POLITIK

Info Tak Valid: Mahfud MD Minta Diangkat Menjadi KSAD

Sekarang, publik sudah paham apa yang terjadi. Alangkah naifnya Pak Mahfud MD yang terlalu cepat mengumbar pernyataan bahwa TNI kecolongan. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Menyusul keputusan KSAD Jenderal Andika Perkasa untuk mempertahankan Enzo Zenz Allie sebagai taruna akademi militer (akmil) di Magelang, tersiar kabar kabur bahwa Mahfud MD meminta agar dia diangkat menjadi KSAD. Perkembangan dramatis ini terjadi karena Mahfud, menurut kabar burung, berkeras agar Enzo tetap dipecat dari daftar calon taruna. Disebutkan, Mahfud perlu satu hari saja menjadi KSAD. Hanya untuk memecat Enzo. Sumber-sumber yang tak bertanggung jawab menyebutkan bahwa Mahfud mengancam akan pindah ke negara lain jika Enzo tidak dikeluarkan dari akmil. Menurut info tak valid, Mahfud meminta agar dia segera dilantik menjadi KSAD supaya bisa mengambil tindakan tegas untuk memecat Enzo. Mahfud benar-benar kesal melihat kecolongan yang terjadi di lingkungan TNI. Mahfud mengatakan di Yogyakarta, Jumat (9/8/2019) bahwa TNI kecolongan dengan lolosnya Enzo masuk ke akmil. Mahfud memang sangat sigap mengeluarkan statement. Lebih tangkas dari para petinggi militer dan Hankam dalam hal Enzo. Ketika para petinggi TNI AD berhati-hati menangani kasus Enzo yang disebut-sebut punya kemungkinan keterkaitan dengan HTI, Mahfud malah langsung menyimpulkan TNI kecolongan. Seperti diketahui, Enzo Zenz Allie diduga punya foto dengan adegan memegang bendera tauhid yang mirip dengan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dari sinilah dia, secara semberono, dikait-kaitkan dengan organisasi yang telah dibubarkan penguasa itu. Kembali ke tuntutan Mahfud MD agar dia diangkat menjadi KSAD. Sejumlah pihak mengusulkan agar dibuatkan acara tentara-tentaraan di halaman sebuah taman kanak-kanak. Di situ, Mahfud MD bisa dipakaikan seregam TNI AD dengan tanda pangkat bintang empat. Kemudian, langsung seorang presiden-presidenan meminpin acara serahterima jabatan “KSAD” dari “Jenderal Andika Perkasa” kepada “Jenderal Mahfud MD”. Setelah itu, “Jenderal Mahfud” dibawa ke kelas utama TK. Di sana telah menunggu “Enzo Zenz Allie” dengan seragam taruna akmil. “Jenderal Mahfud” langsung membacakan surat pemecatan “Enzo”. Kemudian dia mencopot seragam tarunanya. Selesai upacara pemecatan, “Jenderal Mahfud” pun melepas seragam TNI AD yang dipakainya. Hajat telah tertunaikan. Dia kemudian langsung berwudu, dan mengajukan surat pengunduran diri dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dia pun tak jadi pindah ke negara lain. Alhamdulillah, pemecatan Enzo Zenz Allie versi Mahfud MD telah berjalan dengan lancar. Begitulah, mungkin, keinginan Mahfud MD. Tapi, TNI memiliki prosedur baku dalam mengambil tindakan terhadap taruna akmil yang bermasalah. KSAD Jenderal Andika Perkasa mengatakan, Enzo dipertahankan sebagai taruna setelah hasil pemeriksaan yang ilmiah berupa analisis moderasi keberagamaan menunjukkan dia lulus. Angka kelulusan analisis moderasi Enzo sangat bagus. Semua taruna baru diperiksa. Enzo mencatat skor 84%. Dalam skala maksimum angka 7, Enzo mendapat nilai 5.9. Skor ini mendekati kesempurnaan. Sekarang, publik sudah paham apa yang terjadi. Alangkah naifnya Pak Mahfud MD yang terlalu cepat mengumbar pernyataan bahwa TNI kecolongan. Semua orang mungkin paham tujuan Pak Mahfud, yaitu menjaga agar NKRI ini aman dari radikalisme. Namun sekarang, pernyataan Mahfud itulah yang justru terlalu radikal. Anda, Prof, nyaris saja menzolimi seorang taruna andaikata kesimpulan Anda tentang kecolongan TNI itu direspon dengan gegabah oleh pimpinan TNI. Untunglah pimpinan TNI, kelihatannya, sudah hafal tentang Mahfud MD. End

Megawati Mainkan “Psy-War”, Jokowi Takluk?

PDIP dan Megawati Soekarnoputri merasa “dipecundangi” pada periode kepemimpinan Joko Widodo – Jusuf Kalla. Agar tak terulang, Megawati pun lontarkan psy-war. Pesannya jelas: Jokowi harus ikuti apa kemauan PDIP. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN- Jika kita menyimak pidato Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri saat Kongres V PDIP di Denpasar, 8-10 Agustus 2019, ada hal menarik yang bisa dikaji lebih mendalam. Terutama terkait “jatah kursi” menteri dan Ketua DPR dari PDIP. Diawali dari cerita, saat PDIP memenangkan Pemilu 1999, mestinya dirinyalah yang menjadi presiden. Tapi tidak bisa. Dikalahkan di DPR. Yang jadi justru KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Ketika itu belum ada pemilihan langsung. Ketua DPR saat itu dipegang Golkar (Akbar Tanjung). Ketua MPR dijabat oleh Amien Rais (utusan Golongan). Pemilu lima tahun lalu PDIP menang lagi. Tapi jabatan ketua DPR jatuh ke Partai Golkar. Melalui penciptaan UU MD3. “Saya ditipu terus. Dikerjain terus,” ungkap Megawati. “Tapi kita jalan terus. Suatu saat pasti mencapai kemenangan,” tambahnya. Itulah yang dimaksud dengan “kesabaran revolusioner”. Kalimat ini tidak ada dalam teks pidato Megawati. Pada Pemilu 2019, 17 April 2019, PDIP menang lagi. Apakah PDIP dan Megawati juga akan ditipu dan dikerjai di DPR lagi? “Kali ini tidak mau, tidak mau, tidak mau!” tegasnya. Tidak maunya sampai perlu diucapkan Megawati tiga kali. Ucapan Megawati itu disampaikan dengan penuh perasaan. Yang kemudian diikuti pula oleh perasaan kader partai yang hadir. “Tidak mau, tidak mau, tidak mau!” teriak peserta kongres serentak. Ternyata, PDIP ngincar posisi Ketua DPR. Megawati kemudian memasuki perihal susunan Kabinet Indonesia Kerja (KIK) mendatang. Sambil menyebut nama Presiden Joko Widodo, Megawati mengatakan nanti tidak bisa lagi Presiden Jokowi beralasan soal jumlah kursi PDIP. Misalnya, sebut Megawati, PDIP sudah mendapat banyak posisi, seperti Ketua DPR, maka jumlah menteri PDIP empat orang saja. Itu pun sudah lebih banyak dari yang lain (Koalisi Jokowi), yang hanya mendapat kursi dua menteri saja. “Tidak mau!” tegasnya. Megawati mengingatkan kembali betapa beratnya memenangkan pemilu di Jateng. Sampai harus turun sendiri ke lapangan. “Waktu itu kami sudah begini-begini,” katanya memberi isyarat dengan jari-jemarinya. Maksudnya, ia sudah khawatir kalah. Begitu juga TKN paslon Joko Widodo – Ma’ruf Amin. “Itu gara-gara Mas Bowo mau pindah posko ke Jateng,” katanya, sambil mengarahkan wajah ke Ketum Gerindra Prabowo Subianto yang duduk di depan. Prabowo yang duduk di sebelah Ma’ruf Amin, tampak tersenyum, sambil menangkupkan kedua telapak tangan di depan dadanya. “Wong sudah tahu Jateng itu kandang banteng saya. Kok mau diganggu,” kata Megawati sambil senyum lepas. Hadirin pun tertawa. “Terpaksa saya turun sendiri,” lanjutnya. Padahal, Megawati memberi isyarat bahwa PDIP sudah tahu diri, tidak mengganggu Jabar dan Banten, karena kandangnya Prabowo. Pada Pilpres 2014, Prabowo menang telak di sini. “Saya pun terpaksa menyerukan Jawa Tengah. Hayo! Bantengnya jangan hanya merumput terus. Asah tanduk kalian!” katanya. Megawati pun menyebut Puan Maharani. “Tahu nggak dia anak siapa?“ tanya Megawati saat kampanye di Jateng dulu. “Puan harus mendapat suara lebih 500.000 (suara),” tegas Megawati. PDIP akhirnya menjadi pemenang Pemilu 2019. Puan Maharani terpilih menjadi anggota DPR dengan suara terbesar. Maka kali ini tidak akan mau lagi kalau Puan tidak jadi Ketua DPR. Menekan Jokowi? Sayangnya, pidato Megawati selama sekitar sejam itu sama sekali tidak menyentuh persoalan bangsa, seperti kemiskinan, pengangguran, ekonomi, ancaman TKA China, dan visi ke depan dari pemerintahan ke depan yang dimenangkan Jokowi – Ma’ruf. Apa yang disampaikan Megawati seolah hanya berupa sosialisasi bagaimana PDIP berjuang untuk “memangkan” Pilpres 2019 atas paslon Prabowo Subianto – Sandiaga Uno. Apalagi, Jokowi sampai bilang, di Bali kita menang telak “sekian” persen. Presiden Jokowi mungkin lupa, Prabowo datang itu atas undangan khusus dari Megawati saat berkunjung ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Apalagi, Prabowo mendapat tempat khusus di pembukaan Kongres V PDIP di Denpasar tersebut. Prabowo menempati kursi kehormatan di deretan terdepan bersama Ma’ruf Amin, Megawati, Presiden Jokowi, dan Wapres Jusuf Kalla. Bukan hanya di sebelah siapa ia didudukkan. Tapi nama Prabowo disebut sampai lima kali dalam pidato sejam lebih itu. Megawati sampai perlu mengucapkan terima kasih atas kehadiran Prabowo. “Waktu saya bertemu yang heboh itu, sebenarnya saya hanya mengatakan... Mas, apakah mau hadir kalau saya undang ke kongres,” ujar Megawati disambut gerrr hadirin. “Sekarang ini yang tidak diundang pun minta diundang. Begitulah kalau menjadi pemenang Pemilu,” timpal Megawati. Begitu pentingkah kehadiran Prabowo dalam Kongres V PDIP? Jelas, sangat, sangat, dan sangat penting untuk sebuah legitimasi. Apalagi, pasca pertemuan Teuku Umar antara Prabowo dengan Megawati. Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus yang dilakukan sebelumnya, setidaknya telah membuat terjadinya friksi di Koalisi Jokowi. Format rekonsiliasi yang diajukan Prabowo jelas sangat mengkhawatirkan Koalisi Jokowi, seperti NasDem, Golkar, PKB, dan PPP. Karena, jika rekonsiliasi berna-benar terjadi, maka jatah kursi mereka bakal berkurang, termasuk PDIP tentunya. Karena, Prabowo akan memasukkan kader-kadernya dalam Pemerintahan Jokowi – Ma’ruf mendatang. Setidaknya, minimal 8 kursi dalam kabinet. Boleh jadi, inilah yang kemudian membuat Surya Paloh mengadakan pertemuan, di luar PDIP. Manuver Paloh mengumpulkan anggota Koalisi Jokowi minus PDIP, karena mereka tetap khawatir dengan kehadiran “mitra koalisi” barunya, Gerindra. Sementara itu, di sisi lainnya, PDIP dan tentu saja Jokowi – Ma’ruf perlu legitimasi Prabowo. PDIP sendiri, kabarnya, lebih senang bermitra dengan Gerindra. Di sini jelas sekali, adanya sinyal bahwa jika Jokowi tak menuruti permintaan Megawati soal jatah menteri untuk PDIP, maka bisa saja setiap saat PDIP dan Megawati meninggalkannya. Apalagi, kabarnya, sekarang ini memang sedang ada pembicaraan antara elit PDIP dengan Gerindra perihal bagi-bagi jatah kursi pimpinan DPR-MPR. Untuk Ketua DPR diberikan ke PDIP sebagai pemenang Pemilu 2019. Ketua MPR jatah Gerindra. Posisi Wakil Ketua DPR maupun MPR diserahkan pada partai pemenang urutan berikutnya. Di sini jelas sekali, apa yang diinginkan Megawati pasti bakal tercapai. Puan Maharani calon kuat Ketua DPR. Setelah posisi di legislatif diraihnya, kini menteri. PDIP yang semula seakan tak peduli dengan pembagian kursi dan jatah menteri, kali ini jelas menunjukkan penolakannya jika hanya diberi jatah sedikit. PDIP telah menunjukkan wajah aslinya. Megawati meminta lebih banyak menteri nantinya. “Mesti lebih banyak. Orang kita ini pemenang pemilu dua kali,” tegas Megawati lagi. Lebih banyak yang dimaksud ini tentu jumlahnya lebih dari yang sekarang dan mesti lebih banyak dari partai anggota koalisi lainnya. Karena PDIP pemenang pemilu. Megawati dengan tegas mengatakan akan menolak jika Presiden Jokowi hanya memberikan sedikit jatah kursi menteri untuk diisi kader PDIP. “Jangan nanti, Ibu Mega, saya kira karena PDIP sudah banyak kemenangan, sudah di DPR, saya kasih empat,” ujarnya. “Emoh, tidak mau, tidak mau, tidak mau,” tegas Megawati. Saat mendapat giliran berpidato, Presiden Jokowi menjanjikan kursi menteri terbanyak untuk PDIP. “Yang jelas, PDIP pasti yang terbanyak. Jaminannya saya,” jawab Presiden Jokowi. Apakah pernyataan keras perihal jatah menteri yang disampaikan Megawati itu tidak lain psy-war kepada para pihak yang selama ini mendikte Presiden Jokowi, setelah akhirnya diketahui oleh Megawati setelah berjalan sekian tahun Jokowi berkuasa? Apalagi, melalui Kepala BIN Budi Gunawan, Megawati sudah tahu bahwa kemenangan yang diperoleh Jokowi – Ma’ruf atas Prabowo – Sandi pada Pilpres 2019 penuh kecurangan TSM, meski secara yuridis formal MK sudah memenangkan mereka. Lebih tegas lagi adalah sikap Ijtima Ulama IV di Jakarta yang tidak mengakui Jokowi sebagai Presiden Terpilih karena penuh dengan pencurangan TSM. Joked2019 @Joked2019 menulis, karenanya tak bisa dilantik, apalagi tak memenuhi syarat pasal 6A UUD 2002. “Mustahil dilakukan pelantikan yang paradoks terhadap konstitusi. Kian membesar gerakan tolak lantik,” lanjut twiter Joko Edy. Megawati pun pasti juga tahu soal syarat pasal 6A UUD 2002 tersebut. Di sinilah Prabowo punya posisi yang sangat kuat. Kalau yang dikejar cuma kursi menteri, jika Prabowo yang dilantik menjadi presiden, dapat dipastikan ia akan menuruti Megawati dan PDIP. ***

