POLITIK

Wakil Menteri Bukan Anggota Kabinet

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabinet Indonesia Maju mendapat respon positif banyak kalangan. Pasar saham pun membiru. Nilai rupiah sempat sedikit menguat. Pentolan partai Koalisi Indonesia Kerja atau KIK sudah senyum-senyum. Puas. Tim sukses bertajuk Relawan Pro Jokowi atau Projo yang pada awalnya sewot dan sempat mau bubaran akhirnya lega. Sang Ketum, Budi Arie Setiadi, dapat jatah wakil menteri. Lumayan. Para “Cebong” ini sudah bisa menerima kenyataan Prabowo Subianto bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin. "Ya sudah slow-slow lah, udah mulai ada cinta, cinta sedikit. Gitu ya," kata Budi Arie Setiadi, Jumat (25/10). Ya, pada hari itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin resmi melantik 12 wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Para wakil menteri itu lima orang dari partai politik dan anggota tim sukses. Lainnya, kaum profesional. Jokowi menilai 12 wakil menteri ini akan mampu memberikan dukungan kepada tugas-tugas menteri. “Profilnya sangat bagus dalam rangka memperkuat kabinet indonesia maju,” katanya. Wakil menteri itu diberikan untuk 11 kementerian yang ada di Kabinet Indonesia Maju. Berbeda dari yang lainnya, Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir mendapat dua wakil menteri. Mereka adalah Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin. Keduanya diambil dari pimpinan Badan Usaha Milik Negara. Kartika adalah Direktur Bank Mandiri, sedangkan Budi adalah Direktur Utama Inalum. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto mendapat tandem Wahyu Sakti Trenggono. Sebelumnya Wahyu adalah Bendahara Tim Kampanye Nasional. Menteri Agama yang kontroversial, Fachrul Razi dipasangkan dengan Zainut Tauhid Sa'adi. Dia adalah Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga kader PPP. Soal ilmu agama, Zainut jelas lebih paten ketimbang Fachrul. Dengan bergabungnya Zainut Tauhid, maka PPP mendapat jatah dua kursi di kabinet Jokowi Ma'ruf. Sebelumnya yang menjadi perwakilan PPP hanya Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. Perindo mengirim Angela Tanoesoedibjo, puteri Ketua Umum Perindo, Hari Tanoesoedibjo, yang oleh Presiden Jokowi diberi jatah sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sedangkan kader Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, Surya Tjandra, mendapat jatah Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN. Politisi Golkar, Jerry Sambuaga, menjabat Wakil Menteri Perdagangan. Kader PDIP Wempi Wetipo menjabat sebagai Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Bergabungnya Wempi membuat porsi PDIP di kabinet Jokowi-Maruf menjadi tujuh orang. Sebelumnya ada tiga politikus PDIP lawas yakni Tjahjo Kumolo, Yasonna Laoly, dan Pramono Anung menjadi wajah lama yang kembali menghuni kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Selain itu Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Selain itu simpatisan PDIP yakni Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Selanjutnya, perwakilan Golkar di kabinet Jokowi menjadi empat. Sebelumnya, ada Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang telah dilantik sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Kemudian Agus Gumiwang Kartasasmita yang mengisi pos Menteri Perindustrian dan Zainudin Amali sebagai Menteri Pemuda & Olahraga. Di Wamen ada Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga. Sejarah Istilah wakil menteri pertama kali digunakan pada Kabinet Presidensial, kabinet pemerintahan pertama Indonesia. Kala itu, Presiden Sukarno mengangkat 2 orang sebagai wakil menteri, yaitu Wakil Menteri Dalam Negeri Harmani dan Wakil Menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo. Setelah itu, wakil menteri hanya ada pada Kabinet Sjahrir I, Sjahrir III, dan Kerja III. Pada kabinet-kabinet lainnya, beberapa kali juga terdapat jabatan "menteri muda" yang dari beberapa sisi memiliki kemiripan dengan wakil menteri. Pada era Orde Baru wakil menteri ditiadakan. Namun di bawah Presiden Soeharto itu ada menteri muda. Bedanya, menteri muda adalah anggota kabinet sedangkan wakil menteri bukan anggota kabinet. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pengangkatannya didasarkan pada pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang memperbolehkan presiden untuk mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu yang memiliki beban tugas lebih. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa wakil menteri merupakan pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, berbeda dengan menterinya. Dalam aturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa yang dimaksud pejabat karier adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon 1A. Pada tanggal 5 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penjelasan pasal 10 UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap. Presiden kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri. Dalam peraturan baru ini, wakil menteri dapat berasal dari pegawai negeri atau bukan pegawai negeri. Wakil menteri pertama yang diangkat Presiden SBY adalah Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo yang mendampingi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pada Kabinet Indonesia Bersatu. Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, presiden mengangkat lebih banyak lagi wakil menteri. Asal sesuai dengan perundang-undangan, tidak masalah presiden mengangkat wakil menteri. Sebagaimana diatur pasal 10 Undang-Undang No 39 Tahun 2018 tentang Kementrian Negara, presiden dimungkinkan mengangkat wakil menteri. Pasal 10 UU 39/2018 menyebutkan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada kementerian tertentu. UU ini pula yang memungkinan presiden melakukan bagi-bagi kursi bagi para pendukungnya. End

Membenturkan, dan Adu Domba Menhan dengan Presiden

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sejak Kamis (24/10) video pendek penyambutan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan yang baru, beredar di media sosial. Para pendukung Prabowo sangat bersemangat menyebarkannya, dengan ditambahi narasi: Menhan rasa Presiden! Ada juga yang menambahi narasinya dengan kata-kata yang lebih bombastis. “Baru sehari jadi Menhan, negara tetangga sudah mengekeret. Apalagi kalau jadi presiden!” Benar dalam video tersebut Prabowo tampak dielu-elukan oleh pegawai Dephan. Mereka berjejal di jalan yang akan dilalui Prabowo, sambil membawa bendera merah putih dalam ukuran kecil. Konon kabarnya, belum ada seorang Menhan baru yang disambut heboh, gegap gempita seperti Prabowo. Fenomena ini menyadarkan kita pada satu realitas, bangsa ini masih terjebak pada kultus individu, bukan pada value. Emosional, bukan rasional. Value, nilai, panduannya sangat jelas. Benar, salah. Kemaslahatan umat, kemaslahatan rakyat Vs kemaslahatan pribadi dan kelompok. Pada kultus individu, yang benar bisa salah, dan yang salah bisa menjadi benar. Ukurannya menguntungkan kita secara pribadi, atau kelompok. Bila tidak, maka itu salah. Semuanya hanya didasari oleh sikap emosional, bukan penilaian yang rasional. Nilai baik dan benar, tidak akan pernah berubah. Sunatulloh. Hukum alam. Sementara manusia setiap saat bisa berubah. Hal itu menjelaskan mengapa nuansa pilpres lalu seperti sebuah perang. Dua geng, dua gerombolan besar, saling menghabisi satu dengan yang lainnya. Tidak boleh satu orang pun yang mengkritik, apalagi sampai memberi penilaian jelek pada jagoannya. Langsung hajar habis….. Baik Jokowi maupun Prabowo di mata para true believers, para pengikut yang taklid buta, adalah manusia sempurna. Tak ada cacatnya sama sekali. Jangan-jangan malah dianggap sebagai orang suci. Itulah bahayanya kultus individu. Membuat orang menjadi rabun dekat. Tak pernah bisa melihat kesalahan tokoh pujaannya. Sebaliknya dengan mudah menemukan kesalahan siapapun yang menjadi lawannya. Masalah nasional dilokalisir menjadi kepentingan personal. Entah disadari atau tidak, sikap para pendukung Prabowo ini sesungguhnya akan merugikan orang yang mereka puja. Sementara dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan nasional. Merugikan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Akhiri Dikotomi Seharusnya ketika Prabowo memutuskan tawaran untuk bergabung dalam kabinet Jokowi, dikotomi, apalagi kontestasi diantara pendukung, harus berakhir. Sebagai menteri, Prabowo adalah pembantu Presiden Jokowi. Tak peduli jabatannya sebagai Menhan, atau menteri apapun. Terimalah realitas itu dengan lapang dada. Tak perlu merasa malu dan menutupinya dengan eforia semu. Prabowo saja bisa menerima. Bisa lapang dada. Anda kok tidak? Tak perlu lagi ada glorifikasi melebih-lebihkan posisi dan peran Prabowo secara berlebihan. Tak perlu lagi terus diwacanakan bahwa sebagai Menhan, Prabowo adalah menteri utama. Salah satu triumvirat. Manakala terjadi kekosongan kekuasaan presiden dan wapres. Lebih ngeri lagi muncul wacana, pada waktunya Prabowo akan menggantikan Jokowi. Masuk kabinet Adalah strategi. Bergerilya membangun kekuatan dari dalam. Tak perlu lagi terus dihembus-hembuskan bahwa dengan Prabowo menjadi Menhan, kekuatan militer Indonesia akan ditakuti. Ini urusan negara kok. Bukan urusan pribadi. Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet perdana, Presiden Jokowi sudah jelas menyatakan “tak ada visi-misi menteri. Yang ada visi-misi presiden dan wakil presiden.” Prabowo sendiri sejak awal juga menyadari posisinya. Tak lama setelah menghadap Jokowi di istana, dia mengaku sudah mendapat arahan apa tugas dan program kerja yang harus dijalankan. "Saya akan bekerja sekeras mungkin mencapai sasaran. Dan harapan yang ditentukan. Saya kira demikian," tegas Prabowo. Sebagai pemberi mandat, Jokowi akan mengevaluasi kinerja Prabowo. Bila tidak perform, menyimpang, apalagi menunjukkan tanda-tanda melawan perintah, sub ordinasi, dia bisa dicopot. Begitu aturan mainnya. Apa boleh buat, suka tidak suka, status menteri adalah P-E-M-B-A-N-T-U presiden. Setiap saat bisa dipindahkan, diganti dan diberhentikan. Glorifikasi, memuja secara berlebihan, hanya akan membuat posisi Prabowo menjadi kikuk dan tidak nyaman. Dipastikan para pendukung Jokowi — yang sesungguhnya juga tidak nyaman dengan kehadiran Prabowo— akan bereaksi balik. Kita akan kembali terjebak pada perang buzzer seperti pada pilpres lalu. Sudahlah akhiri semuanya. Baik Jokowi maupun Prabowo hanya manusia bisa. Bukan Satrio Piningit, apalagi manusia setengah dewa. Mereka punya kelebihan dan juga kekurangan. Tidak perlu memuja secara berlebihan. Tak perlu pula benci secara berlebihan. Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Permasalahan bangsa ini terlalu banyak. Terlalu berat. Biarkan Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya dan Prabowo membantu mewujudkannya. Jangan benturkan Prabowo dengan Jokowi. Mereka kini berada dalam satu tim. Satu perahu yang sama. Tugas kita yang berada di luar pemerintahan, terus mengawasi, mengkritik, mengingatkan manakala mereka menyimpang. Pujian yang berlebihan seperti racun yang akan membunuh akal sehat. Sementara kritik, seperti obat yang pahit, namun menyehatkan. Jangan pula dimusuhi. Apalagi dikriminalisasi. End

