NASIONAL

Koalisi Jokowi-Prabowo Subianto dan Gagasan Negara Kuat!

Jika membaca pandangan dan hati nurani Presiden Joko Widodo maupun Jenderal Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa ini, sebenarnya mau menunjukkan ada optimisme dibalik tekanan liberal. Bahwa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik negara lain. Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Presiden Terpilih Joko Widodo dalam Visi Indoensia 2019-2024 menyatakan bahwa Indoneia menjadi negara terkuat di dunia. “Kita harus optimistis menatap masa depan. Kita juga harus percaya diri dan berani menghadapi tantangan kompetisi global. Kita harus yakin bahwa kita bisa menjadi salah satu negara terkuat di dunia”. Visi negara kuat sebagaimana disampaikan dalam Visi Indonesia tersebut, sebenarnya telah diutarakan dalam berbagai kesempatan. Terutama ketika penyampaian visi misi calon Presiden Republik Indonesia, baik oleh Joko Widodo maupun Prabowo Subianto saat debat pertama 17 Januari 2019. Visi yang sama juga disampaikan lagi di debat ke empat 30 Maret 2019 dan pada berbagai kesempatan dengan berbagai penekanan. “Negara kuat jika alutsista maupun keamanan dalam negeri kuat. Pentingnya negara yang kuat. Negara kuat jika institusi atau lembaga negara kuat. Demikian pula harus ditunjang dengan pengelola negara yang professional, bersih dan berwibawa”. “Bangsa yang kuat, mandiri, berdaulat akan dihargai dan dihormati bangsa-bangsa lain termasuk dalam diplomasi”. “Negara yang kuat jika memiliki TNI yang kuat. Didukung dengan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alustista) yang kuat dan modern. Dampaknya kita akan disegani oleh bangsa lain”. “Keamanan dalam negeri terpelihara jika institusi Kepolisian Negara yang kuat”. “Rakyat mendapat keadilan dihadapan hukum, jika institusi Kepolisian terpercaya. Kepolisian yang bekerja secara independen, profesional, moderen, sejahtera”. Aparat Penegak Hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) harus kenyang, sehat dan pintar. Akibatnya, aparat penegak hokum akan profesional, objektif dan imparsial dalam menegakan hukum”. Kalimat pajang tersebut di atas merupakan ringkasan dari sederet ungkapan ide, gagasan Joko Widodo maupun Prabowo Subianto. Niat besar mereka berdua untuk membawa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kuat. Indonesia yang akan menjadi pemenang, dan keluar dari negara yang terancam gagal (falls of nations). Fals of Nation (Negara Gagal)”. Buku karangan Daren Acemoglu seorang ilmuan Amerika keturunan Turki. Inti dari buku Negara Gagal tersebut berkesimpulan bahwa “Negara Gagal karena sumber daya alam dikuasai oleh sekelompok kecil oligarki. Sementara kebijakan politik dan hukum negara berorientasi untuk memperkuat kepentingan sekelompok kecil oligarki ekonomi dan politik tersebut”. Sehebat-hebatnya membangun untuk mengejar ketertinggalan negara lain, tetapi tetap saja menjadi negara miskin dan gagal. Kita perlu belajar, sebagaimana kesenjangan (gap) antara Amerika Serikat dengan Meksiko, Korea Utara dengan Korea Selatan, Jerman Barat dan Jerman Timur. Mexico, Korea Utara, dan Jerman Timur memiliki infrastruktur yang sama dengan Amerika Serikat, Korea Selatan dan Jerman Barat. Namun label sebagai negara gagal tetap melekat di Meksiko, Korea Utara dan Jerman Timur sebelum reunifikasi. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo pada periode ke-2 (2019-2024) memperioritaskan pembangunan pada sumber daya manusia sudah sangat tepat. Memang benar, apapun yang dilakukan pemimpin bangsa ini tentu mempertimbangkan “kepentingan inti negara Indonesia” (core of national interest). Sesungguhnya negara yang maju dan berkembang berada pada penguatan hukum untuk mengatur ketertiban, keamanan dan rasa keadilan bagi rakyat”. Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman sebagai lembaga penegak hukum yang berada beranda di depan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) tentu menjadi pilar terpenting bagi negara ini. Jika membaca pandangan dan hati nurani Presiden Joko Widodo maupun Jenderal Prabowo Subianto sebagai pemimpin bangsa ini, sebenarnya mau menunjukkan ada optimisme dibalik tekanan liberal. Bahwa bangsa Indonesia tersandera dalam ancaman penetrasi kapital, hegemoni politik negara lain. Akibatnya adalah negara makin tidak berwibawa. Disebabkan oleh perilaku kurang elok seperti kebocoran keuangan negara, korupsi merajalela, memperdagangkan pengaruh, jual beli jabatan yang justru dilakukan oleh orang-orang yang melingkari istana. Semua ini dilakukan oleh pusat kekuasaan negara sejak jaman orde baru, dan berlangsung hingga saat ini. Visi Indonesia yang disampaikan oleh Joko Widodo sudah mulai membuka kran demokrasi untuk tidak akan menyandera pilar-pilar demokrasi, hak asasi manusia, perdamain dan keadilan. Upaya ke arah melalui instrumen demokrasi, yaitu partai politik, media massa, lembaga penegak hukum. Bangsa ini tidak boleh mengalami distorsi arah dan gradasi nilai-nilai konstitusi dan landasan idil. Pada periode kedua nanti, pemerintahan mesti berkomitmen agar rakyat bisa artikulasikan keinginan, rintian, ratapan, penderitaan. Begitu juga dengan kebebasan ekspresi, pendapat, pikiran dan perasaan harus mendapat yang seluas-luasnya. Untuk menjaga kebebasan sipil terpelihara, maka pucuk pimpinan lembaga yang menangani bidang politik, hukum dan hak asasi manusia haruslah dipercayakan kepada orang yang professional, tetapi juga demokratis. Dirahapkan pada masa yang akan datang, pemimpin negara tentu bukan tipe pemimpin yang suka berdebat. Bukan pula tipe yang suka berwacana.Bangsa ini sangat beruntung, seandainya Prabowo dan Jokowi berkoalisi, maka dua pemimpin yang kuat menyatu untuk membangun bangsa dan negara. Kita berharap kedua pemimpin akan mampu membangun bangsa. Berbudaya literasi dengan tidak bermain kata-kata gimik atau bahkan menyerang pribadi lawan politik. Berdiam tidak berarti apatis terhadap Negara. Berdiam bisa saja sembari mengarahkan pemerintah berkerja sungguh-sungguh demi rakyat, bangsa dan negara. Harus dipahami bahwa situasi saat ini telah menyebabkan kerusakan fundamental. Juga soal integrasi sosial dan ancaman integrasi nasional. Dengan demikian, membangun kekuatan bersama untuk pemantapan integrasi sosial dan politik bukan penting, namun sangat dibutuhkan saat ini. Kebhinekaan bangsa dalam kurun waktu lima tahun lalu berada di titik nadir. Pondaasi dan bangunan sosial terancam pecah karena ketidakharmonisan dan fragmentasi antar horisontal juga vertikal. Rasisme, diskriminasi, dan kekerasan verbal yang didorong atas rasa kebencian suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Pendatang dan pribumi adalah kosa kata yang saban hari menghiasi media massa, media sosial, media maintream dan juga dalam komunikasi interpersonal. Sewaktu-waktu, pada pangung resmi, baik di media, seminar, dan berbagai tempat pemerintah seringkali menyampaikan bahwa kebinekaan Indonesia adalah suatu wahyu. Titah yang tertulis sebagai adagium persatuan dan kesatuan, kebinekaan bangsa sudah final dan mengikat du sanubari tiap orang. Menjamurnya beraneka etnik, ras, budaya harus diterima sebagai kondisi kekinian. Realitas bangsa, bahkan keanekaragaman adalah suatu niscaya. Semua terlindung dalam konstitusi negara dan landasan ideologi Pancasila. Itulah inti negara kuat karena fondasinya bersatu padu dalam beraneka. Negara harus memastikan bahwa rakyat tidak terlalu terjebak dalam sektarianisme. Eksklusivisme yang naïf, bahkan chauvinistik seakan-akan ada yang mengklaim sebagai pemilik negeri ini. Klaim diri sebagai pahlawan, nasionalis, bahkan bahkan personifikasi diri sebagai nasionalis. Sedangkan suku bangsa lain di nusantara, terutama kaum minoritas lain dianggap bukan pejuang dan pahlawan bagi bangsa ini. Monopoli kebenaran seperti harusnya sudah tidak ada lagi. Membangun bangsa dengan tanggung renteng untuk memantapkan bangsa yang kuat. Barangkali tidak lupa bahwa perjuangan bangsa Indonesia dilakukan secara sporadis. Berjuang juga sendiri-sendiri di wilayahnya masing-masing. Hanyan saja tujuan perjuangan tetap sama, yaitu mengusir penjajah dari bumi Nusantara . Diponegoro tidak pernah memimpin perang dari Sabang sampai Merauke. Tetapi Diponegoto hanya wilayah Jawa Tengah. Laksamana Malahayati berjuang hanya di Aceh. Sisingamangaraja berjuang di Tanah Batak. Demikian pula pahlawan Patimura hanya di Maluku. Semua memiliki keinginan yang sama, yaitu Indonesia lepas dari belenggu penjajah. Presiden Joko Widodo maupun Prabowo Subianto paham sejarah bahwa kemerdekaan Indonesia juga diperjuangkan semua orang. Kemerdekaan diraih karena adanya kontribusi juga oleh tujuh orang pahlawan keturunan Cina, yaitu Jhon Lie, Koen Hian yang menjadi anggota BPUPKI. Ada juga dari keturunan Arab, yaitu Rasyid Baswedan. Bahkan ada juga keturunan barat Belanda yang kita sebut penjajah seperti "Ijon Jambi" tokoh yang mendirikan Kopassus. Pahlawan besar beragama Katolik di Jawa Tengah tidak bisa diragukan lagi. Aada nama-nama besar seperti Jos Sudarso, Adi Sutjipto, Adi Marmo, Slamet Riyadi, I.J Kasimo. Kalau demikian, apakah kita harus menafikan nama dan peran mereka dalam eksistensi republik ini?. Tentu saja tidak, karena bangsa ini terikat dalam adagium unitarianisme, yaitu “Bhineka Tunggal Ika”. Cara pandang tentang kebangsaan ini tercermin pada Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Itulah ide, gagasan dan harapan Indonesia negara kuat. Negara kuat dalam pemeintahan Presiden Joko Widodo dan Maruf Amin 2019-2024 yang saya pahami dan analisis. Rakyat silahkan ikut memberi dukungan tanpa mengoreksi untuk mengisi ruang-ruang kosong yang tidak diisi Negara. Kita jangan lupa bahwa dunia sedang mengalami perubahan (progress). Bukan kemunduran (regress). Kita bisa berubah, jika ada hasrat untuk berubah (willingness to change). Penulis adalah Pemerhati Orang Kecil dan Kemanusiaan

