejumlah menteri, Panglima TNI, Kapolri dan jajaran Istana Merdeka, Jakarta. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut rapat ini akan membahas situasi terkini. Wajar kalau Jokowi panik karena aksi demonstrasi mahasiswa merebak di sejumlah daerah di Indonesia memprotes rencana pemerintahan Jokowi dan DPR yang mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang. Demo digelar serentak di Riau, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, hingga Papua hari Senin (23/9). Di Yogyakarta, mahasiswa yang bergabung dengan pekerja, pelajar, dan aktivis masyarakat sipil menggelar demo di Pertigaan Gejayan. Demo bertajuk #GejayanMemanggil ini bahkan menjadi topik terpopuler Twitter di Indonesia. Semua elemen yang bergerak dalam aksi #GejayanMemanggil tergabung dalam Aliansi Rakyat Bergerak. Mereka mengusung tujuh tuntutan. Di antaranya mendesak RKUHP ditunda, revisi UU KPK yang baru disahkan, mengadili elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan, dan menolak pasal-pasal bermasalah RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan. Aksi mahasiswa pada Hari Senin itu, dilanjutkan kembali pada Selasa (24/9). Kali ini bukan hanya para mahasiswa tetapi juga diikuti unsur masyarakat sipil lainnya seperti kelompok tani dan kaum buruh. Gelombang aksi demonstrasi ini tidak bisa dibendung lagi karena dibawah rezim Jokowi ini, masyarakat makin merasakan berbagai penderitaan. Penderitaan masyarakat itu dimulai dari harga-harga kebutuhan pokok yang melonjak. Pemaksaan dalam pelaksanaan pembayaran iuran BPJS. Ada juga bencana asap di Sumatera dan Kalimantan yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang tidak bisa ditangani secara efektif. Selain itu, kerusuhan di Papua yang kerap meletus yang diakibatkan adanya diskriminasi. Pasca reformasi, peta politik-ekonomi negara justru didominasi oleh kaum borjuasi lokal. Melalui kartel politik dan oligarki parpol, elite politik telah membajak demokrasi. Salah satunya melalui pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik dan media massa. Praktek oligarki parpol dan kartel politik ini juga berkontribusi pada perusakan lingkungan yang akhirnya menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Contoh lain dominasi oligarki parpol saat ini bisa dilihat dari berbagai kejadian akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019 menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Selain itu, supremasi hukum sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif (DPR). Pasal-pasal ini meliputi aturan mengenai makar, kehormatan presiden, Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), hukum yang hidup di masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai sana. Saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif. Hadirnya RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan dipaksakan. Tahun 2019, reformasi tepat berumur 21 tahun. Sayangnya upaya perubahan bangsa kepada kemajuan justru menemui kemunduran telak akibat beragam kebijakan yang mengkorup agenda-agenda Reformasi. Beragam kebijakan Pemerintah dan DPR, semakin bertentangan dengan pokok-pokok reformasi sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No.X Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan Dalam Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Negara. Dalam konteks itu, para mahasiswa yang hari-hari ini turun ke jalan menilai pemerintah dan DPR tidak belajar dari beragam kesalahan yang dilakukan rezim Orde Baru. Pemerintah dan DPR justru membuai serangkaian kebijakan yang mendorong negara pada sistem pemerintahan yang korup, otoriter, dan menciptakan ekonomi yang eksploitatif. "Atas dasar itu, kami turun kejalan untuk menyampaikan beragam tuntutan yang menjadi keresahan bersama Rakyat Indonesia," kata seorang mahasiswa Yogyakarta dalam orasinya. TAP MPR No.X Tahun 1998 secara tegas menyatakan bahwa praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan masalah yang terjadi selama rezim era Orba. Oleh karena itu kemudian disiapkan sarana dan prasarana serta program aksi dan agenda reformasi bagi tumbuhnya suasana yang sehat dan bebas dari praktek KKN. Sebelumnya program dan agenda tersebut ada kemajuan melalui reformasi birokrasi, pengesahan UU Tipikor, dan pembentukan KPK. Sayangnya, pada 2019 beragam kemajuan yang telah diupayakan dalam pemberantasan KKN tersebut menghadapi pukulan besar. Beragam pembentukan regulasi dan kebijakan termasuk Revisi UU KPK, RUU KUHP, Undang-Undang Pemsyarakatan, dan pemilihan Pimpinan KPK yang bermasalah. Ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap upaya pemberantasan KKN telah dilakukan secara sistematis melalui pelemahan kewenangan dan independensi KPK dalam memberantas KKN, pelemahan ancaman pidana, pelemahan sanksi terhadap koruptor, dan merusak KPK dengan pemilihan orang-orang bermasalah didalamnya. Saat ini NKRI dalam keadaan bahaya karena kebijakan Presiden dan DPR telah menghilangkan kepercayaan rakyatnya. Jika ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan DPR terus berlanjut, dikhawatirkan akan munculnya gelombang civil disobedience yang massif. Para mahasiswa dan masyarakat sipil telah mengingatkan pemerintah dan DPR untuk tidak mengkorup reformasi dan tidak mengembalikan kultur rezim Orde Baru dalam penyusunan kebijakan. Sekali lagi saya mengingatkan, jika pemerintahan Jokowi dan DPR tidak merespon tuntutan para mahasiswa dengan tepat, Anda harus rela untuk lengser atau dilengserkan masyarakat. Wallahu a'lam. Penulis adalah Wartawan Senior
Aktor Karhutla Masih Sama Dengan Yang Mengemplang BLBI