Jokowi Ingkari Nahdliyin?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pengangkatan Jend. TNI Purn. Fachrur Razi sebagai Menteri Agama menggantikan posisi Lukman Hakim Saifuddin. Lukman adalah kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mewakili PPP. Lukman tidak terpilih lagi karena diduga terlibat korupsi. Yaitu korupsi yang melibatkan mantan Ketum PPP Romuharmuzy yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Politisi yang akrab dipanggil Romy ini juga kader NU. Mungkin inilah masalahnya mengapa posisi dan jatah NU “hilang”. Sementara dalam tradisi, Menag biasanya dijabat oleh perwakilan dari organisasi keagamaan seperti NU. Lepasnya kader NU dari posisi Menag yang selama ini menjadi jatah untuk NU telah membuat NU kecewa, terutama para kiai di daerah. Apalagi, Menag baru ini disebut-sebut adalah warga Muhammadiyah. Terkait penunjukan Fachrul Razi, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas mengatakan, pihaknya menerima protes dari banyak kiai dari daerah. Menurutnya, banyak kiai di berbagai daerah merasa kecewa dengan keputusan Presiden Joko Widodo terkait jabatan Menag. “Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menag,” kata Robikin dalam keterangan tertulis. Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (23/10/2019, 14:47 WIB), “Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” ungkap Robikin. Menurutnya, para kiai paham bahwa Kemenag harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Namun sayangnya, pemilihan pemimpin Kemenag tak sesuai dengan yang diharapkan dalam membentengi NKRI dari ajaran radikalisme. Para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Bahkan, juga sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. “Teror adalah di antara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini,” kata Robikin. Karena dampak dari radikalisme itu sangat membahayakan, maka secara kelembagaan, NU sudah mengantisipasi dan mengingatkannya jauh-jauh hari. “Bahkan NU menyatakan Indonesia sudah kategori darurat radikalisme, di samping darurat narkoba dan LGBT,” tandas Robikin. Boleh jadi, dipilihnya Fachrur Razi sebagai Menag ini juga terkait dengan apa yang disebut sebagai “radikalisme” itu. Seperti kata Presiden Jokowi saat mengumumkan namanya, “Beliau (ditunjuk karena) urusan yang terkait dengan radikalisme, ekonomi umat, dan industri halal,” ungkapnya. Rasa kecewa juga disampaikan Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Ridwan Darmawan. Dia mengaku heran tak satu pun kader NU yang dilirik Presiden Jokowi, meski sebelumnya muncul kabar Jokowi bakal menjadikan kader NU sebagai Menag. “Kami merasa kecewa dengan komposisi (susunan menteri) yang beredar hari ini, apalagi kita menurut informasi yang beredar Menteri Agama bukan dari NU,” ujar Ridwa dalam keterangan tertulis yang diterima awak media Rabu (23/10/2019). Ridwan menyebut, seharusnya Jokowi menghargai kontribusi warga NU saat ajang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu. Pasalnya, warga dan para Masyayikh NU berperan besar dalam memenangkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Menurut Ridwan, seharusnya Jokowi berkomitmen memberikan posisi Menag kepada kader NU. Apalagi, banyak kader NU yang pantas menjabat Menag, baik yang menjadi pengurus NU maupun yang berada di berbagai partai politik. Ridwan pun menyayangkan sikap Jokowi yang tidak menghargai “keringat” yang telah dikeluarkan warga nahdliyin. Seharusnya, Jokowi melihat siapa yang turut membantunya menjadi presiden untuk kedua kalinya. “Di NU sangat banyak pengurus dan tokoh yang berkualitas untuk mengisi pos Menag. Pak Jokowi bebas memilih, asal kader NU dan dekat dengan ulama, jika tidak diberikan ke NU saya yakin Presiden Jokowi bisa kualat,” tegas Ridwan. Bagi nahdliyyin, katanya, Menag dari kalangan NU adalah harga mati. “Jika tidak, ditunda saja pelantikan menterinya,” tegas Ridwan seperti dikutip Gelora.co, Rabu (23/10/2019). Ucapan Ridwan ini disampaikan sebelum pelantikan. Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar sendiri sebagai kader NU sebelumnya berharap dapat jatah 6 orang menteri, tapi ternyata cuma memperoleh 3 kursi. Menko Polhukam Mahfud MD, Menaker Ida Fauziah, dan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar. “Dikadali” Jokowi? Menurut Prof. Sumanto Al Qurtuby, Kabinet Indonesia Maju yang telah diumumkan Presiden Jokowi, Selasa (23/10/2019), kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, dan tentara/polisi. Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren. Ida Fauziyah dan Abdul Halim Iskandar dianggap “representasi” Muhaimin Iskandar (atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud sudah lama dianggap “bukan NU” atau “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU”. Yang menarik adalah posisi Menag yang selama ini hampir dipastikan dipegang oleh “kader” NU tapi kini jatuh ke tangan seorang mantan jenderal yang, maaf, tidak jelas wawasan dan keilmuan keagamaannya hingga beredar meme di lingkungan NU: “Dibutuhkan pembimbing agama untuk Menteri Agama”. Fazhrul Razi dikenal sebagai “ahli strategi militer”. Mau ngapain di Kemenag? Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Menurut Sumanto Al Qurtuby, sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag, tapi di Diknas, BUMN, Kominfo, Kemenpan, atau mungkin Kemenhan. Kemenag isinya para santri yang justru selama ini berperang melaman kelompok “Islam radikal”. Sangat disayangkan kalau NU diabaikan alias “dicuekin” oleh Jokowi, Mega dan “lingkaran dalam” mereka. Padahal NU-lah yang selama ini menjadi “bamper,” “kopral” dan pejuang melawan barisan kadrun dan mugrun. NU yang sering memobilisasi massa menghadang mereka. NU juga yang sering menggelar istigatsah kubro besar-besaran membela Jokowi. NU juga yang “perang dalil” dan “perang pemikiran” melawan kelompok idiologis Islamis seperti HTI dan lainnya. Kenapa NU? Karena NU yang memiliki massa besar yang bisa menandingi mereka. Karena hanya para kader NU yang bisa “perang dalil” dan “perang kitab” dengan mereka. Yang lain nggak ada. Muhammadiyah sekalipun karena mereka nggak bisa ndalil dan mbaca Kitab Kuning. Bahkan banyak kader Muhammadiyah yang sudah “bermimikri” menjadi kadrun atau setengah kadrun. Jika Muhammadiyah saja nggak bisa ndalil apalagi “banteng”, pengusaha, tentara, politisi, dan polisi. Semoga NU tak kecewa dan tetap ikhlas dengan susunan kabinet ini, meskipun sudah habis-habisan membela Jokowi, meski sepertinya hanya dijadikan pendorong “truk mogok”, dan kalau truk sudah jalan, mereka ditinggal atau sebagai “tangga” dan “pion” saja. Bahkan, tulis Sumanto Al Qurtuby, dijadikannya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres pun dianggap sebagai bagian dari “sasaran antara”, “tangga” dan “pion” ini. Semoga saja NU tetap eksis membela Tanah Air, meskipun tak mendapat “jatah” menteri. “Saya gak bisa membayangkan jika kader-kader NU: para ulama dan kiai pesantren ngambek dan mogok tak mau lagi “berperang” melawan kelompok Islamis radikal,” tegasnya. Apakah Wapres Ma’ruf Amin dinilai sudah cukup “mewakili” NU? Bukankah posisi Wapres itu setara dengan total jumlah menteri? Sedangkan posisi Presiden itu setara dengan Wapres plus para menteri? Sehingga, dengan kata lain, sudah seharusnya NU tak mempermasalahkan “tidak ada” menterinya dari NU. Lain halnya dengan Muhammadiyah yang hanya ada 5 kadernya menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju. Yaitu: Muhajir Effendi, Siti Nurbaya, Juliari Batubara, Nadiem Makarim, dan Fachrur Razi. Perlu dicatat, bahwa tidak ada satu pun kader PAN yang duduk di Kabinet Jokowi II tersebut! ***

