NASIONAL
Rapat Kabinet Tak Setuju, Kenapa Jokowi Umumkan Ibu Kota Pindah?
Dikabarkan, Wapres Jusuf Kalla sempat berekspresi terperangah ketika Jokowi mengatakan ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan. Hampir-hampir saja Wapres terangkat dari duduknya ketika mendengar pernyataan Jokowi yang tak sesuai dengan keputusan rapat kabinet. By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dalam dua tulisan terdahulu, kami katakan bahwa pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur adalah proyek untuk mengukir legacy (warisan) Presiden Jokowi. Supaya disebut dialah presiden yang memindahkan ibu kota. Kami juga mendeskripsikan bahwa ibu kota baru adalah proyek para konglomerat. Merekalah yang mendominasi proses pemindahan itu dari hulu sampai hilir. Tapi, apakah benar ibu kota akan dipindahkan? Jawaban singkatnya “ tidak”. Kalau tidak, kenapa kedua tulisan terdahulu menggambarkan seolah ibu kota akan benar-benar pindah? Penjelasannya adalah bahwa pikiran linier tidak berlaku untuk Pak Jokowi. Artinya apa? Sederhana sekali. Di tangan Jokowi, yang disebut ‘tak jadi’ bisa menjadi ‘jadi’. Sebaliknya, yang sudah disebut ‘jadi’ banyak juga yang menjadi ‘tak jadi’. Yang dijanjikan tak dilaksanakan, yang tak dijanjikan bisa muncul tiba-tiba. Esemka, kartu prakerja, stop impor, 10 juta lapangan kerja, besarkan Pertamina untuk kalahkan Petronas, tak hapus subsidi BBM, dan lain sebaganya, adalah beberapa contoh tentang nir-konsistensi Jokowi. Kalau begitu, sekali lagi, apakah ibu kota jadi pindah? Jawabannya, dalam bentuk pengalihan isu, pemindahan itu dapat disebut jadi. Tapi, kalau dirujuk ke satu rapat terbatas (ratas) kabinet, pemindahan itu tak jadi. Menurut info A-1, ada rapat kabinet pada awal Agustus 2019. Di rapat itu, diputuskan bahwa pemindahan ibu kota negara dicoret dari agenda. Rapat dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi. Hadir juga Wapres Jusuf Kalla dan sejumlah menteri yang terkait dengan gagasan pemindahan ibu kota. Tetapi, sangat mengherankan mengapa dalam pidato di depan sidang gabungan DPR-DPD pada 16 Agustus 2019, Jokowi mengumumkan keputusan pemindahan ibu kota. Kemudian, pada 26 Agustus beliau umumkan bahwa lokasi ibu kota baru itu adalah Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. Dikabarkan, Wapres Jusuf Kalla sempat berekspresi terperangah ketika Jokowi mengatakan ibu kota akan dipindahkan ke Kalimantan. Hampir-hampir saja Wapres terangkat dari duduknya ketika mendengar pernyataan Jokowi yang tak sesuai dengan keputusan rapat kabinet. Apa yang terjadi? Mengapa keputusan kabinet yang menetapkan ibu kota “tak jadi pindah”, dibalik menjadi “jadi pindah”? Sumber-sumber yang berada di lingkaran inti kekuasaan menyebutkan pemindahan ibu kota hanya bertujuan untuk mendiskursuskan informasi publik. Para penguasa, kata mereka, perlu terus mengasyikkan masyarakat dengan berita-berita panas seperti isu ibu kota. Agar publik lupa ada perampokan besar suara rakyat di pilpres 2019. Pemindahan ibu kota pun digoreng berhari-hari. Diperdebatkan sengit oleh semua orang. Dibahas di berbagai talk-show televisi, di media cetak, dan seluruh platform media sosial (medsos). Semua serentak membicarakan pemindahan ibu kota. Tidak ada lagi cerita penipuan pilpres. Tidak ada lagi yang mengutak-atik kematian 600-an petugas KPPS pemilu. Kemudian, keanehan-keanehan yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) pun juga tak lagi menjadi buah bibir. Salah seorang pengusaha papan atas angkat bicara. Dia tahu persis pemindahan ibu kota ke Kalimantan sudah diputuskan tak jadi dikerjakan. Duitnya tidak ada. Defisit APBN saja menganga lebar. Tak mungkin. Dalam pada itu, narasi ‘tak jadi’ jauh lebih kuat dan logis dibandingkan hayalan pindah ibu kota. Terlalu banyak orang yang geleng kepala. Risikonya sangat besar. Ketuam Umum PDIP Megawati Soekarnoputri termasuk yang melihat risiko itu. Beliau memberikan isyarat keras kepada Jokowi. Lebih pas disebut kritik keras terhadap pemindahan ibu kota. Bu Mega meminta agar dampak jangka panjangnya diperhatikan. Secara keseluruhan, komentar Bu Mega lebih layak ditafsirkan menentang rencana itu. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) sendiri menegaskan ongkos pemindahan ibu kota tidak ada di dalam APBN 2020. Menteri mengatakan, dia sendiri sedang mencarikan cara untuk membiayai pembangunan ibu kota baru itu. Dari semua ini, tampak jelas bahwa pemindahan ibu kota bukan agenda yang serius. Hanya untuk menghebohkan publik sambil menutupi kebobrokan, perampokan dan penipuan terbesar pilpres.*
Gerakan Separatisme Papua, Bisul Itu Mulai Pecah
Menkopolhukam Wiranto menolak menyebut berapa jumlah pasti yang tewas. "Ya, terserah kita lah mau umumkan atau tidak. Kalau diumumkan, perlu diumumkan. Kalau tidak, ya, tidak," ujarnya ringan. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Mantan Menteri ESDM Sudirman Said punya analogi menarik tentang kerusuhan di Papua. Kerusuhan yang berbuntut kian menguatnya gerakan separatisme. Memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Ibarat penyakit bisul, karena tidak dirawat dengan baik. Diabaikan. Dianggap penyakit ringan. Penyakit berupa benjolan di kulit itu kini pecah. Bila terlambat penanganannya, bisa menular ke kulit di sekitarnya. Benih disintegrasi itu menyebar ke mana-mana. Mengancam keutuhan NKRI. Di Aceh para aktivis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kembali mengibarkan bendera Bulan Sabit Merah. Di Medsos muncul seruan Melayu Merdeka! Tanda-tanda bahwa “bisul” itu akan pecah sebenarnya sudah terlihat dengan nyata. Akhir Juli lalu sistem IT Bank Mandiri error seharian penuh. Saldo ribuan nasabah berkurang. Ada yang pingsan karena saldo ratusan juta miliknya, tiba-tiba berubah menjadi nol. Sebaliknya banyak juga nasabah yang jumlah uang rekeningnya tiba-tiba menjadi bengkak. Manajemen Mandiri mencoba menenangkan nasabah. Menjamin semua sistem akan kembali normal. Mereka menyebut error “hanya’ terjadi pada 10 persen nasabah. Perlu diketahui jumlah nasabah Bank Mandiri pada tahun 2018 saja tercatat sebanyak 83.5 juta rekening. Artinya error “hanya,” sekali lagi “hanya” terjadi pada 8.3 juta rekening. Awal Agustus listrik padam di DKI, Banten, dan Jabar lebih dari 10 jam. Moda transportasi publik, mulai dari commuter line (KRL), MRT, transportasi online lumpuh. ATM Bank tak dapat digunakan, jutaan orang kebingungan karena tak memegang uang cash. Ekonomi digital yang sangat mengandalkan suplai listrik lumpuh. Bisnis UKM, restoran, minimarket, bahkan sampai warung pinggir jalan banyak yang tutup. Di beberapa gedung sejumlah pengguna lift terjebak. Ratusan pompa bensin gelap gulita. Tidak ada hukuman terhadap direksi atau manajemen PLN dan Mandiri. Seolah semuanya peristiwa biasa saja. Peristiwa terbaru Kamis (28/8) Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Suprajarto menolak penunjukan dirinya sebagai Dirut Bank Tabungan Negara (BTN). Suprajarto mengaku tidak pernah diajak bicara. Tiba-tiba saja dicopot dari BRI dan dipindahkan ke BTN. Pemindahan seorang