POLITIK

Pusing 212: Negara dengan 80 Juta Teroris?

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Hari-hari ini, para pengamat politik gencar membahas tentang apa yang akan terjadi terhadap gerakan 212. Gerakan ini terkenal dengan aksi damainya, terutama di ibukota. Aksi-aksi damai yang muncul dan langsung besar di pengujung 2016 dan awal 2017 itu, sama sekali tidak mengganggu Jakarta. Tetapi, ada pihak yang merasa sangat terbebani oleh 212. Ada beban politik yang sangat berat akibat keberhasilan 212. Beban itu secara natural tertimpakan kepada orang-orang yang resah melihat kebangkitan Islam politik. Sebelum dilanjutkan, perlu ditanya dulu apakah valid menteorikan bahwa 212 identik dengan kebangkitan Islam politik? Pertanyaan ini lebih baik dijawab dengan pertanyaan juga. Kalau bukan kristalisasi kebangkitan Islam politik, mau disebut apa gerakan itu? Sekadar kumpul-kumpul saja? Sangat absurd! Baik. Kita teruskan. Sebagian pemerhati politik berpendapat 212 akan menjadi tak relevan lagi setelah Prabowo digiring masuk ke kubu 02. Tidak ada lagi pemimpinnya. Ada pula pengamat yang memperkirakan 212 akan meredup dan kemudian sirna. Yang lain memperkirakan 212 akan menjadi “anak ayam kehilangan induk” setelah kepergian Prabowo ke kubu 01. Akan tercerai-berai. Tetapi, semua teori atau dugaan itu tidak akan ada yang tepat. Memperkirakan 212 akan lenyap adalah kekeliruan berpikir yang disengaja. Mengatakan 212 akan selesai, hanya menunjukkan frustrasi Anda melihat Islam politik yang semakin matang dalam berstrategi. Gerakan 212 tidak tergantung pada Prabowo. Sebaliknya, 212-lah yang mengajak Prabowo berjuang melawan kesewenangan. Ke depan, gerakan ini juga tidak akan tergantung pada tokoh personalitas seperti Habib Rizieq, dsb. Gerakan ini cukup dipimpin oleh seorang koordinator yang mirip dengan “admin” di grup-grup WA. Kenapa? Karena 212 diramaikan oleh lapisan intelektual dan kelas menengah. Mereka ini semua memiliki pemahaman yang komplit tentang gerakan 212, tentang tujuannya dan cara-cara yang digunakan. Semua pendukung 212 mengerti bahwa gerakan 212 adalah Islam politik yang akan selalu damai. Semua praktisi 212 tahu bahwa mereka berkumpul di kelompok umat garis lurus. Yang paling gerah terhadap gerakan 212 adalah orang-orang yang sedang berkuasa. Para penguasa itu tidak bisa tidur nyenyak. Mereka serasa dikejar oleh sosok yang menakutkan bagi mereka. Tetapi tidak menakutkan bagi orang lain. Mereka tahu 212 adalah isyarat kebangkitan Islam politik. Yang diprakarsasi dan diisi oleh umat Islam garis lurus. Yaitu, kumpulan umat yang berasal macam-macam ormas dan orpol. Umat garis lurus memiliki tekad untuk menegakkan keadilan bagi semua dan melawan kezaliman. Sejauh ini, umat garis lurus dipimpin oleh orang-orang yang tidak serakah tetapi tegas. Ketegasan mereka dalam melawan kezaliman membuat para penguasa gerah dan resah. Mereka sekarang menggunakan segala cara untuk melemahkan dan melenyapkan gerakan 212. Salah satu cara ampuh yang mungkin akan dilakukan adalah mendemonisasikan (menjelekkan) 212. Memberikan label yang buruk dan menakutkan. Sangat mungkin 212 akan dikait-kaitan dengan paham radikal. Merekan boleh jadi akan disusupi dengan elemen-elemen jahat yang kemudian akan merusak nama baik 212. Sangat mungkin pula pihak tertentu menyusupkan orang-orang yang akan “diatur” untuk melakukan tindak kekerasan dengan membawa-bawa nama 212. Termasuk melakukan tindakan terorisme. Sehingga, penguasa memiliki alasan untuk mencap 212 sebagai gerakan teroris. Mungkinkah melabel 212 sebagai teroris menjadi kenyataan? Bisa saja. Sebab, 212 akan terus membayangi ketidakmakpuan pemguasa dalam menegakkan keadilan. Ini sangat merisaukan mereka. Tapi, apakah masuk akal mengatakan 212 sebagai gerakan teroris? Inilah yang menjadi masalah. Sangat tak mungkin mengatakan 212 sebagai gerakan teroris. Sebab, 212 adalah representasi 80 juta pemilih Islam garis lurus. Anda pusing dengan 212? Tak perlu. Kalau Anda pusing, bisa-bisa Anda terpaksa mengatakan Indonesia ini adalah negara dengan 80 juta teroris. Menjadi konyol, bukan? Padahal, mereka hanya arus baru Islam politik. Arus yang jernih dan bening, insyaAllah.

Arus Deras Desakan Pembubaran FPI

Oleh Sugito Atmo Pawiro Jakarta, FNN - Media sosial diramaikan dengan perang tagar #BubarkanFPI versus #SaveFPI yang menandai adanya dua kelompok di masyarakat yang terlibat friksi akut. Satu faksi yang gencar mendorong Presiden Jokowi untuk membubarkan Ormas Islam FPI berhadapan dengan kelompok di masyarakat yang menjadi simpatisan FPI dan bersikeras untuk menjaga eksistensi Ormas Islam ini agar terus menjalankan peran sosialnya di negeri ini sepanjang republik ini masih ada. Kita memahami bahwa pemerintahan Jokowi tidak sulit untuk membubarkan Ormas. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang telah ditetapkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, memungkinkan pemerintah untuk membubarkan ormas tanpa melalui proses pengadilan. Pembubaran dapat dimaknai bahwa Kementerian Dalam Negeri mencabut surat keterangan terdaftar dan Kementerian Hukum dan HAM mencabut atau membekukan badan hukum Ormas tanpa proses peradilan sebagaimana dimaksud UU Nomor 16 Tahun 2017. Untuk sampai kepada level beleid ini, harus dapat dibuktikan lebih dahulu bahwa Ormas tersebut memiliki ideologi selain Pancasila dan terbukti mengganggu ketertiban umum dan keamanan negara. Fakta yang sebenarnya terjadi adalah Izin ormas FPI terdaftar dalam SKT 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014 dan sudah habis masa berlakunya pada 20 Juni 2019. Mendagri sebenarnya masih menunggu persyaratan tertentu dilengkapi FPI sebagai syarat perpanjangan izin. Namun demikian justru Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa kemungkinan pemerintah untuk tak memperpanjang izin FPI sebagai organisasi masyarakat. Secara yuridis sebenarnya ada ketegasan hukum di dalam Putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013 bahwa sebagai bagian dari kebebasan berserikat menurut UUD 1945, maka Ormas dapat mendaftarkan kepada instansi yang berwenang dan dapat juga tidak mendaftarkan izinnya, tetapi negara tidak dapat menyatakannya sebagai organisasi terlarang dan juga tidak dapat melarang ormas untuk melakukan kegiatannya, sepanjang kegiatannya tidak melanggar ketertiban umum dan melawan hukum. Dari sini jelas bahwa FPI tidak perlu mendaftarkan izinnya, apalagi jika pemerintah tidak memperpanjang izinnya sebagaimana pernyataan Jokowi. FPI sebagai ormas tetap saja bisa menjalankan kegiatannya. Dengan demikian tidak ada kandungan makna dari tekanan pihak yang tak senang untuk mendorong pembubaran FPI. Pasalnya, tidak ada alasan yuridis yang kuat untuk membubarkannya sebagaimana pemerintah membubarkan PKI. Dalam konteks FPI, alasan yuridis apa yang dipergunakan untuk membubarkan FPI? Pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah dari mana datangnya desakan keras untuk membubarkan FPI, sebagaimana HTI beberapa waktu lalu? Dua pertanyaan inilah yang belum terjawab. Pernyataan Presiden Jokowi dengan jelas menyatakan bahwa FPI dapat saja dibubarkan jika memiliki ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa, Pancasila serta memiliki kecenderungan mengancam keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pernyataan ini semakin selaras dengan semangat jargon ‘Pancasila dan NKRI Harga Mati!’ yang identik diserukan oleh massa politik pendukung petahanan. Massa Islam di luar itu dianggap pendukung khilafah, Pan Islamisme, radikalisme, dan seterusnya. Tentu saja mereka memasukkan FPI di dalamnya. Izin FPI pun kemudian tidak diperpanjang sebagai langkah awal. Itulah sebabnya dalam wawancara dengan Associate Press (AP), Jokowi dengan lugas menyebut bahwa FPI dapat saja dibubarkan. Suatu keadaan yang tidak jauh berbeda dengan ulama besar FPI, Habib Rizieq Sihab (HRS) yang kini berada di Arab Saudi dan dianggap sebagai tokoh Islam yang menolak mengakui kemenangan Jokowi pada Pilpres 2019. Semua itu memperkuat keyakinan bahwa desakan pembubaran FPI semata terkait alasan politis untuk mengurangi kelompok yang mendelegitimasi keabsahan hasil Pilpres 2019. HRS dan FPI praktis dikondisikan untuk dipinggirkan. Aksi provokatif untuk meminggirkan FPI berujung pada usaha untuk membubarkannya. Kita juga memaklumi ada banyak kekuatan modal yang mengelola usaha “underground (di bawah tanah)” dan memiliki sikap anti terhadap kiprah organisasi massa Islam ini. Mereka yang bergelut pada bisnis dan pemakaian narkoba, pelacuran, perjudian, dan hiburan malam penuh maksiat memilih posisi berhadapan (resisten) terhadap FPI. Kelompok ini begitu gusar dengan intensitas kerja FPI yang dianggap mengancam keberlangsungan bisnis dan aktivitas yang menciptakan penyakit sosial (social disease) itu. Celakanya kelompok underground ini memiliki kapitalisasi untuk menanamkan pengaruhnya kepada publik dengan kampanye anti Ormas Islam yang memerangi kemaksiatan tersebut. FPI yang memiliki kader dengan mobilitas tinggi dalam aksi memerangi penyakit sosial ini kemudian disebut lantang dan disindir dengan stigma mengejek, seperti ujaran ‘Preman Berjubah’ guna mengidentifikasi massa FPI. Dalam tudingan yang lebih serius mencapai klimaksnya hari-hari terakhir ini, khususnya pasca Pilpres 2019 dalam mana Jokowi melanjutkan ambisi dua periode kekuasaannya di singgasana kursi presiden. FPI yang dikenal sebagai penopang massa politik pendukung Prabowo dalam Pilpres 2019, kian tersudutkan tak ubahnya parpol-parpol Koalisi Adil Makmur. Situasi ini yang kemudian seolah mendapatkan angin untuk menyeruhkan pembubaran FPI dengan alasan bahwa di dalam Anggaran Dasar FPI ingin menerapkan Syariat Islam di bawah naungan Khilafah, sehingga diklasifikasikan sebagai organisasi yang hendak merongrong ideologi bangsa. Provokasi yang Buta Literasi Luar biasa rasa kebencian yang dibangun dalam alam sadar penentang FPI yang melakukan provokasi meski mengalami kebutaan literasi. Pengusung kebencian yang memprovokasi pembubaran FPI tidak memahami latar belakang hadirnya FPI sebagai Ormas Islam yang inklusif (terbuka). FPI jelas berkiprah untuk menggerakkan misi ammar ma’ruf nahi munkar (mengajak pada kebaikan dan memerangi kemungkaran) dalam menyelesaikan berbagai problema kemanusiaan dengan pendekatan Keislaman melalui kerja kolektif dari seluruh umat Islam. Mereka tidak menyadari bahwa FPI didirikan oleh para haba’ib, ulama, muballigh serta aktivis muslim dan ummat Islam serta dipelopori oleh Muhammad Rizieq Shihab pada 17 Agustus 1998 (24 Rabiuts Tsani 1419 H) di Pondok Pesantren Al-Umm Ciputat dengan misi utama pada waktu itu adalah mengumandangkan reformasi moral dengan memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memberikan kontribusi positif untuk kemajuan bangsa. Masyarakat yang bersimpati dengan FPI menyadari betul misi sosial ormas ini. Dimana ada aksi penyelamatan bencana alam dan bencana sosial, seperti konflik rasial di seluruh penjuru negeri, FPI selalu menjadi unsur masyarakat sipil yang tampil terdepan dalam memberikan bantuan dan penyelamatan korban bencana (relief). Aksi ini yang kemudian menuai simpati luas dan bahkan menarik atensi media massa asing, meski media massa mainstream nasional menutup mata dalam lima tahun terakhir. Jadi, sebelum menindaklanjuti niat untuk tidak memperpanjang izin Ormas FPI, sesuai desakan pendukung politiknya, pemerintah perlu wise (bijak bestari) untuk bersedia mengkaji secara cermat dan mendalam terhadap apa saja alasan yuridis yang tepat untuk dapat membubarkan organisasi massa Islam, seperti FPI. Hal ini menjadi niscaya oleh karena jika dilakukan hanya atas dasar ketidaksukaan akan berdampak pada pemasungan hak sipil Konstitusional warga negara, serta menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini akibat terpasungnya kebebasan masyarakat untuk berserikat dan berkumpul.***

