NASIONAL
Pemerintah Alpa dengan Tragedi Kemanusiaan di Papua
Sudah 32 orang meninggal dari suku Bugis dan Minang. Mereka menjadi korban pembantaian etnis oleh masyarakat asli Papua. Sementara negara dan pemerintah masih sibuk dengan mengurus demonstrasi mahasiswa. Pemerintah hanya sibuk urus kekuasaannya. Sementara persatuan dan kemanusiaan yang mengancam NKRI ditutup oleh tebalnya kabut asap ban mobil dan semprotan gas air mata untuk mempertahankan kekuasaan Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. Jakarta, FNN - Tindak kekerasan di Wamena, Papua, menimbulkan puluhan korban meninggal. Ratusan orang lainnya luka-luka. Ratusan rumah dan fasilitas umum hancur. Kekerasan tersebut terakumulasi dari protes sosial yang berujung pada separatisme. Duka dan kematian yang menelan korban para pendatang. Umumnya dari suku Minang dan Bugis, serta suku-suku lainnya yang hidup di papua menyayat hati kita. Negara absen, Negara tidak dalam duka ini. Ada ratusan ribu orang pendatang yang hidup di Tanah Papua. Bahkan mungkin juga jutaan orang, seperti yang dikemukakan oleh ulama asal Papua, Uatdz Fadlan Garamatan. Orang Papua juga hidup di wilayah lain dalam negara Indonesia. Semua warga negara hidup rukun, damai dan tidak separatis. Saling kasih sayang mewarnai kehidupan kita, karena kita berada dalam naungan NKRI. Tindakan separatis dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam negara Indonesia. Pemerintah wajib hadir dan membela setiap warga negara yang memperoleh perlakuan rasis itu. Sebab, negara menjamin setiap orang untuk hidup menurut agama, keyakinan dan kulturnya masing-masing. Tidak boleh ada warga negara yang diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan apapun. Setiap daerah yang terintegrasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Inilah komitmen kita bernegara. Komitmen ada sejak kita berbangsa dan bernegara tahun 1945. Komitmen ini juga berlaku semenjak Papua menyatakan diri bergabung dalam NKRI tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Namun apa yang terjadi di Wamena, Papua, berupa pemnatai terhadap pendatang Minang dan Bugis, bukan lagi tindakan yang biasa-biasa. Ini sudah menjadi kejahatan yang sangat luar biasa. Ini sudah pembantaian etnis (genosida) terhadap para pendatang di daerah itu. Perasaan "kebencian" orang Papua terhadap pendatang sudah tidak bisa dibenarkan lagi menurut hukum apapun. Apakah itu hukum Indonesia, maupun Hukum Internasional. Kelompok separatis yang diprovokasi oleh Benny Wenda sangat beringas. Mereka mencabik-cabik perasaan kemanusiaan kita. Mereka menghancurkan keharmonisan bernegara kita. Tragisnya, pada saat yang bersamaan, negara diam tanpa sikap apapun terhadap kejahatan kemanusiaan itu. Meskipun kita tetap mengakui, banyak masalah yang belum bisa diatasi oleh pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan di Papua. Namun kita tidak bisa membenarkan dengan alasan yang sama atas pembunuhan terhadap sesama warga negara. Kalau masalah kesenjangan menurut saya, Orang Papua harus menuntut kepada pemerintah. Bukan membantai sesama warga negara. Dengan alasan apapun juga pembantaian itu adalah kejahatan terhadap rasa dan nilai kemanusiaan kita. Jalan Pemerintah Situasi kemanusiaan yang memburuk di Papua hari ini, tidak bisa hanya diselesaikan dengan kata "harap tenang" atau "pace, mace, sabar". Butuh langkah konkrit untuk mengatasi ini. Negara harus hadir melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Begitulah perintah konstitusi kita pada Pembukaan UUD 1945 Pemerintah Jokowi harus belajar dan berkaca pada sejarah. Bagaimana cara menyelesaikan konflik daerah seperti di Papua tersebut. Misalnya, ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir menyelesaikan masalah tuntutan rakyat Aceh. Peristiwa itu tertadi pada tanggal 22 Desember 1950. Hasil dari kongres PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan Mosi DPRD Aceh, yang meminta untuk menjadi Provinsi Sendiri. Bukan lagi bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Mohammad Natsir sebagai Perdana Menteri, dengan didampiungi KH Masjkur beserta rombongan, mengunjungi Kutaraja, Banda Aceh pada tanggal 22-23 Januari 1951. Tujuannya, untuk berdialog dengan Gubernur Aceh Tengku Daud Beureueh, Ulama PUSA dan Anggota DPRD Aceh serta Rakyat Aceh. Dialog antara rombongan Natsir dengan wakil-wakil Aceh yang berujung kebuntuan atau deadlock. Kerana Aceh tetap pada pendiriannya, yaitu menjadi provinsi sendiri. Tidak mau menjadi bagian atau bergabung dengan Sumatra Utara. Dalam kebuntuan tersebut, akhirnya Natsir menyampaikan kepada Tengku Daud Beureueh, besok saya balik ke Jakarta. Setiba di Jakarta, saya segera menghadap Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno, untuk mengembalikan Mandat sebagai Perdana Menteri. Karena telah Gagal untuk mencapai kesepakatan antara Pemerintah Pusat dengan saudara-saudaraku di Aceh. Daud Beureuh kaget dan terheran dengan pernyatan Natsir tersebut. Daud Beureuh lalu menanyakan apa alasan Natsir mengembalikan mandat sebagai Perdana Menteri kepada Presiden Soekarno? Natsir menjelaskan, karena saya telah gagal mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dan saudara-saudaraku di Aceh. Sebab, kalau Aceh masih tetap saja berkeras, dan Pemerintah Pusat juga bersikeras, maka Pemerintah Pusat akan mengambil tindakan tegas, termasuk mengirim pasukan tentara apabila Aceh tetap dengan pendiriannya. "Saya tidak mau menyaksikan peristiwa 'perang saudara' itu terjadi. Karena Aceh telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam mendukung proklamasi kemerdekaan, dan mempertahankan negara proklamasi. Saya tidak ingin itu terjadi pada saat saya masih menjabat Perdana Menteri, “kata Natsir kepada Daud Beureuh. Mendengar ucapan Natsir itu, Tengku Daud Beureueh, terdiam dan tertekun sejanak. Setelah itu dengan tarikan nafas panjang, Daud Beureuh meminta kepada Natsir untuk menunda kepulangannya ke Jakarta beberapa hari. Karena besok, Daud Beureuh akan segera mengumpulkan Ulama PUSA dan DPRD untuk membicarakan permasahan ini. Setelah diadakan pertemuan kembali dengan rombongan Natsir, Tengku Daud Beureueh, Ulama PUSA dan DPRD, akhirnya Aceh menerima jalan kompromi yang ditawarkanNatsir. Yaitu setuju pembentukan propinsi sendiri yang terpisah dengan Sumatra Uatara. Namun melalui mekanisme dan prosedur yang ada, karena pemerintah pusat masih terikat dengan perjanjian RIS. Dengan demikian, pembentukan provinsi sendiri bagi Aceh bisa dilakukan, namun dengan lebih dulu merubah undang-undang. Dan itu masih memerlukan waktu. Apa yang dilakukan oleh M. Natsir dalam menangani persoalan Aceh ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Jokowi sekarang. Natsir siap meletakkan jabatannya sebagai perdana Menteri kalau gagal mendamaikan Aceh. Kepribadian seperti itu harus tertanam dalam diri pemerintah sekarang. Upaya yang dilakukan Perdana Menteri Natsir dengan turun langsung memperudingkan masalah Aceh adalah merupakan sikap pemimpin yang mau menyelesaikan konflik. Bukan seperti sekarang ini, setengah hati menangani masalah Papua. Akibatnya, korban berjatuhan tanpa kehadiran negara., Penanganan konflik lokal tidak bisa di serahkan kepada pemerintah daerah. Apalagi kelompok separatis tidak lagi berkompromi dengan pemerintah pusat. Mereka juga ingin keluar dari NKRI dengan alasan membentuk negara sendiri (merdeka). Artinya, tidak ada pintu untuk dialog lagi. Untuk melindungi warga negara pendatang di Papua, pemerintah harus mengerahkan kekuatan militer yang besar. Konflik Papua di sudah melewati komunikasi yang panjang. Namun pemerintah pusat tidak serius melakukan perubahan-perubahan. Akibatnya, pintu dialog antara Papua dan Jakarta tertutup. Kemarahan orang Papua itu bukan lagi kemarahan vertikal kepada pemerintah pusat, melainkan sudah menjadi kekejaman rasial horizontal antara orang Papua asli dengan pendatang. Yang terjadi sekarang adalah "perang" antar warga negara. Negara dan pemerintah dimana? Sudah 32 orang meninggal dari suku Bugis dan Minang. Mereka menjadi korban pembantaian etnis oleh masyarakat asli Papua. Sementara negara dan pemerintah masih sibuk dengan mengurus demonstrasi mahasiswa. Pemerintah hanya sibuk urus kekuasaannya. Sementara persatuan dan kemanusiaan yang mengancam NKRI ditutup oleh tebalnya kabut asap ban mobil dan semprotan gas air mata untuk mempertahankan kekuasaan. Negara Alpa Rakyatberhak meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keamanan dan kenyamanan kehidupan mereka dari negara di dalam negara. Kenapa pemerintah dan negara tidak hadir untuk memberikan perlidungan kepada rakyat? Apakah pemerintah tidak melihat adanya pembantaian ini? Pemerintah terlalu sibuk untuk mengurus kursi kekuasaan. TNI dan Polri sebagai kekuatan penjaga kemanan NKRI ikut-ikutan sibuk pula dalam mengawal kursi kekuasaan. Contohnya, TNI menyatakan mengancam siapa saja yang ingin menggagalkan pelantikan presiden terpilih. Siapa yang ingin menggagalkan pelantikan presiden akan berhadapan dengan TNI. Luar biasa TNI sekarang Sementara persoalan yang mengancam kedaulatan bangsa dan membuat tercabik-cabiknya NKRI terjadi di depan mata. NamunTNI dan Polri tidak memiliki sikap apapun. Sehingga sebagai warga Negara, kita patut bertanya, kepada siapa kita harus meminta pengamanan? Rakyat Indonesia di Papua, dan ribuan orang di Wamena dalam keadaan tertekan dan terancam oleh gerakan separatis. Kenapa negara dalam hal ini Presiden, Para Menteri, TNI, Kepolisian, tidak memiliki sikap dan langkah apapun untuk memberikan keamanan kepada warga negara yang terancam nyawanya? Dimana dan kemana saja lembaga-lembaga negara ini menyembunyikan diri. Saya sendiri sangat menyayangkan absenya pemerintah pusat dalam melindungi warga negara di Papua, khususnya Wamena. Begitupun dengan Din Syamsuddin yang juga menyesalkan respon aparat keamanan dan penegakan hukum yang sangat lamban dan tidak adil. Dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Syahganda Nainggolan yang menyebutkan bahwa pemerintah Jokowi tidak hadir dalam persoalan kemanusiaan di Wamena Papua. Pemerintah Jokowi terlalu disibukkan oleh persoalan demonstrasi di Jakarta. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Jokowi lalai dalam melindungi warga Negara, dan alpa dalam setiap persoalan bangsa. Separatis Melanggar HAM Gerakan Papua Merdeka bukan lagi sebatas jargon semata. Bendera Bintang Kejora juga bukan lagi sebatas bendera adat masyarakat Papua. Tetapi itu sudah berubah menjadi symbol dan lambang separatisme di Indonesia. Benny Wenda sebagai pimpinan gerakan separatis Papua wajib untuk bertanggungjawab atas kematian 32 orang Minang dan Bugis di Wamena. Bahkan masih ada ratusan korban luka-luka. Selain itu, ratusan rumah serta fasilitas umum yang dibakar. Keamanan warga negara disana adalah tanggung jawab pemerintah. Pada tahap ini negara dan pemerintah wajib bertanggungjawab atas persoalan pembantain yang menimpa warga negara Indonesia di Tanah Papua. Keamanan dan nyawa mereka adalah tugas negara menjaganya. Pemerintah saatnya menyatakan bahwa gerakan Operasi Papua Merdeka adalah gerakan separatis, yang telah melanggar HAM. Gerakan ini juga telah mengkhianati prinsip-prinsip dasar negara Pancasila dan hukum kemanusiaan Internasional. Pemerintah jangan menganggap urusan Papua sebagai hal yang biasa. Kalau sudah tidak mampu merekatkan bangsa, lebih baik menyatakan sikap. NKRI sedang dalam bahaya, dan perlu pemimpin yang punya komintmen, keberanian, kecerdasan dan independen dalam menyelesaikan semua problem bangsa sekaran ini. Semoag saja bisa berhasil. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen Fak. Hukum dan Fak. Ilmu Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta
Mengapa Polisi Beringas?