Pak Presiden, modus yang digunakan oleh pemilik lahan perkebunan ini sebenarnya serupa dan sebangun dengan praktik menggerogoti dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Waktu dan tempatnya saja yang berbeda. Orangnya, kemungkinan tidak berbeda jauh dengan pelaku pengemplang BLBI Oleh Fuad Bawazier Menghadapi Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla), presiden diiringi para petinggi negeri turun ke area kebakaran. Presiden Jokowi seperti biasanya, foto-foto di lokasi dan disebar ke media. Sayangnya maaf, rakyat tidak terkesan Pak Jokowi. Rakyat bosan dengan publikasi yang model beginian. Toh kebakaran seperti ini terus berlangsung. Negara juga harus mengeluarkan uang banyak untuk mengatasinya. Rakyat yang menderita dan menjadi korban. Kami baru akan terkesan bila kedatangan presiden mampu mengakhiri kebakaran. Bukan sekadar selfie Ria. Luar negeri diam-diam maupun terang-terangan mengeluh dan memaki pemerintah Indonesia. Mereka yakin bahwa kebakaran itu adalah ulah pemilik lahan . Diduga pemilik lahan dari kalangan pengusaha atau kerja sama “Peng-Peng”. Bahkan kabarnya ada pemiliknya sebagian besar dari Malaysia dan Singapore. Singkatnya, pemerintah kurang berdaya menghadapi para “Peng-Peng” ini. Dengan kejadian ini, luar negeri semakin mendapatkan landasan atau alasan kuat untuk mengembargo minyak goreng kelapa sawit. Karena itu tampaknya luar negeri akan meningkatkan tekanannya pada produk sawit dari Indonesia. Saya sendiri sebenarnya sedang mencari alternatif minyak goreng selain sawit. Upaya ini sebagai antisipasi kalau minyak goreng sawit tidak laku di dalam maupun di luar negeri. Mau tidak mau pemerintah dan pengusaha sawit akan lebih maksimal menggunakannya. Sebagai alternatif lain untuk sawit, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM). Triliunan dana yang terkumpul dari sawit, diharapkan bisa lebih transparan penggunaannya. Dengan begitu, semoga bisa bermanfaat bagi Indonesia. Dana puluhan triliun dari sawit juga bisa digunakan untuk ongkos pemadaman kebakaran hutan dan lahan sekarang ini terjadi. Jangan pakai dana dari APBN atau APBD yang lagi cekak untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan. APBN dan APBD itu uangnya rakyat. Dan sebagiannya dari utang pula. Tidak semua rakyat terlibat dalam pembakaran lahan dan hutan. Masa rakyat yang menjadi korban dan menderita, malah yang harus bayar ongkos pemadamannya. Jadi harus dari dana sawit puluhan triliun yang terkumpul. Kepolisian mengumumkan ratusan orang sudah ditetapkan sebagai tersangka pembakaran hutan dan lahan. Maaf, kami juga tidak terkesan meskipun ribuan yang dijadikan tersangka. Selama kebakaran dari tahun ke tahun seperti sekarang masih terus terjadi. Pengumuman penetapan ratusan tersangkan oleh polisi itu hanyalah “ritual tahunan setiap ada kebakaran hutan dan lahan”. Publik juga tahu bahwa yang ditangkap kebanyakan orang suruhan atau orang bayaran. Ingat bahwa satu tertangkap, ribuan yang siap menggantikan. Maklum, sekarang sedang banyak-banyak pengangguran. Kejaksaan Agung juga mengumumkan sekian ratus tersangkan pembakaran hutan dan lahan. Mereka akan segera diajukan ke pengadilan. Maaf, rakyat juga tidak terkesan. Karena kebakaran tetap berlangsung dari tahun ke tahun. Petinggi lain minta rakyat bersabar dengan musibah yang datang dari Allah SWT. Maaf, rakyat bukan saja tidak terkesan, tetapi malah sinis. Rakyat percaya bahwa di balik semua kebakaran hutan dan lahan ini kepentingan bisnis “Peng-Peng”. Pak Presiden, modus yang digunakan oleh pemilik lahan perkebunan ini sebenarnya serupa dan sebangun dengan praktik menggerogoti dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Waktu dan tempatnya saja yang berbeda. Orangnya, kemungkinan tidak berbeda jauh dengan pelaku BLBI Mereka, para “Peng-Peng” pelaku BLBI, membakar industri perbankan. Mereka juga memperoleh keuntungan besar dari uang BLBI. Pemerintah memadamkan Krisis Moneter (Krismon) dengan menggunakan dana APBN. Pelakunya ketawa-ketiwi karena tidak terjamah oleh hukum. Mereka yang dihukum dari kejahatan BLBI hanya kroco-kroco sebagai simbol dan tumbal kecil saja. Tidak berbeda banyak dengan kejadian Karhutla sekarang. Jangan-jangan aktor intelektualnya, paling tidak sebagiannya masih sama dengan pelaku BLBI. Masih yang itu-itu juga. Hukum lumpuh dan takut menghadapi mereka yang berkekuatan finansial kuat. Mereka itu pelan-pelan berubah menjadi kekuatan politik di belakang layar. Konon mereka sekarang menjadi “sangat sakti” karena telah “banyak berjasa”. Entah jasa mereka itu apa? dan kepada siapa? Bapak Presiden Jokowi, penderitaan rakyat dari para bayi, dan anak sekolah. Bukan sampai disitu saja, sebab penderitaan itu sampai para orang tua. Selain itu, hewan serta lingkungan juga banyak binasa. Kerusakan itu sudah banyak dibahas dari kebakaran hutan dan lahan yang dahsyat ini. Media juga mengungkapkan bahwa pemerintah dan rakyat seakan tidak berdaya dan hanya bisa pasrah. Penguasanya tidak mampu bekerja, tetapi ingin tetap menjabat di pemerintahan. Tidak ada budaya malu karena gagal. Apalagi budaya mengundurkan diri. Sejak lama, sekurangnya sejak awal Bapak Jokowi menjabat presiden, saya sudah mengusulkan agar dibikin aturan bahwa semua hutan, lahan, ladang yang terbakar otomatis disita menjadi milik negara. Kalau regulasi ini yang diterapkan, maka insya Allah tidak akan ada kebakaran atau pembakaran lagi. Tidak akan ada lagi pemilik lahan yang menyuruh orang upahan untuk membakar hutan dan lahan. Para pemiliknya akan menjaganya baik-baik. Takut kalau terbakar nanti, bisa disita oleh negara. Aturan ini, bisa saja berbentuk Perpu ataupun Peraturan Pemerintah (PP). Pemerintah juga tidak perlu was-was atau membuang uang untuk pemadaman kebakaran hutan dan lahan karena ulah manusia. Namun saya sarankan, sejak awal aturan atau kebijakan yang tegas. Saya sendiri sudah menduga bahwa pemerintah tidak akan berani menjalankannya karena takut atau ewuh pakewuh dengan para Peng-Peng pemilik lahan. Padahal bila yang kebijakan tegas itu diberlakukan, maka dipastikan akan didukung penuh oleh rakyat. Biaya yang dikeluarkan pemerintah juga dipastikan sangat murah. Namun ceritanya menjadi lain bila kedaulatan pasar sudah diatas kedaulatan negara. Kini sudah waktunya negara membuat sikap yang keras dan tegas. Negara harus menetapkan semua lahan yang terbakar kembali menjadi milik negara. Semoga kali ini presiden bernyali menghadapi Peng-Peng. Amin amin amin Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Mantan Menteri Keuangan