Tenang Bu Mega, Surya Paloh Juga Abaikan Pancasila

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Insiden Megawati (Ketum PDIP) tak menyalami Surya Paloh (Ketum Partai NasDem) di acara pelantikan anggota DPR-RI pada 1 Oktober 2019, ditanggapi cukup heboh. Terutama di media sosial. Peristiwa yang mempermalukan Paloh itu ditulis oleh beberapa pengamat sosial-politik. Penulis yang juga konsultan media dan politik, Hersubeno Arief, menggambarkan bahwa tindakan Bu Mega itu mencerminkan keseriusan perpecahan koalisi parpol pendukung Jokowi. Bung Hersubeno juga menyayangkan Bu Mega yang sengaja mempertontonkan kebencian pribadinya terhadap Paloh di depan publik. Dan tertangkap kamera pula sehingga virallah kejadian itu. Menurut Hersubeno, tidak menyalami Paloh itu menunjukkan Bu Mega adalah orang yang paling berkuasa di kubu Jokowi. Dalam arti, dia bisa sesuka hati. Mau menyalami atau tidak menyalami, tidak ada pengaruhnya terhadap kekuasaan dan kekuatan Bu Mega. Tapi, yang sangat menarik adalah analisis Narudin Joha. Penulis kondang yang selalu tajam ini mempertanyakan keberpancasilaan Bu Mega ketika dia tidak menyalami Surya Paloh di depan umum. Nasjo mempertanyakan nilai-nilai Pancasila di dalam diri Bu Mega. Nasjo menyayangkan sikap Megawati itu karena dia adalah ketua Dewan Pengarah BPIP, yaitu Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Intinya, menurut Nasjo, sangatlah tak pantas Bu Mega tidak menyalami Paloh. Tulisan Nasjo itu menyiratkan kesimpulan bahwa Bu Mega tidak pancasilais. Tidak mengamalkan akhlak Pancasila. Gara-gara tidak menyalami Paloh. Begitu lebih-kurang pemahaman saya. Tetapi, saya berpendapat lain. Pendapat yang berbeda ini tidak berarti tak setuju dengan Nasjo. Setuju! Hanya saja, saya ingin mengatakan agar Bu Mega tenang saja. Kenapa tenang? Karena, mohon maaf, Surya Paloh itu pun belum tentu juga pancasilais. Apakah bisa Paloh dikatakan pancasilais ketika media yang ada di tangannya, yaitu MetroTV dan Media Indonesia, hari-hari memberitakan dan memuat editorial serta analisis yang tidak berkeadilan? Meraka membela apa saja yang dilakukan para penguasa yang semakin zalim sekarang ini. Lihat saja bagaimana sepak-terjang mereka selama proses pilpres 2019 berlangsung. Nah, apakah Paloh lebih berpancasila dibandingkan Bu Mega? Tunggu dulu. Sikap diam Paloh membiarkan sepak-terjang media yang berada di bawah kerajaan bisnisnya, sangat jelas bukan moral Pancasila. Dia bukanlah seorang pancasilais sejati. Dia tidak menunjukkan akhlak Pancasila. Saya berkeberatan dengan tulisan Nasjo yang seolah menilai hanya Bu Mega yang mengabaikan nilai-nilai Pancasila. Padahal, Surya Paloh pun begitu. Bagaimana orang mau menyebut Paloh itu berpancasila ketika dia hari-hari hanya memikirkan cara agar bisnis dia semakin besar dan semakin banyak mencetak duit? Dari mana Anda bisa melihat dia pancasilais? Alangkah bagusnya dan adilnya jika Nasrudin Joha mengatakan bahwa, “Bu Mega menyalahi akhlak Pancasila dengan tidak menyalami Paloh. Tetapi, yang tak disalami kelihatan abai juga pada Pancasila.” Jadi, sekali lagi, Bu Mega tenang saja. Tak usah khawatir. Sama-sama abai kok.[] 6 Oktober 2019