petinggi Bank BUMN tidak bisa seenaknya begitu saja. Seperti memindahkan bidak di papan catur. Ada tahapan-tahapan yang harus ditempuh. Ada fit and proper dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Harus lolos Tim Penilai Akhir (TPA) yang dipimpin oleh Presiden. Pengelolaan BUMN terkesan amburadul. Hal itu setidaknya tercermin dari pemalsuan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk. Piutang dimasukkan sebagai laba, sehingga neraca keuangan Garuda menjadi biru. Dari rugi menjadi laba. Akibat skandal memalukan itu tidak ada direksi Garuda yang dicopot. Yang menjadi korban, disalahkan, dihukum malah kantor akuntan publik yang melakukan audit. Menteri BUMN Rini M Soemarno menilai hal itu hanya kesalahan interpretasi. "Bukan pemalsuan, tidak ada pemalsuan sama sekali dan jangan lupa ini sudah diaudit oleh kantor akuntasi publik yang sudah mendapatkan sertifikasi, bahwa perintepretasinya dianggap salah harus diperbaiki iya kita perbaiki.” Ringan sekali! Tidak Ada Anak Buah yang Salah Berbagai rangkaian peristiwa di atas menunjukkan ada salah urus pada negara ini. Proses pembusukan sedang terjadi di seluruh sektor. Puncaknya adalah kerusuhan di Papua. Bagaimana mungkin tiba-tiba peristiwa rasisme di Malang dan Surabaya terhadap mahasiswa Papua, memicu kerusuhan massif di dua provinsi: Papua Barat, dan Papua. Kerusuhan yang menyebabkan sejumlah kantor pemerintah, pasar, bangunan publik dibakar. Beberapa prajurit TNI-Polri dan warga sipil menjadi korban. Beberapa orang tewas. Berapa jumlah korban tewas, sampai saat ini masih simpang siur. Polisi menyebut dua warga sipil, dan seorang anggota TNI tewas. Namun beredar kabar jumlah tewas lebih banyak. Menkopolhukam Wiranto menolak menyebut berapa jumlah pasti yang tewas. "Ya, terserah kita lah mau umumkan atau tidak. Kalau diumumkan, perlu diumumkan. Kalau tidak, ya, tidak," ujarnya ringan. Bukan kali ini saja sesungguhnya aksi rasisme terjadi terhadap warga Papua. Tahun lalu (Alm) M Yamin Ketua Umum Seknas Jokowi menyamakan aktivis Papua Natalius Pigai seperti Gorila. Posisi politik Pigai yang beroposisi dan kritis terhadap pemerintahan Jokowi menyebabkan dia sering menjadi serangan rasisme. Di sejumlah akun medsos, banyak yang menyamakan Pigai seperti monyet. Namun perlakuan rasis itu hanya mendorong terjadinya unjuk rasa di berbagai kota. Kali ini reaksinya berbeda. Unjukrasa berubah menjadi amuk massa. Dimulai di Manokwari ibukota Papua Barat menjalar ke Sorong dan Fak Fak. Kemudian ke Deyai, dan Jayapura di Papua. Situasinya masih tidak menentu. Polisi mengerahkan sejumlah personil Brimob ke Papua. Begitu pula TNI. Dua Satuan Setingkat Kompi (SSK) Batalion 512 dari Brigif 18 Kostrad, dan 129 personil Marinir diberangkatkan ke Papua. Kualifikasi mereka adalah prajurit tempur. Prinsipnya: Kill or to be kill. Membunuh atau dibunuh. Bukan mengendalikan huru-hara. Masalahnya sampai sekarang pengerahan pasukan TNI tidak jelas payung hukumnya. Status hukum Papua adalah tertib sipil. Dengan begitu penanganan keamanannya berada di tangan polisi. TNI tidak berhak bertindak, apalagi menggunakan senjata. Padahal mereka secara terbuka sudah menyatakan ingin memisahkan diri dari Indonesia. Gerakan separatis. Bukan lagi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) seperti yang selama ini disebut polisi. Status hukum yang tidak jelas, berdampak pada ketidakjelasan prosedur penanganannya. Akibatnya seperti terjadi pada unjukrasa di Deyai. Anggota TNI diminta menyimpan senjatanya. Bermodal tangan kosong berhadapan dengan warga yang membawa parang dan panah. “Mereka bisa menjadi sansak hidup. Mati konyol,” ujar seorang pensiunan perwira tinggi TNI dari korps baret merah dengan geram. Seharusnya bila statusnya tertib sipil, tambah perwira tinggi itu, yang bertanggung jawab polisi. “ Persenjataan Brimob juga lebih canggih dibanding TNI,” sindirnya. Bisul itu penyakit yang disebabkan infeksi, akumulasi dari kumam yang diabaikan. Bila kemudian berbagai soal yang rumit muncul, jangan-jangan itu akibat cara kerja kita yang tidak “higienis”. Terlalu sering menyimpan sampah dan persoalan dibawah karpet. Mengabaikannya, atau mengerjakan segala sesuatu hanya di permukaan. Sehingga soal-soal besar yang mendasar disembunyikan, boro boro diselesaikan Akumulasi berbagai persoalan yang saat ini muncul, menimbulkan pertanyaan besar di publik. IS THE LEADER IN FULL CONTROL. OR THE LEADER IS NOT IN CONTROL? Apakah sebagai presiden, Pak Jokowi mengontrol sepenuhnya semua persoalan, atau semua persoalan muncul karena keterbatasan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin? Dalam militer dikenal sebuah kredo : TIDAK ADA PRAJURIT YANG SALAH! End
Pemindahan Ibukota dan Nasib Anies Baswedan
Kemungkinan besar Jokowi menemukan ide pindah ibukota lebih tepat jika dikaitkan dengan kekalahan sekutu Jokowi, Ahok dalam pilkada DKI. Lalu, tindakan Gubernur Anies memberhentikan reklamasi teluk Jakarta, sebuah skala bisnis ribuan triliun, tidak sejalan dengan pemerintahan Jokowi yang ingin hal itu terus berlangsung. Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Jakarta Development Initiative Jakarta, FNN - Soal Jokowi memindahkan ibukota sudah mendapat bahasan dari berbagai ahli. Yang paling idealis adalah pakar hukum tatanegara, Irman Putrasidin, dalam pesan munajat konstitusi. Dia mengaitkan kesakralan ibukota, yakni Jakarta, sebagai jejak perjuangan bangsa melawan kolonialisme. Model analisis tanah dan kesakralannya, di mana tanah tempat berpijak dianggap mewarisi nilai intrinsiknya, dibanding nilai nominal, merupakan idealisasi kaum perjuangan dalam melihat tanah berpijak. Semakin banyak nilai2 di tanah itu, seperti makam2 para orang suci, semakin bernilai tanah tersebut. Putrasidin menolak pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur, karena tempat baru itu tidak mempunyai akar sejarah yang kuat sebagai centrum perekat bangsa. Pandangan Fahri Hamzah lebih pada aspek legal dan prosedur. Fahri mengatakan bahwa Jokowi perlu merubah 8 Undang Undang sebelum bicara memindahkan ibukota, atau secara sepihak menyatakan ibukota baru ada di Kalimantan Timur. Pandangan Ridwan Kamil, Gubernur Jabar, lebih pada desain ibukota baru. Menurutnya ibukota baru lebih baik mencontoh Washington D. C, ibukota Amerika, yang proporsi penduduk dan luas tanah seimbang untuk mudah dikembangkan. Kutai Kartanegara dan Penajem, dengan lahan yang disediakan 200.000 Ha versus penduduk 1,5 juta tidak ideal. Akan mubazir seperti ibukota pindahan Brazil, Brasilia, yang kosong atau juga Ibukota pindahan Burma, Naypyidaw. Brasilia dan Naypyidaw menurut RK kurang benar perencanaannya. Ukuran lahan menurut TK cukup sekitar 35.000 HA untuk rencana ibukota baru, agar tidak mubazir. Pandangan lainnya, Muhammad Said Didu, mantan sekretaris Menteri BUMN, lebih kepada siapa pembiaya pembangunan ibukota baru ini? Menurutnya dalam situasi ekonomi yang sulit, biaya hanya mungkin dilakukan dengan hutang dan kombinasi dengan menjual asset negara ketangan asing di Jakarta. Aspek teori dalam Pemindahan Ibukota