POLITIK

Buzzer Menggonggong, Kakak Pembina Berlalu

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Eksistensi buzzer pemerintah tengah digugat. Inilah untuk pertamakalinya keberadaan para penggonggong dipersoalkan secara serius oleh publik dan media. Termasuk sejumlah media yang selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintah. Selama ini para penggonggong hidup bebas merdeka. Mereka bebas menebar kabar bohong, fitnah, dan membully oposisi dan kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Ada yang bersembunyi di ruang gelap digital, menggunakan akun palsu. Namun banyak pula yang tampil secara terbuka. Jangan pernah coba-coba mempersoalkan dan bersikap kritis terhadap pemerintah, apalagi Presiden Jokowi. Tak ada ampun, mereka akan menggonggong, menyalak, mengejar dan membully Anda sampai habis. Mereka tak pernah bisa dijamah. Tidak tersentuh hukum. Percuma saja melaporkan mereka. Dijamin kasusnya tidak akan berlanjut. Dengan posisinya sebagai pendukung rezim penguasa, mereka masuk dalam kelompok manusia istimewa. The Untouchable. Saat ini situasinya mulai sedikit berubah. Majalah Tempo mulai mempersoalkan keberadaan mereka yang dinilai bisa membahayakan demokrasi. Majalah ini juga secara tegas menuding mereka adalah pendukung Jokowi. Tugas mereka menyebarkan kabar bohong mempengaruhi opini publik dan sikap publik. Tujuan jangka pendeknya mengamankan kebijakan pemerintah. Laman tirto.id malah melangkah lebih jauh. Dengan memanfaatkan momentum keterlibatan unjukrasa pelajar STM, mereka menguak hubungan antara para buzzer dan aparat kepolisian. Para buzzer ini mencoba mengamplifikasi operasi pembusukan terhadap anak-anak STM sebagai unjukrasa bayaran. Namun melalui penelusuran reporter tirto.id, mereka mendapatkan fakta berbeda. Diduga sejumlah nomor yang terdapat dalam tangkapan layar (screenshoot) yang disebut-sebut sebagai group percakapan WhatsApp (WAG) anak STM, milik oknum polisi. Sudah tentu dugaan itu dibantah oleh Mabes Polri. Polisi malah mengaku sudah menangkap sejumlah orang yang disebut sebagai admin WAG tersebut. Mengetahui operasi manipulatifnya terbongkar, beberapa orang buzzer segera menghapus cuitannya. Namun jejak digital mereka sudah telanjur terekam. Bukan hanya kali ini tirto.id membongkar perilaku lancung para buzzer pendukung pemerintah. Pada aksi #GejayanMemanggil yang mendorong akasi mahasiswa besar-besaran di Indonesia, tirto.id malah menunjukkan sikap tegas. tirto.id menampilkan editorial “Kami Bersama #GejayanMemanggil.” Sikap itu mereka ambil sebagai reaksi dari aksi para buzzer membusukkan aksi #GejayanMemanggil . Para buzzer menyebut aksi ini ditungganggi oleh kelompok Islam radikal dan pengusung khilafah. Tekanan publik dan media terhadap para penggonggong ini kian keras. Dalam pekan ini beredar hasil penelitian perilaku buzzer hasil riset dua orang peneliti dari Universitas Oxford, Inggris. Judulnya : The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation. Ditulis oleh Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Hasil penelitian di 70 negara termasuk Indonesia itu, menemukan bukti pemerintah menggunakan buzzer untuk menekan kelompok oposisi dan memecah belah rakyat. Sudah Berlangsung Lama Kecurigaan bahwa para buzzer punya hubungan langsung dengan pusat kekuasaan, sesungguhnya sudah berlangsung lama. Keberadaan mereka yang tak tersentuh hukum, menunjukkan mereka sengaja dipelihara dan dilindungi. Rocky Gerung secara tidak langsung menyebut istana adalah pusat penyebaran hoax. Melalui akun @rockygerung dia menyebut pusat hoax nasional ada di Monas. Presiden Jokowi diketahui setidaknya pernah dua kali mengundang sejumlah orang yang disebut sebagai pegiat medsos ke istana. Pada 22 Juni 2017 dan kemudian sebulan kemudian pada tanggal 24 Agustus 2017. Pertemuan pada bulan Agustus berlangsung tertutup. Saat itu mereka hanya disebut sebagai pegiat medsos. Namun dilihat dari nama-nama yang hadir, mayoritas adalah pendukung Jokowi. Konfirmasi adanya hubungan istana dengan para buzzer ini pertamakali dibocorkan oleh situs seword.com yang dikenal sebagai pembela garis keras Jokowi. Melalui akun fanpage Facebook (2/5/2019) Seword membocorkan pertemuan puluhan orang buzzer dengan seseorang yang disebut sebagai “Kakak Pembina.” Seorang figur pengarah gerak para buzzer pendukung Jokowi. Seword menampilkan sejumlah orang yang tengah duduk disertai keterangan foto. Nama-nama yang disebut adalah: Yusuf Muhammad, Denny Siregar, Katakita, Abu Janda, Aldi El Kaezzar, Pepih Nugraha, Info Seputar Presiden, Redaksi Indonesia, Eko Kuntadhi, Komik Kita, Komik Pinggiran, Habib Think, Salman Faris, dan Sewordcom. "Tim ini memang tak terlihat. Selain Kakak Pembina dan Presiden, tak ada yang benar-benar tahu komposisi tim ini. Seperti halnya Avengers, setiap orang saling menjaga, menahan diri untuk tidak mengambil gambar. Tapi saya pikir momen ini sayang untuk tidak dibagikan dan diceritakan," demikian tulis Seword Siapa “Kakak Pembina” ini? Masih menjadi spekulasi media dan medsos. Kepala Staf Presiden Moeldoko membantah dirinya adalah “Kakak Pembina.” Moeldoko mengakui para buzzer ini adalah pendukung Jokowi. Namun keberadaan mereka saat ini mulai dirasakan mengganggu dan merugikan Jokowi. "Ya kita melihat dari emosi yang terbangun, emosi yang terbangun dari kondisi yang tercipta itu merugikan. Jadi ya yang perlu dibangun emosi positif lah," kata Moeldoko di Jakarta, Jumat (4/9). Bagi Jokowi, keberadaan buzzer ini seperti buah simalakama. Mereka sangat dibutuhkan, terutama menjelang dan selama pilpres, termasuk menjaga berbagai kebijakannya dari para pengeritik. Disisi lain keberadaan buzzer mulai sangat mengganggu, termasuk bagi kalangan pendukung Jokowi sendiri. Perilaku mereka tak terkendali. Seperti anjing penjaga, mereka akan menggonggong, menyalak, mengejar, dan meneror siapapun yang dianggap mengganggu tuannya. Gonggongan dan salakan mereka yang sangat keras, bukan hanya mengganggu orang lain, tapi juga sudah mulai mengganggu tuan mereka sendiri. Ada baiknya mumpung RUU KUHP ditunda pengesahannya, pemerintah dan DPR belajar dari Dewan Kota Saddle River. Dewan kota di wilayah Bergen, Negara Bagian New Jersey, AS itu baru saja meloloskan sebuah peraturan. Seorang pemilik akan dihukum bila gonggongan anjingnya menganggu tetangga. Hukumannya bisa didenda atau dihukum penjara. Melalui peraturan tersebut seekor anjing peliharaan dilarang menggonggong lebih dari 20 menit antara pukul 07.00 pagi hingga 22.00 malam. Atau lebih dari 15 menit antara pukul 22.00 malam hingga 07.00 pagi. Dalam KUHP yang baru akan sangat menarik dimasukkan pasal semacam itu. Seorang buzzer yang menggonggong secara berlebihan, tanpa mengenal waktu dan sangat mengganggu, maka si Kakak Pembina bisa didenda atau dihukum penjara. Dengan UU semacam itu diharapkan ada aturan dan tanggung jawab atas perilaku buzzer. Jangan sampai terjadi : BUZZER MENGGONGGONG, KAKAK PEMBINA BERLALU. End