Prabowo Saja Begini, Bagaimana Mau Memercayai yang Lain?

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Prabowo Subianto (PS) adalah politisi dan negarawan yang integritasnya mendekati kesempuraan. Siang-malam dia memikirkan keutuhan NKRI. Kabarnya, tidak ada satu pun lawan bicara Prabowo yang bisa mengelak dari topik kebangsaan dan keadilan. Begitulah hebatnya kualitas Prabowo. Tidak terbantahkan. Kawan dan lawan politiknya paham itu. Dia tak pernah terdengar terlibat atau menyerempet korupsi. Bahkan apa yang ada pada dirinya selalu disumbangkan untuk kenyamanan orang lain, khususnya orang-orang yang berada di dalam satu lingkaran kerja dengannya. Prabowo selalu memikirkan orang lain. Cerita-cerita tentang ini tak ubahnya seperti derajat hadits shohih. Artinya, kisah-kisah yang bukan karangan belaka. Bukan omong kosong. Dia selalu menduhulukan kepentingan negara dan bangsa di atas keinginan pribadinya. Ketika dia berorasi tentang keadilan bagi seluruh rakyat, Prabowo membuktikannya dalam banyak pergaulan sosial atau lingkungan organisatoris. Tak berlebihan, bagi saya, kalau mau dikatakan bahwa Prabowo adalah “malaikat politik” Indonesia. Dia berintegritas. Bersih. Baik budi. Mendahulukan orang lain, dlsb. Sekarang, “malaikat politik” itu telah melepaskan predikat yang menggambarkan kemuliaan dan keksatrian dirinya. Dia tak sanggup sendirian menjadi “malaikat politik”. Prabowo mungkin merasa lebih mulia jika dia masuk ke dalam koalisi para “politisi trisula”. Padahal, selama ini pekikan-pekikan “jenderal lapangan” itu tidak pernah menunjukkan kemungkinan dia akan melepas predikat itu. Tapi, itulah yang dia lakukan. Dia tinggalkan para pendukungnya. Dengan alasan, ingin mendobrak dari dalam. Dengan jabatan Menteri Pertahanan, dia akan menjabarkan strategi besar (grand strategy) untuk melumpukan rencana jahat. Yang dijalankan oleh orang-orang yang sering dia sebut sebagai “pengkhianat”. Nah, seperti apa kira-kira kesimpulan Anda tentang langkah Pak PS itu? Sambil menunggu jawaban Anda, saya berpendapat bahwa situasi di Indonesia ini sudah sangat parah. Sangat hina. Sudah hancur-lebur. Saking rusaknya, Prabowo yang “putih-bersih” itu pun bisa menjadi begini. Bagaimana mungkin Anda bisa mempercayai para politisi lain? Poliltisi yang setulus dan sebaik Prabowo saja, bisa dengan enteng meninggalkan umat yang sangat percaya kepada dia. Bagaimana mungkin Anda bisa percaya kepada Jokowi, Megawati, Surya Paloh, SBY, Muhaimin Iskandar, Jusuf Kalla, Bambang Soesatyo, Airlangga Hartarto, Oesman Sapto Odang, Yusril Ihza Mahendra, Suharso Monoarfa, dlsb? Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa dipercaya. Semuanya tak bisa dipercaya selain Prabowo. Itu pun Prabowo sebelum menjadi menteri Jokowi. Sekarang, Prabowo yang tulus dan jujur itu pun ikut lebur membubur. Wallahu a’lam. [] 24 Oktober 2019