Pak Menteri Lukman : RRC Paling Senang Sejarah Perang Jihad Dihapus
Pak Menteri Lukman. Hampir semua atau 90% perintah untuk perang melawan pejajajah ketika itu datang dari mulutnya para Sultan, Kiayai dan Ulama. Para Sultan selain menjadi penguasa atas Negara dan Wilayah Kesultanannya, mereka juga kaligus pemuka agama kepada rakyatnya. Mereka menjadi Imam dan Khalifah kepada umat di wilayah Kesultanannya. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Kita tinggalkan sebentar hiruk-pikuk revisi UU KPK dan RKHUP. Ada satu hal yang tak kalah mengerikan. Mohon maaf, tulisan ini terpaksa panjang. Tak tanggung-tanggung. Gerakan untuk mengacak-acak Islam dan umat Islam garis lurus kelihatannya dipimpin langsung oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Dia akan menghapus materi tentang perang jihad di dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Belum lama ini, Lukman Hakim pula yang membantah bahwa pemerintah Jokowi akan menghapuskan sama sekali pendidikan agama Islam. Bukan hanya materi perang. Menurut para petinggi Kementerian Agama (Kemenag), penghapusan materi perang dari SKI dimaksudkan agar Islam tidak lagi dikait-kaitkan dengan perang. Logika seperti ini tentu bertentangan dengan sejarah peperang sepanjang zaman. Lihat saja, siapa-siapa yang terlibat Perang Dunia I (1914-1918), Perang Dunia II (1939-1945), dan perang-perang lain setelah itu? Ingat Perang Korea (1950-1953). Kemudian Perang Vietnam yang berlangsung 20 tahun (1955-1975). Perang Falkland atau Malvinas antara Inggris dan Argentina (1982). Apakah orang Islam yang melakukan perang-perang dahsyat ini? Siapa yang menggunakan bom nuklir pertama yang membumihanguskan Hiroshima dan Nagasaki? Jawabanya: Amerika Serikat. Siapa yang melancarkan serangan mendadak ke Pearl Harbour yang memicu Amerika menjatuhkan bom nuklir itu? Jawabannya: Jepang. Apakah orang Amerika dan orang Jepang itu beragama Islam dan mereka belajar sejarah perang Islam sehingga menjadi suka berperang? Jawabannya: tak mungkin. Terus, apakah Hitler beragama Islam ketika dia menyatakan perang melawan sekutu dan Rusia? Dan apakah negara-negara sekutu dan Rusia beragama Islam? Apakah orang Inggris dan Prancis yang melancarkan perang terhadap Hitler, juga beragama Islam? Perang Korea antara Korea Utara dan Korea Selatan, apakah mereka yang berperang itu orang Islam? Pak Lukman dan para petinggi di Kemenag tampaknya perlu lebih jeli lagi. Perlu hati-hati melihat sejarah terjadinya peperangan di dunia. Agar tidak keliru menyimpulkan bahwa materi perang dalam sejarah Islam akan memebuat para siswa atau mahasiswa yang beragama Islam menjadi suka berperang. Apakah tidak ada perang di negara-negara Islam? Ada. Tidak dibantah. Tapi Pak Lukman dan para kolega perlu membaca ulang apa yang memicu umat Islam melancarkan perang. Ambillah contoh perang Palestina-Israel. Bukankah ini disebabkan penindasan zionis Israel? Contoh lain adalah perang India-Pakistan. Bukankah ini contoh bahwa umat Islam Pakistan tak sudi ditindas oleh India. Begitu juga Perang Kashmir. Bukankah ini terjadi karena India ingin menguasai wilayah milik kaum muslimin? Contoh yang dekat dengan kita adalah ragkaian perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda, Jepang, dan Inggris. Pak Lukman masih ingat bagaimana kejamnya para penjajah kafir yang menindas bangsa Indonesia? Yang memeras umat Islam? Mengapa Pak Menteri Agama tidak melihat bahwa perang yang menghasilkan kemerdekaan Indonesia itu dilancarkan di segenap pelosok negeri berkat pengetahuan mereka tentang sejarah Nabi Muhammad melawan penindasan orang kafir Quraish? Orang kafir Quraish tidak mau kebiadaban mereka diberantas oleh Rasulullah SAW. Kafir Quraish tak rela keadilan dan HAM ditegakkan oleh misi ajaran Islam. Di bumi Indonesia, orang Belanda, Jepang, Inggris juga Portugis tidak rela kebiadaban mereka dilawan oleh umat Islam. Pak Lukman jangan sampai lupa bahwa perlawanan itu dilancarkan oleh para ulama dan umat. Ada Pengeran Diponegoro, ada Tuanku Imam Bondjol, ada Kapitan Pattimura, ada Tjut Njak Dhien, Tjut Njak Meutia, Sultan Hasanuddin, Andi Abdullah Bau Massepe, Nyi Ageng Serang. Semua mereka ini adalah pejuang Islam, beragama Islam. Mereka mengobarkan semangat jihad fi-sabilillah melawan kafir penjajah. Pak Lukman Hakim, jangan lupa pula perlawanan terhadap penjajah yang dilancakan oleh Pangeran Antasari. Ada juga Teungku Tjik Di Tiro Muhammad Saman dan Keumalahayati di Aceh. Ada Depati Amir di Bangka, Raden Inten II di Lampung. Terus, ada La Maddekelleng, Sultan Nuku Muhammad Amiruddin di Tidore, ada Padjonga Daeng Ngalle, Raja Haji Fisabilillah di Riau. Selanjutnya, Pak Menteri ingat juga perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dilancarkan oleh Ronggong Daeng Romo, Hajjah Rangkayo Rasuna Said, dan lain-lain. Ada Supriyadi di Blitar melawan pasukan Jepang, dan ada Sultan Ageng Tirtayasa di Banten. Para pejuang Islam yang mengobarkan semangat perlawanan karena mereka paham tentang kewajiban melawan penindasan. Coba lihat catatan tentang Teuku Umar, Tuanku Tambusai, atau Halim Perdanakusuma. Mereka ini berjihad untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah yang menindas dengan biadab dan sadis. Entah siapa-siapa lagi yang tak mungkin disebutkan satu per satu di sini. Masih banyak lagi Pak Lukman. Hampir semua atau 90% perintah untuk perang melawan pejajajah ketika itu datang dari mulutnya para Sultan, Kiayai dan Ulama. Para Sultan selain menjadi penguasa atas Negara dan Wilayah Kesultanannya, mereka juga kaligus pemuka agama kepada rakyatnya. Mereka menjadi Imam dan Khalifah kepada umat di wilayah Kesultanannya. Para panglima perang di medan pertempuran melawan penjajah 90% adalah anaknya para Sultan atau Pengeran, anaknya para Kiayai atau Gus serta murid-murid mengajinya para ulama. Kalimatnya perintahnya cuma satu “Perang Melawan Penjajah adalah Jihad”. Kayakinannya gugur di medan perang melawan penjajah, insya Allah mati syahid, sehingga dijamin masuk syurga. Apakah Anda, Pak Menteri Agama, akan menyembunyikan kisah-kisah