Yang Perlu Diperkuat Itu TNI, Bukan Polisi

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kalau Presiden Indonesia paham, siapa pun presidennya, seharusnya dia memperkuat TNI. Bukan memperkuat Polisi. Memperkuat salah satu diantara kedua institusi ini menunjukkan jalan pikiran penguasa. Menunjukkan jalan pikiran presiden. Sekali lagi, siapa pun presidennya. Kalau presiden tidak punya jalan pikiran, berarti menunjukkan jalan pikiran pembisik dan sponsornya. Memperkuat TNI atau Polisi memperlihatkan dua perbedaan yang kontras. Perbedaan antara kecerdasan dan kedunguan. Perbedaan antara niat baik dan niat buruk. Presiden yang memperkuat militer adalah pemimpin yang mengerti percaturan global. Dia cerdas. Dia paham tentang ancaman terhadap eksistensi negaranya. Dia paham tentang perlunya menjaga kedaulatan dan wibawa negara dan bangsanya. Karena itu, dia pantas dikatakan punya niat baik. Sebaliknya, presiden yang memperkuat Polisi adalah pemimpin yang tak paham ancaman eksternal. Dia tak mengerti atau seolah tak mengerti tentang ancaman terhadap kedaulatan negara. Dia tak mengerti bahwa negara-negara besar dan kuat selalu punya ambisi teritorial. Lihat saja pertikaian wilayah yang tak pernah selesai. Di mana-mana. Di Asia, kita bisa baca kegigihan RRC untuk memperluas wilayah. Mereka tak segan-segan mengklaim pulau-pulau atau wilayah laut yang selama ini bukan milik mereka. Mengapa RRC berani dan percaya diri? Karena mereka merasa kuat. Dan militer mereka memang kuat. Terkuat kedua di dunia. Setujulah kita bahwa Indonesia tidak mungkin dan tak perlu menjadi seperti China dalam hal kekuatan militer. Tetapi, janganlah pula sampai seperti Papua Nugini, Laos atau Maladewa. Pantaskah negara sebegini besar dan kaya sumber daya alam cuma punya militer yang hanya bisa bertahan tiga hari? Sangat memalukan. Juga menakutkan. Kalau misalnya hari ini militer RRC mendarat, lusanya kita langsung menyerah. Ah, kalau RRC dijadikan ukuran, pastilah militer Indonesia hancur dalam beberapa hari. Ok. Kita lihat Singapura. Mereka punya 319 pesawat tempur. Semuanya mutakhir. AU negara sebesar Jakarta minus Bodetabek dengan penduduk 5 juta jiwa ini termasuk yang terkuat di dunia. Dengan personel AU hampir 15,000 orang. Mereka memiliki 60 pesawat F-16C/D dan 40 pesawat F-15SG yang dirancang khusus untuk AU Singapura. Angkatan daratnya berkekuatan 72,000 personel aktif. Plus hampir 400,000 personel wamil. Mereka memiliki peralatan perang AD yang tercanggih. Angkatan lautnya yang terbaik di Asia Tenggara. Ada 6 kapal frigat siluman (stealth) dan sejumlah kapal selam berteknologi tinggi. Tahun lalu, anggaran pertahanan Singapura mencapai lebih 210 triliun rupiah (bandingkan dengan anggaran pertahanan Indonesia yang hanya 131 triliun untuk 2020). Begitulah visi para pemimpin negara kota ini tentang pertahanan. Dari sejak mereka merdeka sampai sekarang. Dengan begitu, tidak ada yang berani coba-coba mengganggu Singapura. Demikian pula Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dll. Mereka sadar betul bahwa memperkuat militer adalah “tertib hukum alam” yang wajib mereka lakukan. Sebab, siapa pun yang menjadi presiden atau perdana menteri di negara-negara itu, mereka paham tentang kedaulatan dan martabat negara. Mereka mengerti bahwa ada banyak negara lain yang akan menggertak atau membully kalau kekuatan militer mereka hanya berkelas kacangan. Begitulah para pemimpin negara-negara yang punya niat baik. Niat baik untuk melindungi bangsa dan rakyatnya. Anehnya, selama lima tahun ini penguasa Indonesia sibuk memperkuat Polisi. Dari waktu ke waktu, dana tahunan untuk kepolisian diperbesar terus-menerus. Diperkuat peralatan, pelatihan dan jumlah personelnya. Hari ini, pimpinan Polri bangga menyebutkan bahwa polisi Indonesia adalah yang terkuat kedua di dunia setelah polisi RRC. Polri memiliki 430,000 personel. Sedangkan TNI gabungan ketiga angkatan hanya punya 455,000 personel. Nah, kira-kira apa tujuan Presiden Jokowi memperkuat Polisi? Untuk melawan agresi asingkah? Menghadapi invasi militer Amerika atau RRC? Atau untuk mengimbangi kekutan militer Singapura? Tentu tidak. Tak mungkin. Pasti tidak itu tujuan Jokowi memperkuat Polisi. Yang jelas tampak saat ini adalah bahwa polisi cenderung menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menyakiti rakyat. Ini terbukti dari cara polisi menangani rangakaian unjuk rasa belum lama berselang. Jokowi tampaknya perlu disadarkan bahwa musuh negara itu bukan rakyat. Bukan para pendemo. Bukan juga para ulama dan umat Islam. Yang menjadi ancaman itu bukan rakyat sendiri. Melainkan kekuatan asing yang sangat ingin menguasai sumber daya alam Indonesia. Yang sangat ingin menguasa wilayah darat dan laut negara ini. Jadi, yang perlu diperkuat itu adalah TNI. Bukan polisi. Sekali lagi, Dirgahayu TNI.[] 5 Oktober 2019

TNI 74 Tahun: Rakyat Paham Kalian Masih Menunggu

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salam hormat, TNI. Kami ingat hari jadi kalian, 5 Oktober. Tapi, terus terang, kami tak tahu hari jadi mereka. Dan, alhamdulillah sekali kami tak tahu hari jadi mereka itu. Tidak tertarik juga, soalnya. Dan, bukan sekadar tak tertarik. Rakyat malah mendoakan agar mereka segera diazab Allah SWT atas kesadisan, kebrutalan, kekejaman, dan kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Terhadap orang-orang lemah dan para ulama garis lurus. Lihat saja kalau seorang pendemo terkepung dan tertangkap oleh mereka. Habis mereka keroyok. Ramai-ramai mereka pukuli. Mereka tendang dengan sepatu laras. Mereka gebuki dengan pentungan sampai bocor. Sungguh biadab. Tapi, anehnya, penguasa negeri ini sangat suka pada mereka. Senang melihat mereka beringas terhadap rakyat. Suka melihat mereka main tembak mati. Bahkan, penguasa memberikan insentif kepada mereka. Alokasi anggaran untuk mereka sangat besar. Tidak seperti TNI yang harus urut dada soal besaran anggaran tahunan. Penguasa memang memberikan status “anak emas” kepada mereka. Tumben, untuk tahun depan (2020), kalian dapat anggaran 131.2 triliun. Memang jumlah ini terbesar di antara semua kementerian atau lembaga negara. Tapi ini ‘kan harus dibagi empat. Untuk Kemenhan, untuk TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Padahal, ketiga angkatan harus membeli begitu banyak alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang harganya mahal-mahal. Sudahlah. Tidak apa-apa. Anggaran kalian boleh kecil. Tapi, dukungan dan simpati rakyat sangat besar. Rasa cinta rakyat sangat besar kepada TNI. Ini yang tidak ada pada mereka. Spontanitas kalian memberikan perlindungan kepada orang yang dikejar-kejar oleh mereka, membuat rakyat bahagia meskipun banyak yang berdarah-darah. Sebaliknya, rakyat malah sudah sangat marah kepada mereka. Ada yang “benci stadium 4” pada mereka. Itu semua karena ulah mereka sebdiri yang sangat menjijikkan. Sangat memuakkan. Sangat brutal. Kalian di lingkungan TNI tahu persis betapa aroganya mereka. Betapa angkuhnya mereka. Tiap hari kalian saksikan langsung di jalanan. Kalian semua malah tampak ingin menampar mereka. Rakyat tahu dan melihat bahwa kalian pun sudah mendidih. Syukurlah, kalian masih bisa tenang. Menahan diri. Kalau kalian mau, kalian bisa patahkan leher mereka. Tapi, kalian tidak seperti mereka. Kaliana tidak angkuh seperti mereka. Kalian tidak mudah hilang akal seperti mereka. Kalian, TNI, punya martabat. Kalian memiliki akal sehat. Kalian paham kapan harus bertindak untuk menjinakkan kesadisan mereka kepada rakyat. Kalian tahu kapan itu harus dilakukan. Rakyat pun paham. Rakyat mengerti. TNI masih menunggu saat yang tepat. Dirgahayu TNI. Selalu bersama rakyat! Hidup-mati bersama rakyat! 5 Oktober 2019