Memahami Langkah Politik Prabowo

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tampaknya dukungan Megawati kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Megawati bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY cs. “Prabowo benar. Memang tidak ada oposisi di Indonesia,” tulis Direktur The Global Future Institute Hendrajit. Dalam sejarah politik Indonesia sejak Orde Lama, memang tidak pernah ada yang namanya oposisi di Indonesia. Menteri-menteri pembantu Presiden Soekarno pun berasal dari berbagai partai politik yang ada ketika itu. Begitu pula semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Pak Harto juga punya menteri dari parpol. Seingat saya begitu. Maaf kalau ternyata ada yang salah dengan argumen saya itu. Begitu halnya masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo. Tidak ada partai oposisi! Yang ada hanyalah Partai Koalisi! Di luar Partai Koalisi inilah yang “diposisikan” sebagai “partai oposisi” secara verbal, bukan yuridis formal! Sikap kritis dari pengurus parpol atau masyarakat ditempatkan sebagai “oposisi”. Bisa jadi, itulah langkah yang kini dijalani Prabowo Subianto, Ketum DPP Partai Gerindra yang sudah ditawari Presiden Jokowi untuk membantu di bidang pertahanan. Apalagi, konon, Prabowo diberi “wewenang” oleh Megawati. Wewenang untuk bicara langsung dengan Presiden Jokowi dalam menentukan Kabinet Kerja II. Dengan kata lain, sebelum memutuskan nama-mana menteri, Presiden Jokowi harus bicara dulu dengan Prabowo. Itulah fakta politiknya. Santer tersiar kabar bahwa Mahfud MD akan dimasukkan sebagai calon Menko Polhukam. Isu ini bisa terjadi karena jebakan opini. Manuver Mahfud ini jelas salah satu jebakan opini yang termakan oleh Jokowi dan PDIP sendiri. Masuknya Mahfud sebagai Menko Polhukam seolah-olah dibarter dengan terdepaknya Agus Harimurty Yudhoyono dari calon Menpora adalah kemenangan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Genk-nya. Secara politik, Menpora lebih pas dijabat Prananda Prabowo, yang bersih dan cerdas. Bukan kader PDIP yang punya 6Catatan Dosa. Kalau AHY masuk Kabinet Jokowi II, berarti Mega memelihara harimau untuk Pilpres 2024. Harimau yang siap terkam Capres PDIP. Jabatan Menpora tidak bernilai strategis dibanding jabatan Menko Polhukam sebagai penentu kebijakan polhukam tertinggi dalam rezim proksi ini. Secara formal, NasDem dan Demokrat ini seolah-olah menjadi oposisi atas Jokowi. Tapi, kader-kader SBY-Luhut Binsar Panjaitan-Hendropriyono-Surya Paloh seperti Mahfud, Sri Mulyani dan lain-lain (di luar dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin) berhasil masuk menjabat posisi strategis dalam Kabinet Jokowi II ini. Konon, atas rekomendasi Prabowo, Mahfud akan ditempatkan sebagai Jaksa Agung dengan tujuan besar untuk sikat para koruptor yang selama ini aman dan dilindungi. Karena itu, atas usulan Prabowo, Mahfud dipaksakan menjadi Jaksa Agung. Buat Prabowo situasinya gampang saja, koq. Kalau formasi kabinet mengecewakan, berarti agenda yang dibawanya ke Teuku Umar telah dinafikan. “Prabowo tinggal bilang, dengan segala hormat, saya pamit mundur Bu,” kata Hendrajit. Menjabarkan agenda dengan menempatkan orang yang pas di kabinet, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan. Tapi, “Bagaimana memasang orang yang ahli sekaligus mengerti ruh dari gagasan yang terumuskan pada agenda, maka wajar Prabowo akan all out.” “Termasuk saat meminta posisi Kemenhan,” lanjut Hendrajit. Kabarnya, hingga pada Senin, 21 Oktober 2019, malam di internal Prabowo masih terjadi perdebatan posisi yang nantinya harus dipilih yang pas antara Menko Polhukam atau Menhan. Kita masih ingat Mahfud sebagai tokoh yang menuduh para pemilih Prabowo mayoritas dari daerah basis radikalisme. Jika Mahfud ditunjuk sebagai Menko Polhukam, maka yang terjadi adalah anomali demokrasi dan politik Indonesia semakin menggila. Presiden bukan kader partai. Wapres bukan kader partai. Menko Polhukam bukan usulan dari partai. Menko Perekonomian bukan usulan dari partai. Partai pemenang pemilu dapat apa? Sebaiknya Budi Gunawan Menko Polhumkam, Rizal Ramli Menko Ekonomi. Itulah yang ada dalam benak pikiran Prabowo terkait usulan menteri-menteri Kabinet Jokowi II tersebut. Prabowo sendiri pernah cerita ihwal kisah dua pemimpin AS, Abraham Lincoln dan William Seward saat Rapimnas Gerindra di Hambalang, Bogor, Rabu (16/10/2019). Abraham selama hidupnya fight dengan Seward, tokoh yang lebih senior. Bahwa pada suatu ketika Abraham menyatakan ingin bertemu dengan Seward di kongres parlemen AS. Seward menolak bertemu, bahkan menyebut Abaraham sebagai monyet. Ia urung bertemu Seward. Bertahun-tahun kemudian, mereka terus bertarung secara politik hingga Abraham akhirnya terpilih menjadi presiden. Setelah terpilih, Abraham ternyata mau menawari William Seward untuk menjadi Menlu AS atau Secretary of State. Padahal, jabatan ini merupakan posisi ketiga terkuat di Amerika Serikat setelah presiden dan wakil presiden. Seward akhirnya tanya, “Lho kamu tahu kan saya benci banget sama kamu. Kenapa kamu menawarkan posisi menteri luar negeri ini kepada saya.” Jawaban Abraham justru mengejutkan dan membuka mata para penasihat dan pendukungnya, termasuk juga pendukung Seward. Menurut Abraham, ia dan Seward punya kesamaan, yakni cinta kepada AS. “Iya saya tahu kamu benci sama saya, bilang saya monyet dan saya juga benci banget sama kamu, tapi ada satu hal yang tidak bisa dibantahkan, dua dari kita memiliki kecintaan luar biasa kepada United States of America,” ungkap Sandiaga Uno. Menurut Sandi, Prabowo menyebut bahwa Abraham memerlukan masukan dari Seward. Ia membutuhkan Seward untuk menjadi orang terdekatnya. “Karena kecintaan kepada USA dan saya butuh masukan, bukan (masukan) ABS, asal bapak senang, bukan orang yang memberikan masukan yang ingin saya dengar. Saya butuh Anda sebagai orang terdekat dengan saya,” lanjut Sandi. *Mengapa Bergabung* Seorang teman wartawan senior mencatat, Indonesia saat ini sudah dalam kondisi “bahaya”, ibarat Siaga I, ancaman dari luar sudah kritis dan juga “perpecahan” di dalam negeri sudah menganga lebar, sehingga Indonesia mudah sekali diintervensi Asing. Ini yang rakyat tidak menyadarinya. Prediksi-prediksi ahli ekonomi dunia tentang kondisi Indonesia tahun depan menukik tajam karena ekonomi tidak berputar, dan pembangunan infrastruktur yang tidak mengenal skala prioritas. Maka langkah Prabowo adalah “Menyatukan Rakyat yang Terbelah” dengan membubarkan Kubu 01-02 dan pembubaran BPN setelah pemilu dilaksanakan. Karena dengan rakyat yang terbelah, adu domba berlangsung dan intervensi negara lain yang sudah di depan mata, sangat mudah dilakukan. Karena itu Prabowo melakukan konsoludasi dengan pihak-pihak yang dianggap masyarakat berlawanan, untuk merajut kembali persatuan dan untuk bersinergi dalam menghadapi musuh utama kita, yaitu intervensi asing. Bagaimanapun Prabowo tahu kapasitas Jokowi, tanpa dukungan dari SBY Cs dan kapasitas berpikir (baca: intelektualitas) Mega yang merupakan “atasan” Jokowi yang mendukung dan menentukan Jokowi. Bagaimanapun, Mega itu seorang ibu RT yang bisa maju karena dukungan suaminya (Taufik Kiemas), bukan karena kapasitasnya sendiri, maka perlu masukan wawasan tentang kondisi Indonesia yang sebenarnya saat ini, dan juga politik dalam negeri yang sebenarnya terjadi. Makanya, diterangkan semua dan kondisi darurat saat ini terhadap intervensi asing. Kondisi Mega sendiri saat ini merasa Genk SBY Cs, Surya Paloh, dan Taipan China lebih berperan terhadap Jokowi dan mengambil manfaat yang sangat besar ke Jokowi. Di sini Mega ingin merebut kembali pengaruhnya ke Jokowi. Ia merasa Jokowi itu bisa jadi Presiden karena dia sehingga dengan memegang Prabowo, Mega bisa menyingkirkan SBY Cs dan saat ini Mega bergantung pada Prabowo. Jokowi harus menuruti Mega! Makanya, ini terlihat oleh kita bagaimana sikap Mega yang tak menyalami Paloh dan di dalam perpecahan 01 terlihat SBY Cs bersatu melawan Mega dengan membuat gaduh di Papua. Jadi, manuver Prabowo masuk ke dalam disambut oleh Mega untuk menyingkirkan SBY Cs dan kelompok ketiga itu yang selama ini sangat memanfaatkan Jokowi untuk kepentingan bisnisnya, aseng, dan asing. Ini yang paling jahat. Ibarat Prabowo membedah isi perut Kubu 01. Bagaimana dengan kondisi Kubu 02, resiko yang harus ditanggung Prabowo, ulama yang tergabung dalam ijti’ma ulama. Kecewa dan mengambil sikap opisisi! Begitu juga PKS dan relawan yang “tidak mengerti” kondisi negara saat ini ada yang marah. Ada yang kecewa, tapi ini semua resiko karena prioritas utama adalah ancaman kedaulatan negara dari intervensi asing yang semakin nyata. Diharapkan, dangan Prabowo masuk di posisi yang sangat penting bagi keputusan-keputusan strategis untuk keamanan negara, paling tidak, pertama, negara lain yang bermaksud ingin mengintervensi berfikir sejuta kali dengan masuknya Prabowo dalam pemerintahan. Karena tidak bisa disetir dan tidak bisa diiming-imingi. Kedua, integritas Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas batas-batas wilayah dipandang lagi oleh negara-negara tetangga dan naik pamornya. Jadi, jangan main-main dengan Indonesia. Presiden bisa saja lemah tapi pertahanan negara kuat dan dipandang kembali bagi kawasan Asia Tenggara. Ketiga, kestabilan wilayah kembali naik. Papua bisa dikuasai kembali. Karena rakyat Papua sangat hormat pada Prabowo, begitu juga dengan rakyat Aceh. Mereka menganggap Prabowo sebagai sahabat rakyat Aceh. Bisa disimpulkan, keamanan negara bisa dipulihkan, dan SBY Cs bisa tidak berperan lagi. Keempat, hal lain sebagai efek kestabilan negara, maka ekonomi bisa ditata ulang dengan skala prioritas. Tampaknya dukungan Mega kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Mega bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY Cs. Kali ini Mega menyadari ancaman luar merupakan prioritas utama, sehingga Jokowi harus mengikuti konsep yang dibuat Prabowo. Dengan dukungan penuh Mega, yang punya massa itu adalah PDIP dan Gerindra dominan, SBY Cs “nol besar”. Mereka tak punya grass rooth, hanya semu. Buktinya, keluarga TNI lebih memilih Prabowo saat Pilpres lalu. Di seluruh Indonesia kompleks militer dimenangkan 02. Jadi, sebetulnya mereka itu “jenderal ompong”. Jadi di sini terlihat kepiawaian Prabowo dalam meneliti “sumber penyakit” dan mencoba menyembuhkan dari dalam. Semoga dengan niat baik dan tulus dari Prabowo itu, Allah SWT meridhoi sepak terjangnya dalam membenahi negara ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Aamiin. ***