Jurus "Pendekar Mabuk" Prabowo dan Isu "Penumpang Gelap"

Ada kelompok elit Gerindra yang main dua kaki untuk mendekatkan Prabowo dengan Megawati, serta menjauhkan Prabowo dari para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 sekaligus mencabut Prabowo dari umat Islam militan garis lurus. Mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi untuk melemahkan umat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Oleh : A. Sofiyanto (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tampaknya, perilaku elit Partai Gerindra semakin membingungkan kawan dan lawan. Setelah Prabowo ujug-ujug melakukan jurus ‘pendekar mabuk’ dengan “pertemuan MRT dengan Jokowi” disusul “pertemuan nasi goreng bersama Megawati’ jelas membuat pentolan Gerindra ini mengecewakan pendukung militan capres 02 Prabowo-Sandi melawan capres 01 Jokowi-Maruf. Jurus pendekar mabuk yang sulit ditebak ke mana arah pukulannya, juga mengejutkan lawan politik Prabowo. Dalam sejarah politik di negeri ini, baru pertama terjadi rival politik yang sedang dalam persaingan memanas mendadak sontak berangkulan. Wajarlah jika pendukung militan 02 kaget dan kecewa berat. Pasalnya, mereka merasa capres 02 itu dikalahkan secara curang oleh kubu capres petahana dalam Pilpres 2019. Untuk mendinginkan kemarahan pendukungnya, katanya Prabowo berjanji akan mendatangi mereka terutama emak-emak yang kecewa dengan merapatnya Prabowo ke Jokowi. Janji sowan ke pendukungnya belum dipenuhi Prabowo, kini malah elit Gerindra melempar rumor atau isu “penumpang gelap”. Sehingga malah membuat emak-emak, ulama “garis lurus” dan Alumni 212 sebagai pendukung militan Prabowo semakin kecewa. Adalah Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco yang melontarkan isu bahwa ada ‘penumpang gelap” di barisan Prabowo-Sandi saat Pilpres 2019 yang mencoba memanfaatkan Prabowo untuk kepentingan mereka. Namun, menurut Dasco, Prabowo kemudian mengambil tindakan karena sadar telah dimanfaatkan, dan para penumpang gelap itu kemudian "gigit jari" karena Prabowo segera mengetahuinya dan tidak mau dimanfaatkan. Yang bikin aneh, Dasco tak menyebut nama siapa saja sebenarnya orang, kelompok atau organisasi yang termasuk ke dalam penumpang gelap tersebut. Karuan saja pernyataan si Dasco ini bikin gaduh dan bikin saling curiga. Banyak yang bertanya siapa penumpang gelap sebenarnya, bahkan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang sempat diperkirakan adalah pihak yang dimaksud Dasco langsung memberikan konfirmasi. Melalui Ketuanya Slamet Maarif, PA212 tidak merasa menjadi penumpang gelap seperti yang dimaksud elit Gerindra. "Jadi kami yakin yang dimaksud Gerindra bukan kalangan kita dan ulama," tepis Slamet Maarif kepada wartawan, Jumat (9/8/2019). Apabila elit Gerindra itu hanya usil melontar isu tapi tidak menyebut siapa yang dimaksud, maka sebenarnya tidak ada penumpang gelap itu. Sebab, para pendukung militan Prabowo hanya bersemangat dan berjuang demi kehidupan masa depan bangsa ini agar tidak ada kecurangan, kejahatan politik dan ekonomi serta pembohongan dan pembodohan publik di negeri tercinta ini. Apakah politikus memang biasa ngeles (menghindar) pada saat terjepit mesti mencari “kambing hitam” atau ‘cari aman’ agar kepentingan pribadi dan kelompoknya tetap survive. Andai pun ada penumpang gelap, mestinya harus disingkirkan sejak awal Pilpres. Jangan seenak udelnya sendiri, dukungan dari para “penumpang gelap” itu dipakai tetapi setelah selesai pilpres disingkirkan dan dipermalukan pula. Kalaupun yang dianggap pemumpang gelap itu misalnya massa militan yang melakukan aksi demo di depan Mahkamah Konstitusi (MK) saat sidang sengketa Pilpres 2019 yang dilarang/dicegah oleh Prabowo, maka itu juga tidak relevan. Pasalnya, yang memimpin demo tersebut adalah mantan ketua penasihat KPK Abdullah Hehamahua yang sudah tua dan merupakan orang jujur serta tidak gila jabatan. Dia hanya sekadar ingin menegakkan hukum dan menyingkirkan kecurangan di negeri ini. Jadi, tidak tepat kalau tokoh semacam Abdullah Hehamahua dicap sebagai “penumpang gelap”. Kenyataan bagi pendukung militan capres 02 tentu sangat menyakitkan untuk menerima "kemenangan" yang diwarnai kecurangan. Pedih dan perih serta kecewa dan menyesal berjuang 10 bulan berjuang untuk capres 02 setelah melihat Prabowo merapat ke Jokowi. Maklum, para pejuang itu bertekad menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan di negeri ini. Bukan kecurangan, kebohongan dan kejahatan. Pendukungnya telah mengorbakan waktu, biaya, tenaga dan fikiran. Prabowo pun dianggap meremehkan pengorbanan emak-emak, serta mengesampingkan ulama yang ditangkap, diusir, berjuang untuk perubahan yang lebih baik bagi ummat dan bangsa dengan pemimpin yang mewujudkan adil dan makmur. Sebaiknya, Prabowo dengan Gerindranya jangan melakukan ‘bunuh diri politik’. Yang jelas, jutaan emak-emak dan para pendukung militan 02 marah, protes dan kecewa berat serta ada pula yang menuduh Prabowo berkhianat. Karena mereka telah berkorban moril dan materiel bahkan ada korban nyawa saat selama 10 bulan berjuang memenangkan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Maka sangat wajar kalau pendukung militan Prabowo terutama emak-emak sangat marah kepada Prabowo setelah merasa kaget ibarat disambar petir tiba-tiba mendadak sontak terjadi "perselingkuhan" di MRT antara Prabowo dengan Jokowi. Mereka tidak pernah diajak bicara sebelumnya dan bahkan tidak diberikan penjelasan setelahnya oleh Prabowo. Fakta telah terjadi, pertemuan Prabowo dengan Jokowi di Stasiun MRT Lebak Bulus disusul pertemuan dengan Megawati di Teuku Umar, dan dilanjutkan ketua umum Gerindra itu diundang oleh Megawati untuk menghadiri Kongres ke-5 PDIP di Bali pada Rabu (7/8). Dikabarkan pula, Prabowo ditawari oleh Megawati untuk siap bertarung kembali menjadi capres di Pilpres 2024. Sebenarnya tawaran dulu sudah pernah saat Prabowo bersedia menjadi cawapres pendamping Megawati di Pilpres 2009 dengan imbalan akan didukung jadi cawapres di Pilpres 2014. Namun imbalan yang tersirat dalam “Pernjanjian Batutulis” tersebut ternyata lewat karena PDI-P pimpinan Megawati mengusung Jokowi sebagai capres pada Pilpres 2014. Prabowo dikibuli ketua umum PDI-P? Karena itu, harus ada perjanjian hitam putih agar jangan sampai dikibuli kedua kalinya. Karena orang pintar bukan keledai. Apakah pertemuan Prabowo - Megawati akan membawa koalisi baru PDI-P dan Gerindra sekaligus bagi-bagi jatah kursi menteri? Dalam silaturahmi ke kediaman Megawati di Teuku Umar yang bertajuk pertemuan makan nasi goreng itu, Prabowo mengaku tidak membahas bagi-bagi kursi jatah menteri ataupun negosiasi politik pasca Pilpres 2019. Meski Prabowo sempat bicara empat mata dengan Megawati dalam pertemuan tertutup. Mudah-mudahan Prabowo tidak bohong dan sikap keluguannya sama ketika capres 02 ini melayat Bu Ani (Alm) mengutip omongan SBY bahwa isterinya mendukung Prabowo di Pilpres 2019, hingga bikin SBY tersipu-sipu yang akhirnya “meralat” pernyataan Prabowo. Yang terjadi sekarang, pasca pertemuan MRT Prabowo dengan Jokowi dilanjutkan dengan Megawati, telah memecah belah masing-masing kubu. Yakni, kubu pendukung Prabowo berantem sendiri di medsos, ada yang membela Prabowo dan ada yang mengecam Prabowo. Fatalnya pula, ada yang menuduh penumpang gelap terhadap sesama pendukung 02. Sedangkan koalisi Jokowi juga terpecah, setelah Prabowo ketemu