Rekam Jejak Pimpinan Legislatif, Diduga Terlibat Korupsi-2

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sementara itu, mengutip CNNIndonesia.com, Jumat (23/03/2018 19:17 WIB), kuasa hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, menantang KPK untuk membuktikan keterlibatan Puan dan Pramono dalam kasus korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun itu. Menurutnya, KPK memiliki penyidik dan penuntut umum untuk mencari bukti-bukti lainnya atas kesaksian Sernov. “Sekarang tugas KPK yang buktikan (keterlibatan Puan Maharani dan Pramono Anung), kan mereka ada penyidik dan penuntut umum,” katanya. Maqdir menyebut, kliennya sudah menyerahkan daftar nama para pihak yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi e-KTP kepada penyidik KPK maupun majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. Bagaimana dengan Muhaimin Iskandar? Nama Ketum DPP PKB yang akrab dipanggil Imin ini muncul dalam persidangan kasus “kardus durian” yang diduga melibatkan Imin saat dia menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Seperti dilansir Tempo.co, Senin (6 Februari 2012 13:18 WIB), Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua, Dharnawati, mengatakan fee sebesar Rp 1,5 miliar yang disetornya rencananya akan diberikan untuk Menakertrans Muhaimin Iskandar. “Katanya sih untuk Pak Menteri. Tapi apakah sampai untuk Menteri, saya enggak tahu,” kata Dharna saat bersaksi untuk terdakwa kasus suap Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID), Dadong Irbarelawan, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, (6/2/2012). Menurut Dharna, pada 24 Agustus 2011, ia dihubungi oleh Sekretaris Jenderal Direktorat Pengembangan dan Pembinaan Masyarakat Kawasan Transmigrasi (P2MKT) I Nyoman Suisnaya. Nyoman, yang sedang sibuk rapat, memintanya untuk berkomunikasi dengan Dadong selaku Kepala Bagian Evaluasi Program P2MKT soal commitment fee DPPID. Setelah itu, Dharna pun menyambangi Dadong di kantor Kemenakertrans Kalibata, Jakarta Selatan. Saat itulah Dadong mengatakan kepadanya soal rencana pinjaman untuk keperluan Lebaran Muhaimin. Dharna mengaku sempat bingung saat itu karena semula mengira uang Rp 1,5 miliar statusnya adalah commitment fee, bukan pinjaman untuk Menteri. Ia pun kemudian menghubungi Dhani Nawawi, bekas Staf Khusus Presiden Abdurrahman Wahid, yang ia tahu kenal dekat dengan Muhaimin. Ia meminta Dhani untuk menanyakan langsung penjelasan Dadong ke Muhaimin. Dharna diciduk petugas KPK pada 25 Agustus 2011 setelah mengantarkan duit Rp 1,5 miliar yang dibungkus kardus durian. Pada hari yang sama, KPK juga menangkap tangan Nyoman dan Dadong beserta kardus durian di kantor Kemenakertrans. Duit itu adalah bentuk ucapan terima kasih PT Alam Jaya karena terpilih sebagai kontraktor DPPID di 4 kabupaten Papua, yakni Keerom, Teluk Wondama, Manokwari, dan Mimika. senilai Rp 73 miliar. Seperti halnya Imin, nama Azis Syamsudin sempat muncul dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta terkait korupsi lainnya. Selain namanya disebut dalam kasus simulator SIM, Azis juga sempat diperiksa KPK terkait suap Dana Perimbangan. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (28/08/2018, 22:45 WIB), Ketua Badan Anggaran DPR Azis Syamsuddin dari Golkar dipanggil KPK untuk dimintai keterangan dalam penyidikan kasus suap usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN Perubahan TA 2018. Usai diperiksa KPK, Aziz menuturkan, ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Amin Santono. Aziz keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 20.24 WIB. Kepada wartawan, ia menerangkan bahwa APBN-P 2018 tidak pernah diusulkan Pemerintah. Oleh sebab itu, kata Aziz, Banggar tak tahu menahu soal dana perimbangan keuangan daerah, terlebih korupsi di dalamnya. “APBN-P 2018 tidak pernah diusulkan Pemerintah, sehingga tidak pernah dibahas di badan anggaran,” ungkap Azis usai diperiksa KPK. Saat ditanya apakah ada pembagian fee atas pembahasan APBN-P 2018, Aziz enggan memberikan penjelasan. “Silakan tanya kepada penyidik ya,” kata mantan Ketua Banggar DPR ini. Selain Aziz, untuk kasus yang sama, KPK menjadwalkan pemeriksaan anggota DPR Komisi XI dari fraksi PAN I Gusti Agung Rai Wirajaya. Bagaimana dengan Rachmat Gobel? KPK memastikan, tidak tertutup kemungkinan untuk menyeret mantan Menteri Perdagangan ini dalam kasus suap rekomendasi penambahan kuota distribusi gula impor milik Bulog ke Sumatera Barat. Kasus kuota distribusi gula impor itumenyeret mantan Ketua DPD RI Irman Gusman yang saat itu masih sebagai tersangka. Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, pihaknya sedang mempelajari peran Rachmat Gobel. Menurut Saut, penyidik KPK tidak perlu dituntun dalam menelusuri pihak-pihak lain untuk dimintai keterangannya. Meski demikian, untuk saat ini, sambung Saut, pihaknya belum mengagendakan pemeriksaan Rachmat Gobel sebagai saksi tersangka Irman Gusman. Jika penyidik merasa perlu meminta keterangan Rachmat Gobel, KPK akan melakukan pemanggilan. Sebelumnya, saat diperiksa KPK untuk kedua kalinya, Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) Djarot Kusumayakti menyatakan, Bulog hanya mengikuti perintah Mendag yang saat itu dijabat Rachmat Gobel. Perintah itu untuk mendistribusikan stok gula yang ada ke semua wilayah yang mengalami harga ekstrem. “Sesuai perintah dari Mendag, stok gula yang ada agar didistribusikan ke semua wilayah yang mengalami harga ekstrem,” ujarnya. “Sehingga saya ingin simpulkan, satu, tak ada kuota. Dua, kita akan kirim ke semua wilayah yang ada kenaikan ektremnya. Salah satunya Padang,” ungkap Djarot usai diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Memi, istri Dirut CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Susanto di gedung KPK, Rabu (12/10/2016). Jika penyidik merasa perlu meminta keterangan Rachmat Gobel, KPK akan melakukan pemanggilan. “Masih dipelajari sejauh mana perannya. (Pemanggilan sebagai saksi), kita belum sampai ke situ,” lanjut Saut. Menurut Saut, “Tapi penyidik biasanya paham untuk pendalaman pihak mana yang dimintai keterangannya,” tuturnya saat dihubungi wartawan, seperdi dilansir berbagai media, Jumat malam (14/10/2016). Secara terpisah, Pelaksana Harian (Plh) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati menilai, kasus Irman bisa menjadi pintu masuk untuk menguak dugaan adanya permainan dalam kuota impor di Kementerian Perdagangan (Kemendag). “Dimungkinkan pengembangan ke arah sana nanti,” ujar Yuyuk. Jika dibutuhkan, penyidik KPK bakal meminta data-data yang dibutuhkan dari Kemendag. “Kalau data-data itu dibutuhkan, penyidik bisa diminta. Penyidik punya beberapa sumber data juga untuk memperkuat pengusutan kasus,” lanjut Yuyuk. Sandera Politik Meski Ketua MPR dan Pimpinan DPR tersebut hanya sebatas dimintai keterangan sebagai saksi – bahkan nama Puan Maharani hanya disebut tanpa dimintai keterangan – pengalaman KPK selama ini, mereka berpeluang menjadi tersangka juga akhirnya. Diseretnya Setya Novanto adalah salah satu contoh bagaimana KPK yang sebelumnya hanya dijadikan saksi atas tersangka dan terdakwa lainnya, akhirnya KPK menetapkan Setnov juga sebagai tersangka/terdakwa hingga divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta. Contoh teranyar adalah mantan Menpora Imam Nahrawi. Tanda-tanda Imam bakal menjadi tersangka seusai Sesmenpora Gatot Dewa Broto diperiksa dalam penyelidikan KPK, Jum’at (26/7/2019). Saat itu Gatot mengaku diperiksa KPK terkait pengelolaan anggaran di Kemenpora. “KPK ingin tahu tentang pola pengelolaan anggaran dan program sepanjang tahun 2014 sampai dengan 2018. Kenapa harus saya? Karena saya sebagai Sesmenpora,” kata Gatot. Alhasil, ungkap KPK, Imam menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 26,5 miliar sepanjang pada 2014 hingga 2018. Isyarat penetapan tersangka kepada Imam sudah mulai tercium sejak KPK tiba-tiba menahan asisten pribadinya, Miftahul Ulum, Rabu (11/9/2019). Saat itu, penetapan tersangka pada Ulum belum diumumkan oleh KPK. Baru sepekan setelah menahan Ulum, KPK pun akhirnya mengumumkan Ulum dan Imam sebagai tersangka. Semula Imam hanya dijadikan sebagai saksi atas tersangka/terdakwa lainnya. Akankah nasib serupa juga bakal menimpa Ketua MPR dan Pimpinan DPR yang belum lama dilantik? Yang jelas, mereka kini telah menjadi “sandera politik” untuk mencapai tujuan yang kita semua tidak tahu ending-nya bagaimana nanti. Meski di luaran masih terjadi kontroversi terkait Revisi UU KPK, nasib mereka masih tetap di tangan KPK dan Presiden yang bakal dilantik, 20 Oktober 2019. (Selesai) ***