Ini Bukan Soal Pelantikan

Oleh Tony Rosyid (Pemerhati Bangsa) Jakarta, FNN - Lebay! Begitulah komentar sebagian rakyat terkait besarnya parade pasukan yang mengawal pelantikan Jokowi-Ma'ruf sebagai presiden dan wapres terpilih. 31.000 pasukan dengan peralatan perang termasuk tank berada di sekitar lokasi pelantikan. Pelabuhan dan supermarket dijaga ketat. Hiburan rakyat di lokasi car freeday dan monas ditutup. Bahkan demo dilarang sejak seminggu sebelum pelantikan. Berlebihan! Begitulah kira-kira persepsi publik yang muncul. Kenapa pasukan itu tidak dikirim ke Papua untuk melindungi sejumlah imigran yang dibantai dan dibakar hidup-hidup? Menjaga kantor bupati, kantor gubernur dan aset negara yang dirusak dan dibumi hanguskan? Begitulah diantara tanggapan yang banyak muncul di media sosial. Tentu, aparat punya alasan. Pertama, sebelum pelantikan Presiden-wapres terjadi demo besar-besaran, terutama dari kalangan mahasiswa. Ada bentrokan yang mengakibatkan dua mahasiswa mati dan beberapa lainnya luka-luka. Bahkan ada yang pecah tengkorak kepalanya. Jadi, aparat ingin memastikan pelantikan betul-betul aman. No demo, no keributan. Kedua, pelantikan presiden-wapres identik dengan pergantian pejabat. Kapolri dan Panglima adalah pejabat tinggi negara. Wajar jika mereka harus menunjukkan loyalitasnya kepada presiden. Loyalitas memiliki dua fungsi, yaitu fungsi tanggungjawab dan fungsi politik. Sampai disini, pengerahan pasukan mulai bisa dimengerti. Beda dengan 2014. Tak ada demo dan kekecewaan rakyat terhadap Jokowi. 2019 situasinya betul-betul berubah. Yang berbaris di jalan Gatot Subroto, Soedirman, Bundaran HI, Thamrin dan sekitarnya tak lagi rakyat, tapi aparat. Ini bukan pesta rakyat lagi, tapi pesta aparat dan pejabat. Memang beda! Isu pelantikan, dua-tiga hari kedepan diprediksi akan redup. Publik tak lagi membicarakannya. Justru ada hal penting yang nampaknya lepas dari perhatian rakyat. Apa itu? Pertama soal isi pidato Jokowi. Tak banyak tanggapan. Apakah karena rakyat sudah tak lagi percaya kata-kata Jokowi? Entahlah. Kedua, soal koalisi. Siapa saja yang akan dipercaya Jokowi untuk membantunya di kabinet? Dan dimana posisi Prabowo dan Surya Paloh? Begitu juga Tito Karnavian yang rumornya akan menjabat sebagai mendagri. Soal ini, kita perlu bahas dalam artikel tersendiri. 2014, lima tahun lalu, pidato Jokowi menyinggung soal demokrasi. Indonesia adalah negara demokratis ketiga di dunia, kata Jokowi. Sekarang? Setelah lima tahun negara ini dipimpin Jokowi, bagaimana nasib demokrasi? Tanyakan pada dosen, mahasiswa, pers dan ulama. Di benak mereka ada jawaban pastinya. Jangan tanya rektor, karena sejak dipilih oleh menteri, para rektor sudah berubah fungsi jadi agen kekuasaan 2019 kali ini Jokowi bicara lima hal. Pertama, pembangunan SDM. Kedua, pembangunan infrastruktur. Ketiga, penyederhanaan regulasi. Keempat, penyederhanaan birokrasi. Kelima, transformasi ekonomi. Point nomor 1,2 dan 5 itu program jangka panjang dan berkesinambungan. Pembangun SDM, infrastruktur dan transformasi ekonomi tak cukup hanya lima tahun. It's good, dan perlu didukung. Kendati faktanya, target dan janji pertumbuhan ekonomi 7-8 persen lima tahun lalu tak terbukti. Selama kepemimpinan Jokowi pertumbuhan ekonomi tak lebih dari 5 persen. Yang sedikit perlu dicermati adalah point nomor 2 dan 3. Penyederhanaan regulasi dan birokrasi. Ini mestinya bisa dikerjakan mulai tahun pertama di periode awal. Kenapa baru bicara sekarang? Apa susah dan kendalanya bagi presiden untuk menyederhanakan regulasi dan birokrasi di periode pertama? Gak sulit. Otoritas dan kekuasaan ada di tangan. Cukup dengan satu tanda tangan, semua beres. Hanya soal kebijakan. Kenapa tidak dilakukan? Ini yang jadi pertanyaan Terlambat! Meski terlambat, tetap lebih baik dari pada tidak sama sekali. Rakyat hanya perlu mengawasi apakah dua janji ini akan direalisasikan kedepan. Kenapa harus rakyat, bukan DPR? Ah, capres saja ikut koalisi, bagaimana sempat ngawasi? Mungkin hanya PKS. Itupun kursinya gak terlalu banyak. Sudah begitu, PKS terus diganggu dengan isu wahabi, khilafah dan Islam radikal. Cukup bayar 10-30 orang untuk demo setiap pekan di depan kantor PKS supaya konsentrasinya terganggu. Rakyatlah oposisi yang sesungguhnya ketika partai-partai yang seharusnya jadi oposisi memilih ikut koalisi. Gak tahan lihat kursi. Alasannya macam-macam. High politics-lah... demi keutuhan bangsalah... Ketinggian bahasanya bro! Lalu buat opini ada poros ketiga-lah.... Ada penumpang gelap-lah... Klasik! Dalam situasi seperti ini, rakyat terpanggil untuk menjadi oposisi. Diantara tugas rakyat adalah mengawasi kinerja pemerintahan lima tahun kedepan, termasuk program presiden yang diungkapkan dalam pidato pasca pelantikan Minggu, 20 Oktober kemarin. Melakukan kritik, bila perlu demo jika presiden mengambil kebijakan yang salah. Asal tak anarkis. Tak melanggar hukum. Tetap hati-hati. Pengalaman kemarin, banyak demonstran yang mati. Waspadah...waspadalah... Jakarta, 22/10/2019