Megawati langsung memporak-porandakan elit partai koalisi Jokowi hingga “berantem” sendiri, bahkan bersitegang rebutan kursi. Ada pula rekaan sekaligus asumsi bahwa pertemuan Megawati dan Prabowo bakal memunculkan peta politik baru. Koalisi PDI-P yang mengandeng Gerindra bakal berhadapan dengan koalisi Nasdemnya Surya Paloh dengan partai-partai yang tidak setuju Gerindra masuk kabinet Jokowi. Yang jelas pertemuan Mega – Prabowo bikin kubu 01 bersitegang dan terancam retak. Pasalnya, Partai Nasdem melalui para elitnya menyatakan tidak setuju kalau Praowo bergabung di koalisi Jokowi. Inilah setidakntya menjadi alasan mengapa kubu Surya Paloh melakukan “pertemuan tandingan” terhadap pertemuan Mega-Prabowo. Maka berkumpullah di DPP Nasdem empat pimpinan partai di koalisi Jokowi, yaitu Ketum PKB Muhaimin, Ketum Golkar Airlangga, Plt Ketum PPP Suharso dan Ketum Nasdem Surya Paloh. Silakan berkilah dan berdalih segala macam, namun publik kadung menerka bahwa ini sebagai “pertemuan tandingan” terhadap pertemuan Teuku Umar. Surya Paloh merasa terancam bahwa jatahnya akan dikikis, sehinnga berlagak main ancam pada mitra koalisi dengan berpura-pura akan mendaulat Anies Baswedan sebagai capres 2024. SBY yang selama ini dikenal sebagai musuh Megawati pun, juga terdepak. SBY dan Partai Demokrat terancam tidak akan diberi ruang untuk bermanuver. Harapan SBY untuk majukan anaknya, AHY di Pilpres 2024 pun menjadi mimpi. Maklum, ketua umum PDI-P tersebut tidak suka juga perngaruh SBY sangat besar terhadap Jokowi. Pasalnya, SBY yang diduga merekayasa Pilpres 2014 memenangkan Jokowi serta beruhasa memenangkan Jokowi lagi di Pilpres 2019. Jenderal Hendropriyono, Luhut, Moeldoko, Wiranto dan SBY yang selama ini terkesan “menjegal” Prabowo juga tak bisa berkutik lagi begitu mantan Danjen Kopassus itu bertemu Megawati. Apalagi, konon Nasdem tetap meminta jatah jabatan jaksa agung untuk kabinet mendatang jadi tidak tergapai. Ada bagusnya jika kubu Nasdem pecah kongsi dengan PDI-P, agar tidak semua partai bergabun menjadi satu di koalisi pemerintahan Jokowi. Bagi rakyat, sangalah merugikan jika tidak ada oposisi yang kritis terhadap penguasa. Jika semua partai berada di satu sisi, yaitu sisi penguasa, maka negara ini hanyalah milik segelintir penguasa. Jika semua memilih ber-rekonsiliasi dan ogah jadi opoisisi, maka kediktatoran akan makin menguat. Jika tidak ada oposisi, lebih baik bikin saja Partai tunggal seperti di negeri komunis. Maka tidak perlu ada pemilu dan pilpres yang menelan duit rakyat lebih dari Rp25 triliun yang mestinya bisa digunakan sebagai modal untuk menampung jutaan pengangguran yang marak di negeri ini. Dengan kumpul Megawati, memang ada hal yang menguntungkan bagi Prabowo meski mengecewakan pendukung militannya. Menguntungkan karena bisa membungkam Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang selama ini dikenal sebagai “the real presiden” serta pengaruh Surya Paloh dan Hendropriyono yang diduga sebagai elit pembisik Jokowi. Megawati merangkul Prabowo ke kubu 01 sekaligus memberikan isyarat ‘tendang out’ untuk LBP yang dianggap ‘ngrecoki’ pemerintahan Jokowi. Sejak Lebak Bulus, LBP paham bahwa dia akan dibuang dari lingkaran Jokowi. Setelah sadar dirinya bakal terdepak, LBP tiba-tiba melow dan mendadak ziarah kubur Benny Moerdani dan menulis “puisi” curhat di medsos. “Padahal biasanya, jangankan kuburan, akhirat pun berani dia buldozer,” sindir pegiat medsos, Hizbullah Ivan. Kita belum tahu, apa ending dari jurus pendekar mabuk Prabowo sekarang ini. Apakah ini jurus Prabowo untuk bisa membalikkan hasil pilpres yang dinilai curang? Ataukah malah kepintaran pihak ‘lawan politik’ yang berhasil menaklukkan Prabowo dengan siasat yang dibungkus “pertemuan”? Semoga saja ini kepiawaian mantan Danjen Kopassus tersebut. Kalau tidak, maka akan membuat pendukung militanya di Pilpres 2019 semakin kecewa lemas. Tapi awas... Prabowo harus ingat nazarnya, lebih baik mati ketimbang khianati rakyat. Aspirasi rakyat itu di antaranya menuntaskan skandal BLBI, kasus penyiraman Novel Baswedan, stop utang luar negeri, berantas mafia impor, dan lain-lain. Kalau setelah melakukan “jurus mabuk” Prabowo tidak menghasilkan manfaat konkrit buat rakyat, maka Prabowo akan dihukum sosial dan Gerindra erancam jadi partai gurem di Pemilu 2024. Prabowo juga harus ingat jangan mengabaikan 700 nyawa anggota KPPS yang meninggal di Pilpres 2019, ribuan yang sakit, sekitar 10 massa aksi 21-22 Mei yang tewas, ratusan terluka, dan puluhan lainnya dikabarkan “hilang”. Kabarnya, ada tawaran dari rezim petahana ataupun klaim dari kubu Prabowo bahwa “rekonsiliasi” dengan kubu Jokowi adalah untuk membebaskan para tahanan maupun ulama pendukungnya yang dikriminalisasi dan dimasukkan penjara. Apa benar? Hingga kini belum ada pengumuman siapa saja yang dibebaskan dari tahanan. Mereka masih mendekam di penjara, termasuk Kivlan Zen. Dalam video pidato Prabowo yang diunggah Ketua DPP Partai Gerindra Iwan Sumule di akun Facebook pribadinya yang diunggah Jumat (12/7), Prabowo yang tampak sedang berbicara dengan para pendukungnya menegaskan bahwa Gerindra akan selalu ingat pada rakyat dan tidak pernah berkhianat. Dia juga memastikan bahwa dirinya akan memilih mati ketimbang harus mengkhianati perjuangan rakyat. “Saya katakan kepada kalian. Lebih baik Prabowo mati daripada berkhianat kepada rakyat Indonesia,” tegas Prabowo yang sontak mendapat tepuk tangan dari seisi gedung. Bilamana koalisi dengan PDI-P, yang dilakukan Gerindra sekadar miripkan dengan kecenderungan PDI-P yang tidak ramah dengan kepentingan Islam, misalnya ada politikus PDI-P yang mengusulkan penghapusan pelajaran agama di sekolah, penolakan Perda syariah, dan lain-lain. Maka, Gerindra akan ditingalkan pemilih dari kalangan ummat Islam. Jadi, Gerindra harus tetap memperjuangkan aspirasi ulama karena dukungan mereka dalam meningkatkan perolehan suara Gerindra di Pemilu 2019 cukup signifikan. Prabowo juga harus mencegah jangan terjadi kriminalisasi ulama sekaligus mendorong kepulangan Habib Rizieq ke tanah air sesuai kedekatan Prabowo dengan pemimpin FPI tersebut jelang Pilpres. Dan semoga saja tidak benar kabar yang mengungkapkan bahwa ada kelompok elit Gerindra yang main dua kaki untuk mendekatkan Prabowo dengan Megawati, serta menjauhkan Prabowo dari para ulama GNPF dan para pemuka PA-212 sekaligus mencabut Prabowo dari umat Islam militan “garis lurus”. Perlu diwaspadai mereka akan ‘digarap’ di periode kedua Jokowi. Diperkirakan, akan banyak kebijakan dan tindakan langsung Presiden yang ditujukan untuk melemahkan ummat garis lurus dengan dalih membasmi radikalisme. Apalagi, di era rezim ini ummat Islam merasa “dirugikan” alias tidak diuntungkan seperti di era-era sebelumnya. Ada pendapat yang menganggap bahwa Prabowo akan memporak-porandakan kubu 01, setelah pertemuan dengan Jokowi dan kemudian mendatangi rumah Megawati. Benarkah Prabowo bakal berhasil mengacak-acak kubu 01 serta “menghancurkan” Jokowi dan para sekutunya? Lihat saja nanti! Jika benar, maka Prabowo adalah ahli strategi yang hebat. Tapi kalau ujung-ujungnya Jokowi tetap dilantik jadi presiden pada Oktober 2019 dan Gerindra ikut bergabung dengan partai koalisi pemerintah Jokowi serta cuma mendapat segelintir kursi menteri yang trivial, maka artinya jurus ‘pendekar mabuk’ Prabowo ternyata adalah jurus mabuk beneran. He...he...hee... (***)

