NASIONAL

Yang Perlu Diperkuat Itu TNI, Bukan Polisi

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kalau Presiden Indonesia paham, siapa pun presidennya, seharusnya dia memperkuat TNI. Bukan memperkuat Polisi. Memperkuat salah satu diantara kedua institusi ini menunjukkan jalan pikiran penguasa. Menunjukkan jalan pikiran presiden. Sekali lagi, siapa pun presidennya. Kalau presiden tidak punya jalan pikiran, berarti menunjukkan jalan pikiran pembisik dan sponsornya. Memperkuat TNI atau Polisi memperlihatkan dua perbedaan yang kontras. Perbedaan antara kecerdasan dan kedunguan. Perbedaan antara niat baik dan niat buruk. Presiden yang memperkuat militer adalah pemimpin yang mengerti percaturan global. Dia cerdas. Dia paham tentang ancaman terhadap eksistensi negaranya. Dia paham tentang perlunya menjaga kedaulatan dan wibawa negara dan bangsanya. Karena itu, dia pantas dikatakan punya niat baik. Sebaliknya, presiden yang memperkuat Polisi adalah pemimpin yang tak paham ancaman eksternal. Dia tak mengerti atau seolah tak mengerti tentang ancaman terhadap kedaulatan negara. Dia tak mengerti bahwa negara-negara besar dan kuat selalu punya ambisi teritorial. Lihat saja pertikaian wilayah yang tak pernah selesai. Di mana-mana. Di Asia, kita bisa baca kegigihan RRC untuk memperluas wilayah. Mereka tak segan-segan mengklaim pulau-pulau atau wilayah laut yang selama ini bukan milik mereka. Mengapa RRC berani dan percaya diri? Karena mereka merasa kuat. Dan militer mereka memang kuat. Terkuat kedua di dunia. Setujulah kita bahwa Indonesia tidak mungkin dan tak perlu menjadi seperti China dalam hal kekuatan militer. Tetapi, janganlah pula sampai seperti Papua Nugini, Laos atau Maladewa. Pantaskah negara sebegini besar dan kaya sumber daya alam cuma punya militer yang hanya bisa bertahan tiga hari? Sangat memalukan. Juga menakutkan. Kalau misalnya hari ini militer RRC mendarat, lusanya kita langsung menyerah. Ah, kalau RRC dijadikan ukuran, pastilah militer Indonesia hancur dalam beberapa hari. Ok. Kita lihat Singapura. Mereka punya 319 pesawat tempur. Semuanya mutakhir. AU negara sebesar Jakarta minus Bodetabek dengan penduduk 5 juta jiwa ini termasuk yang terkuat di dunia. Dengan personel AU hampir 15,000 orang. Mereka memiliki 60 pesawat F-16C/D dan 40 pesawat F-15SG yang dirancang khusus untuk AU Singapura. Angkatan daratnya berkekuatan 72,000 personel aktif. Plus hampir 400,000 personel wamil. Mereka memiliki peralatan perang AD yang tercanggih. Angkatan lautnya yang terbaik di Asia Tenggara. Ada 6 kapal frigat siluman (stealth) dan sejumlah kapal selam berteknologi tinggi. Tahun lalu, anggaran pertahanan Singapura mencapai lebih 210 triliun rupiah (bandingkan dengan anggaran pertahanan Indonesia yang hanya 131 triliun untuk 2020). Begitulah visi para pemimpin negara kota ini tentang pertahanan. Dari sejak mereka merdeka sampai sekarang. Dengan begitu, tidak ada yang berani coba-coba mengganggu Singapura. Demikian pula Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dll. Mereka sadar betul bahwa memperkuat militer adalah “tertib hukum alam” yang wajib mereka lakukan. Sebab, siapa pun yang menjadi presiden atau perdana menteri di negara-negara itu, mereka paham tentang kedaulatan dan martabat negara. Mereka mengerti bahwa ada banyak negara lain yang akan menggertak atau membully kalau kekuatan militer mereka hanya berkelas kacangan. Begitulah para pemimpin negara-negara yang punya niat baik. Niat baik untuk melindungi bangsa dan rakyatnya. Anehnya, selama lima tahun ini penguasa Indonesia sibuk memperkuat Polisi. Dari waktu ke waktu, dana tahunan untuk kepolisian diperbesar terus-menerus. Diperkuat peralatan, pelatihan dan jumlah personelnya. Hari ini, pimpinan Polri bangga menyebutkan bahwa polisi Indonesia adalah yang terkuat kedua di dunia setelah polisi RRC. Polri memiliki 430,000 personel. Sedangkan TNI gabungan ketiga angkatan hanya punya 455,000 personel. Nah, kira-kira apa tujuan Presiden Jokowi memperkuat Polisi? Untuk melawan agresi asingkah? Menghadapi invasi militer Amerika atau RRC? Atau untuk mengimbangi kekutan militer Singapura? Tentu tidak. Tak mungkin. Pasti tidak itu tujuan Jokowi memperkuat Polisi. Yang jelas tampak saat ini adalah bahwa polisi cenderung menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menyakiti rakyat. Ini terbukti dari cara polisi menangani rangakaian unjuk rasa belum lama berselang. Jokowi tampaknya perlu disadarkan bahwa musuh negara itu bukan rakyat. Bukan para pendemo. Bukan juga para ulama dan umat Islam. Yang menjadi ancaman itu bukan rakyat sendiri. Melainkan kekuatan asing yang sangat ingin menguasai sumber daya alam Indonesia. Yang sangat ingin menguasa wilayah darat dan laut negara ini. Jadi, yang perlu diperkuat itu adalah TNI. Bukan polisi. Sekali lagi, Dirgahayu TNI.[] 5 Oktober 2019

TNI 74 Tahun: Rakyat Paham Kalian Masih Menunggu

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salam hormat, TNI. Kami ingat hari jadi kalian, 5 Oktober. Tapi, terus terang, kami tak tahu hari jadi mereka. Dan, alhamdulillah sekali kami tak tahu hari jadi mereka itu. Tidak tertarik juga, soalnya. Dan, bukan sekadar tak tertarik. Rakyat malah mendoakan agar mereka segera diazab Allah SWT atas kesadisan, kebrutalan, kekejaman, dan kezaliman yang mereka lakukan terhadap rakyat. Terhadap orang-orang lemah dan para ulama garis lurus. Lihat saja kalau seorang pendemo terkepung dan tertangkap oleh mereka. Habis mereka keroyok. Ramai-ramai mereka pukuli. Mereka tendang dengan sepatu laras. Mereka gebuki dengan pentungan sampai bocor. Sungguh biadab. Tapi, anehnya, penguasa negeri ini sangat suka pada mereka. Senang melihat mereka beringas terhadap rakyat. Suka melihat mereka main tembak mati. Bahkan, penguasa memberikan insentif kepada mereka. Alokasi anggaran untuk mereka sangat besar. Tidak seperti TNI yang harus urut dada soal besaran anggaran tahunan. Penguasa memang memberikan status “anak emas” kepada mereka. Tumben, untuk tahun depan (2020), kalian dapat anggaran 131.2 triliun. Memang jumlah ini terbesar di antara semua kementerian atau lembaga negara. Tapi ini ‘kan harus dibagi empat. Untuk Kemenhan, untuk TNI-AD, TNI-AL, dan TNI-AU. Padahal, ketiga angkatan harus membeli begitu banyak alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang harganya mahal-mahal. Sudahlah. Tidak apa-apa. Anggaran kalian boleh kecil. Tapi, dukungan dan simpati rakyat sangat besar. Rasa cinta rakyat sangat besar kepada TNI. Ini yang tidak ada pada mereka. Spontanitas kalian memberikan perlindungan kepada orang yang dikejar-kejar oleh mereka, membuat rakyat bahagia meskipun banyak yang berdarah-darah. Sebaliknya, rakyat malah sudah sangat marah kepada mereka. Ada yang “benci stadium 4” pada mereka. Itu semua karena ulah mereka sebdiri yang sangat menjijikkan. Sangat memuakkan. Sangat brutal. Kalian di lingkungan TNI tahu persis betapa aroganya mereka. Betapa angkuhnya mereka. Tiap hari kalian saksikan langsung di jalanan. Kalian semua malah tampak ingin menampar mereka. Rakyat tahu dan melihat bahwa kalian pun sudah mendidih. Syukurlah, kalian masih bisa tenang. Menahan diri. Kalau kalian mau, kalian bisa patahkan leher mereka. Tapi, kalian tidak seperti mereka. Kaliana tidak angkuh seperti mereka. Kalian tidak mudah hilang akal seperti mereka. Kalian, TNI, punya martabat. Kalian memiliki akal sehat. Kalian paham kapan harus bertindak untuk menjinakkan kesadisan mereka kepada rakyat. Kalian tahu kapan itu harus dilakukan. Rakyat pun paham. Rakyat mengerti. TNI masih menunggu saat yang tepat. Dirgahayu TNI. Selalu bersama rakyat! Hidup-mati bersama rakyat! 5 Oktober 2019