Pak Prabowo kok Anti Klimaks?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Apa posisi Prabowo di kabinet Jokowi-Ma’ruf? Akhirnya mulai terbuka. Kalau kita menyimak penjelasan Prabowo, maka kemungkinan besar jabatan yang akan diembannya adalah Menteri Pertahanan. Bukan Menkopolhukam. Apalagi Menteri Utama. “Saya diminta membantu Bapak Presiden di bidang pertahanan,” ujar Prabowo setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Senin (21/10). Seperti para calon menteri lainnya, Prabowo datang mengenakan kemeja putih. Bedanya dia tidak mengenakan celana warna hitam, tapi warna kaki. Seragam Partai Gerindra. Dia didampingi Edhy Prabowo salah satu orang dekatnya yang juga akan menjadi menteri. Pos yang akan ditempatinya kemungkinan besar adalah Menteri Pertanian. Posisi yang sudah lama diincarnya. Di media pernyataan Prabowo ditanggapi secara beragam. Namun mayoritas menyampaikan pernyataan yang seragam: Kecewa berat! Anti klimaks! Cobalah longok medsos dan berbagai platform percakapan. Isinya mulai dari sekadar joke, keluh kesah, sinisme, sampai caci maki. Dengan menjadi Menhan, level Prabowo sama dengan menteri lainnya sebagai pembantu presiden. Kesediaan Prabowo “hanya” menjadi Menhan, membuat sebagian pendukungnya yang masih bertahan, kecewa dua kali. Tapi sebelum kita lanjutkan soal posisi Prabowo di kabinet, sebaiknya kita pahami dulu anatomi pendukung Prabowo. Mereka secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang sama sekali tidak mau ada kompromi dengan Jokowi. Apapun posisinya, Gerindra masuk dalam kabinet, apalagi Prabowo menjadi salah seorang menteri, adalah bentuk pengkhianatan. Bagaimana mungkin Prabowo bergabung dengan pemerintahan yang dulu disebutnya sebagai antek asing dan bisa menjadi penyebab Indonesia bubar. Bagaimana mungkin bergabung dengan sebuah pemerintahan yang dia sebut menang dengan cara yang curang. Lebih parah lagi yang dicurangi, dia sendiri! Kedua, kelompok yang masih percaya masuknya Prabowo ke dalam kabinet membawa strategi tersembunyi, memecah kekuatan lawan dari dalam. Mereka sangat meyakini Prabowo adalah seorang perwira tinggi yang “ahli strategi.” Argumen kelompok kedua ini mendapat pembenaran dengan munculnya pernyataan dan manuver Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Nasdem akan menjadi oposisi. Namun Nasdem batal jadi oposisi. Hanya bluffing. Gertak sambal. Politisi Nasdem Syahrul Yasin Limpo pagi ini merapat ke Istana pakai baju putih. Dia memastikan Nasdem tetap bersama Jokowi. Kelompok pendukung ini percaya bahwa posisi Prabowo di kabinet sangat spesial. Menjadi semacam perdana menteri. Orang kedua setelah Jokowi, menggeser peran Wapres Ma’ruf Amin. Jadi ini semacam _power sharing_. Bagi-bagi kekuasaan 55-45% seperti pernah disebutkan oleh Amien Rais. Posisinya kira-kira seperti Menko Maritim Luhut Panjaitan pada Kabinet Jokowi Jilid I. Tapi lebih besar. Lebih berkuasa. Powerfull. Untuk berperan seperti itu, maka posisi Prabowo setidaknya harus menjadi Menko. Posisi yang pas dan cocok adalah Menkopolhukam. Atau kalau perlu nomenklatur kabinet diubah dengan membentuk pos Menteri Utama. Ketika mengetahui bahwa Prabowo, sekali lagi “hanya” menjadi Menhan, kelompok kedua ini ikut-ikutan kecewa. Posisi Prabowo akan berada di bawah Menko Polhukam. Sampai sekarang belum ada gambaran siapa yang akan menempati posisi ini. Kalau sampai posisi Menko Polhukam ditempati oleh figur yang lebih yunior dibandingkan Prabowo, maka posisinya kian terdowngrade. Sebutlah misalnya Moeldoko, atau Budi Gunawan. Secara kepangkatan mereka memang lebih senior dibanding Prabowo. Keduanya jenderal bintang empat, Prabowo bintang tiga. Hanya saja dari sisi angkatan, kedua jauh di bawah Prabowo. Moeldoko lulusan Akabri 1980, dan Budi Akpol 1983. Sementara Prabowo Akabri 1974. Lebih celaka lagi kalau ternyata pos itu ditempati kembali oleh Wiranto atau Luhut. Dipastikan Prabowo tidak bisa berkutik. Wiranto jenderal bintang empat. Pernah menjadi KSAD, Panglima TNI, dan beberapa kali menjadi Menko Polhukam. Dia lulusan Akmil 1968. Secara senioritas Prabowo kalah segalanya. Luhut lulusan Akabri 1970. Jenderal bintang empat kehormatan. Lebih senior dibanding Prabowo, dan jelas lebih jago bermanuver. Dengan posisi sebagai Menhan, Prabowo bisa mendapat kenaikan pangkat satu tingkat. Menjadi jenderal bintang empat kehormatan seperti Luhut. Kelompok ketiga adalah para trueb Pejah gesang nderek Prabowo. Sebagai jenderal senior, mereka percaya Prabowo pasti punya perhitungan dan kalkulasi sendiri. Kelompok ketiga ini sangat percaya, dengan masuk ke dalam pemerintahan, apalagi menjadi Menhan, maka pada waktunya Prabowo akan mengambil alih kekuasaan. Dilantik menjadi Presiden menggantikan Jokowi. Membawa Indonesia menjadi negara yang kuat dan maju. Dalam sistem ketatanegaraan kita, Menhan bersama Mendagri dan Menlu disebut sebagai Triumvirat. Tiga jabatan yang sangat menentukan manakala terjadi kekosongan kekuasaan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (3) UUD 45 apabila terjadi kekosongan jabatan presiden dan wapres secara bersamaan, maka tugas kepresidenan dipegang oleh tiga menteri tersebut secara bersama-sama, sampai terpilih presiden dan Wapres difinitif. Secara konstitusional ketiga jabatan itu berbeda dengan menteri-menteri lain, bahkan termasuk jabatan Menko. Kalau toh tidak terjadi turbulensi politik. Jokowi mengakhiri masa jabatan kedua dengan mulus, kelompok true believers ini sangat meyakini posisi Menhan sangat strategis dan penting. Bisa menjadi modal untuk kembali maju pada Pilpres 2024. Prabowo bisa mewujudkan visinya Indonesia sebagai negara yang kuat secara militer. Disegani negara tetangga dan dunia. Bukan negara cemen. Hanya bisa bertahan selama tiga hari bila digempur musuh. Harapan ini tampaknya sulit terwujud melihat alokasi anggaran Kemenhan tahun 2020 sebesar Rp 127.4 trilyun. Anggaran sebesar itu harus dibagi dengan Mabes TNI, Mabes TNI-AD, AL, dan AU. Bandingkan dengan anggaran Polri tahun 2020 sebesar Rp 104.7 trilyun. Agak sulit membayangkan Prabowo melakukan terobosan-terobosan. Menggunakan dana non budgeter, seperti dia lakukan pada waktu dulu memimpin satuan-satuan TNI. Kali ini skala tanggung jawabnya jauh lebih besar. Urusan negara. Urusan TNI secara keseluruhan. Bukan satuan setingkat batalion, atau brigade. Dibandingkan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga, kelompok hidup mati dukung Prabowo ini jauh lebih kecil. Mereka terdiri dari anggota partai Gerindra dan para simpatisannya. Bila benar akhirnya Prabowo menempati posisi sebagai Menhan, modal politiknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pilpres lalu. Kita hanya bisa mengucapkan selamat bertugas. Hati-hati di jalan Pak. End

