POLITIK
Sahkan Revisi UU KPK, DPR Tak Mau Korupsi Dibasmi
Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK: kurang ajar. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Waspadai manuver para koruptor. Sekarang, wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dipangkas habis. Tidak ada gunanya lagi. Yang berkuasa nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. Ada semacam “board of directors” (dewas direktur) yang akan mengendalikan kerja KPK. Hampir pasti, para koruptor atau siapa saja yang berkepentingan akan bisa menyusup ke DP. Mereka bisa ‘order’ apa yang mereka inginkan. Bisa ‘order’ agar kasus si anu dihentikan, agar kasus ini dikaburkan, agar kasus itu didiamkan. Satu kata: kurang ajar. Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK. Proses pengebirian ini berlangsung di DPR. Atas inisiatif lembaga wakil rakyat ini. Hebatnya, semua fraksi setuju. Yang mereka sepakati itu adalah revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, kemarin (Kamis, 5/9/2019) Ini poin-poin penting yang akan membuat KPK menjadi singa ompong. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP). Kekuasaan DP ini sangat besar. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telefon dan penggeledahan. Kalau DP tak setuju, tidak bisa dilaksanakan. Ini tentu celah yang berbahaya. Oknum DP bisa saja nanti memberitahukan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap. Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Bisa diterbitkan semacam SP3. Ini juga bisa membuka peluang untuk ‘deal’. Nantinya bisa saja oknum DP mengarahkan agar kasus seseorang dihentikan saja oleh KPK. Yang tak kalah penting adalah status karyawan KPK akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN. Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telefon. Ini yang justeru dipangkas oleh DPR. Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini? Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang kena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak adalah dari fraksi PDIP. Dan di DPR-RI, fraksi PDIP-lah yang terbesar. Itu artinya, revisi ini menjadi tanggung jawab PDIP. Mereka inilah yang menjadi penentu di DPR. Kalau mereka tak setuju, pasti revisi tidak akan terjadi. Fraksi yang kedua adalah Golkar. Partai ini juga mencatat sekian banyak kadernya dijaring KPK lewat OTT. Begitu juga Partai Nasdem, Partai Demorkrat, Partai Gerindra, dll. Jadi, publik sekarang tahu bahwa DPR tidak menghendaki korupsi diberantas dan dicegah di Indonesia ini. Mereka sebaliknya menginginkan agar kader-kader mereka tetap bisa bebas mencuri uang negara atau memperkaya diri sendiri melalui wewenang yang mereka miliki di jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ketua KPK Agus Rahardjo menggelar jumpa pers, kemarin (5/9/2019). Dia mengatakan KPK sedang beradada di ujung tanduk. Agus tidak menjelaskan apakah itu tanduk banteng PDIP atau tanduk-tanduk yang sedang bermunculan di kepala para anggota DPR yang sangat bersemangat dengan revisi ini. Diberitakan bahwa DPR akan memburu pengesahan revisi sebelum masa jabatan mereka berakhir bulan depan.*** 6 September 2019
Benny Wenda Skak Mat Wiranto
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tudingan Menko Polhukam Wiranto yang menyebut kerusuhan di Papua dan Papua Barat tak lepas dari aksi provokasi yang dilakukan Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda membuka kotak pandora. Benny Wenda justru menuding balik Wiranto yang telah berupaya memicu konflik horizontal dengan warga Papua. Ia tak terima dituding Wiranto sebagai dalang di balik kerusuhan Papua dan Papua Barat. “Wiranto gunakan saya,” ungkap Benny Wenda. “Wiranto adalah penjahat perang yang dicari oleh PBB karena kejahatan perang. Adalah Wiranto yang membentuk 'Pasukan Penjaga Merah & Putih' dan mencoba memicu konflik horizontal antara warga Papua dan warga Indonesia,” tegasnya. Penegasan Benny Wenda itu dikirim melalui surat elektronik kepada CNNIndonesia.compada Selasa (3/9/2019). Oleh Wiranto, Benny Wenda juga disebut aktif menyebar hoaxalias informasi palsu soal Papua ke luar negeri. "Benny Wenda sejak dulu aktivitasnya sangat tinggi, memberikan informasi palsu. Mereka provokasi. Seakan kita menelantarkan di sana, seakan melakukan pelanggaran HAM tiap hari," kata Wiranto dalam keterangan kepada wartawan, Senin (2/9/2019). Menurut Benny Wenda, warga Papua tidak pernah memiliki masalah dengan 'penduduk Indonesia'. “Kami hidup damai berdampingan. Tapi, orang seperti Wiranto berusaha menggerakkan kekerasan demi kepentingan mereka sendiri,” katanya. Demonstrasi yang terjadi di Papua selama beberapa pekan terakhir ini terjadi secara spontan akibat ketidakadilan yang dirasakan warga di sana selama ini. “Pemerintah Indonesia hanya berupaya mengalihkan perhatian dari kenyataan dengan menyalahkan saya,” tuturnya. Benny Wenda sebelumnya juga telah menegaskan masyarakat Papua tak pernah menganggap orang Indonesia sebagai musuh. Ia yang kini tinggal di Inggris menegaskan, rakyat Papua tak akan terpancing dengan provokasi yang dibuat pemerintah Indonesia. Tak hanya Wiranto, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko juga menudingnya sebagai dalang kerusuhan di Papua, termasuk melakukan mobilisasi diplomatik ke sejumlah negara. Menurut Pemerintah, Benny Wenda adalah tokoh separatis dan pendukung penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan politiknya untuk memisahkan Papua Barat dari Indonesia. Benny Wenda ditangkap dan ditahan di Jayapura pada 6 Juni 2002 atas tuduhan mengajak massa menyerang sebuah kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura pada 7 Desember 2000. Ia dihadapkan ke pengadilan pada 24 September 2002. Tidak lama kemudian Benny Wenda kabur dari penjara dan melarikan diri ke Inggris. Benny Wenda memperoleh suaka dari pemerintah Inggris pada 2002. Sejak itu Benny Wenda terus berkampanye untuk memisahkan Papua Barat dari kantornya di Oxford. Benny Wenda pernah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michelle Bachelet pada akhir Januari 2019. Ketika itu Benny Wenda ikut dalam rombongan delegasi Vanuatu. Apa yang dilakukan oleh Benny Wenda itu, menurut Wiranto, hanya bisa dilawan dengan informasi yang aktual dan benar. Ia menegaskan dirinya berusaha meyakinkan negara lain bahwa Indonesia serius membangun Papua dan Papua Barat. “Mana mungkin menelantarkan. Tidak mungkin,” tegasnya. “Benar bahwa Benny Wenda bagian dari konspirasi dari masalah ini. Kita lawan dengan kebenaran dan fakta. Biasanya info menyesatkan dibantah dengan fakta,” ujar Wiranto lagi. Benny Wenda sendiri sudah bersuara atas gejolak di Papua dan Papua Barat. Ia menyatakan, tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menjadi pemantik kemarahan dan menyulut api ketidakadilan yang dialami rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk merdeka. “Kami sangat membutuhkan dunia untuk waspada dan untuk mendukung kami dan perjuangan kami untuk menentukan nasib sendiri dan perdamaian,” kata Benny dalam akun Facebook-nya, Selasa (27/8/2019). Dalang Asing? “Benar kan... jendral merah menciptakan kubangannya sendiri... satu jari tunjuk ke orang, 4 jari nunjuk diri sendiri,” ujar seorang wartawan senior. Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dan AM Hendropriyono dilabeli sebagai “jendral merah”. Wiranto dan Moeldoko baru belakangan ini dimasukkan sebagai “operator lapangan” dari “jendral merah” yang berkolaborasi dengan Surya Paloh, CSIS, dan China. Mereka selama ini “memusuhi” umat Islam dan “jendral hijau”, seperti Prabowo Subianto. Dengan adanya pernyataan Benny Wenda yang menanggapi tudingan Wiranto itu menjadi jelas. Siapa dalang Rusuh Papua sebenarnya. Jika Wiranto menuding Benny Wenda, justru sama saja dengan menuding dirinya sendiri sebagai “dalang” Benny Wenda. Karena, seperti pengakuan Benny Wenda, “Wiranto gunakan saya”. Sehingga, sebenarnya tidak sulit untuk mencari Mbahe Dalang dan pemilik gawe wayangan itu. Apalagi, Polda Jatim kini juga menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka provokator. Veronica Koman Liau sebagai tersangka provokasi di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya, Jawa Timur. Veronica diduga aktif melakukan provokasi melalui akun Twitter @VeronicaKoman. “Hasil gelar memutuskan dari bukti-bukti dan hasil pemeriksaan saksi ada enam, tiga saksi dan tiga ahli, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka atas nama VK, Veronica Koman,” kata Kapolda Jatim Irjen Polisi Luki Hermawan, di Mapolda Jatim, Rabu (4/9/2019). Irjen Luki menyebut Veronica ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat aktif menyebarkan informasi hoax dan provokasi di medsos lewat akun Twitter pribadinya, terkait peristiwa di AMP. Informasi itu dinilai sebagai upaya provokasi untuk memanaskan situasi. “VK ini adalah orang yang sangat aktif, salah satu yang sangat aktif yang membuat provokasi di dalam mau pun di luar negeri untuk menyebarkan hoaks dan juga provokasi,” ungkap Irjen Luki kepada wartawan. Cuitan Veronica di Twitter yang dinilai polisi sebagai provokasi, yakni soal penangkapan dan penembakan mahasiswa Papua di Surabaya. “Ada lagi tulisan momen polisi mulai tembak ke dalam, ke Asrama Papua, total 23 tembakan termasuk gas air mata, anak-anak tidak makan selama 24 jam haus dan terkurung, disuruh keluar ke lautan massa,” kata Irjen Luki. “Kemudian ada lagi 43 mahasiswa papua ditangkap tapa alasan yang jelas 5 terluka, 1 kena tembakan gas air mata, dan semua kalimat-kalimat selalu diinikan (terjemahkan) dengan bahasa Inggris,” lanjutnya, seperti dilansir CNNIndonesia.com. Nama Veronica Koman Liau muncul terkait aktivitas mahasiswa Papua di