Keterlaluan: Membantu Orang Terjepit Dihukum Penjara

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ada kabar yang sangat memprihatinkan. Luput dari pemberitaan besar karena rangkaian unjuk rasa belum lama ini. Peristiwa itu terjadi pada 19 September 2019. Tak sesuai dengan akal sehat. Orang yang menolong orang lain yang sedang terjepit, dihukum penjara. Itulah yang dialami oleh 29 karyawan Sarinah, Jakarta, yang dinyatakan bersalah hanya karena membolehkan para pendemo masuk ke gedung Sarinah ketika berlangsung aksi 21-22 Mei 2019. Pengadilan di Jakarta menyatakan mereka bersalah membantu orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap aparat negara. Para pengunjuk rasa masuk ke gedung itu sekadar untuk membasuh muka mereka. Mungkin juga sekadar melepas dahaga. Tapi, bagi penguasa, sikap alami yang ditunjukkan oleh para karyawan Sarinah itu dipelintir menjadi perbuatan pidana. Mereka didakwa membantu para pendemo melawan aparat. Sikap spontan memberikan bantuan itu dihukum penjara 4 bulan 3 hari. Bahkan, hampir saja dihukum 8 bulan. Logika penguasa adalah bahwa dengan masuk ke Sarinah dan mendapatkan air, maka para pendemo kembali segar untuk turun ke jalan. Luar biasa sekali. Entah dari mana pemikiran seperti ini diadopsi oleh para penegak hukum. Jelas sekali logika penguasa dan citarasa keadilan penegak hukum mengalami “gangguan serius”. Para pengunjuk rasa jelas bukan teroris. Mereka turun ke jalan karena merasa ketidakadilan merajalela di negeri ini. Mereka bukanlah ancaman bagi aparat keamanan. Para pendemo yang dibantu oleh 29 karyawan Sarinah itu bukanlah orang yang sedang melancarkan gerakan untuk menghancukan negara dan pemerintah. Mereka bukan pelaku makar. Seterusnya, para karyawan Sarinah itu bukanlah orang-orang yang telah lebih dulu mempersiapkan diri untuk membantu para pengunjuk rasa agar mereka bisa lebih anarkis lagi. Mereka hanya bereaksi spontan. Para karyawan itu hanya membaca fakta yang polos. Bahwa pada saat itu sedang terjadi perseteruan antara aparat negara yang kuat dengan peralatan lengkap versus pendemo tangan kosong. Hanya memberikan air yang mereka lakukan. Sama seperti para petugas yang memberikan pertolongan kepada siapa pun juga tanpa melihat latarbelakang politik mereka. Hanya berupa bantuan kemanusiaan. Ternyata, kehancuran akal sehat para penguasa memang sudah lebur total. Tak bisa dikenali lagi. Tidak ada lagi pertanda akal sehat itu ada. Sabarlah kalian wahai para karyawan Sarinah. Kalian dipaksa menjadi terpidana karena perbuatan mulia Anda. Kalian pasti sudah selalu dengar bahwa akan ada suatu zaman yang semua serba terbalik. Yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar. Orang yang amanah tak diberi kepercayaan. Sebaliknya, para penipu diberi mandat.[] 04 Oktober 2019

Mengapa Orang Papua Marah Kepada Pendatang?