Seleksi Menteri, Jokowi Tak Sertakan Kiyai Ma’ruf

Padahal, sekali lagi, ruang kearifan konstitusional memungkinkan Kiyai Ma’ruf terlibat dalam seleksi calon menteri. Bukan mengangkat menteri. Sayang kemungkinan ini, entah tak teridentifikasi oleh Jokowi atau sengaja dibiarkan tak terdentifikasi. Dengan argumen yang tidak seorang pun mengetahuinya, telah menjauhkan Kiyai Ma’ruf untuk sekadar ikut membicarakan, dan mengenal mereka calon menteri. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Hampir empat bulan setelah penetapan dirinya sebagai calon presiden terpilih dalam pemilu memilukan, Jokowi Widodo, Presiden terpilih ini tidak juga membekali dirinya dengan gambaran tentang pemerintahan macam apa yang akan dibentuk kelak setelah diambil sumpahnya. Itu tercermin dari kenyataan pada hari Senin tanggal 21 Oktober ini. Satu demi satu manusia, mungkin calon menteri, diberitakan media online silih berganti mendatangi dirinya di istana presiden. Sebagian dari mereka yang dipanggil bukanlah orang baru dalam dunia politik, dan bukan pula orang yang tidak memiliki kedekatan dengan dirinya. Beberapa dari mereka dikenal luas sebagai orang yang telah memainkan peran membantu dirinya, dalam arti yang luas. Mereka diajak berdiskusi secara singkat dengan spektrum yang sebagian terlihat begitu luas. Kiyai Tak Disertakan Bila Jokowi dan Kiyai Ma’ruf telah memiliki peta pemerintahan yang akan dibentuk kelak setelah keduanya dilantik, maka pekerjaan menyeleksi menteri dapat dilakukan dengan lebih terukur. Dengan peta yang tersedia jelas, maka keduanya dapat secara bersama membayangkan siapa saja figur yang dapat diminta membantu keduanya. Kiyai Ma’ruf, dalam kerangka itu dapat ditugaskan mengerjakan pekerjaan seleksi, sejauh yang bisa. Sayangnya tidak terjadi, sehingga soal itu harus dikerjakan dalam waktu sesempit sekarang. Senin dan Selasa akhirnya menjadi hari yang sibuk dengan sejumlah orang dipanggil ke Istana menemui Presiden, membicarakan sebisanya hal-hal yang mungkin akan dimintai bantuan mereka untuk dikerjakan. Senin yang sibuk di Istana kepresidenan, juga menjadi Senin yang sibuk di kantor wakil presiden. Di kantor ini Kiyai Ma’ruf menerima memori kerja Pak Jusuf Kalla, mantan wakil presiden. Ini berlangsung hingga jam 10 pagi, dan waktu sesudahnya Kiyai Ma’ruf melakukan perjalanan kenegaraan ke Jepang. Ia mewakili Presiden menghadiri penobatan Kaisar Jepang. Praktis Kiyai Ma’ruf tidak disertakan oleh Presiden Jokowi dalam seleksi menteri. Mengapa tak disertakan? Jokowi secara konstitusi memang tidak diwajibkan menyertakan Pak Kiyai Ma’ruf, wakil presidennya dalam urusan, sebut saja seleksi menteri ini. Sekali lagi, tidak wajib. Toh konstitusi menempatkan kewenangan mengangkat menteri sepenuhnya pada presiden. Medan normatif konstitusi memang begitu. Medan mengangkat menteri adalah medan tunggal, yang tidak perlu dibagi dengan Waki Presiden. Mengangkat menteri, jelas wewenang konstitusional Presiden, bukan Wakil Presiden. Mengangkat adalah tindakan hukum, yang memiliki konsekuensi hukum. Hanya presiden, bukan wakil presiden yang dapat mengangkat menteri. Wakil Presiden memang hanya berfungsi membantu Presiden. Tetapi Wakil Presiden juga bukan pembantu biasa. Wakil presiden adalah pembantu dengan keistimewaan konstitusional yang khas. Hanya kepada Wakil Presiden, bukan menteri, Presiden bisa memandatkan kewenangan mengurusnya. Bukan mengatur, bila presiden dalam keadaan tertentu tidak dapat menyelenggarakan sendiri urusan itu. Tetapi lain betul dengan tindakan seleksi. Dalam konteks seleksi, presiden tidak dilarang menyertakan wakil presiden. Sayangnya Presiden telah memilih berdiri tegak, untuk tak mengatakan membiarkan kearifan konstitusi itu tersembunyi dalam gudang politik konstitusionalisme. Ia hanya berjalan tegak lurus di track normatif konstitusi. Presiden membiarkan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden berjarak sejauh mungkin dalam urusan ini. Padahal, sekali lagi, ruang kearifan konstitusional memungkinkan Kiyai Ma’ruf terlibat dalam seleksi calon menteri. Bukan mengangkat menteri. Sayang kemungkinan ini, entah tak teridentifikasi oleh Jokowi atau sengaja dibiarkan tak terdentifikasi. Dengan argumen yang tidak seorang pun mengetahuinya, telah menjauhkan Kiyai Ma’ruf untuk sekadar ikut membicarakan, dan mengenal mereka calon menteri. Tahun-tahun Seremonial Kalau Presiden Jokowi bisa, bahkan harus berdiskusi dengan ketua-ketua partai yang membawa dirinya dan Kiyai Ma’ruf menjadi calon presiden dan wakil presiden, kenapa tidak dilakukan dengan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden? Sehebat apapun ketua-ketua partai, mereka bukanlah figur tata negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Figur itu disandang oleh Wakil Presiden, Kiyai Ma’ruf. Membuka diskusi, sesingkat apapun antara Presiden dengan Ketua-Ketua Partai Politik, menunjukan Presiden telah tahu lebih dari siapapun bahwa konstitusi bukan satu-satunya instrumen politik paling tangguh dalam menyumbangkan pemerintahan yang memiliki kapasitas sebagai pemerintahan yang efektif. Tidak. Presiden dalam konteks itu juga tahu lebih dari siapapun, pemimpin sangat sering beralih, mengambil dari gudang politik, hal-hal non hukum mengonsolidasi pemerintahannya. Seperti telah dilakukannya sendiri, Presiden Jokowi mestinya tahu politik di alam demokrasi menyediakan kearifan sebagai sumbu utama, penyumbang datangnya pemerintahan yang berkapasitas, dan memungkinkan semua elemen di dalamnya solid mengakselerasi program dan kegiatan pemerintahan. Kearifan inilah yang semestinya dipanggil Pak Jokowi pada kesempatan pertama dan dimainkan dalam kerangka seleksi, bukan mengangkat menteri, dengan melibatkan Kiyai Ma’ruf. Mengesampingkan kearifan-kearifan demokrasi sebagai sebuah kekuatan tak tertandingi dalam menciptakan keharmonisan, yang merupakan kekuatan inti pemerintahan, jelas tidak membantu tumbuhnya iklim harmoni yang diperlukan untuk membuat pemerintahan solid. Menjauhkan Kiyai Ma’ruf sejauh mungkin dari urusan seleksi Menteri memang tidak bakal menjadi alarm datangnya politik menyalahkan tindakan itu. Tidak. Tetapi bukan disitu pangkal soalnya. Pangkal soalnya adalah terbunuhnya kearifan. Tetapi mungkin saja Kiyai Ma’ruf tahu level kearifan Presiden Jokowi, dan mungkin juga tahu bahwa tidak diperlukan tes kecil untuk memastikannya. Sebagai orang yang tidak terlalu asing dalam dunia politik, Kiyai Ma’ruf mungkin mengetahui bahwa tidak ada cara paling ampuh meminta, menghadirkan kearifan, selain yang terlihat. Toh kearifan yang selalu bersendikan pada kejujuran, dan kejujuran merupakan perkara tersulit untuk diminta dalam dunia politik riil. Kiyai Ma’ruf mungkin saja menerimanya sebagai hal biasa dalam politik. Itu sebabnya terlalu prematur mengajukan pernyataan konklusif bahwa Kiyai Ma’ruf, dalam lima tahun mendatang hanya akan diperlakukan oleh Presiden Jokowi sepenuhnya sebagai pembantu tanpa portofolio. Kenyataan dirinya tak dilibatkan dalam seleksi calon menteri, karena itu, juga tak bisa dijadikan basis mengajukan pernyataan hipotetikal bahwa seistimewa apapun status Kiyai dalam kerangka konstitusi, lima tahun mendatang hanya akan menjadi tahun-tahun yang sibuk dengan seremoni.* Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Pelantikan Jokowi dan Kesabaran Revolusioner: Sebuah Renungan

Tema pengamanan ini berbeda dengan tema pelantikan Jokowi pada 2014. Saat itu temanya pesta rakyat, riang gembira, pesta pora. Dengan tema pengamanan tersirat bahwa kekuatan yang mengancam Jokowi menjelang pelantikan ini sangatlah besar. Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle Jakarta, FNN - Jokowi akan dilantik sebentar lagi di gedung MPR RI. Seluruh dukun telah bergerak mengamankan peristiwa ini. Bahkan iblis terbesar penguasa laut, Nyi Roro Kidul, diundang para dukun itu untuk pengamanan. Puluhan ribu TNI Polri di seluruh pelosok negeri juga akan mengamankan pelantikan ini, khususnya 30.000 personel di Jakarta. Berbagai rute transportasi melintasi Gd. MPR dan Istana dibatasi. Kereta Api, Serpong Tanah Abang misalnya, hanya berhenti sampe stasiun Kebayoran Lama, tidak ke Tanah Abang agar tidak melintasi Gd. MPR. Car Free Day si batasi. Semua tema pengamanan menjadi sentral topik berita dan chit-chat rakyat di media sosial. Tema pengamanan ini berbeda dengan tema pelantikan Jokowi pada 2014. Saat itu temanya pesta rakyat, riang gembira, pesta pora. Dengan tema pengamanan tersirat bahwa kekuatan yang mengancam Jokowi menjelang pelantikan ini sangatlah besar. Siapakah dan atau apakah ancaman tersebut? Pada tahun 2014, Prabowo beroposisi terhadap Jokowi. Baik dalam sikap maupun dalam agenda di DPR dan pernyataan publik. Namun, saat ini, Prabowo sudah tunduk pada Jokowi. Prabowo kemungkinan akan diberikan jatah 2 menteri plus satu jatah wakil menteri, termasuk dirinya akan menjadi Menteri Pertahanan. Dari sisi siapa, tentu seharusnya ketundukan Prabowo pada Jokowi membuat kekuasaan Jokowi sempurna. Jika sempurna maka pesta rakyat 2019 harusnya lebih besar dari pesta rakyat 2014 lalu. Tesis ini ternyata gagal. Topik dan anggaran pengamanan Jokowi mendominasi. Ini dapat berarti Prabowo bukanlah pemimpin yang mempunyai kekuatan, setidaknya kekuatan riil alias bukanlah macan benaran tapi mungkin dia hanya macan ompong. Lalu siapa musuh Jokowi itu? Habib Rizieq tentu tidak punya kekuatan menggerakkan Jin Ifrid sehingga perlu dihadang Nyi Roro Kidul. Kekuatan Rizieq adalah kekuatan sikap, menyatakan tidak mendukung Jokowi dan pemerintahannya. Karena menurut Rizieq kemenangan Jokowi adalah illegal. Tapi untuk apa 30.000 pasukan TNI Polri di siapkan mengamankan sebuah pesta? jika itu pesta kemenangan? Kesulitan mencari siapa atau sosok musuh Jokowi membuat kita pindah pada pertanyaan apakah ancaman terhadap pelantikan Jokowi? Pertanyaan ini merujuk pada situasi bukan sosok. Pertanyaan ini bersifat lebih abstrak. Sebuah kekuasan memerlukan moral dan legitimasi. Moral dan legitimasi adalah spirit dan substansi. Sebuah sakral. Berbeda dengan legalitas. Legalitas adalah pengakuan hukum formal. Legalitas dapat diperoleh melalui jalan baik, namun juga dapat melalui jalan jahat. Machiavelli, Sang Guru Politik Italia, mengajari kekuasaan tanpa moralitas. Menurutnya kekuasaan tidak ada yang jahat. Katanya, "cambuklah musuhmu 100 kali, lalu besoknya cambuklah hanya 99 kali, maka kamu akan menjadi pemimpin yang baik di mata dia" Namun, secara general, kekuasaan berkaitan dengan moral dan legitimasi tadi. Sebuah kekuasaan yang diperoleh dan dijalankan tanpa moral dan legitimasi umumnya menghantui pikiran pemimpin itu setiap malam. Commodus, raja Roma di masa kuno, dalam film Gladiator, misalnya, menjadi raja tanpa moral dan legitimasi. Dia menjadi raja menggantikan ayahnya, Raja Marcus Aurelius, setelah membunuh secara rahasia ayahnya, dan menuduh pembunuhnya adalah Maximus, jenderal kesayangan kerajaan. Senat memberi legalitas pergantian raja dan pesta besar2an dilakukan. Namun, tanpa moral dan legitimasi, Commodus, menjadi raja yang paranoid. Commodus harus menyingkirkan semua elemen kekuatan yang dicurigai memusuhinya. Commodus menggunakan uang negara besar2an untuk memanipulasi adanya dukungan sah rakyat. Apakah Jokowi mengerahkan pengamanan besar2an karena soal legitimasi dan moral? kita belum mengetahui secara pasti, namun dari sisi ancaman sosok, tentu dengan Prabowo mengemis jadi menteri Jokowi, soal sosok setidaknya tak ada lagi. Kesabaran Revolusioner Berbagai isu miring tetap diarahkan rezim Jokowi bahwa kekuatan2 yang akan menggagalkan pelantikan Jokowi eksis. Projo, organ pemenangan Jokowi, menyebarkan spanduk diberbagai penjuru ibukota "Kawal Terus Pelantikan Jokowi-Makhruf Amin". Polri mengidentifikasi ada rencana bom bunuh diri. Nasdem mengatakan "pendukung #02 belum move on" Dll berita media online. Termasuk mengaitkan gerakan demo mahasiswa kemarin dengan urusan pengggalan pelantikan. Bagi pendukung #02, tentu saja tuduhan atau penggiringan penggagalan pelantikan Jokowi terhadap mereka adalah sebuah "misleading". Dari berbagai media yang dapat kita pantau tidak satupun pernyataan Habib Rizieq Sihab, pemimpin oposisi utama, menyatakan seruan penggagalan pelantikan. Begitu juga ulama2 sentral dalam ijtima Ulama, tidak ada satupun yang melakukan gerakan makar itu. Seruan penggagalan misalnya datang dari Sri Bintang Pamungkas, tapi Sri Bintang sudah menyerang Jokowi sejak kasus makar 2016 lalu. Dan Sri Bintang tidak mengaitkan dimensi waktu dalam melawan Jokowi. Abdul Basith yang dituduh akan melakukan serangan Bom Molotov (bukan bom C4), dan membuat kekacauan, bukanlah ulama atau figur sentral dalam gerakan ijtima Ulama maupun kekuatan non ulama anti Jokowi. Sehingga, kelompok masyarakat yang tidak memberikan legitimasi dan moral bagi kekuasaan Jokowi, sesungguhnya tidak melakukan gerakan penggagalan atas pelantikan Jokowi. Dari segi ini, maka Habib Rizieq dan kekuatan rakyat (underground) yang menyatakan atau merasakan tidak mendukung Jokowi pada periode kedua ini, mempunyai kemampuan mengendalikan diri, sehingga tidak terpancing pada politik kekuasaan kontemporer. Ini adalah sebuah kemajuan besar politik umat Islam, khususnya, dan rakyat oposisi umumnya, yakni memelihara kesabaran (meski mungkin terhina telah mendukung Prabowo?). Politik dengan kesabaran adalah sebuah politik ajaran nabi, bukan Machiavelli. . Melihat politik bukan sekedar ambisi berkuasa, mengemis-ngemis jadi menteri, merampok harta negara, dlsb. Politik kesabaran adalah politik merujuk pada John Lock, bahwa pemimpin adalah sebuah pengabdian pada kontrak sosial. Menjadikan rakyat sebagai penguasa sesungguhnya. Pada saat ini kita akhirnya mengetahui sebuah fakta sosial: rezim Jokowi membangun tema keamanan, sedangkan Rizieq Sihab dan kaum oposisi mengutamakan kesabaran revolusioner.