Surabaya, Minggu (2/12/2018). Vero menjadi Kuasa Hukum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) saat memperingati HUT Kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 2018. Sebelumnya, nama alumni Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta itu sempat menyentak ketika wanita kelahiran 14 Juni 1988 itu sempat “diburu” Mendagri Tjahjo Kumolo lantaran orasi kerasnya saat berdemo menuntut pembebasan Basuki Tjahaja Purnama di depan Rutan Cipinang, Selasa (9/5/2018) lalu dianggap kebablasan. Orasi yang disoal Mendagri dari Vero adalah saat menyebut, rezim Presiden Joko Widodo lebih parah dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Video orasi Vero pun mendadak viral di medsos hingga akhirnya membuat panas telinga pemerintah. Saking geramnya, Tjahjo sampai mengeluarkan beberapa pernyataan keras kepada Veronica. “Saya segera akan kirim surat kepada dia. Dalam waktu satu minggu harus mengklarifikasi apa maksud pernyataan terbukanya,” katanya, Kamis (11/5/2018). Nah, jika dalam waktu satu minggu Veronica tak menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, Tjahjo mengancam akan memperkarakannya. “Saya sebagai pembantu Presiden dan Mendagri akan melaporkan ke polisi,” tegasnya. Siapa sejatinya Vero? Berdasarkan informasi yang dihimpun, Vero merupakan perempuan kelahiran Medan. Dia meraih gelar sarjana hukum dari kampus UPH di Jakarta. Vero aktif dalam dunia aktivis yang yang kerap berhubungan dengan isu-isu Papua. Sesumbar Tjahjo ternyata tidak mempan juga. Buktinya, hingga kini Vero masih bisa bebas memprovokasi warga Papua dan dunia internasional dengan berita hoax-nya.Keberadaannya sepertinya “terlindungi” sehingga tidak mudah disentuh hukum Indonesia. Kabar pun berembus. Vero adalah seorang intelijen China yang memang ditugaskan di Indonesia. Mengutip Irene @IreneVienna (22:21 31 Agt 19): Veronica Koman Liaw, Intel RRC nyamar jadi aktivis RICINDONESIA LSM mengurus masalah pengungsi. Jadi, jika Vero masih bisa bebas dari jerat hukum, tentu dan pasti dia “dilindungi” oleh suatu “kekuatan” yang punya akses ke oknum pejabat berwenang di Indonesia. ***
Dalang Rusuh Papua Orang Asing?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Akhirnya Polda Jatim menetapkan Tri Susanti yang akrab dipanggil Mak Susi sebagai salah satu tersangka dalam kasus kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Jalan Kalasan, Surabaya, Sabtu (17/8/2019). Politisi ini pun ditahan di Polda Jatim. Selain Mak Susi, seorang ASN bernama Syamsul Arifin yang bekerja di Pemkot Surabaya juga ditetapkan sebagai tersangka. SA diduga melontarkan ucapan rasialis kepada penghuni AMP yang memicu aksi massa di Papua dan Papua Barat. Nama Tri Susanti muncul di beberapa stasiun televisi pada Selasa (20/8/2019). Ini setelah di Papua dan Papua Barat terjadi kerusuhan yang meluas, menyusul ucapan rasialis di Surabaya itu. Mewakili beberapa ormas, Mak Susi meminta maaf ke publik. Menurutnya, pihaknya tak berniat mengusik warga Papua dan Papua Barat di Surabaya. “Kami atas nama masyarakat Surabaya dan rekan-rekan ormas menyampaikan permohonan maaf,” ungkap Mak Susi, seperti dilansir KompasTV. Kericuhan di AMP Surabaya, berawal dari informasi adanya perusakan bendera merah putih. “Kami hanya ingin bahwa Papua ini Indonesia. Kami hanya mau bendera merah putih. Jadi, tujuan utama kami untuk merah putih dan berdampak seperti itu,” lanjut dia. Mak Susi sempat diperiksa selama 10 jam di Markas Polda Jatim sejak pukul 15.00 WIB dari Senin (26/8/2019), terkait aksi pengepungan AMP. Saat itu tim penyidik mendalami dugaan ujaran kebencian yang dilakukan Mak Susi melalui grup WhatsApp. Ada 26 pertanyaan yang diajukan penyidik. Selain Mak Susi, ada lima anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) yang telah diperiksa polisi. Salah satu diantaranya, AS, kini juga dijadikan tersangka dan ditahan oleh penyidik, menyusul Mak Susi. Setelah melakukan penyelidikan dan mendalami keterangan para saksi, polisi tetapkan MakSusi dan AS sebagai tersangka. Penetapan Mak Susi itu didasari sejumlah alat bukti, yakni video elektronik pernyataannya di sebuah berita, video serta narasi yang viral di media sosial, dan rekam jejak digital. Seperti diketahui, pada Rabu, 14 Agustus 2019, Mak Susi mengundang sejumlah ormas di sebuah warung di Jalan Penataran Surabaya. Kamis, 15 Agustus 2019, ia pun mengunggah pengumuman dalam sebuah grup WA berisi kata-kata: “Karena ada kemungkinan masalah bendera di depan Asrama Kalasan akan dibuat besar, digoreng oleh mereka bila butuh perhatian internasional. Semoga hanya dendam coklat saja, masalah penahanan mahasiswa di Polda Papua”. Selanjutnya, Jum’at, 16 Agustus 2019, Mak Susi mengunggah gambar di grup WA Info KB FKPPI. “Bendera merah putih dibuang ke selokan oleh kelompok separatis di Surabaya pada Jumat, 16 Agustus 2019, pukul 13.30 WIB, tepatnya di depan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya”. Pada Sabtu, 17 Agustus 2019, di grup WA yang sama, Mak Susi menuliskan, “Mohon perhatian urgent, kami butuh bantuan massa, karena anak Papua akan melakukan perlawanan dan telah siap dengan senjata tajam dan panah. Penting Penting Penting”. Selanjutnya, dalam aksi Sabtu, 17 Agustus 2019, muncul ujaran-ujaran rasial yang disebut memicu aksi kerusuhan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat. Setelah jadi tersangka, penyidik juga telah mengajukan surat pencekalan terhadap yang bersangkutan ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. “Permohonan pencekalan telah diajukan. Surat panggilan juga telah disampaikan. Sejauh ini, telah diperiksa 16 saksi terkait dan telah diperiksa ahli,” ujar Dedi, seperti dilansir Kompas TV, Rabu (28/8/2019). Menurut Brigjen Dedi, Mak Susi disangka Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menyusul Mak Susi, Tim Penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim kembali menetapkan tersangka dalam kasus pengepungan AMP di Surabaya. Berdasar penyelidikan video dari laboratorium forensik dan mendalami keterangan saksi, SA ditetapkan tersangka dan ditahan. “SA diketahui mengeluarkan kata-kata mengandung rasis dan diskriminasi kepada penghuni asrama,” kata Kapolda Jatim Irjen Polisi Luki Hermawan, Jumat (30/8/2019). SA yang ASN tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sayangnya, Irjen Luki belum mau menyebut dari kelompok ormas mana tersangka SA dimaksud. “Itu nanti, tunggu pendalaman saja,” terang Irjen Luki, seperti dikutip Kompas.com, Jum’at (30/8/2019). Selain Mak Susi dan AS (unsur sipil/warga), tampaknya bakal ada oknum TNI yang dijadikan tersangka karena diduga terlibat provokasi. Seperti dilansir Kompas.com, Minggu (25/8/2019), Kapendam V/Brawijaya Letkol Arm Imam Hariyadi mengatakan, lima anggotanya yang dijatuhi skorsing, salah satunya adalah Danramil 0831/02 Tambaksari. "Skorsing itu namanya pemberhentian sementara, sifatnya temporer. Walaupun sebenarnya itu merupakan sanksi juga ya, jadi hak-hak dia dikurangi juga,” katanya kepada Kompas.com, Minggu (25/8/2019) malam. Menurutnya Letkol Imam, skrosing itu diberikan untuk memudahkan Pomdam V/Brawijaya dalam melakukan penyidikan. Ia menyayangkan tindakan oknum anggota TNI tersebut yang diduga telah melakukan pelanggaran disiplin. Seorang prajurit teritorial, lanjutnya, seharusnya bisa menjaga sikap di lapangan. “Terkait dengan anggota saya, mereka pada saat di lapangan kenapa bisa menampilkan sikap-sikap seperti itu (melontarkan ujaran rasial),” ujar dia. Seorang prajurit teritorial, tampilan mereka di lapangan seharusnya menampilkan komunikasi sosial. “Tidak emosional, walaupun situasinya seperti itu (memanas),” tutur Letkol Imam. Ia menjelaskan, penyidikan yang dilakukan Pomdam V/Brawijaya terus berjalan. Selain itu, menurut Letkol Imam, Pomdam juga melengkapi berkas-berkas perkara sehingga kasus tersebut bisa segera dibawa ke persidangan. Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan nanti, akan diputuskan melalui persidangan di peradilan militer. “Begitu persidangan nanti kan ada putusan. Nanti hasil putusan itulah yang (menentukan hukuman). Dasarnya adalah hasil penyidikan saat ini,” jelas Letkol Imam. Selain Danramil Tambaksari, Imam tidak menjelaskan secara rinci siapa saja 4 anggota TNI lainnya yang diduga ikut melontarkan makian kepada mahasiswa asal Papua tersebut. Ia memastikan semua yang ada di lapangan sudah diambil keterangannya. “Saya kurang tahu. Nanti yang lain juga akan didalami apakah hanya saksi atau diduga ikut terlibat (melontarkan kata-kata rasis), yang jelas kalau saya lihat ada satu kelihatan emosi,” kata Letkol Imam. Yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengapa ada kesan pengepungan terhadap AMP ini bisa sampai terjadi, dan lolos dari aparat Polri maupun TNI? Apakah benar tersangka Tri Susanti sebagai Koordinator Aksi yang mengundang ormas lainnya? Ada baiknya kita ikuti bagaimana kronologi pengepungan AMP Surabaya menurut penuturan penghuni AMP berikut: Rabu, 14 Agustus 2019, 09.30 Kami didatangi Satpol PP untuk Izin Pemasangan bendera (merah-putih); Kamis, 15 Agustus 2019, 09.00 Kami didatangi Camat Tambaksari, Satpol PP, dan TNI untuk memasang bendera di depan AMP Surabaya; Jumat, 16 Agustus 2019, 09.02 Penambahan pengecoran tiang bendera di depan AMP Kamasan III Surabaya oleh Satpol PP bersama intel-intel aparat TNI-Polri, 15.45 Danramil Tambaksari datang mengamuk-ngamuk; Menendang pagar asrama KAMASAN III beberapa kali dan kemudian merusak fiber plat dan banner penutup pagar asrama, yang kemudian diikuti oleh anak buahnya berpakaian dinas loreng lengkap, juga berpakaian preman; Danramil sendiri yang kemudian memprovokasi beberapa massa yang diduga ormas untuk datang ke asrama seperti yang terlihat divideo. Satpol-PP, aparat kepolisian berpakaian dinas lengkap dan berpakaian preman pun berada di TKP namun tak berbuat apa-apa. Ancaman pembunuhan pun datang dari salah seorang oknum perwira TNI-AD, ”Awas kamu, kalo sampai jam 12 malam kamu keluar, lihat saja kamu saya bantai.” Ancaman serupa pun datang dari seorang oknum yang diduga intel berpakaian (Jaket coklat) preman. Ia mengancam Hendrik jika sampai keluar pagar asrama maka akan dibantai. Mereka memaki kami dengan kata-kata rasis: ”Monyet, Babi, Anjing dan Kera”, juga: ”Kamu jangan keluar, saya tunggu kamu”. Saat itu juga jumlah ormas-ormas reaksioner semakin bertambah banyak. Kemudian mereka dobrak pintu depan asrama dan melempari batu hingga mengakibatkan kaca asrama pecah, jalan-jalan pun diblokade. Kami terkurung diruang Aula Asrama. Sabtu, 17 Agustus 2019, 13.20-13.40 Ormas orasi-orasi dengan meneriaki yel-yel, usiir, usiir, usiir Papua, Usir Papua sekarang juga. Selain itu kata-kata rasis (Monyet,Anjing, Babi), dan berbagai kata makian pun masih diteriaki; 13.40-14.20 Aparat berusaha menyuruh kami untuk segera mengosongkan Asrama dan salah satu anggota dari LBH Bung Dani melakukan negosiasi. Selang beberapa menit ia masuk dan mengkoodinasi dengan Mahasiswa Papua di dalam ruang Aula selama 5 Menit. 