Prabowo Masuk Jantung Koalisi Jokowi, SBY Tidak Bersuara

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapapun sudah tahu kalau Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri adalah “pemilik” Presiden Joko Widodo. Siapapun juga tahu, Jokowi hanyalah “petugas” partai yang mendapat amanat sebagai Presiden RI yang “menang” Pilpres 2014 (dan 2019?). Padahal, sudah bukan rahasia lagi, pemenang kedua pilpres tersebut sejatinya Prabowo. Tapi, oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu Prabowo harus menerima “kekalahan” ini. Dan, demi tetap utuhnya NKRI, Prabowo pun terpaksa legowo. Setelah dinyatakan kalah oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Mantan Pangkostrad dan Danjen Kopassus tersebut langsung mengucapkan Selamat, kemudian bertandang ke Istana Bogor. Sebaliknya, Jokowi melakukan balasan sambang ke Prabowo. Sebelumnya, ketika Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla dilantik sebagai Presiden dan Wapres Terpilih pada Oktober 2014, Prabowo yang kala itu berpasangan dengan Hatta Rajasa hadir di Gedung MPR. Hatta Rajasa adalah besan SBY. Selama ini tidak banyak yang tahu bahwa Hatta Rajasa sengaja disodorkan oleh SBY kepada Prabowo dengan tujuan untuk menggerus suara Prabowo di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, Ketum DPP PAN ini, dianggap mewakili Muhammadiyah. Namun, faktanya ternyata suara Prabowo-Hatta lebih unggul di atas Jokowi-JK saat Pilpres 2014. Fakta inilah yang kemudian “dimanipulasi” oleh KPU. Belakangan, Ketua KPU Husni Kamil Malik dirawat di RS Pusat Pertamina, dan meninggal dunia. Kabarnya, sebelum meninggal dunia di RSPP, Jakarta, Kamis (7/7/2016) sekitar pukul 21.30 WIB, Husni akan blak-blakan soal pencurangan Pilpres 2014 yang memenangkan Jokowi-JK. Semasa hidup, Husni pegang bukti pencurangan Pilpres 2014 itu. Sayangnya, saat itu tak ada upaya pihak keluarga untuk melakukan autopsi atas jenazah pria kelahiran Medan 18 Juli 1975. Padahal sebelumnya, suami Endang Mulyani tersebut sempat mengikuti buka bersama dan sempat tertawa-tawa. Suara ditutup! Husni tutup mata dalam usia relatif muda, 39 tahun. Tragis! Hingga kini penyebab kematian sebenarnya tidak terungkap. Lenyap! Tidak berbekas! Bagaimana Pilpres 2019 lalu? Konon, data lengkap perolehan suara sebenarnya dipegang seorang menteri. Apakah akhirnya “seorang menteri” ini akan membuka data pencurangan itu ke masyarakat, semuanya tergantung SBY yang selama ini menyokong Jokowi. Sebab, Kepala BIN Budi Gunawan sendiri tentunya juga pegang data dan bukti pencurangan. Pertemuan Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus yang diikuti BG dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Sabtu (13/7/2019) tentunya merupakan sinyal bahwa pertemuan tersebut “disaksikan” pejabat negara (BG dan Pramono Anung). Megawati? Megawati bakal menjadi penentu dilantik atau tidaknya Jokowi sebagai Presiden bersama Ma’ruf Amin sebagai Wapresnya. Itu jika Jokowi opsi rekonsiliasi dengan Prabowo dipilih Jokowi. Megawati akan meninggalkannya kalau Jokowi menolak itu. Jokowi bakal dihabisin Megawati yang siap bergabung dengan Prabowo dan memobilisasi anggota DPR dari PDIP untuk segera melakukan impeachment terhadap Presiden Jokowi terkait dengan berbagai masalah ekonomi maupun pelanggaran HAM. Perlu dicatat, imbas dari pertemuan Prabowo-Megawati di Teuku Umar yang juga diikuti oleh BG, Pramono Anung, Prananda Prabowo, Puan Maharani, dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani tersebut, telah membuyarkan impian Koalisi Jokowi. Empat parpol Koalisi Jokowi pun mengadakan pertemuan atas prakarsa Nasdem (Surya Paloh dengan Golkar, PKB, dan PPP. Imbas dari pertemuan yang tidak melibatkan PDIP sebagai pengusung Jokowi membuat Megawati merubah arah politiknya. Jadi, Megawati membutuhkan Prabowo untuk mau bergabung membentuk Koalisi Baru: Megawati-Prabowo-PDIP-Gerindra. Jika Jokowi menerima format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo, maka Jokowi akan tetap menjadi Presiden RI 2019-2024. Di sinilah peran BG tampak. Dia berhasil mempertemukan Prabowo-Megawati. Sebenarnya Koalisi Jokowi itu sudah terpecah. Manuver Prabowo telah memporak-porandakan Koalisi Jokowi menyusul pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus tersebut. Posisi PKS yang langsung mengibarkan benderà #KamiOPOSISI adalah guna mengamankan/ mengumpulkan Relawan 02 supaya tidak terpecah semuanya sampai menunggu komando Prabowo selanjutnya yang kini sedang bermanuver di jantung 01. Target untuk membubarkan Koalisi Jokowi telah berhasil. Sehingga membuat Koalisi Jokowi saling menerkam, menyusul rebutan kursi menteri Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Prabowo sendiri sudah membubarkan Koalisi Adil Makmur pasca putusan MK. Hal Ini dilakukan Prabowo supaya memfokuskan dalam Satu Komando. Kalau mereka sudah terpecah, maka Prabowo lebih mudah melakukan dealing politik. Apalagi, sampai saat ini rakyat masih di belakang dan tetap berjuang bersama Prabowo. Sekarang ini pilihan ada di tangan Jokowi. Karena apabila tidak turut Megawati, bisa saja dia ditinggalkan dan Megawati bergabung dengan Prabowo. Apalagi, Jokowi sendiri, seperti kata Megawati, sering disebut sebagai “petugas” partai dan proxy SBY. Kalau Megawati bergabung dengan Prabowo, maka bisa jadi peta kekuasaan akan berubah, PDIP akan berbalik menyerang dan membantu dari balik layar membongkar kebusukan dan pencurangan Pilpres 2019. Jokowi sendiri sudah tahu masalah ini. Karena Megawati dan PDIP membutuhkan sandaran politik agar tetap di zona Aman. Inilah strategi politik Prabowo sebenarnya yang selama ini tak pernah disampaikan secara terbuka. Kita yang kurang paham akan langkah Prabowo pasti akan kecewa. Menteri Koalisi Presiden boleh tetap, tapi rezim dan kebijakan rezim bisa saja berubah. Itulah tujuan Prabowo mengapa menerima rekonsiliasi. Kalau melihat sejarahnya, Indonesia pernah mengalami hal seperti itu pada era Presiden Suharto 1967-1998. Semasa Orde Baru 1967-1987 pemerintahannya jadi anti Islam (pengaruh Jenderal Merah-CSIS-Cukong). Pada Orde Baru 1988-1998 Pak Harto mulai pro Islam (pengaruh Jenderal Hijau-CIDES-Pribumi). Sekarang ini rezim 2014-2019 sering disebut sebagai rezim proksi/boneka dengan SBY-Hendro Priyono-Luhut Binsar Panjaitan-CSIS-Cukong-China yang sangat anti Islam sebagai pengendali. Rezim 2019-2024 adalah rezim Jokowi-Prabowo-Megawati-Jusuf Kalla yang anti komunis jika rekonsiliasi terwujud. Semakin kokoh rekonsiliasi akan menghasilkan tindakan yang semakin tegas rezim penguasa kepada PKI, komunisme dan pendukungnya. PKI-Komunis ini berdasarkan hukum positif di Indonesia adalah Partai-paham terlarang. Era Bulan Madu Rezim Penguasa dengan Komunis sudah berakhir ketika Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo dimulai dilakukan Jokowi-Prabowo. Pembubaran HUT Partai Rakyat Demokratik (PRD) ke-23 yang dilakukan Polri dan Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu contoh tindakan tegas terhadap organisasi yang disebut-sebut merupakan reinkarnasi dari ideologi komunis. Seleksi Capim KPK karena periodesasi pimpinan KPK 2015-2019 bakal berakhir. Seleksi Capim KPK untuk periode 2019-2023 diharapkan sekaligus dalam rangka pembersihan KPK dari orangnya SBY-Luhut-Hendro-CSIS yang telah merusak KPK selama belasan tahun. Partai Koalisi Jokowi tentu tetap dapat kursi kabinet, tapi jangan menuntut berlebihan. Harus disyukuri masih dapat kursi, mengingat fakta sebenarnya bahwa Prabowo yang menang pilpres dan seharusnya jadi presiden. Nasib SBY-Luhut-Hendro di era Jokowi ini mungkin akan sama dengan nasib Ali Murtopo, LB Moerdani, dan Sudjono Humardani di era Presiden Suharto. Mereka memusuhi Islam meminjam tangan Pak Harto. Dan, ditinggalkan Pak Harto ketika Pak Harto merangkul umat Islam. Luhut sendiri merasa paling berjasa pada Jokowi. Sekarang merasa ditinggalkan Jokowi yang balik merangkul umat Islam melalui rekonsiliasi. Ini seperti Moerdani era Pak Harto. Tanpa kendali atas rezim mendatang dan KPK, kader-kader utama Demokrat akan jadi tersangka. Para pendiri Demokrat akan take-over kepemimpinan Demokrat dari SBY. Satu-satunya cara agar selamat adalah mengambil hati rakyat dengan berbuat baik melalui pengungkapan bukti hasil pilpres 2019. Perlu dicatat, konstelasi politik hari-hari ini, Demokrat-Agus Harimurty Yudhoyono tak akan masuk kabinet Jokowi-Ma’ruf, KPK akan dibersihkan dari orang-orang SBY-Luhut-CSIS. Apalagi, kasus-kasus korupsi yang melibatkan Cikeas (Century, SKK Migas, Hambalang, e-KTP dan lain-lain) sudah matang, tinggal dipetik. Hanya keajaiban yang bisa selamatkan Demokrat-Cikeas. SBY akan lebih simpatik di mata rakyat jika mau mengubah sikapnya terhadap pemilu 2019. Lebih baik SBY mengungkap semua bukti pemenang Pilpres 2019 adalah Prabowo. Itulah solusi bagi SBY, AHY, dan Demokrat agar tidak hancur pasca rekonsiliasi. Dijamin politik nasional makin lebih mencair. Itulah strategi “Kuda Troya” ala Prabowo! ***