Pemindahan ibukota sering terjadi diberbagai negara2 di dunia dan berlangsung sejak dahulu kala. Western Roman Empire (Kerajaan Roma) misalnya memindahkan ibukota dari Milan ke Revenna Ketika Revenna diserang kaum barbar, ibukota dipindahkan ke Konstantinopel, tempat di mana Kerajaan Roma Timur berada. Indonesia sendiri memindahkan ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta, pada awal kemerdekaan, karena Belanda merebut ibukota Jakarta dan tidak mengakui Republik Indonesia. Di luar urusan perang atau penaklukan, Edward Schatz, Southern Illinois University, dalam "When capital cities move: the political geographic of nation and state building", 2003, mengetengahkan disposisi bahwa pemindahan ibukota umumnya terkait dengan "state and nation building". Schatz menggambarkan fenomena berbeda negara di eropa dengan non-eropa dengan merujuk pada Westphalia (German abad ke 17). Di eropa " state and nation building" telah berlangsung lama sebelum muncul negara modern seperti yang kita kenal saat ini. Urusan di sana adalah pemantapan negara berbasis spasial atau territorial. Sementara di luar eropa, khususnya setelah era kolonial, membentuk negara setelah merdeka berarti membangun struktur kenegaraan dan birokrasi terlebih dahulu. Lalu diikuti dengan proses "nation building". Ketika batas teritorial semakin tegas, maka isu ibukota menjadi penting. "Why move a capital city?" Menurut Schatz ada 3 pandangan terkait pertanyaan "mengapa pindah ibukota?", pertama, "Authoritarianism and Authoritarian Preference". Hal ini terkait dengan keangkuhan pemimpin suatu negara, yang pendapatnya di luar akal sehat ("against common sense, popular opposition, and the advice of wiser policy-makers"). Kedua adalah alasan "rational-technical". Alasan ini adalah alasan yang umumnya diberikan pemerintah seperti menumbuhkan pembangunan wilayah dan efiensi administrasi negara. Ketiga adalah "the political geography nation and state building". "State building" maksud dia "I mean the effort to undermine alternative, rival power bases and develop viable institutions". Artinya negara dimaksudkan untuk menjadi institusi supermasi yang tidak boleh ditandingi institusi lainnya. sedangkan "nation building" maksudnya "I mean the effort to secure the loyalty of broad populations inhabiting the territory represented by the state". Artinya membangun loyalitas rakyat. State Building ini dilakukan dengan "Building the state via patronage, symbolic state building & controling cultural diversity". Schatz yang melakukan studi kasus atas Kazakhstan, yang memindahkan ibukota dari Almity ke Astana, menemukan beberapa hal yakni 1) adanya konsolidasi kekuasaan Nursultan, sang presiden, semisal adanya marginalisasi birokrasi lama yang berorientasi eks sovyet dan membangun sistem patron-client baru berbasis kepentingan ekonomi, 2) menempatkan Kazakhstan sebagai bangsa eurasia, ketimbang Kazak atau Rusia. Pemikir lainnya, Vadim Rossman, seorang Professor berkebangsaan Russia, pengarang buku "Capital Cities: Varieties and Patterns of Development and Relocation", dalam citylab. com, mengetengahkan proses pindah ibukota akan berlangsung baik jika lokasi baru memberikan keseimbangan dan inklusif pada sebanyak2nya level terkait "territorial, economic, ethnic & religious". Kota baru juga jangan diharapkan langsung berfungsi. Sedikitnya butuh satu abad untuk melihat ibukota baru sukses, seperti Washington D.C. Misteri Pemindahan Ibukota Pemindahan ibukota adalah pekerjaan besar dan sakral. Jokowi sudah mengumumkan permintaan ijin ke DPR RI pindah ibukota dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus lalu. Dalam pidato diistana beberapa hari lalu, Jokowi juga mengumumkan lokasi baru ibukota Indonesia, yakni di Kutai Kartanegara dan Penajem Paser Utara, Kaltim. Mengapa Jokowi tidak memasukkan agenda besar negara ini dalam NAWACITA? sebagai acuan gagasan besarnya selama periode 2014-2019. Anehnya juga selama debat pilpres 2019 juga Jokowi tidak memasukkan agenda pindah ibukota dalam narasi besarnya. Jika melihat alasan standar pemindahan ibukota yang dikeluarkan pemerintahan, seperti kata Schatz ulasan di atas, itu merupakan alasan teknis rasional di mana beban Jakarta sudah tidak mampu lagi menopang keberadaan ibukota. Pindahnya ibukota juga akan menjadikan adanya pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa yakni Kalimantan Timur, dengan investasi awal lebih kurang Rp. 400 Triliun. Pertanyaannya adalah apakah langkah sampul Jokowi ini sudah ada sejak 2014? Merujuk dibuangnya Andrinof dari posisi menteri PPN/ Bappenas (di mana Andrinof dan pemikir utamanya Dr. Jehansyah Sirgar dalam visi 2035 selalu berteriak pindah ibukota), memperlihatkan tidak mungkin Jokowi menyimpan ide itu saat itu. Bahkan, Jokowi kala itu masih meyakinkan rakyat Indonesia bahwa urusan Jakarta akan mudah dibangun setelah dia menjadi Presiden. Kemungkinan besar Jokowi menemukan ide pindah ibukota lebih tepat jika dikaitkan dengan kekalahan sekutu Jokowi, Ahok dalam pilkada DKI. Lalu, tindakan Gubernur Anies memberhentikan reklamasi teluk Jakarta, sebuah skala bisnis ribuan triliun, tidak sejalan dengan pemerintahan Jokowi yang ingin hal itu terus berlangsung. Terkait dengan teori Schatz tentang konsolidasi power, sosok Anies di Jakarta dengan Jakarta sebagai ibukota, akan menciptakan "matahari kembar" pada rakyat Indonesia, seolah di ibukota ada dua pemimpin besar. Dengan ibukota di Kaltim dan Jokowi di sana sebagai figur tunggal, maka kepemimpinan Jokowi akan maksimal. Lalu, apabila Jakarta dihilangkan statusnya sebagai ibukota, maka Anies sebagai Gubernur akan kehilangan "kewibawaan legalnya", yang kemudian eksistensinya akan juga seperti kota2 provinsi lainnya yang diatur oleh UU Pemerintahan Daerah saja. *Melucuti Anies Baswedan* Motif utama Jokowi memindahkan ibukota sudah dijelaskan pemerintahan secara resmi. Namun, dampak politik bagi Anies Baswedan akan segera terasa. Pengumuman ibukota baru yang dilakukan Jokowi baru2 ini telah mendelegitimasi keberadaan Jakarta sebagai ibukota. Istilah Irman Putrasidin tentang kesakralan ibukota Jakarta akan meredup. selanjutnya, UU Ibukota akan dicabut dan DPR yang didominasi rezim Jokowi akan membuat UU Ibukota di Kaltim tersebut. Dengan rezim UU Pemerintahan Daerah, Anies tidak mengontrol lagi Jakarta seperti saat ini. Jakarta akan mempunyai kepala2 daerah tingkat 2, yang dipilih langsung. Izin reklamasi nantinya bisa saja dilakukan setingkat walikota bukan Gubernur. Dari sisi politik, Anies akan kehilangan derajat lebih tinggi dari gubernur2 lainnya. Biasanya Gubernur DKI akan dominan dalam forum antar gubernur. Begitu juga "effort" atau usaha Anies bertarung merebut kepemimpinan Jakarta pada 2017 lalu sebagai jembatan bagi batu lomptan menuju kepemimpinan nasional, seperti yang dilakukan Jokowi, sudah atau akan kehilangan jejaknya. Bahkan, bisa sia sia. Penutup Membahas pemindahan ibukota menurut Schatz dapat melihat multi perspektif. Namun, memilih sebuah perspektif menjadi penting untuk melihat kausalitasnya. Pendukung Jokowi akan melihat sisi baik pemindahan ibukota, khususnya dari teori Edward Schatz tentang "Rational-technical". Namun, dari kaum oposisi, pelucutan kewenangan Anies Baswedan di Jakarta akan mengurangi kewibawaan Anies sebagai tokoh besar ke depan. Namun tetap kita berharap kemashalatan pindah Ibukota ini buat kebaikan bangsa dan mendorong Anies Baswedan melakukan refleksi arah dan strategi politiknya ke depan. Foto: Kota Samarinda dialnda Banjir
