POLITIK
RUU Pertanahan Adalah RUU Perampasan Hak Pribadi
Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Rancangan UU Pertanahan (RUU Pertanahan) dilihat dari sudut konstitusi merupakan RUU yang buruk sekali. Nalar dibalik sejumlah pasal (rancangan) cukup jelas sangat primitif. Mereflesikan logika tipikal perencanaan sosial ekonomi yang umumnya para kapitalis. Memutarbalikan konsep rule of law. Ini manipulatif. Ada dua sebab pada level konseptual yang menunjukan RUU ini manipulatif. Pertama, RUU ini hendak disodorkan pada level tertentu sebagai sarana rekayasa social. Targetnya, menciptakan tatanan hukum pertanahan yang lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Tetapi jalan fikiran ini terlihat tidak lebih hanya sebagai cover politik. Mengapa begitu? Karena sejumlah pasal dalam RUU ini cukup jelas terlihat menyimpang dari prinsip-prinsip hak dalam UUD 1945. Begini logikanya. UUD mengakui hak bagi setiap orang. Hak ini terbagi ke dalam dua kategori besar. Kedua, kategori itu adalah hak yang bersifat alamiah dan hak diberikan oleh undang-undang. Hak yang bersifat alamiah, misalnya hak untuk memperoleh keturunan melalui keturunan yang sah. Hak untuk hidup, tidak disiksa dan lainnya. Hak ini tidak bisa dicabut oleh siapapun. Berbeda dengan hak alamiah, adalah hak yang dinyatakan ada karena diberikan oleh undang-undang. Biasanya disebut dengan hak yang bersifat parsial. Karena sifatnya sebagai hak yang parsial itu, maka hak ini oleh UUD dikualifikasi sebagai hak yang dapat dicabut. Menurut UUD 1945, pencabutan atau pembatasan atas hak ini hanya bisa dilakukan bila diatur dalam undang-undang. Pada titik ini muncul sebab kedua, yaitu orang-rang yang menandai Rancangan Undang-Undang (RUU) adalah ini buruk seburuknya manusia. Bahkan sanagt berbahaya. Bagaimana logikanya? Logikanya adalah karena hak hanya bisa dicabut dengan menggunakan undang-undang, maka buatlah undang-undang sebagai dasar untuk pencabutan atas hak itu. Jalan fikiran inilah yang ada dibalik sejumah pasal dalam RUU Pertanahan sekarang. Fakta inilah yang mungkin menjadi sebab tambahan protes dari mahasiswa . Ini Bentuknya Pasal 48 ayat (8) dalam RUU Pertanahan, sejauh yang tersebar di beberapa media berisi ketentuan: Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data pertanahan, kecuali informasi yang dikecualikan sesuai peraturan perundangan. Kelak bila pasal ini disahkan, maka muncul masalah hukum. Masalahnya adalah “informasi” jenis apa, yang dikecualikan? Nama pemegang hak seperti apa yang dikecualikan? Hak apa yang dikecualikan? Hak guna usaha seperti apa yang dikecualikan? Tidakkah hak guna usaha itulah yang saat ini muncul sebagai masalah terebesar dalam dunia penguasaan tanah? Sejauh ini hak guna usaha hanya diberikan kepada perorangan dan korporasi yang berusaha dibidang pertanian dan perkebunan. Selalu begitu dalam sejarahnya. Usaha perkebunan berada di atas lahan dalam jumlah puluhan ribu hektar. Umumnya pemegang hak ini adalah perserorangan yang berduit besar. Praktis mereka adalah pengusaha berskala besar. Norma itu memberikan pilihan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan. Kelak setelah disahkan pemerintah, dengan kewenangan yang diberikan undang-undang membuat dapat peraturan yang mengecualikan hak guna usaha. Pengecualian itu termasuk pemegang hak guna usaha sebagai informasi yang dikecualikan. Mereka, dengan demikian terlindungi, dalam makna mendapatkan privilege hukum untuk tidak diketahui orang. Kebijakan ini jelas sangat buruk dan primitif. Pasal 95 RUU Pertanahan ini seperti yang telah beredar di media berisi rumusan: “Setiap orang, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun serta denda sebanyak-banyaknya 15.000.000(lima belas juta rupiah)”. Betul rumusan ini bersifat materil (delik materil). Delik yang dalam ilmu hukum dianggap telah ada sebagai perbuatan jahat bila akibat yang dilarang telah terjadi. Betul itu. Akibat yang dilarang dalam pasal ini adalah “sengketa atau konflik.” Tetapi apa yang dimaksud dengan “permufakatan jahat” dan apa yang dimaksud dengan “sengketa atau konflik.” Sanbgat tidak jelas dan karet tafsirannya. Ketidak jelasan norma-norma itu menjadi ketukan lembut untuk setiap penegak hukum merumuskan sendiri setiap peristiwa sebagai “permufakatan.” Tidak itu saja. Mereka juga dapat merumuskan sendiri setiap peristiwa untuk dikategori sebagai akibat permufakatan itu. Akibat itu apakah berupa sengketa atau konflik? Bahkan setiap persitiwa dapat dikategori “sengketa atau konflik” berdasarkan defenisi bikinan sendiri penegak hukum. Inilah yang sangat berbahaya sekali. Seharusnya dirumuskan secara jelas keadaan-keadaan yang dikategori sebagai sengketa dan atau konflik. Seharusnya pula dirumuskan secara jelas peristiwa-peristiwa yang dikategori sebagai “sengketa dan atau konflik. Rumusan yang jelas adalah cara hukum mencegah penyalahgunaan wewenang. Mereka para penegak hukum, dengan rumusan hukum yang jelas dan tegas, dipaksa untuk tidak menggunakan interpretasi sendiri yang sangat subjetif. Rumusan-rumusan di atas jelas berbahaya. Namun masih ada rumusan berikut ini jauh lebih berbahaya. Pasal 91 sejauh yang telah beredar, berisi ketentuan: “pemilik tanah yang menolak atau setiap orang yang menghalangi aparatur penegak hukum bidang pertanahan pada bidang tanahnya sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (4) huruf c dipidana paling lama 2 (dua) tahun serta denda Rp. 5.000. 000., (lima juta) rupiah”. Pasal ini jelas lebih berbahaya dari undang-undang yang dibuat untuk melegalkan pekentingan kekuasaan pejajah. Atau mungkin juga sebaliknya. Ada diantara penguasa pejajah yang bisa saja tidak menghendaki pasal-pasal seperti ini dalam produk undang-undang yang dibuat pejajah. Pasal ini sepertiunya terlihat hendak melindungi pemilik tanah. Tetapi tidak dalam prinsipnya. Mengapa? Untuk memperjelasnya, saya mengajukan satu kasus hipotetik. Kasusnya beini, “dalam hal seorang pengusaha hendak menguasai tanah dengan hak guna usaha (HGU) yang biasanya selalu luas, lalu tanah yang hendak dikuasainya itu meliputi bidang tanah yang telah dikuasai orang lain, maka orang yang bidang tanahnya tercakup dalam rencana HGU itu tidak dapat mempertahankannya”. Pengukuran atau penyelidikan atas luas tanah oleh aparatur pertanahan itu tidak dapat dicegah. Bila dicegah, apapun argumen yang digunakan, tindakan pencegahan itu tetap dikategori secara hukum sebagai tindakan menghalangi. Bisa dihukum minimal lima tahun. Hebat sekali kan ? Merampas Hak Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Dunia ilmu hukum memberitahukan kita bahwa kapitalis biasanya mengandalkan hukum sebagai alat untuk merampas hak orang, melipatgandakan hak, melipatgandakan asset, memperluas pasar dan memproteksi pasar. Kapitalis-kapitalis rakus dan tamak ini, dalam sejarahnya, selalu begitu. Mereka, sekali lagi, selalu memanggil hukum untuk menjaga, memburu dalam semangat mengonsetrasikan setiap jengkal sumberdaya ekonomi. Kapitalis tamak cukup cerdas membungkam penentang mereka dengan argumen rule of law dan demokrasi. Rule of law dan demokrasi diandalkan sebagai tatanan yang memungkinkan, memanggil siapa saja yang tumbuh dan menjadi sejahtera. Rule of law, selalu dalam pandangan saya, adalah konsep indah dan berkelas pada level kulit. Itu karena substansinya dapat dituliskan dengan berbagai macam gagasan. Satu dan lainnya tak beriringan dengan nilai-nilai dasar sebuah masyarakat. Hukum karena isinya selalu dapat ditulis sesuka hati oleh para perencana sosial dan ekonomi. Maka hukum juga dapat digunakan, dalam semangat merampas, mengalihkan kekayaan orang kaya ke orang miskin. Caranya, adalah dengan memperkenalkan program jaringan pengaman sosial, bahkan subsidi. Cara ini yang ditandai Frederick Bastiat, ekonom Prancis abad ke-19 yang ditahbiskan sebagai ekonom pembela tanpa batas terhadap pasar bebas. Dalam posisi itu, Frederick terang-terangan dan lantang mengeritik penggunaan hukum yang membenarkan proteksi dan subsidi. Baginya proteksi dan subsidi adalah cara perampasan hak orang kaya untuk dialihkan ke orang miskin. Cara ini tidak masuk akal. Menurutnya, cara yang tepat adalah membiarkan semua orang bebas dalam setiap usahanya. Dalam kecakapannya mengeritik hukum, Fredericl menandai hukum telah terlalu sering digunakan melampaui fungsi alamiahnya. Tetapi apapun itu, pembatalan pengesahan RUU Pertanahan harus disambut gembira. Andai saja tidak dibatalkan, maka RUU itu sepenuhnya berfungsi sebagai sarana perampasan hak. Itu karena tabiat politik yang tersedia ditengah kehidupan politik yang sepenuhnya elitis, tidak bakal menempatkan kapitalis sebagai korban utama RUU in. Pembatalan pengesahan RUU ini disisi lain terlihat sebagai keberhasilan paling nyata, walau mungkin tak disadari, bahwa tipuan halus rule of law berhasil dikenali dan dihentikan
Telur Busuk di Ujung Tanduk KPK
Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut. Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - Kendati dalam satu eraman, telur-telur itu tak selalu bisa menetas semua. Ada kalanya, di antara telur itu sebagian menjadi telur busuk. Begitu juga dalam sebuah organisasi. Tidak semua kader terlahir sebagai kader yang bisa diandalkan. Kadang kala lahir kader busuk. Itu pula yang dialami banyak organisasi massa Islam. Nahdlatul Ulama atau NU, misalnya. Organisasi terbesar di Indonesia ini banyak melahirkan rokoh-tokoh yang bisa diandalkan, tokoh-tokoh bangsa yang mengharumkan nama NU, bangsa, negara, dan tentu saja agama. Namun tak sedikit juga dari rahim NU lahir kader yang tidak bisa diharapkan. Di era kini, era kepemimpinan Joko Widodo, sejumlah kader NU --anak-anak muda NU-- berkesempatan di garda depan dalam kepemimpinan nasional. Mereka bertabur di banyak partai. Mereka hebat-hebat. Nah, dari yang hebat-hebat itu ada juga yang bermasalah. Tengok saja, pengumuman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (18/9). Kader NU yang juga kader Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Imam Nahrawi, mendapat medali tersangka korupsi dari KPK. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar terkait dengan penyaluran bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Tahun Anggaran 2018. Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkap bahwa selain menerima uang sebesar Rp14,7 miliar terkait dana hibah melalui asisten pribadinya Miftahul Ulum, Menpora Imam juga meminta uang sejumlah Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016- 2018. "Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora," ujar Alexander, dalam konferensi pers, Rabu (18/9). Masuknya nama Imam dalam jeratan KPK harusnya tidak mengejutkan lagi. Soalnya, Imam sudah sering disebut dalam tiap sidang kasus duit KONI. Hal yang mengagetkan tentu, waktu penetapan itu. Waktu yang oleh Imam boleh jadi tak disangka-sangka. Seperti kita tahu, penetapan tersangka bagi Imam dilakukan KPK setelah disahkannya revisi UU KPK oleh DPR RI. Penetapan itu juga dilakukan pascapimpinan KPK menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, ini adalah hal yang menyesakkan dada bagi Imam, keputusan itu dilakukan pada saat dirinya, juga pimpinan KPK, sudah berada di ujung kekuasaannya. Jabatan Menpora bagi Imam berakhir pada akhir bulan depan, sedangkan pimpinan KPK, termasuk Alexander, berakhir pada Desember tahun ini. Tiga Kali Mangkir Memang, nama Imam sudah jauh-jauh hari disebut-sebut terlibat dalam kasus tersebut. Awalnya, jaksa KPK yang mengungkap keterlibatan Menteri Imam. Hanya saja, duit yang dituduhkan tak sebesar yang diungkap Alexander. Sang Jaksa hanya membeberkan daftar pembagian dana hibah yang sejumlah Rp3,4 miliar. Daftar para penikmat itu dibuat Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy. Nama Imam ada di deretan nomor satu dalam daftar. Sekadar mengingatkan, kasus ini bermula dari penangkapan sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Selasa, 18 Desember 2018. Setelah penangkapan itu, lembaga antirasuah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah Hamidy dan Bendahara Umum KONI Jhonny E. Awuy sebagai tersangka pemberi suap. Tiga orang tersangka lain dari Kemenpora, yaitu Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen di Kemenpora, Adhi Purnomo, dan Staf Kementerian Kemenpora, Eko Triyanto. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan khusus penyelidikan tentang keterlibatan Imam dilakukan KPK sejak 25 Juni 2019. Imam sudah dipanggil sebanyak tiga kali yakni pada 31 Juli, 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019. Hanya saja, ia tidak menghadiri pemanggilan tersebut. KPK memandang telah memberikan ruang yang cukup bagi Imam untuk memberikan keterangan dan klariflkasi pada tahap penyelidikan. Kader PKB, Santri NU Imam memang baru tersangka. Semoga saja dia tidak korup. Korupsi itu perbuatan yang kejam. Ah, mana mungkinlah Imam berbuat begitu. Dia kan kader PKB. Dia kan santri NU. Nama dengan titel lengkap Imam adakah Dr. H. Imam Nahrawi, S.Ag., M.KP. Pria ini sebelumnya adalah Sekretaris Jenderal DPP PKB. Saat mahasiswa, lelaki kelahiran Bangkalan, 8 Juli 1973, ini aktif sebagai bagian dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tapi, bagaimana jika Imam benar melakukan itu. Jika benar begitu, maka publik bisa mengambil pelajaran bahwa telur dalam satu eraman memang tak selalu menetas semua. Ada kalanya, sebagian telur menjadi telur busuk. Lagi pula, Imam tidak sendiri. Penetapan tersangka atas diri Imam oleh KPK ini hanya menambah daftar kader NU yang kena jeratan KPK saja. Sebelumnya, Muhammad Romahurmuziy atau Romy terkena OTT KPK. Eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mulai disidangkan dalam kasus jual beli jabatan. Kita tahu, siapa Romy. Dia adalah kader NU tulen. Dia putra Prof. Dr. K.H. M. Tochah Mansoer, Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga, pendiri sekaligus ketua pertama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Ia juga cicit pendiri NU Abdul Wahab Hasbullah. Kini, banyak pihak berharap, Iman dan Romy menjadi yang terakhir bagi kader NU yang berurusan dengan KPK. Sayangnya, publik sudah menerka, Lukman Hakim Saifuddin bisa-bisa menyusul. Menteri Agama ini adalah kader NU. Pada tahun 1988-1999 ia berkiprah di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris. Sama dengan Romy, Lukman terbelit dalam kasus jual beli jabatan. Keterlibatan Lukman terekspos setelah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Haris Hasanudin, didakwa oleh KPK telah menyuap Romy dan Lukman untuk memuluskan dirinya menduduki jabatan sebagai kepala kantor wilayah. Haris mengaku dirinya memberi Lukman Rp10 juta pada 9 Maret 2019 di Jombang. Tatkala KPK menggeledah ruang kantor Lukman, penyidik menemukan uang Rp180 juta dan US$30 ribu. Selanjutnya penyidik menyita uang US$30 ribu di laci ruang kerja Menag itu. Jika dirupiahkan, maka duit sebanyak itu bernilai sekitar Rp423 juta. Jadi, total duit berupa dolar dan rupiah itu menjadi sekitar Rp603 juta. FC Awalnya, tidak jelas duit dari mana yang tersimpan di laci itu. Dari pengakuan Lukman, uang itu adalah akumulasi dari dana operasional menteri yang diperolehnya. Baik itu dari honorarium yang diterima dari berbagai kegiatan seperti ceramah dan pembinaan, dan urusan lain di dalam dan luar kementerian agama. Sebagian dari uang itu juga menurutnya adalah dana sisa perjalanan baik ke luar atau pun dalam negeri. Soal duit US$30 ribu, asal-usulnya baru terungkap pada Rabu, 26 Juni 2019. Kala itu, Lukman dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi terdakwa Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur, Haris Hasanuddin. Lukman menyebut uang US$30 ribu tersebut pemberian Atase Agama Arab Saudi, Syekh Ibrahim, terkait kegiatan MTQ Internasional yang digelar di Indonesia. "Itu dari keluarga Amir Sultan, karena rutin keluarga Raja mengadakan MTQ Internasional Indonesia," jelasnya. Duit itu diberikan di ruang kerja Menag pada Desember 2018. Sungguh sangat disayangkan karier politik kader-kader muda NU ini diwarnai tragedi yang jelas memalukan. NU adalah ormas Islam yang amat keras melawan korupsi. NU memandang korupsi adalah kejahatan berat. Hukum bagi koruptor, menurut NU, adalah potong tangan sampai hukuman mati. Fatwa ini dikeluarkan dalam Mubes NU pada 2012. "Kami tetap meminta praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan," pinta Sekretaris Jendral PKB, M Hasanuddin Wahid, Rabu (18/9) terkait status tersangka Imam Nahrawi. Ya, semoga saja Imam tak bersalah. Itulah yang mestinya ia buktikan. Sudah sepantasnya NU atau PKB melakukan pembelaan pada kadernya. Lagi pula, KPK bukanlah malaikat yang selalu benar. Atas dasar itu, tidak semua telur yang berada di ujung tanduk KPK adalah telur busuk. Penulis adalah Wartawan Senior
Jokowi Masuk Perangkap Revisi UU KPK
Mungkinkah PDIP sengaja menjerumuskan Jokowi lewat usul revisi UU KPK? Bisa iya, bisa tidak. Bisa iya, karena ada indikasi keluarga besar PDIP mulai tidak nyaman dengan sepak-terjang Jokowi. Bisa tidak, karena tak mungkin rasanya Bu Megawati sengaja menyulitkan posisi politik Jokowi. By Asyari Usman Tim inti Jokowi kecolongan. Revisi UU KPK kini menjerumuskan dia. Sekarang, pendukung Jokowi sendiri terbelah. Sebagian menentang keras revisi itu. Sebagian lain masih tetap setia membela Jokowi. Untuk yang membela mati-matian, tentu bisa dipahami semua orang mengapa mereka bersikap begitu. Tetapi, reaksi publik secara umum membuat posisi Jokowi menjadi labil. Terutama, rangkaian unjukrasa yang dilancarkan oleh kalangan mahasiswa di Jakarta dan juga di kota-kota besar lain di Indonesia. Kalau aksi jalanan ini membola salju, bisa jadi efeknya akan semakin jauh ke jantung kekuasaan. Sangat mengherakan mengapa tim penasihat inti Jokowi bisa terjebak menyetujui revisi UU KPK nomor 30 Tahun 2002. Seharusnya mereka paham betul bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga yang didukung kuat oleh semua orang dari segala kubu dan latarbelakang. Semestinya, tim penasihat Jokowi tahu bahwa korupsi adalah musuh bersama rakyat. Lintas partai, lintas agama, lintas ideologi. Di kubu Jokowi, hanya para buzzer beliau saja yang mendukung revisi. Seharusnya, Jokowi tidak menyentuh KPK. Badan ini mengakar di hati rakyat. Rakyat yang cendekiawan atau rakyat biasa. Gebrakan-gebrakan KPK selama ini sangat ‘menghibur’ bagi rakyat. Para anggota DPR boleh tak suka kepada KPK. Tapi, begitu lembaga ini dilihat sedang dikeroyok, rakyat pasti akan bereaksi. Publik sangat sederhana melihat KPK. Yang mau melemahkan KPK, mereka anggap prokorupsi. Baik itu presiden maupun DPR atau pihak lain yang memusuhi KPK. Realitas ini yang kelihatannya lepas dari kalkulasi Jokowi dan juga DPR. Publik tidak perduli soal kemacetan beberapa kasus besar di KPK. Bagi mereka, ketika DPR mengusulkan revisi UU KPK dan Presiden Jokowi menyetujuinya, itu berarti DPR dan Jokowi tidak lagi antikorupsi. Anggapan ini sangat berbahaya. Terutama bagi Presiden. Sekarang ada pertanyaan: apakah Jokowi sengaja dijebak oleh DPR atau kedua pihak itu sama-sama anggap enteng terhadap kemungkinan reaksi keras dari publik? Yang paling getol dengan revisi ini adalah PDIP. Merekalah yang memotori gagasan revisi. Suara mereka paling besar. Apalagi banyak dukungan dari fraksi-fraksi lain, khususnya blok politik yang besar-besar yang sekubu dengan Jokowi. Mungkinkah PDIP sengaja menjerumuskan Jokowi lewat usul revisi UU KPK? Bisa iya, bisa tidak. Bisa iya, karena ada indikasi keluarga besar PDIP mulai tidak nyaman dengan sepak-terjang Jokowi. Bisa tidak, karena tak mungkin rasanya Bu Megawati sengaja menyulitkan posisi politik Jokowi. Barangkali Jokowi pribadi tak memahami atau tidak memperkirakan kemungkinan reaksi ‘hostile’ (bermusuhan) dari publik. Yang cukup mencemaskan adalah reaksi yang ditunjukkan oleh beberapa media besar yang selama ini mendukung Jokowi. TEMPO, sebagai contoh, mengambil posisi konfrontatif dengan Jokowi terkait revisi UU KPK yang dihakimi sebagai upaya untuk melemahkan lembaga favorit rakyat itu. Begitu juga grup Kompas. Koran ini terang-terangan memperlihatkan keberatannya terhadap pengeroyokan KPK. Tapi, adakah kemungkinan posisi Jokowi terancam serius? Kalau demo mahasiswa berkembang besar, maka bisa saja situasi menjadi tak terkendali. Ancaman itu sangat mungkin menjadi serius. Polisi pasti bisa mengambil tindakan represif. Tapi, represif terhadap mahasiswa berbeda dengan represif terhadap aksi-aksi umat Islam. Represif terhadap umat Islam selalu dimenangkan oleh polisi. Sebab, para ulama atau ustad yang memimpim aksi unjukrasa selalu bisa “dijinakkan”. Kalau pimpinan mahasiswa belum tentu bisa ditundukkan tanpa kontrareaksi dari anak-anak mahasiswa itu. Yang merepotkan polisi, mungkin, adalah bila semangat demo mahasiswa semakin tinggi. Kalau polisi represif, situasi bisa menjadi tak terduga. Bisa unpredictable. Sebab, kalau para mahasiswa merasa pihak keamanan bertindak berlebihan, konfrontasi bisa naik ke level berikutnya. Bisa sangat serius! Sekarang ini, tudingan publik terhadap Jokowi adalah bahwa dia berubah menjadi prokorupsi dengan menyetujui revisi UU KPK. Ini opini publik yang sangat kuat. Komitmen Jokowi untuk memberantas korupsi menjadi cacat di mata rakyat. Hebat orang-orang yang telah berhasil menggiring Jokowi masuk ke perangkap revisi UU KPK. Perangkap ini berkemungkinan membawa Jokowi ke cuaca ekstrem dengan turbulensi kategori fatal. Penulis adalah Wartawan Senior
Polemik KPK Berpotensi Goyang Jokowi!