Keterlaluan: Membantu Orang Terjepit Dihukum Penjara

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ada kabar yang sangat memprihatinkan. Luput dari pemberitaan besar karena rangkaian unjuk rasa belum lama ini. Peristiwa itu terjadi pada 19 September 2019. Tak sesuai dengan akal sehat. Orang yang menolong orang lain yang sedang terjepit, dihukum penjara. Itulah yang dialami oleh 29 karyawan Sarinah, Jakarta, yang dinyatakan bersalah hanya karena membolehkan para pendemo masuk ke gedung Sarinah ketika berlangsung aksi 21-22 Mei 2019. Pengadilan di Jakarta menyatakan mereka bersalah membantu orang-orang yang melakukan perlawanan terhadap aparat negara. Para pengunjuk rasa masuk ke gedung itu sekadar untuk membasuh muka mereka. Mungkin juga sekadar melepas dahaga. Tapi, bagi penguasa, sikap alami yang ditunjukkan oleh para karyawan Sarinah itu dipelintir menjadi perbuatan pidana. Mereka didakwa membantu para pendemo melawan aparat. Sikap spontan memberikan bantuan itu dihukum penjara 4 bulan 3 hari. Bahkan, hampir saja dihukum 8 bulan. Logika penguasa adalah bahwa dengan masuk ke Sarinah dan mendapatkan air, maka para pendemo kembali segar untuk turun ke jalan. Luar biasa sekali. Entah dari mana pemikiran seperti ini diadopsi oleh para penegak hukum. Jelas sekali logika penguasa dan citarasa keadilan penegak hukum mengalami “gangguan serius”. Para pengunjuk rasa jelas bukan teroris. Mereka turun ke jalan karena merasa ketidakadilan merajalela di negeri ini. Mereka bukanlah ancaman bagi aparat keamanan. Para pendemo yang dibantu oleh 29 karyawan Sarinah itu bukanlah orang yang sedang melancarkan gerakan untuk menghancukan negara dan pemerintah. Mereka bukan pelaku makar. Seterusnya, para karyawan Sarinah itu bukanlah orang-orang yang telah lebih dulu mempersiapkan diri untuk membantu para pengunjuk rasa agar mereka bisa lebih anarkis lagi. Mereka hanya bereaksi spontan. Para karyawan itu hanya membaca fakta yang polos. Bahwa pada saat itu sedang terjadi perseteruan antara aparat negara yang kuat dengan peralatan lengkap versus pendemo tangan kosong. Hanya memberikan air yang mereka lakukan. Sama seperti para petugas yang memberikan pertolongan kepada siapa pun juga tanpa melihat latarbelakang politik mereka. Hanya berupa bantuan kemanusiaan. Ternyata, kehancuran akal sehat para penguasa memang sudah lebur total. Tak bisa dikenali lagi. Tidak ada lagi pertanda akal sehat itu ada. Sabarlah kalian wahai para karyawan Sarinah. Kalian dipaksa menjadi terpidana karena perbuatan mulia Anda. Kalian pasti sudah selalu dengar bahwa akan ada suatu zaman yang semua serba terbalik. Yang benar dikatakan salah, yang salah dikatakan benar. Orang yang amanah tak diberi kepercayaan. Sebaliknya, para penipu diberi mandat.[] 04 Oktober 2019

Mengapa Orang Papua Marah Kepada Pendatang?