Maling Teriak Maling di Ketiak Prabowo

Relawan garis lurus dituduh menjadi penumpang gelap oleh penjilat Prabowo. Ayo sebut saja, jangan bikin polemik. Oleh Azwar Siregar Jakarta, FNN - Ada yang kenal gak sama di Dasco-nyet ini. Tolong sampaikan sama si Dasco-nyet dan para penjilat yang lain jangan terus-menerus melempar fitnah dan membuat polemik di antara pendukung Prabowo Subianto. Poros ketigalah, penumpang gelaplah, residulah dan entah sebutan apalagi tapi tidak pernah berani menunjuk jari: Siapa pengkhianatnya? Walaupun sangat kecewa tapi saya berusaha diam dengan semua strategi "sepak bola-nya" Prabowo. Saya berusaha mendamaikan jiwa dengan menganggap kami tetap satu tujuan biarpun sudah berbeda jalan, demi negeri ini. Tapi setiap tuduhan dan fitnah recehan yang tidak jantan kepada pendukung atau relawan Prabowo di Pilpres yang lalu akan saya lawan. Saya adalah bagian relawan yang ikhlas mengeluarkan uang, tenaga dan semua kemampuan saya untuk memenangkan Prabowo. Saya bahkan tidak peduli tidak dikenal siapa-siapa, bahkan oleh Prabowo sendiri, tapi saya dikenal banyak masyarakat yang saya ajak untuk memilih dia. Saya juga banyak mengenal sahabat-sahabat saya dan rakyat jelata yang juga tidak kalah militannya mendukung Prabowo. Mulai pengusaha yang membantu dana, tukang sablon yang memberikan diskon khusus, penjual gado-gado yang memberikan gado-gado gratis sampai anak buah saya yang kerja sukarelawan memasang spanduk dan sticker. Sekarang kami dan orang-orang ini difitnah sebagai penumpang gelap? Monyet kalian. Iya kalian para bangsat yang makan dari kaki Prabowo dan selama ini cuma duduk tenang dan santai menunggu kemenangan. Andaipun Prabowo kemarin tidak dikalahkan KPU, sebenarnya kami tidak dapat apa-apa. Kalian yang akan jadi Menteri, jadi Dubes, jadi Komisaris BUMN. Kami cuma meminta dan berharap Indonesia dikelola dengan baik. Sekarang Prabowo kalah karena ulah internalnya sendiri yang brengsek, kalian mau cuci tangan dan balik badan demi menjilat si pemenang agar tetap dapat jabatan. Silahkan...!!!, tapi jangan menyakiti lagi hati kami. Tidak ada relawan yang jadi penumpang gelapa. Kalianlah bangsat-bangsat penjilat yang jadi penumpang gelap. Jangan berkali-kali menyalahkan rakyat dan korban yang jatuh di demo MK. Bukankah yang setuju ke MK Prabowo Sendiri? Rakyat menonton dan melihat sandiwara keadilan di MK, rakyat marah dan berunjuk rasa. Kenapa kemudian rakyat yang disalahkan? Sekali lagi silahkan bergabung dengan si pemenang. Tapi tidak perlu harus angkat-angkat telor dan cari-cari muka sampai mengorbankan para relawan yang dulu berjuang bersama kalian. Tentu saja kecuali kalian dan Prabowo memang ngga punya telor dan ngga punya muka. Badjingan !!!

Kongres PDIP: Tangga Lebih Tinggi Cucu Soekarno

Di mulut, Mega menyadari bahwa PDIP bukan partai keluarga. Namun dalam praktiknya, Mega menyiapkan putra-putrinya untuk menggantikannya. Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Jika Sukarno pernah diangkat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara atau MPRS sebagai presiden seumur hidup, maka Megawati Soekarnoputri naga-naganya juga bakal dipilih menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan sampai dirinya menyerah. Sudah 25 tahun Megawati Soekarnoputri menjadi ketum partai berlambang banteng moncong putih itu, tapi tak ada tanda-tanda dia lengser keprabon. Mega masih betah dan tak belum bosan. Pada Kongres PDIP Ke-5 di Bali pada 8-11 Agustus 2019 nanti, pemilik suara kemungkinan besar masih menginginkan Mega lagi untuk memimpin PDIP. Lagi pula sejauh ini belum ada pengganti yang berani mencalonkan diri, melawan Mega. Mega sudah manula. Nenek sudah berusia 72 tahun. Kini, kabar yang beredar, untuk menopang kerja Ketum, akan dibuat pos jabatan baru di Dewan Pimpinan Pusat PDIP, yakni ketua harian. Kabarnya lagi, kursi ini disiapkan untuk putra dan putri mahkota: Muhammad Prananda Prabowo (Nanan) atau Puan Maharani. Keduanya adalah darah daging Mega. Jabatan ketua harian nantinya di bawah langsung Ketua Umum Megawati. Posisi itu punya kewenangan yang mirip dengan ketum. Ketua harian akan menangani persoalan sehari-hari partai. Namun hal-hal yang tergolong sangat penting tetap akan ditangani oleh Ketum. "Ketua harian akan incharge sehari-hari membantu ketua umum secara langsung, dan memiliki otoritas yang mirip ketum, kecuali untuk hal-hal yang penting sekali," kata Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan PDIP, Eva Kusuma Sundari, Jumat (2/8). Isu ini sudah santer terdengar di kalangan internal partai pemenang Pemilu 2019 ini. "Tentu saja itu hak prerogatif ketua umum untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua harian, walaupun memang santer terdengar nama Mas Prananda kuat," kata Eva. "Nama Puan Maharani juga kuat," tambah Eva buru-buru. Prananda Prabowo adalah Ketua DPP PDIP yang meneken surat Rakernas IV PDIP tertanggal 31 Mei 2018. Sejak surat itu beredar, posisinya di PDIP terlihat makin sentral. Sedangkan Puan Maharani, kini menabat Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Puan juga merupakan caleg terkuat di DPR RI 2019-2024. Jika benar skenario itu yang bakal terjadi, maka kader-kader Banteng di luar keluarga Mega, termasuk Joko Widodo, tak usah bermimpi menjadi pucuk pimpinan PDI-P pengganti Mega. Partai ini, sepertinya sudah menjadi partai keluarga Mega, peralihan dari partai keluarga Sukarno. Peluang Jokowi Pada 2010 lalu, Guruh Soekarnoputra sempat terbersit untuk mencalonkan diri sebagai pengganti Mega. Saat ia menyampaikan niatnya itu, Mega memberi nasihat pada adiknya itu. "Mbak Mega bilang, oh bagus kalau begitu. Tetapi ingat, ini bukan partai keluarga. Ini partai banyak orang. Saran saya, kamu turun ke bawah deh," ujar Guruh menirukan ucapan Mega, 27 Januari 2010. Di mulut, Mega menyadari bahwa PDIP bukan partai keluarga. Namun dalam praktiknya, Mega menyiapkan putra-putrinya untuk menggantikannya. Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Ade Reza Haryadi, menganggap secara logis kursi ketua umum PDIP bisa saja terjadi regenerasi. Akan tetapi kemungkinan yang terjadi ialah regenerasi itu akan turun langsung ke keluarga Megawati. "Episentrum politik PDIP tetap Megawati, dan regenerasinya logis kalau turunnya ke Puan Maharani atau Prananda Prabowo," kata Ade kepada Suara.com, Jumat (2/8). Ade tidak memungkiri apabila ada pergantian sosok pada kursi ketum PDIP. Akan tetapi kecil kemungkinan apabila wajah baru itu berasal dari luar, termasuk nama Joko Widdo atau Jokowi. "Saya kira kecil peluangnya Jokowi bisa menggantikan Megawati," katanya. Peneliti Senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS), J Kristiadi, mengatakan regenerasi kepemimpinan pasti terjadi karena waktu terus berjalan. Namun, dalam konteks regenerasi di PDIP, Kristiadi menganggap pergantian pemimpin tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Regenerasi kepemimpinan di parpol merupakan kewajiban. Namun, Kristiadi menganggap, regenerasi bisa dilakukan secara parsial. "Sebab tidak bisa, tidak mungkin, suatu yang sangat karismatik ini ditularkan secara cepat. Ibu Mega itu karismatik luar biasa sebab sudah berpengalaman dan begitu banyak jabatan yang disandang," tuturnya. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, menuturkan, hampir seluruh kader banteng mengharapkan Megawati Soekarnoputri kembali memimpin PDI Perjuangan periode 2019-2024. Setidaknya, 33 dari 34 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP yang memiliki keinginan sama agar putri dari Presiden ke-1 RI Sukarno itu kembali menjadi ketum. Menurut dia, 33 DPD PDIP telah menyelenggarakan konferensi daerah menjelang Kongres Nasional V PDIP pada 8-10 Agustus mendatang di Pantai Matahari Terbit, Bali. Dalam konferda itu, para kader mendukung Megawati untuk kembali menjadi ketum. Wajar saja jika ada yang menganggap kongres ini kali tak akan jauh beda dengan kongres sebelumnya: memilih kembali Mega. Bedanya, musyawarah tertinggi ini memberi tangga lebih tinggi kepada putra-putri Mega. Selamat berkongres.