Komitmen pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi sudah tidak dapat dipercaya lagi. Mosi tidak percaya juga diberikan kepada DPR Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Istilah “Polisi Taliban” yang ada di KPK sebenarnya sudah ada semasa Muhammad Busyro Muqoddas menjadi Ketua KPK (2010-2011). Istilah Taliban melekat pada kelompok tersebut karena dikenal militan dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, mereka rela meninggalkan keanggotaan Polri-nya agar bisa menjadi penyidik tetap KPK. “Mimpi mereka menjadi jenderal dicopot untuk menjadi pengabdi KPK dan mereka semua militan makanya saat saya masuk sudah ada istilah Taliban,” ujar Busyro. “Saya juga heran kenapa istilahnya Taliban, tapi mereka menjelaskan ini tak ada konotasinya dengan agama tapi Taliban itu menggambarkan betapa militansinya Penyidik di KPK,” lanjut Busyro, Sabtu (14/9/2019). Anggota dari kelompok Taliban ini, juga mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda diantaranya Kristen, Hindu, dan Islam. Kini istilah Taliban itu kemudian dipolitisasi yang ada indikasi perintahnya berasal dari Istana dan dikembangkan Pansel KPK. Busyo menilai, Tim Pansel KPK yang dibentuk Presiden Joko Widodo, seperti kehilangan akal saat melakukan seleksi pada tahapan psikotes. Baru kali ini pansel itu seperti kurang kerjaan, tak mempunyai konsep padahal ada tiga guru besar. “Masa, psikotesnya menggunakan isu-isu radikalisme, pertanyaannya itu seperti anak SMP,” ungkap Busyro. Serangan terhadap KPK dilakukan dari berbagai sudut dan cara. Setelah DPR secara aklamasi memilih tokoh yang dinilai melanggar kode etik sebagai Ketua KPK, kini muncul tudingan KPK dikuasai kelompok Taliban. Kelompok Taliban di KPK adalah stigmatisasi terhadap penyidik KPK yang tanpa pandang bulu melakukan penegakan hukum, melakukan OTT, dan memproses sejumlah pejabat korup. Penyebutan istilah kelompok Taliban dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya pelemahan terhadap KPK. Guru Besar LIPI Prof. Syamsuddin Haris dan kawan-kawannya selama 3 tahun melakukan penelitian di KPK. Hasilnya, ditegaskan bahwa tidak ada kelompok Taliban di KPK. “Saya dan beberapa teman sdh lbh dari 3 thn terakhir melakukan kerjasama riset dgn rekan2 di @KPK_RI. Tdk ada Taliban,” ujar Syamsuddin Harin. Sebutan ada kelompok Taliban di KPK atau istilah Polisi Taliban Vs Polisi India itu adalah upaya dari insitusi lain di Indonesia untuk melemahkan KPK sehingga mereka kemudian bisa menguasai KPK. “Itu adalah isapan jempol belaka utk membenarkan saudara tua (baca: polisi) masuk dan meng-obok2 KPK,” tegasnya, Sabtu (14/9/2019). Syamsuddin Haris termasuk guru besar yang secara konsisten dan keras mengkritik upaya pelemahan KPK. Ia juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk menyelamatkan KPK, terutama terkait revisi UU KPK. Menurut Syamsuddin Haris, DPR sekarang bukan akan merevisi UU KPK, tetapi membentuk UU KPK baru yang menjadi macan ompong. Goyang Jokowi Berikut cuitan Syamsuddin Haris terkait KPK. @sy_haris Sep 11: Saya sdh baca. Ini bukan revisi tapi pembentukan UU baru krn hampir semua pasal diubah. KPK format lama dibubarkan dan dibentuk KPK baru yg macan ompong. Cc: @PDI_Perjuangan @Gerindra @Golkar5 @NasDem @DPP_PKB @PDemokrat @PKSejahtera @Fraksi_PAN @DPP_PPP @sy_haris Sep 13: Lengkap sdh skenario pelumpuhan @KPK_RI. Pak @jokowi mbiarkan capim yg diduga cacat integritas lolos ke DPR, bahkan kemudian dipilih sbg Ketua KPK. Pada saat bersamaan Presiden setuju mbahas usul revisi UU KPK dari DPR. Mereka lupa, di atas Presiden & DPR ada rakyat yg berdaulat. @sy_haris· Sep 13: Ketika aspirasi dan hati nurani publik (tentang pentingnya integritas komisioner serta independensi lembaga antikorupsi) ternyata sekadar menjadi alas kaki kekuasaan. Hidup para oligark, hidup koruptor. @sy_haris 23h: Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 berada di angka 38, meningkat satu poin dibanding 2017, atau diperingkat 89 dari 180 negara. Itu artinya, kita butuh @KPK_RI yg kuat, independen & bebas dari intervensi lembaga lain. Apa jadinya jika KPK lumpuh? Dan, Revisi UU KPK akhirnya telah ditetapkan DPR. Tapi, suara penolakan atas penetapan itu terus dilakukan publik. Salah satu diantaranya adalah pengamat politik Rocky Gerung. Ia menyebut, orkestra pelemahan KPK sejatinya dipimpin oleh Presiden Jokowi. “Karena presiden memimpin sendiri pelemahan KPK, melalui DPR seolah- olah itu legal," kata Rocky Gerung di sela-sela kuliah umum di Universitas Bosowa, Makassar, seperti dilansir Teropongsenayan.com, Selasa (17/9/2019). Rocky menyebut, revisi UU KPK di DPR ibarat sebuah pertunjukan orkestrasi yang dipimpin langsung oleh Jokowi. “Jadi dari awal memang direkayasa disuruh cepat-cepat supaya isunya mengendap karena akan ada isu baru lagi, soal kebakaran hutan dan segala macam,” ujarnya. “Tapi publik akan mengingat itu (semua) sebagai pengerdilan hak demokrasi itu, pengerdilan kemampuan KPK untuk membersihkan negeri ini dan ini akan masih berlanjut dan masyrakat sipil tidak akan terima,” imbuh Rocky. Menurut Rocky, seharusnya presiden melibatkan publik untuk menampung masukan terkait revisi UU KPK. “Mustinya Presiden tanya publik bukan tanya DPR. KPK itu kayak Irian sih musti referendum,” ujarnya. Sikap keras atas sikap Presiden Jokowi juga datang dari mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung. Konsolidasi Mahasiswa Unpad (KMU) memberikan mosi tidak percaya pada Pemerintahan Presdien Jokowi. Mereka menilai, komitmen pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi sudah tidak dapat dipercaya lagi. Mosi tidak percaya juga diberikan kepada DPR yang dinilai telah berkerjasama dengan Jokowi untuk melemahkan KPK melalui revisi UU KPK. Konsolidasi Mahasiswa Unpad menggarisbawahi 4 poin krusial usulan DPR dan disetujui Presiden Jokowi, yakni keinginan membentuk Dewan Pengawas KPK, aturan penyadapan, kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), dan status pegawai KPK. Jadi, “(Ini) bukan lagi bentuk upaya pelemahan terhadap KPK, melainkan sudah pada tahap merampas entitas yang dimiliki KPK sebagai komisi independen pemberantas korupsi,” tulis pernyataan yang diotentifikasi dua pentolan KMU, Bigwantsa dan Luthfi. “Kami sebagai mahasiswa tidak mempercayai komitmen pemerintahan Joko Widodo beserta anggota DPR RI dalam memberantas korupsi apabila revisi UU KPK terus dilanjutkan,” tulis statement KMU itu. Tuntutan serupa juga datang dari Mahasiswa Riau yang berhasil “menduduki” DPRD Riau. Mereka menuntut Jokowi mundur dari kedudukannya sebagai Presiden. Termasuk gerakan Mahasiswa Makassar. Suara keresahan juga menggema dari Balairung Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Ketua Dewan Guru Besar UGM Prof. Koentjoro menilai revisi UU KPK akan mengebiri lembaga antirasuah itu. Para dosen, mahasiswa, hingga karyawan kampus itu berkumpul bersama kompak mengenakan pakaian berwarna hitam. “Upaya sistematis pelemahan KPK dan gerakan antikorupsi yang agresif dan begitu brutal dalam beberapa pekan terakhir ini sungguh melecehkan moralitas bangsa kita,” tegas Prof. Koentjoro saat membaca deklarasi UGM tolak pelemahan KPK di Balairung, Gedung Pusat UGM. Fenomena menarik dari mahasiswa yang mulai bergerak di Makassar atau Bandung. Meski sebagai riak kecil. Dan gerakan besar di Riau. Jika gerakan mahasiswa seperti di Pekanbaru Riau ini berefek domino, maka bisa menggoyang porisi Presiden Jokowi. Dalam satu bulan ke depan, bisa saja ada gelombang yang memusat di DPR/MPR RI Jakarta. Artinya, ada tekanan politik penolakan Joko Widodo – Ma’ruf Amin untuk dilantik semakin menguat. Aksi mahasiswa biasanya menjadi magnet bagi gumpalan lain. M. Rizal Fadillah menulis, dosa politik pemerintahan Jokowi sudah terlalu banyak. Dari dosa kecil hingga besar. Contoh dosa kecil: membagi dan melempar amplop uang dari mobil, jadi imam tanpa kapasitas, doyan impor, atau di lokasi bencana “empati” dengan swafoto. Lalu dosa menengah seperti main-main “divestasi 51 %” Freeport, mobil “Nasional-China” Esemka, banjir TK Cina, atau rencana pindah Ibukota tanpa persetujuan rakyat. Yang dosa besar, seperti “pembiaran” 700 petugas pemilu tewas, kecurangan pemilu, dwifungsi Polisi, poros Beijing, serta “pembunuhan” KPK. Sehingga, wajar jika muncul tuntutan untuk menyudahi amanat rakyat. Menteri-menteri yang dipilihnya selama masa jabatan banyak yang “belepotan”, baik pernyataan maupun kebijakan. Rezimnya tidak berprestasi, bahkan sebaliknya membuat rakyat hampir frustrasi. Terlalu berat bagi Jokowi mengemban amanat sebagai Presiden. Lebih baik pensiun. Itu lebih membahagiakan diri, keluarga, dan tentu saja rakyat. Moga. Begitu catatan Pemerhati Politik dari Bandung itu, 19 September 2019. Apalagi, dengan banyaknya anggota Parpol Koalisi Jokowi yang menjadi pesakitan KPK. Ini bisa memicu penarikan dukungan kepada Jokowi yang dianggap “tidak bisa” melindunginya. Seperti Menpora Imam Nachrowi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dengan bahasa ekstrim: Jokowi Khianati Parpol Koalisi!