Prabowo Setelah Dicerca Habis, Kini Dipuja Habis

Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Lucu sekali. Campur mau muntah. Para tokoh dan buzzer 01 tidak lagi menjelek-jelekkan Prabowo dan Partai Gerindra. Sebelum 13 Juli 2019, Prabowo diejek dan diperolok-olok. Prabowo dipojokkan dan dihina. Ada saja yang menulis panjang atau sekadar status pendek tentang reputasi Prabowo. Prabowo disebut penculik. Disebut haus kekuasaan. Dikatakan tak layak memimpin karena keluarganya saja berantakan; mana mungkin memimpin negara. Prabowo disebut temparental. Tukang gebrak meja. Suka emosi. Dan seterusnya. Banyak lagi. Ada yang memyoroti lahan HGU yang sangat luas milik Prabowo. Karena itu, omong kosong dia berbicara soal rakyat miskin. Pokonya, para petinggi 01 habis-habisan mencela dan memojokkan Prabowo. Tidak ada sama sekali kebaikan Prabowo. Bahkan, sempat didengungkan bahwa Prabowo bisa ditangkap kalau dia begitu dan begini. Banyak buzzer 01 yang mengaitkan Prabowo dengan kerusuhan 21-22 Mei, menyusul pengumuman hasil pilpres oleh KPU. Prabowo maju ke MK pun dicerca. Dihina sampai kandas. Prabowo diejek sebagai “Presiden Kertanegara” (merujuk rumah Prabowo di Jalan Kertanegara). Sekarang, semua berubah total. Setelah pertemuan Jokowi-Prabowo di Lebak Bulus (13 Juli 2019) dan pertemuan Megawati-Prabowo di Jalan Teuku Umar (24 Juli 2019), semua berbalik. Prabowo dipuja dan dipuji. Label temparamental berganti negarawan. Sebutan tak becus berubah menjadi patriot. Prabowo menjadi “rising star” (bintang tanjak). Bagi 01. Dia disebut seorang nasionalis sejati. Hanya saja selama ini dia ditunggangi oleh kelompok Islam radikal. Sekarang Ketum Gerindra, bagi 01, berubah menjadi “New Prabowo”. Harapan baru untuk stabilitas nasional. Dia dirangkul dengan harga berapa pun. Kalau perlu dengan mengorbankan siapa saja di kubu 01 yang tak rela menerima Prabowo. Queen-maker 01, Bu Megawati, memberikan gestur yang sangat meyakinkan bagi Prabowo. Ada yang menduga, Bu Mega siap meneken “blank cheque” (cek tak berbatas) untuk Prabowo. Cek itu akan diisi sendiri oleh Prabowo. Terserah Prabowo berapa banyak porsi kekuasaan yang dia inginkan. Silakan ambil kursi apa saja yang dia mau. Tak perduli apakah Surya Palah akan cukur habis brewoknya atau tidak. Tak perduli juga apakah Cak Imin akan memimpin kudeta Nahdhiyyin atau kudeta apa saja. Dan, memang tak mungkin ada yang berani kudeta walaupun kursi kabinet mereka diganti dengan bangku warungan. Begitulah gambaran tentang sambutan yang diberikan kepada Prince of Hambalang, Prabowo Subianto. Pangeran yang akan menyelamatkan Indonesia dari krisis besar. “Mungkinkah begitu?” tanya seekor kelelawar kepada katak-katak yang sedang mabuk menyaksikan drama kontemporer karya grup teater BIG BIN. Pertanyaan yang naif. Katak yang tak mabuk saja, tak bakalan tahu jawabannya. Apatah lagi katak mabuk yang ditanya oleh kelelawar. Tak mungkin. Karena mereka sama-sama korban penipuan. (Penulis adalah wartawan senior)