Sekarang, sebutan angkatan bersenjata itu lebih layak dilekatkan kepada polisi. Karena mereka bisa keluar membawa senjata dengan bebas. Anggota TNI, yang justru asli angkatan bersenjata, armed forces, malah tidak boleh membawa-bawa senjata. Oleh Kavil Yamin Jakarta, FNN - Sebagai wartwan senior (pernah jadi wartawan Indonesian Observer, Kantor Berita Francis AFP, dan terakhir Kantor Berita Fhilipina PNA) saya punya beberapa kawan polisi. Semuanya enak untuk berkawan. Bahkan beberapa di antara mereka adalah sahabat dekat. Karena itu, saya jadi heran melihat kebringasan polisi dalam menangani aksi massa mahasiswa dan pelajar belakangan ini. Jangankan kepada pengunjuk rasa yang ‘panas’, kepada pengunjuk rasa yang tertib dan santun pun, seperti aksi 22 Mei lalu, mereka tetap beringas. Saya ingat sewaktu menjadi mahasiwa demonstran di Bandung dulu. Setiap rapat-rapat, kumpulan dan pembicaraan kami, kami tau sekali-kali ada intel polisi nyamar jadi mahasiwa. Pura-pura lewat lah. Pura-pura duduk dekat kami lah. Sebagai tindak balasan, kami pun sekali-kali mengirim intel kami ke pihak polisi. Semancam kontra-intelijen. Caranya tak usah diceritakan di sini. Dari intel kami itulah, kami tau bahwa cara penanganan aksi itu tidak sama. Pengerahan polisi untuk menangani suatu unjuk rasa biasanya didahului oleh laporan intel tentang rencana dan besaran aksi. Bila rencana dan besaran aksi itu masih terhitung di bawah kendali polisi, maka yang keluar adalah perintah penanganan standar. Hanya menjaga dan mencegah tindak pengrusakan atau keributan. Persenjataan pun cukup tameng dan pentungan. Bila ada laporan bahwa jumlah massa besar dan berpotensi kerusuhan, maka peralatan pun lebih lengkap, antara lain penyemprot gas air mata. Dan yang tak kurang penting, semacam asupan obat penambah semangat dan keberanian. Penangkapan dan penanganan keras biasanya dilakukan secepat mungkin sebelum massa bertambah besar. Karena semakin besar massa, semakin sulit ditangani dan risiko kerusuhan semakin tinggi. Intel kami waktu itu mengetahui yang diminum sebelum bergerak ke lapangan itu adalah pil BK, atau amphetamin. Tahun 80-an, pil ini suka diminum bareng vodka atau minuman beralkohol lain oleh anak-anak Bengal. Bawaannya jadi berani dan beringas. Jadi kalo berantem ga bakalan lari. Nah, bayangkan kalo obat ini diminum polisi yang mau menangani unjuk rasa. Dibekali senjata api berlaras panjang pula. Mereka tak akan ragu menembak, memukul, tak peduli sasaran lemah atau tak berdaya. Korban sudah tergeletak sekalipun, masih ramai-ramai dihajar juga. Korbannya bisa sampai geger otak, bahkan meninggal dunia. Rasa tega dan kasihan sudah menguap ke langit. Untunglah pada zaman kami, polisi dipersenjatai terbatas. Paling tinggi pistol. Itupun penggunaannya tak sembarangan. Harus ada laporan berapa peluru yang keluar, berapa yang kena sasaran. Kalau masih ada sisanya, harus dikembalikan. Sehingga, kalau pun ada korban, jarang sekali korban nyawa. Paling benjol-benjol kena pentungan. Kalau sampai ada korban nyawa, sudah dipastikan bakal menjadi masalah besar bagi seisi negeri ini. Sekarang, 5-6 nyawa yang melayang, korban berdarah-darah. Polisi masih aman-aman saja. Paling balik menuduh demonstran. “Mereka itu perusuh” atau “mereka itu ditunggangi”. Cara inilah yang biasa digunakan sebagai bentuk pembelaan diri. Lainnya adalah untuk cuci tangan. Sekarang, sebutan angkatan bersenjata itu lebih layak dilekatkan kepada polisi. Karena mereka bisa keluar membawa senjata dengan bebas. Anggota TNI, yang justru asli angkatan bersenjata, armed forces, malah tidak boleh membawa-bawa senjata. Tragisnya, senjata yang diberikan kepada polisi lebih lengkap dan mutakhir daripada yang diberikan kepada TNI. Orang tau, senjata yang dibawa itu ada auranya. Bila anda bermental lemah tapi menenteng senapan canggih, keberanian anda meningkat drastis. Orang yang menenteng senjata, bawaannya ingin nantang orang aja. Tapi itu bila mentalnya masih lemah. Yang bermental kuat dan dewasa, malah menghindar untuk membawa senjata. Kalau pun harus membawa senjata, itu karena kewajiban semata. Itupun dia berusaha menyamarkannya, supaya tidak menimbulkan ketaknyamanan dan ketakutan bagi orang lain. Pil BK ya. Awas jangan ketuker sama pil KB. Pil BK ini terdiri dari beberapa jenis. Antara lain barbiturate, bromazepam (lexotan), diazepam (valium), flunitrazepam (rohypnol), nitrazepam (mogadon) dan nitradiazepam (nipam). Mengkonsumsi pil BK dengan dosis tinggi mengakibatkan penurunan kesadaran, dan mudah marah. Selian itu, mendorong pemakainya untuk berani melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukannya ketika sadar penuh. Setelah sadar penuh, sipemakai umumnya tidak ingat hal-hal yang dikatakan atau dilakukannya selama terkena pengaruh obat tersebut. Obat ini banyak disalahgunakan karena harganya relatif terjangkau. Jenis lain adalah nuvigil. Pil BK jenis ini bisa membuat sipemakai tetap terjaga dan awas selama tiga hari. Bahkan bisa sampai sepekan. Karena khasiatnya inilah, nuvigil kadang-kadang digunakan oleh militer AS agar tetap awas terhadap musuh. Bila obat untuk militer itu digunakan untuk polisi, maka tingkat keawasan yang ditimbulkannya seperti kewaspadaan terhadap musuh dalam perang. Setiap saat bisa membantai, menembak. Meski yang dihadapinya adalah mahasiwa , ustadz, tenaga medis, atau anak-anak SMK, eeeh, STM. (Bersambung) Penulis adalah Wartawan Senior
Pembantaian Orang Padang dan Bugis, Serta Runtuhnya Negara di Papua
Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang aparat keamanan sebagai elemen terpenting negara gagal mengantisipasi kejadian ini. Dari kejadian ini, muncul pertanyaan kita, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negara? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang-orang non Papua di tanah Papua? Oleh Dr. Syahganda Nainggolan Jakarta, FNN - Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun. Kita telah berduka besar atas wafatnya 32 orang pendatang di Papua. Jumlah tersebut, terdiri dari 10 orang Padang dan 22 orang Bugis. Sangat tragis, memilukan dan menyesakan dada, karena beberapa diantaranya dibakar. Pada tanggal 23 September lalu, ada korban setelah dipanah. Setelah itu korbannya dibacok, dan dibakar di sebuah pasar di Wamena. Sebuah priklaku dan perbuatan yang sangat biadab, bahkan tidak berprikemanusiaan. Wamena adalah sebuah kota kecil di wilayah Republik Indonesia. Sampai hari ini Indonesia sebagai Negara, masih dengan Jokowi sebagai presidennya. Kita semua tertutupi oleh kejadian keji ini, karena sibuk dengan gerakan mahasiswa di DPR, di pusat ibukota Jakarta. Persoalan rusuh di Wamena bukanlah suasana perang, dimana Tentara dan Brimob melawan pasukan Benny Wenda, ketua Papua Merdeka. Bukan juga perang melawan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, perbuatan keji ini adalah pembantaian makhluk hidup yang tidak berdosa. Pembantain terhadap rakyat Indonesia di tanah airnya sendiri. Akar Persoalan Ketegangan di Papua selama ini membesar karena menyangkut keinginan rakyat Papua untuk merdeka. Paska insiden di Asrama Mahasiswa Papua, di Malang, dan Surabaya. Ketika itu mahasiswa Papua diejek secara rasis dengan sebutan monyet. Akibatnya, rakyat Papua bangkit dan bergerak di seluruh tanah mereka, dengan meneriakkan kata merdeka. Kebencian rakyat Papua selama ini sebenarnya bersumber dari kesenjangan sosial antara masyarakat pendatang dan masyarakat pribumi asli. Kekerasan HAM yang ditenggarai terus berlangsung dari aparatur Negara. Bersamaan waktunya, muncul kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua bahwa masuknya Papua ke dalam NKRI pada tahun 1969 melalui Papera (Penentuan pendapat rakyat) masih menysihkan sejumlah masalah. Kesenjangan sosial itu bersifat horizontal diantara masyarakat. Masalah HAM yang bersifat vertikal antara rakyat terhadap negara memunculkan kesadaran baru di akar rumput rakyat Papua. Kenyataan ini terkait dengan bangkitnya kesadaran regional masyarakat Melanesia di wilayah pasifik. Misalnya, Fiji, Vanuati dan Salomon Ketika masalah rasis ini mencuat bulan lalu di asrama mahasiwa Papua di Surabaya dan Malang, telah menjadi pemicu yang menggerakkan pembangkangan rakyat di Papua. Stabilitas kemanan dan politik di Papua mencapai titik terendah. Instabilitas Papua direspon Jokowi dengan mengundang beberapa tokoh-tokoh Papua ke Istana. Sayangnya, Gubernur Papua Lukas Enimbe dan beberapa elit Papua meradang terhadap pertemuan Jokowi dengan tokoh-tokoh Papua. Gubernur Lukas menyatakan orang-orang yang diundang Jokowi ke Istana tidak mempunyai kredibilitas mewakili persoalan Papua. Mereka hanya mewakili kepentingan pribadi dan kelompok mereke. Pendekatan Jokowi selain dialog yang tidak representatif, Jokowi