Firli Bahuri Ketua KPK, "Titipan" Siapa?!
Jika melihat jejak kariernya itu, tentu tidak salah kalau Firli disebut-sebut sebagai “orangnya” SBY yang sengaja dipasang di KPK. Atau “orangnya” BG/PDIP dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang telah membebaskannya dari pelanggaran kode etik KPK. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Seperti halnya Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, Irjen Polisi Firli Bahuri adalah “orangnya” Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya Ruki dan Firli. Konon, Agus Rahardjo termasuk “orangnya” SBY juga. Empat orang lainnya, selain Laode Muhammad Syarif yang “orangnya” Wapres Jusuf Kalla, “orangnya” SBY Cs. Jadi, jika pada 2018 dan 2019 ini tak ada kader Demokrat yang diciduk KPK, karena ada orangnya SBY yang bercokol di dalam KPK. Pengkhianatan SBY Cs pada PDIP melalui hasil capim KPK jilid IV yang terpilih pada 17 Desember 2015 lalu, tak ada seorang pun “titipan” PDIP. Tinggal Aris Budiman, Dirdik KPK, yang satu-satunya tangan Budi Gunawan/PDIP di KPK. Tapi, AB yang sudah out dari KPK itu, tak berkutik untuk bisa menghalangi tokoh-tokoh PDIP yang menjadi target OTT KPK dan penunggangan kasus BLBI untuk ancam Megawati Soekarnoputri jadi tersangka jika PDIP menolak usung Joko Widodo sebagai Capres Petahana 2019. Apakah terpilihnya Irjen Firli Bahuri yang kini masih menjabat Kapolda Sumatera Selatan ini hasil rekonsiliasi antara SBY Cs dengan BG/PDIP? Sehingga, nantinya Firli bisa “menjamin” untuk tidak mengusik politisi dari Parpol Koalisi Jokowi? Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, Irjen Polisi Purnawirawan, politikus, anggota DPR. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1971 ini terpilih jadi Ketua KPK, 16 Desember 2003 hingga digantikan oleh Antasari Azhar pada 2007. Jika melihat jejak digital terkait pimpinan KPK, tentu saja terpilihnya Irjen Firli Bahuri tidak menyalahi aturan hanya karena dia seorang anggota Polri. Apalagi, sejarah KPK mencatat, pernah pula dipimpin seorang yang berlatar anggota Polri. Terakhir, saat KPK dipimpin Agus Rahardjo pun ada seorang anggota Polri bernama Basaria Panjaitan. Pertanyaannya, mengapa ketika Irjen Firli Bahuri yang dipilih Komisi III DPR RI sebagai Ketua Terpilih KPK 2019-2023 dipersoalkan? Firli Bahuri terpilih bersama Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintouli Siregar. Kecuali Alex, yang petahana komisioner KPK, yang lainnya terbilang “wajah baru”. Belum terungkap mereka ini titipan siapa. Mengapa Ditolak? Terpilihnya Irjen Firli Bahuri bukan hanya direaksi oleh eksternal KPK. Dalam internal KPK juga terjadi penolakan, terutama dari Wadah Pegawai KPK. Pasalnya, saat Firli menjadi Direktur Penyidikan, dia melanggar kode etik sebagai Pegawai KPK. Adalah Abdullah Hehamahua, penasehat KPK yang cukup keras menyikapi terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Saat diketahui Firli telah melanggar kode etik, pimpinan KPK lebih setuju mengembalikan Firli ke Polri daripada diproses. Dari 5 pimpinan KPK, 3 setuju dikembalikan, makanya tak ada pemrosesan lebih lanjut. Tujuannya untuk menjaga hubungan baik dengan coklat (Polri), ternyata malah nyapim. “Tragis, rasanya saya mau ganti warga negara saja,” tulis Hehamahua. “Tahun lalu saya diundang Pengawas Internal (IP) KPK sebagai ahli untuk dimintai keterangan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli. Saya diperlihatkan video dan foto-foto Firli berhubungan dengan orang yang sedang diperiksa KPK,” ujarnya. “Atas pemeriksaan dan rekomendasi PI, Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) menyidangkan Firli dan dijatuhi sanksi atas pelanggaran berat sehingga seharusnya dipecat (sesuai SOP di KPK),” ungkap Hehamahua. Kesalahannya tiga: berhubungan dengan tersangka/calon tersangka, menerima gratifikasi, dan memainkan kasus di KPK. “Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seharusnya Firli tidak hanya dijatuhi sanksi etik tapi juga sanksi pidana,” tegasnya. Sebelum putusan DPP dieksekusi pimpinan, Firli ditarik instansinya, bahkan dipromosikan menjadi Kapolda Sumsel. “Jadi kalau ada yang membela Firli, maka saya melepaskan diri dari mereka ketika pertanggungjawaban di akhirat nanti,” lanjutnya. “Bila perlu saya dikeluarkan dari grup ini. Tapi ada kelucuan lain dari Pansel dan Komisi 3 yakni diantara komisioner yang dipilih itu, ada salah seorang yang beberapa tahun lalu tidak lulus seleksi pegawai KPK tapi lulus jadi komisioner,” ujar Hehamahua. “Memang dunia sudah mau kiamat,” tutur Hehamahua yang tulisannya beredar di berbagai grup WA ini. Dan, perlawanan atas terpilihnya Firli dilakukan secara terbuka sebelum ke-5 pimpinan KPK mengembalikan mandatnya ke Presiden Joko Widodo. Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan fakta terkait data penanganan kasus di lembaga antirasuwah itu. Pernyataan itu disampaikan Agus di tengah gelombang penolakan terhadap revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ia mengungkap, lebih dari seribu perkara korupsi sudah ditangani. “Tapi ini bukan hanya soal jumlah orang yang ditangkap dan diproses hingga divonis bersalah melalukan korupsi saja. Jabatan pelaku korupsinya juga terbaca jelas,” kata Agus, Jumat (6/9/2019). Pelaku pejabat publik terbanyak adalah anggota DPR dan DPRD, yaitu dalam 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. “Setelah itu, sejumlah politisi kembali diproses,” ujarnya, seperti dilansir Detik.com. Dengan UU KPK yang saat ini berlaku, Agus menganggap kinerja KPK tak pandang bulu. Bila revisi UU KPK mulus terjadi di DPR, Agus menyebut ada pasal-pasal yang bisa mematikan kinerja KPK selama ini. “Selama upaya pemberantasan korupsi dilakukan di Indonesia, mungkin tidak akan pernah terbayangkan ratusan wakil rakyat dan kepala daerah tersentuh hukum. Adagium hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas sering sekali kita dengar,” ujar Agus. Tapi, dengan dukungan publik yang kuat, KPK berupaya untuk terus menjalankan tugasnya. Selain anggota DPR, DPRD, kepala daerah, ada 27 menteri dan kepala lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II, dan III. “Tercatat, Ketua DPR RI dan Ketua DPD aktif dan sejumlah menteri aktif yang melakukan korupsi juga ikut diproses,” ungkap Agus. Menurut Agus, angka-angka di atas tentu bukan sekadar hitungan numerik orang-orang yang pada akhirnya menjadi tersangka hingga bisa disebut koruptor. Kasus-kasus ini, lanjut Agus, tentu juga terkait ratusan proyek pemerintah dan perizinan. “Proyek dengan nilai hingga ratusan miliar itu, atau bahkan, triliunan rupiah dipotong untuk kepentingan sejumlah pejabat yang mereka sebut commitment fee,” ungkap Agus lagi. Padahal seharusnya uang rakyat Indonesia yang menjadi sumber utama anggaran, harus dapat dinikmati secara penuh oleh masyarakat. “Niat baik pemerintah untuk membangun negeri ini diselewengkan para pelaku korupsi,” lanjut Agus. Pernyataan Agus muncul tak lama usai ratusan pegawai KPK menggelar aksi menolak revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di lobi gedung KPK, Jumat (6/9/2019). Turut hadir antara lain Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Dalam kesempatan itu, Saut mengatakan, lima pimpinan KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi terkait revisi UU KPK. “Mudah-mudahan untuk dibaca, untuk direnungkan, kemudian mengambil kebijakan,” katanya. Sebelumnya, sebanyak 10 fraksi dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (5/9/2019), sepakat revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Keputusan itu tak ayal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, tidak terkecuali di kalangan pimpinan KPK. Firli Bahuri lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 7 November 1963. Dia menjadi anggota Polri sebagai lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) pada 1990. Firli kemudian masuk di PTIK pada 1997. Pada 2001, dia menjabat Kapolres Persiapan Lampung Timur. Pada 2004, Firli kemudian menempuh Sekolah Pimpinan Menengah (Sespimen). Kariernya berlanjut dengan ditarik ke Polda Metro Jaya menjadi Kasat III Ditreskrimum, 2005-2006. Selanjutnya dua kali berturut-turut menjadi Kapolres, yakni Kapolres Kebumen dan Kapolres Brebes pada 2008 saat pangkatnya masih AKBP. Kariernya semakin moncer ketika ditarik ke Ibukota menjadi Wakapolres Metro Jakarta Pusat pada 2009 lalu. Kepercayaan terus mengalir pada Firli. Dia didapuk menjadi ajudan Presiden SBY pada 2010. Keluar dari Istana, Firli lantas memegang jabatan Direskrimsus Polda Jateng pada 2011. Firli kembali ke Istana dan kali ini menjadi ajudan Wapres RI Boediono pada 2012. Dia kemudian menjabat Wakapolda Banten pada 2014 dengan pangkat Kombes. Firli juga sempat mendapat promosi Brigjen saat dimutasi jadi Karo Dalops Sops Polri pada 2016. Puncak kariernya di Polri diraih setelah “dikembalikan” dari KPK ke Mabes Polri dan dipromosikan sebagai Kapolra Sumsel. Jika melihat jejak kariernya itu, tentu tidak salah kalau Firli disebut-sebut sebagai “orangnya” SBY yang sengaja dipasang di KPK. Atau “orangnya” BG/PDIP dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang telah membebaskannya dari pelanggaran kode etik KPK.
Saatnya Melawan, Ada Apa dengan TEMPO?
Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu tulisan di dalam majalah TEMPO Edisi 16-22 September 2019 berjudul, “Saatnya Sama-Sama Melawan” berisi tentang ajakan kepada publik untuk melawan secara massif atas rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota DPR. “Tanpa perlawanan masif dari publik, rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengebiri kemandirian dan kewenangan KPK akan berjalan tanpa hambatan,”tulis TEMPO, 16-22 Septermber 2019 itu. Langkah Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, menyerahkan kembali mandat gerakan pemberantasan korupsi kepada Presiden patut didukung. Menurut TEMPO, tindakan itu menegaskan rasa frustrasi mereka atas minimnya dukungan Jokowi kepada kerja KPK belakangan ini. Contoh paling nyata adalah tindakan Presiden menyetujui rencana DPR merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tanpa sama sekali berbicara kepada pimpinan Komisi. Sejak awal, proses revisi itu terkesan diam-diam dan tergesa-gesa. Padahal tak ada kegentingan apa pun yang memaksa pembahasannya harus dikebut pada hari-hari terakhir masa tugas parlemen periode ini. Wajar jika publik curiga ada agenda terselubung mematikan KPK. Apa pun dalih Presiden Jokowi, publik sudah pandai mencerna realitas. Faktanya: Istana setuju jika sepak terjang KPK diawasi sebuah lembaga yang merupakan kepanjangan tangan Presiden, setuju jika penyidikan bisa disetop dan status tersangka bisa dicabut, serta setuju semua pegawai KPK menjadi ASN yang tunduk kepada aturan-aturan birokrasi pemerintah. Diakui atau tidak, ketiga persetujuan itu bakal mengakhiri keberadaan KPK seperti yang kita kenal selama ini. Terpilihnya Firli Bahuri, mantan Deputi Penindakan KPK yang pernah terlibat pelanggaran etik, menjadi ketua baru komisi anti korupsi dalam sidang Komisi Hukum DPR pekan lalu menambah kecemasan kita. Kapolda Sumatera Selatan itu jelas-jelas tak punya respek terhadap kode etik, yang justru dibuat untuk memastikan tak ada konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi. Rekam jejak Firli membuat masa depan KPK makin memprihatinkan. Apa yang bisa diharapkan dari seorang penegak hukum yang enteng saja memberikan perlakuan khusus kepada pejabat negara dan pemimpin partai politik? Belum lagi catatan soal kasus-kasus korupsi yang sengaja dihambat atau ditunda ketika Firli menjadi pejabat KPK. Terpilihnya Firli adalah tanggung jawab Presiden Jokowi, yang memberikan mandat dan menentukan komposisi panitia seleksi. Tak berlebihan kiranya jika publik menilai Presiden sudah jatuh dalam perangkap oligarki di sekelilingnya. Para aktivis pendukung Jokowi yang kini merapat ke Istana telah gagal mengawal agenda reformasi di jantung lembaga eksekutif. Perubahan sikap dan komitmen Jokowi ini amat kentara jika kita bandingkan dengan hari-hari pertamanya menjadi presiden lima tahun lalu. Pada saat itu, bahkan untuk memilih menteri kabinetnya, Jokowi berkonsultasi lebih dulu dengan KPK. Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Menurut tulisan TEMPO , bukan saatnya lagi mendikotomikan publik berdasarkan kategori pendukung Jokowi atau Prabowo Subianto—dua kandidat presiden pada Pemilihan Umum 2019. Mengkritik Presiden bukan berarti mendukung Prabowo. Menolak pelemahan KPK bukan berarti mendukung radikalisme agama – fitnah sontoloyo yang selama ini kerap dilancarkan kepada Komisi. Puluhan juta penduduk yang mencoblos Jokowi dalam pemilihan presiden lalu harus ikut bersuara. Kritik TEMPO TEMPO “doeloe” – selama 5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, tampak sekali dukungannya dalam penulisan. Sebelum Pilpres 2014 hingga Jokowi terpilih dan menjabat Presiden, sangat jelas keberpihakannya pada Pemerintah. Kita masih ingat, begitu dinyatakan menang Pilpres 2014, foto Jokowi diusung dan dibopong ramai-ramai oleh awak TEMPO beredar luas. Bahkan, tak cuma TEMPO cover TIME pernah menyebut, “A NEW HOPE, Indonesian President Joko Widodo Is A Force for Democracy”. Pembelaan atas kebijakan Presiden Jokowi sangat kentara sekali. Sampai ada yang menyebut bahwa TEMPO “terlibat” dalam pencitraan positif Jokowi selama ini. “Kalau kritis harusnya bukan Janji Tinggal Janji. Tapi, A New Problem,” ujar Prof. Hendrajit. Direktur Eksekutif The Global Future Institute yang juga wartawan senior itu menilai, kalau majalah kondang yang sekarang tiba tiba kritis kepada Jokowi, “Sebenarnya hanya pengen memperbaharui kontrak,” ungkapnya. “Apalagi kalau call sign yang dipakai: janji tinggal janji. Ini bukan kritis. Sejatinya masih satu rasa, cuma lagi il feel. Pengen balikan, tapi dengan saling pengertian yang baru. Jale jale,” lanjutnya. Istilah jale ini mengingatkan tulisan seseorang yang mengaku mantan wartawan TEMPO yang ditulis di Kompasiana.com. Jale menjadi kosakata Slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’. Melansir Tempo.co, Selasa (12 November 2013 11:58 WIB), TEMPO bersama lembaga riset KataData dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh penulis anonim dengan nama Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013. Di tulisan berjudul "TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?" disebutkan Dirut PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harimurti menelepon Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin menanyakan soal proposal KataData. KataData menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Saat itu, Rudi adalah komisaris bank pemerintah itu. KataData yaitu lembaga riset yang dipimpin Metta Darmasaputra, mantan wartawan TEMPO. Menurut penulis itu, karena Mandiri tak meloloskan proposal KataData, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk "Setelah Rudi, Siapa Terciprat?" pada edisi 18 Agustus 2013 dengan gambar sampul Rudi Rubiandini. “Saya malah baru tahu ada proposal Metta (KataData) ke Mandiri dari tulisan ini. Kalau Tempo jauhlah dari memeras. Iklan yang diduga ‘bermasalah’ saja kami tolak kok,” kata Bambang. Menurutnya, staf humas Mandiri, Eko Nopiansyah, yang disebut dalam tulisan itu sudah ditanya, dan membantahnya. “Kata Eko, hoax, dia tak pernah bertemu dengan eks wartawan Tempo angkatan 2006, atau angkatan berapa pun, atau yang bukan eks wartawan Tempo, dan membicarakan yang dituduhkan penulis artikel itu,” kata Bambang. “Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham Grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar Grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah,” tulis Jilbab Hitam. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie. Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya seperti yang disebut Jilbab Hitam dalam tulisan tersebut. Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawa Pos. “Teman saya di Jawa Pos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawa Pos) adalah, gaji para wartawan Jawa Pos tidak besar,” ungkapnya. Namun, manajemen Jawa Pos menganjurkan para wartawannya untuk mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. “Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan,” lanjut Jilbab Hitam. TEMPO berbeda. “Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka Rp 3 jutaan. Terakhir malah mencapai Rp 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang,” ungkapnya. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan. Disebutkannya, media sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, dan sebagainya yang disebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. “Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang,” tegasnya. Ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, memangnya tak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI? Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)? Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery? Memangnya, ketika TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Ketika itu, “Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar,” ungkap Jilbab Hitam. Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. “Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?” tulisnya. Itulah fakta TEMPO yang mungkin selama ini tertutupi dengan tulisan-tulisan kritisnya yang “Enak Dibaca dan Perlu”. Apakah kritisnya TEMPO kepada Presiden Jokowi atas terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK akan berujung pada Jale-Jale (suap)?
Jokowi Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelemahan KPK
Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Ada yang tak lazim dilakukan Jokowi soal upaya pembenahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibandingkan masalah lain yang butuh waktu cukup lama. Tak begitu halnya dengan masalah KPK. Ada dua keputusan super cepat yang dikeluarkan Presiden Jokowi, sehingga patut dipertanyakan. Pertama, pengembalian 10 nama calom pinana (capim) KPK kepada DPR yang cuma berselang dua hari. Terhitung sejak diserahkan oleh Pansel kepada presiden. Kedua, Presiden Jokowi mengirimkan surat presiden (surpres) Nomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi undang-unadng KPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Rabu 11 Septembes 2019 kemarin. Hanya berselang lima hari sejak draft materi revisi undang-unang KPK telah diserahkan kepada Presdien sebagai pemegang kendali utama dalam urusan pemerintahan kepada DPR. Ketika itu presiden berjanji akan mengkajinya terlebih dahulu. Pada hari yang sama, pernyataaan presiden itu dikuatkan senada oleh Menteri Sekretariat Negara, Pratikno. Menurut Menteri Pratikno, sikap pemerintah sejauh ini mengenai revisi undang-undang KPK yang diajukan DPR tersebut, “banyak memerlukan koreksi”. Presiden bakal menambahkan banyak revisi pada draf yang diajukan sebelumnya. Surpres itu menjadi ganjil. Sesuai ketentuan, presiden masih punya waktu selama 60 hari untuk membahasnya terlebih dahulu. Pasal-pasal mana saja yang dinilai presiden bisa melemahkan KPK sebelum diserahkan kepada DPR. Apalagi mengingat masa bakti anggota DPR 2014-2019 tinggal menghitung hari saja. Hanya sekitar 20 hari lagi.. Tak ada alasan bagi presiden untuk tergesa-gesa melakukan koreksi. Atau memang draft itu berasal dari satu sumber yang sama? Rupanya ada kejar tayang dan target yang hendak disasar. Dari dua rangkaian peristiwa super cepat tersbut, sejatinya kesungguhan Presiden Jokowi untuk memberantas korupsi tengah mendapat ujian berat. Komitmennya tengah diuji. Seperti sedang meniti tali, antara membesarkan atau mengkerdilkan KPK. Langkah super cepat yang telah diambil presiden, sejauh ini membuat banyak orang bahkan pendukungnya mulai ragu-ragu. Akankah Jokowi sanggup untuk “selamat sampai ke seberang?” Untuk perseteruan KPK-DPR kali ini, tampak sekali presiden “main mata” dengan