Prabowo, antara Emak Banteng dan Emak-Emak

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Wajah Ketua Umum PDIP Megawati tampak cerah, berseri-seri. Pada pidato pembukaan Kongres PDIP di Bali Ahad siang (8/8) dia banyak tersenyum, melucu, menggoda dan meledek para hadirin, terutama tamu undangan yang hadir. Yang paling banyak diledek dan disebut namanya, siapa lagi kalau bukan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Padahal banyak tamu undangan lain, termasuk para ketua umum partai koalisi Jokowi-Ma’ruf. Mega memanggil Prabowo dengan panggilan “pak,” “situ” dan “mas.” Menunjukkan hubungan keduanya sangat dekat. Mega mengungkap cerita seputar Pilpres 2019 lalu. Dia mengaku capek bertarung melawan Prabowo di Jawa Tengah. "Aduh, capek juga, Pak, situ sih bikin-bikin capek saya, ha…ha…ha….., ” Ujarnya menyinggung pemindahan posko BPN Prabowo-Sandi ke Solo, Jawa Tengah. "Bener loh, Pak, Mas. Saya manggilnya Mas, Mas Bowo. Makanya kalau, kalau nanti... ya nggak tahu dong, tolong deket-deketin saya ya ha-ha-ha. Aduh. Ya masak sih serius terus, ya boleh jugalah," ucap Megawati. Mendengar guyonan Megawati, kendati tak begitu jelas apa maksudnya, Prabowo langsung berdiri dan memberi sikap hormat. Wajar saja bila Megawati tampak sangat happy dengan kehadiran Prabowo. Dia menjadi tamu super penting. Kehadirannya sangat ditunggu-tunggu dan diistimewakan. Sebelum kongres berlangsung, secara khusus Megawati mewanti-wanti, agar para peserta jangan sampai berbuat sesuatu yang bisa membuat Prabowo tidak nyaman. "Jangan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung undangan, apalagi ada undangan terhormat seperti Pak Prabowo yang hadir. Jadi jangan sampai ada yang bilang, huuu…… Jangan begitu," kata DPD PDI-P Bali I Wayan Koster menirukan ucapan Megawati. Posisi duduk Prabowo juga sangat spesial. Dia duduk berderet dengan Megawati, Presiden Jokowi, Wapres Jusuf Kalla, dan Wapres terpilih Ma’ruf Amin. Berbeda dengan Megawati —“Emaknya” partai banteng —yang tampak berbahagia-ria, emak-emak pendukung Prabowo melihat kehadiran jagoannya itu di kongres PDIP dengan sikap beragam. Ada yang marah, tidak peduli alias egepe (emang gua pikirin), mendukung, tapi ada juga yang sikapnya mendua. Semula mendukung, tapi menjadi sebel melihat gaya Mega mencandain Prabowo. Bahasa tubuh dan ucapan Mega dinilai tidak menunjukkan sikap respect. Menghormati tamu undangan spesial. Padahal bila melihat secara kronologis, ada kesan yang sangat kuat, Megawati dan Jokowi lah yang lebih membutuhkan Prabowo. Bukan sebaliknya. Mulai dari pertemuan di MRT, dilanjutkan dengan jamuan nasi goreng, sampai undangan menghadiri kongres. Semua inisiatifnya datang dari kubu Megawati-Jokowi. (Benci tapi rindu) Soal perasaan para pendukung, khususnya emak-emak militan, baik Megawati, apalagi Prabowo, harus benar-benar berhati-hati. Bila sampai salah penanganannya, skenario yang mereka susun secara cantik, bisa hancur berantakan. Ngototnya kubu 01 menggandeng Prabowo tidak lepas dari realitas dilapangan dan problem legitimasi pemerintahan Jokowi. Mereka sangat berkepentingan merangkul Prabowo. Targetnya mematahkan perlawanan kekuatan sosial pendukung 02, sekaligus memperkuat legitimasi Jokowi sebagai presiden terpilih. Silakan berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia, bahkan termasuk di berbagai kota di Jawa. Semangat perlawanan dari para pendukung Prabowo-Sandi masih sangat tinggi. Mulai dari kalangan ulama, purnawirawan, relawan dan jangan tanya lagi di komunitas emak-emak. Mereka tidak pernah merasa kalah, tapi dikalahkan! Banyak yang masih merasa bahwa yang harus menjadi presiden Prabowo, bukan Jokowi. Para relawan ini menjadi sangat kesal, sebel, jengkel, marah ketika Prabowo bersedia bertemu dengan Jokowi. Kemudian bertemu Megawati, dan sekarang malah hadir di kongres PDIP. Mantan Wamenhan Letjen TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin bersama sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI yang tengah berada di Surabaya, kebagian “getah” pelampiasan unek-unek dari para relawan. Padahal Sjafrie bukan tim sukses, apalagi anggota BPN Prabowo-Sandi. Sebagai purnawirawan TNI, teman satu angkatan Prabowo di Akabri (1974) dia tampaknya diharapkan dapat menyampaikan pesan dan unek-unek mereka. Hubungan Prabowo dengan para relawannya ini bila dicermati adalah hubungan BENCI tapi RINDU! Mereka masih berharap—entah bagaimana caranya— Prabowo-Sandi yang dilantik sebagai presiden dan wapres. Bukan Jokowi-Ma’ruf. Sebuah harapan yang tidak masuk akal, tapi itulah kenyataannya. Soal ini harus benar-benar disadari oleh Prabowo dan orang-orang di sekitarnya. Dia harus mau meluangkan waktu bertemu para relawan. Harus punya kesabaran ekstra menjelaskan mengapa dia akhirnya mau bertemu dan kemungkinan besar bergabung dengan Jokowi. Kegagalan menjelaskan manuver politiknya yang tidak lazim, akan berdampak serius bagi Prabowo. Dia akan ditinggalkan para pendukungnya. Mereka akan mencari figur baru. Bila ini yang terjadi, yang rugi bukan hanya Prabowo, namun juga Jokowi dan Megawati. Basis legitimasi rakyat yang diinginkan, tidak akan terwujud. Prabowo dan kekuatan sosial yang mendukungnya adalah satu paket. Salah besar bila mengambil kesimpulan: cukup rangkul Prabowo, otomatis para pendukungnya akan mengikutinya. Kepentingan dan aspirasi para pendukung 02 juga harus diakomodasi. Hapus kebijakan yang menimbulkan perasaan diperlakukan tidak adil (perceived unjustice) di semua sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Tunjukan bahwa rekonsiliasi itu bukan hanya terjadi di kalangan elit, tapi juga melibatkan rakyat. So Bu Megawati tidak boleh terlalu cepat senang. Sudah berhasil memenangkan pertempuran. Pandai-pandailah memahami dan menjaga perasaan para pendukung 02. Kecuali bila targetnya memang hanya sekedar memisahkan Prabowo dari para pendukungnya.

Strategi Prabowo Makin Mantap

Dengan strategi rekonsiliasi dan koalisi, Prabowo melakukan banyak hal sekaligus. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Benar juga, ternyata. Benar bahwa Prabowo Subianto adalah ahli strategi yang luar biasa hebat. Mula-mula dia memberikan legitimasi kepada Jokowi. Bersalaman di stasiun Lebak Bulus. Banyak orang yang ribut. Bahkan mencela dia. Kemudian, Prabowo melakukan rekonsiliasi. Setelah itu, siap menerima ajakan berkoalisi. Ajakan bagi-bagi kekuasaan. Para pendukung setia Prabowo wajar kagum. Sang idola memang pintar memporak-porandakan Kubu 01. Bersalaman dengan Jokowi, kemudian mendatangi rumah Megawati untuk makan nasi goreng. Setelah itu, Prabowo semakin jauh melakukan penetrasi ke jantung lawan. Beginilah keyakinan para pendukung. Mereka percaya, Prabowo akan menang. Strategi hebat itu berlanjut. Prabowo diundang oleh Megawati untuk menghadiri Kongres ke-5 PDIP di Bali, hari ini (7/8/2019). Semakin dihormati oleh Banteng. Semakin disegani oleh Megawati. Itulah strategi Prabowo. Orang lain tak mampu memahaminya. Tak mampu membaca strategi cemerlang itu. Tetapi, Bu Mega meminta para kader PDIP agar tidak menyoraki Prabowo sewaktu memasuki ruang kongres. Mega meminta agar semua kader menghormati tamu. Tampaknya, Bu Mega kurang yakin juga kalau semua orang PDIP senang kepada Prabowo. Di Bali, Prabowo akan mengobark-abrik Kongres PDIP. Begitulah, mungkin, bayangan tentang strategi Prabowo. Dia akan menggiring para petinggi Banteng agar menekan Jokowi supaya memberikan kekuasaan sebesar mungkin kepada orang-orang 02. Pokoknya, kongres di Bali akan menjadi panggung Prabowo. Boleh jadi, begitulah yang harus diyakini oleh para pendukung 02. Ketum Gerindra akan membuat Adian Napitupulu tersipu-sipu. Selama ini dia habis-habisan melecehkan Prabowo. Kali ini, Adian akan dibuat tak berkutik. Dia tak akan berani lagi menyebut-nyebut keterlibatan Prabowo dalam huruhara 1998. Kelihatannya, Adian akan datang meminta maaf kepada Prabowo. Selama ini, Adian berkali-kali mengatakan Prabowo itu penculik. Sekarang, dengan strategi rekonsiliasi dan koalisi, Prabowo melakukan banyak hal sekaligus. Dia akan dihormati. Dia akan mendapatkan kekuasaan besar. Prabowo akan dipulihkan nama baiknya oleh PDIP. Para pemilih Prabowo seharusnya tidak usah khawatir. Harus percaya Prabowo akan berhasil menghancurkan Jokowi dan para sekutunya. Para pendukung Prabowo diimbau agar yakin bahwa semua orang di Kubu 01 itu bisa diacak-acak oleh mantan Danjen Kopassus itu. Pokoknya jangan ragu. Dia itu ahli perang. Ahli mengepung dan melumpuhkan musuh. Jadi, Anda semua perlu terus bersabar. Bisa jadi nanti Prabowo yang, akhirnya, dilantik menjadi presiden. Percayalah, kalau Prabowo sampai memutuskan untuk mengambil posisi yang semakin dekat ke Bu Mega, itu artinya ada sesuatu yang besar yang sedang dipersiapkan untuk Prabowo. Memang kita semua harus sama-sama menonton episode yang cukup membingungkan. Bingung karena Prabowo sekarang bergerak sendirian. Tapi, tidak apa-apa kebingungan sebentar demi strategi yang jitu. ***