Rekam Jejak Pimpinan Legislatif, Diduga Terlibat Korupsi-1

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Demokrasi reformasi telah melahirkan pucuk pemimpin negara seperti Joko Widodo dari PDIP dengan para pembela militannya, Luhut Binsar Panjaitan, Wiranto, Hendropriyono, para jenderal Orde Baru dari Golkar dan derivasinya. “Termasuk, para relawannya seperti Pemuda Pancasila dan FKPPI yang menjadi kekuatan sipil Orba,” tulis Advokat Subagyo. Juga pucuk pimpinan seperti Bambang Soesatyo dari Golkar dan La Nyalla Matalitti dari PP yang pindah-pidah partai. “Serta Puan Maharani dari PDIP. Jadi, boleh dikata ini adalah rezim persekutuan Reformasi dan Orba. Tapi warna Orba lebih dominan. Andai Widji Thukul dan Marsinah kembali hidup, mereka akan memimpin kaum tua tak berdaya seperti saya untuk melawan!” Ungkapan Advokat Senior dari Surabaya itu setidaknya bisa dianggap “mewakili” uneg-uneg rakyat kecil yang merasa tak puas dengan drama kolosal pemilihan pimpinan DPR, DPD, dan MPR. Apalagi, rekam jejak mereka sulit dihapus dalam ingatan. Terlebih lagi, beberapa media mainstream yang pernah menulis beritanya ternyata masih bisa di-searching, meski ada pula yang hilang dari tayangan berita. Para pimpinan legislatif yang baru dilantik periode 2019-2024 itu berpotensi menjadi Tersangka Korupsi. DPR RI Periode 2019-2024 Dipimpin Para Tersangka Koruptor. Puan Maharani: Kasus E-KTP; Muhaimin Iskandar: Kasus Uang di Kardus Durian; Azis Syamsuddin: Kasus Suap Dana Perimbangan Daerah; Rachmat Gobel: Kasus Korupsi Irman Gusman. Demikian meme yang beredar di grup medsos maupun WA belakangan ini. Bahkan, Ketua MPR Bambang Soesatyo yang dalam periode sebelumnya menjabat Ketua DPR pun tidak luput dari sorotan, meski sudah dibantahnya berkali-kali. Bagaimana dengan La Nyalla Mahmud Mattalitti yang terpilih menjadi Ketua DPD RI 2019-2024? La Nyalla dari daerah pemilihan Jawa Timur itu terpilih lewat voting. Sebanyak 134 dari 136 anggota DPD hadir memilih mantan Ketua KADIN Jatim ini. Ia mengalahkan pelawak Oni Suwarman, anggota DPD Dapil Jawa Barat. Bagi Oni, menjadi senator di Senayan kali ini adalah untuk kedua kalinya. Perolehan suaranya yang terbesar di seluruh Indonesia. Pada pemilihan anggota DPD RI 2014-2019, Oni meraup sebanyak 2.167.485 suara. Dalam pileg kali ini suaranya melonjak tajam dengan kenaikan 100 persen, yakni 4.132.681 suara. La Nyalla hanya memperoleh 2.267.058 suara. Memang raihan suara di dapil, bukanlah syarat untuk menjadi pimpinan DPD. Untuk sampai di posisi itu harus memiliki kapabilitas, kemampuan lobi, dan jaringan yang baik. Mungkin di sinilah “kelebihan” La Nyalla dibandingkan Oni. Rekam Digital Rekam digital news dari Ketua MPR Bambang Soesetyo dan Pimpinan DPR terkait dugaan terlibat korupsi memang sulit dihilangkan. Ketua DPR Puan Maharani, dan tiga Wakil Ketua DPR (Muhaimin Iskandar, Azis Syamsuddin, Rachmat Gobel). Tempo.co, Senin (15 Januari 2018 09:59 WIB) menulis Rekam Jejak Ketua DPR Bambang Soesatyo di Kasus-Kasus Korupsi yang dilantik sebagai Ketua DPR RI, Senin (15/1/2018), memiliki beberapa catatan tentang pemberantasan korupsi. Berikut adalah rekam jejak Bambang Soesatyo: Korupsi Simulator KemudiBeberapa kali diperiksa KPK untuk kasus korupsi simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri pada 2013. Ia membantah terlibat. Menekan SaksiBersama sejumlah anggota DPR lain disebut menekan koleganya, Miryam S. Haryani, agar tidak berterus terang dalam pemeriksaan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik. Bambang membantah. Pansus KPKSalah satu penggagas Panitia Angket KPK pada Mei 2017. Ia mengatakan hanya melaksanakan tugas partai. Saksi E-KTPPada 20 Desember 2017, KPK memanggilnya sebagai saksi kasus korupsi e-KTP untuk tersangka Anang Sudihardja. Bambang absen. Revisi UU KPKMendukung revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dinilai banyak pihak memangkas beberapa kewenangan lembaga itu. “Menunjuk Bambang yang juga duduk sebagai anggota pansus angket sangat bertolak belakang dengan keinginan Golkar untuk keluar dari pansus hak angket,” kata aktivis ICW, Donal Fariz, dalam siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (15/1/2018). Berikut tiga catatan ICW terkait Bambang Soesatyo:• Bambang Soesatyo pernah disebut oleh Miryam S. Haryani bahwa telah menekannya agar tidak mengakui pembagian uang dalam kasus e-KTP.• Kesaksian itu kemudian dicabut oleh Miryam dan menjadi cikal bakal penggunaan Hak Angket DPR untuk KPK.• Bambang Soesatyo juga beberapa kali diperiksa KPK dalam kasus korupsi simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri pada 2013.Bambang yang punya kekayaan senilai Rp 62 miliar itu diduga terlibat kasus simulator SIM seperti diungkap Ketua Panitia Lelang Pengadaan Alat Uji Kemudi SIM di Korlantas Polri AKBP Teddy Kurniawan. Melansir Kompas.com, Selasa (28/05/2013, 20:46 WIB), dalam kesaksiannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Teddy juga menyampaikan ada empat kardus berisi uang yang diantarkannya kepada angora DPR, khususnya kelompok Banggar DPR. Teddy menyebut nama Anggota Komisi III DPR selain Nazaruddin yang juga menerima dana tersebut, yakni Bambang Soesatyo (Golkar), Aziz Syamsuddin (Golkar), Desmond J. Mahesa (Gerindra), dan Herman Heri (PDIP). Sebelumnya, Teddy dalam persidangan juga menuding Bambang hadir dalam pertemuan di sebuah restoran Jepang, di kawasan Senayan, Jakarta. Menurutnya, semua yang dituduhkan tidak memiliki dasar hukum dan ia siap memberikan penjelasan. “Itu kan bukan hal baru dan semua sudah saya bantah di hadapan penyidik saat menjadi saksi di KPK beberapa waktu yang lalu,” kata Bambang, Selasa (28/5/2013) sore. Ia mengaku tak hadir dan meminta KPK memutar CCTV di tempat pertemuan dalam sidang berikutnya. Ketua dan Wakil Ketua DPR?Seperti halnya Ketua MPR Bambang Soesetyo, Ketua DPR Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR (Muhaimin Iskandar, Azis Syamsuddin, dan Rachmat Gobel) memiliki rekam digital terkait tindak pidana korupsi selama menjabat. Puan Maharani yang memiliki harta kekayaan Rp 363,79 miliar Berdasarkan pengumuman LHKPN pada situs https://elhkpn.kpk.go.id itu melaporkan harta kekayaannya pada 30 Maret 2019, disebut-sebut terciprat uang haram kasus e-KTP. Dalam sidang kasus e-KTP, Setya Novanto menyebut, ada uang hasil korupsi yang mengalir kepada dua politisi PDIP, yakni Puan Maharani dan Pramono Anung. Menurutnya, keduanya masing-masing mendapatkan 500.000 dollar Amerika Serikat. “Bu Puan Maharani, Ketua Fraksi PDIP, dan Pramono Anung adalah 500.000 dollar AS. Itu keterangan Made Oka,” kata Setya Novanto kepada majelis hakim saat diperiksa sebagai terdakwa, seperti dikutip Kompas.com, Jum’at (23/03/2018, 14:40 WIB). Menurut Novanto, suatu ketika pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan Made Oka Masagung datang ke kediamannya. Oka menyampaikan, ia sudah menyerahkan uang kepada anggota DPR.“Saya tanya, 'Wah untuk siapa?'. Disebutlah tidak mengurangi rasa hormat, saya minta maaf, ada Andi untuk Puan Maharani 500.000 dan Pramono 500.000,” kata Novanto. Disebutkan, nama Pramono dan Puan diketahui tidak termasuk dalam daftar penerima aliran dana korupsi e-KTP yang disusun jaksa KPK dalam dakwaan. Keduanya juga belum pernah diperiksa sebagai saksi oleh KPK.Pramono sendiri membantah tudingan itu. Saat proyek e-KTP bergulir, ia memang menjabat Wakil Ketua DPR. Namun, jabatannya itu tidak berkaitan dengan Komisi II yang membahas proyek e-KTP. (Bersambung)***