juga mengirim Panglima TNI dan Kapolri ke Papua. Targetnya, Panglima TNI dan Kapolri dapat meredam gerakan-garakan perlawanan rakyat Papua, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Namun, belum sebulan dari kunjungan kedua pimpinan aparatur keamanan ini ke Papua, tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan terjadi di Wamena. Kerusuhan di Wamena yang berkarakter kebencian terhadap masyarakat pendatang ternyata tidak diantisipasi aparat keamanan. Kejadian kerusuhan di Wamena ini bisa dibilang aparat keamanan sebagai elemen terpenting negara gagal mengantisipasi kejadian ini. Dari kejadian ini, muncul pertanyaan kita, apakah masih ada perlindungan dari negara kepada warga negara? Bagaimana negara memberikan kepastian atas nasib orang-orang non Papua di tanah Papua? Gerakan Rakyat ke Rakyat Kematian balita berusia 4 tahun, dan anak kecil 8 tahun diantara orang-orang non Papua yang terbunuh, menunjukkan kebencian rakyat asli Papua terhadap pendatang sangat kental dan berdimensi luas. Kita pernah mengalami kondisi yang sama di masa lalu, ketika orang-orang Jawa diusir dari Aceh. Peristiwa ini terjadi ketika Gerakan Aceh Merdeka mulai bergolak di Aceh. Pembantaian dengan cara penuh kebencian terhadap pendatang Padang dan Bugis, menunjukkan bahwa bangsa Padang, Bugis dan non Papua lainnya, harus mempunyai orientasi baru dalam melindungi diri. Yakni tidak lagi bersandar hanya pada negara . Orang Padang, Bugis dan non Papua ini juga harus menulis surat ke PBB agar menghukum Benny Wenda, OPM dan juga pemerintahan Indonesia atas kegagalan melindungi orang-orang sipil tak berdosa. Hal ini untuk mencegah adanya gerakan yang berkatagori Genocide, alias pembasmian etnis. Kebencian rakyat asli Papua atas pernyataan rasis yang mereka terima dari segelintir orang di Malang dan Surabaya, tidak boleh serta merta mengantarkan mereka membenci orang-orang non Papua di sana. Sebab, orang-orang Indonesia yang pergi ke Papua bukanlah kelompok bersenjata maupun kelompok pembenci rakyat Papua. Mereka adalah orang-orang yang merasa bahwa mencari rejeki adalah usaha yang tidak mengenal batas wilayah. Catatan Akhir Kita sangat terpukul dengan pembantaian etnis non asli Papua, yang terjadi di Wamena. Jokowi tidak boleh mentolerir pembantaian ini. Masalah vertikal dapat didekati dengan berbagai dialog, namun pembantaian etnis haruslah dilakukan dengan kekuatan negara, "at all force dan at all cost." Langkah inilah yang harus segera dilakukan negara. Disamping itu, gerakan antar rakyat Papua dan Non Papua untuk mengeliminir kebencian harus juga dilakukan secara langsung. Inisiatif rakyat ke rakyat langsung antar etnis tanpa menunggu negara hadir. Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang Merauke Institute
Papua Yang Terluka Dalam Nestapa
Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement. Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Jika kita berbicara mengenai Papua, kita selalu asosiasikan dengan kekerasan, kebodohan, ketelanjangan, kemiskinan. Seakan-akan Papua identik dengan dunia kelam, dan penuh masalah. Papua juga mengandung sekelumit masalah yang mengancam integritas nasional. Saban hari media massa nasional, sukar sekali memuat berita-berita mengenai keberhasilan, kesuksesan, dan harapan kehidupan masa depan masyarakat Papua. Sebuah harapan dan keinginan yang mampu membawa mereka ke dalam tatanan kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang sejahtera, aman dan tenteram. Apakah pandangan kita terhadap Papua dengan konotasi yang minus ,dan negativ adalah ungkapan atas realitas masyarakat Papua saat ini? Maka pertanyaan, siapakah yang harus paling bertanggungjawab atas keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan tersebut? Ada kecendrungan upaya integrasi yang dibangun dengan sikap represi militer para pejuang trikora ternyata sebatas integrasi Sumber Daya Alam (The Natural Resources Integrated). Sementara manusianya diabaikan merana di atas kelimpahan kekayaannya sendiri. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan keinginan Soekarno, yang ingin memerdekakan manusia Papua agar mereka menjadi tuan di atas tanah mereka sendiri. Pemikiran di atas inilah yang mendorong saya untuk menyampaikan bagaimana kita memandang persoalan Papua secara komprehensip. Mesikipun kita telah memberikan Otonomi Khusus Papua. Namun tragedi demi tragedi kian menambah duka lara, jeritan-rintian, ratapan, kesedian, dan akibat penculikan dan pemunuhan oleh klik-klik misterius. Pasukan berlaras lalu-lalang saban hari, dari petang dan pagi. Adalah sia-sia meskipun upaya simpatik melalui Otonomi Khusus yang diberikan bertepatan dengan Hari Natal bukanlah sebagai sebuah “Kado Natal” yang merupakan ritualitas tertinggi agama. Sesungguhnya Papua Barat sebuah negeri yang terluka dalam nestapa akhibat penetrasi kapitalisme yang diikuti oleh penetrasi Kekuasaan Negara (Hegemini Militer dan Sipil). Apabila pemerintah mau menyelesaikan persoalan Papua secara mendalam dan menyeluruh, maka berhentikan semua sistem pendudukan melalui berbagai cara, termasuk pemekaran. Persoalan di Papua akan lebih baik bila menyelesaikan dua persoalan mendasar yakni. Pertama, peninjauan kembali terhadap realitas sejarah disertai berbagai persoalan HAM, termasuk “rasisme” yang merupakan bagian dari penyelesaian politik. Kedua, penyelesaian disparitas regional, terutama kapasitas sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Trauma Yang Masih Berbekas Konflik politik di Papua ini tidak begitu saja jatuh dari langit. Ada akar historisnya, dan akar historis tersebut tidak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Karena itu persoalan Papua pun bermula dari sejarah kolonialisme. Yakni ketika hadirnya kolonialis Belanda dan imperialis Indonesia (dianggap). Integrasi politik atas wilayah Papua hingga kini masih belum mantap. Kenyataan ini disebabkan klaim Indonesia dan Belanda terhadap Papua. Klaim tersebut, baik melalui jalur diplomasi maupun juga konfrontasi. Dipenuhi dengan sikap kooporatif antar penguasa ketika itu. Sikap yang dilahirkan hanya demi membendung kepentingan dan pengaruh ideologi komunisme internasional. Kebetulan ideologi komonis yang tidak simpatik di lubuk hati orang Papua. Proses integrasi politik tidak pernah melibatkan rakyat Papua. Dari setiap perundingan, rakyat Papua hanya bertindak sebagai objek. Bukan sebagai subjek dalam pengambilan keputusan. Lebih ironis lagi adalah pelanggaran terhadap hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa (GA Resolution No. 1541 (XV)) tahun 1960. Dimana pada waktu yang bersamaan, di Papua Barat telah menyatakan deklarasi kemerdekaan dan sosialisasi simbol-simbol kebangsaan. Disamping itu, konsensus politik 1969 yang disebut Pepera dilaksanakan di bawah tekanan Indonesia. Pelaksanaan Pepera dengan sistem demokrasi yang dianut berdasarkan Pancasila, yakni Musyawarah Mufakat. Sistem ini tentu saja berbeda dengan standar internasional yang menganut one man one vote sesuai New York Agreement. Alasan Indonesia bahwa penyelenggaraan musyawarah mufakat adalah karena kondisi sosial, ekonomi, geografis dan peradabaan hidup yang masih primitive. Anggapan ini merupakan pengingkaran terhadap Resolusi Majelis Umum PBB 14 Desember 1960 (GA Resolution No. 1514 (XV) yang menegaskan bahwa penjajahan dengan segala bentuk manifestasinya harus diakhiri. Dengan demikian, alasan belum adanya kesiapan dari kondisi politik, ekonomi atau sosial bukanlah alasan ditundanya kemerdekaan bagi sebuah bangsa. Ekspresi kekecewaan atas pelaksanaan Pepera yang menggunakan sistem Muasyawarah Mufakat itu adalah munculnya ancaman serius dari kelompok yang bernama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejak itu pemerintah Jakarta mulai memantapkan labilitas integrasi politik dengan menempatkan orang Papua di dalam kubangan hegemoni negara. Karena itulah sepanjang berintegrsi dengan Indonesia, rakyat berontak melalui berbagai aksi kerusuhan. Berbagai pengrusakan, pembunuhan, penyanderaan, yang semuanya ditujukan kepada objek yang sasarannya adalah kepada masyarakat pendatang (orang luar Papua). Pendatang dianggap merupakan bagian integral dari kesatuan komunitas politik bangsa Indonesia. Pembunuhan terhadap orang sawo matang, sebagaimana terjadi hari-hari ini di Wamena dan beberapa wilayah di Papua adalah ekspresi perlawanan terhadap Jakarta. Kenyataan ini merupakan uangkapan rasa kekecewaan serta kebencian dari trauma historisme dan sejarah. Trauma penderitaan bangsa Papua (the history of sadness) terhadap pemerintah negara-kebangsan Indonesia. Oleh karena itu, saya menawarkan agar diberikanlah opsi kepada rakyat Papua Barat untuk membuktikan sejauh mana keinginan nurani mereka. Merupakan suatu upaya