Catatan ini ingin dibaca oleh Bapak Ir. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia 2019-2024 Oleh Natalius Pigai Jakarta, FNN - Tulisan ini saya tulis berdasarkan realitas yang dihadapi rakyat Papua. Saya telah melihat langsung, memantau, mendengar dan mencatat. Dimana seluruh isinya cek langsung ke rakyat Papua. Juga cerita-cerita dengan tidak kurang dari delapan Bupati dan mantan Bupati, serta pejabat masih aktif di pemerinhan Papua. Saya menulis ini adalah kontribusi saya sebagai penyelidik professional. Saya juga pernah menangani tidak kurang dari lima belas ribu kasus Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Tulisan ini sebagai kontribusi saya untuk kebaikan dan perbaikan bersama (bonum commune). Lima puluh delapan tahun hidup dalam nestapa. Ratusan ribu orang Papua telah dibantai. Tragisnya, pembantaian tersebut, hanya didasari atas kebencian dan rasisme terhadap bangsa Papua, yang berkulit hitam dan rambut keriting. Kata-kata yang mengandung kekerasan verbal dengan sebutan monyet, kera, gorila, bahkan kete, telah lama diterima orang Papua. Pelakunya tidak hanya rakyat sipil biasa, tetapi justru dilakukan oleh aparat negara baik di Papua maupun di luar Papua. Makin lama pendatang bersikap, berperilaku dan berbuat rasis, dan dibalas dengan sikap segregatif rakyat Papua sebagai ungkapan sakit hati. Lebih ironis lagi aparat Intelijen, TNI dan Polri menjadikan kaum pendatang sebagai mitra, informen bahkan pasukan milisia. Secara sengaja atau tidak, aparat menggiring orang-orang sipil pendatang, yang tidak berdosa, dan sedang mengadu nasib di tanah Papua sebagai kelompok milisia. Itulah pemicu kebencian akut rakyat Papua terhadap pendatang. Jadi, mengapa hari ini bangsa Orang Papua dicaci maki, dicemooh, dimusuhi?. Mengapa tidak marah kepada aparat negara yang menggiring pendatang, rakyat sipil tidak berdoa bermain dalam bara api di Papua yang memang wilayah konflik. Mengapa semua bisu terhadap rilaku aparat ini? Mengapa seuma berdiam diri menganai prilaku buruk dari aparat intelijen kita ini Pernahkah kita tahu bahwa di Wamena, pusat kota dan di daerah lainnya HIV/AIDS berkembang cepat mengancam kepunahan bangsa Papua Melanesia? Bukan karena wanita-wanita melayu penjajah seks komersial menjual diri di “lokalisasi”. Karena memang tidak ada lokalisasi di Wamena. Namun mereka bikin gubuk-gubuk kecil di kios-kios, dan rumah makan pendatang. Ada istilah di rumah makan, mas mau makan apa? Daging mentah atau masak? Kalo daging mentah berarti berdagang seks. Sedangkan daging masak berarti makanan sebenarnya. Itulah ilustrasinya jika orang asli Papua makan. Ketika terjadi aksi protes oleh orang Papua di pusat-pusat kota, aparat sering kali intai orang Papua dari rumah-rumah pendatang. Atau di kios-kios, dan rumah makan pendatang. Seringkali memberondong peluru dari tempat-tempat tersebut ke arah orang Papua. Sudah terlalu banyak orang Papua mati karena pola-pola seperti ini. Cara-cara ini disaksikan oleh orang Papua. Memang Papua ini kota-kotanya kecil semua. Bila terjadi hal-hal seperti ini, dapat disaksikan dengan mudah, gampang, kasat mata, dan terang benderang. Tutur lisan menyebar seantero orang Papua dan modus-modus ini diketahui luas. Sekali lagi bukan murni prilaku pendatang. Tetapi pendatang yang digiring oleh aparat yang beroperasi di Papau. Mau tidak mau “harus manut”, apalagi ini wilayah konflik. Namun salah satu kelakuan yang tidak elok dipertontonkan para pendatang adalah dikala konflik atau cek cok mulut dengan orang Papua. Para pendatang selalu meminta atau berlindung dibalik laras senjata. Mereka tidak menempu jalur hokum. Saya tidak pernah menemukan orang pendatang melapor atau mencari keadilan di pengadilan melawan orang Papua secara fair. Judi togel marak dimana-mana di kota-kota Papua. Jualan minuman keras dikelola pendatang dibekingi oleh aparat. Pemandangan atas prilaku aparat yang seperti selalu menjadi tontongan menarik di seluruh wilayah Papua. Tidak mengherankan kalau kenyataan ini menimbulkan problem sosial di masyarakat. Apakah kita pernah tahu bahwa daerah penambangan liar dikuasai pendatang ? Jual minuman keras, peredaran narkotika, bahkan prostitusi seperti di Degeuwo, Tembagapura, daerah Mamberamo selalu dibekingi oleh aparat? Aparat membeckingi orang luar Papua untuk menguasai 3 sumber utama milik orang Papua. Pertama, merampas sumber daya alam dengan melakukan penambangan liar (ilegal mining), pengambilan ikan secara liar dan pengambilan kayu secara ilegal. Kedua, merampas sumber daya ekonomi orang Papua di seluruh pusat-pusat kota. Distribusi barang dan jasa dikuasai pendatang, sumber-sumber ekonomi juga dikuasai pendatang. Kios, pasar bahkan angkot dan ojek dikuasai pendatang. Ketiga, merampas hak politik rakyat Papua. Perampasan hari ini sudah merambah ke dunia birokrasi dan politik. Pendatang terlalu haus terhadap kekuasaan. Merejka mau menjadi Bupati, Wakil Bupati, DPR dengan cara sogok. Menghamburkan uang sana-sini untuk menguasai hasil pemilu. Pemilu hari ini nyaris dikuasai oleh kaum pendatang. Faktanya, ada kabupaten yang anggota DPR-nya nyaris hampir 100% adalah pendatang. Selain itu, ada lagi kabupaten yang satu keluarga 7 orang menjadi anggota DPRD setempat. Kalau ketiga sumber kehidupan utama orang Papua dikuasai, maka apakah masih ada harapan hidup bagi orang Papua? Masa depan bagi orang Papua tentu sudah suram. Ini adalah contoh-contoh yang bisa menimbulkan kecemburuan social orang Papua, yang sudah terakumulasi sangat lama. Apakah anda tahu bahwa Kepala Daerah dan Pejabat di Papua tersandera dan disandera oleh para kontraktor dan anak buahnya? Mereka hamper semuanhya adalah pendatang. Para kontraktor itu menggunakan aparat negara untuk memuluskan proyek. Bahkan sudah ada pencairan uang terlebih dahulu sebelum proyek berjalan. Semua itu karena tekanan dan terror dari kontraktor melalui aparat. Bupati hampir dipastikan disandera Kepala Dinas yang anggarannya besar seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Keuangan. Mereka kerja sama dengan Polisi dan Jaksa, yang menteror Kepala Daerah dengan bukti penyalagunaan anggaran. Seakan-akan Bupati bermasalah. Ditunjukaan kepada Bupati surat panggilan palsu, SPDP Palsu. Akibatnya, kepala daerah ketakutan, sehingga selanjutnya hasil konspirasi merampok uang negara bermiliar-miliar. Seluruh Papua, auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) datang atau didatangi pejabat daerah untuk menyogok. Agar BPK mengeluarkan sebuah surat yang bernama “ telah selesai melakukan pemeriksaan”. Sekali lagi surat itu bernama “telah selesa melakukan pemeriksaan”. Padahal BPK tidak pernah periksa dan tidak pernah ada realisasinya. Akibatnya, semua rakyat Papua hari ini terheran-heran. Mengapa hampir semua kabupaten di Papua tiap tahun dapat predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian)? Padahal mereka telah merampok uang rakyat Papua dalam jumlah yang besar tanpa pembangunan fisik. Aktor Intelektualnya (gurunya) itu adalah para pejabat non Papua. Kalau boleh saya jujur apa adanya, maka Rumah Sakit di Papua sudah dicap sebagai “tempat kematian”. Bukan tempat persemaian manusia. Bukan juga tempat kehidupan, apalagi rumah sakit pemerintah, termasuk milik Kepoisian. Sekarang rakyat Papua mulai curiga rumah sakit swasta sekalipun milik gereja. Orang Papua sangat takut ke rumah sakit. Mereka lebih memilih pengobatan alami. Telah lama rumah sakit dicurigai orang Papua sebagai tempat pembersihan etnis Papua (etnic cleansing). Rata-rata ibu muda yang pernah masuk rumah sakit saat hamil untuk melahirkan, namun tidak bisa melahirkan. Ada juga ibu orang Papua yang disuntik kesuburan tanpa persetujuan suami dan dirinya. Mungkin sang ibu ditanya saat mengalami kontraksi kesakitan mau melahirkan, sehingga tanpa sadar ibu tersebut mengiyakan untuk disuntik kesuburan. Memang rata-rata tampilan fisik bangunan dan didalam rumah sakit sangat “buluk”. Bahkan waktu saya dan Manager Nasution mantan anggota Komnas HAM sekarang di LPSK melihat langsung air kran di rumah sakit dok dua, rumah sakit nomor satu setanah Papua mati seminggu. Padahal air itu sangat vital. Kehidupan tanpa air, manusia pasti mati, apalagi di rumah sakit. Memang di dunia ini tenaga medis dan para medis itu istimewa. Mereka adalah wakil Tuhan di dunia. Namun untuk tanah Papua, tentu saja penilaian berbeda. Jangankan rumah sakit, orang Papua hari ini sudah kehilangan respek kepada Romo, apalagi Pendeta dan Kiyai. Telah lama suara kenabian hilang di tanah Papua Melanesia. Gereja telah menjadi alatnya penguasa. Gereja menjadi alat milik klik-klik misterius. Hambah Tuhan yang membela orang Papua mati mendadak di daerah pedalaman saat berhadapan dengan laras senjata. Tidak ada hukum negara di tanah Papua. Tidak ada keadilan dihadapan hukum bagi orang Papua. Keadilan hanya berlaku bagi mereka yang pendatang , kecuali orang Papua mau membayar “sogokan” kepada hakim, jaksa dan polisi. Orang Papua yang pejabat, begitu muda dan cepat dapat kuputusan pengadilan. Salinan keputusan hanya dalam hitungan hari sudah keluas. Sementara untuk orang Papua yang kecil dan miskin, begitu sulitnya mendapat keadilan. Hampir 58 tahun pengadilan yang menghukum orang non Papua atau aparat kepolisian, belum pernah saya lihat dan baca dokumennya. Padahal ada seorang anggota polisi yang dipenjara karena menyiksa dan membunuh di luar pengadilan (Extra Judicial Killing) dan selalu mendapat sorotan dunia. Namun tidak ditemukan dokumen putusan pengadilan. Semua rintihan, ratapan, kesedihan orang Papua terbungkam di kalbu rakyat Papua. Rakyat Papua tidak punya ruang ekspresi. Media massa dibungkam menjadi alat propaganda penguasa dan pendatang. Organisasi masyarakat sipil dan partai politik sebagai instrumen artikulator kepentingan rakyat Papua terbungkam. Kekebasan berekspresi menjadi sangat terbatas. Akibatnya, apa yang terjadi hari ini adalah meledaknya puncak gunung es yang sudah membeku dengan sangat lama sekali. Itu yang kurang di pahami negara dan rakyat Indonesia. Bangsa yang terdiri dari tokoh-tokoh nasional lintas suku dan agama sepatutnya meminta negara untuk mencari solusi penyelesaian masalah Papua secara bermartabat. Penyelesaian yang lebih progresif. Bukan sebaliknya meminta represi militer di Papua. Kalau hanya meminta operasi militer, maka tidak perlu minta lagi. Karena operasi militer itu sudah terjadi selama 58 tahun di tanah Papua. Rakyat Papua sudah terbiasa saban hari hidup dalam ancaman di tanah tumpa darah mereka sendiri. Tanah Papua adalah tanah milik bangsa Melanesia. Saya harus jujur sampaikan bahwa kita ini terdiri dari dua ras yang berbeda, yaitu Ras Negro Melanesia dan Ras Mongoloid Melayu. Ibarat minyak dan air. Tidak akan pernah bisa bersatu, kecuali kalau rasisme, Papua phobia dan diskriminasi dihilangkan dari negara ini. Itu terasa tidak mungkin karena diskriminasi di negeri ini sudah terlalu akut. Penulis adalah Pembela Orang Lemah