Catatan ini ingin dibaca oleh Bapak Ir. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia 2019-2024 Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Tulisan ini saya tulis berdasarkan realitas yang dihadapi rakyat Papua. Saya telah melihat langsung, memantau, mendengar dan mencatat. Dimana seluruh isinya cek langsung ke rakyat Papua. Juga cerita-cerita dengan tidak kurang dari delapan Bupati dan mantan Bupati, serta pejabat masih aktif di pemerinhan Papua. Saya menulis ini adalah kontribusi saya sebagai penyelidik professional. Saya juga pernah menangani tidak kurang dari lima belas ribu kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Tulisan ini sebagai kontribusi saya untuk kebaikan dan perbaikan bersama (bonum commune). Lima puluh delapan tahun hidup dalam nestapa. Ratusan ribu orang Papua telah dibantai. Tragisnya, pembantaian tersebut, hanya didasari atas kebencian dan rasisme terhadap bangsa Papua, yang berkulit hitam dan rambut keriting. Kata-kata yang mengandung kekerasan verbal dengan sebutan monyet, kera, gorila, bahkan kete, telah lama diterima orang Papua. Pelakunya tidak hanya rakyat sipil biasa, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara baik di Papua maupun di luar Papua. Makin lama pendatang bersikap, berperilaku dan berbuat rasis, dan dibalas dengan sikap segregatif rakyat Papua sebagai ungkapan sakit hati. Lebih ironis lagi aparat Intelijen, TNI dan Polri menjadikan kaum pendatang sebagai mitra, informen bahkan pasukan milisia. Secara sengaja atau tidak, aparat menggiring orang-orang sipil pendatang, yang tidak berdosa, dan sedang mengadu nasib di tanah Papua sebagai kelompok milisia. Itulah pemicu kebencian akut rakyat Papua terhadap pendatang. Jadi, mengapa hari ini bangsa Orang Papua dicaci maki, dicemooh, dimusuhi?. Mengapa tidak marah kepada aparat negara yang menggiring pendatang, rakyat sipil tidak berdoa bermain dalam bara api di Papua yang memang wilayah konflik. Mengapa semua bisu terhadap rilaku aparat ini? Mengapa seuma berdiam diri menganai prilaku buruk dari aparat intelijen kita ini Pernahkah kita tahu bahwa di Wamena, pusat kota dan di daerah lainnya HIV/AIDS berkembang cepat mengancam kepunahan bangsa Papua Melanesia? Bukan karena wanita-wanita melayu penjajah seks komersial menjual diri di “lokalisasi”. Karena memang tidak ada lokalisasi di Wamena. Namun mereka bikin gubuk-gubuk kecil di kios-kios, dan rumah makan pendatang. Ada istilah di rumah makan, mas mau makan apa? Daging mentah atau masak? Kalo daging mentah berarti berdagang seks. Sedangkan daging masak berarti makanan sebenarnya. Itulah ilustrasinya jika orang asli Papua makan. Ketika terjadi aksi protes oleh orang Papua di pusat-pusat kota, aparat sering kali intai orang Papua dari rumah-rumah pendatang. Atau di kios-kios, dan rumah makan pendatang. Seringkali memberondong peluru dari tempat-tempat tersebut ke arah orang Papua. Sudah terlalu banyak orang Papua mati karena pola-pola seperti ini. Cara-cara ini disaksikan oleh orang Papua. Memang Papua ini kota-kotanya kecil semua. Bila terjadi hal-hal seperti ini, dapat disaksikan dengan mudah, gampang, kasat mata, dan terang benderang. Tutur lisan menyebar seantero orang Papua dan modus-modus ini diketahui luas. Sekali lagi bukan murni prilaku pendatang. Tetapi pendatang yang digiring oleh aparat yang beroperasi di Papau. Mau tidak mau “harus manut”, apalagi ini wilayah konflik. Namun salah satu kelakuan yang tidak elok dipertontonkan para pendatang adalah dikala konflik atau cek cok mulut dengan orang Papua. Para pendatang selalu meminta atau berlindung dibalik laras senjata. Mereka tidak menempu jalur hokum. Saya tidak pernah menemukan orang pendatang melapor atau mencari keadilan di pengadilan melawan orang Papua secara fair. Judi togel marak dimana-mana di kota-kota Papua. Jualan minuman keras dikelola pendatang dibekingi oleh aparat. Pemandangan atas prilaku aparat yang seperti selalu menjadi tontongan menarik di seluruh wilayah Papua. Tidak mengherankan kalau kenyataan ini menimbulkan problem sosial di masyarakat. Apakah kita pernah tahu bahwa daerah penambangan liar dikuasai pendatang ? Jual minuman keras, peredaran narkotika, bahkan prostitusi seperti di Degeuwo, Tembagapura, daerah Mamberamo selalu dibekingi oleh aparat? Aparat membeckingi orang luar Papua untuk menguasai 3 sumber utama milik orang Papua. Pertama, merampas sumber daya alam dengan melakukan penambangan liar (ilegal mining), pengambilan ikan secara liar dan pengambilan kayu secara ilegal. Kedua, merampas sumber daya ekonomi orang Papua di seluruh pusat-pusat kota. Distribusi barang dan jasa dikuasai pendatang, sumber-sumber ekonomi juga dikuasai pendatang. Kios, pasar bahkan angkot dan ojek dikuasai pendatang. Ketiga, merampas hak politik rakyat Papua. Perampasan hari ini sudah merambah ke dunia birokrasi dan politik. Pendatang terlalu haus terhadap kekuasaan. Merejka mau menjadi Bupati, Wakil Bupati, DPR dengan cara sogok. Menghamburkan uang sana-sini untuk menguasai hasil pemilu. Pemilu hari ini nyaris dikuasai oleh kaum pendatang. Faktanya, ada kabupaten yang anggota DPR-nya nyaris hampir 100% adalah pendatang. Selain itu, ada lagi kabupaten yang satu keluarga 7 orang menjadi anggota DPRD setempat. Kalau ketiga sumber kehidupan utama orang Papua dikuasai, maka apakah masih ada harapan hidup bagi orang Papua? Masa depan bagi orang Papua tentu sudah suram. Ini adalah contoh-contoh yang bisa menimbulkan kecemburuan social orang Papua, yang sudah terakumulasi sangat lama. Apakah anda tahu bahwa Kepala Daerah dan Pejabat di Papua tersandera dan disandera oleh para kontraktor dan anak buahnya? Mereka hamper semuanhya adalah pendatang. Para kontraktor itu menggunakan aparat negara untuk memuluskan proyek. Bahkan sudah ada pencairan uang terlebih dahulu sebelum proyek berjalan. Semua itu karena tekanan dan terror dari kontraktor melalui aparat. Bupati hampir dipastikan disandera Kepala Dinas yang anggarannya besar seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Keuangan. Mereka kerja sama dengan Polisi dan Jaksa, yang menteror Kepala Daerah dengan bukti penyalagunaan anggaran. Seakan-akan Bupati bermasalah. Ditunjukaan kepada Bupati surat panggilan palsu, SPDP Palsu. Akibatnya, kepala daerah ketakutan, sehingga selanjutnya hasil konspirasi merampok uang negara bermiliar-miliar. Seluruh Papua, auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) datang atau didatangi pejabat daerah untuk menyogok. Agar BPK mengeluarkan sebuah surat yang bernama “ telah selesai melakukan pemeriksaan”. Sekali lagi surat itu bernama “telah selesa melakukan pemeriksaan”. Padahal BPK tidak pernah periksa dan tidak pernah ada realisasinya. Akibatnya, semua rakyat Papua hari ini terheran-heran. Mengapa hampir semua kabupaten di Papua tiap tahun dapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)? Padahal mereka telah merampok uang rakyat Papua dalam jumlah yang besar tanpa pembangunan fisik. Aktor Intelektualnya (gurunya) itu adalah para pejabat non Papua. Kalau boleh saya jujur apa adanya, maka Rumah Sakit di Papua sudah dicap sebagai “tempat kematian”. Bukan tempat persemaian manusia. Bukan juga tempat kehidupan, apalagi rumah sakit pemerintah, termasuk milik Kepoisian. Sekarang rakyat Papua mulai curiga rumah sakit swasta sekalipun milik gereja. Orang Papua sangat takut ke rumah sakit. Mereka lebih memilih pengobatan alami. Telah lama rumah sakit dicurigai orang Papua sebagai tempat pembersihan etnis Papua (etnic cleansing). Rata-rata ibu muda yang pernah masuk rumah sakit saat hamil untuk melahirkan, namun tidak bisa melahirkan. Ada juga ibu orang Papua yang disuntik kesuburan tanpa persetujuan suami dan dirinya. Mungkin sang ibu ditanya saat mengalami kontraksi kesakitan mau melahirkan, sehingga tanpa sadar ibu tersebut mengiyakan untuk disuntik kesuburan. Memang rata-rata tampilan fisik bangunan dan didalam rumah sakit sangat “buluk”. Bahkan waktu saya dan Manager Nasution mantan anggota Komnas HAM sekarang di LPSK melihat langsung air kran di rumah sakit dok dua, rumah sakit nomor satu setanah Papua mati seminggu. Padahal air itu sangat vital. Kehidupan tanpa air, manusia pasti mati, apalagi di rumah sakit. Memang di dunia ini tenaga medis dan para medis itu istimewa. Mereka adalah wakil Tuhan di dunia. Namun untuk tanah Papua, tentu saja penilaian berbeda. Jangankan rumah sakit, orang Papua hari ini sudah kehilangan respek kepada Romo, apalagi Pendeta dan Kiyai. Telah lama suara kenabian hilang di tanah Papua Melanesia. Gereja telah menjadi alatnya penguasa. Gereja menjadi alat milik klik-klik misterius. Hambah Tuhan yang membela orang Papua mati mendadak di daerah pedalaman saat berhadapan dengan laras senjata. Tidak ada hukum negara di tanah Papua. Tidak ada keadilan dihadapan hukum bagi orang Papua. Keadilan hanya berlaku bagi mereka yang pendatang , kecuali orang Papua mau membayar “sogokan” kepada hakim, jaksa dan polisi. Orang Papua yang pejabat, begitu muda dan cepat dapat kuputusan pengadilan. Salinan keputusan hanya dalam hitungan hari sudah keluas. Sementara untuk orang Papua yang kecil dan miskin, begitu sulitnya mendapat keadilan. Hampir 58 tahun pengadilan yang menghukum orang non Papua atau aparat kepolisian, belum pernah saya lihat dan baca dokumennya. Padahal ada seorang anggota polisi yang dipenjara karena menyiksa dan membunuh di luar pengadilan (Extra Judicial Killing) dan selalu mendapat sorotan dunia. Namun tidak ditemukan dokumen putusan pengadilan. Semua rintihan, ratapan, kesedihan orang Papua terbungkam di kalbu rakyat Papua. Rakyat Papua tidak punya ruang ekspresi. Media massa dibungkam menjadi alat propaganda penguasa dan pendatang. Organisasi masyarakat sipil dan partai politik sebagai instrumen artikulator kepentingan rakyat Papua terbungkam. Kekebasan berekspresi menjadi sangat terbatas. Akibatnya, apa yang terjadi hari ini adalah meledaknya puncak gunung es yang sudah membeku dengan sangat lama sekali. Itu yang kurang di pahami negara dan rakyat Indonesia. Bangsa yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional lintas suku dan agama sepatutnya meminta negara untuk mencari solusi penyelesaian masalah Papua secara bermartabat. Penyelesaian yang lebih progresif. Bukan sebaliknya meminta represi militer di Papua. Kalau hanya meminta operasi militer, maka tidak perlu minta lagi. Karena operasi militer itu sudah terjadi selama 58 tahun di tanah Papua. Rakyat Papua sudah terbiasa saban hari hidup dalam ancaman di tanah tumpa darah mereka sendiri. Tanah Papua adalah tanah milik bangsa Melanesia. Saya harus jujur sampaikan bahwa kita ini terdiri dari dua ras yang berbeda, yaitu Ras Negro Melanesia dan Ras Mongoloid Melayu. Ibarat minyak dan air. Tidak akan pernah bisa bersatu, kecuali kalau rasisme, Papua phobia dan diskriminasi dihilangkan dari negara ini. Itu terasa tidak mungkin karena diskriminasi di negeri ini sudah terlalu akut. Penulis adalah Pembela Orang Lemah