menegakkan demokrasi yang tentu saja akan mendapat simpati dunia. Kita lihat Kanada, yang selalu memberi opsi kepada negara bagian Quebec yang berbahasa La Francophonie, keturunan Ferancis. Namun selalu saja gagal, dan akhirnya tidak mendapat simpati dunia. Disparitas Ekonomi dan Sosial Tidak dapat disangkal bahwa rakyat Papua kaya akan sumber daya alam. Namun sesungguhnya mereka adalah yang termiskin di abad ini. Kita mulai menentukan tolak ukur kemiskinannya dengan kain kebaya (busana Jawa kampong). Namun orang Papua sedang berada dalam ketelanjangan koteka (busana Papua Gunung) dan keterisolasian (The stone age period society in 21t century). Kondisi masyarakat jaman batu, di abad ke dua puluh satu dulu. Kalau kita tinjau kembali kebijakan pembangunan di Papua sejak awal integrasi, maka ternyata jauh dari paradigma pembangunan yang sebenarnya. Karena misi pembangunan yang sarat dengan nuansa politis. Hal ini terlihat pada kebijakan pemerintah Jakarta yang memfokuskan perhatian pada pembangunan sosial dan ekonomi yang dilaksanakan secara politis. Sejak tahun 1963-1969 di masa transisi, ada nuansa pembangunan. Misaslnya, pendirian sekolah-sekolah, dari Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi (Universitas Cendrawasih). Pembangunan sarana dan prasarana infrastuktur, pengembangan sumber daya manusia dengan menempatkan elit-elit terdidik Papua di pos-pos pemerintahan. Namun seluruh kebijakan sosial ekonomi dikendalikan oleh militer dengan adagium binomialnya, yakni Keamanan dan Pembangunan. Militer menjadi panglima dalam seluruh pengambilan keputusan akhir. Pembangunan dengan program task forces dan bantuan dana Fundwi serta ADB. Sayangnya, dana-dana tersebut dialokasikan ke dana pertahanan dan keamanan. Dampaknya adalah dana untuk pembangunan sosial dan ekonomi sesungguhnya diabaikan. Karena itu tidak mengherankan sampai bila pada saat ini rakyat Papua berada dibawah garis kemiskinan. Implikasinya adalah pemerintah mengabaikan pembangunan sosial ekonomi. Pertimbangannya, orang Papua tetap berada pada kondisi stagnan agar dikemudian hari terjadi perubahan jumlah populasi. Misalnya, tingkat harapan hidup diperpendek. Selian itu, tinggkat pertumbuhan diperlambat. Angka juga kematian bertambah. Epidemi penyakit merajalela, menuju uniformitas etnik, kultural, kesenian, ermasuk juga sistem sosial budayanya. Maka adagiun unitarianisme unity in diversity menjadi legenda dan imajinasi di abad ke 20 yang berlalu. Namun hal ini bisa diatasi dengan pelaksanaan kebijakan secara serius dan sungguh-sungguh. Perlu Good Will dan Political Will Akankah Indonesia tetap berkibar? Atau akankah Papua Barat tetap bertahan? Ini adalah sederatan pertanyaan yang sangat signifikan dengan dinamika politik bangsa ini. Ancaman serius sudah mulai berdatangan dari wilayah-wilayah yang memiliki trauma historisme di masa lampau. Kondisi yang serius ini disertai dengan ketertinggalan di bidang sosial ekonominya. Adakah niat baik dikandung anda untuk mengoreksi kesalahan masa lampau? Juga menentukan kebijakan yang tepat, cepat dan menentukan untuk mengobati duka lara, tangisan, ratapan, rintihan dan harapan mereka? Siapa yang pernah membayangkan bahwa Uni Sovyet, negeri adikuasa sebagai pengendali persenjataan nuklir pengembangan strategis, nuclear deterrent yang disebut MAD (Mutual Assured Destruction): dengan "trisulanya" (TRIAD), yang memiliki rudal balistik luncur darat antar benua. Mempunyai kapal-kapal selam berudal nuklir (polaris), dan armada pemboman strategis, disertai persenjataan terlengkap lainnya, bisa saja bubar seperti sekarang ini. Saya berfikir ada dua kemungkinan bagi Indonesia di masa datang. Pertama, Indonesia menjadi sebuah negara demokratis yang disertai labilitas integrasi politiknya tinggi. Kedua, menjadi ukiran sejarah abad mendatang. Sriwijaya adalah kerajaan nusantara pertama runtuh. Kemudian muncul kerajaan Majapahit sebagai kerajaan nusantara kedua juga runtuh. Pada pertengan abad ke 20, muncul sebuah negara yang memiliki wilayah kartografis. Juga menyerupai kedua kerajaan di atasnya, yakni Indonesia Raya. Maka, baik Sriwijaya, Majapahit dan Indonesia Raya menjadi sebuah legenda dan romantisme sejarah anak cucu manusia Nusantara. Penulis adalah Aktivis Kemanusiaan dan Pembela Orang Lemah
Selamat Jalan “Pahlawan Gerakan Mahasiswa Millenial” Randi dan Yusuf
Semestinya kematian Randi dan Yusuf menjadi peringatan dini, dan bahan evaluasi tentang buruknya menghelola pemerintah mengelola demokrasi dan perbedaan pendapat. Buruknya kekuasaan yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat dengan pendekatan represif hanya akan membuat gelombang perlawanan kekuatan masyarakat sipil yang makin bertambah lebih besar. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Senjata itu akhirnya memakan korban. Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari tewas. Rendi meninggal karena tertembus timah panas. Polisi telah merenggut nyawanya Randi. Sontak sore itu wajah gerakan mahasiswa Indonesia berduka. Selang beberapa jam kemudian, M. Yusuf Kardawi, seorang mahasiswa di kampus yang sama mengalami nasib serupa. Yusuf tewas akibat besetan benda tajam yang dilecutkan kepada dirinya. Ketika itu Yusuf ikut melakukan aksi demonstrasi tolak rancangan KUHP dan revisi undang-undang KPK di Kendari, kemarin sore (26/9/2019). Kedua mahasiswa itu gugur sebagai martir. Peristiwa 26 September 2019 boleh jadi merupakan tonggak yang mempercepat akumulasi resistensi mahasiswa terhadap kekuasaan Jokowi. Segera selepas DPR mensahkan revisi undang-undang KPK, dan mengandekan pembahasan rancangan KUHP dalam Paripurna pekan kemarin itu. Rezim Jokowi telah menggilas kelompok yang dianggap menolak kemauan penguasa. Utamanya para mahasiswa. Perlakukan aparat keamanan yang tidak manusiawi terhadap mahasiswa membuat mereka bergemuruh. Mahasiswa menolak kehadiran aparat yang bertindak represif terhadap demonstrasi mereka. Tidak cuma itu. Bersama kelompok masyarakat lain terutama pelajar STM, mahasiswa sebetulnya gerah melihat kelakuan Jokowi yang mulai otoriter dan represif. Tidak seperti biasanya, dengan wajah yang murah senyum dan ramah. Jokowi kini mulai memainkan kartu kekerasan dalam menindak kelompok yang berbeda haluan dengan pemerintah. Pada penghujung periode pertama kekuasaannya, Jokowi yang boleh dibilang masih balitatersebut, pelan-pelan mulai menampakkan wajah tak ramah kepada yang berlawanan. Melalui operasi-operasi intelejen, penguasa memberangus oposisi, dan gencar melakukan politik belah bambu. Sedianya gerakan mahasiswa 2019 yang diproklamirkan di tengah hiruk-pikuk aksi serentak di 17 kota 25 September 2019. Gerakan ini muncul selepas mereka tidur panjang. Semula hanya dimaksudkan sebagai moral force tanpa sedikitpun menyentuh kekuasaan Presiden. Mereka hanya hendak mengawal para wakil rakyat agar tak gegabah dalam mensahkan undang-undang yang akibatnya punya konsekuensi serius di masa depan pemberantasan korupsi. Dua rancangan undang-undang itu dinilai banyak mengekang kebebasan wilayah privat. Sebaliknya, meringankan hukuman penjara bagi para koruptor maling uang rakyat. Selain itu, membuka celah intervensi negara terhadap wilayah kehidupanpribadi. Semua rencana aturang tersebut dinilai akan membreidel kehidupan mereka kelak. Mereka sadar bahwa 10 -20 tahun ke depan, mereka akan tampil sebagai penerus kepemimpinan. Mereka tak ingin masa depannya dibajak. Kesadaran inilah yang kemudian memunculkan gerakan “Gejayan Memanggil” dan berikutnya diikuti oleh aksi-aksi besar di 17 kota seantero Republik ini. Gerakan yang tak hanya dikuti oleh civitas akademika. Aksi mahasiswa juga mendapat restu dari orang tua mereka. Tidak salah bila seorang aktivis senior panutan sempat berujar, “telah lahir gerakan mahasiswa milenial 2019”. Aksi demonstrasi 25 September 2019 yang merupakan puncak protes, sekaligus kebangkitan mahasiswa mileneal itu faktanya berakhir tragis. Beberapa kota ketika aksi demonstrasi berlangsung damai, aparat keamanan melakukan provokasi dan tindakan represif terhadap mereka. Walaupun demikian, tidak ada perlawanan berarti dari para mahasiswa. Tindakan represif itu rupanya terus dilanjutkan dalam penanganan aksi-aksi demonstrasi pada hari-hari berikutnya. Puncaknya adalah Randi dan M. Yusuf Kardawi menjadi kado pahit bagi gerakan mahasiswa milenial. Mereka berdua gugur akibat perlakuan kasar dan represif aparat keamanan yang semestinya menjaga aksi-aksi mereka dengan penuh kesabaran dan penghormatan terhadap HAM. Atas nama stabilitas, tindakan represif boleh dilakukan. Tujuannya untuk menopang kekuasaan Jokowi dalam hari-hari lima tahun ke depan. Kekuasaan yang semula dinilai berwajah santun ternyata menyimpan bara kekereasan yang brutal dan