Pernyataan Wiranto, Isyarat Rendahnya Kewarasan Pejabat Publik

Jika perintah konstitusi tidak bisa diwujudkan oleh negara, maka pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sebaiknya meletakkan jabatan saja. Apa lagi yang harus kami harapkan dari pemerintah saat ini? Pemerintah telah mengkonfirmasi kegagalannya dalam mewujudkan tujuan bernegera sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Oleh Dr. Ismail Rumadan Jakarta, FNN - Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto beberpa waktu lalu terkait dengan penanganan pengunsi akibat gemba bumi di Maluku sangat miris mendengarnya. Pernyataan yang sangat tidak layak dan pantas disampaikan oleh seorang pejabat publik. Sebab pernyataan semacam itu menggambarkan rendahnya kewarasan pejabat publik. Pernyataan bahwa Wiranto “membebani pemerintah, pengunsi gempa bumi di Ambon sebaiknya kembali ke rumah”. Walaupun beberapa hari kemudian pernyataan tersebut diklarifikasi lagi oleh Wiranto. Namun masyarakat Ambon dan Maluku secara keseluruhan saat ini sudah terlanjur marah, kecewa, tidak percaya dan tidak simpati dengan lagi dengan Wiranto maupun pemerintah pusat. Bagi kami masyarakat Maluku, pernyataan Wiranto tersebut bukanlah suatu penyataan yang dianggap sederhana saja. Namun pernyataan tersebut sangat serius dari seorang Menkopolhukam sebagai representasi dari pemerintah. Pernyatan itu , sekaligus secara tidak langsung mengkonfirmasi bahwa hari ini pemerintah telah gagal dan tidak mampu untuk mengurus permasalahan bangsa dan negara. Kita mengetahui bahwa berbagai gejolak politik dan soasial saat ini terjadi di hampir setiap daerah. Ada demostrasi mahasiswa yang merebak di setiap wilayah. Kabut asap yang takujung reda akibat kebakaran hutan di Sumatera. Pembantaian terhadap masyarakat sipil pendatang, khususnya orang Minang dan Biugis di Wamewa Papua yang belum tuntas diselesaikan. Pemerintah terkesan lamban untuk mengatasi gejolak sosial yang terjadi di Papua, sehingga banyak korban yang berjatuhan. Bahkan menurut dugaan sementara, korban yang berjatuhan tidak saja di Kebupaten Wamena. Tetapi juga di daerah, khususnya di tempat pendulan emas, banyak masyarakat pendatang juga menjadi korban. Akumulasi dari berbagai permasalahan bangsa di atas tidak mampu ditangani secara serius dan benar okeh pemerintah, bahkan terkesan pemerintah mengalami kebingunan dan memperluhatkan ketidakprofesionalannya dalam mengurus permasalahan tersebut, sehingga pada puncaknya muncul pernyataan yang sungguh mengejutkan dari Menteri Polhukam tersebut. Sadar atau tidak pernyataan Wiranto tersebut telah mengkonfirmasi bahwa pemerintah telah gagal. Pemerintah tidak sanggup lagi untuk menjalankan amanat dan tujuan beregara sebagaimana tertera dalam Pe,mbukaan UUD 1945. Negara harus hadir untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Jadi konsekuensi dari rumusan konstitusi tersebut diatas, harus diterjemahkan ke dalam setiap kebijakan pemerintah utuk menyikapi semua permasalahan yang muncul di tengah masyarakat. Pemerintah dalam mengambil sikap seharusnya : Pertama, negara harus meberikan jaminan kehidupan bagi setiap warga negara Indinesia secara adil dan makmur tanpa memandang siapa, dan dari mana tempat asalnya. Kedua, negara juga harus menjamin hak-hak warga negara menikmati pendidikan dan penghidupan yang layak. Negara tidak boleh membiarkan warganya hidupa menderita akibat tertimpah sebuah bencana satu menit sekalipun. Ketiga, negara menjamin keamanan warga negara dari ancaman bahaya baik itu dari luar maupun dari dalam negeri. Konsekuensi logis dari amanat konstitusi tersebut menunjukan bahwa siapapun orangnya, dimanapun wilayahnya, jika dia adalah warga negara Indonesia yang sedang diserang, mendapat ancaman, dan tertimpa musibah benca, maka negara harus hadir untuk memberikan perlu dungan yang layak. Haram hukumnya negara menunjukan sikap tidak mampuannya di depan publik. Kerana masyarakat sangat membutuhkan hadirnya negara untuk mengatasi permasalahan yang dialami warga negaranya. Jika perintah konstitusi tidak bisa diwujudkan oleh negara, maka pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi sebaiknya meletakkan jabatan saja. Apa lagi yang harus kami harapkan dari pemerintah saat ini? Pemerintah telah mengkonfirmasi kegagalannya dalam mewujudkan tujuan bernegera sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Padahal warga negara sudah menyerahkan semua kekayaan alam baik yang di darat, laut, maupun udara untuk diatur dan dikelola oleh Negara. Semua kekayaan alam itu mutlak harus digunakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Tidak lain dari kesejahteran rakyat. Selanjutnya dalam konteks mengelola megara saat ini, jika saja pemerintah sudah menyerah. Tidak sanggup lagi mengurus warganya, maka sebaiknya pemerintah kembalikan saja semua urusan itu kepada warga negara sendiri. Apalagi kami warga di propinsi Maluku. Biarkanlah kami mengurus wilayah dan rakyat kami sendiri. Sebab sumber daya alam yang ada di Maluku sangat melimpah ruah. Kami rakyat Maluku sangat tidak layak dianggap seperti orang yang tidak memiliki apa-apa di mata pemerintahan ini. Bahkan sumberdaya manusia di Maluku sudah siap utuk mengelolah wilayahnya sendiri. Penulis adalah Pengajar Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta

Federasi Wereng Dunia Mengutuk Keras Wereng Coklat Indonesia

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Federasi Wereng Dunia (World Planthoppers Federation atau WPF) kemarin mengutuk keras perilaku wereng coklat (wercok) Indonesia. WPF juga membekukan keanggotaan Asosiasi Wereng Indonesia (AWI) di organisasi wereng internasiona itu. Tindakan ini diambil karena perilaku wercok Indonesia sudah sangat keterlaluan. WPF mengeluarkan kecaman keras itu pada penutupan kongres ke-74 mereka yang berlangsung di Los Banos, tak jauh dari Manila, Filipina. Kongres ini dilaksanakan selama lima hari. Kongres 74 WPF luput dari perhatian media antara lain karena dipercepat mendadak mengingat perkembangan yang mencemaskan di Indonesia. Kongres wereng dunia kali ini dihadiri oleh utusan dari semua anggota. Ada 118 utusan nasional dari 118 negara. Tidak ada yang absen. Dan semua utusan dipimpin lanngsung oleh ketua umum nasional masing-masing. Padahal, di dalam kongres-kongres terdahulu, tidak pernah semua negara hadir. Semua kelompok wereng dari semua ideologi dan warna, datang ke kongres ini. Ada wereng putih yang berideologi kapitalisme. Ada wereng kuning dengan aliran marxisme-leninisme. Ada wereng hitam yang beraliran sosialis. Ada wereng ungu yang beraliran liberal, dlsb. Semuanya hadir. Kecuali Asosiasi Wereng Indonesia (AWI). Seekor jurubicara AWI mengatakan, mereka menolak hadir karena waktu kongres diubah. Namun, seekor wereng yang dekat dengan pengurus AWI mengatakan, AWI tidak mau mengirimkan utusan karena sudah tahu agenda kongres yang pasti memojokkan wercok Indonesia Dan, memang, ada satu hal yang menyatukan WPF di kongres ini. Yaitu perilaku wercok. Perhatian wereng internasional sangat serius terhadap perkembangan di Indonesia. Mereka bahkan mempercepat pelaksanaan kongres 74 ini dengan alasan perkembangan yang sangat mencemaskan di kalangan wereng wercok Indonesia. Seharusnya, kongres 74 dilaksanakan pada awal 2020. Sekjen WPA, Werrengbrutalou Kouklatakis (asal Yunani) membenarkan bahwa semua asosiasi nasional wereng di dunia sepakat mempercepat kongres karena ada masalah besar di Indonesia. Menurut Kouklatakis, tindak-tanduk wercok di Indonesia sangat mempermalukan masyarakat wereng internasional. Dan, agenda utama kongres 74 ini didominasi oleh sepak-terjang wercok di Indonesia. Menurut Sekjen, wereng dari semua warna dan aliran memang menjadi musuh tanaman padi di seluruh dunia. “Tetapi, apa-apa yang kami lakukan terhadap padi masih dalam batas-batas yang wajar,” kata Kouklatakis. Dia mengakui, di mana-mana wereng memang merusak banyak sawah rakyat. Namun tidak sampai membunuh manusia. “Bagaimana dengan wercok Indonesia? Lihat saja mereka brutal dan beringas. Sampai membuat manusia mati,” ujar Kouklatakis. Aats nama wereng dari semua warna dan semua idelogi di seluruh dunia, Sekjen WPA menyampaikan permintaan maaf kepada orang Indonesia atas perilaku kejam yang ditunjukkan oleh wercok. Dia mengatakan lagi, wercok ada di mana-mana. Tetapi, wercok di Indonesia sangat luar biasa. Kuoklatakis merasa heran mengapa wercok menjadi sangat ganas di Indonesia. Dia menduga, ada pihak yang telah mengubah gen wercok di sini. Sekjen berjanji akan melakukan penelitian genetika di kalangan wercok Indonesia. WPA juga mengeluarkan ultimatum keras. Kalau wercok tetap berperilaku brutal, sadis dan beringas, maka pihak WPF akan mengirimkan tim ilmuwan yang akan mengganti gen wercok Indonesia dengan gen terburuk. Di lingkungan wereng, mengganti gen adalah hukuman terberat. Sebab, apabila dilakukan penggantian gen, maka wercok akan berubah menjadi lemah dan pemalas. Yang menarik dari kongres wereng di Los Banos ini ialah pilihan tempatnya. Los Banos adalah kota kecil tempat berkantornya International Rice Research Institute (Institut Penelitian Padi Internasional atau IRRI). Dari sinilah dilahirkan berbagai varitas padi unggul yang dikenal dengan sebutan “IR”. Mengapa Federasi Wereng Dunia (WPF) memilih Los Banos? Menurut Kouklatakis, pilihan ini untuk menunjukkan simpati kepada tanaman padi. Selama ini padi adalah target wereng. Hari ini, komunitas wereng internasional bersatu padu dan ingin menyampaikan simpati kepada Indonesia. Dia mengatakan Indonesia memiliki jutaan hektar tanaman padi. Sayangnya, saat ini Indonesia sedang mengalami amukan wereng coklat, kata Kouklatakis.[03 September 2019)