Kerak Demokrasi Bernama Buzzer

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Berita demonstrasi mahasiswa dan anak-anak STM sudah redup. Namun di media sosial orang masih meributkan tentang kotornya tingkah buzzer pemerintah. Gonggongan mereka sudah dianggap merusak demokrasi. Ulah kaum bayaran yang membela habis-habisan kebijakan Jokowi itu membuat sang presiden menjadi anti-kritik. Mereka menyebarkan kabar tentang ambulans berlogo pemerintah DKI Jakarta yang berisi batu saat unjuk rasa pelajar Sekolah Menengah Atas. Mereka juga mengolok-olok Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang mereka perangi sejak pemilihan Gubernur DKI 2017. Belakangan, polisi menyatakan kabar batu dalam ambulans itu itu tidak benar. Para buzzer juga menyebarkan agitasi bahwa KPK dikuasai kelompok agama garis keras yang mereka sebut Taliban. Mereka menyebut Novel Baswedan, penyidik yang dikenal gigih mengusut pelbagai kasus korupsi jumbo, sebagai antek khilafah. Ketika timbul dukungan kepada KPK, mereka menyerang para pendukung itu dengan memberi mereka label pendukung khilafah. Para buzzer ini menggiring opini terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK sebagai sosok yang akan membersihkan KPK dari Taliban. Buzzer telah menjadi kerak dalam demokrasi. Tempo menyebut para buzzer ini adalah produk gagal dari era kebebasan berpendapat. Memanfaatkan kemampuan menulis dan fanatisme pembacanya, mereka mengemas kabar bohong sedemikian rupa sehingga terlihat benar. Para buzzer itu sebagian adalah eks wartawan. Buzzer, Influencer atau Rain Maker Makna buzzer harusnya baik-baik saja. Hanya saja, sejak para penggonggong itu berulah, kelewatan membela junjungannya, buzzer berubah menjadi berkonotasi negatif. “Ih amit-amit, ada buzzer,” ujar seseorang dengan melengoskan wajahnya. Buzzer berasal dari Bahasa Unggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Bisa juga dibilang kentongan. Ya, alat tradisional tempo dulu yang sering digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat ada pengumuman atau berita penting. Buzzer, influencer atau rain maker maknanya tak jauh beda. Influncer adalah orang yang mampu mempengaruhi follower, sehingga memberikan efek buzz di media sosial. Seorang buzzer bisa diartikan orang yang mempromosikan, mengiklankan dan mengkampanyekan orang, produk, dan jasa. Itu makna netralnya. Positif. Pada Pilpres kemarin masing-masing pasangan capres cawapres terindikasi “memelihara” buzzer. Walau tak sedikit juga buzzer relawan yang tidak terkait dengan jaringan buzzer bayaran. Ada yang menjadi buzzer karena sekadar ingin menunjukkan pilihannya saja. Mereka ini tak dibayar oleh siapa pun. Pilpres sudah selesai. Pemenangnya sudah jelas. Joko Widodo dan Prabowo Subianto sudah cipika-cipiki. Makan sate bersama. Prabowo juga sudah sowan ke rumah Megawati Soekarnoputri. Mereka makan nasi goreng bersama. Siapa jagoan siapa pencundang tak lagi dipersoalkan. Tapi jangan salah. Pekerjaan buzzer tak lantas habis. Mereka masih berisik. Lalu, siapa yang membiayai mereka? Indikasinya cukup terang benderang. Istana di balik mereka. Kakak Pembina Pengendali itu mereka sebut sebagai Kakak Pembina. Ada yang menyebut sang kakak itu adalah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Simpul mereka ada di mana-mana, termasuk di kepolisian. Pada saat demo mahasiswa melanda negeri ini, mereka saling berkoordinasi. Beberapa kali mereka saling “kopi darat”. Tentu saja Moeldoko membantah perihal itu. Ia tertawa saat wartawan menyebut dirinya sebagai Kakak Pembina Buzzer, "Yang mana lagi, saya belum pernah baca itu." Hanya saja, dia mengakui buzzer-buzzer tersebut dulunya adalah relawan dan pendukung fanatik. Hanya saja, menurutnya, buzzer itu tidak dalam satu komando. Tidak dalam satu kendali. “Masing-masing punya inisiatif, para buzzer tidak ingin idolanya diserang, disakiti, akhirnya bereaksi," katanya, Kamis (3/10). Moeldoko boleh saja bilang begitu. Sah-sah saja. Itu tidak salah. Buzzer yang punya akses ke Istana memang tidak banyak. Pada 24 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo mengundang mereka dengan label pegiat medsos. Mereka dijamu makan siang oleh Presiden. Kala itu, pertemuan digelar tak lama usai kepolisian menangkap kelompok Saracen. Polisi menggambarkan Saracen sebagai kelompok yang berbahaya karena kerap menyebarkan konten hoaks di media sosial. Belakangan, Saracen tidak terbukti ada. Ada yang menduga ini kelompok bikinan saja. Nah, sebagian dari buzzer yang diundang Istana itu kini masih aktif menjadi pemukul kentongan. Mereka menggerakkan buzzer pada lapis bawah. Sebagai gambaran, “industri buzzer” politik memiliki tiga aktor utama, Mereka memiliki peran masing-masing. Aktor pertama adalah pengguna. Kedua, perantara antara user dan buzzer. Posisi ini biasanya digawangi agensi. Di tingkatan paling bawah adalah buzzer. Lazimnya buzzer bekerja secara individu bisa pula berkelompok di bawah kepemimpinan koordinator. Ketika sudah menjadi buzzer, mereka akan berada dalam satu grup obrolan. Di sini, peran masing-masing diatur. Segala materi dibagikan. Suplai bahan dari pemerintah. Setelah itu buzz … bahan-bahan yang sudah diolah itu diposting ke medsos. Para penggonggong punya hubungan kuat dengan penguasa dan aparat negara. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan profil pihak yang dianggap sebagai lawan, seperti kartu tanda penduduk, nomor telepon, bahkan jenis telepon seluler yang digunakan. Dukungan pemerintah kepada buzzer pun terlihat dengan pemberangusan akun-akun yang punya sikap berbeda, yang dituding menyebarkan kabar bohong. Kolaborasi para buzzer dengan aparat negara ini pada akhirnya memperkuat kartel kekuasaan yang memberangus kebebasan berpendapat dan berbicara. Akun Palsu Pengerahan buzzer oleh pemerintah Indonesia itu sempat diulas dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Laporan itu bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Keduanya membeberkan bahwa pemerintah menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik. Pemerintah dan partai-partai politik juga memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial. Alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot. Berdasarkan isinya, konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar. Para buzzer, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp1 juta sampai Rp50 juta. Para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Sementara itu, Peneliti Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, menyebut pendapatan buzzer politik di media-media sosial bisa setara upah minimum regional (UMR). “Buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp3,9 juta per bulan dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari,” ujarnya seperti dikutip Antara, Maret lalu. Seorang koordinator buzzer, dapat mengantongi Rp6 juta per bulan. Buzzer yang direkrut pemerintah tentu saja dibayar dengan menggunakan APBN atau sumber-sumber lain yang tidak jelas. Hanya saja, untuk membuktikan itu bukan pekerjaan mudah. Pastinya, daya rusak para buzzer ini sungguh dahsyat. End