Banser Jangan Mau Dibubarkan, Harus Melawan
Jangan mau dibubarkan begitu saja. Harus ditolak. Kalau ada yang lancang mau membubarkan Banser, minta mereka menunjukkan payung hukum. Pasti mereka tak punya. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Sangat mungkin Banser (Barisan Ansor Serbaguna) akan dibubarkan atas permintaan orang Papua. Untuk menghadapi tindakan pembubaran itu, saya menyarankan kepada Banser agar menunjukkan perlawanan keras. Jangan mau dibubarkan begitu saja. Harus ditolak. Kalau ada yang lancang mau membubarkan Banser, minta mereka menunjukkan payung hukum. Pasti mereka tak punya. Yakinlah. Siapa pun yang mau membubarkan Banser tidak mungkin memiliki payung hukum. Jangan khawatir. Saya sudah periksa lembaga yang berwenang membubarkan Banser. Tidak ada payung hukum mereka. Belum mereka beli. Mahal itu. Membeli payung saja mahal. Apalagi membeli hukum. Jadi, “payung hukum” itu bukan sembarang payung. Tidak mungkin ada di tangan orang-orang yang menggertak akan membubarkan Banser. Karena itu, para pembesar Banser tenang saja. Tak usah takut. Kalau ada yang menunjukkan payung hukum, periksa dulu dengan cermat. Merek-nya apa? Asli atau palsu? Tanya dulu di mana mereka beli payung hukum itu. Berapa harganya? Kalau, misalnya, ada lembaga yang bisa menunjukkan payung hukum asli, tetap saja dilawan. Bilang kepada mereka bahwa Banser punya hukum sendiri. Yaitu, Hukum Rimba. Sudah lama dibukukan. Namanya, Kitab Undang-undang Hukum Rimba (KUHR). Sebagai contoh, ketika Banser membubarkan pengajian, itu ‘kan tidak ada aturannya. Kalau mereka tanya apa dasar hukum Banser membubarkan pengajian, jawab saja Hukum Rimba itu. Kalau ada yang mempersoalkan bahwa Indonesia ini menggunakan KUHP, bilang saja bahwa Hukuma Rimba adalah produk asli hukum Indonesia. Kalau KUHP itu warisan zaman kolonial Belanda. Jadi, lebih keren pakai hukum buatan sendiri ketimbang hukum buatan penjajah. Ini kesempatan Banser untuk mengganti KUHP dengan Hukum Rimba. Dengan begini, tidak ada yang berani membubarkan Banser. Kalau mereka bubarkan juga dengan paksa, gunakan saja Pasal 15 Kitab Hukum Rimba tentang konsekuensi pembubaran Banser. Ayat (a) Pasal 15 itu menyebutkan bahwa apabila Banser dibubarkan, maka anggotanya akan menduduki hutan Ujung Kulon untuk menerapkan Hukum Rimba. Mengapa hutan Ujung Kulon? Karena menduduki hutan Papua bisa menyebabkan kepunahan spesies Banser. Tidak sebatas dibubarkan. 28 Agustus 2019
Tujuan Utama NU Melayani bukan Menguasai Umat
Keharusan NU untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebenarnya sudah diputuskan pada 1984 saat Muktamar NU di Situbondo. NU itu seharusnya tak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau kekuasaan. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tercatat dalam sejarah bahwa Nadhlatul Ulama (NU) pernah menjadi partai politik 5 besar pada 1955-1971. Sayangnya, beberapa orang NU yang Pro Pemerintah pada saat itu malah tidak mempertahankan keberadaan Partai NU. Sehingga, akhirnya malah Partai NU difusikan dengan partai Islam lainnya menjadi PPP. Seandainya pada waktu itu sebagian besar elit politik NU menolak Partai NU difusikan menjadi PPP, mungkin akan lain ceritanya. Kalau NU menjadi bagian dari partai politik maka wujud NU akan menjadi lebih kecil dari partai politik. Dan hal ini pernah terjadi semenjak tahun 1973-1984, di mana NU menjadi bagian dari PPP. “Seperti keinginan kuat alm ayahanda KHM Wahib Wahab,” ujar KH Solachul Aam Wahib Wahab, cucu pendiri NU KH Wahab Hasbullah kepada Pepnews.com. Bahwa partai NU harus berdiri sendiri tidak mau atau bersedia difusikan menjadi PPP. “Inshaa Allah, NU menjadi organisasi massa sekaligus partai yang besar dan tidak perlu mendirikan PKB. Di mana saat ini PKB sebagai partai justru mengendalikan/mendikte NU sebagai ormas terbesar,” lanjut Gus Aam. Oleh karena, “Kita sebagai warga NU, yang menyayangi NU, yang mencintai NU, ayo sama-sama kita berjuang sekuat tenaga, pikiran, dan uang, demi mengembalikan NU ke Khittah. Mengembalikan NU ke Jatidirinya.” Mengembalikan NU ke Relnya. “Sesuai tujuan utama NU, melayani umat, bukan menguasai umat,” tegas Gus Aam. Menurutnya, sebagai ormas terbesar, NU seharusnya menjadi Wadah besar civil society yang bisa mengayomi semua ormas. “Bukan malah memusuhi ormas lainnya,” lanjut Gus Aam. Dan yang paling penting bahwa NU harus concern dan fokus kepada 3 hal penting sesuai concern dan fokus Almaghfurlloh KH Sahal Machfud mantan Rois Aam. Yakni: Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan, dan Politik Etika Moral. Jadi saat ini sudah saatnya NU harus memikirkan konsep-konsep Politik Kebangsaan, Politik Kerakyatan, dan Etika Moral apa yang bisa diberikan kepada Negara RI dan Bangsa Indonesia. Oleh karena saat ini kami dengan seluruh kekuatan para kiai, tokoh agama, para Akademisi, para pengusaha, tokoh masyarakat, dan para relawan mewujudkan konsep Politik Kerakyatan yaitu diberi nama “KOPSYAMS, Koperasi Syariah Adil Makmur Sejahtera Nasional”. Merujuk dari historica perintis Jam'iyyah NU dahulu, dalam merencanakan dan mengambil keputusan melalui dasar taqorrub kepada Alloh SWT dengan kholwat, rihlah, riyadloh, dan istikhoroh. Para pendahulu itu telah banyak berjuang dan berkorban segalanya demi Bangsa, Negara, dan Agama Islam di Nusantara yang melahirkan suatu Jam'iyyah NU ala thoriqoh ahlus sunnah wal jamaah. Pengurus NU di masa Hadrotus Syekh KHM Hasyim Asy'ari, yakni KH Wahab Hasbullah, mampu menyelesaikan tragedi i'tiqodiyah umat Islam di Kerajaan Arab Saudi. Dan, para muassis menangkis keras faham mu'tazilah, murji'ah, qodariyah, syi'ah, dan wahabiyah,serta harokah kaum khawarij yang menjadi awal sumber fitnah di kalangan umat Islam. NU Now plus Liberalisme, Sekularisme, Marsisme, Kapitalisme, Komunisme, dan Animisme Dinamisme Syincritesme, tidak ada aliran yang tidak dirangkulnya, semuanya itu olah buah filosofi New Modern yang mengadopsi tawassut, tawa’un, i'tidal, dan tasammuh ala an nahdliyah. DR. Ir. KH Sholahuddin Wahid, Prof. DR. KH Rachmat Wahab, Prof. DR. KH Zahro, dan Prof. DR. KH Nashihin selaku tim inti perumus Komite Khittah NU-26 (KKNU-26), punya rasa tanggung jawab bersama sebagai warga NU. “Para tokoh NU sudah saatnya menentukan sikap nyata sebagai gerakan moril yang bertujuan mengubah perilaku PBNU yang ansich melenceng dari garis-garis besar haluan NU,” ungkap Gus Aam. Apabila dianggap angin lalu saja oleh mereka, maka ada wujud Harokah seperti Munas Alim Ulama/Rapat Akbar Alim Ulama/Munas Pondok Pesantren Seluruh Indonesia, sebagai scock therapy untuk PBNU yang selama ini menganggap keberadaan KKNU-26 adalah