TEMPO Benar, Buzzer Jokowi Berbahaya!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Judul tulisan Tempo.co, Sabtu (28/9/2019), Saatnya Menertibkan Buzzer, cukup menarik. Ini kali kesekian Tempo menulis berita secara objektif. Tidak ditutup-tutupi. Dalam tulisan ini Tempo menulis buzzer Joko Widodo yang membahayakan. Melansir Tempo, Jokowi harus mengendalikan pendengungnya, yang semakin lama semakin ngawur. Berpotensi merusak demokrasi. Tingkah buzzer pendukung Presiden Jokowi makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di medsos untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Para pendengung menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah. Para pendengung itulah yang pertama kali menyebarkan kabar tentang ambulans berlogo pemerintah DKI Jakarta yang berisi batu saat unjuk rasa pelajar sekolah menengah atas pekan lalu. Terekam oleh Drone Emprit, aplikasi pemantau percakapan di dunia maya. Cuitan mereka itu lebih cepat beberapa jam dibanding akun resmi TMC Polda Metro Jaya. Sebagian diantaranya mengolok-olok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang mereka perangi sejak pemilihan Gubernur DKI 2017. Belakangan, polisi menyatakan kabar itu tidak benar. Salah satu diantaranya penyebar kabar “tidak benar” itu adalah Denny Siregar. Lewat akun twiternya @Dennysiregar7, Ambulan pembawa batu ketangkap pake logo @DKIJakarta pukul 1.24 AM Sep 26, 2019. 2.16 AM Sep 26, 2019 @TMCPoldaMetro mengunggah: 02:14 Polri amankan 5 kendaraan ambulan milik Pemprov DKI Jakarta yang digunakan untuk mengangkut batu dan bensin yang diduga untuk molotov di dekat Gardu Tol Pejompongan Jl. Gatot Subroto. Peristiwa itu membuat Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum PMI kecewa. Apalagi, dalam video itu menuduh mobil ambulan milik PMI membawa batu dan bensin untuk massa saat bentrok dengan aparat kepolisian. Namun, setelah sempat diunggah di akun Twitter dan Instagram @TMCPoldaMetro, Kamis (26/9/2019) unggahan itu telah dihapus. Pengurus PMI Pusat Bidang Relawan Muhammad Muas mengatakan, Wapres JK merasa kecewa dengan tuduhan ini. JK minta kasus ini tuntas agar PMI di mata masyarakat tak menjadi buruk. “Dia kecewa juga. Sebagai Ketum PMI, dia kecewa bahwa hal-hal yang mungkin tidak diinginkan, terjadi. Gitu saja. PMI kan enggak mungkin ini ya (membawa batu). Relawan itu jujur kok,” katanya. Menurutnya, JK telah memerintahkan Menpan RB Syafruddin untuk mengklarifikasi bahwa tak ada ambulan milik PMI yang membawa batu dan bensin. “Justru saat mendapat informasi dia meminta Bang Syafruddin,” ungkap Muas. “Dia diminta telepon Pak Wahyu (Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Wahyu Hadiningrat). Pak JK tak mau ini selesai begitu saja. Cuma dia enggak mau langsung turun. Harus kami yang turun. Yang penting dia tegas menyatakan, ini harus diselesaikan,” tegas Muas. Dalam kasus seleksi calon pemimpin KPK dan revisi Undang-Undang KPK, seperti ditulis Tempo, para pendengung menyebarkan agitasi bahwa lembaga itu dikuasai kelompok agama garis keras yang mereka sebut Taliban. Mereka menyebut Novel Baswedan, penyidik yang dikenal gigih mengusut pelbagai kasus korupsi jumbo, sebagai antek khilafah. Kala timbul dukungan pada KPK, mereka menyerang para pendukung itu dengan memberi mereka label pendukung khilafah. Tempo memberitakan, sesungguhnya, para buzzer ini adalah produk gagal dari era kebebasan berpendapat. Memanfaatkan kemampuan menulis – sebagian diantara buzzer Jokowi adalah bekas wartawan – dan fanatisme pembacanya, mereka mengemas kabar bohong sedemikian rupa sehingga terlihat benar. Kadang disertakan pula bumbu “berdasarkan sumber intelijen”. Diterpa arus informasi yang masif dari para pendengung yang saling menggaungkan pesan, para pendukung Jokowi yang tidak melakukan verifikasi ikut-ikutan mendukung sikap tersebut dan menghujat mereka yang berbeda pandangan. Para pendengung agaknya punya hubungan kuat dengan penguasa dan aparat negara. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan profil pihak yang dianggap sebagai lawan, seperti kartu tanda penduduk, nomor telepon, bahkan jenis telepon seluler yang digunakan. Presiden Jokowi harus segera menertibkan para buzzer – yang sulit dipercaya keberadaannya tidak Presiden ketahui jika bukan dia kendalikan. Tanpa mereka pun, Jokowi sebenarnya tak perlu khawatir terhadap berbagai serangan di media sosial. Tempo News Room @tempo: Tingkah buzzer pendukung Presiden Joko Widodo makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Siapa Mereka Dari catatan Seword.com diketahui siapa saja yang selama ini disebut-sebut menjadi buzzer Presiden Jokowi. Dalam lima kali Debat Capres-Cawapres, “Lima kali pula kami berkumpul untuk nonton bersama. Membuat konten secara spontan, merespon setiap pernyataan.” Nama-nama yang disebut Seword antara lain: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Eko Kuntadhi, Habib Think, Salman Faris, Katakita, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Komik Kita, Komik Pinggiran, dan Sewordcom. Ada pula nama mantan wartawan KOMPAS yang kini menjadi owner beberapa situs online. “Semua datang dari berbagai daerah memenuhi panggilan Kakak Pembina,” tulis Seword. Kakak Pembina yang dimaksud adalah seorang pejabat Istana. “Tim ini memang tidak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini,” ungkap Seword. Didukung oleh tim desain, tim video, dan tim narasi, video, meme, serta artikel diproduksi secara cepat. “Hanya butuh sekian detik bagi kami untuk meng-upload video-video debat. Hanya butuh sekian menit untuk mengedit dan menghasilkan konten. Apalagi meme, segmen debat belum berakhir, meme sudah kita upload,” tulis Seword, Kamis (02 Mei 19 pukul 07: 36). Seperti halnya Averngers, setiap orang saling menjaga, menahan diri untuk tidak mengambil gambar. “Tapi saya pikir momen ini sayang untuk tidak dibagikan dan diceritakan,” ungkap Seword yang mengabadikan pertemuan saat Debat Capres-Cawapres itu. Jika menyimak jejak digital beberapa nama yang disebut di atas, seperti Denny Siregar, yang dikenal “kebal hukum” dan nyaris tidak pernah tersentuh hukum, meski beberapa kali Denny dilaporkan ke polisi. Tapi, hingga kini masih tetap aman-aman saja. Termasuk ketika Denny dengan tenangnya menyebar “berita salah” terkait ambulan Pemprov DKI Jakarta yang ternyata sudah diklarifikasi polisi sendiri. Mungkin itulah yang dimaksud Tempo dengan buzzer Jokowi membahayakan demokrasi! *