Pernyataan Wiranto, Isyarat Rendahnya Kewarasan Pejabat Publik

Jika perintah konstitusi tidak bisa diwujudkan oleh negara, maka pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sebaiknya meletakkan jabatan saja. Apa lagi yang harus kami harapkan dari pemerintah saat ini? Pemerintah telah mengkonfirmasi kegagalannya dalam mewujudkan tujuan bernegera sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Oleh Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto beberpa waktu lalu terkait dengan penanganan pengunsi akibat gemba bumi di Maluku sangat miris mendengarnya. Pernyataan yang sangat tidak layak dan pantas disampaikan oleh seorang pejabat publik. Sebab pernyataan semacam itu menggambarkan rendahnya kewarasan pejabat publik. Pernyataan bahwa Wiranto “membebani pemerintah, pengunsi gempa bumi di Ambon sebaiknya kembali ke rumah”. Walaupun beberapa hari kemudian pernyataan tersebut diklarifikasi lagi oleh Wiranto. Namun masyarakat Ambon dan Maluku secara keseluruhan saat ini sudah terlanjur marah, kecewa, tidak percaya dan tidak simpati dengan lagi dengan Wiranto maupun pemerintah pusat. Bagi kami masyarakat Maluku, pernyataan Wiranto tersebut bukanlah suatu penyataan yang dianggap sederhana saja. Namun pernyataan tersebut sangat serius dari seorang Menkopolhukam sebagai representasi dari pemerintah. Pernyatan itu , sekaligus secara tidak langsung mengkonfirmasi bahwa hari ini pemerintah telah gagal dan tidak mampu untuk mengurus permasalahan bangsa dan negara. Kita mengetahui bahwa berbagai gejolak politik dan soasial saat ini terjadi di hampir setiap daerah. Ada demostrasi mahasiswa yang merebak di setiap wilayah. Kabut asap yang takujung reda akibat kebakaran hutan di Sumatera. Pembantaian terhadap masyarakat sipil pendatang, khususnya orang Minang dan Biugis di Wamewa Papua yang belum tuntas diselesaikan. Pemerintah terkesan lamban untuk mengatasi gejolak sosial yang terjadi di Papua, sehingga banyak korban yang berjatuhan. Bahkan menurut dugaan sementara, korban yang berjatuhan tidak saja di Kebupaten Wamena. Tetapi juga di daerah, khususnya di tempat pendulan emas, banyak masyarakat pendatang juga menjadi korban. Akumulasi dari berbagai permasalahan bangsa di atas tidak mampu ditangani secara serius dan benar okeh pemerintah, bahkan terkesan pemerintah mengalami kebingunan dan memperluhatkan ketidakprofesionalannya dalam mengurus permasalahan tersebut, sehingga pada puncaknya muncul pernyataan yang sungguh mengejutkan dari Menteri Polhukam tersebut. Sadar atau tidak pernyataan Wiranto tersebut telah mengkonfirmasi bahwa pemerintah telah gagal. Pemerintah tidak sanggup lagi untuk menjalankan amanat dan tujuan beregara sebagaimana tertera dalam Pe,mbukaan UUD 1945. Negara harus hadir untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jadi konsekuensi dari rumusan konstitusi tersebut diatas, harus diterjemahkan ke dalam setiap kebijakan pemerintah utuk menyikapi semua permasalahan yang muncul di tengah masyarakat. Pemerintah dalam mengambil sikap seharusnya : Pertama, negara harus meberikan jaminan kehidupan bagi setiap warga negara Indinesia secara adil dan makmur tanpa memandang siapa, dan dari mana tempat asalnya. Kedua, negara juga harus menjamin hak-hak warga negara menikmati pendidikan dan penghidupan yang layak. Negara tidak boleh membiarkan warganya hidupa menderita akibat tertimpah sebuah bencana satu menit sekalipun. Ketiga, negara menjamin keamanan warga negara dari ancaman bahaya baik itu dari luar maupun dari dalam negeri. Konsekuensi logis dari amanat konstitusi tersebut menunjukan bahwa siapapun orangnya, dimanapun wilayahnya, jika dia adalah warga negara Indonesia yang sedang diserang, mendapat ancaman, dan tertimpa musibah benca, maka negara harus hadir untuk memberikan perlu dungan yang layak. Haram hukumnya negara menunjukan sikap tidak mampuannya di depan publik. Kerana masyarakat sangat membutuhkan hadirnya negara untuk mengatasi permasalahan yang dialami warga negaranya. Jika perintah konstitusi tidak bisa diwujudkan oleh negara, maka pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sebaiknya meletakkan jabatan saja. Apa lagi yang harus kami harapkan dari pemerintah saat ini? Pemerintah telah mengkonfirmasi kegagalannya dalam mewujudkan tujuan bernegera sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Padahal warga negara sudah menyerahkan semua kekayaan alam baik yang di darat, laut, maupun udara untuk diatur dan dikelola oleh Negara. Semua kekayaan alam itu mutlak harus digunakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Tidak lain dari kesejahteran rakyat. Selanjutnya dalam konteks mengelola megara saat ini, jika saja pemerintah sudah menyerah. Tidak sanggup lagi mengurus warganya, maka sebaiknya pemerintah kembalikan saja semua urusan itu kepada warga negara sendiri. Apalagi kami warga di propinsi Maluku. Biarkanlah kami mengurus wilayah dan rakyat kami sendiri. Sebab sumber daya alam yang ada di Maluku sangat melimpah ruah. Kami rakyat Maluku sangat tidak layak dianggap seperti orang yang tidak memiliki apa-apa di mata pemerintahan ini. Bahkan sumberdaya manusia di Maluku sudah siap utuk mengelolah wilayahnya sendiri. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta

Federasi Wereng Dunia Mengutuk Keras Wereng Coklat Indonesia

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Federasi Wereng Dunia (World Planthoppers Federation atau WPF) kemarin mengutuk keras perilaku wereng coklat (wercok) Indonesia. WPF juga membekukan keanggotaan Asosiasi Wereng Indonesia (AWI) di organisasi wereng internasiona itu. Tindakan ini diambil karena perilaku wercok Indonesia sudah sangat keterlaluan. WPF mengeluarkan kecaman keras itu pada penutupan kongres ke-74 mereka yang berlangsung di Los Banos, tak jauh dari Manila, Filipina. Kongres ini dilaksanakan selama lima hari. Kongres 74 WPF luput dari perhatian media antara lain karena dipercepat mendadak mengingat perkembangan yang mencemaskan di Indonesia. Kongres wereng dunia kali ini dihadiri oleh utusan dari semua anggota. Ada 118 utusan nasional dari 118 negara. Tidak ada yang absen. Dan semua utusan dipimpin lanngsung oleh ketua umum nasional masing-masing. Padahal, di dalam kongres-kongres terdahulu, tidak pernah semua negara hadir. Semua kelompok wereng dari semua ideologi dan warna, datang ke kongres ini. Ada wereng putih yang berideologi kapitalisme. Ada wereng kuning dengan aliran marxisme-leninisme. Ada wereng hitam yang beraliran sosialis. Ada wereng ungu yang beraliran liberal, dlsb. Semuanya hadir. Kecuali Asosiasi Wereng Indonesia (AWI). Seekor jurubicara AWI mengatakan, mereka menolak hadir karena waktu kongres diubah. Namun, seekor wereng yang dekat dengan pengurus AWI mengatakan, AWI tidak mau mengirimkan utusan karena sudah tahu agenda kongres yang pasti memojokkan wercok Indonesia Dan, memang, ada satu hal yang menyatukan WPF di kongres ini. Yaitu perilaku wercok. Perhatian wereng internasional sangat serius terhadap perkembangan di Indonesia. Mereka bahkan mempercepat pelaksanaan kongres 74 ini dengan alasan perkembangan yang sangat mencemaskan di kalangan wereng wercok Indonesia. Seharusnya, kongres 74 dilaksanakan pada awal 2020. Sekjen WPA, Werrengbrutalou Kouklatakis (asal Yunani) membenarkan bahwa semua asosiasi nasional wereng di dunia sepakat mempercepat kongres karena ada masalah besar di Indonesia. Menurut Kouklatakis, tindak-tanduk wercok di Indonesia sangat mempermalukan masyarakat wereng internasional. Dan, agenda utama kongres 74 ini didominasi oleh sepak-terjang wercok di Indonesia. Menurut Sekjen, wereng dari semua warna dan aliran memang menjadi musuh tanaman padi di seluruh dunia. “Tetapi, apa-apa yang kami lakukan terhadap padi masih dalam batas-batas yang wajar,” kata Kouklatakis. Dia mengakui, di mana-mana wereng memang merusak banyak sawah rakyat. Namun tidak sampai membunuh manusia. “Bagaimana dengan wercok Indonesia? Lihat saja mereka brutal dan beringas. Sampai membuat manusia mati,” ujar Kouklatakis. Aats nama wereng dari semua warna dan semua idelogi di seluruh dunia, Sekjen WPA menyampaikan permintaan maaf kepada orang Indonesia atas perilaku kejam yang ditunjukkan oleh wercok. Dia mengatakan lagi, wercok ada di mana-mana. Tetapi, wercok di Indonesia sangat luar biasa. Kuoklatakis merasa heran mengapa wercok menjadi sangat ganas di Indonesia. Dia menduga, ada pihak yang telah mengubah gen wercok di sini. Sekjen berjanji akan melakukan penelitian genetika di kalangan wercok Indonesia. WPA juga mengeluarkan ultimatum keras. Kalau wercok tetap berperilaku brutal, sadis dan beringas, maka pihak WPF akan mengirimkan tim ilmuwan yang akan mengganti gen wercok Indonesia dengan gen terburuk. Di lingkungan wereng, mengganti gen adalah hukuman terberat. Sebab, apabila dilakukan penggantian gen, maka wercok akan berubah menjadi lemah dan pemalas. Yang menarik dari kongres wereng di Los Banos ini ialah pilihan tempatnya. Los Banos adalah kota kecil tempat berkantornya International Rice Research Institute (Institut Penelitian Padi Internasional atau IRRI). Dari sinilah dilahirkan berbagai varitas padi unggul yang dikenal dengan sebutan “IR”. Mengapa Federasi Wereng Dunia (WPF) memilih Los Banos? Menurut Kouklatakis, pilihan ini untuk menunjukkan simpati kepada tanaman padi. Selama ini padi adalah target wereng. Hari ini, komunitas wereng internasional bersatu padu dan ingin menyampaikan simpati kepada Indonesia. Dia mengatakan Indonesia memiliki jutaan hektar tanaman padi. Sayangnya, saat ini Indonesia sedang mengalami amukan wereng coklat, kata Kouklatakis.[03 September 2019)