Koalisi Teuku Umar Bikin Merinding Trio Ubur-ubur Wiranto, SBY & Paloh

By Luqman Ibrahim Soemay (Bagian Pertama) Jakarta, FNN - Kerja politik Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan berbuah manis dan indah. Kalau ibarat barang dagangan, kerja Budi Gunawan ini bisa dibilang meraih sukses besar atau untung besar. Wajar bila ada yang memperkirakan kesepakatan itu sudah mencapai 90%. Megawati dan Jokowi bakal berkoalisi dengan Prabowo. Jadilah koalisi nasionalis sejati antara Megawati, Jokowi, dan Prabowo. Koalisi ini pasti bakal membuat banyak pihak yang blingsatan. Mereka seperti mimpi di siang bolong. Penolakan paling keras pasti datang dari mereka, khususnya elit politik yang selama ini manjadikan Prabowo sebagai musuh abadi. Bahkan mungkin sampai di dalam kubur sekalipun mereka tetap saja memusuhi Prabowo. Penyebabnya hanya karena Prabowo terlalu banyak tahu tentang sepak terjang mereka selama masih aktif menjadi tentara. Mereka umumnya menunggangi dan menjadikan jabatan untuk kepentingan pribadi. Namun berlaga seperti orang yang paling berpihak kepada kepentingan rakyat. Selain Prabowo, Megawati adalah orang paling tahu tentang kepalsuan dan kebusukan mereka selama ini. Kubu pertama yang paling resisten dengan lahirnya koalisi Mega Jokowi Prabowo adalah “Trio Wekwek”. Personilnya adalah AM. Hendropriyono, Luhut Binsar Pandjaitan dan Gories Mere. Sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa Trio Wekwek ini salah satu hobinya adalah membenturkan pemerintah Jokowi dengan kelompok Islam kanan. Pendukung Prabowo, hampir dua pertiga adalah kelompok Islam kanan. Trio Wekwek berhasil memframming wajah Islam Indonesia yang identik dengan Islam teroris, Islam ekstrim, Islam radikal dan Islam intoleran. Trio Wekwek banyak mendapatkan manfaat dari memframming wajah Islam seperti ini. Kelompok elit politik lain yang sangat terpukul dengan lahirnya koalisi Teuku Umar ini adalah Trio Wiranto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Surya Paloh. Saya namakan mereka bertiga dengan sebutan “Trio Ubur-ubur”. Berbeda dengan Trio Wekwek dalam bekerja di lapangan. Trio Wekwek sering bekerja secara tim. Meskipun mempunyai musuh bersama, yaitu Prabowo, namun Trio Ubur-ubur ini tidak bekerja secara tim. Personil Trio Ubur-ubur cenderung bekerja sendiri-sendiri dalam menjegal atau menghadapi Prabowo. Mereka lebih nyaman bekerja menghalangi Prabowo dengan menggunakan tim-tim kecilnya sendiri, daripada bersama-sama. Syahwat kekuasaan yang paling menonjol dari Trio Ubur-ubur ini adalah memperjuangkan kepentingan pribadi mereka dan anak-anaknya saja. Trio Ubur-ubur jarang sekali berjuang untuk kepentingan kelompok atau teman-teman dekatnya. Boleh dibilang tidak terlintas sedikitpun di benak Trio Ubur-ubur untuk memikirkan kepentingan dan keselamatan bangsa. Laga-laganya seperti hidupnya hanya untuk bangsa dan negara. Sebaliknya, Trio Ubur-ubur selalu berusaha dengan segala cara menunggangi bangsa dan negara untuk kepentingan pribadi mereka. Wiranto misalnya, kalo meminjam sinyalemen mantan Kasum TNI Letjen TNI (Purn.) J. Suryo Prabowo menjadi spesialis penjilat kekuasaan. Wiranto mulai menjilat kekuasaan sejak eranya Presiden Soeharto. Setelah itu dilajutkan dengan menjilat B.J. Habibie. Saat Gus Dur menjabat presiden, Wiranto menjilat Gus Dur untuk menjadi Menkopolhukam. Namun dipecat oleh Gus Dur di tengah jalan. Bahkan Gus Dur memecat Wiranto dari dalam pesawat kepresidenan dalam perjalanan pulang dari Amerika menuju Jakarta. Sekarang giliran Wiranto kembali menjilat Jokowi untuk masuk dalam pusat kekuasaan. Saat menjabat sebagai Panglima TNI dan Menhankam, Presiden Habibie pernah melamar Wiranto untuk menjadi wakil presiden di Pemilu 1999, jika pertanggung jawaban presiden mandataris MPR diterima Sidang Umum MPR. Namun ketika itu Wiranto menolak ajakan Habibie. Padahal sejatinya ajakan Habibie kepada Wiranto adalah perintah dari seorang Presiden/Penglima Tertinggi Angkatan Bersenjata—sekarang TNI. Alasan Wiranto menolak permintaan Habibie adalah memilih berada di tengah-tengah semua kelompok politik dan masyarakat. Wiranto mengatakan, “dalam kondisi seperti sekarang ini, tempat yang terbaik bagi saya adalah berada dan berdiri di tengah-tengah semua kelompok masyarakat”. Sayangnya diam-diam Wiranto punya rencana lain. Dengan bermodalkan Fraksi ABRI, Fraksi Utusan Daerah dan Fraksi Golkar di MPR, Wiranto berharap dirinya yang dicalonkan sebagai presiden oleh MPR. Wiranto ketika itu berharap pertangung jawaban Presiden Habibie sebagai Presiden Mandataris ditolak oleh MPR. Dengan demikian Habibie tidak lagi maju sebagai calon presiden periode 1999-2004. Hasil Sidang Umum MPR memang menolak pertanggungjawaban Habibie sebagai Presiden Mandataris. Akibatnya Habibie juga batal untuk mencalonkan diri lagi sebagai Presiden. Namun bukannya Wiranto yang dicalonkan oleh fraksi-fraksi di MPR, tatapi Gus Dur dan Mewagati dicalonkan dan dipilih MPR sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 1999-2004. Keputusan menolak perintah Habibie sebagai Presiden/Panglima Tertinggi TNI bukanlah yang pertama kali bagi Wiranto. Pada tahun 1998, Wiranto juga menolak perintah Presiden Soeharto untuk melakukan langkah-langkah pemulihan keamanan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 16 tahun 1998. Jawaban Wiranto kepada Presiden Soeharto ketika itu adalah “Saya tidak bisa melaksanakan Inpres ini Pak”. Dijawab lagi oleh Soeharto kepada Wiranto “Dasar kamu memang jenderal banci. Saya sudah tahu kamu tidak mampu melaksanakan Inpres ini”. Mengomentari sikap Wiranto menolak Inpres Nomor 16 Tahun 1998 tersebut, seorang pensiunan Jenderal TNI mengatakan, “Waktu itu Panglima ABRI-nya bukan Wiranto, tetapi Wiranti. Pastilah tidak punya nyali dan keberanian. Kalau saya yang dikasih kewenangan Inpres tersebut, pasti sudah saya sapu besih itu gedung DPR, “ujar sang pensiunan. Menolak perintah Presiden/Penglima Tertinggi Militer adalah tindakan insubordinasi bagi seorang prajurit TNI. Perbuatan Wiranto ini, termasuk katagori pelanggaran paling berat di militer, karena dapat membahayakan kepentingan negara. Hukumannya juga dipilih hukuman yang paling memberatkan. Beberapa negara tertentu menerapkan sanksi hukuman mati atau penjara seumur hidup untuk pelanggaran seperti ini. Untuk masuk dalam kekuasaan, Wiranto tidak peduli siapa presiden yang sedang berkuasa. Wiranto akan melakukan segala cara, daya, dan upaya untuk menjilat presiden yang berkuasa. Targetnya diterima masuk dalam kekuasaan. Wiranto juga sepertinya tidak bisa survive di tengah-tengah masyarakat tanpa manyandang label bagian dari kekuasaan. Wiranto bukan saja lihai dan jago dalam menjilat penguasa. Untuk mewujudkan ambisinya, mantan ajudan Soeharto ini bisa juga menjadi raja tega. Wiranto bisa dengan sadar rela mengorbankan teman-teman dekatnya demi memuluskan ambisi masuk dalam kekuasaan. Lihat saja, berapa banyak teman-teman lamanya ketika masih aktif di TNI bisa bertahan berada di samping Wiranto sekarang? Kalaupun masih ada, ya bisa dihitung dengan jari. Paling-paling hanya satu dua orang yang bisa bertahan mengikutinya. Yang masih bertahan ikut Wiranto tinggal Jendral TNI (Purn.) Fahrul Rozy, Jendral TNI (Purn.) Subagyo HS dan Marsekal Madya TNI (Purn.) Daryatmo. Selain itu, jenderal-jenderal loyalis Wiranto pada kabur meninggalkan Wiranto. Sebut saja Letjen TNI (Purn.) Suadi Marasabessy, Komjen Polisi (Purn.) Nugroho Djajusman, Letjen TNI (Purn.) Sarwan Hamid, Letjen TNI (Purn.) Agus Wijoyo, Letjen TNI (Purn.) Djamari Chaniago, Letjen TNI (Purn.) Djaja Suparman dan Letjen TNI (Purn.) Sudi Silalahi. Lihat kelakuan Wiranto untuk bisa masuk menjadi Menkopolhukam. Dia tidak segan-segan untuk mengorbankan dua kadernya dari Partai Hanura yang sedang menjabat menteri. Mereka adalah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Yudi Chrisnandi dan Menteri Perindustrian Saleh Husein. Hanya orang gila kekuasaan yang rela korbankan kadernya demi ambisi pribadinya. Dan manusia langka itu hanya Wiranto Wiranto juga dengan sangat sadar rela mengorbankan Partai Hanura yang didirikannya lima belas tahun lalu. Saat itu Jokowi mempunyai kebijakan, para menteri tidak boleh merangkap Ketua Umum Parpol. Wiranto lalu menyerahkan Partai Hanura bulat-bulat ke Oesman Sapta Odang (OSO) yang bukan kader Hanura. Kabarnya OSO bisa menjadi Ketua Umum Hanura dengan sejumlah cerita miring adanya angka-angka keberuntungan yang menyertainya. Hasil Pemilu Legislatif 2019 cukup jelas dan nyata bagi Wiranto. Partai Hanura terjun bebas dari gedung DPR Senayan. Hanura tidak lolos ambang batas Parliamentary Threshold di DPR, yang dipatok minimal empat persen. Akibatnya, untuk pertama sejak kelahirnya, Partai Hanura tidak lagi mempunyai kursi di perlemen senayan. Wiranto memang sukses menggusur Partai Hanura keluar dari DPR demi memenuhi syahwat dan ambisi pribadinya. Selain tidak bisa eksis tanpa menjilat penguasa, Wiranto juga tak bisa hidup tanpa embel-embel jabatan “ketua”. Mau “ketua” apa saja tidaklah penting. Yang terpenting nama dari jabatan tersebut adalah “ketua”. Jabatan “ketua” itu menjadi penting karena akan dijadikan Wiranto sebagai bargaining positioning dan pintu masuk menjilat kekuasaan. Seorang teman sambil bergurau mengatakan, Wiranto itu kalau malaikat pencabut nyawa “Malaikat Izrail” mau menjemputnya, Wiranto masih sempat-sempatnya bertanya dulu, “Sabar malaikat. Kalau di akherat sana, saya bisa punya jabatan sebagai ketua apa?" Terakhir Wiranto juga masih sempat bertanya kepada Malaikat Izrail, “Nanti saya bisa diterima ngga menjadi bagian dari penguasa di sana? Jabatan apa saja oke okelah, yang penting bisa masuk ke dalam kekuasaan. Syukur syukur bisa jadi Menkopolhukam lagi”. (bersambung ke SBY & Paloh).