Aksi Mahasiswa dan Anak STM Akan Berlarut Seperti Hongkong?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Akankah aksi unjukrasa di Indonesia berlarut seperti aksi massa di Hongkong? Pertanyaan tersebut mencuat, menyusul sejumlah cuitan demonstan di Hongkong. Mereka menyatakan dukungan terhadap pengunjukrasa di Indonesia. Di media sosial beredar foto-foto dukungan mereka tertempel di Tembok Lennon (Lennon Wall). Tembok berisi ribuan pesan kertas post it itu merupakan simbol pergerakan demonstran Hongkong. Salah satunya bertuliskan: Support Indonesian Protesters. Dukung para pemrotes di Indonesia. Akun @alexhker menggunggah dua burung-burungan kertas, salah satunya berwarna merah putih dengan pesan: Hongkong is standing with Indonesia. @AJEnglish Before injustice, we stand as one! Stay strong, Indonesia Tanda-tanda bahwa unjukrasa di Indonesia akan berlarut seperti di Hongkong, sudah mulai nampak. Pesan video seorang mahasiswa kepada Presiden Jokowi dan anggota DPR, viral di medsos. Anak muda yang mengenakan jaket hijau army, dengan topi dan polesan odol di bawah mata, menyatakan aksi mereka ini hanyalah awal. Mereka tidak akan menyerah dan melakukan perlawanan lebih keras. “Selain melakukan judicial review, kami akan terus turun ke jalan,” tegasnya. Video itu tampaknya diambil tak jauh dari Gedung DPR RI saat berlangsung unjukrasa Senin (30/9). Sangat mirip Faktor penyebab dan ciri-ciri unjukrasa di Indonesia memang mirip dengan Hongkong. Bedanya skalanya lebih besar dan massif. Terjadi di hampir seluruh kota di Indonesia. Aksi protes di Hongkong saat ini sudah memasuki pekan ke 14. Dipicu pemberlakuan UU ekstradisi oleh otoritas Hongkong. Di bawah UU itu seorang pelaku kejahatan di Hongkong bisa diekstradisi ke Cina daratan. Tak ada tanda-tanda aksi protes akan berhenti, kendati otoritas Hongkong telah membatalkan UU tersebut. Laman Financial Times (23/7) dalam artikel berjudul: Why Hong Kong’s protesting youth are so angry menyebut, isu UU ekstradisi hanya kendaraan bagi berbagai persoalan lain. Masa depan Hongkong yang akan bersatu dengan Cina daratan, membuat anak muda frustrasi dan penuh tanda tanya. Kemarahan pada sistem politik yang rusak; kurangnya peluang ekonomi; dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap daratan Cina. Negara yang secara teknis bagian dari model “satu negara, dengan dua sistem”. Rasa frustrasi itu telah terbangun sejak gerakan protes 2014. Ketika itu puluhan ribu pemuda Hongkong berkemah di jalan-jalan. Mereka menekan Beijing untuk sepenuhnya menjalankan pemilu yang demokratis di Hongkong. Protes itu dihancurkan. Pemimpin Hongkong memenjarakan para pemimpin gerakan. Menekan kebebasan, menghalangi politisi oposisi untuk bertarung dalam pemilu, dan mendiskualifikasi anggota parlemen pro-demokrasi terpilih karena dicurigai tidak loyal kepada Cina. Analis politik Sonny Lo mengatakan, otoritas Hongkong gagal memahami dan mengelola kebencian yang membara. “Mereka gagal sepenuhnya sebagai lembaga yang seharusnya menjembatani kesenjangan komunikasi antara elit yang berkuasa dan rakyat biasa," ujarnya. "Orang-orang muda sangat tidak puas dengan sistem - mereka merasa tidak adil. Tidak memiliki masa depan,” ujar Anthony Cheung, seorang profesor di Universitas Hongkong. Di Indonesia unjukrasa juga dipicu oleh pengesahan UU KPK dan terpilihnya pimpinan KPK yang baru. Mahasiswa turun ke jalan. Isunya cukup beragam. Mulai dari RUU KUHP, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan Pertanahan. Juga ada RUU Penghapusan Kekerasan Sesksual (PKS) dan RUU Ketenagakerjaan. Pemerintah memutuskan untuk menunda pengesahan lima RUU tersebut. Jokowi setelah bertemu sejumlah tokoh, juga tengah mempertimbangkan untuk membatalkan UU KPK. Sebagai gantinya menerbitkan Perppu. Namun keputusan menerbitkan Perppu itu mendapat perlawanan partai-partai pengusung Jokowi, terutama dari PDIP. Undangan Jokowi untuk bertemu mahasiswa di istana ditolak. Andaikata Jokowi menerbitkan Perppu pun, tampaknya tak akan meredakan aksi turun ke jalan. Sudah terlambat! Mahasiswa sudah terlanjur marah terhadap perlakuan aparat kepolisian. Tewasnya beberapa orang pengunjukrasa di Kendari, Makassar, dan Jakarta membuat mereka sampai pada kesimpulan: Pemerintahan Jokowi adalah pemerintahan dzalim. “Pemerintahan yang melindungi dan menafkahi para koruptor,” seperti dikatakan mahasiswa berjaket hijau tadi. Bila selama ini mahasiswa menjaga jarak dengan proses kontestasi kekuasaan, kini mereka bersentuhan, bahkan berhadapan langsung dengan kekuasaan. Perlakuan brutal dari aparat kepolisian ketika mengamankan aksi unjukrasa, membuat mereka tersadar. Ada yang salah dengan rezim ini dalam mengelola negara. Situasinya kian pelik karena pelajar, terutama anak-anak STM ikut turun ke jalan. Anak STM adalah representasi kelas marjinal. Mereka adalah kelompok underdog yang terpinggirkan. Orang tua mereka adalah kelas pekerja yang menjadi korban langsung berbagai kebijakan pemerintahan Jokowi. Beban hidup kian berat akibat harga-harga yang melambung, tarif listrik dan BBM yang terus naik, semakin meningkatnya pengangguran, adalah bagian hidup keseharian mereka. Realitas hidup yang berat, ditambah masa depan yang tidak pasti, membuat mereka menemukan katarsis melalui aksi unjukrasa. Jadilah seperti yang kita saksikan. Mereka seperti tak kenal rasa takut. Dengan penuh percaya diri berhadapan dengan polisi. Tak jarang kita menyaksikan adegan yang selama ini hanya bisa kita saksikan dalam gerakan Intifada di Palestina atau aksi protes di Hongkong. Anak-anak STM dengan bersenjata batu, kayu dan bambu berhadapan dengan anggota Brimob dengan persenjataan lengkap. Mereka menghadang water canon, adu berani menghadang gas air mata, dan melakukan tendangan salto ala jagoan kungfu menerjang barisan pasukan Brimob yang berlindung di balik tameng. Mereka seperti menemukan arena bermain baru yang lebih menantang. Pamer nyali, menggantikan kegiatan tawuran. Suasananya penuh kegembiraan. Adrenalin mereka terpacu dan mendapat penyaluran. Di medsos beredar video anak-anak STM ini membawa tameng hasil rampasan dari pasukan Brimob. Ada pula yang menggunakannya sebagai kereta luncur ditarik sepeda motor. Riang gembira. Seperti generasi muda Hongkong, anak-anak muda ini juga sedang meluapkan rasa frustrasinya, akibat masa depan yang tak menentu. Sayangnya pemerintah— seperti halnya otoritas Hongkong— gagal memahami akar persoalan, dan tak mampu berkomunikasi dengan baik. Yang dikedepankan justru sikap represif. Mencari-cari justifikasi. Menyatakan ada kelompok yang menunggangi. Mahasiswa yang kritis, kecewa dan tak puas terhadap elit politik dan pemerintah, anak-anak STM yang frustrasi, terpinggirkan, adalah kelompok-kelompok yang kini tengah dihadapi pemerintah. Anak-anak muda dan remaja ini bukanlah para petualang politik, pencari rente dan remah-remah kekuasaan. Mudah ditaklukkan dengan cara diundang ke istana dan diberi janji-janji serta konsesi politik tertentu. Mereka tidak silau oleh kekuasaan dan janji-janji manis penguasa. Mereka akan terus melawan selama pemerintah dianggap menyimpang. Mereka akan terus turun ke jalan, selama pemerintah tidak menunjukkan langkah konkrit memperbaiki keadaan dan menegakkan keadilan. End

Jokowi, Sudahlah!