TEMPO Benar, Buzzer Jokowi Berbahaya!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Judul tulisan Tempo.co, Sabtu (28/9/2019), Saatnya Menertibkan Buzzer, cukup menarik. Ini kali kesekian Tempo menulis berita secara objektif. Tidak ditutup-tutupi. Dalam tulisan ini Tempo menulis buzzer Joko Widodo yang membahayakan. Melansir Tempo, Jokowi harus mengendalikan pendengungnya, yang semakin lama semakin ngawur. Berpotensi merusak demokrasi. Tingkah buzzer pendukung Presiden Jokowi makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di medsos untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Para pendengung menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah. Para pendengung itulah yang pertama kali menyebarkan kabar tentang ambulans berlogo pemerintah DKI Jakarta yang berisi batu saat unjuk rasa pelajar sekolah menengah atas pekan lalu. Terekam oleh Drone Emprit, aplikasi pemantau percakapan di dunia maya. Cuitan mereka itu lebih cepat beberapa jam dibanding akun resmi TMC Polda Metro Jaya. Sebagian diantaranya mengolok-olok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang mereka perangi sejak pemilihan Gubernur DKI 2017. Belakangan, polisi menyatakan kabar itu tidak benar. Salah satu diantaranya penyebar kabar “tidak benar” itu adalah Denny Siregar. Lewat akun twiternya @Dennysiregar7, Ambulan pembawa batu ketangkap pake logo @DKIJakarta pukul 1.24 AM Sep 26, 2019. 2.16 AM Sep 26, 2019 @TMCPoldaMetro mengunggah: 02:14 Polri amankan 5 kendaraan ambulan milik Pemprov DKI Jakarta yang digunakan untuk mengangkut batu dan bensin yang diduga untuk molotov di dekat Gardu Tol Pejompongan Jl. Gatot Subroto. Peristiwa itu membuat Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum PMI kecewa. Apalagi, dalam video itu menuduh mobil ambulan milik PMI membawa batu dan bensin untuk massa saat bentrok dengan aparat kepolisian. Namun, setelah sempat diunggah di akun Twitter dan Instagram @TMCPoldaMetro, Kamis (26/9/2019) unggahan itu telah dihapus. Pengurus PMI Pusat Bidang Relawan Muhammad Muas mengatakan, Wapres JK merasa kecewa dengan tuduhan ini. JK minta kasus ini tuntas agar PMI di mata masyarakat tak menjadi buruk. “Dia kecewa juga. Sebagai Ketum PMI, dia kecewa bahwa hal-hal yang mungkin tidak diinginkan, terjadi. Gitu saja. PMI kan enggak mungkin ini ya (membawa batu). Relawan itu jujur kok,” katanya. Menurutnya, JK telah memerintahkan Menpan RB Syafruddin untuk mengklarifikasi bahwa tak ada ambulan milik PMI yang membawa batu dan bensin. “Justru saat mendapat informasi dia meminta Bang Syafruddin,” ungkap Muas. “Dia diminta telepon Pak Wahyu (Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Wahyu Hadiningrat). Pak JK tak mau ini selesai begitu saja. Cuma dia enggak mau langsung turun. Harus kami yang turun. Yang penting dia tegas menyatakan, ini harus diselesaikan,” tegas Muas. Dalam kasus seleksi calon pemimpin KPK dan revisi Undang-Undang KPK, seperti ditulis Tempo, para pendengung menyebarkan agitasi bahwa lembaga itu dikuasai kelompok agama garis keras yang mereka sebut Taliban. Mereka menyebut Novel Baswedan, penyidik yang dikenal gigih mengusut pelbagai kasus korupsi jumbo, sebagai antek khilafah. Kala timbul dukungan pada KPK, mereka menyerang para pendukung itu dengan memberi mereka label pendukung khilafah. Tempo memberitakan, sesungguhnya, para buzzer ini adalah produk gagal dari era kebebasan berpendapat. Memanfaatkan kemampuan menulis – sebagian diantara buzzer Jokowi adalah bekas wartawan – dan fanatisme pembacanya, mereka mengemas kabar bohong sedemikian rupa sehingga terlihat benar. Kadang disertakan pula bumbu “berdasarkan sumber intelijen”. Diterpa arus informasi yang masif dari para pendengung yang saling menggaungkan pesan, para pendukung Jokowi yang tidak melakukan verifikasi ikut-ikutan mendukung sikap tersebut dan menghujat mereka yang berbeda pandangan. Para pendengung agaknya punya hubungan kuat dengan penguasa dan aparat negara. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan profil pihak yang dianggap sebagai lawan, seperti kartu tanda penduduk, nomor telepon, bahkan jenis telepon seluler yang digunakan. Presiden Jokowi harus segera menertibkan para buzzer – yang sulit dipercaya keberadaannya tidak Presiden ketahui jika bukan dia kendalikan. Tanpa mereka pun, Jokowi sebenarnya tak perlu khawatir terhadap berbagai serangan di media sosial. Tempo News Room @tempo: Tingkah buzzer pendukung Presiden Joko Widodo makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Siapa Mereka Dari catatan Seword.com diketahui siapa saja yang selama ini disebut-sebut menjadi buzzer Presiden Jokowi. Dalam lima kali Debat Capres-Cawapres, “Lima kali pula kami berkumpul untuk nonton bersama. Membuat konten secara spontan, merespon setiap pernyataan.” Nama-nama yang disebut Seword antara lain: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Eko Kuntadhi, Habib Think, Salman Faris, Katakita, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Komik Kita, Komik Pinggiran, dan Sewordcom. Ada pula nama mantan wartawan KOMPAS yang kini menjadi owner beberapa situs online. “Semua datang dari berbagai daerah memenuhi panggilan Kakak Pembina,” tulis Seword. Kakak Pembina yang dimaksud adalah seorang pejabat Istana. “Tim ini memang tidak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini,” ungkap Seword. Didukung oleh tim desain, tim video, dan tim narasi, video, meme, serta artikel diproduksi secara cepat. “Hanya butuh sekian detik bagi kami untuk meng-upload video-video debat. Hanya butuh sekian menit untuk mengedit dan menghasilkan konten. Apalagi meme, segmen debat belum berakhir, meme sudah kita upload,” tulis Seword, Kamis (02 Mei 19 pukul 07: 36). Seperti halnya Averngers, setiap orang saling menjaga, menahan diri untuk tidak mengambil gambar. “Tapi saya pikir momen ini sayang untuk tidak dibagikan dan diceritakan,” ungkap Seword yang mengabadikan pertemuan saat Debat Capres-Cawapres itu. Jika menyimak jejak digital beberapa nama yang disebut di atas, seperti Denny Siregar, yang dikenal “kebal hukum” dan nyaris tidak pernah tersentuh hukum, meski beberapa kali Denny dilaporkan ke polisi. Tapi, hingga kini masih tetap aman-aman saja. Termasuk ketika Denny dengan tenangnya menyebar “berita salah” terkait ambulan Pemprov DKI Jakarta yang ternyata sudah diklarifikasi polisi sendiri. Mungkin itulah yang dimaksud Tempo dengan buzzer Jokowi membahayakan demokrasi! *