DPR. Sungguh, sikap kurang terpuji yang dipertontonkan di tengah konflik tahunan dua lembaga negara yang tak kunjung usai. Seperti di film kartun, KPK-Polri ibarat Tom and Jerry. Sepatutnya presiden justru hadir sebagai pengayom. Dengan kuasa eksekutif yang dimilikinya, presiden punya kekuatan untuk membatalkan atau menunda dulu pemilihan capim KPK maupun pembahasan revisi undang-undang KPK. Paling kurang tak terlalu ngotot tergesa-gesa menyampaikan Surpres kepada DPR lantaran secara ketentuan masih banyak waktu tersedia. Berilah ruang bagi komisioner KPK untuk aktif terlibat bersama pemerintah. Seolah ada keyakinan bahwa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pembahasan revisi undang-undang KPK akan menghasilkan undang-undang baru yang kelak menguatkan KPK. Pikiran semacam ini keliru. Waktu singkat takkan menjamin akan menjadi lebih baik. KPK bukanlah sarang taliban yang mesti diserang dari segala penjuru. Komisioner dan pegawai KPK masih berada di ranah yang selaras dengan buku manual pemberantasan korupsi. Panduan yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah. Kendati popularitasnya merosot, KPK masih menjadi medium bagi masyarakat dalam mencari rasa keadilan, lantaran uangnya dicuri. Sangat disayangkan, presdien justru mengambil jarak tanpa memaksimalkan perannya selaku Kepala Negara untuk mendamaikan perseteruan. Malah nimbrung bermain menjadi sekutu DPR. Draft Warisan Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Sekilas membaca draft revisi, rupanya tak jauh beda dengan draft tahun sebelumnya yang sempat tertunda pembahasannya. Lho kok tahu? Sanagat gampang dan mudah Bandingkan kualitas Komisi III DPR saat ini periode sebelumnya (2009-2014). Lihat saja sisi produktivitas undang-undang yang berhasil ditelurkan, maupun kemampuan dalam menjaga sinergitas antar lembaga penegakan hukum. Tidak terasa perberbedaan kualitasnya. Maka tak heran bila draft revisi merupakan duplikasi dari draft Komisi III DPR periode sebelumnya. Kendati ada sedikit polesan perubahan, namun sekedar hanya untuk pembeda belaka. Substansinya draft revisi itu merupakan penjabaran dari rapat internal Komisi III DPR sewaktu dipimpin oleh Benny Kabur Harman. Selain itu, dulu ada Ahmad Yani, Fahri Hamzah, Bambang Soesatyo dan Sarifuddin Sudding. Kala itu, Ketua Komisi II DPR Benny Kabur Harman, diminta oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso untuk segera merumuskan draft yang memuat 10 poin kewenangan KPK yang mesti direvisi. Intinya, KPK akan diminta fokus hanya untuk pencegahan. Jangan heran, dalam kampanye salah satu konsiderannya adalah perlunya revisi KPK, karena dinilai telah gagal dalam melakukan pencegahan. Ada pun hak penyelidikan dan penyidikan menjadi ranah polisi. Kemudian hak penuntutan diserahkan kepada Jaksa. Na'as, draft revisi undang-undang KPK tersebut akhirnya kandas di tengah jalan. Mati suri sebelum pembahasan. Kala itu, Presiden SBY tak sepenuhnya mendukung, lantaran pada masanya konflik KPK versus DPR maupun KPK versus Polri kerapkali terjadi dalam beberapa babak. SBY tak ingin sejarah mencatat dirinya sebagai presiden pencoreng noktah merah pelemahan KPK. Draft revisi itu rampung pada 23 Februari 2012. Covernya ditulis dengan judul huruf berwarna merah. Bertuliskan “Penghapusan Kewenangan Penuntutan oleh KPK”. Yang menarik ada konsideran memuat narasi pokok sebagai ruh perubahan. Begini bunyinya, “satu hal penting lainnya yang diatur dalam undang-undang ini adalah penghapusan tugas penuntutan oleh KPK”. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, penuntutan adalah tugas kejaksaan. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam usulan revisi, tugas tersebut dikembalikan kepada kejaksaan, sehingga KPK diharapkan lebih focus Dalam menjalankan tugasnya. (Budi Setyarso, 2012). Penulis sepenuhnya setuju bahwa dalam rangka penguatan peradilan pidana terpadu (integrated due process of law) untuk hal penuntutan, komisioner KPK mesti terlebih dahulu berkonsultasi kepada Jaksa Agung atau Jampidsus. Setiap penuntutan harus dikonsultasikan lebih dulu. Lantas pertanyaannya, apakah benar selama ini mekanisme kebijakan penuntutan oleh Jaksa KPK mengabaikan integrated due process of law tadi? Apakah benar, kejaksaan tidak diajak turut serta memutuskan tuntutan Jaksa dalam satu perkara korupsi? Rasanya tidak benar juga. Suatu ketika, penulis pernah dikabari oleh salah seorang Jaksa sewaktu sesi penuntutan dalam persidangan perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang molor dimulai. Sang Jaksa mengabari bahwa rencana tuntutan (rentut) masih dikonsultasikan dengan Kejaksaan. “Tunggu persetujuan Sisiangamangaraja satu dulu,” begitu katanya. Tak kalah pentingnya. Draft revisi juga mencantumkan ketentuan tentang Dewan Pengawasan yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Usulan ini boleh dibilang upaya pembonsaian kinerja KPK. Lho kok begitu? Selain menciptakan spriral pengawas yang tak berujung, kehadiran Dewan Pengawas tetap saja tak menjamin Dewan Pengawas bekerja independen. Kehadiran Dewan Pengawas justru memunculkan kekuatiran kinerja KPK akan dintervensi atau direcoki dari dalam. Lagi pula selama ini KPK sudah dilengkapi dengan Pengawas Internal dan eksternal. Pengawas internal yakni Komite Etik dan Penasehat Internal. Dalam rangka perbaikan, Penasehat Internal perlu diperluas bobot kewenangannya dengan fungsi pengawasan. Tanpa perlu lagi dibuat organ baru yang justru akan menimbulkan over laping. Sedangkan, pengawasan eksternal, selama ini sudah tertata baik. Lewat medium Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPK dengan Komisi III DPR sebagai mitra kerja. Komisi III DPR telah berfungsi sebagai pengawas eksternal. Tak cuma itu, ada RDP gabungan antara Komisi III DPR, Polri, KPK dan kejaksaan. Tujuannya untuk membangun sinergitas dan koordinasi antara intitusi penegak dengan lembaga pengawas eksternal. Publik juga secara terbuka dapat turut mengawasi dan menilai KPK. Caranya dengan mengirimkan laporan kepada Komite Etik maupun Penasehat Internal terhadap penyidik yang bermasalah. Kehadiran Dewan Pengawas adalah justru dianggap sebagai upaya legitimasi transformasi perubahan fungsi dan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Terkait dengan pemberlakuan SP3, memang KPK mesti membuka diri. SP3 adalah instrumen dalam menciptakan kepastian hukum. Adanya keterbatasn personal dan rumitnya data dalam pengumpulan alat bukti ditenggarai menjadi sebab kinerja KPK terbatas. Belum lagi pergulatan di internal KPK yang membuat pengambilan keputusan berjalan lamban. Sehingga berlawanan dengan masyarakat yang menghendaki kasus-kasus kakap diungkap sesegera mungkin. Kegagalan dalam merumuskan, mencari dan mengumpulkan alat bukti boleh jadi menjadi beban tersendiri dalam membidik kasus. Penyelidikan tak bisa ditingkatkan lantaran tak cukup bukti. Sementara KPK tak mengenal SP3 untuk menghentikan kasus yang terlanjur diselidiki dan ditingkatkan ke penyidikan. Tak heran, banyak kasus menumpuk tak terselesaikan dalam waktu lebih dari dari dua tahun. Contohnya kasus R.J Lino, mantan Dirut PT Pelindo II yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka hamper genap empat tahun, sejak akhir 2015 Akibatnya, tersangka hidup tanpa kepastian hukum. Solusimya adalah penyidik KPK harus diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3. Selama lebih dari tiga tahun kinerjanya tak beranjak mengalami kemajuan, maka SP3 adalah cara terhormat untuk memberikan kepastian hkum kepada tersangka. SP3 juga diberikan untuk kasus-kasus yang mandeg penangananya. Dengan begitu, penyidik dituntut untuk lebih professional dalam bekerja. Lonceng Kematian Lonceng telah dikumandangkan. Presiden dan DPR telah bersekutu untuk memulai pembahasan revisi undang-undang KPK dengan satu tafsir. Tidak ada poin krusial yang diperdebatkan, sehingga tidak butuh waktu panjang untuk membahasnya. KPK sebagai lembaga superbody yang independen tengah dipertaruhkan. Tanpa dukungan Presiden dan legislatif, sulit berharap Komisi mampu bekerja maksimal. Andai kedua pihak, presiden dan DPR bersekutu itu menggunakan otoritasnya untuk mengubah keadaan KPK, seperti yang terjadi saat ini, maka lonceng kematian KPK sudah tiba. Indikasinya sudah mulai tampak jelas. Namun sebelum lonceng kematian itu berbunyi, pengunduran diri serentak tiga Komisioner KPK menjadi jalan pintas penyelamatan. Pengunduran diri tiga komisioner KPK mesti dibarengi dengan penyerahan mandat kepada Presiden disertai surat resmi secara tertulis. Tindakan ini bukan tanpa dasar dan menyalahi ketentuan. Hal itu diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 32 ayat (1) butir 5 menyebutkan bahwa pemimpin komisi berhenti atau diberhentikan karena alasan mengundurkan diri. Opsi ini mestinya bisa dipakai komisioner KPK untuk bargaining kepada Presiden. Mendesak agar komisioner KPK diberikan ruang partisipasi sejajar dengan mitranya dalam melakukan pembahasan revisi. Pembangkangan para komisioner bukan lantaran adanya rencana perubahan, tetapi lantaran tak pernah ikut dilibatkan dalam merumuskan revisi undang-undang KPK. Kondisi semacam ini mengandung makna, arah pembahasan digelar in absentia alias tanpa keterlibatan komisioner. Dengan kata lain, tak ada lagi pintu untuk diskusi. Keputusan Presiden mengirimkan surpres ditafsirkan Presiden ingin revisi segera kelar. Bukankah sikap tergesa-gesa ini dapat diartikan ada target yang hendak dicapai? Dengan pembahasan yang tergesa-gesa, tak akan ada solusi pemberantasan korupsi yang bakal memuaskan publik. Sebaliknya, komentar presiden dalam konprensi pers Jum’at (13/9/2019) kemarin malah muncul kesan kuat presiden tak punya pengetahuan sedikit pun mengenai revisi. Sikap Presiden ini jelas berbahaya. Dugaan adanya konspirasi dibalik upaya pelemahan KPK bisa samakin kuat. Bila dibiarkan berlanjut, bisa-bisa terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden yang katanya dipilih oleh mayoritas rakyat itu. Presiden harus tegas bersikap menunda pembahasan dan mengundang komisioner KPK untuk turut aktif terlibat. Kini, yang dibutuhkan hanya tinggal ketegasan. Presiden tinggal perintahkan koalisi parpol pendukungnya agar menunda pembahasan. Dengan cara itu kita masih percaya bahwa presiden memang punya semangat dan komitmen kuat dalam soal pemberantasan korupsi. Persis seperti yang disampaikannya dalam kampanye pilpres tempo hari. Sekarang ini waktu yang tepat bagi publik untuk menagih janji Presiden. Publik butuhj pembuktian dari presdien bahwa program anti korupsi yang terlanjur muluk disampaikan itu bukan sekedar pepesan kosong belaka. Tentu Presiden mesti bernyali, tetapi adakah nyali itu? Wallahu ‘alam bissawab Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pegiat Anti Korupsi