Rekonsiliasi Fatamorgana

Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh. Oleh Dr. Ahmad Yani, SH. MH. (Politisi dan Praktisi Hukum) Jakarta, FNN - Perdebatan tentang ideologi tidak akan pernah berhenti karena adanya pertemuan politik diantara para elit politik. Juga Perbedaan tentang konsep dan cara jalan untuk mencapai tujuan politik tidak akan selesai dengan rekonsiliasi. Perbedaan akan tetap hidup dan menjadi warna bagi sebuah bangsa, apalagi bangsa Indonesia yang lahir dari kemajemukan. Sulit untuk "mendamaikan ide" hanya dengan rekonsiliasi. Meningkatkan intensitas silaturrahim politik sangat positif, tetapi menganggap silaturrahim itu sebagai rekonsiliasi dua perbedaan ide yang mendasar sangat tidak mungkin. Itu hanya sebatas fatamorgana. Dari sisi konsep dan ide, Prabowo dan Jokowi sangat jauh berbeda. Seperti dalam masalah kebijakan Hutang luar negeri, kebijakan Impor pangan, gaji TNI/Asn, Perusahaan Starup/Unicorn, Pengeloaan SDA dan mineral dll, yang disampai secara terbuka dalam kampanye maupun debat, sebagaimana di nukilkan kembali oleh Akbar Faisal dalam Acara ILC. Kemesraan kedua tokoh politik di MRT itu adalah bagian dari rasa saling membutuhkan. Ada semacam "transaksi materi" sebagai upaya untuk saling memegang komitmen politik. Nuansa transaksi politik dari pertemuan itu tidak bisa kita hindari, sebab, pertemuan politik menghasilkan kesepakatan politik. Entah itu Jokowi ingin mengajak oposisi untuk berada disampingnya, atau oposisi meminta Jokowi untuk mengakomodir kepentingan politiknya. Meskipun oposisi akan berkoalisi, tetapi oposisi terhadap kekuasaan tidak akan berakhir, pun tidak ditentukan oleh dua orang tersebut. Begitu pula dengan perbedaan ide dan cara pandang bernegara, tidak akan berakhir hanya karena pertemuan ataupun rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Apakah setelah Prabowo bertemu Jokowi dan Megawati, oposisi telah selesai? Bagi saya, oposisi akan tetap ada dan mengakar dalam gerakan civil society. Secara kelembagaan ada lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat yang akan menjadi bagian dari oposisi. Posisi anggota DPR sangat strategis untuk menyuarakan aspirasi rakyat, baik secara sendiri-sendiri melalui jalur parlemen maupun secara bersama-sama dalam bentuk fraksi, komisi, maupun DPR secara keseluruhan. Eksistensi DPR sebagai lembaga, maupun Anggota DPR secara individu, adalah merupakan pengontrol kekuasaan eksekutif. Dalam sistem presidensialisme, kekuasaan presiden begitu sangat besar, sehingga untuk mengawasi kekuasaan yang besar tersebut tidak disalahgunakan, maka DPR memiliki peran penting untuk mengotrol eksekutif. Secara singkat dapat dikatakan DPR itu adalah lembaga oposisi, sedangkan Anggota DPR dipilih oleh rakyat untuk menjadi oposisi pemerintah, mengoreksi segala kebijakan lewat penyusunan UU, penyusunan Anggaran, dan kebijakan pemerintah lainnya. Lembaga Perwakilan itu diberikan kekuasaan yang cukup strategis untuk melakukan pengawasan, dan menginterupsi segala kebijakan pemerintah lewat saluran parlemen. Kekeliruan tradisi yang dibangun partai politik selama ini, menganggap anggota DPR dianggap sebagai wakil partai, sehingga dengan mudahnya partai memecat dan menghentikan jabatan publik individu hanya karena alasan perbedaan sikap dengan partai merupakan langkah yang tidak dibenarkan. Anggota DPR adalah wakil Rakyat yang direkomendasikan oleh partai politik. Pelaksanaan fungsi pengawasan, fungsi anggaran, fungsi legislasi adalah pelaksanaan fungsi "oposisi" DPR kepada pemerintah untuk mengawasi penggunaan fungsi kekuasaan eksekutif. Karena itu, dalam negara demokrasi dengan sistem presidensialisme, keberadaan DPR sebagai lembaga pengawas dan penyeimbang (cheks and balance) bukan hanya sebagai stempel karet eksekutif (koalisi) tetapi kehadiran DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang baik dan benar. Rekonsiliasi Atau Jatah Kursi? Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi, seakan-akan oposisi terhadap kekuasaan eksekutif sudah hilang. Lembaga DPR akan menjadi corong kekuasaan dan kasarnya stempel karet eksekutif. Dengan alasan, bahwa apabila semua partai berkoalisi, maka pengawasan terhadap pemerintah tidak ada, dengan demikian segala tujuan kekuasaan dapat diwujudkan tanpa kritik. Setelah pertemuan Prabowo dan Jokowi-Megawati, publik menilai bahwa pemerintahan Jokowi memegang DPR di atas 70%. Jadi tidak ada kesulitan lagi bagi Jokowi menjalankan segala apa yang menjadi keinginan dan tujuannya, bukanlah koalisi Jokowi sudah hampir sempurna menguasai parlemen? Sebenarnya ini menjadi bahaya tersendiri bagi Demokrasi. Dengan kata Rekonsiliasi Jokowi telah mampu merangkul kekuatan utama oposisi. Pertemuan kedua elit itu adalah untuk mendamaikan perseteruan politik. Lebih tepatnya untuk menyatukan kembali perbedaan. Bahwa selama ini, ada anggapan bahwa Indonesia terpecah, ada perkelahian sengit, dan lain sebagainya. Tetapi dalam demokrasi dan panggung politik hal tersebut lumrah. Pemaknaan rekonsiliasi semacam itu bukan hanya salah, tetapi juga mengandung nilai hoax yang tinggi. Karena perbedaan dan perseteruan dalam politik niscaya adanya. Dalam demokrasi hal tersebut adalah merupakan keberkahan, sebab negara demokrasi tanpa perbedaan berarti ada totaliter yang hidup. Terlepas dari apa yang menjadi agenda pertemuan antara oposisi (Prabowo) dan Koalisi (Jokowi-Megawati), bahwa pemberian nama terhadap pertemuan itu sebagai rekonsiliasi demi bangsa menjadi naif adanya. Tidak sulit untuk membaca hal tersebut, seperti yang dikatakan oleh Rocky Gerung, "Kalau dua orang bertemu, ada pihak ketiga yang mau disingkirkan". Artinya selain persoalan saling mendepak dalam koalisi Jokowi, pertemuan tersebut Bukan rekonsiliasi melainkan percakapan tentang materi. Seperti yang saya kemukakan di atas, tidak mungkin merekonsiliasi perbedaan ide dan konsep, yang direkonsiliasi hanyalah berupa program-program yang sifatnya materi. Artinya ada transaksi politik dibalik kata "rekonsiliasi demi bangsa" yang diedarkan ke publik. Saya tertarik dengan pandangan Sandiaga Salahuddin Uno, bahwa kepada pemenang silahkan memerintah, dan yang kalah siap menjadi Oposisi. Kesibukan membuat manuver dan pertemuan politik akan menambah kecurigaan publik bahwa ada kemenangan yang belum memperoleh legitimasi sosial. Tentu kemenangan itu rapuh. Supaya rakyat tidak terlalu diberikan janji, sebaiknya Jokowi melaksankan program-program-nya saat ini, tdk harus menunggu dilantik untuk periode yg kedua. Masih banyak program pemerintah yang belum terlaksana dan masih ditagih oleh publik. Jadi kesibukan mengurus koalisi dan oposisi yang tidak henti-hentinya, tentu akan merugikan rakyat. Prabowo Bertemu, Ulama Ber-Ijtima Setelah pertemuan antara oposisi dan penguasa, koalisi pemenang menjadi gundah gulana. Reaksi bermunculan, hingga Nasdem mengadakan pertemuan dengan Anies Baswedan di Kantor DPP Nasdem Gondangdia. Pengamat menilai, Surya Paloh memberikan reaksi atas pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati. Dalam keadaan koalisi pemenang yang sedang gamang, kekuatan umat yang di Komando oleh ulama tetap bertahan menjadi oposisi. Pertemuan Prabowo dengan Jokowi dan Megawati, tidak menggoyangkan semangat 212, dan tetap mengucapkan, rakyat dan umat bersama ulama mengambil jalan "kami oposisi". Kekuatan civil Society khususnya 212 begitu sangat besar untuk melakukan protes meskipun semua partai telah berada dibarisan koalisi pemerintah. Komitmen untuk menjadi mitra kritis kekuasaan, menempatkan 212 sebagai gerakan penentu perubahan sosial politik Indonesia. Dengan bertahannya 212 maka, muncul kata "kami oposisi". Ini menandakan bahwa kekuatan Islam dengan logo 212 yang telah menjadi monumen penting, meminjam Rocky gerung, sebagai teks sosial bangsa Indonesia tidak bergerak hanya karena Prabowo, tetapi menjadi icon pejuang, khususnya dalam menengakkan amar Ma'ruf nahi munkar. Gerakan 212 yang sampai hari ini masih berada dalam komando ulama, wabil khusus Al-Habib Muhammad Rizieq Syihab, masih menjadi kekuatan independen dengan identitas gerakan politik Islam yang tidak membawa sekat-sekat organisasi dan sekat politik. Adapun dukungan kepada calon tertentu karena kesamaan cara pandang terhadap kondisi bangsa. Gerakan 212 Adalah momen sejarah, yang menjadi reinkarnasi pertentangan ideologi dalam sejarah politik Indonesia. Pertentangan ideologi itu tidak mungkin berakhir dengan rekonsiliasi elit tertentu, ia akan tetap ada. Bagi ideolog, ideologi itu harus diperjuangkan menjadi cita-cita dan tujuan bersama. Hadirnya 212 mengakomodir ulang aspirasi umat Islam yang selama ini terbengkalai. Kehadiran 212 menambah kuat Perdebatan Islam dan Politik. Sejarah mencatat, bahwa Islam adalah bumbu yang memberikan penyedap rasa bagi perjalanan politik Indonesia. Tanpa Islam, politik Indonesia menjadi hampa, tanpa makna. Maka, agak naif kalau menganggap bahwa rekonsiliasi adalah mendamaikan pikiran, hal itu mustahil terjadi. Sulit bagi Jokowi untuk memperoleh legitimasi 212, karena ia tidak memiliki cara pandang yang sama dengan ide 212 itu sendiri. Meskipun Prabowo menyatakan bergabung dengan pemerintah, 212 akan menjadi oposisi yang berjalan diatas roh kebenaran dan keadilan. Untuk melanjutkan gerakan tersebut, para ulama akan mengadakan kembali musyawarah Ulama atau Ijtima' Ulama dalam rangka untuk membicarakan agenda 212 selanjutnya. Agenda itu tidak terlepas dari perkembangan politik yang terjadi pasca MK memenangkan Jokowi. Ulama sedang mencari formula dan penerima mandat baru untuk meneruskan ide, konsep dan cita-cita perjuangan umat Islam yang belum tercapai dalam konteks sosial politik kebangsaan sekarang ini. Oleh karena itu Ijtima Ulama IV akan mencari formula baru bagaimana menempatkan 212 sebagai kekuatan kontrol sosial bangsa ini. Dengan demikian, rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi serta Megawati bukan akhir dari perjuangan umat dan ulama, melainkan memberikan kesempatan baru bagi umat dan ulama untuk menyatakan sikap yang lebih terarah lagi. Karena itulah maka 212 sebenarnya adalah kelompok penentu, bukan pengekor, 212 adalah wajah baru politik Islam yang menjadi awal mula bangkitnya solidaritas umat dalam membangun peradaban politik yang mengedepankan nilai-nilai profetik Wallahualam bis shawab.