Jokowi akan dicatat sebagai Bapak Infrastruktur dan pelopor pejabat yang berani mundur. Oleh Editorial Forum News Network Jakarta, FNN - Seminggu terakhir ini jagat maya diramaikan dengan tuntutan agar Presiden Jokowi lengser. Saran ini lebih baik daripada bertahan tapi ada demonstrasi sepanjang tahun, apalagi jatuh banyak korban jiwa. Mesin pencari dan analisis media Drone Emprit menemukan 756.886 share of voice kalimat "Turunkan Jokowi" yang diserap dari media online dan media sosial. Hari ini, Senin, 30 September 2019, pukul 10.56, mesin google menemukan 54.000.000,00 kalimat “Jokowi Turun”. Sementara, kalimat “Lanjutkan Jokowi” hanya 6.330.000. Ini riset sederhana, tetapi bisa menjadi acuan. Itulah kenyataan di dunia maya. Sekarang kita coba datang ke pasar, terminal, stasiun, bandara, dan kampus; lalu tanyakan kepada mereka apakah lebih banyak pilih “Turunkan Jokowi” atau “Lanjutkan Jokowi”. Di Pasar Leuwiliang, Bogor, 8 dari 9 orang yang ditanya memilih “Turunkan Jokowi”; di Stasiun Kereta Api Purwokerto, Jawa Tengah, 6 dari 7 orang yang ditanya memilih “Turunkan Jokowi”; di Pasar Atas Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat, 5 responden yang ditanya semua menyatakan “Turunkan Jokowi”. Jika ketiga responden ini dibuat pie chart maka akan terbaca dengan jelas bahwa 95 persen rakyat menghendaki Jokowi turun. Riset tersebut sederhana, tetapi akurat karena dilakukan tanpa ada upaya mengutak-atik angka atau pilih-pilih responden. Riset seperti ini biasanya amanah dan layak dipercaya karena tidak ada pihak mana pun yang membiayainya. Apakah fakta ini menjadi satu-satunya alasan untuk melengserkan mantan walikota Solo itu? Tentu saja tidak. Namun, ini setidaknya menjadi indikasi jelas bahwa presiden yang tak pernah memasukkan kemeja putih itu, minim legitimasi, miskin kepercayaan, dan fakir keteladanan. Sentimen negatif ini akan terus meningkat seiring dengan merosotnya kepercayaan publik. Pak Presiden saat ini bisa bertahan hanya dari tiga tiang utama. Pertama, karena serangan buzzer yang menaikkan setinggi-tingginya hasil kerjanya dan menenggelamkan sedalam-dalamnya kekurangannya serta didesain dengan begitu apik sehingga publik tertipu. Kedua, pengekangan media massa untuk menutupi berita-berita miring tentang rezim ini, bahkan berita-berita normal saja sering “dibreidel” jika itu berdampak terhadap popularitas rezim. Ketiga, intimidasi terhadap media sosial dan ancaman pasal ujaran kebencian. Buzzer pemuja rezim bebas ngomong apa saja, termasuk memproduksi hoaks sebanyak-banyaknya. Ketika ada oposisi atau masyarakat yang tak sepaham lalu berkomentar, mereka diciduk dengan pasal ujaran kebencian UU ITE. Algojonya, tentu saja polisi. Sangat tidak adil. Mengapa isu "Turunkan Jokowi" atau “Jokowi Turun” menjadi populer? Sebab sejak tahun pertama menjabat presiden hingga memasuki periode kedua, publik geram terhadap sikap lingkaran ring satu istana yang tak peka menyikapi keadaan. Tampaknya, presiden hanya mendapat masukan yang baik-baika. Padahal, ini bisa menjadi racun, sebagaimana kata pakar hukum tata negara, Refli Harun, bahwa penguasa sering kali gagal karena selama ini hanya mendengar orang-orang yang memuji tanpa mempertimbangkan pihak yang mengkritiknya. "Mengapa penguasa sering gagal memimpin? Karena dia hanya mau mendengar pemujinya ketimbang pengkritiknya. Padahal, pujian bisa jadi racun dan kritik justru obat. Jadi, dengarkanlah lebih banyak kritik ketimbang pujian," kata dia, Sabtu (28/9/2019). Presiden juga dianggap tidak tegas sekaligus tidak jelas. Ia tidak tegas menyelesaikan masalah Papua dan tidak jelas menuntaskan reformasi. Masalah kebakaran hutan Kalimantan hanya salah satu dari puluhan masalah yang tak kunjung selesai. Publik makin geram ketika UU KPK - yang sarat kepentingan politik dan kelompok – telah diberlakukan. Ada RUU KUHP yang bikin geregatan masyarakat. Isinya tak mencerminkan hasil karya praktisi hukum, cenderung norak, dan asal asalan; di samping RUU PKS dan RUU Pertanahan yang juga menimbulkan masalah baru. Aneh, sebuah negara membuat aturan yang hanya menimbulkan kegaduhan. Kekacauan ini membangkitkan masyarakat untuk melakukan protes. Defisit BPJS, utang negara menggunung, daya beli rendah, dan pertumbuhan ekonomi yang lemah adalah pemicunya. Presiden dianggap tidak mampu menunaikan tugasnya dengan baik. Janji muluknya dibalas dengan pencitraan yang tidak penting dan membosankan. Jahatnya, buzzer rezim ini menuduh masyarakat sebagai kaum radikal, intoleran, dan anti-NKRI. Sebuah tuduhan yang sangat biadab. Tuduhan ngawur itu tidak pernah terbukti dan anehnya polisi tidak memprosesnya. Rezim pembenci oposisi ini tidak pernah terkena pasal ujaran kebencian. Jokowi tidak boleh merasa nyaman dalam situasi seperti ini karena mayoritas masyaraat Indonesia gerah dengan ketidakadilan hukum, sosial, dan politik di negeri ini. Masyarakat akan miris jika melihat presiden disoraki saat kunjungan ke daerah seperti masa kempanye kemarin. Jokowi pasti bisa meneladani Pak Harto dan Gus Dur. Demi NKRI mereka rela dan legowo mengundurkan diri. Nama mereka – dan Jokowi kelak - tetap harum. Gus Dur tidak takut kehilangan jabatan. Jabatan itu, kata Gus Dur, sama dengan nyawa - yang harus siap kapan pun dicabut. Jokowi tidak perlu takut bayangan, tidak ada istilah wirang, turunlah dengan elegan. Kelak sejarah akan mencatat dengan baik sebagai pemimpin yang bijaksana, pintar membaca situasi, dan jauh dari kesan ambisius. Mungkin juga akan dibuatkan prasasti sebagai Bapak Infrastruktur dan Pelopor Pejabat Tahu Diri. Ada ikon baru untuk Bapak Jokowi. Ingat, turun hari ini, 21 Oktober 2019 atau 21 Oktober 2024 sama saja. Yang membedakan, kalau turun hari ini, Jokowi benar-benar seorang pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat, responsif terhadap tuntutan rakyat, dan merasakan penderitaan rakyat. Masyarakat memaklumi Jokowi yang galau membayangkan lengser sebagai sesuatu yang menakutkan. Maklum, karena dua kali berkuasa, baik di Solo mapun di DKI, Jokowi turun dengan lembut, dipapah dengan aman, dituntun, ditandu dengan hati-hati, dan diiringi tepuk tangan. Jangan takut fatamorgana turun dari kursi kepresidenan. Anggap saja main prosotan di water boom, awalnya ngeri, tapi setelah dijajal akhirnya asyik juga. Sesuatu yang awalnya sulit, biasanya berakhir dengan mudah. Apalagi para pendukungnya sudah bikin tatto ramai-ramai “NKRI Harga Mati” didukung oleh Macan Asia. Artinya, bakal aman dan tidak akan terjadi apa-apa demi NKRI. Jokowi, sudahlah. Anda bisa membungkam media, menjinakkkan politisi, dan memenjarakan yang berbeda, tapi tidak bisa merampas ponsel rakyat. Terlampau mengerikan jika melihat video dan gambar-gambar di media sosial, tentang ketidakadilan, tentang kejahatan, tentang kebiadaban. Dari Aceh sampai Papua. Dan Anda masih bisa bersepeda ria. Nurani kami menangis. Kami masih mendengar lagu ini, “Kita adalah Satu Indonesia, tidak ada Cebong, tidak ada Kampret,” Nyanyian koor Jokowi dan Prabowo ini masih sering melintas di telinga kita, yang ternyata tak punya makna apa. (Editorial)