heroik para pahlawan kemerdekaan ini? Dan juga sekian banyak kisah perang di zaman Rasulullah SAW? Apakah semua ini tidak akan Anda ceritakan kepada generasi berikutnya? Bijakkah Anda dan para kolega di Kemenag menghapuskan cerita patriotis para pejuang itu? Apa tujuan Anda, Pak Lukman? Anda hapuskan itu hanya karena teori yang tak berdasar bahwa pengetahuan anak-anak tentang perang di masa Nabi akan membuat mereka suka perang. Entah dalil siapa yang Anda gunakan. Entah pesanan dari mana yang sedang Anda tunaikan. Pak Lukman Hakim, sebaiknya peperangan dalam Islam tidak Anda hapuskan dari buku sejarah. Kalau Anda hilangkan, berarti Anda sedang mencoba menciptakan orang-orang Islam yang berjiwa penghamba. Itu berarti Anda ingin melihat kaum muslimin mudah diinjak-injak orang asing. Tindakan Anda itu sangat berbahaya bagi ketahanan negara dan umat. Penghapusan itu hanya akan menyenangkan pihak-pihak yang ingin menjajah Indonesia dalam banyak arti. Penjajahan ekonomi maupun penjajahan fisik. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa Anda, Pak Menteri, ingin melihat orang Islam tidak akan melawan kalau RRC menjajah Indonesia, kelak. Sebab, China sangat ‘gemes’ melihat Indonesia yang empuk dan punya segalanya. Anda tahu apa dan siapa yang menjadi hambatan RRC untuk menguasai Indonesia? Kalau Anda tak tahu atau pura-pura tidak tahu, saya tuliskan jawabanya di sini. Hambatan RRC nantinya untuk merajalela di Indonesia ini adalah Islam dan umat Islam yang kuat dan tak takut mati. Umat Islam yang memiliki semangat jihad fi-sabilillah. Ketika Anda, hari ini, menghapuskan materi perang dari buku-buku sejarah Islam, itulah yang didambakan oleh RRC atau pihak asing lainnya. RRC ingin melihat orang Islam yang tidak melawan penjajahan. Mereka ingin melihat orang Islam yang tidak tahu dan tidak punya nyali untuk melawan. Anda, Pak Lukman, berpikir bahwa penghapusan materi itu akan melahirkan umat Islam yang bertoleransi, cinta damai, dlsb. Sungguh Anda keliru besar. Kalau Anda mencatat berbagai percikan kekerasan yang melibatkan segelintir orang Islam, sesungguhnya itu semua dipicu oleh ketidakadilan dan kesewenangan vertikal dan horizontal. Bukan karena orang Islam belajar tentang sejarah perang. Penulis adalah Wartawan Senior
Imam Nahrawi & Moralitas Islam Nusantara
Dengan ditetapkan Imam Nahrawi menjadi tersangka oleh KPK, faktanya semakin banyak tokoh-tokoh utama Islam Nusantara yang berilian menjadi tersangka koruptor. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah value atau nilai Islam yang ditawarkan Islam Nusantar ini? Menjadikan hari santri, misalnya, mungkin penting dari sisi presence (kehadiran). Namun untuk apa adanya sebuah presence jika tidak menawarkan nilai dan gagasan? Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Persis tiga tahun lalu di Semarang, Imam Nahrawi memimpin Senam Islam Nusantara. Acara yang diprakarsai Ketua Cabang Nahdatul Ulama (NU) setempat. Acara ini digelar ini untuk terus memfollow up gagasan Islam Nusantara yang ditelurkan PBNU. Sebuah konsep Islam di mana ajaran Islam ini bersumber dari Islam yang lahir dan berkembang di Indonesia. Saat ini Imam Nahrawi telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi. Nilai perampokan harta negara lebih dari Rp 25.000.000.000 miliar. Staf Khusus Imam Nahrawi, Miftahul Ulum sebelumnya sudah ditahan KPK. Saat ini dalam proses persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Muftahul Ulum diseret atas kasus korupsi pembiayaan dana hibah Komite Nasional Olahraga Indonesia(KONI). Adik Nahrawi yang juga tokoh Islam Nusantara di Jawa Timur langsung meradang menuduh KPK sebagai lembaga yang zalim. Ditetapkannya Menteri Pemuda dan Olahraga ini sebagai tersangka menjadikan semakin banyaknya tokoh-tokoh Islam Nusantara dicap sebagai koruptor. Sebelumnya kita melihat penangkapan dilakukan terhadap Ketua Umum DPP PPP Romahurmuzy, dan mantan Sekretaris Jendral DPP Golkar Idrus Marham. Padahal mereka ini termasuk simbol sentral dalam isu Islam Nusantara tersebut. Gagasan Islam Nusantara dicetuskan oleh beberapa tokoh muda asal Nahdatul Ulama. Dengan maksud membangun kesadaran ke Islaman yang berakar dari Indonesia sendiri. Selama ini perkembangan Islam yang dianggap semakin "berbau arab”. Islam yang dicirikan sebagai pemuda-pemuda berjidat hitam. Mereka juga bercelana cingkrang, baju koko, jenggot panjang, istri berjilbab penuh dan lain-lain. Islam yang “berbau arab” ini dianggap terlalu dominan di ruang publik. Selain mengatakan bahwa Islam jenis ini kearab-araban, mereka Islam Nusantara juga menuduh adanya faham radikalisme dan wahabiisme. Faham ini dituduh akan menjadikan Indonesia berpotensi menjadi negara-negara kacau seperti di Suriah dan timur tengah lainnya. Dengan menghadirkan Islam Nusantara, maka diharapkan jati diri bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang harmonis dan jauh dari kekerasan dan saling fitnah. Tentu saja adalah hak sebuah komunitas atau lapisan sosial masyarakat kita merepresentasikan diri dalam suatu konsep gerakan. Kita melihat tokoh-tokoh muda asal NU ini mereproduksi gagasan Islam Nusantara dengan sangat serius. Targetnya, untuk memunculkan suatu kebanggan pada sejarah yang berjejak pada perjuangan leluhur mereka. Beberapa hal seperti Hari Santri Nasional dan Fatwa Jihad menjadi bagian jejak sejarah yang belakngan ini diklaim mereka. Akhirnya klaim ini muncul sebagai bagian penting dari sejarah kebangsaan kita. Tokoh-tokoh Islam Nusantaran ini adalah tokoh-tokoh sentral dari kalangan muda NU Selain Imam Nahrawi, ada juga Muhaimin Iskandar, Nusron Wahid, dan Ulil Absar Abdallah. Sebaliknya,tokoh mudah NU yang tidak ingin masuk dalam tema Islam Nusantara ini, masuk pada kelompok NU Garis Lurus. Dengan ditetapkan Imam Nahrawi menjadi tersangka oleh KPK, faktanya semakin banyak tokoh-tokoh utama Islam Nusantara yang berilian menjadi tersangka koruptor. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah value atau nilai Islam yang ditawarkan Islam Nusantar ini? Menjadikan hari santri, misalnya, mungkin penting dari sisi presence (kehadiran). Namun untuk apa adanya sebuah presence jika tidak menawarkan nilai dan gagasan? Dahulu misalnya, Tjokroaminoto melahirkan gerakan perjuangan baru, namanya “Serikat Islam”. Tjokrominoto malah menawarkan gagasan reposisi kaum pribumi dan pedagang muslim dalam struktur sosial kita. Gasasan besar model Tjokrominoto inilah yang sekarang dipakai dan dilestarikan oleh tetangga kita Malaysia. Belanda yang membangun hirarki paling kelas atas. Disusul kemudian oleh Cina di tengah. Sedangkan pribumi Islam sebagai "anjing-anjing" (de honden) dilawan habis-habisan oleh gerakan Serikat Islam. Serikat Islam berhasil membangun jutaan basis massa melawan Belanda. Tjokroaminoto juga berhasil melahirkan kader-kader terbaik bangsa, termasuk Sukarno. Kehadiran Islam Nusantara tentu perlu diapresiasi, dalam rangka konsolidasi sebagai komunitas rakyat kita dalam warna kehidupan yang bersifat historis. Apalagi ancaman radikalisme internasional memang mempunyai fenomena. Namun, sebuah gagasan harus diimbangi dengan kemampuan menunjukkan kepeloporan. Terutama dari nilai perjuangan dan keadilan yang ingin diikuti mayoritas rakyat kita. Pencanangan Senam Islam Nusantara tentu saja bukan sebuah gagasan besar. Jika masalah moral pemerintahan bersih, ketokohan anti korupsi, kemiskinan, keadilan sosial, kejahatan oligarki modal, yang justru jadi isu utama. Semua ini adalah permasalahan utama bangsa kita yang harus dipecahkan. Dari sinilah sebenarnya letak pertanyaan kita tentang Islam Nusantara. Apa saja gagasan nilai yang meraka tawarkan? Bagimana, misalnya, sikap mereka melihat isu korupsi? Tentu disamping berbagai isu kerakyatan lainnya. Jika Islam Nusantara gagal mengedepankan isu-isu pokok ini, maka maksud baik kehadiran Islam Nusantara akan menjadi pertanyaan besar ke depan. Panulis adalah Direktur Eksekutive Sabang Merauke Circle
Sisi Tak Terlihat Dari Perdebatan Perubahan Undang-Undang KPK
Memerangi korupsi dengan mengandalkan penjara dan memenjarakan sebanyak apapun pelakunya, jelas merupakan sebuah solusi yang cukup dalam dan lebar cacatnya. Toh, secara empiris, hukum pidana korupsi tak pernah terlihat tangguh sebagai sarana paling mengerikan bagi kapitalis-kapitalis. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Saling sanggah yang begitu bising. Begitu nyata mengiringi perjalanan rencana perubahan undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diprakarsai DPR. Menariknya, saling sanggah yang amat ramai itu, turut diramaikan dengan sejumlah isu dalam pemilihan Komisioner KPK. Macam-macam isunya, dan seperti biasanya satu dan lainnya saling menyangkal. Mau diapakan kenyataan itu? Lupakan saja atau mengenalinya secara lebih mendalam? Yang mau tidak mau harus memasuki sisi-sisi tak terungkap dalam keramaian itu? Dalam kenyataannya, pemerintah dan DPR terus bekerja ditengah saling sanggah yang terus membara. Presiden juga telah menunjuk dua menteri mewikili dirinya untuk bersama DPR membahas rancangan perubahan undang-undang KPK. DPR juga telah berhasil menunaikan kewajiban hukumnya memilih 5 (lima) pimpinan KPK. Apa yang harus dan pantas disuguhkan dalam mengenali kenyataan yang menghebohkan itu? Apakah ini cara demokrasi bekerja? Bila tidak, lalu apa namanya? Demokrasi, suka atau tidak, telah diterima sejauh ini sebagai nilai. Entah itu instrumental atau deliberatif dengan semangat laksana mantra paling ampuh dalam mengelola berbagai urusan. Demokrasi sejauh ini memanggil dan menyuguhkan “tanggung jawab” sebagai sebuah nilai esensialnya. Untuk menggapainya, demokrasi menyodorkan postulat bahwa tanggung jawab hanya dapat direalisir bila cara atau proses bernegara yang masuk akal. Misalnya, seleksi pimpinan satu lembaga negara terlihat masuk akal. Seleksi itu terakses dan tersaji pada setiap kesempatan untuk semua orang, terutama mereka yang memilih pemerintah dan DPR. Tetapi harus diakui sedari awal bahwa adanya demokrasi yang menyimpan sisi hitam. Sisi manipulatif, yang tak tersunguhkan secara terbuka, karena romantisme demokrasi itu sendiri. Kenalilah Demokrasi memang menyodorkan hukum sebagai perisai terbaiknya. Karena itu hukum diyakini merupakan perkara paling netral yang dapat diandalkan membentengi demokrasi. Tetapi bila saja ada kemauan untuk memeriksa detailnya atau rincian hukum di alam demokrasi, maka akan ditemukan kenyataan demokrasi dan hukum sama-sama memiliki sisi mematikan. Sisi yang mengasingkan dan menjauhkan, Misalnya pemilih dipisahkan dari proses bernegara. Sisi mematikan demokrasi dan hukum yang tidak selalu mudah dikenali. Karena satu sebab utama, yaitu demokrasi dan hukum terlanjur diterima sebagai pranata tanpa cacat. Premis ini diperumit, dalam makna menguatkan sisi menakjubkannya oleh kampanye sistimatis multinasional corporation tentang demokrasi dan hukum itu. Multinational corporation datang dengan membawa rule of law. Supremasi hukum, akuntabilitas dan transparansi sebagai mantra global yang harus dipromosikan bersama. Semua negara harus mengkampanyekan rule of law untuk satu kehidupan global yang hebat. Mereka datang dengan global constitutionalisme atau cosmopolitan constitution. Yang dengan itu, negara-negara dunia ketiga harus mengintegrasi kehidupan nasional dengan semua yang digaungkan barat. Gemanya membawa negara-negara non barat mengabaikan sisi mematikan dan menyengsarakan yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks itu, harus diakui bahwa korupsi teridentifikasi sebagai hambatan paling mematikan atas persaingan bebas. Sebuah iklim usaha yang sedari awal diprakarsai oleh kapitalis tulen awal abad ke-17 di Inggris dan awal abad ke-20 di Amerika. Suap-menyuap, jual beli jabatan dan kewenangan teridentifikasi oleh kapitalis-kapitalis ini sebagai hal menjijikan dalam semua aspeknya. Dengan demikian, korupsi dan elemen-elemennya yang serupa harus diisolasi pada setiap sudutnya. Korupsi akhirnya teridentifikasi sebagai iblis yang bergentayangan di dalam rumah. Siapapun pasti tidak rela membiarkanya. Itu pula sebabnya korupsi harus diusir, dibasmi, diberantas. Tidak