abal-abal, kelompok orang frustrasi dan golongan orang yang tak dapat bagian. Sungguh sangat ironis sebagai wujud nyata KKNU-26 yang telah berkali-kali menyuarakan kebenaran dalam perbaikan Jam'iyyah NU kembali dalam shiroh dakwah wa jihadiyah ala mu'assis-nya sehingga warwah dan aura NU dan para printisnya kembali wujud di pusaran alam semesta ini. “Karena NU dilahirkan sebagai jam'iyyah memiliki misi rahmatan lil alamin. Lebih cepat lebih baik, agar tidak berlarut-larut NU menjadi bulan-bulanan mafia politik dan kekuasaan,” tegas Gus Aam. Keharusan NU untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebenarnya sudah diputuskan pada 1984 saat Muktamar NU di Situbondo. NU itu seharusnya tak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau kekuasaan. NU didirikan karena kesamaan pandangan para ulama. Kesamaan pandangan dimaksud ini adalah kesamaan wawasan keagamaan sebagai wadah perjuangan bersama menuju izzul Islam wal muslimin (kemenangan Islam dan umat Islam). Kesamaan pandangan keagamaan itulah yang kemudian dirumuskan di “Khittah Nahdhiyyah 1926 “. Melalui khitthah nahdhiyyah, NU berhasil mendasarkan terhadap sikap, penghayatan, pengamalan ajaran Islam dan tingkah laku sehari-hari jamaahnya. Jadi, “Sebagai Garis-Garis Besar Perjuangan NU (GBPNU). Pengurus NU mulai dari PBNU sampai Anak Ranting tidak boleh melenceng dari khitthah 26 agar warga NU tidak bingung kehilangan arah,” kata DR. KH Fadhoil M. Ruham. Sehingga, “Jamaah NU harus tetap berada dalam budaya, karakteristik (perwatakan) dan amaliyah jam'iyyah NU,” ujar pengasuh Ponpes Fudhola Pamekasan ini. Politik NU adalah politik keumatan dan kebangsaan dalam menegakkan NKRI. Bukan politik kepartaian. Keputusan Muktamar Situbondo pada 1984 sudah jelas. Pemurnian manhaj NU dari unsur idelogi lain sekaligus pengembangan manhaj itu guna mengakomodasi perkembangan zaman tanpa membongkar prinsip-prinsip dasar NU. Bahwa penetapan Pancasila sebagai dasar dan filosifi negara, sedangkan akidah syariat tetap Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Politik NU adalah politik keumatan dan kebangsaan dalam menegakkan NKRI. Bukan politik kepartaian. Kemandirian NU dari seluruh partai politik, NU membebaskan warganya untuk berpartai tapi siapapun tidak boleh menjadikan jam’iyah NU menjadi partai politik atau bagian dari sebuah partai politik. Apalagi mengatur mekanisme jam’iyah NU dengan aturan partai politik. Dalam politik keumatan dan kebangsaan artinya pengembangan sumber-sumber kekuatan masyarakat (mabadi khoiru ummah) sebagai bagian dari pengabdian terhadap agama dan bangsa. “NU membebaskan warganya untuk berpartai, tapi siapapun tidak boleh menjadikan jam’iyah NU menjadi partai politik atau bagian dari sebuah partai politik,” kata almarhum DR. (HC) KH Ahmad Hasyim Muzadi, seperti dikutip dalam catatan “Khittah 1926 NU”. Jika tak kembali ke Khittah-26, NU akan disusupi oleh multi-ideologi yang mengakibatkan NU tidak bisa tegas sebagai organisasi sunni, dan pengembangannya akan berjaan tanpa arah dalam konteks liberalisasi pemikiran agama dan pragmatisasi kepengingan. Dari sini, tidak ada kemurnian dan kemandirian. Menurut Kiai Hasyim, saat ini Pancasila mulai redup karena belum sepenuhnya didukung oleh konstitusi dan aturan perundangan serta kebijakan teknis penyelengaraan negara. Secara ideoligis, Ahlussunnah wal Jamaah an Nahdliyah merupakan pilar pokok tegaknya Pancasila. Hal itu ditinjau dari hubungan syar’i antara agama dan negara. Kalau NU sendiri disusupi multi-ideologi, maka penegakan Pancasila pun akan terganggu. “Apabila khittah ditinggalkan maka keluhuran, keagungan, serta penghormatan pihak lain terhadap NU akan menjadi pudar. Berganti dengan pragmatisme yang harganya semakin hari akan semakin murah,” ungkap Kiai Hasyim. Jika NU menjadi bagian dari parpol, kata Kiai Hasyim, maka wujud NU akan menjadi lebih kecil dari partai politik. Dan hal ini pernah terjadi semenjak tahun 1973-1984, di mana NU menjadi bagian dari PPP. Jadi, “Pemisahan NU dan partai politik bukan berarti kita menghalagi para kader NU untuk berpolitik,” lanjut Kiai Hasyim. Pemisahan tersebut adalah pemisahan struktural, sedangkan secara strategis suatu ketika bisa bertemu kepentingan perjuangan. Kiai Hasyim mengingatkan bahwa secara nasional apabila kita meninggalkan khittah itu akan mengalami kesulitan untuk silaturahmi dengan ormas Islam yang lain, apalagi kalau menjadi pemuka ormas-ormas Islam yang lain. “Juga pengaruh NU pada eksponen dan komponen nasional akan menjadi semakin rendah. Hal ini berpengaruh kepada eksistensi dan reputasi NU di dunia internasional,” ujar mantan Ketua Umum PBNU itu. Ketika Annajah Center Sidogiri (ACS) mengadakan mentoring dengan mentor KH Muhibbul Aman Aly bertema Khasais Aswaja, Kamis (14/08/2019), Gus Muhib membahas kembali ciri-ciri Ahlussunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada al-Qur’an dan Hadist. Gus Muhib menerangkan, ciri-ciri Ahlussunnah wal Jamaah adalah berpegang teguh pada al-Quran dan Hadist. Tetapi, dalam berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah, Ahlussunnah wal Jamaah tidak pernah menggunakan daya akal sebagai prioritas utama dalam beragama. Ahlussunnah wal Jamaah tak menempatkan akal di atas teks-teks agama, seperti orang-orang yang menggunakan daya akal sebagai petunjuk dalam beragama. Seperti yang terjadi dalam sejarah perkembangan teologi Islam, yakni munculnya kelompok al-Mu’atthilun (kelompok yang ada jauh sebelum rumusan Asy’ari-Maturidi). Secara harfiyah makna dari al-Mu’atthilun adalah, kelompok yang mengabaikan teks-teks agama yang bertentangan dengan logika. Artinya, kala teks agama bertentangan dengan akal, maka yang dimenangkan adalah akal, ini adalah akar dari pada pemikiran Islam Liberal. Berbeda dengan Ahlussunnah wal Jamaah yang menempatkan akal di bawah teks agama. “Sudah sewajarnya jika segala yang menentukan baik dan buruk itu harus dikembalikan kepada akal,” Jelas Gus Muhib. Hanya ketika akal dan teks-teks agama bertentangan, maka akal tidak boleh dimenangkan. “Dalam usul fiqih kita mengenal at-Tahsin wat-Taqbikh al-Akliyaini,” lanjut Gus Muhib. Kala ada teks agama bertentangan dengan akal, sebagai manifestasi dari anugerah Allah, kita dituntut untuk menimbang. Akallah yang menentukan kebenarannya. Menurut Ahlussunnah wal Jamaah, setiap sesuatu yang datang dari Tuhan, semuanya diterima. Sekalipun bertentangan dengan akal. Oleh karena itu, kalimat-kalimat yang berada di awal surat, seperti Alif Lam Mim, menurut Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki makna. Namun, kalau ditanya apa maknanya, maka jawabannya adalah Allahu A’lamu Bimuradihi. “Berbeda dengan al-Muatthilun yang berpandangan bahwa kalimat tersebut tidak memiliki makna,” ungkap Gus Muhib. Selain itu, adanya kalimat-kalimat di awal surat yang tidak diketahui maknanya, mengindikasikan bahwa ilmu Allah itu tidak terbatas. Karena dengan demikian, maka terdapat beberapa makna dalam ayat al-Quran yang hanya diketahui oleh Allah. (Selesai)
Aneh, Orang Papua Kok Minta Banser Dibubarkan. Siapa Bermain?