Poros Megawati-Prabowo Akhiri Petualangan Trio Wekwek : Hendro, Luhut & Gories

Oleh Luqman Ibrahim Soemay Jakarta, FNN - Pertemuan Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus menandai babak baru garis politik Jokowi. Dari Lebak Bulus dilanjutkan dengan pertemuan Teuku Umar antara Megawati dengan Prabowo. Dua pertemuan ini menandai lahirnya poros politik baru yang tidak lagi mengandalkan trio Abdullah Mahmud Hendropriyono, Luhut Binsan Pandjaitan dan Gories Mere. Saya namakan saja mereka bertiga dengan sebutan “Trio Wekwek”. Trio Wekwek selama ini menjadi arsitek utama garis politik dan kebijakan Jokowi, khususnya dalam lima tahun terakhir. Garis politik yang sengaja, bahkan terang-terangan membenturkan pemerintah Jokowi dengan kelompok Islam kanan atau yang bukan Nahdatul Ulama (NU). Trio Wekwek yang selama ini selalu dan selalu memframing wajah Islam Indonesia identik dengan Islam terorisme, Islam radikalisme dan Islam intoleransi. Mencermati para aktor yang terlibat di pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus dan Teuku Umar, yaitu Kepala BIN Budi Gunawan dan Seskab Pramono Anung, Puan Maharani, Prananda Prabowo dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, maka dipastikan Poros Teuku Umar yang menjadi arsitek utama dua pertemuan tersebut. Shohibul hajatnya adalah Teuku Umar, sebutan untuk kediaman Megawati. Tentu saja peran yang dimainkan Budi Gunawan dan Pramono Anung adalah melaksanakan perintah Megawati Soekarnoputri. Alhamdulillaah tugas dari Ketua Umum PDIP tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, bahkan meraih sukses besar. Prabowo mau dan bersedia berunding dengan Jokowi, namun hanya melalui satu pintu, yaitu Jalan Teuku Umar. Tidak lagi melalui Trio Wekwek. Publik, khususnya pendukung Prabowo belum lupa. Hanya berselang tiga hari setelah pelaksanaan Pemilihan Presiden 17 April 2019, Luhut menawarkan diri bertemu Prabowo. Luhut mengklaim diri sebagai utusan khusus Jokowi. Hasilnya tentu sudah bisa ditebak. Tanpa perlu pikir panjang, Luhut ditolak Prabowo dan semua pendukungnya. Sebuah sikap yang menunjukkan ketidaksukaan, bahkan mungkin juga kebencian dari pendukung Prabowo yang sudah di ubun-ubun kepada Luhut. Sebuah lompatan politik penting telah diraih Jokowi dari terobosan di Stasiun MRT, Lebak Bulus. Meskipun demikian, harus diakui pertemuan tersebut tidak serta-merta dapat mengubah sikap para pendukung Prabowo di akar rumput. Sikap pendukung Prabowo, terutama emak-emak militan tetap tidak bisa menerima kemenangan Jokowi sebagai Presiden 2019. Mereka beranggapan kemenangan yang didapat Jokowi melalui kecurangan yang massif, sistematis, dan terencana. Pertemuan yang diakhiri makan-makan Sate Senayan ini dilanjutkan pertemuan Megawati dengan Prabowo di Jalan Teuku Umar. Dua kali pertemuan antara Prabowo-Jokowi dan Prabowo-Megawati cukup memberikan angin segar bagi Jokowi. Paling kurang, untuk lima tahun ke depan. Saat dilantik sebagai Presiden Indonesia periode kedua tanggal 20 Oktober 2019 nanti, Prabowo diharapkan bisa hadir dan memberikan ucapan selamat kepada Jokowi. Sejak pertemuan politik stasiun MRT Lebak Bulus, tampak Trio Wekwek tidak dilibatkan. Sebuah keputusan politik yang sangat jitu dan tepat sasaran. Sebab bila Trio Wekwek atau salah satu saja yang dilibatkan, dan biasanya Luhut yang paling sibuk untuk menyodorkan diri maju ke depan, maka hampir dipastikan pertemuan tersebut tidak pernah terjadi. Pasti gagal dan gagal lagi. Mengetahui tingginya kebencian pendukung Prabowo kepada Trio Wekwek inilah yang mendorong Megawati perintahkan Budi Gunawan melakukan segala cara dan upaya, dengan kerahasiaan tingkat tinggi. Targetnya bisa ketemu langsung dengan Prabowo. Setelah ketemu, bujuk Prabowo agar mau bergabung dengan pemerintah Jokowi. Tawarkan saja cek kosong kepada Prabowo. Jokowi dan Megawati membiarkan Prabowo sendiri yang mengisi berapa nilai ceknya yang pantas. Sayangnya, cek kosong itu bukan dalam bentuk duit. Tawaran memberikan cek kosong kepada Prabowo untuk saat ini cukup ampuh meredam Prabowo. Termasuk teman-teman Prabowo di koalisi adil makmur, PKS, dan PAN. Buktinya Amin Rais yang terkenal sangat keras menentang rekonsiliasi dengan Jokowi, belakngan mulai melunak setelah ketemu Prabowo. Sikap melunaknya Amin Rais ini dengan membuat pernyataan “Kita akan mengawasi Jokowi dan Ma’ruf Amin liman tahun ke depan” Bersatunya koalisi Jokowi-Megawat dengan Prabowo ini tentu saja tidak dikehendaki Trio Wekwek. Mereka pasti tidak nyaman dengan keberadaan Prabowo di koalisi Jokowi-Megawati. Buktinya, sampai sekarang Trio Wekwek masih membisu seribu bahasa. Trio Wekwek tak berkomentar apapun tentang pertemuan Stasion MRT Lebak Bulus dan Teuku Umar. Lambat tapi pasti, peran Trio Wekwek akan digantikan Prabowo dengan teman-temannya. Paling kurang dalam mengelola pemerintahan lima tahun ke depan, Jokowi punya tambahan teman untuk didengar pendapatnya. Petualangan Trio Wekwek selama ini dengan membenturkan Jokowi dengan Islam kanan cukup membuat posisi Jokowi tidak aman. Bahkan hampir saja terjungkal. Trio Wekwek sebenarnya tidak punya posisi tawar publik. Mereka bertiga tidak punya basis politik yang kuat dibandingkan dengan Prabowo. Hendroprijono misalnya, hanya berasal dari partai politik kecil PKPI yang tidak lolos parliamentary threshold. Hendro tidak punya kursi setengah pun di DPR. Ambisi politik Hendro, selain mengamankan urusan bisnis pribadinya, selalu berupaya dengan segala cara mendorong-dorong anak dan menantu untuk menjadi pejabat negara. Diaz Hendroprijono kini jadi Staf Khusus Presiden. Menantu Jendral TNI Andika Perkasa digadang-gadang sampai jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Kelakuan Hendro ini hanya beda-beda tipis dengan Soesila Bambang Yudhoyono. SBY sekarang ini sebagian besar hidupnya hanya diabdikan untuk memperjuangkan dua putranya Edhi Baskoro dan Agus Harimurti bisa menjadi menteri. SBY sekarang rela kehilangan nama besar sebagai negarawan, asalkan anaknya Ibas dan Agus bisa jadi pejabat negara. Bedanya dengan Hendro, SBY punya Partai Demokrat, dan punya kursi DPR. Sedangkan Luhut cuma pendatang di Golkar. Luhut tidak punya kaki di akar rumput Partai Golkar. Kerjanya hanya memonopoli semua lini bisnis. Caranya dengan menakut-nakuti pejabat level bawah. Mulai dari Dirjen, Gubernur, Bupati, eselon dua, tiga dan empat di kementerian. Luhut sangat berambisi memposisikan dirinya sebagai orang kaya sepuluh besar di negeri ini. Untuk itu, semua proyek mutlak harus melibatkan perusahaan Luhut, baik langsung maupun hanya vehicle. Kepuasan Luhut lainnya adalah menempatkan orang-orang Batak menjadi pejabat negara dan bisnis di semua lini pemerintahan dan usaha. Mereka menempati posisi-posisi penting di eselon satu, dua, tiga dan empat di sejumlah kementerian. Lihat di KPK, dua orang komisoner dari Batak Kristen, yaitu Basariah Panjaitan dan Saur Situmorang. Selain itu, Luhut juga banyak menaruh orang-orang Batak di direksi dan komisaris BUMN. Selain itu mereka bertebaran juga di sejumlah perusahaan konglomerat swasta. Begitu juga dengan pejabat negara setingkat menteri. Lihat saja, Kerpala Badan Saiber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen (Purn) Hinsa Siburian. Merskipun tidak punya kemampuan dan pengetahuan apa-apa tentang siber, namun Luhut berusaha dengan segala cara meperjuangkan Hinsa Siburian menjadi kepala BSSN. Begitu juga dengan anak mantunya Mayjen TNI Maruli Simanjuntak. Maruli sekarang menjabat Komandan Pasukan Pengmanan Presiden (Dan Paspampres). Maruli yang berasal dari lulusan Akademi Militer 1992 menjadi orang pertama yang menggapai bintang dua di pundaknya. Sayangnya, yang diperjuangkan Luhut hanya terbatas orang-orang Batak Kristen atau HKBP. Rupanya hanya sebatas itu ambisi besar anak emasnya Jendral TNI (Purn) L.B Moerdani ini. Luhut juga menjadi arsitek utama masuknya tenaga kerja asing Cina ke Indonesia. Modusnya adalah pembukaan investasi kawasan ekonomi khusus. Mau lihat buktinya. Datang dan lihat pembangunan smelter untuk pengolahan nikel di beberapa daerah, seperti di Pomala Sulawesi Tengah, Konawe Sulawesi Tenggara dan Obi Maluku Utara. Dipastikan hampir 90% tenaga kerja di tiga perusahaan pemurnian nikel ini berasal dari Cina. Lain lagi dengan petualangan Komjen Polisi (Purn.) Gories Mere. Pensiunan polisi bintang tiga ini hobinya membuat penangkaran atau memproduksi teroris. Misi utamanya, mencitrakan Islam yang identik dengan kekerasan atau pembunuhan atas nama perang jihad dan sejenisnya. Untuk menciptakan horor ini, Gories tidak sendirian. Mentornya Brigjen Polisi (Purn.) Surya Dharma. Yuniornya adalah Irjen Pol. (Purn) Bakto Suprapto, Irjen Pol. Carlo Tewu, Deputi di Menkopolhukam, Irjen Pol. Petrus Golosse, sekarang Kapolda Bali, Brigjen Pol. Martinus Hukom, sekarang Wakadensus 88 Polri dan Brigjen Rahmat Wibowo, sekarang Direktur Tipid Siber Bareskrim Polri. Gories mewakili Amerika, Inggris, Asutralia dan Yahudi di Indonesia Publik negeri ini belom lupa dengan ngopi-ngopi Gories dengan pelaku bom Bali Amroji di Mall Plaza Senayan. Hanya Gories yang punya kesaktian bisa jalan-jalan dengan terhukum teroris untuk shoping dan ngopi-ngopi di mall. Padahal ketika itu Gories menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Gories dulu juga suka jalan-jalan di luar penjara dengan ratu ekstasi Zarima Mirafsur. Hobi bersama Trio Wekwek adalah mencitrakan horor tentang Islam kanan. Misalnya Islam kanan itu dekat dengan teroris, radikal, dan intoleransi. Selain itu, Islam kanan juga diidentikkan dengan kekerasan. Prilaku Trio Wekwek ini tentu berlawanan dengan garis politik koalisi Jokowi-Megawati yang selalu berusaha bisa bergandengan dengan Islam kanan. Megawati juga sangat berkeinginan mendorong Islam kanan agar lebih ke tengah. Megawati ingin mencontoi Bung Karno yang berangkulan mesra dengan tokoh-tokoh Masyumi seperti di awal kemerdekaan. Bung Karno sangat dekat dengan Muhammad Natsir, Mohammad Roem dan Syafrudin Prawiranegara. Kondisi politik tiga tahun terakhir yang renggang dengan Islam kanan, mendorong Megawati untuk memperbaikinya. Apalagi menghadapi suksesi kepemimpinan di PDIP yang kemungkinan jatuh ke Puan Maharani atau Prananda Prabowo di tahun 2024 nanti. Sayangnya inilah yang sekarang renggang akibat ulah petualangan politik Trio Wekwek. End. Foto: medaninside, law-justice.co, darma henwa tbk.