ada sisi baik di dalamnya. Dan itu jelas. Korupsi tak sedikitpun menolong keadilan. Korupsi justru meluluhlantakan keadilan. Korupsi memukul rata kesetaraan, dan pada saat yang sama mengonsolidasi diskriminasi dalam semua aspeknya, serta menelan habis semua keunggulan sebuah bangsa. Kenyataan inilah yang membalut dan teridentifikasi di Indonesia menyusul turbulensi ekonomi dan politik tahun 1998. Kenyataan itu dikristalkan dalam satu kalimat bernada propagandis “Indonesia berada dalam keadaan darutarat korupsi.” Memeranginya menjadi pilihan masuk akal yang tersedia. Pilihan itu muncul ditengah kekacauan politik hampir pada semua lapangan kehidupan politik nasional. Perbaikan Tak tersedia pilihan lain selain mengonsolidasi sejumlah aspek demokrasi dalam kehidupan bernegara. Dalam konteks itu Indonesia bergerak kedepan dengan mengkreasikan satu lembaga baru. KPK lah sebuah lembaga negara baru tersebut. Sayangnya harus diakui bahwa KPK tidak sepenuhnya memiliki pijakan kokoh di dalam UUD 1945. Dalam sejarahnya, lembaga serupa ditemukan pembentukannya untuk pertama kali di Amerika tahun 1887. Namanya Interstate Commerce Commission (ICC). Ditunjang kedangkalan pengetahuan sifat hukum lembaga serupa di Amerika Serikat, KPK disematkan sifat hukumnya sebagai lembaga negara yang independen. Selain independen, KPK juga lembaga negara yang mandiri. Sifat yang independen dan mandiri, merupakan sebuah sifat khas konstitusi untuk kekuasaan kehakimanpun, dilekatkan kepada KPK. Kenyataan ini mengakibatkan lembaga ini persis seperti kekuasaan kehakiman. KPK pun bekerja dengan cara yang ditentukan sendiri. Dari situ masalahnya. Rinciannya adalah KPK sebagai lembaga pelaksana hukum, penegakan hukum. Padahal posisi tersebut yang merupakan kewenangan derivasi dari kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan melaksanakan hukum menurut UUD 1945. Sayangnya, presiden tidak bisa, dengan alasan konstitusional sekalipun, membimbing, mengarahkan KPK. Apalagi sampai mengdalikan penegakan hukum yang dijalankan oleh KPK. Pembatasan jangkauan kekuasaan presiden semakin mengeras dengan konsep criminal justice system. Sebuah konsep hukum pidana yang menerangkan penyidikan sebagai bagian dari rangkaian bekerjanya peradilan pidana. Celakanya, karena penegakan hukum tidak akan disebut demikian bila tidak ada tindakan penyidikan. Tetapi sialnya, tindakan penyidikan ini justru diberi sifat peradilan. Sebuah sifat yang membatasi jangkauan kekuasaan presiden, terlepas dari siapapun orangnya. Demokrasi datang bersamaan, dan atau memanggil rule of law pada kesempatan pertama kehadirannya. Pada level empiris sekalipun, dirangsang kehadirannya dengan kehendak mencegah absolutisme. Sebab ujung dari kekuasaan yang absolutisme adalah korupsi. Pembatasannya harus dilakukan, namun tidak dengan senjata terkokang. Melainkan dengan menghadirkan hukum. Cara lainnya adalah menyebar kewenangan lembaga-lembaga itu secara tumpang tindih. Tujuannya, agar mereka dapat saling mengawasi secara berimbang. Begitulah demokrasi menyodorkan cara mengekang potensi perilaku tiranis satu lembaga terhadap lembaga lainnya. Dalam medan aktualisasi kewenangan menyelenggarakan kekuasaan negara. Hanya dengan cara itu pulalah akuntabilitas dan transparansi terpancarkan. Hanya dengan cara itu. Dan itulah sebabnya, demokrasi yang memiliki sisi manipulatif akan menertawakan negara apapun yang memungkinkan lembaga-lembaga negara berada di luar pengawasan. Baik itu pengawasan teknis maupun politis. Agar pengawasan juga tak dilakukan secara sewenang-wenang. Untuk itu, demokrasi yang dibalut dengan rule of law menempatkan pada posisi pertama adalah supremasi hukum itu. Mengharuskan pengawasan itu harus didefenisikan dalam hukum. Walaupun demikian, hukum yang hendak dibuat tersebut, harus dengan tepat mendefenisikan jangkauan pengawasannya secara rigid. Jangan sampai hukum yang mengatur pengawasan itu justru mematikan lembaga yang diawasi. Soal ini menjadi penting, karena hukum tidak datang dengan sendirinya. Hukum itu diciptakan oleh penciptanya, badan pembuat undang-undang. Sehingga mereka dapat mengisinya dengan berbagai macam kehendak. Yang satu dan lainnya bisa saling mengasingkan. Termasuk menciptakan norma yang tidak berkepastian. Menciptakan norma bersyap-sayap pengertiannya. Akibatnya, pemegang otoritas, sesuai dengan kewenangannya dapat menentukan sendiri apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan. Kondisi seperti ini sangatlah berbahaya. Hukum bisa melemahkan dan menyengsarakan bangsa. Hukum tak berkepastian disatu sisi. Terjalin dengan organisasi yang tak bisa diawasi disisi ekstrim lainnya. Dengan alasan apapun tak bisa dikatakan bukan merupakan panggilan terhadap tindak-tanduk diskriminasi. Tindak-tanduk diskriminasi memang merupakan tipikal organisasi absolut. Namun untuk kasus tertentu, diskriminasi menandai secara telanjang tindak-tanduk lembaga negara di alam demokrasi. Kondisi seperti ini harus diluruskan. Bukan karena demokrasi menentang diskriminasi, tetapi adab berkehidupan kebangsaan yang adil mengharuskannya. Korupsi akan terus ada di tengah-tengah kehipan. Sepajang aktifitas ekonomi dan politik terus mewarnai dunia. Tidaklah lebih dari itu. Caranya, akan berkembang mengikuti kecepatan kreasi dalam menerjangnya. Menerjang korupsi dengan mengandalkan penjara dan memenjarakan sebanyak apapun pelakunya, jelas merupakan sebuah solusi yang cukup dalam dan lebar cacatnya. Toh, secara empiris, hukum pidana korupsi tak pernah terlihat tangguh sebagai sarana paling mengerikan bagi kapitalis-kapitalis. Kapitalis dalam korporasi berskala global selalu merupakan entitas paling tangguh. Mereka berlari cepat melampaui kesadaran masyarakat atas kelakuan negatifnya melakukan korupsi. Merekalah entitas yang tak berhenti menari ditengah perang melawan korupsi. Hukum juga selalu begitu di alam empiris. Tak handal mengekang mereka. Meski demikian, selemah itu sekalipun, demokrasi dan kehidupan beradab tak bisa diayuh tanpa hukum. Pemilih ditakdirkan demokrasi sebagai barang