14.20 - 14.40 Kami diteriaki dengan semua kata-kata rasis sambil barisan Aparat Brimob mulai mengangkat senjata laras panjang dan mengarahkan ke Arah Asrama. Mereka langsung masuk mendobrak pintu kecil sambil melakukan tembakan. Kami Mahasiswa ada di dalam Aula dan berusaha melindungi diri dari tembakan senjata api dan gas air mata yang dilepaskan dari aparat dan Ormas yang meneriaki rasis. Kami semua kena gas air mata dan rasa pedis + panas di kulit kami semakin menjadi-jadi. Selama tembakan berlangsung suasana, asrama penuh dengan kabut asap dan beberapa di antara kami sesak nafas. Mereka berhasil masuk dan mengarahkan senjata ke depan sambil mengarah ke arah posisi kami kumpul. 14.40 Kami dipaksa dan didorong dari lantai 2 turun dan berjalan jongkok keluar dengan tangan terangkat. Sementara itu alat komunikasi kami semua dirampas dan ditahan. Kami diarahkan keluar menuju halaman dan dipaksa menggunakan tembakan senjata api untuk turun dari lantai 2. Kami diangkut ke dalam 4 Dalmas lebih yang sudah parkir depan asrama sejak pagi tadi. Kami diperiksa dan didorong masuk ke truk Dalmas. Ada di antara kami yang dipukul dengan sepatu laras panjang dan pukulan tangan hingga mengeluarkan darah. Ada 4 orang yang diborgol tangannya dan dituntun keluar asrama dan diangkut. Ada diantara kami yang luka berdarah. 15.50 Kami tiba di Polrestabes Surabaya dan diarahkan di salah satu ruangan dan dimintai Keterangan Nama; 18.20 Kuasa Hukum kami dari LBH dan Kontras Surabaya melakukan negosiasi; 18.24 - 21.45 Kami dimintai keterangan Kepolisian; 23. 20 Kami dipulangkan dan tiba di Asrama Mahasiswa Papua. Dari jejak waktu dan peristiwa di atas sudah jelas, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas insiden di AMP Surabaya itu hingga menjadi “pemantik” kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Atas perintah siapa Koramil memprovokasi Ormas? Juga, atas perintah siapa Brimob lakukan “penyerangan”? Dengan mudah bisa dijawab: adakah Asing terlibat? ***
Tamparan Keras dari Papua
Papua menampar para pemimpin negeri ini. Di depan istana, putera Papua mengibarkan Bintang Kejora. Mereka meneriakkan yel yel “merdeka”. Para pemimpin negeri ini seakan tak berdaya. Mereka diam seribu bahasa. Oleh Dimas Huda Jakarta FNN - Kamis 29 Agustus 2019, media massa memberitakan Presiden Joko Widodo berkali-kali tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan ulah pelawak Kirun yang tampil di tengah pertunjukan wayang. Pada malam itu, didampingi oleh ibu negara Iriana dan pejabat lainnya, Jokowi menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang digelar di Alun-alun Kota Purworejo. Padahal, pada siang harinya, nun jauh di sana, di wilayah timur Indonesia, Jayapura bergolak. Sudah hampir dua pekan ini daerah itu membara. Unjuk rasa menjalar di beberapa wilayah lainnya sejak Senin (18/8). Tuntutan mereka seragam: merdeka. Bendera Bintang Kejora pun dibawa-bawa. Pada Kamis itu massa membakar gedung Majelis Rakyat Papua (MRP), mobil, kantor Pos, hingga kantor Telkom Indonesia. Suasana mencekam. Warga pendatang tak berani keluar rumah. Di Kabupaten Deyai, Papua, unjuk rasa berakhir rusuh. Sejumlah petugas dan warga tewas. Menkopolhukam Wiranto melaporkan dari TNI ada tiga orang. Satu meninggal dunia, dua luka dan sekarang masih kritis. Sedangkan dari aparat kepolisian ada empat luka-luka. “Masyarakat satu yang meninggal, juga tewas karena kena panah dan senjata-senjata dari masyarakat sendiri," katanya, Kamis (29/8). Gambar-gambar prajurit TNI dan Polri yang roboh bersimbah darah dengan kepala tertusuk panah, beredar luas di media sosial. 10 pucuk senjata SS 1 milik TNI dikabarkan dirampas oleh pengunjuk rasa. Pengungsi Konflik Papua sudah terjadi lama. Jauh sebelum insiden rasis di Malang dan Surabaya. Insiden dua kota di Jawa Timur itu hanya pemicu saja. Papua bak api dalam sekam. Namun, para pemimpin tak menganggap serius, sampai kemudian belasan karyawan PT Istaka Karya dibantai anggota Organisasi Papua Merdeka di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu. Selanjutnya, pemerintah menambah pasukan militer di Kabupaten Nduga untuk mengejar kelompok OPM pimpinan Eginaus Kogeya. Di tengah operasi militer ini ribuan warga sipil mengungsi. Sebelum rakyat Papua turun ke jalan-jalan, Tim Kemanusiaan yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga menyatakan 182 pengungsi meninggal di tengah konflik bersenjata. "Ini sudah tingkat pelanggaran kemanusiaan terlalu dahsyat. Ini bencana besar untuk Indonesia sebenarnya, tapi di Jakarta santai-santai saja," ujar John Jonga, anggota tim kemanusiaan, seperti dikutip BBC Indonesia. Menurutnya, pengungsi yang meninggal - sebagian besar perempuan berjumlah 113 orang - adalah akibat kedinginan, lapar dan sakit. Berdasarkan temuan tim yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga ini, para pengungsi berasal dari Distrik Mapenduma sebanyak 4.276 jiwa, Distrik Mugi 4.369 orang dan Distrik Jigi 5.056, Distrik Yal 5.021, dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar 3.775 orang. Sejumlah distrik lain yang tercatat adalah Kagayem 4.238, Distrik Nirkuri 2.982, Distrik Inikgal 4.001, Distrik Mbua 2.021, dan Distrik Dal 1.704. Mereka mengungsi ke kabupaten dan kota terdekat atau ke dalam hutan. "Ada yang ke Wamena, Lanijaya, Jayapura, Yahukimo, Asmat, dan Timika. Pengungsi-pengungsi itu (sebagian) masih ada di tengah hutan, sudah berbulan-bulan," lanjut John. Hanya saja, berdasarkan Kementerian Sosial dan Pemprov Papua, jumlah pengungsi Nduga yang meninggal sebanyak 53 orang. Dari angka korban itu, 23 di antaranya merupakan anak-anak. Adem Ayem Banyak yang mengkritik bahkan mengecam cara Jokowi menyikapi pergolakan di Papua. Dia santai. Bagaikan tak ada kejadian apa-apa. Dia tangguhkan kunjungan ke Papua. Padahal, kunjungan itu perlu untuk menunjukkan keseriusan pemerintah meredakan kemarahan orang Papua. Sejumlah kalangan juga menyerukan situasi di Papua sangat gawat. Sebuah situasi yang jauh lebih serius bila dibandingkan dengan saat Provinsi Timor-Timur lepas dari Indonesia. Papua bisa menjadi pintu masuk disintegrasi bangsa. Indonesia bisa terjerembap dalam Balkanisasi. Terpecah-pecah menjadi banyak negara. Seperti yang terjadi pada negara eks Yugoslavia. Praktisi media, Hersubeno Arief, mengingatkan dibandingkan dengan Timtim, potensi Papua lepas dari Indonesia jauh lebih besar. Secara ekonomi, politik, maupun pertarungan geopolitik global, posisi Papua lebih menarik dan menentukan. Dari sisi ekonomi potensi sumber daya alam Papua jauh lebih menggiurkan. Mulai dari tambang, energi, hutan, potensi kelautan, wisata dan lain-lain. Jangan dilupakan, masalah Papua tidak lepas dari gelombang persaudaraan ras Melanesia (Melanesian Brotherhood). AS, Inggris dan Australia menjadi salah satu penyokong dan “pelindung” 16 Forum Negara Kepulauan Pasifik ( Pasifik Island Region). Dengan didukung negara-negara Afrika--karena persamaan warna kulit--Forum Negara Kepulauan Pasifik ini bisa memainkan peran penting dalam lobi-lobi kemerdekaan Papua di PBB. Saat insiden pembakaran masjid di Tolikara, Letjen TNI Purn. J Suryo Prabowo pernah memperingatkan lepasnya Timtim diawali peristiwa yang mirip-mirip itu. Dalam kurun waktu 1996-1998, diawali dengan adanya mushola dibakar di Viqueque, kemudian banyak gereja dibakar di daerah lain di luar Timtim. Eskalasinya membesar hanya gara-gara satu kasus di pelosok provinsi termuda Indonesia waktu itu. Veteran perang Timtim ini menyebut kasus Timtim itu sebagai permainan global. Pada 1996 ribuan prajurit Australia disiagakan di Darwin. Mereka dipersiapkan untuk bisa beroperasi di daerah tropis. Tiga tahun kemudian, pada 1999, prajurit-prajurit Australia itu tiba di Bumi Loro Sae di bawah bendera PBB sebagai pasukan Interfet (International Force for East Timor). Dan tak lama kemudian, akibat intervensi global, terjadi referendum dan Timtim lepas. Kini di Darwin ada sekitar 20-an ribu marinir AS. “Apakah mungkin Marinir AS itu akan ke Papua sebagai Interfweb (International Force for West Papua)?” sentil Suryo Prabowo, kepada Forum Keadilan, suatu ketika. Asal tahu saja, ada sedikitnya 20 negara yang ‘mencari makan’ di Papua. Kenyamanan mereka belakangan sedikit terusik. Itu sebabnya, Indonesia harus lebih serius lagi menangani masalah Papua. Jangan sampai peristiwa Timtim terulang kembali.