bringas. Tindakan represif yang brutal dan bringas pemerintah Jokowi tidak hanya dalam menghadapi aksi-aksi mahasiswa kemarin saja. Beberapa kasus dalam suasana Pemilu, tindakan represif yang brutal dan bringas juga dilakukan. Sebut saja, peristiwa rusuh 21-22 Mei 2019 di depan Bawaslu. Ratusan warga sipil hilang dan puluhan diantaranya meninggal diterjang timah panas. Tentu kita tak berharap tindakan represif yang brutal dan bringaas itu langgeng digunakan dalam aksi-aksi mahasiswa ke depan. Randi dan M. Yusuf Kardawi adalah martir pertama bagi gerakan milenial. Kematiannya akan menjadi inspirasi perlawanan baru. Bahkan mungkin bisa menjadi rusuh politik pertama dalam sejarah pergerakan mahasiswa milenial pada era Jokowi. Semestinya kematian Randi dan Yusuf menjadi peringatan dini dan bahan evaluasi tentang buruknya pemerintah mengelola demokrasi dan perbedaan pendapat. Buruknya kekuasaan yang menutup telinga dari suara publik. Saluran politik yang disumbat dengan pendekatan represif hanya akan membuat gelombang perlawanan kekuatan masyarakat sipil yang makin bertambah lebih besar. Kapanpun perlawanan itu akan meletup dalam bentuk lain. Bisa berupa amuk, rusuh, dan amarah publik yang tak terduga sebelumnya. Intrik politik dari lingkar dalam kekuasaan yang tak mampu terselesaikan secara terbuka juga menjadi salah satu pemicu. Intrik ini akan melahirkan aksi main tikam belakang, yang sejatinya menjadi penyebab semua persoalan hari ini. Karena itu, reformasi politik 1998 adalah berkah yang tak boleh kita ingkari. Korupsi adalah komitmen bersama segenap bangsa yang mesti dilawan dengan tegas dan ketat. Sengkarut ekonomi dan politik tak dengan sendirinya pupus, kendati pemberantasan korupsi diketatkan. Dengan menggunakan pilihan politik demokrasi, sebuah persoalan bangsa bisa diatasi. Diselesaikan melalui mekanisme terbuka, adil dan penghormatan terhadap HAM. Pada panggung demokrasi itu, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai penyeimbang dan alat koreksi. Kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat juga mendapat termpat yang mulia di panggung demokrasi. Oleh sebab itu, siapapun yang berkuasa hari ini jangan pernah bermimpi mengembalikan Indonesia ke masa lalu. Jangan pernah membunuh demokrasi dengan timah panas sebagai alat represif. Budayakan bangsa ini menyelesaikan setiap perbedaan pendapat dengan dialog. Bangsa ini butuh tokoh-tokoh muda kritis berintegritas untuk menyampaikan pesan kebangsaan. Untuk menuntaskan pekerjaan rumah reformasi yang belum tersentuh dan terselesaikan. Selamat jalan wahai “Pahlawan Gerakan Mahasiswa Millenial” Randi dan M. Yusuf Kardawi. Semoga adinda berdua khusnul khotimah di sisi Allah SWT, amin amin amin. Penulias adalah Praktisi Hukum dan Mantan Aktivis ‘98
Aturan Yahudi Menghancukan Rumah Tangga Indonesia
By Mohammad Naufal Dunggio Jakarta, FNN - Betapa bernafsunya para penghancur NKRI. Dengan segala cara mereka berupaya mau menghancurkan bangsa Indonesia. Bukan hanya dari sisi penegakkan hukum terhadap para koruptor, tetapi juga pada aturan berumah tangga. Mereka berusaha mengcopy dan menciplak semua aturan-aturan Yahudi. Dan dengan atas nama Hak Asasi Manusia (HAM), mereka bawa aturan-aturan Yahudi ke Indonesia untuk menjadi undang-undang Sekitar 21 tahun lalu, tepatnya di tahun 1998, sewaktu masih sekolah di Amerika, atas saran dan usaha teman warga Indonesia, ada keinginan penulis untuk membawa keluarga tinggal di Amrika. Tetapi rencana tersebut urung dilaksanakan. Karena ada urusan perundang-undang di Amerika yang menyatakan istri bisa penjarakan suami kalau memaksa istri melakukan hubungan suami istri. Nah bisa bahaya saya. Namun itulah orisinil aturan Yahudi yang dipraktekan di Amerika. Sehingga keharmonisan dan kesakralan rumah tangga sangat jarang ditemukan di Amerika. Sebab dengan aturan itu, banyak wanita atau para isteri di Amerika menjadi durhaka sama suaminya. Dan akibatnya, angka kumpul kebo jangan tanya lagi. Namun demikian, ada satu fenomena menarik yang terjadi disana. Yaitu para pria Amerika, umunya Afro Amrika senang menikah dengan wanita Indonesia yang eks Tenaga Kerja Wanita (TKW). Yang lebih menakjubkan lagi adalah para pria Amerika itu mengikuti agama istrinya, yakni dengan masuk Islam. Mereka kalau bikin acara untuk kumpul-kumpul untuk silaturahmi, selalu di hotel bintang lima. Penulis pernah bertanya kepada salah satu staf KBRI di Washinton, “kenapa para wanita kita bisa seperti itu”? Mereka sangat dimuliakan oleh suaminya orang Aemrika tersebut? Staf KBRI itu menjawab bahwa “para wanita kita itu pintar dalam melayani suami, seperti dalam aturan Islam”. Bukan seperti wanita sini yang pakai aturan Yahudi. Wajar saja kalau suami mereka begitu sangat memuliakan istrinya yang asli Indonesia. Kebetulan penulispun menyaksikan sendiri suasana tersebut secara langsung. Karena mereka suka panggil penulis untuk mengisi acara-acara pengajian di peguyuban mereka. Anehnya, di Amerika sendiri masyarakatnya sudah merasa bosan dan jenuh dengan aturan Yahudi ini. Kita malah sok-sokan mau menerapkan aturan sampah ini di Indonesia. Alasan yang digunakan adalah mereka berlindung dibalik isu hak asasi manusia. Yang lebih menyedihkan lagi, para wanita berjilbab tampil di depan sebagai agen utama penerapan aturan iblis ini, bangga mengaku-ngaku diri Islam. Inilah salah satu cara ingin menghancurkan rumah tangga rakyat Indonesia. Terutama rumah tangga kaum muslimin. Aturan-aturan Yahudi mereka bawa ke negeri ini dan dipaksakan jadi undang-undang melalui anggota DPR yang rakus dengan duit, karena sudah mau habis masa jabatannya. Undang-undang ini sama berbahaya dengan kebodohan merevisi undang-undang tentang KPK. Dua-duanya ingin menghancurkan peradaban yang beradap di negeri ini. Untuk itu, kita bangsa Indonesia harus melawan dengan segala cara untuk menggagalkan penerapan kedua undang-undang tersebut. Perlawanan juga wajibn dilakukan juga terhadapa rancangan undang-undang lain yang merugikan rakyat Indonesia. Tidak terkecuali terhadap rancangan undang-undang yang mengatur denda Rp 10 juta bila binatang peliharaan berkeliaran bebas di luar rumah. Sehingga mulai sekarang merka yang pelihara ayam pun harus hati-hati, karena bisa kena denda Rp 10 juta. Denda terhadap ayam yang berkeliaran Rp 10 juta. Sedangkan perbuatan memaksa istri berhubungan badan (perkosa istri) juga bisa dipenjara selama 12 tahun. Jadi, ayam berkeliaran dan perkosa bini hukumannya begitu berat. Sungguh undang-undang yang bernuansa primitive, karena merendahkan derajat manusia yang sudah dimuliakan oleh Sang Maha Memuliakan manusia, Allah SWT. Persoalan demi persoalan menyesakan kini menguras akal sehat rakyat Indonesia di rezim ini. Persoalan seakan tak henti-hentinya datang silih berganti. Kalau sudah begini, ini rezim harus dihentikan kalau Indonesia mau maju. Kalau Indonesia mau meminimalisir masalah. Namun bila yang mau tetap bertahan dengan kondisi ini, maka biarkan saja rezim ini berlanjut dua priode. Tunggu kehancuran bangsa ini. Semoga tidak terjadi dan berakhir sampai disini. Hanya kepada Allah jualah kita berserah diri. Wallahu A'lam bissawab ... Penulis adalah Ustadz Kampong
Amukan Mahasiswa
Mahasiswa membaca, meta-yuris terhadap produk hukum itu "kering dari nalar keberpihakan kepada rakyat". Nalar kekuasaan yang lebih mendominasi. Bukan nalar keadilan social demi rakyat. Karena itu "kecurigaan" mahasiswa menjadi sangat wajar dan perlu. Sebab kekuasaan tidak memberikan penjelasan yang terbuka pada mahasiswa dan masyarakat luas. Oleh Dr. Ahmad Yani SH MH.. Jakarta, FNN - Sudah Dua hari ini amarah mahasiswa terus menggeliat. Interupsi yang sangat keras, bergerak dari berbagai arah. Menghiasi seluruh ruang ruang dan media. Publik tersentak melihat itu, riuh tepuk tangan menyambut. Amarah terjadi di berbagai daerah, dari semua kampus. Sebuah gelombang kemarahan besar yang menggetarkan singgasana kekuasaan. Wajah kekuasaan kelihatannya lesu, memandang protes sosial yang begitu membludak, tak disangka awet dan semakin menggelinding seperti bola salju. Ini amarah yang "liar". Tidak didominasi oleh remote kontrol "makelar" atau oligarki politik. Gerakan yang lahir dari perasaan yang tercabik-cabik oleh ketidakadilan dan tirani regulasi kekuasaan. Saya memantau "kerumunan" amarah itu. Melihat wajah pemuda yang bersemangat dengan keringat di bawah asap gas air mata dan tembakan water canon yang keras. Mereka tidak mundur dan putus asa. Justru semakin kuat dan membludak. Solidaritas bahkan meningkat. Mahasiswa di berbagai daerah seakan-akan menerima transfer emosi itu. Kemudian sepanjang hari amarah itu menghasilkan letupan-letupan besar. Potret ini menggambarkan mekarnya idealisme dalam diri mahasiswa. Idealisme yang lahir dari