sekali pakai dalam lima tahun. Pemilih tak memiliki kendali atas hasil pemilu, Pemilih tak pernah tahu siapa yang terpilih, menemukan nasib yang selalu berjarak amat jauh dengan mereka yang dipilih. Nasib pemilih di demokrasi begitulah adanya. Pemilihj juga tak dapat mengendalikan mereka yang dipilih, apalagi mengarahkan tindak-tanduk mereka yang dipilih itu. Partisipasi yang merupakan bualan canggih demokrasi, jelas tak memungkinkan pemilih menentukan norma macam apa yang pantas dipositifisasi oleh pembuat hukum. Membuat hukum, dalam demokrasi sekelas apapun di level global adalah pekerjaannya para elit politik. Semnatar para elit politik ini bukanlah entitas yang mengayuh langkahnya dengan belas kasihan kepada pemilihnya. Para elit bekerja pada kemauannya sendiri, sementara para pemilih hanya bisa berharap dalam kenyataan yang berbeda dengan elit Kenyataan seperti itu sekalipun, para pemilih mesti tetap merinukan eliti-eliti politik yang bermurah hati. Pemilih berharap elit politik dapat mendefenisikan jangkauan otoritas pengawasan secara rigid. Sembari pada saat yang bersamaan memastikan penegakan hukum merupakan cara membuat keunggulan bangsa menemukan kesempatan untuk bersinar. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
KPK: Setelah Dibonsai, Diletakkan di Bawah Hutan Korupsi
Keputusan voting DPR malam tadi menunjukkan bahwa mereka sangat berkeberatan terhadap ketegasan KPK dalam memberantas korupsi. Sekarang, DPR puas. KPK periode berikutnya menjadi bonsai. Setelah dibonsai, disirami racun. Setelah itu, KPK-bonsai diletakkan di bawah hutan lindung korupsi. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Di upacara pemakanan presiden ketiga RI, kemarin (12/9/2019) semua kata pengantar menyebutkan bahwa BJ Habibie adalah teladan untuk membuat Indonesia lebih baik dan semakin baik. Ironisnya, beberapa belas jam saja setelah kata pengantar yang menyejukkan itu, para anggota DPR melakukan tindakan yang bisa membuat Indonesia semakin parah lagi dari kondisi buruknya akhir-akhir ini. Mereka melaksankan sidang kilat untuk memilih ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan empat komisioner lainnya. Mereka pilih Irjen Firli Bahuri sebagai ketua KPK. Firli adalah calon yang penuh kontroversi sejak awal proses seleksi. Hanya ada satu makna untuk pilihan DPR ini. Yaitu, mereka tidak lagi mewakili rakyat. Mereka menunjukkan ‘defiant’ (keras kepala) di depan rakyat yang memberikan mandat. Dalam sidang Komisi III yang berlangsung tengah malam buta, DPR memaksakan Firli menjadi ketua KPK. Rakyat jelas-jelas menentang keras. Keputusan voting DPR malam tadi menunjukkan bahwa mereka sangat berkeberatan terhadap ketegasan KPK dalam memberantas korupsi. Sekarang, DPR puas. KPK periode berikutnya menjadi bonsai. Setelah dibonsai, disirami racun. Setelah itu, KPK-bonsai diletakkan di bawah hutan lindung korupsi. Persis! KPK dibonsai dan diracun, kemudian disuruh hidup di bahwa hutan korupsi yang dilidungi. Revisi UU tentang KPK nomor 30 Tahun 2002 yang berintikan pembentukan Dewan Pengawas, penghapusan OTT dan penggeledahan, serta menjadikan pegawai KPK sebagai ANS biasa, adalah tindakan yang membuat KPK menjadi bonsai. Lembaga ini menjadi kerdil. Kerdil di tengah hutan lindung korupsi. Inilah jenis hutan yang tumbuh sangat subur di bumi Indonesia ini. Kemudian, kesepakatan DPR memilih Irjen Firli Bahuri menjadi ketua KPK masa jabatan 2019-2023, adalah tindakan meracun lembaga antikorupsi itu. Firli ditentang keras oleh internal KPK dan sekian banyak LSM pemantau korupsi. Sebab, beliau diduga melakukan pelanggaran berat kode etik KPK ketika bertugas menjadi Deputi Penindakan di lembaga ini sebelum dipromosikan menjadi Kapolda Sumatera Selatan. KPK yang Anda harapkan itu, tidak lagi menjadi pohon yang tinggi-besar di hutan korupsi. Dia kini menjadi bonsai. Menjadi pohon yang ditanam di pot bunga dan diletakkan di tengah hutan korupsi itu. Bisa Anda dibayangkan bagaimana kira-kira eksistensi KPK di tengah hutan korupsi. Hutan yang dilindungi oleh revisi UU KPK. Kalau dilihat reaksi sejumlah petinggi KPK petahana, jelas terlihat ‘mosi tak percaya’ terhadap pilihan DPR. Penasihat KPK, Tsani Annafari, meletakkan jabatan. Dia tak sudi lagi menasihati KPK periode berikut. Kemudian, Wakil Ketua Saut Situmorang juga spontan menyatakan pengunduran diri. Tetapi masih diminta bertahan sampai Desember 2019. Yang cukup mengherankan, atau bisa juga tidak mengherankan, adalah posisi Presiden Jokowi. Setelah beliau mendapatkan masukan dari kalangan pegiat antikorupsi dan para tokoh bangsa, Jokowi tetap saja menyerahkan 10 nama capim KPK hasil seleksi tim Yenti Ganarsih ke DPR. Tanpa ada catatan. Diserahkan utuh. Padahal, dengan kekuasaan besar di tangannya, Presiden bisa memveto hasil seleksi itu atau mencoret nama-nama yang bermasalah. Artinya, Presiden Jokowi bisa menyerahkan 8 atau 9 nama capim saja ke DPR dari 10 nama yang disampaikan oleh Yenti Ganarsih. Tidak ada masalah. Karena DPR hanya perlu memilih lima (5) komisioner saja. Begitulah yang terjadi. Rakyat harus menelan keputusan DPR ini tanpa bisa membantah lagi. Keputusan ini final dan mengikat. Kalau Anda bertanya mengapa DPR dan pemerintah bisa kompak? Mungkin salah satu jawabannya adalah bahwa statistik penangkapan OTT KPK menunjukkan banyak orang DPR dan orang pemerintah yang terjaring. Penulis adalah Wartawan Senior
Puja-puji Dari Penjegal Habibie & Kesadaran Yang Terlambat