Harus Diakui Kehebatan Mereka dalam Fabrikasi Isu
Mereka buat fabrikasi isu-isu pengganti. Muncul dengan rapi dari hari ke hari. Sekarang ada soal pemindahan ibu kota. Disusul masalah Papua yang diduga keras adalah ‘permainan’ orang-orang yang memiliki kekuasaan di luar sistem. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sekarang ini tidak ada lagi yang berbicara soal 600-an petuas KPPS pemilu 2019 yang meninggal dunia. Keluarga yang meninggal diberi santunan 36 juta. Ketua KPU, Arief Budiman, menyerahkan uang itu kepada keluarga korban sambil fotonya diambil. Di foto itu ada plakat bertuliskan “Penyerahan Santunan 36,000,000”. Disiarkan oleh media. Persoalan dianggap selesai. Tak ada lagi cerita tentang pemilu yang paling buruk. Yang paling kacau. Pemeritah bisa melenggang tanpa ada yang mengejar soal kematian itu. Kematian massal yang dianggap misterius tsb. Usul agar dilakukan otopsi terhadap jenazah petugas KPPS itu, ditolak begitu saja. Tidak ada yang memprotes penolakan itu. Tidak ada yang meberitakan meskipun ada protes. Kontroversi soal hasil pilpres yang penuh dengan dugaan kecurangan masif itu, juga bisa hilang. Diganti dengan isu ‘permen koalisi’. Diambil alih oleh heboh diplomasi nasi goreng dan pertemuan Lebak Bulus. Disusul hiruk-pikuk jatah kursi menteri. Yang goblok-goblok kemudian memunculkan isu Poros 3. Lalu ada soal ‘penumpang gelap’. Seolah-olah tidak ada lagi persoalan keabsahan penghitungan suara pilpres. Seakan tidak ada masalah legitimasi jabatan presiden. Semua diminta atau direkayasa supaya ‘move on’. Melupakan perampokan kolosal suara rakyat. Diminta membiarkan konspirasi jahat itu berlalu tanpa prosekusi. Harus diakui kepintaran dan kehebatan mereka mengalihkan perhatian publik. Hebat. Acungan jempol untuk kehebatan penguburan isu pilpres yang sebetulnya merupakan skandal demokrasi terbesar dan terburuk di dunia. Mereka buat fabrikasi isu-isu pengganti. Muncul dengan rapi dari hari ke hari. Sekarang ada soal pemindahan ibu kota. Disusul masalah Papua yang diduga keras adalah ‘permainan’ orang-orang yang memiliki kekuasaan di luar sistem. Akibatnya, publik dihebohkan oleh kedua topik yang trendy ini. Kejahatan demokrasi yang sebetulnya sangat merusak perjalanan bangsa ini, menjadi semakin jauh dari publik. Padahal, kejahatan politik itu baru saja dilakukan beberapa bulan yang lalu. Belum sampai setengah tahun. Luar biasa pintar dan ampuh cara kerja mesin pengalihan isu di negeri ini. Perampokan dahsyat itu lenyap begitu saja. Rakyat dihibur dengan kontroversi pemindahan ibu kota dan ancaman Papua lepas. Seakan-akan seluruh proses pilpres tidak ada masalah. Seakan hasil pilpres 2019 bersih dari najis. Kemudian, kesulitan berat perekonomian juga bisa mereka tutupi. Dampak fatal akibat utang besar, juga dibuat seperti tidak bermasalah. Strategi senyap hegemoni ekonomi RRC, berjalan tanpa gangguan yang berarti. Penyeludupan narkoba skala besar bisa berlangsung di balik kobaran beberapa isu baru itu. Ancaman terhadap KPK yang bakal jatuh ke tangan para bandit, tersisihkan oleh orkestrasi isu-isu tsb. Semua orang membahas ibu kota dan Papua. Dalam dua hari ini, ditambah isu hukuman kebiri kimiawi untuk pelaku kejahatan pedofil di Mojokerto. Semua media memberikan bobot yang berlebihan terhadap isu baru ini. Begitulah cara mereka mengacak-acak perhatian publik. Membuat kejahatan para penguasa dan ancaman kekuatan asing, lepas dari kejaran media. Lepas dari investigasi jurnalistik dan jurnalistik investigatif.*** 29 Agustus 2019
Pindah Ibukota, Jokowi Mengikuti Jejak Pakubuwono II
Jadi kalau mau dicari-cari faktor kesamaan dan bukti bahwa teori pengulangan sejarah berlaku, kata kuncinya ada dua: SOLO dan CINA! Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sejarah selalu berulang. Hanya pelaku, waktu dan seting peristiwanya yang berubah. Termasuk rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. 274 tahun lalu (1745 M) Pakubowono II memindahkan ibukota Kerajaan dari Kartasura ke kota Surakarta. Lebih dikenal sebagai kota Solo. Alasan pemindahan, Keraton Kartasura sudah rusak dan “tidak suci” lagi. Porak poranda karena diduduki para pemberontak Cina. Sebagai buntut pembantaian etnis Cina oleh Kompeni Belanda di Batavia (1740), orang-orang Cina di pesisir Utara Jawa melakukan perlawanan. Sentimen anti Belanda juga menjalar ke Kartasura. Pemberontak Cina menyerbu Keraton Kartasura. Pakubuwono II adalah sekutu Belanda. Entah kebetulan atau tidak, Jokowi juga berasal dari Solo. Alasan Jokowi, “ Jakarta sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa.” Selain itu Jokowi juga ingin mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ke luar Jawa. Sehingga tidak lagi Jawa sentris. Coba perhatikan! Faktor Cina ternyata kembali berperan. Karena keterbatasan anggaran pemerintah, kemungkinan besar pengusaha Cina lokal dan pemerintah Cina akan ikut berperan sangat besar dalam pembangunan ibukota baru itu. Jadi kalau mau dicari-cari faktor kesamaan dan bukti bahwa teori pengulangan sejarah berlaku, kata kuncinya ada dua: SOLO dan CINA! (Peran swasta dan asing dominan) Soal urgensi dan ketidaksiapan anggaran inilah yang kini banyak dipersoalkan oleh sejumlah kalangan. Sejumlah ekonom mengingatkan dan mewanti-wanti agar Jokowi mengurungkan niatnya. Termasuk ekonom senior Emil Salim. Seperti dikatakan Jokowi, biaya pembangunan ibukota baru akan menelan biaya sebesar Rp 466 triliun. 19 persen (Rp 88.54 T) diantaranya bersumber dari APBN. Sisanya berasal dari kerjasama pemerintah dengan badan usaha dan investasi swasta (KPBU). Menteri PPN/Bappenas Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan, untuk menambah pembiayaan pembangunan ibukota pemerintah akan menerapkan skema tukar guling sejumlah aset pemerintah di Jakarta. Aset tersebut tersebar di Jalan Medan Merdeka, Jalan MH Thamrin, Jalan Sudirman, kawasan Jalan Rasuna Said, Kuningan dan Sudirman Central Business District (SCBD). Perlu dicatat di Jalan Medan Merdeka Utara terdapat Istana Presiden, Gedung Mahkamah Agung, Departemen Dalam Negeri, dan Mabes TNI AD. Di Merdeka Selatan terdapat Istana Wapres, Balaikota DKI, dan Gedung Kementerian BUMN. Di Jalan Medan Merdeka Selatan dan Utara, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, kawasan Kuningan dan SCBD tersebar sejumlah bangunan penting departemen dan kantor pemerintahan, termasuk kantor pusat Bank Indonesia. Belum lagi bila kita bicara Gedung MPR/DPR di kawasan Senayan yang lahannya sangat luas. Asset-asset tersebut jelas sangat menggiurkan. Bikin air liur pengembang langsung meleleh. Dipastikan para pengusaha besar dan asing yang berminat, sudah mulai membuat daftar. Melakukan lobi, kasak-kusuk, gedung dan lahan mana saja yang akan mereka caplok. Ada dana sangat besar yang akan beredar. Ada cash back super jumbo yang masuk ke kantong sejumlah oknum pemerintah dan swasta. Ada pengusaha dan oknum pemerintah yang akan kaya mendadak. Tambah tajir melintir karena tukar guling dan pemindahan ibukota. Siapa saja para pengusaha besar yang potensial bakal menguasai asset negara yang ditinggal boyongan ke Kaltim? Sudah bisa diduga. Tak akan jauh-jauh dari mereka yang masuk dalam daftar 1.00 orang terkaya di Indonesia. Majalah Forbes yang bermarkas di AS, merilis daftar orang terkaya Indonesia tahun 2019. Dari 10 orang terkaya, hanya menyelip satu nama pengusaha pribumi. Chairul Tanjung yang berada di peringkat ke-5. Jika daftarnya diperpanjang sampai 20 nama, pemilik jaringan Trans Media dan Trans Mart itu tetap menjadi satu-satunya nama. Bila kita bicara negara asing yang potensial ikut membangun ibukota dan membeli aset pemerintah, maka tak jauh-jauh negara itu adalah Cina. Negara tirai bambu itu sudah menjadi semacam aspirin bagi Indonesia. Semua masalah keuangan negara, jalan keluarnya adalah Cina. Pemerintah Cina sangat getol menggelontorkan dananya ke sejumlah proyek infrastruktur di Indonesia. Mulai dari kereta api cepat, sejumlah pembangkit listrik, dan berbagai proyek lainnya. Kabar terbaru dari Menko Maritim Luhut Panjaitan, sebuah perusahaan asuransi asal Cina bersedia membantu memperbaiki IT BPJS Kesehatan. “Bagi Pak Menko maritim, sepertinya setiap masalah yang dihadapi bangsa solusinya hanya satu yaitu minta 'bantuan' dari China,” sindir mantan Sesmen BUMN Said Didu melalui akun twitternya. Jakarta memang berbeda dengan Kartasura. Nurhadi Rangkuti dalam artikelnya berjudul : Kartasura yang Ditinggalkan (Majalah Arkeologi Indonesia, 12 Juli 2011) menulis : Menyaksikan bekas keraton atau baluwarti Kartasura sungguh menyedihkan. “Di dalam tembok baluwarti, kini dipenuhi dengan perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, tempat tinggal puteri keraton (keputren) dan petamanan keraton telah menjadi pemukiman padat. Sitihinggil, tempat yang ditinggikan di depan alun-alun, sebagian telah pula menjadi permukiman. Puing-puing bangunan kuna yang tersisa adalah gedung obat (mesiu), bangunan pos jaga Kumpeni. Situs itu kini dipenuhi makam.” Istana Presiden dan aset pemerintah di Jakarta dipastikan tidak akan bernasib seperti itu. Tidak perlu kaget bila Istana Negara —jika benar termasuk daftar aset tukar guling— menjadi menjadi “istana” baru salah satu orang terkaya di Indonesia, atau kantor Perwakilan pemerintahan asing. Gedung yang sekarang bernama Istana Negara, dibangun tahun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten. Semula merupakan rumah peristirahatan milik pengusaha Belanda bernama J A Van Braam. Teori pengulangan sejarah kembali berlaku. Dari pengusaha kembali pengusaha. Dari milik asing kembali menjadi milik aseng. End