kegelisahan yang terakumulasi, karena negara sedang dalam keadaan tidak baik. Panggilan sejarah telah tiba, siklus 20 tahunan semakin menguat. Dulu ada sejarah dari para legenda pergerakan, seperti angkatan 66, 74 dengan tokoh sentralnya Hariman Siregar. Angkatan 78 munculnya Rizal Ramli dan kawan kawan. Angkatan 80 Syahganda Nainggolan, Eggie, Fery Julianto, Jumhur Hidayat, dan kawan-kawan. Angkatan 98, ada Fahri Hamzah, Anies Baswedan, Ubaidilla Badrun, Masinton Pasaribu, Adrianto, Pius, Fadli Zon, Andi Rahmat, Rama Pratama dan kawan-kawan, yang melihat dengan tajam kejahatan kekuasaan otoriter Orde Baru. Mereka lalu berteriak memecahkan ufuk untuk melaporkan ketidakadilan itu pada Tuhan. Tuhan mendengar dan meluluhlantakkan kezaliman itu. Arogansi kekuasaan tampil dengan wajah anti kritik dan anti dialog yang selalu dipersepsikan oleh kalangan mahasiswa untuk dilawan dan ditumbangkan. Rakyat menjerit kekuasaan melanggeng. Keadilan menjadi "yatim piatu". Kebenaran hanya menjadi milik segelintir orang yang sedang berkuasa. Kesejahteraan kemanakah engkau pergi meninggalkan para mustadafin, yang merana karena penindasan? Kekuasaan buta terhadap kemeralatan, tuli terhadap rintihan rakyat. Inilah yang memompa emosi mahasiswa. Mereka gelisah melihat kondisi politik dan kebangsaan yang semakin jauh dari janji janji kemerdekaan. Sejarah kini mengulang sebuah peristiwa, sebuah peristiwa yang pernah dialami oleh kita di masa lalu. Sejarah tentang perlawanan kaum intelektual terhadap kekuasaan yang dzolim. Panggilan sejarah yang memekakkan telinga, dan menggetarkan nurani. Menyeru kita dalam satu nafas perubahan yaitu menuju Indonesia yang maju, tanpa monopoli kebenaran di tangan penguasa. Mahasiswa dipanggil lagi untuk menunaikan tugasnya, tugas untuk mengibarkan bendera idealisme yang selama ini terhenti pasca refirmasi 20 tahun lalu. Kenapa Mahasiswa Begitu Marah? Revisi beberapa undang undang seperti UU KPK, KUHP, Pemasyarakatan, Pertanahan, Ketanagaan kerja, dan Pembentukan UU PKS, dianggap sebagai pemicu utamanya. Politik hukum dalam pembentukan UU oleh DPR dan Presiden menurut mahasiswa tidak berpihak pada “kepentingan rakyat”. Tetapi saya membaca sebuah gejala yang lebih besar terkait gerakan mahasiswa. Masalah Politik hukum dalam pembentukan UU yang diduga ada “penyelundupan kepentingan tertentu “ yang jauh dari semangat demokrasi pancasila. Hanya kepentingan oligarki pemilik modal dan kekuasaan semata. Spirit Pancasila adalah merupakan meta-yuris bagi politik hukun dalam pembentukan UU tidak dijadikan landasan. DPR dan Pemerintah menjauh dari spirit Pancasila dalam mengeluarkan produk hukum. Seharusnya setiap produk hukum, harus mencerminkan meta-yuris itu. Bahwa setiap peraturan perundang-undangan, wajib mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan berkeadilan. Mahasiswa membaca, meta-yuris terhadap produk hukum itu "kering dari nalar keberpihakan kepada rakyat". Nalar kekuasaan yang lebih mendominasi. Bukan nalar keadilan social demi rakyat. Karena itu "kecurigaan" mahasiswa menjadi sangat wajar dan perlu. Sebab kekuasaan tidak memberikan penjelasan yang terbuka pada mahasiswa dan masyarakat luas. Bukan hanya regulasi yang tidak memberikan kepastian dan keadilan. Masalah lain yaitu, tersumbatnya aspirasi. Terputusnya komunikasi antara elit penguasa dan rakyat, serta tirani regulasi. Intinya bukan hanya masalah UU KPK dan RUU KUHP, tetapi masalah bangsa yang secara keseluruhan. Sebuah ilustrasi yang menarik untuk memahami gejala gerakan mahasiswa saat ini. Ilustrasi itu dapat kita baca dalam karya yang ditulis George Orwell. Hidup dalam ketimpangan, penindasan dan, keinginan untuk bebas dan berdiri di atas kaki sendiri mendorong makhluk dalam "kandang" suntuk bergerak menantang kekuasaan tuan mereka. Sekelompok binatang yang digambarkan dalam Animal Farm, mampu "mengguncang singgasana" tuan mereka dan mengusirnya dari tempat tinggalnya karena persoalan ketimpangan, ketidakadilan dan ancaman tirani sang tuan. Hasrat untuk hidup bebas dari segala penindasan, kemauan untuk merubah keadaan yang sudah mulai tidak bersahabat dengan nurani keadilan, mendorong gerakan perubahan yang sangat kuat, bahkan mempersingkat sirkulasi kekuasaan. Pada saat yang sama kondisi ekonomi, kemerosotan, dan perilaku penguasa dan elite politik yang menimbulkan distrust dan memperkecil legitimasi, sehingga mempermudah terjadinya gejala pembangkangan itu. Masalah-masalah inilah yang membuat gerakan mahasiswa itu semakin menguat, bahkan membentuk satu kekuatan moral yang kuat bagi mahasiswa untuk memperhebat tekanan kepada kekuasaan. Kemana Arah Gerakan Mahasiswa? Banyak analisa yang bertebaran bahwa gerakan mahasiswa akan berhenti pada persoalan rencana revisi beberapa UU dan Pembentukan UU baru, Ujung dari gerakan ini seperti biasanya akan berhenti dan tenggelam dengan munculnya isu baru. Tetapi menurut saya, pergerakan ini akan bertahan sampai menemukan titik klimaksnya. Yaitu terpecahnya masalah ekonomi , keadilan dan sosial dalam masyarakat. Gerakan ini menurut saya tidak berakhir hanya karena tuntutan sebatas dengan Revisi dan pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sedang diperbincangkan, tetapi lebih jauh, yaitu untuk mengakhiri ketimpangan sosial, ekonomi dan ketidak adilan yang dialami dan dirasakan oleh rakyat. Gerakan Mahasiswa sudah berjalan, diberbagai daerah tuntutannya yang awal berbeda seperti persoalan pertanahan, defisit BPJS dan kenaikan Biaya BPJS, Ekonomi yang sedang tekor, kenaikan BBM, Tarif Dasar Listrik (TDL), tenaga kerja asing (cina), kebakaran hutan yang meluas terjadi di mana-mana dan penegakkan hukum yang timpang. Kemarahan mahasiswa yang pada awal dipicu oleh hal yang sektoral, kini berubah menjadi besar. "Menggonggong" kekuasaan yang tidak mampu memberikan solusi bagi banyaknya persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang terjadi. Dengan demikian, jelas gerakan mahasiswa ini merupakan moral of force ditengah runtuhnya moralitas elit. Gerakan Mahasiswa ada sosial of control ditengah masyarakat yang sudah mulai kehilangan daya kontrolnya akibat kekuasaan yang tidak memihak kepentingan rakyat. Gerakan Mahasiswa adalah agen of change ditengah kondisi bangsa yang sudah tidak punya arah lagi. Oleh sebab itu gerakan mahasiswa hari ini merupakan jawaban atas akumulasi persoalan bangsa yang dinilai tidak mampu lagi diselesaikan oleh kekuasaan dan elite politik. Bahkan kalau kekuasan terus merawat kegelisahan mahasiswa ini, tidak menutup kemungkin kekuasaan lepas dari singgasanannya. Seperti Bola Salju Pada saat gerakan semakin kuat, singasana kekuasaan merasa gerah, maka muncullah narasi ditunggangi. Narasi ditunggangi ini saya menyebutnya sebagi "tirani narasi". Dimana setiap Gerakan mahasiswa selalu dituduh didalangi oleh pihak tertentu, tanpa alasan dan data yang jelas. Itu bagian dari tirani narasi. Tirani narasi bertujuan untuk membungkam dan meredam gerakan mahasiswa. Kekuasaan sengaja menciptakan narasi ditunggangi untuk membuat apatis para mahasiswa yang berujung pada saling curiga. Namun yang terjadi sebaliknya, gerakan mahasiswa tidak redam, malah justru menggelinding semakin besar. Dalam tirani narasi itu, muncul gerakan yang mencengangkan. Sekelompok siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) bergerak secara massif dan sangat berani. Gelombang gerakan Siswa ini bangkit kembali setelah puluhan tahun tengelam, yaitu gerakan KAPI yang ikut menumbangkan kekuasaan orde lama. Gerakan yang begitu lincah dan berani, serta “ Garang” dari siswa STM menimbulkan tanda tanya. Bahkan keberanian mereka justru mengalahkan keberanian seniornya yang sudah menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Disaat narasi yang memojokkan gerakan mahasiswa, justru gerakan semakin menguat. Simpati masyarakat begitu kuat, dan dengan simpati pula siswa STM bergerak. Ini solidaritas yang sulit dibaca dengan analisa biasa, sebab solidaritas ini justru datang dari kelompok siswa yang dianggap masih labil. Bagi Saya ini sebuah gejala yang harus diperhatikan dan butuh wawasan dan pikiran yang jernih untuk memahami gerakan yang muncul ini. Gejolak yang terjadi akan menjadi amukan yang keras kalau tidak muncul kesadaran negarawan dari para elit yang berkuasa. Sebab munculnya tuduhan terhadap gerakan mahasiswa tidak menyulutkan "kemarahan" dan kegelisahan publik. Sekarang yang bergerak bukan hanya mahasiswa, simpati datang dari berbagai lapisan masyarakat. Arahnya akan menuju pada "amukan massa" yang kuat dan tentu akan menggoncang singgasana kekuasaan. Wallahualam bis shawab Penulis adalah Dosen Fak. Hukum, Fak. Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Vice Presiden KAI
Siapa Berani Menunggangi Anak-anak STM?