Jokowi Makin Kalang Kabut

Munculnya tagar #MenyesalMemilihJokowi menunjukkan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi. Bahkan, dari internal kekuasaan. Oleh Mangarahon Dongoran (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - TULISAN saya sebelumnya berjudul, "Jokowi Sumber Masalah," banyak mendapatkan cibiran dari pendukungnya. Saya sudah menduga akan seperti itu. Jokowi Makin Kalang Kabut, ini pun saya pastikan dianggap para pendukungnya sebagai usaha memojokkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Bahkan, bisa jadi mereka menuduh saya memfitnah, memprovokasi, dan sederet sebutan lainnya. Saya tidak akan ambil pusing. Saya hanya berusaha menyuarakan hati nurani dan fakta-fakta terkini. Saya hanya ingin mengkritìsi, seperti yang saya lakukan di rezim Orde Baru, era BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan era Jokowi. Jokowi Makin Kalang Kabut! Ibarat pepatah, "Maju kena, mundur kena!" Kenapa? Karena rencananya mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang) tentang UU KPK yang baru, mendapat penolakan dari PDIP, partai utama pendukungnya maju pada pemilihan presiden. Akhirnya Jokowi serba salah! Lagi-lagi pepatah mengatakan, "Ibarat buah si malakama, dimakan mati ibu, tidak dimakan mati ayah." Mengapa? Coba saja pembaca lihat dan saķsikan berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini (kecuali di Papua- rusuh karena tuntutan merdeka). Sejak awal demosntrasi yang dilakukan mahasiswa dan pelajar SMK-- ee mereka lebih suka disebut pelajar STM -- selalu diakhiri dengan rusuh atau kalimat paling tepat, bukan rusuh, tetapi perang saudara dengan polisi. Jokowi serba salah! Demonstrasi yang marak dalam beberapa hari belakangan ini di berbagai kota menuntut agar DPR tidak mensyahkan RUU KUHP dan beberapa RUU lainnya. Juga tuntutan agar UU KPK dibatalkan, karena isinya jelas melemahkan lembaga antirasuah itu dalam memberantas korupsi. RUU KUHP dan beberapa RUU sudah ditunda. Ketika ditunda, pemerintah berharap demo berkurang. Akan tetapi, kenyataannya, demo terus terjadi di berbagai tempat. Paling lucu dan mengherankan, baru sekarang ada pelajar ikut demo dengan atribut sekolahnya. Mereka terutama pelajar STM (Sekolah Teknik Menengah). Mereka lebih suka disebut pelajar STM ketimbang SMK (Sekolah Menengah Kejuruan). Mungkin mereka kesal, karena nama SMK "dicatut" jadi bahan jualan politik lewat mobil Esemka. Jokowi serba salah! Jika melihat perkembangan situasi terakhir, masyakat pun semakin pesimistis keadaan semakin baik. Bahķan ada tagar yang muncul di medsos #MenyesalMemilihJokowi. Entah siapa yang membuatnya. Akan tetapi, itu bukti semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Jokowi. Jokowi dan jajarannya berharap, setelah RUU KUHP ditunda DPR, demo mereda. Apalagi, Jokowi sendiri sebelumnya meminta agar DPR menunda pengesahannya. Akan tetapi, harapan agar demo berkurang dan tensi politik turun, hanya tinggal harapan. Faktanya demo semakin kencang. Tensi politik akan terus naik, baik menjeĺang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober 2019 maupun seterusnya. Jokowi serba salah! Ah itu kan menurut penulisnya. Asumsi itu bisa benar dan bisa salah. Akan tetapi, fakta yang bicara. Ketika Jokowi meminta bertemu dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se Indonesia, mereka menolaknya. Sama seperti 1998, saat demonstrasi mahasiswa marak, Soeharto juga meminta bertemu BEM se Indonesia. Akan tetapi, mereka (BEM) menolaknya. Lalu bagaimana dengan peserta demonstrasi pelajar STM? Mereka tidak dikoordinir oleh OSIS atau Organisasi Siswa Intra Sekolah. Lalu siapa nanti yang akan mewakili mereka jika diminta bertemu Presiden? Toh, teman-teman mereka juga menjadi korban kekerasan aparat kepolisian. Paling kepala sekolah atau pengurus yayasan dipanggil dinas pendidikan setempat. Akan tetapi, pemanggilan itu tidak logis. Sebab, para pelajar itu melakukan aķsinya di luar jam belajar. Artinya, aksi demo para pelajar itu sudah berada dalam tanggungjawab keluarga dan lingkungan. Kalaupun kepala sekolah dan pemilik yayasan dipanggil, yang ada adalah pembinaan kepada mereka. Jawabannya, "Pasti dibina.! Toh, selama ini, tanpa demo pun, kepala sekolah bersama guru-guru dan staf sekolah sudah membina para pelajar. Kalau tidak ada pembinaan, tidak mungkin mereka sekolah, naik kelas dan bahkan nanti lulus 100 persen. Jokowi serba salah! Bisa benar bisa salah. Akan tetapi fakta yang bicara. Ketika Jokowi menerima 45 orang yang dianggap sebagai tokoh bangsa (maaf yang diterima umumnya pendukung Jokowi), kepercayaan masyarakat sudah terus berkurang. Sama, ketika Soeharto menerim beberapa tokoh untuk membentuk Komite Reformasi. Jokowi menerima di Istana Kepresidenan, Pak Harto juga menerima di tempat yang sama. Perbedaannya, Jokowi mempertimbangkan Perpu UU KPK yang baru disahkan DPR. Sedangkan 1998, tokoh yang diundang langsung menolak pembentukan Komite Reformasi yang diusulkan Soeharto. Pak Harto menginginkan cendekiawan Muslim Nurcholis Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur menjadi Ketua Komite Reformasi yang diisi sejumlah tokoh. Namun, Cak Nur menolaknya. Akhirnya Komite Reformasi gagal dibentuk dan situasi negara semakin memburuk dan terpuruk. Jokowi serba salah! Kenapa? Kalaupun akhirnya menebitkan Perppu terkait UU KPK yang baru, ia tetap menghadapi masalah besar. Para pendemo tidak akan diam dengan "hadiah" Perppu itu. Luka hati para pendemo tidak akan terobati dengan Perppu itu. Sebab, sudah semakin banyak korban di pihak pendemo, banyak yang ditahan dan bahkan dua mahasiswa tewas ditembus peluru. Kalau tuntutan sudah dipenuhi, mestinya demo berhenti. Akan tetapi, faktanya berbeda. Tuntutan agar RUU KUHP dan sejumlah RUU lainnya yang tidak disetujui DPR, tapi kok masih demo. Bukankah tuntutan pendemo itu sudah sejalan dengan keinginan Jokowi dan aparatur pemerintahannya? Akan tetapi kok masih demo. Jokowi serba salah! PDIP sebagai pengusung utama Jokowi dalam dua kali Pilpres jelas menolak Perppu dikeluarkan. Alasannya, kalau Perppu mudah dikeluarkan, itu berbahaya. Lebih baik mereka yang tidak setuju membawanya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Akan tetapi, kepercayaan masyarakat terhadap MK masih rendah, terutama pasca putusan MK atas hasil Pilpres yang baru lalu. Jokowi serba salah! Kenapa? Ya, karena persoalan yang muncul tidak lagi sekadar KPK yang terus dilemahkan lewat UU yang baru. KPK adalah 'anak kandung' reformasi 1998. Reformasi yang juga diawali demonstrasi yang menyebabkan empat mahasiswa tewas di ujung peluru tajam. Jokowi tidak sekadar serba salah, tetapi semakin kalang kabut! Mengeluarkan Perppu salah, tidak mengeluarkan pun lebih salah lagi. **