Selamat Datang di Negeri Para Buzzer

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Oxford Internet Institute baru saja mempublikasikan sebuah penelitian yang sangat menarik. Karya dua orang peneliti Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dari Universitas Oxford, Inggris Judulnya : The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation. Publikasi setebal 26 halaman itu berisi hasil penelitian manipulasi media sosial secara terorganisir di seluruh dunia. Sebagian besar digunakan untuk kepentingan domestik, menekan dan mendiskreditkan kelompok oposisi. Namun sejumlah negara termasuk Cina, Rusia, Iran, India, Pakistan, Arab Saudi, dan Venezuela menggunakannya untuk mempengaruhi opini di negara lain. Pada tahun 2019 ada 70 negara, termasuk Indonesia yang melakukannya. Jumlah tersebut meningkat tinggi dibandingkan tahun 2018 terjadi di 48 negara. Pada tahun 2017 hanya terjadi di 28 negara. Aktornya terdiri dari lembaga-lembaga resmi pemerintah, partai politik, elit partai, dan kontraktor swasta. Twitter dan facebook merupakan platform yang paling banyak digunakan untuk propaganda dan manipulasi komputasi, begitu dua orang peneliti Oxford ini menyebutnya. Dibeberapa negara seperti Brazil, India dan Nigeria platform WhatsApp mulai banyak digunakan. Diperkirakan beberapa tahun ke depan WA akan menjadi platform medsos yang penting. WA banyak digunakan untuk kepentingan komunikasi politik. China semula hanya memanfaatkan platform domestik seperti Weibo, WeChat, dan QQ. Bersamaan dengan munculnya gerakan protes di Hongkong (2019), secara agresif mulai menggunakan Facebook, Twitter, dan YouTube. Pemerintah China menggunakan platform global itu untuk menggambarkan pelaku protes Hongkong sebagai kelompok radikal dan tidak mendapat dukungan rakyat (Lee Myers dan Mozur 2019). Pelaku propaganda dan manipulasi komputasi ini adalah pasukan dunia maya (cyber troop) yang kita kenal sebagai buzzer. Mereka adalah orang atau organisasi/ kelompok bayaran. Jumlah bayaran alias anggaran untuk cyber troops bervariasi. Namun secara bisnis sangat menjanjikan. Biayanya bisa mencapai jutaan dolar seperti pada kasus perusahaan Cambridge Analytica yang membobol puluhan juta akun facebook saat Pilpres AS 2016. (Bradshaw dan Howard 2017a) mendefinisikan cyber troops sebagai aktor pemerintah atau partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online. Mereka ada yang menggunakan akun nyata (human) robot (bots), akun bajakan, dan cyborg. Perpaduan akun otomatisasi dengan kurasi manusia. Tugas mereka selain melakukan propaganda, memperkuat pidato kebencian, manipulasi, pengambilan data secara ilegal, memecah belah lawan politik, dan penargetan mikro untuk menggertak dan melecehkan para pembangkang politik dan jurnalis online. Pasukan dunia maya secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs berita palsu atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna. Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan cyber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu. Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar untuk iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan cyber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi. Bradshaw dan Howard membandingkan perilaku, pengeluaran, alat, dan sumber daya pasukan yang digunakan, membagi kapasitas pasukan cyber di 70 negara dalam 4 kelompok. Minimal cyber troop teams. Kapasitas pasukan maya yang rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum tetapi menghentikan kegiatan sampai yang berikutnya. (2) Low cyber troop capacity. Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen dengan hanya beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri. Indonesia termasuk dalam kelompok ini, (3) Medium cyber troop capacity. Melibatkan tim yang memiliki bentuk dan strategi yang jauh lebih konsisten, melibatkan anggota staf penuh waktu yang dipekerjakan sepanjang tahun untuk mengendalikan ruang informasi. Tim berkapasitas menengah ini sering berkoordinasi dengan berbagai jenis aktor, dan bereksperimen dengan berbagai alat dan strategi untuk manipulasi media sosial. Beberapa tim berkapasitas sedang melakukan operasi pengaruh di luar negeri. (4) High cyber troop capacity. Melibatkan sejumlah besar staf, dan pengeluaran anggaran besar untuk operasi psikologis atau perang informasi. Mungkin juga ada dana yang signifikan dihabiskan untuk penelitian dan pengembangan, serta bukti banyak teknik yang digunakan. Tim-tim ini tidak hanya beroperasi selama pemilihan tetapi melibatkan staf penuh waktu yang didedikasikan untuk membentuk ruang informasi. Tim pasukan cyber berkapasitas tinggi fokus pada operasi asing dan domestik. Tim berkapasitas tinggi meliputi: Cina, Mesir, Iran, Israel, Myanmar, Rusia, Arab Saudi, Suriah, Uni Emirat Arab, Venezuela, Vietnam, dan Amerika Serikat. Dimulai pada Pilkada DKI 2012 Di Indonesia penggunaan pasukan dunia maya ini jejaknya mulai terendus pada Pilkada DKI 2012 saat Jokowi dan Ahok menjadi kandidat. Inilah awal munculnya buzzer secara terorganisir di Indonesia.Mereka membentuk Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev) dipimpin oleh Kartika Djoemadi. Figur ini kemudian diangkat menjadi komisaris di PT Danareksa. Pasukan cyber ini juga terlibat aktif mendukung Jokowi pada Pilpres 2014, dan Pilkada DKI 2017. Laman berita Inggris The Guardian edisi 23 Juli 2018 pernah menurunkan berita seputar pekerjaan para buzzer Ahok berjudul : I felt disgusted': inside Indonesia's fake Twitter account factories. Laporan investigasi wartawati Kate Lamb itu menurunkan pengakuan seorang buzzer yang hanya disebut dengan nama Alex. Dia mengaku mengoperasikan akun-akun palsu. Kebanyakan menggunakan avatar wanita cantik yang dicomot dari internet. Alex diberi tahu bahwa tugasnya adalah berperang dengan menggunakan berbagai cara, termasuk hoax, dan adu domba. "Ketika Anda berperang, Anda menggunakan apa pun yang tersedia untuk menyerang lawan," kata Alex. ”Tetapi kadang-kadang saya merasa jijik dengan diri saya sendiri." Setiap anggota Buzzer ujar Alex, diwajibkan memiliki 5 akun facebook, 5 akun twitter, dan 1 akun Instagram. Jumlah buzzer ini semakin membesar pada Pilpres 2019. Tugas mereka seperti belakangan banyak disoroti adalah menyebar disinformasi, adu domba, memecah belah publik, menghajar dan mengintimidasi lawan Jokowi. Pada Pilpres 2019 mereka sukses menyebarkan isu bahwa Prabowo-Sandi didukung oleh kelompok Islam radikal. Bila terpilih Prabowo akan mendirikan khilafah dan menegakkan syariat Islam. Isu itu kembali mereka hembuskan untuk menggembosi aksi mahasiswa 2019. Namun gagal. Tempo dalam edisi 28 September menyoroti dengan keras keberadaan para buzzer pemerintah yang disebut sebagai para pendengung. Dengan judul : SAATNYA MENERTIBKAN BUZZER, Tempo mengingatkan Jokowi harus mengendalikan pendengungnya, yang makin lama makin ngawur. Berpotensi merusak demokrasi. “Tingkah buzzer pendukung Presiden Joko Widodo makin lama makin membahayakan demokrasi di negeri ini. Berbagai kabar bohong mereka sebarkan dan gaungkan di media sosial untuk mempengaruhi opini dan sikap publik. Para pendengung menjadi bagian dari kepentingan politik jangka pendek: mengamankan kebijakan pemerintah,” tulis Tempo. Kasus terbaru yang banyak disoroti oleh media adalah ulah buzzer pemerintah yang menuding mobil ambulans milik Pemprov DKI dan PMI menjadi penyuplai batu dan bensin bagi para pengunjukrasa. Pemerintah termasuk polisi terkesan sangat melindungi mereka. Beberapa orang diantaranya berkali-kali dilaporkan ke polisi. Baik atas dasar pencemaran nama baik, fitnah, maupun kabar bohong. Namun semuanya tidak diproses. Kasus terbaru adalah Denny Siregar buzzer top pemerintah yang diadukan karena unggahannya soal mobil ambulans penyuplai batu. Namun laporan pengaduan itu ditolak polisi. Kepala Staf Presiden Moeldoko mengaku sudah pernah bertemu sejumlah figur buzzer yang berpengaruh, dan setuju untuk ditertibkan. Namun dia berkelit sulit mengendalikannya. Mereka tidak dalam satu komando. Tidak dalam satu kendali. Alasan yang tidak masuk akal. Jelas ada hubungan yang saling membutuhkan antara para buzzer dan penguasa. Hubungan yang saling menguntungkan. Para buzzer mendapat keuntungan finansial, dan perlindungan. Pemerintah mendapat keuntungan politik. Para buzzer siap menggonggong, menyalak, mengejar, dan menghajar siapapun yang dianggap merugikan penguasa. Benar seperti dikutip dalam kesimpulan penelitian Bradshow dan Howard. Penggunaan teknologi informasi yang salah, menjadi tantangan dan keprihatinan tersendiri bagi masa depan demokrasi. Indonesia saat ini memasuki masa-masa yang sangat berbahaya. Dalam era post truth, masyarakat terbelah dalam dua kelompok besar. Tidak ada satupun yang dipercaya, termasuk pemerintah. Indonesia saat ini menjadi sorga para buzzer, khususnya pendukung penguasa. Sampai kapan pemerintah akan terus memelihara dan melindungi para buzzer. Membiarkan mereka merusak demokrasi? End

Wiranto Pancing Maluku Merdeka!