Tampil dengan seragam loreng hijau, mirip anggota militer, Banser justru sering berhadapan dengan organisasi dan kelompok Islam lainnya. Mereka tercatat beberapa kali membubarkan pengajian sejumlah ustad yang mereka nilai berseberangan. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pulang dari kampung halamannya di Sorong, politisi Golkar asal Papua Barat Yorrys Raweyai membawa kabar aneh dan janggal. Dia menyebut warga Papua minta organisasi Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dibubarkan. Tuntutan pembubaran Barisan Ansor Serbaguna (Banser) itu masuk dalam poin ketiga dari tujuh tuntutan yang diajukan warga Papua kepada pemerintah RI. Apakah Banser ada hubungannya dengan ujaran rasis kepada mahasiswa asal Papua yang terjadi di Surabaya dan Malang? Ujaran yang kemudian memicu kerusuhan di sejumlah kota di Papua Barat: Manokwari, Sorong, dan Fakfak. Tak ada penjelasan lebih detil dari Yorrys yang kini terpilih menjadi anggota DPD. Dia hanya menyatakan bahwa tuntutan itu berasal dari warga Papua. Kabar itu segera menjadi berita besar. Sejumlah media menjadikannya judul berita. Enam poin tuntutan lain, tidak menjadi fokus. Padahal menilik isinya, poin tuntutan lainnya jauh lebih serius. Gerakan separatisme. Memisahkan diri dari Indonesia. Beritanya menyebar dengan cepat di sejumlah platform media sosial. Tak lama kemudian terjadi perang tagar di medsos. Tagar #BanserUntukNegeri dan #BubarkanBanser menduduki dua peringkat teratas di Twitter. Dalam trending topic dunia, tagar #BubarkanBanser berada di posisi kelima. Hebohnya perang tagar di medsos menunjukkan info tersebut sangat menarik, unik dan memenuhi kriteria “luar biasa.” Namun kemungkinan besar juga ada yang sengaja menggoreng. Kehadiran organisasi paramiliter sayap Gerakan Pemuda Anshor PBNU belakangan ini sering kontroversial. Mengundang pro kontra. Tampil dengan seragam loreng hijau, mirip anggota militer, Banser justru sering berhadapan dengan organisasi dan kelompok Islam lainnya. Mereka tercatat beberapa kali membubarkan pengajian sejumlah ustad yang mereka nilai berseberangan. Pada bulan November 2017 Banser membubarkan pengajian aktivis HTI Felix Siauw di Bangil, Jatim. Felix Siauw kembali menjadi sasaran aksi Banser ketika akan menjadi penceramah di masjid Balaikota DKI Jakarta, Juni 2019. Ustad berjuta umat Abdul Somad juga menjadi sasaran cekal Banser. Pada bulan Agustus 2018, ribuan anggota Banser di Jepara, Jateng menggelar apel menolak kedatangannya. Da’i muda Hanan Attaki juga pernah menjadi korban aksi Banser. Di Tegal, Jateng pengajian ustad yang dikenal dengan gerakan Pemuda Hijrah dibubarkan. Aksi Banser ini mendapat banyak kecaman, termasuk dari kalangan internal NU. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Amerika Serikat Akhmad Sahal meminta agar GP Ansor tidak semena-mena. Menjelang Pilkada DKI 2017 Banser juga berdiri berhadap-hadapan dengan kelompok umat Islam yang menentang Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Ketua GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas malah memberi gelar “Sunan” kepada Ahok. Atas keberhasilannya mengubah kawasan lokalisasi pelacuran Kalijodo, Yaqult menyebut Ahok pantas mendapat gelar sebagai Sunan Kalijodo. Nama ini mirip dengan nama salah satu tokoh penyebar Islam di Indonesia, Sunan Kalijaga. Pada Pilpres 2019 Banser yang selalu menyerukan “NKRI Harga Mati” menjadi salah satu pendukung garis keras pasangan Jokowi-Ma’ruf. Pada aksi protes kecurangan pilpres di depan Gedung Bawaslu 21-22 Mei, Yaqut mengklaim siap mengerahkan 5 juta anggota Banser membantu aparat keamanan. Sering berseberangan dengan kelompok Islam, Banser justru memiliki reputasi lebih dekat dengan umat beragama lain. Mereka selalu hadir “mengamankan” gereja pada hari Natal dan peringatan-peringatan keagamaan agama lainnya. Tak heran bila Gubernur Papua Lukas Enembe menyampaikan protes keras kepada Gubernur Jatim Khofifah. Sebagai tokoh Muslimat NU mengapa dia tak mengerahkan Banser menjaga asrama mahasiswa Papua? (Adu domba) Dengan track record semacam itu, menjadi tanda tanya besar mengapa orang Papua justru minta Banser dibubarkan. Apalagi bila dikaitkan dengan fakta bahwa nama Papua justru dikembalikan pada masa Presiden Gus Dur, tokoh besar NU. Sebelumnya pulau di ujung Timur Indonesia oleh pemerintah Orde Baru diberi itu nama Irian Jaya. Diubah dari nama sebelumnya Irian Barat. Kalau mau dicari-cari, satu-satunya penjelasan yang rada masuk akal mengapa rakyat Papua meminta Banser dibubarkan, barangkali adalah sikap mereka yang sering mengklaim dan meneriakkan yel-yel : Pancasila! NKRI Harga Mati! Sementara sebagian orang Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia. Soal ini tampaknya harus dibikin terang. Apakah ada kaitannya Banser dengan aksi rasisme di Jatim. Mengingat Jatim adalah basis terbesar Banser. Dalam beberapa video yang beredar seputar aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya, ada beberapa orang yang mengenakan atribut Banser. Tapi jelas tidak bisa disebut aksi itu dilakukan Banser. Banyak elemen lain yang terlibat. Yang harus diwaspadai justru kemungkinan adanya operasi intelijen saling membenturkan antar-elemen bangsa. Kelompok-kelompok ini—entah siapa mereka—sangat memahami posisi Banser yang kontroversial. Mereka mendorong Banser menjadi musuh bersama. Sejauh ini operasi itu sangat berhasil. Indikatornya adalah #BubarkanBanser menjadi trending topic dunia. Pada saat bersamaan Banser didorong untuk merespon dan bereaksi. Tercipta kegaduhan yang tidak perlu. Fokus pemerintah terpecah dan operasi pemisahan diri Papua dari bagian NKRI berjalan dengan mulus. Seruan untuk membubarkan Banser adalah kepingan puzzle dari sebuah skenario besar. Mulai dari beredarnya video ceramah Ustad Abdul Somad, diikuti pelaporan ke polisi. Coba perhatikan siapa pelapornya dan siapa yang sibuk menggorengnya. Tak lama kemudian ada aksi rasisme di asrama mahasiswa Papua, dan berakhir rusuh di Papua Barat. Semua itu tidak boleh kita lepaskan dari hiruk pikuk politik nasional dan geo politik global. Di Jakarta jelang pelantikan kabinet, sedang terjadi tarik menarik kepentingan kekuatan politik pasca bertemunya Jokowi dan Megawati dengan Prabowo. Papua bisa menjadi pintu masuk dan bargaining politik tingkat tinggi. Dalam geo politik global, Papua adalah sebuah wilayah yang banyak diperebutkan oleh kekuatan politik dan ekonomi negara-negara adidaya dan Perusahaan multinasional. Jika pemerintah tidak tepat dan bijak menangani Papua. Tidak tepat dan bijak menangani konflik antar-elemen bangsa, Papua bisa menjadi pintu masuk proses Balkanisasi. Slogan Pancasila dan NKRI Harga Mati! Akan menjadi slogan masa lalu yang tak lagi berarti. End