Papua, “We Are Not Monkey”
Framing Abu Janda terhadap Front Pembela Islam (FPI) itu sudah sangat terlalu luar biasa! Seharusnya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bertindak tegas. Karena, fakta di lapangan yang beredar dalam video-video, justru tampak ormas Doreng. Oleh Mochamad Toha Wartawan Senior Jakarta, FNN - Sejak berubah nama dari Provinsi Irian Jaya menjadi Papua (dan Papua Barat) pada waktu Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid – Wapres Megawati Soekarnoputi, persoalan Papua memang begitu seksi untuk dijadikan “proyek politis”. Gelontoran dana Otonomi Khusus dari Pusat, ternyata belum sanggup “memakmurkan” warga Papua hingga kini. Konflik horizontal di Bumi Cendrawasih nyaris terjadi setiap saat. Beragam pemicu bisa menjadi pemantik kerusuhan di Papua. Provokasi yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan demo di Kota Malang, bermula dari umpatan nama penghuni “Kebun Binatang”, seperti “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua menjadi pemantik kerusuhan. Ditambah lagi adanya provokasi dari akun Permadi Arya alias Abu Janda @permadiaktivis: gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an (6:54 PM - Aug 19, 2019). Framing Abu Janda terhadap Front Pembela Islam (FPI) itu sudah sangat terlalu luar biasa! Seharusnya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bertindak tegas. Karena, fakta di lapangan yang beredar dalam video-video, justru tampak ormas Doreng. “Terbukti ormas cecunguk pengkhianat-cukong yang menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya,” ungkap sumber Pepnews.com. Kepada para pengkhianat, jangan kalian main api dengan mengorbankan rakyat Papua dan umat Islam. Mengapa juga disebut umat Islam segala? Karena framing Abu Janda itulah, rakyat Papua yang tidak tahu peristiwa sebenarnya yang terjadi di Surabaya, langsung menyangka adanya keterlibatan FPI, sehingga sempat ada upaya menyerang masjid. Namun, upaya tersebut mendapat perlawanan umat Islam di Papua, sehingga tidak sampai terjadi bentrok. Setidaknya itulah yang terjadi pada Senin, 19 Agustus 2019, di Manokwari, Papua Barat, lokasi awal mula kerusuhan di Bumi Cendrawasih. Tudingan Abu Janda jelas sudah masuk kategori upaya pecah-belah antar umat beragama (Islam dan Kristen) di Papua. Apalagi, sebelum peristiwa Papua tersebut sudah menyebar video Ustadz Abdul Somad yang dianggap menghina Salib. Karena dianggap menghina simbol agama Nasrani itu, UAS dilaporkan sejumlah kelompok masyarakat ke Polisi. Menariknya, rekaman video yang dianggap menghina ini terjadinya sekitar 3 tahun lalu. Mengapa baru sekarang ini dipersoalkan? Siapa pengunggap rekaman video tersebut, menarik untuk ditelusuri. Karena, dari sinilah nanti bisa terungkap motif di balik penyebarannya. Dalam klarifikasinya, UAS menegaskan video ceramah itu adalah barang lama, tiga tahun lalu. UAS dilaporkan oleh organisasi massa Brigade Meo ke Polda NTT terkait ceramah UAS yang viral di media sosial dan dianggap meresahkan umat Nasrani. WE Online, Senin, 19 Agustus 2019 08:33 WIB mengutip penelusuran akun @nephilaxmus. Penelusuran dari akun twitter atas nama @nephilaxmus menemukan, ada lima cuitan dari beberapa akun yang mendorong kontroversi hukum melihat salib UAS ini yang menjadi viral belakangan ini. Dengan kata kunci penelusuran: ‘somad salib’. Akun Twitter @KatolikG merupakan akun yang terawal mengusung isu video hukum melihat salib UAS tersebut. Pada cuitannya, akun @KatolikG melampirkan postingan akun Instagram @katolik_garis_lucu yang berisi respons atas video ceramah UAS tersebut. Cuitan akun Twitter @KatolikG itu kemudian dibalas komentar beberapa akun, diantaranya akun @PosRonda551, yang memosting cuitan komentarnya pada 15 Agustus 2019 pukul 09.23 PM. Selanjutnya, akun Twitter lain yang mengawali isu ini yakni akun @TolakBigotRI pada 16 Agustus 2019. Dalam cuitannya akun ini prihatin dengan ceramah UAS ini. Sehari sebelum HUT Kemerdekaan RI-74, beberapa akun menggulirkan isu ceramah salib UAS yaitu akun @inspirasijiwa pada 16 Agustus 2019 pukul 12.22 PM. Akun lainnya yang mengomentari isu video ceramah UAS, yakni akun @Rudi_Tarigan yang memosting statusnya pada 16 Agustus 2019 pukul 12.38 PM mengomentari postingan dari akun @TolakBigotRI. Nah, itu adalah temuan akun @nephilaxmus, kalau penasaran, akun ini sudah menyilakan Anda bisa menelusuri sendiri melalui pencarian di Twitter dengan mengetikkan kata kunci 'somad salib'. Dari penelusuran akun @nephilaxmus tersebut sebenarnya sudah sangat jelas sekali. Bahwa di sini ada unsur kesengajaan dari pemosting untuk membenturkan UAS (Islam) dengan umat Nasrani, sehingga berpotensi muncul konflik antar agama. Ini yang kemudian membuat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menyatakan akan tetap mendampingi UAS berkaitan dengan kasus yang dituduhkan kepadanya. Pendampingannya terkait proses hukumnya. “Pasalnya, selain pengurus LAMR, UAS menyandang gelar adat kehormatan Melayu Riau, Datuk Seri Ulama Setia Negara,” kata Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR, Datuk Seri Al Azhar, dalam pernyataan pers di Pekanbaru, Senin (19/8/2019). Datuk Al Azhar menyampaikan hal tersebut didampingi oleh Ketum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR Datuk Seri Syahril Abubakar, menanggapi gencarnya pemberitaan tentang tuduhan UAS menista agama tertentu yang sampai dilaporkan ke kepolisian. Menurutnya, Datuk Seri Abdul Somad telah membuat klarifikasi atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Selain itu, materi yang dipermasalahkan terjadi tiga tahun lalu dan dibentangkan secara eksklusif. “Atas dasar itu, kami justru mempertanyakan mengapa baru sekarang materi ceramah UAS dipermasalahkan, setelah tiga tahun terjadi, apalagi ceramah itu bersifat eksklusif (tertutup),” katanya. Menurut Datuk Seri Syahril Abubakar, atas dasar itu pula pihaknya menduga, ada kepentingan lain di balik mempermasalahkan ceramah UAS tersebut. “Tapi kami yakin, berbagai pihak masih memiliki niat baik agar masalah ini tidak merusak hubungan harmonis anak bangsa, sehingga bisa diselesaikan secara baik,” ujarnya. Pihak UAS sendiri juga sudah melakukan klarifikasi bahwa hal tersebut disampaikan untuk menjawab pertanyaan jamaah tentang Nabi Isa dan patung menurut Islam. UAS mengklaim menjawab pertanyaan jamaah tersebut di dalam kajian tertutup, di Masjid Raya Annur Pekanbaru, di kajian rutin setiap Sabtu subuh, bukan tabligh akbar di lapangan terbuka atau di televisi. Jadi, nasib Papua itu sebenarnya tak ubahnya dengan nasib umat Islam. Mereka telah menjadi target operasi “proyek politis” dari kalangan elit tertentu di Jakarta. Apalagi, konon, hal ini masih ada kaitannya dengan bargaining susunan kabinet. Apalagi, pemantik kerusuhan Papua itu karena ada umpatan “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya dari seorang yang diduga aparat. Dari sini pun bisa ditanyakan, mengapa dia harus berkata seperti itu, siapa yang perintahkan? Solusi atas ketersinggungan warga Papua hanya dengan permintaan maaf saja. Oknum aparat itu harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu. Kasihan Papua, eksploitasi tambang di perut Bumi Cendrawasih “dikuasai” elit politik di Jakarta. Tak ada satupun orang Papua yang berani minta saham PT Freeport Indonesia, seperti yang telah dilakukan elit Jakarta, “Papa Minta Saham”. Tapi, Papua masih cukup beruntung bila dibandingkan dengan umat Islam di provinsi luar Papua. Meski mereka membawa bendera Bintang Kejora, toh tidak ada aparat berwenang yang berani merampas dan menangkapnya, meski di depan Istana Merdeka sekalipun. Ini berbeda dengan perlakukan terhadap umat Islam. Langsung dipersekusi! Apalagi sampai membawa Bendera Tauhid! Langsung dituding terpapar radikal, terlibat HTI, dan diburu aparat! Bahkan, ditembakin dengan peluru tajam, seperti saat demo di depan MK pada 21-22 Mei 2019 hingga menewaskan 9 orang. Demo Papua, tidak ada sebutir peluru tajam pun yang keluar dari senjata aparat. Yang terjadi justru sebaliknya. Aparat (polisi) malah dikejar-kejar pendemo yang menuntut Referendum dan Merdeka di Papua, Senin (19/8/2019). Kasihan Papua dan umat Islam yang sejatinya telah menjadi korban “proyek politik” demi sebuah tujuan elit politik di Jakarta. End.
Pak Dasco, Mana "Penumpang Gelap" Itu?
Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Kita tinggalkan sejenak soal Papua. Kembali dulu ke isu pilpres. Tepatnya ke soal “penumpang gelap” di kubu Prabowo. Sebab, isu ini belum tuntas. Tidak bisa didiamkan begitu saja. Julukan ini terlanjur meciptakan kekeruhan. Menimbulkan keresahan. Publik menebak-nebak siapa gerangan ‘penumpang gelap’ itu. Orang yang selama ini berada di sekitar Prabowo, semuanya bisa menjadi tertuduh. Termasuk para habaib, ulama, ustads, relawan, emak-emak, dlsb. Dan juga para kader Gerindra garis lurus. Kalau yang garis bengkok tak akan menjadi tertuduh penumpang gelap. Mereka malah menggelapkan penumpang atau membuat penumpang menjadi gelap. Wakil ketua umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, harus menjelaskan siapa itu ‘penumpang gelap’ yang dia katakan mau membenturkan Prabowo Subianto (PS) dengan pihak yang berkuasa. Dasco yang memulai istilah itu. Dia yang memunculkan tuduhan itu. Dia yang menebar fitnah itu. Sekarang, Pak Dasco, Anda harus gentlemen. Anda harus tunjukkan ke publik siapa-siapa itu ‘penumpang gelap’ yang Anda maksudkan. Anda tidak boleh lepas tangan setelah Anda mulai fitnah itu. Yang Anda sebut ‘penumpang gelap’ itu membuat banyak orang tak nyaman. Fitnah Anda itu seakan-akan tertuju kepada para habaib, para ulama, para ustadz yang selama ini mendukung Prabowo. Seolah-olah tertuju kepada para relawan, emak-emak, dan simpatisan Prabowo. Anda sebutkan bahwa ‘penumpang gelap’ itu adalah orang-orang yang tak setuju dengan anjuran agar tidak ada aksi damai di Mahkamah Konstitusi (MK) ketika akan berlangsung sidang gugatan hasil pilpres 2019. Tuduhan Anda, Pak Dasco, sangat liar. Sangat berbahaya. Banyak orang bisa risih dan resah. Sebab, ada puluhan ribu orang yang merasa perlu mengawal sidang di MK itu. Dan mereka sama sekali tidak punya maksud membuat keonaran. Tidak bermaksud melaga-laga siapa pun. Mereka hanya ingin menunjukkan solidaritas kepada Prabowo dan ingin agar keadilan bisa menang di MK. Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Pak Fadli Zon, yang juga wakil ketua umum Gerindra, sudah membantah keberadaan ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo. Setelah itu, tak ada angin tak ada hujan, muncul tulisan buzzer bayaran Anda yang memuji-muji Habib Rizieq. Tulisan ini seolah ingin meredam tudingan ‘penumpang gelap’ ke arah Habib, ke arah para ulama. Kalau Anda tidak menjelaskan soal ‘penumpang gelap’ itu, maka tidak keliru kalau ada yang berkesimpulan bahwa Anda memang ingin para ulama dan umat Islam tidak lagi bersama Prabowo. Ini mirip dengan kejadian ketika seorang ketua umum partai yang mengatakan bahwa partai dia tidak perlu suara umat Islam. Menurut hemat saya, sikap tegas ketum partai itu malah lebih bagus. Lebih terhormat. Dia terus-terang mengatakan partai beliau tak memerlukan suara umat Islam. Nah, sebaiknya Anda pun berterus terang saja. Katakan dengan tegas bahwa Anda dan Gerindra tak perlu umat Islam. Ini lebih baik ketimbang Anda munculkan istilah ‘penumpang gelap’ yang salah satu arahnya tertuju ke para ulama dan umat Islam. Juga tertuju kepada para relawan dan emak-emak yang boleh dikatakan 100% berasal dari latarbelakang umat Islam. Jadi, Pak Dasco, kami imbau sekali lagi agar Anda menjelaskan siapa saja ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Agar semuanya menjadi jelas. Berbagai pihak telah menyampaikan desakan agar ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo diungkap saja identitasnya. Dibuka saja. Supaya tidak terus liar. Agar bisa diketahui apakah mereka para ulama atau bukan. Atau, kalau bukan ulama, berarti ‘penumpag gelap’ itu adalah mereka yang juga ‘penumpang terang’. Harap diingat, para ulama dan umat Islam berperan besar mengantarkan Prabowo ke posisi tawar (bargaining position) politik seperti sekarang ini. Dukungan kuat umat Islam di seluruh pelosok Indonesia di pilpres 2019 ini membuat Parbowo bisa menjadi figur yang diakui kekuatan politiknya oleh pihak lawan. Sayangnya, Anda bertindak ceroboh dengan isu ‘penumpang gelap’. Inilah tudingan yang menyakitkan para ulama dan umat Islam, seandainya merekalah yang Anda maksud. Sangat tendensius. Sekali lagi, kalau Anda dan Gerindra tak perlu umat, lebih baik dikatakan saja dengan tegas. Anda tidak harus membuat fitnah ‘penumpang gelap’ untuk mengusir ulama dan umat dari lingkaran Prabowo. Umat akan pergi dengan sukarela. Banyak kok yang harus diurus oleh para ulama dan umat. Jadi, Pak Dasco, tolong jawab mana Penumpang Gelap itu? (23 Agustus 2019)
Donald Trump dan Reputasi Amerika
Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). By Shamsi Ali Imam di Kota New York York, NewFNN - Ternyata kebesaran dan harga diri sebuah negara tidak saja ditentukan oleh kebesaran ukurannya atau kekayaan dan keindahan alamnya. Tidak juga hanya dengan jumlah penduduk dan kemajuan perekonomiannya. Atau ketinggian inovasi sains dan teknologinya. Kebesaran dan kehormatan sebuah negara sedikit banyaknya juga ditentukan oleh siapa yang menjadi pemimpinnya. Pemimpin negara seolah menjadi representasi kecil atau cermin mini dari sebuah negara itu sendiri. Saya teringat di saat Indonesia baru merdeka, merangkak membangun jati diri dalam segala lini kehidupannya. Indonesia ketika itu secara perekonomian lemah, secara militer lemah, secara politik masih dalam proses mencari jatidiri. Bahkan secara sosial rentang mengami disintegrasi karena daerah-daerah baru dalam integrasi. Namun Indonesia justeru di awal-awal kemerdekaannya itu tampil menjadi singa Asia, bahkan salah satu pemimpin dunia yang disegani. Satu di antara sekian banyak kebanggaan itu adalah Indonesia menjadi salah satu pionir berdirinya Gerakan Non Blok (Non Align Movement). Konferensi Asia Afrika yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno di Bandung merupakan cikal bakal terwujudnya Gerakan Non Blok itu. Kini perhimpunan negara-negara dunia ketiga yang lebih dikenal dengan singkatan GNB itu menjadi organisasi dengan anggota terbesar dari negara-negara anggota PBB. Reputasi dan kehormatan yang diraih oleh Indonesia dalam segala keterbatasan itu ternyata salah satunya karena kapabilitas, reputasi dan kharisma pemimpinnya. Dunia menghormati dan memuliakan Indonesia karena kehormatan dan kemuliaan pemimpinnya, Soekarno. Reputasi Amerika Secara ekonomi dan politik, apalagi secara militer, saya tidak pernah meragukan kebesaran dan kehebatan Amerika. Amerika dengan segala kekurangannya, yang dapat kita bicarakan pada kesempatan lain, masih negara super power dunia. Apalagi jika merujuk kepada dasar-dasar kenegaraan, Konstitusi dan nilai-nilai luhur (values) yang menjadi pijakan bagi bangsa Amerika dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan Amerika salah satu negara yang paling solid dalam kehidupan publiknya. Yang justeru mengkhawatirkan, bahkan pada tingkatan tertentu memalukan bangsa Amerika saat ini adalah kenyataan bahwa Presidennya mengalami “mental state” (suasana kejiwaan) yang kurang stabil. Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). Dalam perjalanannya menghuni Gedung Putih ternyata semakin nampak jika sang presiden negara adi daya ini memang tidak stabil dalam kejiwaannya. Keadaan itu terindikasi secara jelas dari kata-kata yang kerap tidak menentu. Berubah setiap saat, seolah berbicara tanpa pertimbangan apapun. Contoh terakhir sebagai misal saja, bagaimana sang presiden menjuluki Perdana Menteri Denmark dengan kata “nasty”, persis seperti yang disebutkan untuk Hillary dalam beberapa kesempatan debat calon presiden saat itu. Kata “nasty” atau “absurd” yang ditujukan kepada PM Denmark itu jelas bukan ekspresi seseorang yang dewasa, apalagi seorang presiden. Dan itu disebabkan karena ada keinginan Donald Trump membeli sebuah pulau yang berbadan otonom di negara itu. Pulau itu adalah Iceland. Tapi PM Denmark menolak keinginan Donald Trump. Penolakan ini oleh Donald Trump dianggap penghinaan yang berujung dengan tuduhan “nasty” atau kotor. Ini bukan pertama kali terjadi. Hal sama dilakukan dengan Perdana Menteri Inggris ketika itu, Theresa, menyerangnya secara kasar melalui akun Twitternya. Sikap dan kata sang presiden ini menjadikan banyak warga Amerika merasa risih, bahkan malu. Bagaimanapun juga presiden sebuah negara menjadi simbol terdepan dari negara itu. Dalam dua hari terakhir ini sang presiden malah menyampaikan hal-hal yang entah itu disadari atau tidak, tapi sangat mengganggu akal rasional bangsa Amerika. Dalam sebuah kesempatan Donald Trump dijuluki oleh seorang penyiar radio sebagai “King of Israel”, penyelamat bangsa Israel. Kita pahami bahwa kata King of Israel dalam bahasa Kitab Suci berarti tuhan itu sendiri. Maka dalam hal ini Donald Trump sedang diposisikan sebagai tuhan. Anehnya Donald Trump malah senang dan bangga dijuluki sebagai King of Israel itu. Dia mengirimkan Twitter dan berterima kasih kepada penyiar radio itu. Di kesempatan lain Donald Trump mengaku sebagai “the Chosen” (orang terpilih) untuk menerapkan tarif dagang yang tinggi kepada China. Kata “chosen” dalam bahasa biblical (kitab suci) berarti seorang utusan atau rasul dalam bahasa umumnya. Keterlibatan Donald Trump dalam pencekalan dua anggota Kongress untuk mengunjungi Israel, Ilhan Omar dan Rashid Tlaib, juga menjadi indikator penting dari ketidak becusan itu. Kunjungan ke Israel merupakan tradisi tahunan anggota Kongress sebagai simbol kedekatan dan dukungan Amerika ke negara itu. Tapi kali ini nuansa itu berubah. Dengan adanya dua anggota Kongress yang beragama Islam, bahkan satunya memang putrì keturunan Palestina, kunjungan itu tidak lagi secara otomatis sebagai dukungan dan persahabatan. Tapi sekaligus sebagai “fact finding mission” atau misi mencari kebenaran di lapangan. Tentu hal ini bagi sebagian yang punya kepentingan berbahaya. Karena selama ini boleh jadi banyak fakta di lapangan yang tidak disampaikan secara jujur kepada bangsa Amerika. Karenanya bangsa Amerika sudah cukup lama “misguided” atau “misled” dalam hal konflik Palestina-Israel. Yang paling aneh dalam kasus ini adalah bahwa Presiden Amerika sendiri yang berkolabirasi dengan Perdana Menteri Israel mencekal anggota Kongress untuk berkunjung. Sungguh realita terbalik di mana presiden sebuah negara harusnya membela warganya, apalagi anggota legislatif, jika diperlakukan tidak senonoh oleh bangsa lain. Terlalu panjang jika semua kejadian yang tidak pantas dan berkaitan dengan presiden Amerika ini disampaikan semuanya. Tapi saya kira bukti terbesar dari ketidak stabilan mentalitas presiden Amerika ini adalah ketika dengan serta merta menjadikan musuh semua yang tidak setuju dengannya. Satu bukti yang paling nyata adalah bahwa dalam masa singkat menduduki Gedung Putih, puluhan staf tinggi negara ini mengundurkan diri atau dipecat. Anehnya hampir semua staf yang mundur atau dipecat itu “turn their backs” alias berbalik dari mendukung menjadi menyerang Doland Trump. Contoh yang paling nyata adalah lawyer pribadinya, Michael Cohen. Akhirnya ketidak stabilan itu juga kembali diekspresikan kemarin hari. Dalam sebuah pernyataannya Donald Trump menyampaikan bahwa jika komunitas Yahudi mendukung Democrat maka itu berarti mereka tidak loyal (disloyal) kepada agama Yahudi dan Israel. Pernyataan ini jelas sangat merendahkan komunitas Yahudi. Seolah dukungan Donald Trump selama ini hanya karena kepentingan “suara” semata. Wajar saja, di satu sisi Donald Trump mendukung sepenuhnya Israel. Tapi di sisi lain pendukung fanatiknya dari kalangan White Supremacy dengan brutal dan kejam menyerang dan membunuh warga Yahudi di Amerika. Jangan terkejut dengan kenyataan paradoks itu. Karena Donald Trump sendiri adalah sosok yang penuh dengan karakter paradoks... * Imam di Kota New York.