Anak-anak STM yang selama ini dipandang sebelah mata, tukang tawur, biang rusuh, tetiba menjadi pahlawan. Level “kepahlawanan” mereka tak kalah dibandingkan para kakaknya, mahasiswa. Oleh Hersubeno Arief Indonesia tiba-tiba punya super hero baru. Mereka adalah pelajar STM. Foto, video dan aksi mereka di sekitar Gedung DPR menguasai pemberitaan media. Di media sosial lebih heboh lagi. Ada yang membuat meme dan menyebut mereka sebagai the real Avengers, merujuk fim super hero Amerika. Tagar #STMMelawan menjadi trending topic dan menguasai dunia maya. Nama STM tampaknya sengaja tetap disandang — bukan SMK (Esemka) — karena terkesan lebih garang dan legend. Apalagi nama Esemka sudah poluted. Tercemar karena digunakan secara over, sebagai pencitraan oleh Presiden Jokowi. Munculnya ribuan pelajar pada aksi Rabu (24/9) menjadi kejutan terbesar kedua, yang mengguncang jagad politik Indonesia. Sebelumnya, gerakan mahasiswa yang lama mati suri, tiba-tiba muncul seperti air bah. Banyak yang kesulitan mendefinisikan, apalagi menjelaskan fenomena munculnya aksi mahasiswa di seluruh Indonesia ini. Dipastikan kita akan lebih kesulitan lagi untuk menjelaskan fenomena #STMMelawan. Yang sudah pasti, dua aksi ini akan menjadi catatan paling menarik dalam sejarah kontemporer politik Indonesia. Pelajar STM yang selama ini identik tukang tawuran, tiba-tiba menjadi hero yang dielu-elukan di medsos. Aksi-aksi mereka menyita hampir semua ruang percakapan medsos. Mulai dari aksi heroik mereka menghadang serbuan water canon polisi, aksi mereka mengejar polisi lalu lintas, sampai suasana mengharukan ketika mereka berbaris antri mencium tangan seorang nenek-nenek. Semua viraaaalllll…… Garang, radikal, tapi tetap menjunjung norma sopan santun. Menghormati dan takzim terhadap orang tua. Barangkali inilah peristiwa yang paling tepat untuk menggambarkan sebuah momentum: FROM ZERO TO HERO! Anak-anak STM yang selama ini dipandang sebelah mata, tukang tawur, biang rusuh, tetiba menjadi pahlawan. Level “kepahlawanan” mereka tak kalah dibandingkan para kakaknya, mahasiswa. Banyak mahasiswa yang hanya bisa geleng-geleng kepala, memandang takjub aksi pelajar STM. Angkat topi! Mereka jauh lebih berani, lebih nekad, tapi juga lebih sistematis dan terorganisir dibandingkan mahasiswa. Jam terbang mereka “mengorganisasikan,” dan praktik tawuran di lapangan, harus diakui jauh lebih tinggi dibandingkan mahasiswa. Siapa yang menunggangi? Berbeda dengan aksi mahasiswa, kali ini tidak muncul lagi pertanyaan nyinyir: Siapa yang menunggangi mereka? Selain kaget, memang agak sulit menarik-narik aksi pelajar STM ini ke ranah politik. Seorang pelajar STM membisikkan, mengapa mereka bisa dengan cepat terorganisir dan begerak. Selama ini mereka punya group percakapan di medsos (WAG) yang dipergunakan untuk membuat event tawuran. Di WAG ini mereka sering membuat janji dengan sekolah mana, kapan, jam berapa dan dimana tawuran akan diselenggarakan. Kali ini WAG ini mereka gunakan untuk mengorganisir aksi di Gedung DPR. Sangat efektif. Hanya dalam waktu singkat mereka bergerak ke gedung DPR. Tak perlu memikirkan ongkos transportasi. Mereka terbiasa “membajak” kendaraan umum yang lewat. Termasuk truk trailer pengangkut kendaraan yang lewat. Genk-genk di beberapa sekolah yang selama ini saling mengintai, dan mengincar bersatu padu. Jadilah aksi seperti yang kita saksikan bersama. Heroik….tak kenal takut. Benar seperti aksi mahasiswa, aksi pelajar ini juga mengalami pengembosan. Buzzer pemerintah dan polisi mencoba mengaitkannya dengan kelompok tertentu yang menungganginya. Melalui akun @TMCPoldaMetro polisi sempat mengabarkan menangkap sejumlah mobil ambulans Pemprov DKI sebagai penyuplai batu pengunjukrasa. Berdasarkan mesin pemantau percakapan Drone Emprit, isu adanya mobil ambulans penyuplai batu ini banyak dicuitkan oleh akun-akun pendukung pemerintah. Top influencer pemerintah @OneMurtadha, @Yusuf_dumdum berada dalam kluster yang mencoba membelokkan isu ini. Laman CNN.com malah menyebut buzzer top pendukung Jokowi @dennysiregar7 malah lebih dulu mengunggah konten itu sebelum TMCPoldaMetro. Isu ini arahnya jelas. Yang disasar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Sangat kelihatan sekali benang merah dari pendukung pemerintah. Mereka mencoba membelokkan dan menggembosi berbagai aksi. Mereka menerapkan kembali ramuan lama, hantu Islam Radikal. Mereka coba membangun opini aksi ditunggangi oleh kelompok oposisi, khususnya umat Islam. Dalam aksi mahasiswa, yang dituding menjadi penunggang adalah kelompok radikal dan khilafah. Sementara pada pelajar STM Anies Baswedan. Seorang gubernur yang didukung oleh kalangan muslim. Sayangnya dagangan politik yang sukses dijual pada pilpres lalu dan sukses menghancurkan Prabowo, kali ini tidak laku. Dalam aksi 21-22 Mei polisi juga menangkap sopir mobil ambulans milik Partai Gerindra. Tuduhannya sama. Menyuplai batu untuk pengunjukrasa. Publik tidak lagi percaya isu itu. Apalagi belakangan polisi mengakui salah. Tidak benar mobil ambulans milik Pemprov DKI dan PMI itu menjadi penyuplai batu. Modus mencari kambing hitam, menuding adanya kelompok -kelompok yang menunggangi aksi, tidak akan menyelesaikan masalah. Dalam beberapa kasus pemerintah sering salah memahami anotomi persoalan. Mulai dari kasus Papua, kebakaran hutan, dan aksi unjukrasa mahasiswa dan pelajar STM. Dalam kasus Papua Presiden Jokowi mengundang 61 orang yang disebut sebagai tokoh dan kepala suku. Namun ternyata figur yang diundang bukanlah representasi masyarakat Papua. Gubernur Papua dan sejumlah tokoh protes. Kerusuhan terus berlangsung. Peristiwa terbaru dalam kerusuhan di Wamena puluhan orang tewas. Kali ini sebagai respon atas unjukrasa besar-besaran yang terjadi di seluruh Indonesia, Presiden juga kembali mengundang sejumlah tokoh, dipimpin pendiri majalah Tempo Goenawan Mohammad. Mayoritas yang diundang adalah figur pendukung Jokowi. Mereka antara lain Mahfud MD, Syafii Maa’rif dan Abdillah Toha. Tokoh-tokoh ini bukanlah representasi mahasiswa. Juga bukan representasi rakyat Indonesia yang tidak puas terhadap pemerintahan Jokowi. Aksi mahasiswa dan pelajar kali ini ada kemiripan dengan gerakan protes mahasiswa di Hongkong. Leaderless Movement. Tidak ada yang menjadi pemimpin. Lha kok Presiden malah mengundang orang-orang yang selalu merasa menjadi “pemimpin.” Seperti sebuah peribahasa: Kepala yang gatal, tapi kaki yang digaruk. Yang gatal tidak sembuh, yang tidak gatal malah menjadi luka baru. End Penulis adalah Wartawan Senior
Apakah Aparat Keamanan Perlu Brutal Menghadapi Mahasiswa?