Oleh Mochamad Toha (Warrtawan Senior) Jakarta, FNN - Pernyataan Menko Polhukam Wiranto agar para pengungsi korban bencana gempa di Ambon dan sekitarnya, kembali ke rumah supaya tidak menjadi beban Pemerintah, telah melukai hati masyarakat Maluku. Mereka minta dihapus dari NKRI. Menurut mereka, kalau gempa Maluku dianggap membebani keuangan negara, Maluku minta dihapus dari NKRI. Demikian pernyataan sikap Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Maluku (KKBMM), Selasa (1/10/2019). “Para Pejabat Negara sudah tidak menganggap kami yang di Maluku sebagai bagian dari NKRI, maka adalah lebih baik apabila Bapak menghapus pulau-pulau Maluku dari Peta Indonesia,” tegas pernyataan tersebut yang beredar di media. “Kalau perlu keluarkan kami Maluku dari NKRI agar Negara tidak perlu mengeluarkan Anggaran sebagai cermin beban Negara terhadap orang-orang Maluku,” tulis pernyataan yang diteken Dr. (Cand.) Djamaludin Koedoeboen, SH., MH (Ketua) dan Ir. Semmy Miltov Luhukay, MM (Sekjen) KKBMM) itu. Berikut selengkapnya… Pernyataan Sikap Menyikapi pernyataan Bpk. Wiranto, Selaku Menko Polhukam RI, yang pada pokoknya menyatakan agar para pengungsi korban bencana gempa di Ambon dan sekitarnya, kembali ke rumah agar tidak menjadi beban Pemerintah, maka kami, Badan Pengurus Pusat — Kerukunan Keluarga Besar Masyarakat Maluku (KKBMM) menyampaikan Pernyataan Sikap: 1. Bahwa pernyataan Menko Polhukam RI tersebut tidak mencerminkan sebagai Pejabat Negara dan seorang Pembantu Presiden, 2. Bahwa hal ini bukan hanya soal gempa, tetapi dalam banyak hal, Negara kerap tidak Hadir bersentuhan dengan kami yang di Maluku, kami sudah sering dikecewakan, sebagai contoh paling nyata ketika terjadi kerusuhan 20 thn silam, Bpk Wiranto selaku Panglima ABRI telah gagal mengemban tugas, paling tidak mencegah warga negara berseteru, 3. Bahwa sebaliknya ketika seperti sekarang ini rnasih terjadi rentetan gempa maka ada hikmah tersendiri dimana orang-orang beda agama yang dulu pernah berkonflik, sekarang saling sambut, saling tolong, penuh haru, kasih, dan sayang, yang semestinya tidak Bpk cederai dan lecehkan, 4. Bahwa pernyataan Bpk ini tidak hanya menghina kami, yang dikesankan merepotkan Negara, karena kami yang sedang tertimpa masalah telah menjadi biang masalah, 5. Bahwa para Pejabat Negara sudah tidak menganggap kami yang di Maluku sebagai bagian dari NKRI, maka adalah lebih baik apabila Bpk menghapus pulau-pulau Maluku dari Peta Indonesia, kalau perlu keluarkan kami Maluku dari NKRI agar Negara tidak perlu mengeluarkan Anggaran sebagai cermin beban Negara terhadap orang-orang Maluku. Demikian Pernyataan Sikap ini kami sampaikan guna mendapat respon dari pihak Pemerintah cq Kemenko Polhukam Rl. Jakarta, 1 Okt. 2019 Hormat kami, Badan Pengurus Pusat KKBMM Dr. (Cand.) Djamaludin Koedoeboen, SH., MH (Ketua) Ir. Semmy Miltov Luhukay, MM (Sekjen) Pernyataan Wiranto tersebut jelas bisa memancing Maluku Merdeka. Ini tampak dari surat pernyataan yang dibuat Badan Pengurus Pusat KKBMM itu. Ancaman ini jangan dianggap main-main, tapi serius! Jangan sampai Maluku lepas dari NKRI. Jika lepas, Wiranto bisa disebut sebagai penyebabnya. Mestinya Wiranto mengambil hikmah dan pelajaran dari lepasnya Timor Timur dulu. Karena, saat itu Wiranto menjadi Panglima ABRI yang dituding telah melakukan pelanggaran HAM. Berbagai peristiwa kerusuhan di Timtim itulah yang merupakan tanggung jawab Wiranto itu akhirnya mendorong PBB melakukan Jajak Pendapat (Referemdum) atas Timtim. Presiden BJ Habibie terkena imbasnya. Padahal, Wiranto juga berperan. Kali ini Wiranto membuat sebagian masyarakat Maluku marah. Padahal, yang terjadi bukan kerusuhan seperti di Timtim (kini Timor Leste). Pangkal masalahnya adalah Wiranto minta pengungsi gempa Ambol kembali ke rumah agar tak menjadi beban pemerintah. Wiranto menyampaikan kondisi terkini di Ambon, Maluku pascagempa magnitudo 6,5 pada Senin (30/9/2019). Menurut Wiranto, hingga saat ini masih banyak masyarakat yang memilih bertahan di pengungsian meski gempa sudah tidak terjadi kembali. Banyaknya pengungsi ini disebut Wiranto akibat dampak dari penyebaran informasi yang menakut-nakuti warga akan gempa susulan dan ancaman tsunami. “Pengungsi ini ditakuti adanya informasi adanya gempa susulan yang lebih besar, ditakuti adanya tsunami akibat gempa, padahal tidak ada badan resmi manapun yang mengumumkan itu,” kata Wiranto di Kantor Kemenkopolhukam, Senin (30/9/2019). Oleh karena itu, dia berharap masyarakat untuk kembali ke rumah masing-masing karena situasi sudah aman dan pemerintah harus menanggung kehidupan mereka di pengungsian. “Diharapkan masyarakat bisa kembali ke tempat tinggal masing-masing untuk mengurangi besaran pengungsi, pengungsi terlalu besar ini sudah menjadi beban pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” ucapnya. Sebelumnya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Maluku merilis korban jiwa akibat gempa bermagnitudo 6,5 yang terjadi di Ambon pada Kamis (26/9/2019) mencapai 20 orang. Pelaksana Tugas Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Agus Wibowo dalam keterangan tertulisnya menyebutkan korban tewas tersebar di Kota Ambon sebanyak 8 orang, Kabupaten Maluku Tengah 10 orang dan Kabupaten Seram Bagian Barat 2 orang. Sedangkan, jumlah korban yang terluka, menurut data BPBD Provinsi Maluku, totalnya mencapai 152 orang yang tersebar di Kabupaten Maluku Tengah 108 orang, Kabupaten Seram Bagian Barat 13 orang dan Kota Ambon 31 orang. Gempa juga membuat 25 ribu warga mengungsi dan menyebabkan kerusakan 534 rumah, 12 rumah ibadah, delapan kantor pemerintahan, enam sarana pendidikan, satu fasilitas kesehatan, satu pasar dan satu jembatan. Wiranto sendiri membantah memiliki niat untuk menyakiti perasaan korban bencana gempa di Pulau Ambon, Maluku. Hal itu untuk mengklarifikasi pernyataannya bahwa banyaknya pengungsi gempa di Maluku telah menjadi beban bagi pemerintah pusat dan daerah. “Tidak ada alasan dan tidak mungkin saya sengaja melukai hati masyarakat Maluku yang sedang terkena musibah," ujar Wiranto dalam keterangan tertulis, seperti dilansir CNN Indonesia, Rabu (2/10/2019). Wiranto justru mengundang pejabat terkait yang menangani bencana alam, salah satunya Kepala BNPB Doni Monardo. Ia meminta Doni agar segera melakukan langkah-langkah cepat guna meringankan beban penderitaan masyarakat terdampak bencana gempa itu. Terkait hal itu, Wiranto menyampaikan pemerintah merasa perlu memberi penjelasan kepada masyarakat tentang keadaan yang sebenarnya dan mengimbau mereka agar kembali ke rumah masing-masing. Imbauan tersebut, kata Wiranto, disampaikan karena salah satu masalah yang dihadapi terkait pendidikan anak-anak hingga risiko penyakit. “Itu yang sebenarnya menjadi hasil rapat koordinasi yang dihadiri Kepala BNPB, Menteri Sosial, Menteri Kesehatan, Panglima TNI, Kapolri, dan Kabin di kantor Kemenkopolhukam,” ujar Wiranto. Wiranto menganggap ada pihak yang memutarbalikkan penjelasannya kepada masyarakat. Ia menilai hal itu untuk menyerang dirinya. *

Perebutan Kursi Pimpinan DPR-MPR yang "Menjijikkan"

Kalian berpesta pora di gedung parlemen. Bagi-bagi kursi pimpinan. Ketawa-ketiwi menyambut kenyamanan hidup kalian. Menyambut peluang-peluang korupsi yang bakal bertebaran di sekitar kalian. Korupsi yang tidak akan bisa lagi ditangkap tangan oleh KPK setelah kalian lumpuhkan lembaga antikorupsi itu dengan dukungan Presiden Jokowi. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Memang kalian pantas disebut bejat. Setelah dilantik menjadi anggota DPR dan DPD, yang kalian tunjukkan di depan rakyat adalah perebutan kursi pimpinan DPR dan MPR. Kalian semua betul-betul poli-Tikus yang sebenarnya. Belum lagi teratasi ancaman terhadap nyawa para perantau non-Papua yang terlantar di Wamena dan di tempat-tempat pengungsian. Belum lagi kering tangis para keluarga korban kesadisan di Wamena. Belum lagi jelas apakah warga perantau di Papua bisa selamat kalau mereka harus bertahan karena tak punya pilihan lain. Belum lagi dibebaskan semua anak-anak yang ditahan dalam aksi unjuk rasa di Jakarta. Belum lagi hilang duka keluarga mahasiswa yang tewas di Kendari, Sulawesi Tenggara. Tapi, apa yang kalian kerjakan wahai para anggota DPR-DPD? Kalian hanya kasak-kusuk memperebutkan kursi ketua DPR dan ketua MPR. Setelah kursi ketua DPR diberikan kepada orang yang paling kuat posisi politknya di Indonesia ini, sekarang kalian bercokol untuk kursi ketua MPR. Orang Golkar merasa berhak Orang Gerindra merasa pantas. Orang DPD merasa wajar. Berhak, pantas, wajar menduduki kursi ketua MPR. Kalian saling sikut. Lobi sana, lobi sini. Sedikit pun kalian tak ingat korban pembacokan sadis di Wamena. Dan para korban pembakaran hidup-hidup di kota yang horor dan teror itu. Anak kecil dikapak kepalanya oleh penyerang ‘ethnic cleansing’ di Papua. Kalian berpesta pora di gedung parlemen. Bagi-bagi kursi pimpinan. Ketawa-ketiwi menyambut kenyamanan hidup kalian. Menyambut peluang-peluang korupsi yang bakal bertebaran di sekitar kalian. Korupsi yang tidak akan bisa lagi ditangkap tangan oleh KPK setelah kalian lumpuhkan lembaga antikorupsi itu dengan dukungan Presiden Jokowi. Sangat memalukan. Memuakkan. Menjijikkan. Tak pantas kalian dijuluki “anggota dewan yang terhormat”. Tak pantas kalian disebut senator rakyat. Karena kalian tidak punya kehormatan sama sekali. Ternyata! Bagaimana mungkin rakyat menyebut kalian “tehormat” kalau begini cara kalian duduk di DPR-DPD atas nama rakyat. Kalian bergembira-ria di gedung parlemen. Senang dilantik. Senang membayangkan segala macam fasilitas dan keistimewaan yang bakal kalian sandang sebagai anggota DPR-DPD. Sungguh luar biasa kalian yang tak punya hati. Foto-foto kalian yang tersenyum lebar, sudah dilihat oleh seluruh rakyat. Sudah viral foto-foto selfie kalian itu. Tapi, tahukah kalian kalau senyum-tawa dan foto-foto itu sama seperti air garam yang kalian siramkan ke luka fisik dan luka psikis korban kesadisan di Wamena? Kalian sungguh menjijikkan Penulis adalah Wartawan Senior