LHKPN : Kontradiksi Peraturan Buatan Manusia & Norma Agama
Sebagai catatan dari penulis, Dharma dan Buwas dikenal oleh kalangan wartawan sebagai polisi yang lurus. Dalam pengertian tidak berpolitik, tidak ikut “faksi-faksian”, dan tidak pernah terlihat dan terendus dekat dengan “cukong” siapa pun. Bahkan dari riwayat jabatannya terdahulu, kedua perwira ini tergolong perwira yang selalu “dipinggirkan”. Oleh : Tony Hasyim Wartawan Senior Jakarta, FNN - Pekan lalu, seorang perwira tinggi Polri kembali mempersoalkan aturan wajib menyetor Laporan Harta Kekayaan Peyelenggara Negara (LHKPN ke KPK. Namanya Irjen Polisi Dharma Pongrekun, Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kebetulan yang bersangkutan sekarang sedang mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Dharma sendiri sebetulnya sudah menyetor LHKP ke KPK pada 13 Maret 2019. Tapi ia berpandangan aturan dan sistem LHKPN ini harus diperbaiki. Sebelumnya, tahun 2015, Komjen Polisi Budi Waseso, yang terkenal dengan panggilan “Buwas” juga pernah mempersoalkan LHKPN sewaktu masih menjabat Kabareskrim Polri. Buwas sekarang dipercaya Presiden Jokowi sebagai Kepala Bulog. Sebelumnya Buwas juga sudah menyetor LHKPN sewaktu menjadi Kapolda Gorontalo (tahun 2012). Tapi sewaktu dipromosikan menjadi Kabareskrim, ia enggan menyetor LHKPN. Buwas justru meminta KPK sendiri yang melakukan pencatatan atas harta kekayaannya agar lebih objektif. Menurut Dharma aturan LHKPN membuat orang bersiasat untuk berbohong. Sebab, belum tentu semua harta kekayaan dia laporkan di LHKPN. Dharma menegaskan, sebagai sarana untuk transparansi, LHKPN bisa saja. Namun dia memandang tak perlu ada unsur paksaan atau sanksi. "Kalau lu mau tangkap (koruptor), tangkap saja. Transparansi apa, orang dia belum tentu daftarin semua hartanya kok," tegasnya. Menurut Dharma, LHKPN adalah konsep aturan ateis. Pernyataan Dharma ini menimbulkan kontroversi sampai sekarang. Alasan mempersoalkan LHKPN dari kedua perwira tinggi Polri tersebut hampir senada. Dalam prakteknya memanya memang tidak semua orang bisa objektif dalam mencatat dan melaporkan seluruh harta kekayaan pribadinya dengan berbagai pertimbangan. Bagi yang harta kekayaannya banyak memang sulit untuk mencatat secara detil harta kekayaannya. Bisa jadi mereka khawatir harta kekayaannya menjadi sorotan publik. Tapi bisa juga karena pertimbangan keyakinan agamanya. Terkait keengganan Buwas waktu itu, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) pernah memberi penilaian tersendiri kepada Buwas. Menurut JK, Buwas adalah orang yang sederhana. Sehingga, meyakini harta yang miliki oleh jenderal bintang tiga tersebut tidaklah banyak. Buwas sendiri setelah menjadi Kabareskrim digeser ke posisi Kepala BNN. Tapi setelah itu dipromosikan Jokowo menjadi Kepala Bulog hingga hari ini. Sebagai catatan dari penulis, Dharma dan Buwas dikenal oleh kalangan wartawan sebagai polisi yang lurus. Dalam pengertian tidak berpolitik, tidak ikut “faksi-faksian”, dan tidak pernah terlihat dan terendus dekat dengan “cukong” siapa pun. Bahkan dari riwayat jabatannya terdahulu, kedua perwira ini tergolong perwira yang selalu “dipinggirkan”. Buwas hanya pernah sekali menjadi Kapolda, itu pun di daerah yang tidak “basah”, Provinsi Gorontalo. Dharma, bahkan sama sekali tidak pernah menjadi Kapolda, Kapolwil atau Kapolres. Konon, karena merasa tersisih di internal kepolisian, Dharma berinsiatif mencari medan pengabdian baru. Dalam catatan penulis, Dharma pernah ikut seleksi capim KPK tahun 2011 (waktu masih berpangkat AKPB), lalu mendaftar lagi tahun 2015 (berpangkat Kombes), tapi tidak lolos. Hebatnya, Dharma ikut lagi pada seleksi capim KPK tahun 2019 ini, setelah menyandang bintang dua di pundaknya. Sepertinya ia punya obsesi tersendiri di lembaga pemberantas korupsi tersebut. Bahwa Buwas dan Dharma sekarang punya posisi cukup bergengsi di luar kepolisian barangkali karena nasibnya memang baik. Tapi bisa jadi karena Presiden Jokowi, yang punya kewenangan tertinggi dalam mutasi dan promosi jabatan, dapat informasi tersendiri tentang sosok kedua perwira tinggi polisi Buwas dulu kalah bersaing di bursa calon Kapolri, tapi belakangan malah dijadikan Kabulog oleh Jokowi. Di posisi ini Buwas masih kelihatan aslinya, out spoken dan secara frontal melawan kebijakan impor beras yang diberlakukan Menteri Perdagangan. Faktanya, setelah Buwas masuk Bulog, stok dan harga beras relatif stabil hingga hari ini. Nampaknya Jokowi memang tidak salah dalam memilih Buwas. Dharma meski tidak pernah jadi Kapolda dan jarang muncul di media, sebulan lalu dipromosikan Jokowi sebagai Waka BSSN. Dharma sekarang berusi 53 tahun, masih punya kesempatan berkarir 5 tahun lagi di kepolisian. Dharma diangkat Jokowi sebagai Wakil Kepala BSSN setelah mendaftar menjadi capim KPK. Apakah ini sebuah bentuk dorongan agar Dharma bisa menjadi pimpinan KPK, atau ada rencanana lain? Hanya Jokowi yang tahu. Catatan berikutnya, ayah Buwas adalah Dangir Marwoto, seorang prajurit Kopassus TNI-AD dengan pangkat terakhir kolonel. Ada pun ayah Dharma adalah Marthen Pongrekun, seorang jaksa karir dengan jabatan terakhir Jaksa Agung Muda Pembinaan. Dari latar belakang keluarganya, sudah jelas kedua perwira ini berdarah aparatur negara. Mengapa Mereka Mempersoalkan LHKPN? Tidak banyak pejabat di Indonesia yang berani mempersoalkan kebijakan KPK tentang aturan wajib menyetor LHKPN ini. Karena bisa jadi mereka akan disorot KPK dan para aktivis anti-korupsi. Awal Maret 2019, Wakil Ketua DPR. Fadli Dzon pernah mengusulkan agar KPK menghapus aturan LHKPN dan fokus kepada pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara melalui data pajaknya. Tapi akibatnya Fadli dibully oleh buzzer pendukung KPK. Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, usulan Fadli tersebut tidak bisa dilaksanakan karena SPT (Surat Pemberitahauan Tahunan) Pajak sifatnya sangat rahasia dan tidak bisa diakses semua orang. Sedangkan LHKPN ditujukan agar kepemilikan harta seorang penyelenggara negara bisa dicek dan diklarifikasi kebenarannya. Argumen pejabat KPK ini sebetulnya mudah disangkal. Dalam pembuktian tindak pidana korupsi sebetulnya KPK bisa meminta akses ke rekening tersangka korupsi. Dasar hukumnya adalah pasal 12 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi berwenang meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan uang tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. Logikanya, jika KPK bisa mengakses kerahasiaan data perbankan, harusnya KPK bisa juga menembus kerasahasian data pajak. Tinggal koordinasi dengan Menteri Keuangan. Apa sulitnya? Yang perlu dipahami, Dharma dan Buwas adalah polisi reserse. Semua reserse di dunia menganut doktrin post factum, bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan baru dilakukan setelah tindak pidana terjadi. Hal ini yang membedakan reserse dengan komunitas intelijen. Profesi yang terakhir ini memang lazim bertindak atas dasar “kecurigaan”. Jika KPK bersikeras mengecek dan mengklarifikasi semua harta kekayaan penyelenggara negara sebelum yang bersangkutan menjadi tersangka tindak pidana korupsi, patut dipertanyaan KPK ini lembaga penegak hukum atau lembaga intelijen? Menurut hemat penulis, aturan pelaporan dan pengumuman LHKPN ini adalah produk hukum yang lebay (mengada-ada). Sampai saat ini tidak ada alasan historis dan logis dari lahirnya aturan soal LHKPN ini. Sejauh ini beberapa kalangan, termasuk pejabat di KPK, menyebut bahwa kewajiban melapor LHKPN adalah tolok ukur kejujuran bagi setiap penyelenggara negara. Tapi tidak ada satupun pertimbangan hukum, pasal dan penjelasan dari aturan terkait LHPKN yang menyebut secara eksplisit alasan-alasan dibalik kewajiban melapor LHKPN itu. Dalam situs resmi KPK, disebutkan ada tiga dasar hukum LHKPN. Pertama, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Kedua, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi. Ketiga, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Masih menurut informasi di situs KPK, dinyatakan bahwa bagi Penyelenggara Negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, maka berdasarkan Pasal 20 undang-undang yang sama akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Jelas, karena sanksinya hanya administratif, maka sifat dari melawan hukum atas kewajiban menyetor LHKPN ini adalah “pelanggaran”, bukan kejahatan. Buwas berpegangan pada prinsip ini. Tapi faktanya, sejauh ini belum pernah ada penyelanggara negara dikenakan sanksi oleh instansinya karena tidak menyetor LHKPN ke KPK. Bahkan belum pernah ada pejabat yang ditindak KPK karena katahuan berbohong dalam pengisian LHKPN. Dengan fakta-fakta seperti itu, apa urgensinya KPK membikin aturan wajib setor LHKPN kepada KPK? Memang, dalam dalam Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016, pasal 3 ada satu ketentuan mengatakan, “LHKPN yang telah diumumkan tidak dapat dijadikan dasar baik oleh penyelenggara negara maupun pihak mana pun juga untuk menyatakan bahwa Harta Kekayaan Penyelenggara Negara tidak terkait tindak pidana”. Dengan penafsiran bebas, artinya harta kekayaan yang diperoleh seorang sebelum dan sesudah menjadi penyelenggara negara bisa dirampas oleh negara dalam rangka pemulihan kerugian negara akibat korupsi (asset recovery). KPK memang memiliki instrumen asset recovery. Hal ini diatur dalam pasal 18, UU No. 31 Tahun 1999 tentang UU Pidana Korupsi. Ketentuan ini memberi ruang kepada KPK untuk mengajukan tuntutan pidana tambahan berupa perampasan harta kekayaan dari hasil korupsi dan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Aturan ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Karena tidak saja bersifat ultimum remedium (penghukuman pamungkas), tapi sudah bablas menjadi penghukuman “balas dendam” karena motifnya mengarah kepada “pemiskinan koruptor”. Masalahnya, bagaimana kalau si penyelenggara negara yang bersangkutan sudah kaya raya sebelum jadi pejabat, misalnya karena mendapat warisan atau menikah dengan orang kaya? Apakah harta bawaan tersebut bisa dirampas untuk negara? Bukankah aturan-aturan seperti justru memicu orang untuk berusaha keras