Kini Habibie telah menghadap Sang Khalik. Para elit dan tokoh yang menjadi lawan politik Habibie, yang dulu menjegal langkah Habibie untuk menjadi capres lagi, kini memuji Habibie setinggi langit. Mereka yang dulu menilai negatif kebijakan-kebijakan Habibie, justru berbalik badan seratus delapan puluh derajat memuja-muji Habibie. Sekarang tidak ada satupun elit poilitik negeri ini yang menolak penyematan gelar “Bapak Demokrasi” kepada Habibi. Oleh Gde Siriana Yusuf Jakarta, FNN - Habibie naik menjadi Presiden RI ke-3 menggantikan Soeharto pada 21Mei 1998. Begitu selesai dilantik menjadi presiden, pekerjaan berat sudah menanti. Saat itu ekonomi nasional hancur lebur. Nilai tukar rupiah pada Januari 1998 adalah Rp.14.800 per dolar Amerika. Bahkan 40 hari setelah menjadi Presiden nilai tukar rupiah anjlok lagi ke Rp.16.800 per dolar Amerika. Krisis ekonomi juga diperparah dengan kerusuhan-kerusuhan di berbagai kota. Habibie terus bekerja keras bersama para menterinya. Pelan-pelan ekonomi nasional diperbaiki dengan kebijakan yang efektif. Dalam kurun waktu 17 bulan masa kepemimpinannya, Habibie berhasil menurunkan kurs rupiah ke Rp.6.500 per dolar Amerika. Bahkan hiperinflasi yang sempat double digit akibat rupiah anjlok, dan diikuti dengan kelangkaan bahan-bahan sembako juga dapat kembali ke single digit. Pada Januari-September 1999, laju inflasi hanya mencapai 2%. Padahal dalam periode sama tahun 1998 mencapai 75,47%. Pada eranya Habibie ini pula berbagai kebijakan IMF harus dilakukan pemerintah Indonesia sesuai kesepakatan yang dibuat bersama IMF. Indonesia diwakili langsung oleh Presiden Soeharto dan IMF yang diwakili Direktur Eksekuitve Michel Camdessus. Kesepakatan Indonesia dengan IMF ditandatangani tanggal 15 Januari 1998. Point penting kesepakatan tersebut, antara lain likuidasi bank-bank yang bermasalah. Selain itu, menghentikan proyek-proyek besar seperti industri pesawat terbang nasional. Pada saat yang bersamaan, Habibie juga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi, serta subsidi bahan-bahan pokok agar terjangkau oleh masyarakat di tengah krisis ekonomi. Keberhasilan dalam menyelamatkan ekonomi nasional tidak otomatis memuluskan langkah politik Habibie. Musuh-musuh politik Habibie tetap berkeras kepala menghentikan Habibie. Pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Istimewa MPR 1999 dinyatakan ditolak pada tanggal 20 Oktober 1999. Keputusan MPR inilah yang menyurutkan langkah Habibie untuk mencalonkan diri lagi sebagai presiden periode berikutnya. Isu utama untuk menjegal Habibie maju lagi dalam Pilpres berikutnya adalah stigma bahwa Habibie bagian dari Orde Baru. Pihak oposisi, dimotori oleh parpolnya Habibie sendiri Golkar. Aktor utamanya adalah Akbar Tanjung. Alasan mereka, kesalahan terbesar yang Habibie lakukan saat menjabat sebagai Presiden ialah memperbolehkan diadakannya referendum provinsi Timor Timur (sekarang Timor Leste). Puncaknya, Timor Timur lepas dari NKRI pada 30 Agustus 1999. Dalam bukunya, Habibie mengaku hendak sesegera mungkin menyelenggarakan referendum Timor Timur. Alasannya, dalam konteks krisis ekonomi, Indonesia membutuhkan bantuan finansial negara-negara donor dan IMF. Sementara Negara-negara donor dan IMF mensyaratkan penyelesaian persoalanTimor Timur, agar presiden yang menggantikannya,tidak perlu pusing. Dengan demikian, siapa pun menjadi presiden dan wakil presiden nanti, dapat memberi perhatian penuh kepada penyelesaian masalah politik, dan masalah ekonomi nasional. Tidak lagi diganngu dengan persoalan Timor-Timut. Kini Habibie telah menghadap Sang Khalik. Para elit dan tokoh yang menjadi lawan politik Habibie, yang dulu menjegal langkah Habibie untuk menjadi capres lagi, kini memuji Habibie setinggi langit. Mereka yang dulu menilai negatif kebijakan-kebijakan Habibie, justru berbalik badan seratus delapan puluh derajat memuja-muji Habibie. Sekarang tidak ada satupun elit poilitik negeri ini yang menolak penyematan gelar “Bapak Demokrasi” kepada Habibi. Gelar sebagai “Bapak Demokrasi”, sesungguhnya mempunyai relevansi yang kuat dengan referendun terhadap Timor Timur. Sesuatu yang sebenarnya tidak mengherankan. Dengan berjalannya waktu, banyak pihak yang berbalik menilai positif pemerintahan Habibie. Entah apakah puja-puji dari para pembenci Habibie dahulu ini sebagai kesadaran yang terlambat ? Atau hanya sekedar mengikuti emosional mainstream ketika menerima kabar wafatnya Habibie. Padahal prestasi Habibie dalam 17 bulan pemerintahannya telah menyelamatkan ekonomi nasional. Namun tetap saja Habibie tidak diakui. Hanya demi agenda politik para elit, yang nyatanya 20 tahun kemudian Indonesia menjadi negara dengan begitu banyak masalah seperti saat ini. Satu yang tidak bisa dibantah siapapun dari jasa-jasa Habibie adalah "penguasaan teknologi dirgantara oleh bangsa Indonesia" telah diakui dunia. Habibie sendiri yg buat rancang bangun pesawat produksi Nurtanio/IPTN. Terkait teknologi ini, saya berharap semoga kisah mobil nasional nanti tidak "jomplang" dengan kisah suksesnya pesawat terbang nasional. Tidaklah mengherankan jika Habibie menjadi pemimpin yang inspiratif. Habibie satu-satunya Presiden Indonesia yang dijadikan benchmark atau contoh para orang tua ketika nasehati anaknya belajar agar jadi orang pintar seperti Habibie. Para Orang tua tak pernah bilang kepada anak-anaknya agar jadi orang seperti Soekarno, Soeharto, Gus Dur, Megawati, SBY, apalagi Jokowi. Kembali pada kesadaran yang terlamba tersebut, apakah perlu waktu 20 tahun untuk menyadarinya? Apakah ini merupakan penyakit kultural bangsa Indonesia? Atau agenda-agenda terselubung untuk menghancurkan bangsa Indonesia? Saat negara asing seperti China dan Barat ingin menguasai Indonesia, bisa jadi kesadaran yang terlambat datang 20 tahun lagi. Ketika itu kita sebagai bangsa sudah tidak memiliki apapun. Semuanya sudah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Berangkat dari kenyataan Habibie ini, apakah memang naturnya elit politik kita takut kepada pemimpin yang cerdas dan punya visi atas masa depan bangsanya? Mereka lebih baik memilih pemimpin yang bodoh, dan mudah diatur oleh elit. Bahkan pemimpin yang ikut saja apa maunya negara asing. Saya menduga, para elit ini juga yang akan pertama kali berbalik meninggalkan pemimpin pilihannya di saat kesulitan yang dialami negara tak lagi bisa diobati. Tujuannya agar para elit tidak dituduh sebagai dalang dari semua bencana. Selamat jalan profesor BJH. Bapak dan pendekar Demokrasi Indonesia. Semoga kembali sebagai jiwa yang tenang. Indonesia akan selalu mengenangmu. Aamiin ya robbal alamin. Penulis adalah Direktur Eksekutif Goverment and Political Studies (GPS)