Bu Megawati Kok Gitu Amat?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Video Ketua Umum PDIP Megawati mengabaikan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh viral di media sosial. Momen tersebut terjadi pada pelantikan anggota DPR RI Periode 2019-2024, Selasa (1/10) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Dalam video tersebut Megawati yang mengenakan kebaya merah, berjalan melewati sejumlah undangan di barisan kursi VIP. Dia tampak semringah dan menebar senyum manis. Hatinya sedang berbunga-bunga. Selain partainya memperoleh kursi terbanyak, putrinya Puan Maharani juga dipastikan terpilih sebagai Ketua DPR RI. Video yang diambil dari tayangan langsung Kompas TV memperlihatkan Mega menyalami seseorang di barisan depan. Barisan kedua duduk secara berjajar Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Plt Ketua DPD Partai Golkar DKI Rizal Mallarangeng, dan Surya Paloh. Ketiganya langsung berdiri bersiap menyambut. Mega menyalami Rizal, tapi lewat begitu saja di depan Surya Paloh. Dia kemudian menyalami capres terpilih Ma’ruf Amin, dan kemudian menyalami Plt Ketua Umum PPP Soeharso Manoarfa. Sebenarnya bukan hanya Surya Paloh yang dikacangin oleh Megawati. Agus Harimurti yang duduk di sebelah kiri Rizal lebih dulu berdiri sambil menangkupkan kedua tangan dan membungkuk. Melihat Rizal disalami Mega, Agus kemudian mencoba menjulurkan tangan untuk bersalaman. Tapi Mega cuek saja. Agus jadi salah tingkah. Namun dia segera menguasai keadaan. Dia kemudian kembali menangkupkan kedua tangannya dan duduk. Hanya saja dalam frame kamera, wajah Agus tak terlihat. Jadi tidak terlalu mencolok. Berbeda dengan Surya Paloh. Wajahnya sangat jelas tertangkap kamera. Untungnya sikapnya biasa saja. Dia tidak tampak mencoba menyalami Mega. Ketika Mega lewat didepannya, abai atas kehadirannya, Surya langsung duduk kembali. Video tersebut langsung viral. Sejumlah media memberitakannya dengan berbagai bumbu menarik. Di media sosial lebih heboh lagi. Umumnya menyayangkan mengapa masalah personal semacam itu harus ditampilkan di depan publik. Sikap Megawati ini adalah konfirmasi langsung atas rumor dan spekulasi pecah kongsinya partai pendukung Jokowi. Publik secara visual dapat menyaksikan sendiri, perpecahan partai koalisi pemerintah itu benar adanya. Bukan rumor, apalagi hoax. Selain itu publik juga jadi ngeh, bahwa hubungan Megawati dengan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum, atau tepatnya tidak akan pulih. Entah sampai kapan. Padahal Hari raya Idul Fitri lalu Agus dan adiknya Eddie Baskoro sempat sowan dan selfi bersama Puan dan Mega. Surya Paloh kini bernasib sama dengan SBY. Dijothakin, dinengke, ora diaruh-aruhi, kata orang Jawa. Dimusuhi, didiamkan, tidak ditegur dan disapa Megawati. Entah sampai kapan? Kalau belajar dari kasus SBY, setidaknya sudah berlangsung selama 15 tahun. Dimulai ketika Pilpres 2004. SBY dianggap berkhianat. Sebagai Menkopolkam pada kabinet Megawati, SBY saat itu mengaku tidak akan maju dalam pilpres bersaing melawan Megawati. Ternyata SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla menantang Megawati dan menang. Sejak itu hubungan keduanya menjadi patah arang. SBY mengaku berkali-kali minta bertemu Megawati, tapi tak ada tanggapan. Mega benar-benar memutus tali silaturahmi. Selama dua periode SBY menjadi Presiden, Megawati menolak hadir dalam acara-acara penting di istana, termasuk pada peringatan HUT Kemerdekaan RI. (Pecah Kongsi Koalisi) Bahasa tubuh (gesture) Megawati itu tidak bisa dianggap sepele. Tidak bisa direduksi hanya menjadi persoalan personal. Apalagi kemudian disederhanakan dengan nada bercanda “Ah perempuan kan biasa ngambekan. Nanti juga akan baik sendiri.” Megawati adalah penguasa partai pemenang pemilu. Dalam koalisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, PDIP adalah pemilik saham terbesar. Ditambah status Jokowi sebagai petugas partai PDIP, maka Megawati bisa disebut sebagai penguasa sesungguhnya di negeri ini. Mood personal, maupun mood politiknya sangat menentukan. Sikap Megawati kian membuka mata publik, diam-diam ada bara dalam sekam, bahkan bom waktu yang setiap saat bisa meledak di dalam koalisi pemerintah. Padahal dengan menumpuknya berbagai persoalan yang kini tengah dan akan dihadapi Jokowi, diperlukan soliditas pada timnya. Andai kata kabinet kompak pun, publik bertanya-tanya: Apakah Jokowi-Ma’ruf bisa menanganinya? Secara eksternal Jokowi-Ma’ruf menghadapi situasi perekonomian dan keuangan negara yang mengkhawatirkan. Beberapa ekonom memprediksi Indonesia akan kembali mengalami krisis ekonomi pada pertengahan tahun 2020. Indonesia tengah dibayang-bayangi ancaman disintegrasi akibat pergolakan di Papua. Tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah anjlok. Harga kebutuhan bahan pokok terus melonjak. Tarif listrik dan BBM terus naik. Kisruh penanganan defisit BPJS. Kedodoran dalam penanganan kebakaran hutan di sejumlah provinsi, dan gelombang aksi unjukrasa mahasiswa dan pelajar di berbagai kota di Indonesia. Jokowi memerlukan tim yang kuat dan super kompak untuk mengatasi berbagai persoalan yang menghadang. Kalau diantara para pendukungnya saja sudah tidak kompak, saling curiga, saling ngotot berebut posisi penting dan basah di kabinet. Apa kata dunia!? Mega-mega biasanya mulai menyingkir, ketika surya mulai bersinar terik. Dalam politik Indonesia, kaidah alam itu ternyata tidak berlaku. End

Selamat Bekerja untuk Dewan Penipu Rakyat (DPR)

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ini terjadi di negara yang bernama Edanesia. Selama lima tahun mendatang, yang akan menipu rakyatnya buka hanya para penguasa eksekutif. Bukan hanya para piniko dan induk pinokio. Gerombolan penipu rakyat akan bertambah lagi. Tambahannya tidak sedikit. 500-an orang. Para penipu itu sudah dilantik belum lama ini. Dan sudah bagi-bagi jabatan penting dan setengah penting di lingkungan Dewan Penipu Rakyat yang disingkat DPR. Mohon maaf, singkatan ini sama dengan singkatan untuk Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia yang juga disebut DPR. Kesamaan ini hanya kebetulan saja. Sekali lagi, tulisan ini bercerita tentang DPR di negara Edanesia. Tak jauh dari Indonesia. Ketua dewan penipu adalah salah satu dari keturunan penipu besar di Edanesia. Para pimpinan lain juga penipu-penipu kawakan. Memang ada beberapa orang penipu pemula. Yaitu, mereka yang baru terpilih pertama kali. Tapi, dalam beberapa bulan saja mereka akan berubah menjadi penipu handal. Akan ada berbagai sesi pembekalan materi penipuan rakyat untuk semua anggota Dewan. Edanesia memang dihuni oleh para politsi penipu. Mereka menipu untuk segala hal. Menipu ketika menguraikan janji-janji kampanye pemilihan umum. Menipu dalam mendapatkan suara pemilih. Dan menipu pula ketika menghitung perolehan suara mereka. Bahkan, sesama calon anggota Dewan pun lumrah saling menipu. Perlu pula ditegaskan bahwa penipuan adalah profesi yang paling digemari di Edanesia. Semua yang menjadi tugas dan wewenang DPR akan dikerjakan dengan cara, atau melalui proses, penipuan. Sebut saja penyusunan anggaran kementerian, ketuk palu untuk undang-undang yang menguntungkan para penipu dari dunia usaha, sampai ke persetujuan proyek-proyek raksasa di seluruh Edanesia. Dan termasuk pula penetapan para pejabat penting lembaga negara Edanesia seperti komisaris, komisioner, direktur utama, dlsb. Sebagai lembaga yang berlandaskan asas penipuan, DPR Edanesia harus selalu menjaga agar indeks penipuan mereka selalu tinggi. Indeks penipuan itu perlu dipertahankan tetap tinggi supaya mereka boleh terus memakai kata “penipu” di nama lembaganya. Kalau DPR Edanesia gagal mempertahankan indeks penipuan, maka secara otomatis nama lembaga itu akan berubah menjadi Dewan Perwakilan Rakyat. Karena dianggap tidak lagi menipu rakyat. Dalam arti, sebuah lembaga akan disebut Dewan Perwakilan Rakyat jika indeks penipuannya rendah sekali atau nihil. [02 Oktober 2019)