Ada Bara Kecil di KPK
Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Demokrasi sejauh ini telah diterima sebagai tatanan politik paling akseptabel di antara tatanan lainnya. Tetapi pada saat yang sama tidak boleh dilupakan bahwa demokrasi juga mengandung sisi manipulatif yang canggih. Sayangnya, sisi manipulatif ini terlalu sering terabaikan. Salah satu sisi manipulatifnya adalah bentangan jarak teramat jauh antara pemilih dengan mereka yang dipilih. Akibat nyatanya adalah pemilih tak tahu apa yang dilakukan oleh mereka yang terpilih. Sungguhpun begitu demokrasi memiliki satu postulat paling mengagumkan. Postulat itu adalah tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah di negara demorasi yang bebas dari pengawasan. Singkatnya tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah yang tak terkontrol. Deteil kontrol terhadap setiap organisasi negara atau pemerintah, dalam semua negara demokrasi didefenisikan dalam hukum. Itu prinsipil sebagai nilai fundamental demokrasi yang bersendikan rule of law. Postulat lainnya yang sama mengagumkan adalah tentang hak dan kewenangan. Postulat ini, dalam garis besarnya menggariskan hak dan kewenangan hanya ada dalam hukum. Hanya dalam hukumlah hak dan kewenangan ditemukan. Tidak lebih, tidak juga atas suka atau tidak suka. Apa konsekuensinya? Pejabat atau organ negara sehebat apapun tidak bisa, dengan alasan apapun, menciptakan sendiri atau mengarang sendiri hak dan kewenangannya. Postulat ini memang terlihat ekstrim, tetapi hanya itu cara memelihara, bukan hanya demokrasi tetapi juga tertib bermasyarakat. Boleh saja postulat ini diremehkan dengan menyodorkan perspektif hukum progresif khas Philiph Selznick, atau perspektif teori keadilan Richard Posner. Dua ahli hukum dan hakim agung Amerika Serikat yang memutus hasil sengketa pemilu antara Al-Gore dengan George Wolker Bush, Jr. Boleh juga postulat itu dituduh tipikal positifistik Hans Kelsen, ahli hukum yang tersohor di dunia ilmu hukum dengan teori hukum berjenjang yang gemilang itu. Tetapi demokrasi tidak menyediakan argumen lain yang falid untuk menyangkalnya. Tragis memang. Namun demokrasi dan rule of law mengenyampingkan rasa etik dan rasa moral untuk ditembakan sebagai peluru berdaya ledak mematikan terhadap norma hukum yang secara positif berlaku. Demokrasi memang tidak mengharamkan “legitimasi” atas hukum. Itu jelas dan sangat jelas. Namun harus diketahui bahwa demokrasi dan rule of law menghormati legitimasi sebagai yang amat sangat sosiologis dan politis. Larry Cata Backer, professor hukum pada The Dickinson School of Law of the Pensylvania State University, penulis article From Constitution to Constitutionalism : A Global Framwork for Legitimate Public Power System, mengakuinya. Pengakuannya terlihat mengagumkan. Katanya konstitusi tanpa legitimasi bukan konstitusi dalam keseluruhannya. Legitimasi, dalam pandangan profesional akademiknya merupakan satu fungsi nilai. Berposisi sebagai fundasi konstitusionalism. Legitimasi, karena itu menurut Larry berfungsi sebagai instrumen evaluatif terhadap derajat responsifitas atau akseptabilitas atau kesesuaian norma hukum positif dengan hasrat masyarakat secara empiris. Sebatas itu, tak lebih. Demokrasi dan rule of law tak menerima legitimasi sebagai norma hukum. Bara Yang Bagus Nama dan lambang kantor Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), mengandung sifat dan nilai hukum sebagai nomenklatur lembaga negara. Menariknya dua huruf dari nomenklatur itu ditutupi kain hitam, sehingga nomenklatur itu tak dapat dikenali secara utuh untuk beberapa saat. Fakta itu nyatanya mengusik sebagian orang. Keterusikan mereka, sejauh yang terlihat diekspresikan melalui unjuk rasa ramai di depan kantor KPK. Cukup bising unjuk rasanya. Apalagi diselingi adu argumen antara beberapa orang di antara mereka dengan orang lain, entah siapa. Selang beberapa jam sesudah itu, muncul bara lain, bara kecil yang menyehatkan. Bara itu adalah beberapa Komisioner KPK melalui konfrensi pers menyatakan menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada Presiden. Walau terlambat, tetapi sikap itu bagus. Mengapa bagus? Peristiwa ini bernilai sebagai pengakuan tersurat bahwa secara konstitusional pemberantasan korupsi merupakan urusan pemerintahan. Kewenangan melaksanakan urusan itu berada ditangan presiden. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tegas mengatur Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Konsekuensi konstitusionalnya melaksanakan undang-undang adalah kewenangan Presiden. Pasal lain dalam konteks melaksanakan UU, yang secara konstitusional sepenuhnya bersifat urusan pemerintahan. Bukan urusan peradilan atau yudikatif seperti diatus dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Tegas pasal 5 ayat (1) UUD 1945 mengatur Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Kewenangan ini, menurut konstitusi, dengan alasan apapun tidak dapat didelegasikan kepada lembaga negara lain. Apapun nama lembaga negara tersebut. Termasuk dan tidak terbatas pada lembaga yang pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang. KPK misalnya. Lebih jauh UUD 1945 meneguhkan sifat urusan melaksanakan undang-unang dengan pengaturan rigid pada pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Pasal ini mengatur secara cukup terang dan tegas tentang sumpah presiden memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Sangat jelas sekali tugas konstitusional tersebut kepada presiden. Rangkaian pasal di atas, dalam sifat konstitusionalnya mengisolasi semua pemikiran kreatif yang berkencenderungan membelokan kewenangan presiden melaksanakan undang-undang sebagai urusan pemerintahan. Urusan yang ada dalam kekuasaannya sebagai presiden. Itu sebabnya kesediaan Komisioner KPK menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada presiden, sembari menanti pengarahan presiden lebih jauh, harus dilihat dan diterima sebagai langkah yang sangat tepat. Sebuah refleksi meyakinkan secara konstitusional bahwa presiden merupakan satu-satunya figur konstitusi yang memegang kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab melaksanakan semua urusan pemerintahan. Di dalamnya termasuk melaksanakan undang-undang memberantas korupsi. Tepat Menurut UUD 1945 Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Memang secara keilmuan, kekuasaan presiden dapat dibatasi melalui undang-undang. Ketika undang-undnag telah membatasinya, maka presiden, dengan atau tanpa alasan, sesuai UUD 1945 harus mematuhinya. Itu Titik. Namun harus diingat, yang dapat dibatasi hanyalah kewenangan-kewenangan yang tidak didefenisikan secara tegas dalam UUD 1945. Kewenangan yang UUD 1945 telah mendefenisikannya secara tegas sebagai kewenangan presiden tersebut, tidak bisa dibatasi. Pemberantasan korupsi adalah urusan yang tidak secara tegas didefenisikan dalam UUD 1945. Tetapi korupsi sebagai satu jenis kejahatan, seperti kejahatan lainnya hanya bisa diberantas melalui penegakan hukum. Dan penegakan hukum menurut UUD 1945 adalah wewenang Presiden. Kenyataan atas kewenangan presiden itulah yang terlihat sebelum KPK dibentuk. Kewenangan penegakan hukum dalam rangka memberantas korupsi dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kedua organ pemerintah ini yang membantu presiden melaksanakan kewenangan pemberantasan kejahatan korupsi itu. Menariknya, segera setelah terbentuknya KPK, presiden diasingkan dari kewenangannya tersebut. Semua urusan korupsi terlihat sepenuhnya sejauh itu sebagai urusan KPK. Presiden-presiden berada dalam keadaan harus mengambil jarak sejauh mungkin dari KPK. Para presiden tak bisa memberi arah secara deteil dalam usaha penegakanm hukum pemberantasan korupsi. Presiden-presiden dipotong kewenangannya dengan sifat independen lembaga KPK. KPK seperti tersaji selama ini, dalam kenyataannya sebagi lembaga superbody. Sebagian disebabkan diintegrasikannya kewenangan penyidikan dan penuntutan. Selain itu, KPK diberikan kewenangan penyadapan tanpa aturan hukum yang rigid. Tidak itu saja. Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) ditenggelamkan dalam-dalam. Orang bisa jadi tersangka bertahun-tahun lamanya tanpa kejelasan. Kasus R.J Lino yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak akhir tahun 2015 merupakan bukti nayata. KPK menjadi satu dunia sendiri. Dunia yang deteil kewenangannya tak terawasi secara maksimum. Tragis memang. Selalu begitu dalam semua dunia superbody. Dunia yang mirip absolutisame ini, pengawasan ditabukan. Itu teridentifikasi dari ragam pikiran dibalik rencana perubahan undang-undang KPK yang diprakarsai DPR dan disetuju Presiden, kini dianggap sebagai dunia yang tidak sehat. Fakta dan kenyataan ini yang hendak dikoreksi. Deteil koresksinya itu antara lain meliputi (i) menjadikan KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (ii) menciptakan lembaga pengawas dan dibekali kewenangan memberi persetujuan penyadapan. (iii) pengaturan deteil penyadapan. (iv) diberikan kewenangan SP3. Sahkah semua rencana koreksi itu? Jawabannya hanya satu, yaitu “sah”. UUD 1945 dan pemikiran konstitusionalisme tentang hak dan kewenangan, sanga jelas. Hak dan kewenangan hanya ada dalam undang-undang. Tidak lain dari itu. Disisi ekstrim lain keabsahan perubahan undang-undang KPK itu terjalin dengan doktrin kedaulatan rayat Indonesia, yakni kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945. Pelaksanan doktrin kedaulatan rakyat tersebut, diatur dengan undang-undang. Nalarnya bagaimana? Pakailah undang-undang untuk mendefenisikan hak dan kewenangan tersebut. Termasuk menciptakan unit baru, seperti pengawas misalnya dalam satu organ diKPK. Begitulah sebenarnya bernegara. Titik. Naif betul bila mengasingkan KPK dari kekuasaan pemerintahan, dan pengawasan. Apalagi dengan membiarkan KPK mendefenisikan sendiri pelaksanaan kewenangannya. Sekarang, terlihat nyata bahwa DPR dan Presiden menyadari kekeliruan selama ini. Meskipun terlambat, namun lebih baik, daripada membiarkan KPK dengan dunianya sendiri tanpa pengawasan yang rigid. Kesadaran DPR dan Presiden ini, sejauh disajikan dalam medan UUD 1945, tentu menyehatkan. Naif betul memanggil-manggil datangnya demokrasi dan rule of law. Namiun, pada pada saat yang sama menciptakan organ superbody, yang bekerja dengan pengawasan minimum. Akhirnya harus dinyatakan secara konklusif bahwa gagasan dan deteil rencana perubahan undang-undang KPK, sudah sangat tepat menurut UUD 1945. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Akhir Manuver Pilpres, Prabowo Bertemu SBY?