menutup-nutupi harta kekayaannya ketika hendak menjadi pejabat negara? Masih ingat kasus korupsi paling heboh yang terjadi tahun 2013? Waktu itu Irjen Polisi Djoko Susilo, Kakorlantas Polri, ditangkap KPK dalam kasus korupsi simulator SIM dan pencucian uang. Djoko dalam persidangan mengaku berbohong dalam mengisi LHKPN tahun 2012. Ia hanya melaporkan total harta dari profesi sebesar Rp 240 juta dan dari bisnis jual beli perhiasan dan properti sebesar Rp 960 juta. Joko mengaku sengaja tidak melaporkan aktivitas bisnis dan perihal istri-istrinya dengan alasan sebagai polisi dilarang memiliki usaha dan juga beristri lebih dari satu. Tapi sekali lagi, Djoko bukan ditangkap KPK karena berbohong dalam pengisian LHKPN, melainkan terlibat dalam kasus berbeda. Bahwa kemudian KPK berhasil menemukan harta kekayaan Djoko diluar LHKPN-nya itu karena pintar-pintarnya penyidik KPK dalam menelusuri harta kekayaan terpendam dari Djoko. Seperti diketahui, dalam kasus tersebut KPK sempat menyita sebuah rumah di Kota Solo, milik istri ketiga Djko Susilo, Dipta Anindita, karena diduga hasil tindak pindana pencucian uang terkait korupsi yang dilakukan Djoko. Belakangan, orang tua dari Dipta (mertua Djoko) terpaksa merogoh kocek sendiri hingga Rp 6 miliar untuk menebus rumah warisan tersebut karena ada wasiat dari orang tuanya agar rumah tersebut tidak boleh beralih kepada pihak lain kecuali kepada keluarga sendiri. Konsep Harta Kekayaan Menurut Ajaran Agama Dalam ajaran Islam, semua manusia dibolehkan bahkan diajurkan menjadi orang yang kaya raya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Hajj, ayat 50, "Maka bagi orang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” Begitu banyak ajaran Islam tentang harta kekayaan. Para ulama sering mengulang-ulang ayat-ayat ini. Bahwa harta kekayaan yang diperoleh manusia adalah “reward” atas ikhtiar, doa, tawakal, sedekah, taqwa, rendah hati dan segala perbuatan terpuji yang diridhoi Allah. Tapi di sisi lain, dalam ajaran Islam, manusia tidak bisa mengklaim kepemilikan harta kekayaan secara pribadi. Dalam Surat Al-Hadid ayat 7, Allah berfirman, “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” Sangat tegas, dalam ajaran Islam, harta kekayaan yang diperoleh semua manusia, sesungguhnya adalah milik Allah SWT. Dalam ajaran Kristen pandangan tentang harta kekayaan manusia juga harus bersumber dari Al- Kitab. Tidak ada ajaran Kristen yang mengutuk dan menyalahkan siapapun karena memiliki harta kekayaan yang banyak. Dalam Perjanjian Baru, Filipi 4:19 disebutkan: "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” Dalam ajaran Islam maupun Kristen atau agama apapun, sejatinya memang tidak ada konsep kepemilikan harta kekayaan secara pribadi. Keyakinan seperti ini banyak dipegang oleh masyarakat Indonesia yang agamis. Sehingga jangan heran, dalam setiap publikasi sumbangan bencana alam melalui media massa, sering kali tertera nama penyumbang “Hamba Allah” atau “Hamba Tuhan”. Hal tersebut bukan berarti si penyumbang berniat menutupi-nutupi identitas pribadinya, melainkan justru memohon keridhoan Allah atas rezeki atau harta kekayaan yang disumbangkan kepada korban bencana. Jadi, aturan wajib melapor LHKPN ke KPK memang kontradiktif dengan norma-norma agama yang masih dipegang kuat oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Jika aturan LHKPN ini diwajibkan, konsekwensinya seseorang merasa dipaksa menyibukan diri melakukan pencatatan dan bersedia mengumumkan harta kekayaan yang sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik Tuhan. Jauh hari Buwas dan Dharma mempersolakan LHKPN, penulis pernah ngobrol dengan seorang kawan pengusaha yang mau ikut kontes pilkada. Tiba-tiba sekretarisnya masuk dan bertanya, "Pak ini LHKPN ngisinya bagaimana?" Sekretrarisnya minta petunjuk berapa nilai saham di perusahaan A, B, C dan seterusnynya. Pengusaha ini nampak bingung, lalu nyeletuk dengan nada kesal, “Sudah, terserah kamu saja yang ngisi. Jangan saya, nanti dibilang riya!” Riya adalah suatu definisi dari ajaran Islam tentang seseorang yang memamerkan sesuatu yang dimiliki atau diperbuat dengan tujuan dipuji atau mendapatkan penghargaan lebih dari orang lain. Lawan kata dari riya adalah ihklas. Dalam ajaran Islam, orang yang riya akan terhapus segala amalannya. Sebaliknya, setiap orang yang ikhlas, sekecil apa pun amalannya, akan dicatat sebagai pahala oleh Allah. LHKPN Bisa Memicu Pujian dan Fitnah Dalam ajang Pilpres kemarin ada isu hangat yang berkembang di masyarakat. Seperti di ketahui, menjelang pelaksanaan Pilpres 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan LHKPN calon presiden dan wakil presiden. Sebagaimana bunyi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, capres dan cawapres wajib untuk melaporkan LHKPN sebagai syarat pencalonan. Dari data yang diumumkan KPU, tercatat harta kekayaan yang dilaporkan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo sebesar Rp 50,24 miliar. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 43,88 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,08 miliar, harta bergerak lainnya Rp 360 juta, kas dan setara kas Rp 6,10 miliar, dan hutang Rp 1,19 miliar. Cawapres nomor urut 01, Ma'ruf Amin, melaporkan harta sebesar Rp 11,64 miliar. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 6,97 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,62 miliar, harta bergerak lainnya Rp 226 juta, kas dan setara kas Rp 3,47 miliar dan hutang Rp 657 juta. Prabowo Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, melaporkan total LHKPN sebesar Rp 1,95 triliun. Dengan rincian, harta tanah dan bangunan Rp 230 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,43 miliar, harta bergerak lainnya Rp 16,41 miliar, surat berharga Rp 1,7 triliun, kas dan setara kas Rp 1,84 miliar., Total LHKPN cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno mencapai Rp 5 triliun. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 191 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 325 juta, harta bergerak lainnya Rp 3,2 miliar, surat berharga Rp 4,7 triliun, kas dan setara kas Rp 495 miliar, harta lainnya Rp 41,29 miliar dan hutang Rp 340 miliar. Media massa kemudian mengulas dan membuat grafis ranking total kekayataan mereka. Yang terkaya, Sandi (Rp 5 triliun). Kedua, Prabowo (Rp, 1,9 triliun). Lalu Jokowi (Rp 50, 24 miliar) dan “termiskin” Ma’ruf Amin (Rp 11, 64 miliar). Nah, menariknya, harta kekayaan Prabowo dan Sandi yang “fantastis” tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh masyarakat. Karena ada mindset bahwa seorang presiden dan wakil presiden sebaiknya memang orang yang sudah mapan secara ekonomi, sudah kaya raya, supaya tidak tergoda korupsi lagi. Pandangan seperti ini tentunya membuat orang baik yang kebetulan tidak kaya raya menjadi minder tampil di ajang pilres. Sebaliknya, LHKPN dari Jokowi dan Ma’ruf yang nilainya kecil justru dicurigai telah di-markdown alias sengaja dikecilkan. Apalagi, belakangan ada rilis dari KPU yang menyebutkan dana sumbangan pribadi Jokowi untuk kampanye pilpres mencapai Rp. 19,5 miliar. Padahal dalam LHKPN-nya, total kekayaan Jokowi hanya Rp 50,2 miliar dan yang berupa kas hanya Rp. 6,1 miliar. Hal ini dianggap “mencurigakan” sehingga dipersoalkan oleh kubu Prabowo-Sandi sampai ke Mahkamah Konstitusi. Belakangan tim sukses Jokowi-Maruf menyebut hal tersebut terjadi karena "kesalahan input". Ada pun harta kekayaan Ma’ruf Amin diributkan pubik karena selama massa kampanye, media massa sering menyebut kediaman Ma’ruf Amin terletak di kawasan elite Menteng, persinya di Jalan Situbondo No. 12. Rumah tersebut digambarkan besar dan mewah. Padahal banyak masyarakat tahu, Ma’ruf Amin adalah kyai terkenal yang tinggal di kawasan sederhana di Koja, Jakarta Utara. Apakah Maruf punya satu atau dua rumah di Jakarta? Tidak ada penjelasan sampai sekarang. Jika Maruf punya rumah di kawasan Menteng, yang ditaksir bernilai puluhan miliar, mengapa ia melaporkan harta kekayaanya cuma Rp. 1,9 miiliar, dengan rincian harta tanah dan bangunan cuma Rp 230,4 juta? Apakah Maruf Amin telah berbohong? Belum tentu juga. Bisa jadi rumah di Jalan Situbondo itu cuma kontrakan atau dipinjamkan oleh seorang pengusaha pendukungnya. Apakah rumah kontrakan atau pinjaman harus dilaporkan dalam LHKPN? Jelas tidak. Karena yang diisi di LHKPN harus harta kekayaan pribadi. Jangan lupa, menurut aturannya, LHKPN ini setelah diserahkan ke KPK juga diumumkan ke publik. KPK memberi ruang kepada sasyarakat untuk melaporkan apabila di lingkungannya diketahui ada pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaannya dengan benar dengan melampirkan bukti pendukung seperti foto dan info lainnya melalui email. Alhasil, LHKPN ini dalam prakteknya lebih banyak mudarat daripada mamfaatnya. Karena seseorang pejabat bisa terpaksa berbohong saat mengisi laporan LHKPN-nya dengan berbagai pertimbangan pribadi. Bisa jadi agar asal usul harta kekayaannya diusik atau mungkin pula karena tidak ingin dianggap riya (pamer). Sebaliknya, tetangga atau orang lain bisa mengirim informasi palsu ke KPK untuk mendiskreditkan seorang pejabat. Karena mindset seseorang terhadap harta kekayaan orang lain tidak selalu sama. Bisa melahirkan pujian, tapi bisa pula menjurus kepada fitnah. Dalam persepsi publik seperti itu KPK bakal disibukan dengan klarifikasi harta kekayaan seseorang yang dilaporkan orang lain. Padahal belum tentu seseorang jadi kaya karena korupsi. Sekarang kita ambil hikmahnya saja. Apa yang dipersoalkan Dharma dan Buwas adalah PR tersendiri bagi KPK. Menurut informasi resmi KPK, saat ini ada 350.539 orang penyelenggara negara yang punya status wajib setor LHKPN. Sementara SDM di KPK cuma 1600 orang, itu pun yang punya kapasitas sebagai penyelidik/penyidik tidak lebih dari setengahnya. Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi? Dalam praktek selama ini KPK sudah terbukti mampu menangkapi koruptor melalui instrumen penyadapan dan pelaporan masyarakat. Untuk kepentingan pemulihan aset hasil korupsi, toh KPK bisa berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Ditjen Pajak. Apa susahnya? Sekian