NU: Wapres Itu Setara dengan Seluruh Menteri

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah Ulama dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) kultural sangat prihatin dengan permintaan “jatah” menteri oleh PBNU kepada Presiden Joko Widodo yang “memenangkan” kontestasi Pilpres 2019, 17 April 2019. Perlukah Presiden Jokowi kabulkan? Isu NU meminta jatah menteri ke Presiden Terpilih Jokowi mendapat kritik dari tokoh NU. KH Salahuddin Wahid alias Gus Solah mengatakan, NU saat ini sudah bermain politik dan sekarang NU sudah terlalu jauh untuk masuk ke dalam kegiatan politik. “Saya pikir organisasi NU terlalu jauh bermain politik. Bahkan sekarang NU minta jatah politik, itu adalah jatah partai. Kalau begitu NU mending jadi partai politik saja,” kata Gus Solah, seperti dilansir Tribunjateng.com, di Pekalongan, Rabu (17/7/19). Pernyataan Gus Sholah itu disampaikan saat menghadiri acara Halaqoh Kebangsaan Khittah 1926 di Gedung Koperasi Batik Pekajangan, Pekalongan. Menurutnya, politik NU bukanlah politik kekuasaan melainkan politik kebangsaan, keumatan, dan kemanusiaan. Oleh karena itu, Halaqoh yang diadakan ini dimaksudkan untuk Ngaji Bareng tentang Khittah NU. “NU itu didirikan untuk melayani umat Islam di Indonesia, bukan untuk menguasai umat, yang dimaksud dangan kembali ke khittoh seperti itu,” jelasnya. Gus Solah bersama sejumlah tokoh penting NU seperti KH Nasihin, Kiai Thoha, Kiai Rozi dan yang lainnya menghadiri acara Halaqah Komite Khittah Nahdlatul Ulama (NU) 1926 ke-9 digelar di Gedung Koperasi Batik Pekajangan. Putri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Yenny Wahid, sendiri sudah mengingatkan petinggi NU tidak terjebak dalam politik praktis, terlebih soal jatah menteri. Hal itu disampaikannya di Silang Monas, ‎Jakarta Pusat, Rabu (10/7/2019). “Saya mengimbau pada petinggi NU untuk tidak terjebak pada retorika seolah dipahami kita menuntut kursi kabinet dan sebagainya,” katanya, usai menghadiri HUT Bhayangkara ke-73. Yang terpenting bagi NU adalah suara mereka didengar pemerintah. Apalagi hampir 50% lebih umat Islam mengaku berafiliasi ke NU. “Banyak lembaga survei menunjukkan hampir 50% lebih umat Islam berafiliasi dengan NU. Artinya ketika kader NU ‎ditunjuk di kabinet, ya itu jadi representasi dari sebagian besar umat,” ujarnya. NU, kata Yenny, tetap menjaga sinergi dengan pemerintah ke depan, baik dengan memiliki kader di kabinet atau tidak. Dia memastikan NU akan tetap memberikan masukan dan kritik yang membangun bagi kemajuan bangsa dan negara. “Ketika pemerintah siap, NU harus mampu kerja sama dan mampu menjaga jarak sehat,” kata Yenny. Sebelumnya, Wasekjen PKB Daniel Johan minta jatah kursi menteri partainya dengan NU dalam kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II, dipisah porsinya. “Karena memang PKB itu dilahirkan oleh NU, tapi kan PKB bukan NU, tentu itu suatu yang terpisah,” kata Daniel dalam diskusi Polemik di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/7/2019). Baik NU maupun PKB sama-sama bekerja keras dalam kampanye Pilpres 2019. Sehingga merupakan hal wajar jika keduanya mendapat porsi bagian dalam struktur kabinet Koalisi Indonesia Kerja (KIK) jilid II. “Karena NU juga menjadi bagian yang sangat bekerja keras kemarin sehingga itu dua hal yang berbeda,” ungkap Daniel. Tapi meski menyarankan jatah kursi PKB dengan NU dipisah, Daniel menyerahkan seluruh keputusan ke tangan Presiden Jokowi yang memiliki hak prerogatif. “Pada akhirnya kita serahkan kepada pak Jokowi,” lanjut Daniel. “Kami hanya menyediakan Kader terbaik, tapi nanti itu akan melalui hasil pertimbangan mendalam,” tambahnya. Sebelumnya, PKB secara terang-terangan meminta jatah 10 kursi menteri masuk ke dalam komposisi kabinet IKI jilid II periode 2019-2024. Beberapa pos menteri yang dimintanya: Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Kelautan dan Perikanan, hingga Menteri Pertanian. Namun, khusus soal kursi Menaker, Daniel menjelaskan belum mendengar pembahasan itu di internal partai. “Mendes mungkin karena memang sudah berjalan. Kalau menaker nggak tahu belum dengar. Mudah-mudahan basis nahdliyin, yaitu petani dan nelayan,” ungkapnya. Untuk posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), tampaknya PKB tidak berminat lagi. Daniel mempersilakan pos Menporan itu diberikan kepada mereka yang masih dan punya jiwa muda. “(Menpora?) Kasih yang muda saja,” katanya sambil tertawa. Apakah karena Menpora yang dijabat kader PKB Imam Nahrawi belakangan terseret kasus suap pengucuran dana hibah KONI. Diketahui, dalam KIK pemerintahan Jokowi saat ini, pos menteri yang diisi oleh kader PKB, diantaranya Menaker Hanif Dhakiri, Menpora Imam Nahrawi, dan Mendes PDTT Eko Putro Sandjojo. Sedangkan Menristekdikti Mohammad Nasir kerap disebut representasi PKB. Posisi Wapres Akankah semua permitaan PKB maupun NU itu dipenuhi Presiden Jokowi? Kalau akhirnya format rekonsiliasi Prabowo Subianto yang sudah bertemu Presiden Jokowi dan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu terealisasi, rasanya tidak mungkin. Jokowi pasti akan memasukkan juga orang-orang yang dipercaya Prabowo untuk masuk juga dalam KIK jilid II Jokowi bersama Wapres Terpilih Ma’ruf Amin. Apalagi, syarat yang telah diajukan itu berdasarkan prosentase perolehan suara Pilpres 2019, 55:44. Bagi parpol Koalisi Jokowi-Ma’ruf, ajuan tersebut tentu saja tidak bisa diterima. Jatah kursi menteri mereka dapat dipastikan akan berkurang banyak. Ditambah lagi, NU juga meminta jatah kepada Presiden Jokowi. Jelasnya, ini sangat berlebihan. “NU kan sudah dapat jatah Wapres (Kiai Ma’ruf Amin) yang tokoh ulama-kiai NU ternama. Masa’ masih saja kurang,” ujar ulama NU dari Jatim KH Rozy Shihab kepada Pepnews.com. Jabatan Wapres itu bisa disetarakan dengan semua posisi menteri. Artinya, posisi Wapres yang bakal dipegang Ma’ruf Amin, setelah dilantik, bisa dianalogikan sama dengan jabatan seluruh menteri dalam KIK. Jadi, sebenarnya NU sudah mendapatkan semua posisi menteri dalam Kabinet Jokowi-Ma’ruf. Sedangkan posisi Presiden, itu bisa saja dianalogikan sama dengan jabatan Wapres bersama semua posisi menteri. Jadi, NU tidak perlu meminta-minta lagi jabatan kepada Jokowi. Jadi, NU tidak perlu datang dan minta-minta ke Presiden. “Justru presidenlah yang harus datang ke NU. Karena, sesuai Khittah 1926, NU itu bukanlah partai politik. Ini yang harus dicamkan,” tegas Kiai Rozy Shihab, mengingatkan. Hal serupa disampaikan KH Abdul Malik Madani. Khittah NU itu politik kebangsaan, bukan politik praktis. NU itu ormas Islam terbesar di Indonesia dengan sejarah panjang mengawal NKRI. “NU itu seharusnya tidak masuk pada tataran politik rendahan, yaitu politik praktis atau politik kekuasaan,” ujarnya. Hal itu disampaikan mantan Katib Aam PBNU ini saat menyampaikan pandangan umum soal Khittah NU di Ponpes Tebuireng 8 Serang, Banten. Acara itu merupakan rangkaian Halaqah ke-8 Komite Khittah NU 1926 (KKNU 26). Dalam kesempatan itu, Kiai Malik menyampaikan pesan dari almarhum KH Ahmad Sahal Mahfudz. “Dalam Rapat Pleno PBNU di Universitas Ilmu Al-Qur’an (Unsiq) Kelibeber, Wonosobo, Kiai Sahal mewanti-wanti agar NU tidak bermain-main dalam politik rendahan (siyasah safilah) tetapi NU bermain dalam politik tinggi (siyasah aliyah),” ungkapnya. Yang dimaksud dengan politik tinggi di sini, lanjut Kiai Malik, bahwa NU tidak main pada tatran politik praktis, tetapi menjalankan tiga hal yang merupakan politik tingkat tinggi. Tiga hal itu adalah politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika politik. “Politik kebangsaan menuntut NU proaktif membentengi NKRI sebagai bentuk final bagi umat Islam,” jelasnya, seperti dikutip dalam catatan “Khittah 1926 Nahdlatul Ulama”. Sementara itu, politik kerakyatan menuntut NU agar proaktif menyadarkan rakyat atas hak-haknya sebagai rakyat supaya tidak menjadi alat kekuasaan bagi elit politik. “Sedangkan etika politik, NU aktif menyebarluaskan ajaran Islam tentang etika berpolitik, termasuk menolak politik uang, suap, korupsi, dan lain-lain,” ungkap Kiai Malik. Kalau NU sudah masuk pada tataran politik kekuasaan, maka di dalamnya sarat dengan kepentingan. Selain itu, juga akan menimbulkan gesekan antara struktural dengan kultural, sehingga tidak akan pernah ada ittifaq (kesepakatan), yang ada hanya ikhtilaf (perselisihan). PBNU ketika Pilpres 2019 secara terang-terangan maupun terselubung, memobilisasi warga NU, struktur NU pada tingkatan PW sampai MWC guna mendukung salah satu paslon, penggiringan itu, menurut Kiai Malik, merupakan pelanggaran atas Khittah NU 1926. Melihat itu semua, apakah NU masih tetap ngotot ingin minta jatah jabatan kepada Presiden Jokowi, meski sudah dapat posisi Wapres? Ingat, jabatan Ma’ruf Amin di PBNU adalah Rois Syuriah! (Bersambung). ***

Mega,"Semua Keputusan Ada di Presiden Jokowi"