Aksi Mahasiswa dan Anak STM Akan Berlarut Seperti Hongkong?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Akankah aksi unjukrasa di Indonesia berlarut seperti aksi massa di Hongkong? Pertanyaan tersebut mencuat, menyusul sejumlah cuitan demonstan di Hongkong. Mereka menyatakan dukungan terhadap pengunjukrasa di Indonesia. Di media sosial beredar foto-foto dukungan mereka tertempel di Tembok Lennon (Lennon Wall). Tembok berisi ribuan pesan kertas post it itu merupakan simbol pergerakan demonstran Hongkong. Salah satunya bertuliskan: Support Indonesian Protesters. Dukung para pemrotes di Indonesia. Akun @alexhker menggunggah dua burung-burungan kertas, salah satunya berwarna merah putih dengan pesan: Hongkong is standing with Indonesia. @AJEnglish Before injustice, we stand as one! Stay strong, Indonesia Tanda-tanda bahwa unjukrasa di Indonesia akan berlarut seperti di Hongkong, sudah mulai nampak. Pesan video seorang mahasiswa kepada Presiden Jokowi dan anggota DPR, viral di medsos. Anak muda yang mengenakan jaket hijau army, dengan topi dan polesan odol di bawah mata, menyatakan aksi mereka ini hanyalah awal. Mereka tidak akan menyerah dan melakukan perlawanan lebih keras. “Selain melakukan judicial review, kami akan terus turun ke jalan,” tegasnya. Video itu tampaknya diambil tak jauh dari Gedung DPR RI saat berlangsung unjukrasa Senin (30/9). Sangat mirip Faktor penyebab dan ciri-ciri unjukrasa di Indonesia memang mirip dengan Hongkong. Bedanya skalanya lebih besar dan massif. Terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia. Aksi protes di Hongkong saat ini sudah memasuki pekan ke 14. Dipicu pemberlakuan UU ekstradisi oleh otoritas Hongkong. Di bawah UU itu seorang pelaku kejahatan di Hongkong bisa diekstradisi ke Cina daratan. Tak ada tanda-tanda aksi protes akan berhenti, kendati otoritas Hongkong telah membatalkan UU tersebut. Laman Financial Times (23/7) dalam artikel berjudul: Why Hong Kong’s protesting youth are so angry menyebut, isu UU ekstradisi hanya kendaraan bagi berbagai persoalan lain. Masa depan Hongkong yang akan bersatu dengan Cina daratan, membuat anak muda frustrasi dan penuh tanda tanya. Kemarahan pada sistem politik yang rusak; kurangnya peluang ekonomi; dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap daratan Cina. Negara yang secara teknis bagian dari model “satu negara, dengan dua sistem”. Rasa frustrasi itu telah terbangun sejak gerakan protes 2014. Ketika itu puluhan ribu pemuda Hongkong berkemah di jalan-jalan. Mereka menekan Beijing untuk sepenuhnya menjalankan pemilu yang demokratis di Hongkong. Protes itu dihancurkan. Pemimpin Hongkong memenjarakan para pemimpin gerakan. Menekan kebebasan, menghalangi politisi oposisi untuk bertarung dalam pemilu, dan mendiskualifikasi anggota parlemen pro-demokrasi terpilih karena dicurigai tidak loyal kepada Cina. Analis politik Sonny Lo mengatakan, otoritas Hongkong gagal memahami dan mengelola kebencian yang membara. “Mereka gagal sepenuhnya sebagai lembaga yang seharusnya menjembatani kesenjangan komunikasi antara elit yang berkuasa dan rakyat biasa," ujarnya. "Orang-orang muda sangat tidak puas dengan sistem - mereka merasa tidak adil. Tidak memiliki masa depan,” ujar Anthony Cheung, seorang profesor di Universitas Hongkong. Di Indonesia unjukrasa juga dipicu oleh pengesahan UU KPK dan terpilihnya pimpinan KPK yang baru. Mahasiswa turun ke jalan. Isunya cukup beragam. Mulai dari RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan Pertanahan. Juga ada RUU Penghapusan Kekerasan Sesksual (PKS) dan RUU Ketenagakerjaan. Pemerintah memutuskan untuk menunda pengesahan lima RUU tersebut. Jokowi setelah bertemu sejumlah tokoh, juga tengah mempertimbangkan untuk membatalkan UU KPK. Sebagai gantinya menerbitkan Perppu. Namun keputusan menerbitkan Perppu itu mendapat perlawanan partai-partai pengusung Jokowi, terutama dari PDIP. Undangan Jokowi untuk bertemu mahasiswa di istana ditolak. Andaikata Jokowi menerbitkan Perppu pun, tampaknya tak akan meredakan aksi turun ke jalan. Sudah terlambat! Mahasiswa sudah terlanjur marah terhadap perlakuan aparat kepolisian. Tewasnya beberapa orang pengunjukrasa di Kendari, Makassar, dan Jakarta membuat mereka sampai pada kesimpulan: Pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan dzalim. “Pemerintahan yang melindungi dan menafkahi para koruptor,” seperti dikatakan mahasiswa berjaket hijau tadi. Bila selama ini mahasiswa menjaga jarak dengan proses kontestasi kekuasaan, kini mereka bersentuhan, bahkan berhadapan langsung dengan kekuasaan. Perlakuan brutal dari aparat kepolisian ketika mengamankan aksi unjukrasa, membuat mereka tersadar. Ada yang salah dengan rezim ini dalam mengelola negara. Situasinya kian pelik karena pelajar, terutama anak-anak STM ikut turun ke jalan. Anak STM adalah representasi kelas marjinal. Mereka adalah kelompok underdog yang terpinggirkan. Orang tua mereka adalah kelas pekerja yang menjadi korban langsung berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi. Beban hidup kian berat akibat harga-harga yang melambung, tarif listrik dan BBM yang terus naik, semakin meningkatnya pengangguran, adalah bagian hidup keseharian mereka. Realitas hidup yang berat, ditambah masa depan yang tidak pasti, membuat mereka menemukan katarsis melalui aksi unjukrasa. Jadilah seperti yang kita saksikan. Mereka seperti tak kenal rasa takut. Dengan penuh percaya diri berhadapan dengan polisi. Tak jarang kita menyaksikan adegan yang selama ini hanya bisa kita saksikan dalam gerakan Intifada di Palestina atau aksi protes di Hongkong. Anak-anak STM dengan bersenjata batu, kayu dan bambu berhadapan dengan anggota Brimob dengan persenjataan lengkap. Mereka menghadang water canon, adu berani menghadang gas air mata, dan melakukan tendangan salto ala jagoan kungfu menerjang barisan pasukan Brimob yang berlindung di balik tameng. Mereka seperti menemukan arena bermain baru yang lebih menantang. Pamer nyali, menggantikan kegiatan tawuran. Suasananya penuh kegembiraan. Adrenalin mereka terpacu dan mendapat penyaluran. Di medsos beredar video anak-anak STM ini membawa tameng hasil rampasan dari pasukan Brimob. Ada pula yang menggunakannya sebagai kereta luncur ditarik sepeda motor. Riang gembira. Seperti generasi muda Hongkong, anak-anak muda ini juga sedang meluapkan rasa frustrasinya, akibat masa depan yang tak menentu. Sayangnya pemerintah— seperti halnya otoritas Hongkong— gagal memahami akar persoalan, dan tak mampu berkomunikasi dengan baik. Yang dikedepankan justru sikap represif. Mencari-cari justifikasi. Menyatakan ada kelompok yang menunggangi. Mahasiswa yang kritis, kecewa dan tak puas terhadap elit politik dan pemerintah, anak-anak STM yang frustrasi, terpinggirkan, adalah kelompok-kelompok yang kini tengah dihadapi pemerintah. Anak-anak muda dan remaja ini bukanlah para petualang politik, pencari rente dan remah-remah kekuasaan. Mudah ditaklukkan dengan cara diundang ke istana dan diberi janji-janji serta konsesi politik tertentu. Mereka tidak silau oleh kekuasaan dan janji-janji manis penguasa. Mereka akan terus melawan selama pemerintah dianggap menyimpang. Mereka akan terus turun ke jalan, selama pemerintah tidak menunjukkan langkah konkrit memperbaiki keadaan dan menegakkan keadilan. End