Anomali-Anomali Pelantikan Presiden

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI periode kedua (2019-2024) penuh dengan anomali. Aneh, ganjil dan banyak kelainan. Anomali pertama. Harusnya pelantikan ini menjadi pesta rakyat. Penuh sukacita. Bangsa Indonesia merayakan suksesnya pesta demokrasi. Rakyat malah dijauhkan. Diwaspadai. Ditakuti. Lihatlah apa yang terjadi di Jakarta hari ini. Suasananya sungguh tegang. Seperti mau perang. Negara dalam kondisi darurat. Aktivitas warga dibatasi. Polisi, tentara, sampai petugas Satpol PP bertebaran di sepanjang sudut kota. Banyak di antaranya mengenakan pakaian sipil, mengamati pergerakan warga dengan waspada. Jalan-jalan utama ditutup untuk umum. Ruas jalan di seputar gedung MPR/DPR, seputar istana presiden dan berbagai ruas jalan protokol yang menghubungkannya tak bisa dilalui. Jalan-jalan utama itu ditutup aksesnya untuk rakyat. Hanya petugas keamanan dan pihak yang berkaitan langsung dengan pelantikan presiden dan wakil presiden yang boleh melaluinya. Kegiatan car free day, olahraga pekanan warga Jakarta sepanjang jalan MH Thamrin dan Sudirman ditiadakan. Kawasan Monas juga ditutup untuk publik. Kawasan yang biasanya menjadi tempat hiburan murah rakyat kebanyakan itu dijaga ketat aparat keamanan. Lucunya beberapa kepala daerah di seputar Jakarta juga ikut-ikutan paranoid. Walikota Bekasi Rachmat Effendy juga meniadakan kegiatan car free day di jalan Ahmad Yani, Bekasi. Padahal lokasi sangat jauh dari arena pelantikan. Bupati Bogor Ade Yasin guru dan orang tua yang pelajar dan anaknya ikut unjukrasa menentang pelantikan. Anomali kedua. Polisi memberlakukan larangan unjuk rasa. Larangan berlaku hampir sepekan. Sejak Selasa (15/10) sampai saat pelantikan Ahad (20/10). Unjukrasa, menyampaikan ekspresi politik, pendapat secara lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia dijamin konstitusi. Polisi tetap bersikeras melarang unjukrasa kendati Presiden Jokowi mempersilakan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan. Presiden malah sempat mengaku rindu didemo. Anomali ketiga, TNI dan peralatan tempur dikerahkan secara besar-besaran. Seperti darurat perang. Helikopter, pesawat tanpa awak (drone), pesawat militer dikerahkan untuk memantau keamanan dari udara. Sejumlah panser TNI juga diparkir di beberapa kawasan pusat perbelanjaan di Jakarta. Panglima TNI mengeluarkan ancaman. “Siapapun yang akan menggagalkan pelantikan kabinet, berhadapan dengan TNI.” Dalam negara demokrasi, tugas militer itu mengamankan negara dari ancaman musuh, negara asing. Bukan berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Situasi keamanan ketertiban masyarakat adalah domainnya polisi. Bukan militer. Sejak TNI back to basic, TNI harus menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis. Sekarang malah diseret-seret kembali ke politik. Mengamankan rezim penguasa. Anomali keempat. Rakyat banyak yang tidak antusias menyambut pelantikan. Bahkan emak-emak menyerukan gerakan “tutup tv dengan taplak meja.” Di twitter seruan #BesokMatikanTVSeharian memuncaki trending topic. Mereka tak peduli, siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau jadi wapres, apalagi siapa yang mau jadi menteri. Situasinya berbeda jauh dengan Pelantikan Jokowi periode pertama. Saat itu rakyat mengelu-elukannya. Terjadi eforia. Di sepanjang jalan Sudirman dan MH Thamrin menuju istana rakyat berdiri berjajar sepanjang jalan. Jokowi bahkan sempat melepas jasnya dan turun dari kendaraan menyalami warga. Anomali kelima, ini merupakan kelainan terbesar demokrasi. Yakni bergabungnya partai oposisi ke dalam pemerintahan. Bahkan capres lawan Prabowo Subianto juga kemungkinan akan bergabung dalam kabinet. Mau dicari dalam buku teks demokrasi yang paling klasik sekalipun, tak ada ceritanya, oposisi kok bergabung dalam kabinet. Malah ikut berebut jatah kursi menteri. Tak heran bila banyak rakyat yang menyatakan kecewa. Baik dari pendukung Jokowi maupun Prabowo. “ Kalau begini ngapain harus pilpres segala?” Sudah menghabiskan anggaran negara trilyunan rupiah, masyarakat bermusuhan, gontok-gontokan, ratusan nyawa melayang sia-sia, akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan. Mengapa sejak awal tidak baku atur saja. Tak perlu melibatkan rakyat. Silakan atur negara ini suka-suka. Fenomena ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara. End