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Sumringah. Bahagia. Tidak ewuh pakewuh. Saling lempar senyum lepas. Itulah suasana yang tampak saat berlangsung pertemuan Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jakarta. Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, seperti halnya ketika Presiden Joko Widodo bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Kepala BIN Budi Gunawan. Ada yang istimewa? Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Mega di Jl. Teuku Umar ini. Memang, bersamaan dengan pertemuan Teuku Umar itu, Rabu (24/7/2019) Presiden Jokowi sedang menyambut kedatangan Putra Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohamed Bin Zayed Al Nahyan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar. Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti Nasdem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019. Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang. Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum Nasdem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi. Pertemuan digelar di kantor DPP Nasdem, Senin (22/7/2019). Melansir Tribunnews.com, dalam pertemuan itu, selain Surya Paloh sebagai tuan rumah, hadir Ketum Golkar Airlangga Hartarto, Ketum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketum PPP Suharso Monoarfa. SP menyebut Mega tidak ikut hadir, karena pertemuan tersebut berlangsung secara spontan tanpa diagendakan sebelumnya. “Ya memang kalau bisa hadir bersama bisa lebih baik. Tapi ini spontan saja kebetulan sedang kumpul di kantor Nasdem,” katanya. Ia mengakui memang tak mengundang perwakilan PDIP untuk datang ke kantornya. Namun SP menyebut tiga ketum parpol yang datang juga tak diundang. “Memang yang datang tidak diundang. Itu semua spontan datang kebetulan sekali mereka adik-adik saya,” ujarnya. Menurut SP, dalam pertemuan itu tak ada pembahasan spesifik. Masing-masing ketum parpol hanya saling bertukar pikiran terkait konsolidasi politik yang dilakukan pasca Pilpres 2019. Terkait pimpinan MPR, SP sepakat bahwa dalam paket yang diusung harus diisi oleh parpol koalisi Jokowi-Ma'ruf, bukan parpol oposisi. Hal ini disampaikan SP menanggapi Gerindra yang juga mengincar kursi Ketua MPR. “Kursi MPR idealnya tetap paket partai pengusung pemerintahan Jokowi saat ini,” katanya. Namun, terkait siapa yang mendapat jatah Ketua MPR dan tiga Wakil Ketua MPR, belum diputuskan. Seluruh parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf harus membahasnya lebih lanjut. “Kalau masing masing mau jadi ketua ya susah,” kata bos Media Group ini, seperti dilansir Kompas.com, Senin (22/7/2019). Apa yang sebenarnya terjadi di balik itu semua? Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin, jika ada yang khawatir dengan pertemuan Prabowo-Mega, Rabu (24/7/2019), itu bisa jadi partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf. Soalnya, pertemuan ini semakin membuka peluang Gerindra masuk ke dalam koalisi. “Jika Gerindra masuk koalisi, jatah menteri partai koalisi Jokowi bisa berkurang,” ungkap Ujang, seperti dikutip Tirto.id. Faktanya, jumlah partai yang mesti diakomodasi atau minimal diperhatikan Jokowi tahun ini lebih banyak. Pada Pilpres 2019 paslon nomor urut 01 ini didukung oleh 10 partai. Sementara pada Pilpres 2014, Jokowi yang didampingi Jusuf Kalla hanya diusung koalisi ramping, yaitu: PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI. Golkar, PPP, dan PAN baru bergabung belakangan. Apalagi jika kursi menteri berbanding lurus dengan perolehan suara di pileg. Gerindra hanya kalah dari PDIP sebagai pemenang pileg. Gerindra mendapat suara 17,5 juta atau setara 12,57 persen total suara. Kabarnya, Gerindra itu mengincar kursi Kementerian BUMN dan Pertanian. Dengan kondisi demikian, tak heran jika partai pendukung Jokowi menolak Gerindra bergabung masuk dalam Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Penolakan atas Gerindra dan parpol seperti Demokrat-PAN telah disampaikan PKB, Golkar, Nasdem, dan PPP, empat partai pendukung Jokowi selain PDIP yang lolos ambang batas parlemen. Keempat partai itu sudah berkali-kali meminta jatah menteri dari Jokowi, meski hingga kini belum jelas siapa yang akan ditunjuk Presiden Jokowi. Muhaimin bilang, selayaknya PKB dapat jatah 10 menteri. Sementara fungsionaris Nasdem Taufiqulhadi mengatakan, semestinya partainya dapat lebih banyak karena suara di pileg lebih besar. Golkar dan Nasdem pun serupa. Masing-masing dari mereka disebut-sebut meminta jatah empat dan dua kursi menteri. Ketum empat partai ini, Muhaimin, Airlangga, SP, dan Suharso, saat bertemu menyatakan sikap bahwa koalisi tak perlu diperlebar. Kata Sekjen Nasdem Johnny G. Plate, empat ketum partai ini satu suara agar sebaiknya “koalisi yang ada diperkuat saja”. Pernyataan Sekretaris Bidang Pendidikan dan Pelatihan DPP PDIP Eva Kusuma Sundari semakin menegaskan kalau pertemuan empat ketum partai itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kecenderungan bergabungnya Gerindra. Eva bilang, pertemuan itu hanya reaksi dari keresahan partai koalisi atas hak prerogatif presiden dalam memilih kabinet. “Mereka sudah tahu risiko atau konsekuensi dari hak prerogatif presiden,” katanya. Selain menteri, kata Ujang, bergabungnya Gerindra juga menipiskan peluang pimpinan legislatif dipegang partai koalisi Jokowi. Gerindra terang-terangan mengincar kursi MPR. Nama Sekjen Gerindra Ahmad Muzani, dimunculkan sebagai kandidat. Muzani dimajukan karena dia dianggap diterima semua fraksi. “Empat partai tersebut sedang 'mengunci' Gerindra, sebab kursi Ketua MPR bisa saja diperebutkan dengan partai itu,” ujar Ujang. Dalam ayat (2) pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2018 atau UU MD3 disebutkan bahwa pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket. Artinya, Gerindra memang bisa mendapat kursi itu setelah disetujui koalisi. Sejauh ini Gerindra juga belum membuat pernyataan resmi soal posisinya di pemerintahan Jokowi. Anggota badan komunikasi Gerindra, Andre Rosiade, mengatakan semua akan diputuskan saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) September mendatang. “Arah koalisi Gerindra akan diambil pada September dalam Rakernas. Di situlah sikap resmi Gerindra akan diambil,” ujar Andre pertengahan Juli lalu. Namun, jika menyimak pertemuan Prabowo-Mega di Teuku Umar, tampaknya membawa “pesan khusus”. Setidaknya, selain ditujukan kepada empat parpol Koalisi Jokowi yang tidak dilibatkan dalam pertemuan Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Teuku Umar, pesan khusus ini juga ditujukan pada Jokowi. Jika menolak rekonsiliasi, maka posisi Jokowi bisa rawan. Bukan tidak mungkin, pertemuan Prabowo-Mega tersebut terjadi untuk antisipasi jika Jokowi dan parpol koalisinya menolak format rekonsiliasi yang diajukan oleh Prabowo. Taruhannya adalah Jokowi-Ma’ruf gagal dilantik sebagai Presiden-Wapres 2019-2024. Menang pada Pilpres 2019, tapi tak otomatis bisa dilantik. Karena, sesuai pasal 6 UUD 1945 mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi dan tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang di bawah 20 persen. Versi KPU, paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional, tapi menang di 26 provinsi, dan tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang 2 point versi UUD 1945, Jokowi menang hanya 1 poin. Solusinya: Pertama, MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo, bukan melantik Jokowi. Kalau melantik Jokowi ini sama saja dengan melanggar UUD 1945. Lagi pula kalau Jokowi dilantik, maka ada 26 provinsi yang kecewa. Buah simalakama bukan? Kedua, pemilihan ulang. Kalau pemilihan ulang rasanya tidak mungkin. Selain tak ada biaya, banyak rakyat tidak mau pilpres ulang karena mereka yakin bahwa pemenang pilpres adalah Prabowo-Sandi. Maka, tidak ada alternatif lain kecuali MPR harus melantik Prabowo-Sandi sebagai Presiden dan Wapres RI 2019-2024. Di sinilah Mega piawai dalam membaca strategi politik Prabowo sejak “dikalahkan” oleh KPU yang dikuatkan oleh MK dan MA. Sebaliknya, dengan format mengikuti hasil rekapitulasi KPU berdasar prosentase 55:54, telah membuat Koalisi Jokowi sedikit goyang. Apalagi, saat pertemuan Prabowo-Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus hingga Teuku Umar, tidak melibatkan mereka. Sebelumnya, Prabowo bersama Dewan Pembina disebut menyiapkan konsep terkait opsi soal ketahanan pangan dan ketahanan energi. Jika konsep itu diterima oleh pihak Presiden Jokowi, maka Gerindra bersedia masuk ke dalam koalisi parpol pendukung pemerintah. Apabila tidak disetujui, Gerindra akan tetap menjadi oposisi. “Tapi sebaiknya menurut saya Mas Bowo ngomong sendiri saja sama Pak Jokowi. Sehingga yang namanya dialog itu sangat diperlukan,” kata Megawati, seperti dilansir Kompas.com, Rabu (24/7/2019). “Semua keputusan nanti ada di presiden terpilih karena pada Beliaulah (Presiden Jokowi) hak prerogatif itu ada, bukan pada saya,” ucap Presiden kelima RI itu. Tentunya termasuk format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo? Mengikuti Surya Paloh Cs atau Megawati! ***