Bisa jadi, pertemuan Prabowo – Hendro itu sebagai “pembuka” pertemuan Prabowo – SBY, seperti halnya sebelum pertemuan Prabowo – Jokowi dan Prabowo – Megawati, BG sudah bertemu dengan Prabowo terlebih dahulu. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rangkaian peristiwa yang terjadi di tanah air belakangan ini tampaknya saling terkait antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Targetnya, perhatian masyarakat tidak lagi tertuju pada gelaran Pilpres 2019 yang penuh dengan pencurangan. Saat pasca putusan MK yang “memenangkan” paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin diikuti “kerusuhan” 21-22 Mei 2019, sampai muncul isu akan membawanya ke PBB dan Mahkamah Internasional, timbul peristiwa lainnya sampai berhari-hari. Masyarakat pun mulai “melupakan” peristiwa pencurangan Pilpres 2019 yang telah menelan korban lebih dari 600 petugas KPPS tewas tersebut. Hiruk-pikuk Pilpres 2019 mulai meredup saat pidato Presiden Joko Widodo di MPR, 16 Agustus 2019. Sebelumnya, masyarakat dikejutkan dengan bertemunya Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019). Pertemuan ini telah memantik kemarahan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. Konon, sebelum pertemuan itu, Kepala BIN Budi Gunawan telah bertemu dengan Prabowo. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Belum reda rasa kecewa para pendukung paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno itu, tiba-tiba atas inisiasi Budi Gunawan pula, Prabowo mengadakan pertemuan dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Jakarta. Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, Rabu (24/7/2019) itu, seperti halnya saat Presiden Jokowi bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Budi Gunawan (BG). Adakah yang istimewa? Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Megawati di Jl. Teuku Umar ini. Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar. Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti NasDem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019. Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang. Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum NasDem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi. Isu seputaran rekonsiliasi mulai meredup ketika Presiden Jokowi melontarkan keinginannya untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya Kabupatan Penajam Pasir Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara formal pun Presiden Jokowi sudah “minta izin” untuk memindahkan Ibukota Negara ke Kaltim itu saat pidato di MPR, Jum’at (16/8/2019). Hingga muncul wacana menjual tanah negara untuk biaya Ibukota baru senilai lebih dari Rp 400 triliun itu. Hiruk-pikuk isu pemindahan ibukota pun menyedot perhatian masyarakat. Semula fokus pada manuver rekonsiliasi pertemuan MRT dan Teuku Umar, menjadi bicara perihal pemindahan ibukota ke Kaltim itu, tanpa menghitung hal krusial yang bakal terjadi. Menurut Direktur Eksekutif The Global Future Institute Prof. Hendrajit, titik rawan adalah sebelah barat-utara Kalimantan, dikelilingi oleh Laut Cina Selatan. Saat ini laut LCS menjadi medan perebutan pengaruh antara AS versus Cina. Pertama, “Buktinya, sejak era Presiden AS Barrack Obama melalui konsep Poros Keamanan Asia, AS mengirim 60 persen kapal perangnya ke LCS,” ungkap Hendrajit. Kedua, Cina sendiri dengan konsep One Belt One Road (OBOR) berupaya meningkatkan pengaruhnya di Asia Pasifik melalui pengamanan Jalur Sutra Maritim. Berarti LCS menjadi jalur Asia ke Eropa yang dikawal Cina baik secara ekonomi maupun militer. Ketiga, Konstelasi global yang demikian, menjadikan Kalimantan sebagai ibukota, sama saja menggiring Indonesia dalam posisi terkepung oleh pertarungan global AS maupun Cina yang sedang berebut wilayah pengaruh di LCS. “Ini bertentangan dengan bayangan para penggagas ibukota di Kalimantan bahwa Indonesia akan jadi pusat keseimbangan berbagai pulau di nusantara, maupun berbagai negara,” ungkap alumni Universitas Nasional Jakarta itu. Keempat, Cina sepertinya begitu bersikeras agar Indonesia memilih Kalimantan sebagai ibukota. Atas dua pertimbangan. Pertama, menjadikan Indonesia sebagai daerah penyangga, atau bahkan bumper atau tameng antara AS versus Cina. Kedua, dengan menjadi ibukota, Cina berharap mengimbangi pengaruh Inggris dan AS yang sudah lebih dahulu bercokol di Kalimantan. Apalagi, Malaysia dan Brunei, yang menguasai 23 persen wilayah Kalimantan, merupakan negara-negara eks jajahan Inggris. Hingga kini, isu pemindahan ibukota masih menjadi perhatian masyarakat, meski kemudian muncul “rusuh” Papua dan Papua Barat, Senin (19/8/2019). Tampaknya, “gelaran” rusuh di kedua provinsi wilayah Indonesia Timur ini tak bisa tutupi isu pemindahan ibukota. Maka, muncullah isu kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dinlai sangat mencekik rakyat. Isu ini dimulai dari Menkeu Sri Mulyani yang akan menaikkan iuran untuk kelas II dan I BJPS Mandiri sampai 100 persen guna menutupi defisit anggaran BPJS tersebut. Masalah “rusuh” Papua dan Papua Barat pun menjadi “tidak laku” lagi. Apalagi, ternyata banyak warga yang turun gunung merasa ditipu oleh koordinator aksi demo yang berakhir dengan perusakan berbagai fasilitas, sehingga mereka mengaku menyesal. Nyaris bersamaan waktunya dengan redupnya isu Papua dan Papua Barat ini, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menyentuh hajat hidup orang banyak itu mulai mengaburkan rencana pemindahan ibukota di Kalimantan ini, sehingga saling menutupi. Terakhir, hampir bersamaan, soal RUU KPK dan peresmian pabrik Esemka mulai menyedot perhatian masyarakat. Sehingga persoalan rekonsiliasi terkait hasil Pilpres 2019 nyaris hilang, jika tidak ada pertemuan Prabowo Subianto – AM Hendropriyono. Hendro Panik? Pertemuan Prabowo dengan mantan Kepala BIN pada Kamis (5/9/2019) itu, bukan tidak mungkin akan diikuti pertemuan antara Prabowo dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu dekat. Bisa jadi, pertemuan Prabowo – Hendro itu sebagai “pembuka” pertemuan Prabowo – SBY, seperti halnya sebelum pertemuan Prabowo – Jokowi dan Prabowo – Megawati, BG sudah bertemu dengan Prabowo terlebih dahulu. Sehingga, muncul prediksi, setelah Prabowo – Hendro bertemu, dapat dipastikan akan terjadi pertemuan antara Prabowo – SBY. Melansir Liputan6.com, Hendro mengatakan dirinya telah bertemu dengan Presiden ke-6 RI itu untuk bertukar pikiran. Mungkinkah pertemuan Prabowo – Hendro ini semata-mata hanya untuk membahas masalah Papua, Papua Barat dan persoalan bangsa? Ataukah ada persoalan lain seperti HAM dan Pilpres 2019, sehingga mendorong Hendro bertemu Prabowo? Pasalnya, konon, masalah pelanggaran HAM dan pencurangan Pilpres 2019 sudah masuk ke Peradilan HAM di Den Haag dan PBB. Sehingga, bukan tak mungkin bisa mengancam para pelanggar HAM dan pencurangan Pilpres 2019 tersebut. Apalagi, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Negara-Negara Arab sudah tahu, tuduhan kepada Prabowo sebagai pelanggar HAM merupakan fitnah belaka. Mereka tahu, siapa yang selama ini memfitnah Prabowo untuk menjegal pada Pilpres 2014 dan 2019. Diduga, itulah yang membuat Hendro akhirnya wajib “hukumnya” bertemu dengan Prabowo. Sebab, sebagai profesor intelijen Indonesia, Hendro pasti sudah tahu bagaimana ending dari berbagai manuver Pilpres 2019 pada 20 Oktober nanti. Meski Prabowo pernah dikatain mengidap “psikopat”, ia tetap menghormati Hendro sebagai senior dan gurunya. Kunjungan itu adalah kunjungan kekeluargaan dan kunjungan pribadi yang telah lama direncanakan. “Sudah lama saya ingin sowan. Pak Hendro itu senior saya. Jadi guru saya, sehingga saya merasa memang pantas lah untuk sowan, diskusi, apalagi kalau ada masalah,” jelasnya di Senayan Residence, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019) malam. Jika ada permasalahan negara, semua pihak harus bersatu dan saling mendukung. Karena itu Prabowo meminta waktu khusus untuk berkunjung. “Walaupun intinya adalah kekeluargaan kita juga membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya. Adakah persoalan lain yang dibicarakan saat pertemuan Prabowo – Hendro tersebut? Apakah dalam pertemuan ini juga membicarakan bagaimana antisipasi jika tiba-tiba terjadi perubahan “peta politik” terkait Pilpres 2019? Ending manuver Pilpres 2019 nantinya ada di tangan Prabowo – SBY jika memang keduanya bertemu!
Ironisnya RKUHP: Ancaman Wartawan, Ringankan Koruptor
Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR mengancam kebebasan pers. Salah satu isi pasal itu memuat ancaman penjara bagi orang yang dianggap menghina presiden. AJI Indonesia dan LBH Pers telah mencatat sedikitnya 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi wartawan. AJI menilai 10 pasal ini merupakan pasal karet atau bisa digunakan secara subjektif dan sewenang-wenang. “Kami khawatir kriminalisasi terhadap wartawan semakin banyak,” ungkap Ketua Bidang Advokasi AJI Sasmito pada Selasa (03/09/2019). RKUHP dijadwalkan untuk disahkan pada akhir September 2019 ini. Anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi memastikan, RKUHP tetap akan disahkan dalam rapat paripurna akhir bulan ini meskipun diwarnai protes. Sejak 2016, AJI telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Tapi, hingga menjelang pengesahannya, sejumlah pasal yang diprotes tetap dipertahankan DPR. “Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” kata Sasmito. Dalam lima tahun terakhir, dalam catatan AJI, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Umumnya, jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) sendiri menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat. “Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi,” lanjut Sasmito, seperti dilansir BBC.com, Rabu (4/9/2019). Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. “Karena DP itu dasar semua tindakannya itu UU Pers. Tidak mungkin pada UU yang lain,” katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (03/09/2019). DP juga menunjukkan sikap yang sama dengan AJI dan LBH Pers: menolak sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers. “DPR sudah ketinggalan zaman, kalau masih (melihat) kinerja atau pekerjaan jurnalistik itu mengancam. Jadi, kami tentu saja berharap itu tidak jadi (disahkan) dilakukan,” kata Hendry yang akan menyampaikan kajian terkait pasal-pasal bermasalah ini ke DPR. Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan 'tindak pidana pers'. Padahal, kata dia, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana. “Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal. Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi,” kata Fickar, Selasa (03/09/2019). Dari sederet pasal yang dikritik komunitas Pers, DPR mungkin hanya akan menambahkan keterangan Pasal 281 terkait dengan pemberitaan yang bisa mempengaruhi hakim. “Jadi, nanti hakim tidak sewenang-wenang menggunakan hal tersebut (mempidanakan). Tetapi tidak akan kita cabut,” ungkap anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi. Pasal tersebut akan diberikan keterangan lanjutan. Menurut Taufiq, dasar kemunculan pasal ini adalah menjaga wibawa pengadilan, terutama hakim. Dari hasil evaluasi, selama ini hakim yang mengadili sidang kasus yang sedang menjadi perhatian publik tertekan karena pers. “Ketika dia (hakim) hadir, kamera di dalam (ruang sidang). Hakim itu tidak hadir dengan dirinya, tapi dia akan ditekan dari publik. Keputusannya, jadi apa yang terjadi tidak normal,” kata Taufiq. Sementara itu, Pasal 291 dan 241 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, DPR juga punya alasan serupa, menjaga kewibawaan kepala negara. “Jika tidak ada wibawa maka dia tidak memiliki kemampuan untuk memerintah secara baik,” tambah Taufiq. Namun, menurut Fickar, pasal-pasal ini masih kontroversial. Misalnya dalam Pasal 281, sulit bagi pers untuk dilarang meliput. “Karena ketika sidang dibuka, itu dinyatakan untuk umum. Artinya bisa dilihat siapa pun,” katanya. Begitu pula dengan Pasal 291 dan 241. Pasalnya, presiden merupakan posisi pejabat publik yang terbuka akan kritik, komentar dan pendapat. “Karena jabatan (presiden) memang untuk dikritisi. Yang nggak boleh itu ketika menyangkut pribadi,” tambahnya. Ringankan Koruptor Pasal-pasal yang menyangkut kebebasan pers, bertolak belakang dengan pasal-pasal untuk terpidana korupsi. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. “Dari sisi ancaman pidana turun, menjadi berkurang ancamannya,” katanya kepada wartawan Muhamamd Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019). Selain itu, lanjut Zaenur, dengan berkurangnya ketentuan minimum denda kepada koruptor, akan semakin sulit mengembalikan kerugian negara. “Itu bahaya karena dengan hilangnya uang pengganti maka upaya pengembalian uang kejahatan itu menjadi susah,” katanya. Melansir BBC Indonesia, berdasarkan draf RKUHP, setidaknya ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara. Padahal pada Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara. Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta. Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta. Ketiga, Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menilai DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP. Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” jelas Zaenur. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019). Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya. Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP. Antara “ancaman” terhadap wartawan dengan para koruptor diperlakukan berbeda. Kriminalisasi pada wartawan atau warganet yang mengkritisi kebijakan Presiden bisa dianggap “menghina presiden”. Tampaknya, pasal “menghina presiden” ini sengaja dipertahankan DPR bukan semata-mana untuk menjaga kewibawaan Presiden Joko Widodo. Tapi, sebagai “jaminan keamaman” dari DPR kepada Presiden Jokowi. Seperti diketahui, selama 4 tahun terakhir, menjelang akhir jabatan, Presiden Jokowi banyak dikritisi oleh wartawan maupun warganet terkait dengan kebijakannya yang dianggap telah merugikan rakyat. Inilah yang sering ditulis wartawan yang kritis. Untuk mengantisipasi dan membungkam “suara rakyat” itulah maka Presiden Jokowi diberi “jaminan keamanan” oleh DPR. Sebagai balasannya, koruptor diringanin hukumannya.