Orang Papua Balas Rasisme Monyet dengan Topeng Monyet
Leher monyet diikat dengan tali panjang. Diarak keliling kampung. Di suruh naik sepeda mini bolak-balik sepanjang talinya. Untuk menghibur warga. Si monyet tidak punya pilihan lain. Harus mengikuti perintah tuannya. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Para petinggi negara bingung menghadapi Papua. Mau diambil tindakan keras, takut salah. Khawatir eskalasi situasi. Takut semakin runyam. Dengan pendekatan lemah-lembut, ketahuan pemerintah pusat lemah. Padahal memang lemah menghadapi Papua. Jakarta menjadi serba salah. Hebat dan salut kepada orang Papua. Dalam waktu 48 jam saja setelah rasisme “monyet” diteriakkan kepada mereka di Surabaya, label “monyet” itu mereka kembalikan ke Jakarta. Bahkan makna kemonyetan yang dikembalikan itu lebih tajam. Sangat menohok. Rasisme monyet yang dibalikkan ke Jakarta itu mengandung arti yang sangat rendah. Cukup hina. Orang Papua mengembalikan ucapan kasar itu bukan dengan kata-kata kasar. Mereka cukup menunjukkan isyarat menuntut penentuan nasib sendiri. Mereka kibarkan bendera Bintang Kejora di jalan-jalan Papua. Mereka buat rapat umum dengan teriakan “Papua Merdeka” atau “Kami Mau Referendum”, dan yel-yel lain yang intinya meminta agar Papua lepas dari Indonesia. Tak ada yang berani mencegah. Bintang Kejora dan semua yel-yel itu membuat para penguasa di Jakarta menjadi kecut. Mereka gamang. Para menteri Polhukam takut Timor Timur akan terulang. Yang mengidap diabetes, kadar gulanya langsung turun-naik. Khawatir tuntutan “Papua Merdeka” semakin membolasalju. Dalam situasi seperti ini, orang Papua jelas berada pada posisi di atas angin. Mereka yang memegang kendali. Secara politis, Papualah yang saat ini mendikte penguasa pusat. Saya teringat pertunjukan Topeng Monyet yang banyak dijumpai di Jakarta. Terbayang saya orang Papua yang menjadi Tuan atau pengendali si Topeng Monyet itu. Sebaliknya, si monyet melakukan semua perintah tuannya. Orang di luar Jakarta tidak begitu tahu Topeng Monyet. Yaitu, atraksi di jalan-jalan kampung yang menyalahgunakan monyet terlatih untuk cari duit alias ‘ngamen’. Leher monyet diikat dengan tali panjang. Diarak keliling kampung. Di suruh naik sepeda mini bolak-balik sepanjang talinya. Untuk menghibur warga. Si monyet tidak punya pilihan lain. Harus mengikuti perintah tuannya. Begitulah gambaran hubungan Jakarta-Papua saat ini. Orang Papua tak perlu membalas teriakan “monyet” dengan kata “monyet” juga. Cukup mereka balas dengan makna atraksi Topeng Monyet.* 24 Agustus 2019
Papua Membara, Mahfud MD Kok Bungkam ?
Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - NKRI dirongrong di Papua, Pancasila dilecehkan di Papua, sang Saka Merah Putih di bakar di Papua. Hanya, saya merasa terheran-heran kenapa Begawan BPIP semua bungkam ? Mana suara Megawati ? Mana suara Try Sutrisno ? Mana suara Syafii Maarif ? Mana suara Said Aqil Siradj ? Mana suara Ma'aruf Amin ? Mana suara Sudhamek ? Mana suara Andreas Anangguru Yewangoe ?Mana suara Wisnu Bawa Tenaya? Dan yang lebih penting MANA SUARA BEGAWAN BPIP PALING GIGIH, MAHFUD MD ? Kalau urusan umat Islam, bendera tauhid, syariah Islam, mereka ini paling cerewet berkomentar. Syafi'i Ma'arif yang sudah udzur saja, nyinyir kepada wacana NKRI bersyariah, apalagi Mahfud MD. Tuding dana dari Arab ke pesantren untuk radikslisme, tuding pesantren di Jogja dan Magelang radikal. Tapi giliran di Papua, kok Ga ada satupun kalimat Twitt Mahfud yang membara menyebut OPM radikal ? Lantas, apa solusi Pancasila untuk mengatasi masalah separatisme OPM ? Melafadzkan sila-sila Pancasila sampai lidah kelu ? Meminta OPM berbaris dan beri hormat ke bendera merah putih ? Apa pula pertanggungjawaban Jokowi untuk Papua. Bukankah suara Jokowi di Papua luar biasa besar ? Lantas, kalau mereka pro Jokowi kenapa minta referendum pisah dari NKRI ? Apa kampanye politik Jokowi di Papua dulu menjanjikan referendum dan berpisah dari NKRI sehingga suara Jokowi luar biasa besar di Papua ? Atau keributan di Papua ini dalam rangka merealisir janji politik Jokowi ? Kembali ke Mahfud MD, saya jadi kepingin tahu apa resep mujarab sang profesor ini -yang telah kalah telak melawan tantangan Prof Suteki- untuk mengatasi masalah Papua. Apa akan mengadopsi ide Jokowi, yang saat pidato kebangsaan berkoar tidak ada toleransi bagi siapapun yang mau memecah belah bangsa. Tapi begitu OPM beraksi, kok jadi lembek ? Diminta saling memaafkan ? Ingat ya, gaji Mahfud MD per bulan diatas 100 juta rupiah. Umat ini berhak tahu, apa kinerja Mahfud sehingga punya hak atas gaji yang berasal dari pajak umat. Tidak mungkin lah, seorang Mahfud pergi ke Papua dalam konteks bertempur, seperti Banser. Banser saja ngeles minta payung hukum. Tapi paling tidak Mahfud kan bisa ngetwit ? Komentar, kasih perspektif Pancasila mengenai persoalan Papua. Jangan hanya menjadi kompor kebangsaan berdalih suluh kebangsaan, menebar tudingan ditengah kalangan pesantren tanpa punya rasa malu. Meskipun begitu, saya termasuk orang yang sabar menanti pernyataan Mahfud. Bagaimanapun, dia telah terima gaji BPIP. Karena itu, dia wajib bekerja dan bertanggung jawab secara moral kepada publik. Semoga, Mahfud MD diberi kemudahan dan kelancaran, agar lisannya mampu bersuara untuk Papua. Kita, sebagai sesama anak bangsa sangat menunggu peran dan kiprah Mahfud MD dalam menjaga dan membumikan nilai-nilai Pancasila.
Jangan Cemaskan Pancasila, Sejak Lama Pancasila Memang Sudah Tak Ada?
Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Kehadiran BPIP dianggap sebagai respons negara atas rongrongan terhadap Pancasila. Diharapkan, BPIP mampu membina dan mengarahkan corak keberpancasilaan bangsa dan negara. Bahkan, untuk urusan ini negara merogoh kocek yang diambil dari kantong rakyat (pajak) untuk menggaji ratusan juta rupiah untuk memberi jatah bulanan Kepada begawan - begawan BPIP. Tak peduli, apakah secara subtantif BPIP bermanfaat. Yang jelas, secara formal telah melembaga, biar terlihat gagah memang semua harus di lembagakan. Biar bisa memindahkan duit dari kantong rakyat ke kantong BPIP, tentunyahhh. Tak jelas, apa tupoksi BPIP. Yang muncul, BPIP sering nyinyir terhadap umat Islam dan isu-isu keislaman. Terkait OPM, yang jelas mengancam Pancasila dan NKRI, BPIP terlihat irit komentar, jika mengeluarkan statement pun, sangat hati-hati. Sebenarnya, apakah pancasila terancam, sehingga butuh BPIP ? Apakah publik NKRI perlu mencemaskan Pancasila ? Sebelum menjawab pertanyaan ini, justru kita semua, publik NKRI patut bertanya, apakah Pancasila masih ada ? Secara formal iya, pancasila masih ada. Di sekolah-sekolah, setiap Senin pada saat upacara bendera, sila-sila Pancasila masih terus dibacakan. Penulis sendiri, sejak SD sering menjadi pembawa naskah Pancasila untuk diserahkan kepada pembina upacara, sering juga justru menjadi komandan upacara. Namun, secara subtantif apakah Pancasila masih ada ? Mari kita ulas. Menarik sekali, pernyataan Surya Paloh yang menyebut negara ini adalah negara kapitalis liberal, bukan Pancasila. Pernyataan ini, adalah pernyataan Sahih, meski motifnya karena rebutan jatah kursi menteri. Negeri ini memang sejak lama menerapkan ideologi kapitalisme sekuler, dengan berbagai corak dan varian. Saat ini, negeri ini sedang menerapkan mutan kapitalisme yang berevolusi menjadi kapitalisme liberal. Lebih liberal ketimbang kapitalisme pasar. Jika pada era Soekarno, Pancasila secara subtantif ditafsirkan dengan mahzab sosialistik dibuktikan dengan proyek nasionalisasi sejumlah aset privat milik Belanda menjadi BUMN. Era Soeharto, negeri ini telah sah menerapkan kapitalisme barat. Jadi, ketika itu pertarungan ideologi kspitalisme barat dan sosialisme China, bertarung untuk mensarah (menafsir) makna Pancasila. Secara subtantif, Pancasila tidak pernah ada. Pancasila, sejak orba hingga saat ini hanya dijadikan sebagai alat untuk menggebuk lawan politik. Dalam kasus HTI misalnya, HTI dituding anti Pancasila, sementara nilai-nilai Pancasila anti korupsi. Faktanya, yang menuding dan mencabut BHP HTI justru yang banyak kena kasus korupsi. PDIP, Golkar, PKB, PPP, semua pengalaman dalam urusan korupsi. Saat ini, misalnya, nilai Pancasila tidak pernah diterapkan sebagaimana dahulu Pancasila juga hanya menjadi slogan-slogan kosong tanpa isi. Justru, ideologi barat sekuler dan asosialisme China yang eksis dan berebut pengaruh di negeri ini. Penguasaan aset dan tambang oleh asing, Import TKA China, utang yang menggunung, kemiskinan yang akut, sulitnya akses kesehatan bagi rakyat kecil, ancaman disintegrasi Papua, dll. apalah semua ini bentuk implementasi nilai-nilai Pancasila ? Kalau iya, berarti jelek sekali Pancasila itu. Kalau bukan, berarti jelas Pancasila memang tak pernah ada dan diterapkan di negari ini. Kalau realitasnya Pancasila memang tak ada dan tak pernah diterapkan, jadi wajar saja kita tidak perlu mencemaskan Pancasila. Tak perlu pusing menjaga Pancasila dengan membentuk BPIP atau semisalnya. Biarkan, Pancasila eksis sebatas dongeng seperti cerita Sangkuriang atau Bandung Bondowoso. Saya sepakat, Pancasila tak perlu dicemaskan. Karena, Pancasila sudah sejak lama memang tak pernah ada secara kenyataan.
Membaca Kegalauan Syahganda Nainggolan Soal Papua
Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Tak terlalu mewakili, apa yang saya tulis ini untuk mengkonfirmasi suasana kebathinan Dr. Syahganda Nainggolan, pemilik lembaga Sabang - Merauke Cyrcle. Isu sparatisme OPM, jika tidak dikelola secara bijak bisa berujung perpecahan. Salah satu provinsi Indonesia Paling timur Indonesia ini bisa lepas menjadi negara mandiri. Jika Papua memisahkan diri mengikuti jejak Timor Timur, terbukti untuk yang kesekian kalinya NKRI bukan harga mati, bentuk dan wilayah negara tak pernah final. Negara, jika tidak berdialektika pada sebuah perubahan yang revolusioner, tak ayal juga pasti berubah secara evolutif. Andaikan Papua lepas, Merauke bukan lagi NKRI. Karena itu, hal ini sangat mengkhawatirkan eksistensi Sabang-Merauke Cyrcle-nya Syahganda. Boleh jadi, lembaga ini beringsut menjadi Sabang - Kupang Cyrcle. Jika tak dicegah dan diselesaikan secara serius, pelan-pelan lembaga milik Syahganda ini akan terus beringsut secara evolutif, bisa juga secara revolusioner. Mungkin, berubah menjadi Sabang - Surabaya Cyrcle, Sabang - Bandar Lampung Cyrcle, atau mungkin berujung menjadi Sabang - Banda Aceh Cyrcle. Semoga saja tidak, Naudzubillah. Hanya saja, penangan krisis papua ini tidak boleh dengan cara lama seperti menangani Timor Timur (Tim-Tim). Saat itu, keran referendum di buka dengan harapan warga tim-tim dalam sebuah jajak pendapat publik mayoritas memilih pro integrasi. Sehinga, posisi Indonesia yang menjadikan tim-tim bagian wilayah NKRI lebih legitimate dimata internasional. Faktanya ? Referendum merupakan jalan lapang bagi Tim-tim menuju kemerdekaannya. Bukan merdeka, tapi memisahkan diri. Sebab, jika Timor-timur merdeka, berarti selama ini Indonesia menjajah Timor timur. Faktanya, selama kekuasan orba Tim-tim adalah provinsi anak emas Soeharto. Ketika itu, mahasiswa tim tim yang kuliah di jawa mendapat banyak fasilitas dan bantuan negara. Subsidi anggaran untuk tim-tim sendiri, terbesar diantara provinsi lainnya. Saat itu, Magewati yang juga ketua PDIP begitu getol mendorong warga bumi lorosae untuk mengadakan referendum. Tanpa perhitungan matang -juga atas tekanan internasional - referendum Timor timur terjadi dan berujung disintegrasi. NKRI ternyata bukan harga mati. Sekarang juga sama, opsi-opsi yang diantaranya opsi referendum, sebagaimana ulasan Syahganda, semoga tidak menjadi pilihan politik Pemerintah. Sebab, opsi referendum sama halnya opsi melepaskan Papua. Itu sebabnya, mahasiswa Papua yang demo di depan istana Presiden tidak menuntut merdeka atau memisahkan diri. Mereka hanya menuntut 'referendum' karena mereka paham jika opsi refeendum ini menjadi pilihan kebijakan politik Pemerintah, sama saja dengan menyetujui Papua merdeka. Itulah target sebenarnya. Agak sulit untuk mengandalkan Jokowi, apalagi jokowi pernah diterpa isu referendum untuk Papua di tahun 2015. Rasanya, problem Papua ini perlu diselesaikan dengan pendekatan out of the box. Isu utama papua itu adalah ketidakhadiran negara di Papua, baik untuk memberikan layanan kepada rakyat Papua maupun mengambil sikap tegas pada aparatis OPM. Terlebih lagi, isu Papua adalah isu internasional. Sejumlah negara begitu ngiler dengan SDA Papua yang melimpah, khususnya emas freeport. Amerika jelas punya kepentingan mendorong Papua pisah dari NKRI, karena bernego dengan pemerintahan kecil di Papua jauh lebih negosiable ketimbang bernego dengan NKRI. Yang jelas, Amerika bisa lebih banyak menghemat anggaran suap pejabat, jika Papua memisahkan diri menjadi negara kecil. Amerika tdk perlu lagi berurusan dengan orang Jakarta yang rakus. Amerika, cukup bernego dengan orang Papua dan membentuk pemerintahan boneka di Papua untuk melayani kepentingannya. Sebenarnya ada ide diluar opsi mainstream untuk menyelesaikan persoalan Papua. Solusi anti mainstream ini selain mempertahankan keutuhan wilayah NKRI juga akan menambah luas wilayah negara. Jadi, Kedepan Syahganda tidak perlu khawatir lembaga Sabang - Merauke Cyrcle dilikuidasi. Bahkan, dia bisa melebarkan sayap dengan membentuk lembaga Sabang - Maroko Cyrcle. Ya, itu hanya terwujud jika negeri ini mengambil opsi solusi khilafah. Sebuah sistem pemerintahan yang kuat yang akan menjaga keutuhan wilayah negara, bahkan akan memperluas wilayah negara dengan berbagai penaklukkan ke seluruh penjuru dunia. Kelak, wilayah kekuasan khilafah ini meliputi banyak kawasan, dari Sabang sampai Maroko. Saat itulah, lembaga milik Syahganda bermetamorfosis menjadi lebih besar dan lebih gagah : SABANG - MAROKO CYRCLE. End