Budi Gunawan, Orang Kuat Baru Indonesia

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Indonesia punya orang kuat baru. Orang itu bernama Budi Gunawan. Saat Ini dia menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Fakta itu mencuat menyusul bertemunya Prabowo-Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus, dilanjutkan dengan kunjungannya ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati di Jalan Teuku Umar, Jakarta. BG—begitu dia dipanggil— hadir dalam dua pertemuan tersebut. Kehadiran BG yang cukup menonjol terlihat dalam jamuan makan siang di kediaman Megawati. Yang hadir sangat terbatas. Megawati ditemani dua orang anaknya Muhammad Prananda Prabowo dan Puan Maharani Mensekab Pramono Anung, plus BG. Hal itu menunjukkan posisinya yang spesial. Kehadiran BG sempat tak dikenali. Dia tampil klimis, tanpa kumis hitam rapih yang menjadi ciri khasnya. Sejumlah tokoh yang mengerti cerita dibalik keberhasilan “operasi rahasia” itu juga mengkonfirmasi penting dan krusialnya peran BG mewujudkan semuanya. “Beliau bekerja tanpa ada suara. Alhamdulillah apa yang dikerjakan hari ini tercapai," kata Pramono Anung seusai pertemuan MRT, Sabtu (13/7/2019). Sementara Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyatakan BG menjalankan semua peran itu atas penugasan Presiden Jokowi. Tak heran bila banyak kalangan yang memuji keberhasilan BG menjalankan “mission impossible” itu. Politisi PKS Aboe Bakar Al-Habsyi termasuk yang kagum. Agak sulit sebelumnya membayangkan Prabowo bersedia bertemu Jokowi, mengingat kontestasi politik yang sangat keras sepanjang pilpres lalu. Yang terjadi bukan hanya bertemu. Prabowo tampak ketawa-ketiwi, makan siang dalam suasana yang sangat hangat dan personal dengan Megawati. Lebih dari itu, dua kubu itu tampaknya sampai pada satu kesepakatan bakal bagi-bagi kekuasaan (power sharing). Sebuah praktik politik yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah dunia, di negara demokrasi. Dua capres yang berkontestasi. Terlibat perseteruan dahsyat. Sampai bersengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Ratusan korban tewas, baik dari para petugas penyelenggara pemilu dan pendukung, tetiba mereka kemudian sepakat memerintah bersama. Sebuah praktik demokrasi out of the box, bahkan di luar nalar pikiran kita semua. Beyond our imagination. Semua hil yang mustahal ini bisa terwujud berkat peran seorang aktor utama bernama BG. Fakta itu menunjukkan BG mempunyai otoritas, kekuatan jaringan, kemampuan, sumber daya, dan yang paling penting: Dipercaya. Baik oleh kubu Jokowi, khususnya Megawati maupun kubu Prabowo. Tangannya menjangkau jauh ke dalam partai politik, dan pengambil keputusan di dua kubu yang berseteru. Dua kekuatan yang dalam setahun terakhir saling bertentangan secara diametral. Dua kubu yang membelah Indonesia menjadi cebong dan kampret. Dengan perannya itu, kita tidak perlu kaget bila dalam beberapa tahun ke depan BG akan memegang posisi penting dan memainkan peran yang lebih besar dalam pemerintahan Jokowi. Dia akan menggantikan peran-peran tokoh yang selama ini mendominasi pentas politik nasional seperti Luhut Panjaitan. Menjadi orang kepercayaan dan tangan kanan Jokowi. Perannya bahkan akan lebih kuat, mengingat kedekatannya dengan Megawati. Melalui PDIP Megawati adalah pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi. Tidak Terduga Barangkali banyak yang tidak menduga, BG akan mencapai posisi sentral seperti sekarang. Karirnya nyaris habis ketika dia ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal masa jabatan Jokowi (2015). Saat itu Jokowi sudah menominasikannya sebagai Kapolri dan DPR menyetujuinya. Jokowi ternyata menolak melantik BG ketika dia berhasil memenangkan gugatan pra-peradilan atas KPK. Dia kemudian harus “menyingkir” menjadi Kepala BIN. Jabatan sebagai Kapolri akhirnya diberikan kepada juniornya Tito Karnavian. Dengan peran baru sebagai Kepala BIN, BG lebih banyak bekerja di balik layar. Justru dengan posisinya itu dia bisa lebih banyak melakukan kerja-kerja politik, lepas dari sorotan publik. Sebuah peran yang tak mungkin dia jalankan bila menduduki posisi Kapolri. Hubungannya yang sangat dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati, membuat BG punya akses dan peran istimewa di dunia politik. Bagaimanapun PDIP adalah partai terbesar. Partai pemenang pemilu. Jokowi, seorang kadernya, seorang petugas partai menjadi presiden. Jadi Megawati menjadi semacam Godmother. Pemegang kekuasaan sesungguhnya secara informal dan secara organisasi berada di atas Jokowi. Sebagai mantan ajudan ketika Megawati menjadi presiden, kini peran BG berubah menjadi seorang “partner.” Peran yang melengkapi dan mengisi kekosongan yang dulu diperankan oleh suami Megawati, almarhum Taufik Kiemas (TK). Semasa Kakak TK —begitu dia biasa dipanggl kalangan dekatnya—masih hidup, dia menjadi semacam jembatan politik bagi Megawati. Dia bisa mempertemukan berbagai kekuatan yang berseberangan, duduk dalam satu meja. Termasuk tokoh-tokoh Islam yang sering berposisi diametral dengan PDIP dan Megawati. Latar belakang kakak TK sebagai anak tokoh Masjumi di Palembang, membuatnya tidak kesulitan menembus sekat-sekat itu. Megawati tampaknya sudah menemukan partner baru. Partner menjalankan peran yang dimainkan TK di masa lalu. Dilihat dari usia BG (60 th), jauh lebih muda dibanding Megawati (72 th), dia bukan hanya berperan sebagai partner, tapi juga bisa menjadi salah satu kader penerus kekuasaannya. Kemunculan BG di publik dan momen-momen politik penting, bisa dilihat sebagai tahap awal pengenalannya (brand awareness) kepada publik pemilih Indonesia. Jika BG dipersiapkan sebagai the next leader, dia tidak boleh terus berada di dunia remang-remang. Dunia intelijen di balik layar. Dia harus lebih sering tampil di muka publik. Dalam marketing politik dikenal rumus baku : Popularitas, disukai (likeness) dan elektabilitas. Kalau mau terpilih haruslah populer terlebih dahulu, dan kemudian disukai publik. Peta dunia persilatan politik Indonesia bakal tambah seru dan menarik. Kita sudah bisa membayangkan serunya persaingan Pilpres 2024 sejak dari sekarang. Selamat datang Pak BG. Semoga beruntung. end

Beda Makan Siang Anies-Surya Paloh dengan Makan Siang Prabowo-Megawati

Oleh Hersubeno Arief (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rabu (24/7) ada dua peristiwa politik penting yang menyedot perhatian publik. Pertama, pertemuan antara Ketua Umum Partai Gerindra dengan Ketua Umum PDIP Megawati. Kedua, pertemuan antara Gubernur DKI Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Lokasinya berjarak tidak terlalu jauh. Jika ditarik garis lurus, barangkali tidak mencampai satu kilometer. Masih dalam jangkauan jarak bidik. Hanya sepelemparan batu. Yang satu dihelat di Jalan Teuku Umar, kediaman Megawati. Satunya lagi dihelat di kantor Nasdem di Jalan Gondangdia. Dua-duanya berada di kawasan Menteng. Kawasan paling elit di Jakarta. Ada persamaan dan perbedaan diantara kedua pertemuan itu. Persamaan yang paling kasat mata, kedua pertemuan dilakukan sambil makan siang. Karena acara makan siang itu dilakukan oleh para politisi papan atas, tak salah bila kemudian publik dan media menafsirkan secara politis pula. Sudah menjadi pemahaman umum, ada adagium yang sangat populer “tidak ada makan siang yang gratis.” Apalagi dalam politik. Jadi mau dibantah. Dijelaskan panjang lebar sampai berbusa-busa, sulit untuk menyebut hal itu hanya silaturahmi biasa. Apalagi hanya sekedar menyebutnya silaturahmi para tokoh bangsa yang kebetulan sudah bersaahabat lama. Konfigurasi baru peta politik Dilihat dari dampaknya secara politik, harus diakui pertemuan antara Anies dengan Surya lebih mengejutkan ketimbang pertemuan Prabowo dengan Megawati. Pertemuan Prabowo dengan Megawati, kendati mendapat liputan media dalam skala besar, namun tone-nya landai. Maklumlah pertemuan itu dihelat setelah Prabowo bertemu dengan Jokowi di stasiun MRT Lebak Bulus. Publik sudah tidak lagi terlalu kaget dan mahfum, Prabowo dan Gerindra hampir pasti merapat ke istana. Hanya saja kali ini langkahnya semakin dekat. Dia bertemu Megawati sebagai pemilik saham dan aset terbesar dalam partai koalisi pendukung Jokowi. Ini semacam fatsoen politik dan adanya sebuah kepastian: Prabowo diundang dan diterima dengan tangan terbuka! Situasinya jelas sangat berbeda dengan pertemuan Anies-Surya Paloh. Boleh dibilang ini adalah sebuah kejutan besar! Pasca pertemuan di stasiun MRT, massa pendukung 02 sangat kecewa dan bersiap move on. Mereka sedang mencari-cari figur baru penantang Jokowi. Anies termasuk dalam daftar teratas yang dielus-elus sebagai jago baru. Kendati pernah menjadi tim sukses dan kemudian menjadi anggota kabinet Jokowi, dalam polarisasi politik Indonesia, dia diposisikan berseberangan dengan Jokowi. Makanya ketika Anies bertemu Surya Paloh, publik dan media menangkap ada sesuatu yang tengah terjadi. Sesuatu yang akan membuat perubahan kostelasi politik sangat besar. Media kemudian beramai-ramai membuat judul : Surya Paloh Siap Usung Anies Baswedan pada Pilpres 2024. Situs MetroTVnews.com milik Surya Paloh termasuk yang mengunggah judul itu. Jelas ini berita besar. Layak masuk kategori Breaking News! Kabinet baru belum terbentuk, kok tetiba Surya Paloh sudah mengumumkan gacoan baru! Publik menangkap ini semacam sinyal perlawanan dari Surya Paloh. Dia tak sepakat atas rencana Jokowi dan Megawati menggandeng masuk Prabowo ke kabinet. Dua hari sebelumnya Surya Paloh juga bertemu dengan para Ketua umum partai pendukung Jokowi tanpa dihadiri wakil PDIP. CLBK (Cinta lama bersemi kembali) antara Prabowo dengan Megawati, membuat Surya Paloh Dkk patah hati. Ada yang berkhianat, mendua hati. Pesta pernikahan berupa pengumuman kabinet belum dihelat, kok sudah ada yang main mata dengan gacoan lama. Karena itu signal politik yang tegas dan keras harus disampaikan. Anies merupakan medium yang paling pas dan tepat untuk menyampaikan pesan itu. Kalau sampai Jokowi dan Megawati meneruskan langkahnya, maka mereka akan berhadapan dengan Surya Paloh Dkk. Belakangan Nasdem secara resmi membantah ada pernyataan itu. Menurut mereka media salah menafsirkan statemen Surya Paloh. Media kemudian ramai-ramai meralat beritanya. Ada “kesalahan” berjamaah, termasuk media milik Surya Paloh. Bila kita cermati rekaman pernyataan Surya Paloh, benar tidak ada kata secara eksplisit dia akan mengusung Anies Baswedan. Namun momentum pertemuan, dan statemen-statemen yang disampaikan, secara implisit mengisyaratkan Surya Paloh sedang “mempertimbangkan” dan menilai Anies layak didukung sebagai capres pada 2024. Media dan publik tidak sepenuhnya salah. Dalam politik, kita tidak boleh hanya memahami apa yang tersurat, tapi juga yang tersirat. Simbol, gestur tubuh, momentum, pilihan lokasi, siapa bertemu siapa, siapa bicara apa, haruslah turut diperhatikan. Ada panggung depan dan panggung belakang. Sekali lagi pertemuan Anies dan Surya Paloh tidak boleh hanya dipahami sebagai pertemuan biasa. Juga bukan sekedar pertemuan sahabat lama, pertemuan antara seorang kakak dan adik seperti dikatakan Surya Paloh. Penjelasan bahwa Anies merupakan salah satu deklarator Ormas Nasdem, makin menguatkan dugaan: sedang terjadi perubahan konfigurasi besar dalam formasi politik Indonesia saat ini. Kita tidak bisa lagi menggunakan kacamata lama dalam bingkai dua kubu besar, kubu paslon 01 dan palson 02. Formasinya mulai mencair dan bisa membentuk beberapa konfigurasi baru. Bila meminjam analogi dunia silat, manuver Surya Paloh bertemu Anies bisa dilihat sebagai jurus kembangan. Seorang pesilat biasanya menggunakan jurus ini untuk menjajaki dan memancing lawan, sebelum melakukan serangan telak dengan jurus inti yang mematikan. Semuanya sangat bergantung pada reaksi Jokowi dan terutama Megawati. Memilih kembali ke Cinta Lama yang Belum Kelar (CLBK) dengan Prabowo, tetap bersama koalisi partai pendukung Jokowi, atau mengambil jalan tengah, poligami politik. End