Wapres JK Jadi Kunci Nasib Jokowi!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Siapa diuntungkan dari gejolak yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini? Jika melihat rekam jejak pengalaman penyelesaian konflik yang terjadi selama ini, adalah Wapres Jusuf Kalla! Itu jika Presiden Joko Widodo tidak mampu menyelesaikan. Upaya Presiden Jokowi agar mahasiswa menghentikan aksi demonya di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia dengan mengundang BEM-SI pun gagal. Karena, BEM-SI memberi syarat, pertemuan dilakukan secara terbuka dan disiarkan televisi. Ketika Presiden Jokowi mengajak bertemu BEM-SI, syarat yang mereka ajukan: pertemuan berlangsung secara terbuka, dan disiarkan secara langsung oleh media dan televisi nasional. Mahasiswa sudah menang besar atas Presiden Jokowi. Wartawan senior Hersubeno Arief mengibaratkan pertandingan sepakbola. Penolakan para Ketua BEM-SI bertemu dengan Presiden Jokowi di Istana, menjadikan skor sementara 3-0 untuk BEM-SI. Penolakan mahasiswa ini di luar dugaan Istana. Hingga Presiden Jokowi memutuskan menunda pembahasan RUU KUHP. Pemerintah juga memutuskan menunda pembahasan tiga RUU lainnya: RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Lembaga Pemasyarakatan (PAS). Presiden melemah! Bahkan, Presiden Jokowi tampaknya akan memenuhi tuntutan menerbitkan Perppu UU KPK yang sudah disahkan DPR. Bahkan, Mensesneg Pratikno mengaku sudah menyiapkan draft Perppu, antisipasi jika Presiden memutuskan menerbitkannya. BEM-SI tidak mudah lagi masuk dalam “jebakan” yang sengaja diciptakan Istana. Keputusan mahasiswa menolak bertemu Presiden Jokowo di Istana dipastikan sangat mengejutkan kubu pemerintah. Mahasiswa, belajar dari pengalaman pada 2015. Ketika itu mereka diundang ke Istana secara tertutup. Hasilnya gerakan mahasiswa terpecah. Kata Koordinator Pusat BEM-SI Muhammad Nurdiansyah, “Kami belajar dari proses ini dan tidak ingin menjadi alat permainan penguasa yang sedang krisis legitimasi publik.” “Sehingga akhirnya melupakan substansi terkait beberapa tuntutan aksi yang diajukan,” ujar Nurdiansyah yang juga Presiden Mahasiswa IPB. Hersubeno menilai, para tokoh mahasiswa yang tergabung dalam BEM-SI tidak seculun yang mereka perkirakan. “Mereka ternyata sangat taktis dan strategis,” tegas Hersubeno. Tidak mudah masuk dalam jebakan Istana (palace trap). Andai saja para Ketua BEM bersedia bertemu Presiden secara tertutup, maka mereka akan di-fait accompli. Seperti dilansir fnn.co.id, tulis Hersubeno, kartu pemerintah yang sudah mati, bisa hidup lagi. Pemerintah menjanjikan akan mengeluarkan Perppu sebagaimana tuntutan mahasiswa. Dan, mereka diminta untuk menghentikan aksinya. Bila itu yang terjadi, tidak ada pilihan lain. Mahasiswa harus menghentikan aksi-aksi mereka yang mengguncang di seluruh Indonesia. Seperti pengalaman pada 2015, keputusan tersebut dipastikan akan memecah-belah gerakan mahasiswa. Sementara, terkait aksi demo mahasiswa, dua mahasiswa di Kendari dan satu mahasiswa di Makassar sudah menjadi korban (tewas) akibat tindakan kekerasan oleh aparat polisi ketika menangani aksi demo mahasiswa di daerah tersebut. Tindakan represif polisi bukannya meredam aksi mahasiswa. Di Jakarta, gerakan demo para mahasiswa ini justru diikuti oleh pelajar dari berbagai STM dan SMA Jabodetabek. Seperti kata Nurdiansyah, pemerintah saat ini sedang berada dalam situasi terpojok. Hersubeno menyebut, pemerintah sangat menyadari aksi mahasiswa dan pelajar STM-SMA sudah masuk ke rana persoalan utama: Pengunduran diri Jokowi! Pembatalan UU KPK dan RUU KUHP hanya menjadi pintu masuk. Aksi mahasiswa dan pelajar menjadi semacam alasan untuk bergerak dan beraksi (reason to act). Alasan untuk menyatukan gerakan dan menjadikan pemerintah sebagai musuh bersama. Mahasiswa sudah menyerukan dan menuntut pengunduran diri Jokowi. Jokowi saat ini tampaknya tidak punya pilihan lain. Dengan atau tidak bertemu pimpinan mahasiswa, Perppu UU KPK tampaknya akan tetap dikeluarkan. Tarik menariknya pasti tidak mudah. Buah simalakama bagi Presiden Jokowi sendiri. Apalagi, dalam krisis Provinsi Papua, Presiden Jokowi tampak tidak bisa berbuat apa-apa, sehingga menelan banyak korban dari warga pendatang tewas akibat dibantai secara kejam oleh “Orang Asli Papua” (OAP). Terutama di Wamena. Setidaknya, kerusuhan di Kabupaten Jaya Wijaya, Senin (23/9/2019), itu sudah menelan 32 orang korban tewas warga pendatang dari Minang dan Bugis. Bahkan, seorang dokter senior menjadi korban, tubuhnya disiram bensin dan dibakar. Ratusan warga pendatang pun mengungsi dan meminta agar mereka segera dipulangkan ke daerah masing-masing. Karena, kondisi di Wamena sudah tidak kondusif lagi. Jaminan atas keselamatan dan nyawa pendatang terkesan tak ada lagi. Meski terjadi aksi demo di mana-mana dan kerusuhan di bumi Cendrawasih, Presiden Jokowi terkesan tenang-tenang saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Makanya, acara naik sepeda sembari momong cucunya pun masih bisa dilakukannya. Jokowi seolah tidak peduli dengan nasib demonstran yang “diburu” polisi dan pendatang di Wamena yang dikejar-kejar dan diusir hingga dibunuh oleh OAP, meski ternyata masih ada OAP yang justru menyelamatkan sebagian pendatang. Jusuf Kalla Masih berlanjutnya berbagai aksi demo di berbagai daerah yang semakin marak maupun di Jakarta sendiri yang tanpa henti, menunjukkan “ketidakmampuan” Presiden Jokowi dalam menghadapi tuntutan mahasiswa dan rakyatnya sendiri. Apalagi, kerusuhan berdarah di Wamena berpotensi menjadi konflik horizontal bernuansa SARA. Penanganan krisis di Provinsi Papua dan Papua Barat itu harus dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan, cinta dan kasih sayang. Itu dinyatakan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Mardani Ali Sera. Sebab, bagaimanapun Papua adalah wilayah NKRI. “Jangan pernah gunakan pendekatan kekerasan. Ingat Papua adalah merah putih,” ujar Mardani kepada wartawan, Jumat (30/8/2019). Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengharapkan agar Presiden Jokowi segera membentuk satuan tugas (Satgas) khusus Krisis Papua. Komandonya ada di tangan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang pengalaman dalam mengatasi konflik di tanah air. Sebab kerusuhan yang saat ini terjadi di Papua tidak boleh dibiarkan berlama-lama. “Saya mendesak Pemerintah membentuk Satgas khusus yang dipimpin langsung oleh Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla,” katanya, seperti dilansir JawaPos.com. Satgas Krisis Papua bisa melakukan dialog langsung kepada aktor-aktor yang menyulut krisis ini melalui pendekatan humanistik. “Karena itu kita serahkan Wapres JK yang sudah punya pengalaman menyelesaikan masalah konflik di Aceh,” paparnya. JK, sosok penting di balik penanganan tiga konflik besar di Tanah Air, beberapa tahun silam. Yakni kerusuhan sosial di Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi Tengah), dan konflik bersenjata berkepanjangan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Krisis politik dan sosial yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini berpotensi “jatuhnya” Presiden Jokowi. Apalagi, tuntutan dari massa aksi mahasiswa maupun rakyat sudah pada tuntutan “Jokowi Mundur”. Dan, tuntutan ini semakin meluas. Sehingga nasib Jokowi kini ada di tangan Wapres JK. Jika Jokowi “jatuh” seperti peristiwa Presiden Soeharto (1998) dan Presiden Abdurrahman Wahid (2001), maka Wapres JK akan menggantikannya dan menyatakan negara dalam “kondisi darurat”. Dengan pernyataan tersebut, JK dapat menerbitkan Perppu yang mengarah pada perbaikan-perbaikan penanganan kondisi negara yang sedang memasuki fase force majeur. Perppu itu nantinya dapat dipastikan berjumlah lebih dari satu. Yang paling utama adalah membekukan kabinet dan membentuk kabinet baru; mengadakan rangkaian pemilu yang bersih dalam jangka waktu tertentu (6 bulan) sekaligus membekukan komisioner/pimpinan dan anggota sejumlah lembaga negara; Juga, sejumlah produk hukum lainnya dalam kerangka penataan pemerintahan di masa-masa transisi tersebut. Jika memang demikian yang terjadi, maka dapat dikatakan JK benar-benar dapat menjadi kunci perjalanan sejarah Indonesia di era kini. Dan saat ini, JK menjadi kunci bagi nasib Jokowi pada akhir periode I.