Politik Cakaran Ayam

Pemenangan Pilpres oleh Mahkamah Konstitusi memaksa politisi kita menciptakan politik cakar ayam untuk mengatasi landasan yang lembek. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Di dunia konstruksi, teknik “cakar ayam” sudah lama ditemukan. Penemunya adalah Prof Dr Ir Sedijatmo. Tahun 1961. Teknik ini menghapus frustrasi pembangunan gedung beton bertingkat di atas tanah lembut atau rawa-rawa. Sebagai gambaran singkat, teknik fondasi cakar ayam menggunakan kerangka besi pelat yang di bawahnya diperkuat oleh tancapan pipa-pipa beton. Lazimnya mirip bentuk cakar ayam. Cara ini mampu menahan tekanan turun yang berbeda-beda akibat bobot bangunan, dst. Cukup ruwet bagi saya yang tak paham ilmu konstruksi. Seacara tak sengaja, rupanya, teknik “cakar ayam” sedang teradopsi ke dunia politik Indonesia. Tetapi, cakar ayam di sini lebih pas disebut “cakaran ayam” bukan “cakar ayam”. Ada kemiripan kondisi ketika Prof Sedijatmo menciptakan teknik cakar ayam dengan kondisi “politik cakaran ayam” era Jokowi pasca-pilpres 2019. Kemiripan kondisi itu terletak pada kata “lembek”. Sang Profesor menghadapi masalah “tanah lembek” ketika mau membuat pondasi di kawasan rawa-rawa. Sedangkan Jokowi menghadapi masalah “alas kekuasaan yang lembek” setelah dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Jokowi dan partai pendukung terbesar, PDIP (khususnya Ketum Megawati), merasa ada yang mengganjal. Alas kemenangan Jokowi dirasakan lemah (lembek). Mirip tanah lembut untuk pondasi gedung. Yang membuat Prof Sedijatmo berpikir keras menciptakan teknik cakar ayam. Sama halnya, fondasi kekuasaan Jokowi perlu diperkuat. Tidak ada cara lain kecuali membongkar fondasi (koalisi) yang ada. Mereka akhirnya mengusahakan rekonsilisasi dengan Prabowo yang diyakini banyak orang sebagai “pemenang asli” pilpres 2019. Prabowo menyambut ajakan rekonsiliasi. Bahkan sepakat untuk berkoalisi. Setuju bagi-bagi kekuasaan. Sama sekali di luar dugaan. Tapi, rekonsiliasi dan koalisi itu tidak semudah yang dibayangkan. Harus dikais-kais dari segala arah. Harus dicakar-cakarkan ke sana ke ini. Bagaikan ayam mencakar tanah untuk mencari makanan yang tak pasti. Inilah metode “politik cakaran ayam”. Dunia politik Indonesia menjadi jungkir balik. Bagai taman roller coaster. Kawan menjadi lawan. Musuh menjadi teman. Tak ada lagi mata angin politik konvensional. Yang di utara pindah ke selatan. Yang biasa di timur bergeser ke tenggara. Yang biasa dominan menjadi ‘letoi’. Yang selama ini di dalam, sekarang diusir keluar. Persis seperti hasil cakaran ayam. Berserakan ke mana-mana. Tak lagi konvensional. Tidak mudah dipahami dan tidak pula menggunakan cara berpolitik yang terhormat. Lebih kental kesan sesuka hati. Seperti ayam yang tak perduli bagaimana hasil cakarannya. Yang biasa memegang semua urusan, tiba-tiba merasa dekat ke liang kubur. Yang merasa menjadi hulubalang Queen Maker sekarang terpental. Mengamuk. Tak terima dijauhkan dari pusat kekuasaan. Parpol-parpol yang merasa bisa menentukan berapa kursi menteri untuk mereka, sekonyong-konyong merasa terkekang. Orang yang semula tidak punya kuasa besar, sekarang bakal menjadi king maker baru. Menjadi orang kuat baru. Bahkan berpeluang menjadi king-nya sendiri. Itulah politik cakaran ayam. Prof Sedijatmo pastilah tak menyangka kalau solusi pondasi tanah lembek berupa cakar ayam akan dipakai dalam bentuk cakaran ayam ketika menghadapi pondasi politik lembek pasca-pilpres 2019. Politik cakaran ayam Megawati-Jokowi sama tak lumrahnya dengan pondasi cakar ayam Prof Sedijatmo. Karena itu, banyak yang bisa segera menjadi doktor politik dengan objek penelitian di seputar “politik cakaran ayam” itu. Perlu secepat mungkin dan sebanyak mungkin mahasiswa S-3 studi politik membuat tesis-tesis yang isinya mematahkan politik cakaran ayam. Supaya metode ini tidak dikembangbiakkan atau didaur-ulang oleh para politisi yang tak memiliki alas kemenangan pemilu yang kuat. Politik Cakaran Ayam seperti yang sedang tayang hari ini harus dicegah. Karena satu-satunya produk yang dihasilkannya adalah kemunduran dunia poltik dan degradasi sistem demokrasi. **