Megawati Mau Pisahkan Prabowo dari Umat Islam, Tendang LBP, Cegah SBY

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pada hari Rabu (24 Juli 2019), berlangsung pertemuan Prabowo dan Megawati di kediaman mantan presiden kelima itu, di Jalan Teuku Umar. Semula diberitakan pertemuan ini akan dihadiri oleh Jokowi. Tetapi, akhirnya, hanya berlangsung antara Prabowo dan Bu Mega. Menyusul pertemuan Stasiun Lebak Bulus antara Jokowo dan Prabowo (13 Juli 2019), pertemuan Teuku Umar semakin memperjelas arah yang ingin ditempuh para penguasa politik. Semakin jelas apa yang hendak mereka lakukan. Mereka sedang berusaha merangkul Prabowo dan Gerindra. Lalu, apa tujuan mereka merangkul? Banyak yang bisa dibaca dari pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar. Tujuan pertama dan utama adalah upaya untuk memisahkan Prabowo dari umat Islam. Tujuan ini tidak samar-samar. Sangat gamblang. Bisa dilihat dari sejumlah isyarat yang ditunjukkan secara terbuka oleh para politisi yang terlibat di dalam proses rekonsiliasi antara Kubu 01 dan Kubu 02. Prabowo, tampaknya, dianggap sudah terlalu jauh berfusi (menyatu) dengan umat Islam (i.e. umat garis lurus). Para politisi sekuler-nasionalis anti-Islam di semua kekuatan politik melihat kedekatan Prabowo dan umat serta para ulama bisa membentuk kekuatan besar yang akan menggusur mereka. Kentalnya fusi Prabowo dan umat terbukti dalam kampanye pilpres 2019. Kampanye Prabowo-Sandi yang selalu gegap-gempita di mana-mana. Kemudian, silaturahmi keliling Indonesia yang dilakukan Sandiaga Uno selama enam (6) bulan sebelum kampanye, juga meledak di mana-mana. Fakta-fakta inilah yang membuat proyeksi kemenangan Prabowo-Sandi menjadi sangat diyakini akan terjadi. Tapi, akhirnya, proyeksi kemenangan itu kandas di tangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kemenangan Prabowo akan menjadi simbol kemenangan umat Islam. Pantas diduga proyeksi kemenangan itu membuat para penguasa politik dan para penguasa institusi yang sama-sama anti-Islam, menjadi resah. Karena itu, tidaklah mengherankan kalau terasa ada yang “tak wajar” dalam proses yang berlangsung di KPU dan tahap-tahap berikutnya di luar KPU. Para pendukung Prabowo yakin ada kekuatan yang merancang proses di lembaga penyelenggara pemilu ini. Kepala BIN Budi Gunawan (BG) pasti punya banyak informasi tentang dukungan kuat umat garis lurus kepada Prabowo. Pak BG juga pasti tahu tentang fakta-fakta pilpres 2019. Tak mungkin tidak, beliau juga memiliki detail perolehan suara Jokowi dan Prabowo. Pengetahuan Pak BG tentang perolehan suara itulah yang membuat dia berinisiatif merangkul Prabowo setelah muncul reaksi keras pendukung 01 terhadap keputusan KPU. Membiarkan Prabowo kesal dan rundung dalam kekalahannya diperkirakan akan semakin memperkuat aliansi dia dengan umat Islam dan para ulama. Kekuatan yang “dikalahkan” ini dikhawatirkan akan bergejolak terus seperti perut gunung berapi. Karena itu, mencabut Prabowo dari pusaran gejolak itu menjadi prioritas. Mereka perkirakan, mencabut Prabowo dari umat akan melemahkan perlawanan. Dan ternyata taktik memisahkan Prabowo dari gerbongnya, sejauh ini, cukup ampuh. Umat Islam pendukung Prabowo terbelah-belah akibat ucapan selamat dari Prabowo untuk Jokowi di Lebak Bulus. Terpecah menjadi tiga. Pertama, kelompok yang setuju dengan langkah Prabowo menerima rekonsiliasi bahkan berkoalisi dengan Jokowi. Kedua, kalangan yang menentang keras rekonsiliasi/koalisi. Ketiga, mereka yang diam saja. Mayoritas adalah kelompok kedua, yaitu mereka yang menentang keras. Tetapi, suara mayoritas itu menjadi tidak efektif dan malahan para pentolannya dijadikan target kriminalisasi. Prabowo terus “dihibur” dengan skenario yang menyenangkan. Setelah Lebak Bulus, hiburan itu dilanjutkan dengan makan nasi goreng di rumah Mega. Pertemuan ini akan menumbuhkan keyakinan di dalam diri Prabowo bahwa dia sedang “dihargai”. Sedang “dihargai” ini bisa juga punya arti yang tersirat. Salah satu kemungkinan maknanya adalah “diberi harga”. Kedua arti itu seharusnya paralel. Sulit dibantah. Menafikan ini akan sama dengan menolak dalil absolut bahwa setiap makhluk hidup pasti perlu makan ketika ia lapar. Sekali lagi, itulah tujuan pertama dan utama pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar. Yaitu, mencabut Prabowo dari pendukungnya yang mayoritas umat Islam (garis lurus). Tujuan pertama ini tampak dari gelagat yang terjadi. Yang mengumumkan pertemuan Prabowo-Megawati adalah FX Arief Poyuono. Dia adalah salah seorang dari faksi alergi-Islam di tubuh Gerindra. Faksi inilah yang sekarang banyak berperan sebagai ‘jurubicara’ Prabowo. Faksi alergi-Islam di Gerindra menjadi dominan menjelang Lebak Bulus. Saat ini, faksi Poyu harus diakui paling kuat pengaruhnya terhadap Prabowo. Cuma, untuk meredam kecurigaan umat, Poyuono tidak diikutkan di Teuku Umar. Sebagai tambahan, catatan sejarah menunjukkan FX Arief Poyuono pernah menjadi kader PDIP. Besar kemungkinan ‘darah PDIP’ yang mengalir di tubuh Poyu membuat dia lebih lincah berkomunikasi dengan Kubu 01. Dan juga dengan pimpinan PDIP. Benarkah ada gejala anti-Islam di Gerindra? Kecenderungan itu tidak sulit untuk diidentifikasikan. Antara lain dapat terbaca dari hubungan yang mulai renggang dan semakin melebar jaraknya antara Prabowo (plus faksi Poyu) di satu pihak dengan para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 di pihak lain. Pertemuan Lebak Bulus dan Teuku Umar hampir pasti berlangsung tanpa komunikasi dengan para ulama yang selama ini menyertai Prabowo. Tujuan kedua. Mencabut Prabowo dari umat Islam sekaligus mengirimkan sinyal kepada umat garis lurus bahwa mereka sedang dialianisasikan. Proses pengucilan sudah dimulai. Mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi. Diperkirakan, akan banyak kebijakan dan tindakan langsung Presiden yang ditujukan untuk melemahkan umat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Selanjutnya tujuan ketiga. Merangkul Prabowo ke Kubu 01 sekaligus memberikan isyarat ‘tendang out’ untuk Luhu Binsar Pandjaitan (LBP). Sejak Lebak Bulus, LBP paham bahwa dia akan dibuang dari lingkaran Jokowi. Sebetulnya, Mega sudah lama ingin mendepak LBP. Namun, selalu tak punya alasan kuat untuk disampaikan kepada Jokowi. Tidak mudah menyingkirkan LBP. Sekaranglah saat yang tepat. Mega bisa meyakinkan Jokowi bahwa LBP lebih banyak menjadi masalah ketimbang solusi. Tujuan keempat. Dengan merangkul Prabowo, Megawati menunjukkan bahasa tubuh kepada SBY dan Partai Demokrat bahwa mereka sebenarnya tidak disukai masuk ke lingkaran Jokowi. Sejak Lebak Bulus, dan sekarang pertemuan Teuku Umar, SBY dan orang-orang Demokrat paham betul bahwa mereka tidak akan diberi ruang untuk bermanuver. Mega pastilah melihat jauh ke pilpres 2024. Kalau dia berhasil merangkul Prabowo dan Gerindra (sebagai partai nomor dua di DPR), itu berarti rencana yang sedang disiapkan Mega untuk pilpres lima tahu lagi kemungkinan besar akan sukses. Tujuan kelima. Megawati merangkul Prabowo untuk mengatakan kepada partai-partai lain di Kubu 01 bahwa bukan mereka yang mengatur Jokowi. Bukan mereka yang menentukan kabinet baru Jokowi. Bu Mega ingin menegaskan bahwa beliau dan BG-lah yang sekarang menjadi episentrum kekuasaan Jokowi periode kedua. Mega mengirimkan isyarat bahwa partai-partai koalisi Jokowi harus menerima kalau Prabowo dan Gerindra ikut masuk kabinet. Begitulah lebih kurang kemungkinan tujuan Megawati dan Jokowi merangkul Prabowo. Tetapi, harus ada disclaimer bahwa bisa saja Prabowo akan mengalami pengelabuan seperti yang pernah dialaminya lewat Perjanjian Batu Tulis 2009. Waktu itu, Megawati mangkir janji untuk mendukung Prabowo di pilpres 2014. (25 Juli 2019)