Besar kemungkinan para mahasiswa tidak menyangka kalau aparat keamanan akan berlaku kejam, sadis, dan brutal. Sampai tega menghajar pendemo yang sudah babak belur pun masih dikeroyok juga. Para mahasiswa sudah seperti musuh negara By Asyari Usman Jakarta, FNN - Banyak rekaman video tentang tindakan keras, sadis, dan brutal yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap aksi unjuk rasa (unras) yang dilancarkan mahasiwa dan pelajar sekolah menengah dalam 3-4 hari ini. Baik itu di Jakarta maupun di kota-kota lain. Banyak mahasiswa yang mengalami luka-luka berat dan ringan. Mereka berdarah-darah. Ada yang bocor kepala, koyak bibir, benjol dahi, dan lain sebagainya. Apakah aparat memang perlu bertindak begitu kasar dan brutal? Apakah para mahasiswa membawa senjata? Bukankah pada dasarnya mereka mahasiswa dan pelajar tersebut berunjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi dengan tertib? Dari kacamata aparat, tampaknya mereka merasa tindakan keras dan brutal itu harus dilakukan. Alasan aparat, karena para mahasiswa anarkis. Mereka dikatakan menyerang aparat. Melempari aparat dengan batu dan benda-benda berbahaya. Tapi, apakah tidak perlu dipikirkan mengapa sampai para mahasiswa itu terpancing menyerang dan anarkis ? Apakah aparat tidak merasa bahwa mereka, mungkin saja melakukan taktik yang membuat para mahasiswa terpancing? Kalau dilihat rekam jejak mahasiswa pasca-reformasi, mereka kelihatannya bukanlah orang-orang yang terbiasa bertindak anarkis. Bahkan mereka jarang mau turun ke jalan berdemo. Artinya, rata-rata mahasiswa sekarang ini tidak mudah dikerahkan untuk turun ke jalan berdemo. Apalagi sampai disuruh membuat kerusuhan segala. Setelah mengamati unjuk rasa mahasiswa di berbagai tempat, saya berpendapat para mahasiswa yang turun ke jalan dalam seminggu ini lebih banyak memperlihatkan perilaku yang tidak anarkis. Mereka itu boleh dikatakan para demonstran pemula. Dalam arti, baru pertama kali ikut berunjuk rasa. Besar kemungkinan para mahasiswa tidak menyangka kalau aparat keamanan akan berlaku kejam, sadis, dan brutal. Sampai tega menghajar pendemo yang sudah babak belur pun masih dikeroyok juga. Para mahasiswa sudah seperti musuh negara Bahkan, ada rekaman video yang menunjukkan aparat keamanan yang sedang mementungi sejumlah pengendara sepeda motor yang sedang berhenti karena jalan macet. Padahal, para pengendara yang dipentungi aparat tersebut tidak ada kaitannya dengan kegiatan unjuk rasa. Sangat mengherankan juga prilaku apara keamanan. Ada pula video yang memperlihatkan belasan aparat tiba-tiba saja memukuli seorang anak muda yang sedang berjalan menuju gerbang gedung. Diduga ini terjadi di Medan. Anak muda itu dipukul dengan pentungan, dengan tangan, dan ditendang sampai tersungkur. Setelah itu, masih dikeroyok lagi. Kemudian, entah di mana kejadiannya, satu video menunjukkan kerumunan aparat berseragam ‘riot gear’ (perlengkapan anti huruhara) sedang mengeroyok seseorang yang sudah terkapar di dekat dinding bangunan kaca. Tanpa baju, orang itu ditendang dan dipukuli sekuat tenaga oleh kawanan aparat. Terdengar seorang wanita berteriak-teriak agar aparat berhenti mengeroyok orang yang sudah tak berdaya tersebut. Tampaknya korban pengeroyokan itu paling tidak menderita luka berat. Atau mungkin juga sudah menemui ajalnya. Luar biasa. Sadis. Beringas. Brutal. Pengeroyokan oleh kawanan aparat model begini sudah sering terekam video. Ingin bertanya, apakah cara ini sudah menjadi prosedur baku di kalangan aparat keamanan? Begitukah SOP mereka yang dibiayai, digaji dan diberikan remunirasi dengan uang dari pajak rakyat itukah? Apakah harus brutal menghadapi pendemo? Haruskah sadis menghadapi mahasiswa? Penulis adalah Wartawan Senior
The Avenger Team STM
Oleh Kafil Yamin Jakarta, FNN - Kehadirannya tak terduga. Di luar sangkaan siapapun. Aksi sedang deadlock karena penjagaan ketat dan keberingasan polisi. Sudah banyak mahasiswa yang tumbang. Tetiba mereka muncul dari satu arah. Berseragam sekolah, dan hampir semuanya menggendong tas punggung sekolah. Para mahasiwa yang lagi demo pada heran: “Adik-adik mau kemana?” Dengan enteng salah seorang mereka bilang: “Sekarang kakak mundur dulu. Kami yang maju. Kakak yang orasi. Kami yang eksekusi.” Cerita selanjutnya, sudah banyak diketahui warganet. Saya ingin mengabadikan kehadiran mereka melalui beberapa simpulan: #Kekompakan#. Mereka bergerak teratur. Taktis. Luar biasanya, seperti tanpa komando. Tanpa pemimpin. Hanya saling teriak di antara mereka. Ini menunjukkan kerja tim yang luar biasa. Sampai sekarang, orang tak tau yang mana pemimpinnya, koordinatornya. Wajar kalau polisi kesulitan menundukkan mereka. Beda dengan kakak-kakaknya, yang terlihat ada pemimpin, jurubicara, yang gampang diundang, dinego, diarahkan. Para anggota DPR yang mereka geruduk pun dulunya aktifis mahasiswa. #Kepercayaan diri#. Mereka maju ke hadapan polisi bukan saja dengan berani, tetapi dengan riang. Jauh dari rasa panik dan takut. Dengan peralatan unik berupa sapu lidi dan batangan kayu, mereka mengintimidasi polisi. Tidak lama barisan polisi itu panik, tercerai berai. Dan dengan ringan, mereka membajak kendaraan polisi. Mereka menggiring kendaraan polisi yang dibajak ke barisan mahasiwa. Lalu mereka rame-rame berfoto dengannya. #Taktis-strategis#. Entah darimana kebisaan mereka menanggkal serangan polisi. Tapi jelas mereka ‘know what they are doing’. Memancing polisi menembakkan gas air mata. Dengan refleks melemparnya balik lagi ke arah polisi. Semprotan air dari mobil polisi, mereka sambut seperti pesta. “Gua mau air! Gua mau air! Sini tambah lagi airnya!”. Begitulah teriak mereka kepada polisi. Setelah beberapa lama, polisi tampak kehabisan air dan amuinisi. Giliran mereka yang balik menyerang polisi. Polisi mundur dan terkurung di apartemen Semanggi. Komandan polisi berbicara di airphone minta damai. #Norma dan etika#. Beberapa warganet bilang mereka barbar dan dan liar. Itu penilaian yang sangat kurang ajar. Mereka punya norma, dan prinsip yang kuat. Ketika menggiring kendaraan polisi, seorang dari mereka teriak: “Jangan rusuh woi! Jangan rusuh!” Mereka semua taat pada teriakan "Jangan rusuh woi!". Lalu mereka membiarkan kendaraan itu lepas. Disatu sudut ‘pertempuran’, adzan maghrib terdengar. Pada saa yang bersamaan, polisi masih saja menembakkan gas air mata. Namun seorang dari mereka berteriak: “Tahan dulu Woi! Ga belajar ngaji lo?” #Mengalir lepas#. Dengan pikiran lepas mereka melihat dunia tak banyak batasan untuk melakukan aksi. 'Against the odds'. Mereka menerobos berbagai ketidakmungkinan. Seorang mereka bilang bahwa bantuan akan datang sebentar lagi. “Pake apa? Pake Motor?” tanya kakak mereka yang mahasiswa. “Kakak liat aja nanti,” jawab si adik. Dan, gila gila benar-benar gila. Mereka mendatangkan bantuan datang dengan menggunakan Transformer. Kendaraan yang digunakan untuk mengangkut kendaraan. Tentu saja bisa mengangkut orang sekampung! Bagaimana mereka bisa mendapatkan kendaraan itu. Tidak mungkin mereka bisa menyewanya. Sebab kebanyakan dari mereka bahkan tak punya ongkos. Ternyata mereka membajaknya. Sang sopir pasti sudah tau risikonya kalau menolak kemauan mereka. Tetapi ini kan untuk perjuangan. Mereka bergerak sangat efektif, taktis, dan mengagumkan. Tanpa sokongan dana dan fasilitas dari siapapun. Malam harinya, seorang ibu memergoki sekelompok dari mereka sedang makan di Warteg. Beberapa di antaranya ternyata masih siswa kelas I SMP. “Sang ibu bertanya kepada mereka, kalian ada ongkos untuk pulang?” Yang mereka jawab dengan enteng saja: “Nunggu truk aja Bu.”Si Ibu yang pemurah itu lantas membayari makan mereka dan memberi ongkos pulang untuk mereka. Kadang, atau mungkin juga kita perlu belajar dari mereka. Meski mereka hanya anak-anak siswa STM dan SMP yang kita tak terlalu menganggap mereka penting tersebut. Penulis adalah wartawan Senior