POLITIK

Pindah Ibukota, Jokowi Mengikuti Jejak Pakubuwono II

Jadi kalau mau dicari-cari faktor kesamaan dan bukti bahwa teori pengulangan sejarah berlaku, kata kuncinya ada dua: SOLO dan CINA! Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sejarah selalu berulang. Hanya pelaku, waktu dan seting peristiwanya yang berubah. Termasuk rencana pemindahan ibukota dari Jakarta ke Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur. 274 tahun lalu (1745 M) Pakubowono II memindahkan ibukota Kerajaan dari Kartasura ke kota Surakarta. Lebih dikenal sebagai kota Solo. Alasan pemindahan, Keraton Kartasura sudah rusak dan “tidak suci” lagi. Porak poranda karena diduduki para pemberontak Cina. Sebagai buntut pembantaian etnis Cina oleh Kompeni Belanda di Batavia (1740), orang-orang Cina di pesisir Utara Jawa melakukan perlawanan. Sentimen anti Belanda juga menjalar ke Kartasura. Pemberontak Cina menyerbu Keraton Kartasura. Pakubuwono II adalah sekutu Belanda. Entah kebetulan atau tidak, Jokowi juga berasal dari Solo. Alasan Jokowi, “ Jakarta sudah terlalu berat sebagai pusat pemerintahan, pusat bisnis, pusat keuangan, pusat perdagangan, dan pusat jasa.” Selain itu Jokowi juga ingin mendorong pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ke luar Jawa. Sehingga tidak lagi Jawa sentris. Coba perhatikan! Faktor Cina ternyata kembali berperan. Karena keterbatasan anggaran pemerintah, kemungkinan besar pengusaha Cina lokal dan pemerintah Cina akan ikut berperan sangat besar dalam pembangunan ibukota baru itu. Jadi kalau mau dicari-cari faktor kesamaan dan bukti bahwa teori pengulangan sejarah berlaku, kata kuncinya ada dua: SOLO dan CINA! (Peran swasta dan asing dominan) Soal urgensi dan ketidaksiapan anggaran inilah yang kini banyak dipersoalkan oleh sejumlah kalangan. Sejumlah ekonom mengingatkan dan mewanti-wanti agar Jokowi mengurungkan niatnya. Termasuk ekonom senior Emil Salim. Seperti dikatakan Jokowi, biaya pembangunan ibukota baru akan menelan biaya sebesar Rp 466 triliun. 19 persen (Rp 88.54 T) diantaranya bersumber dari APBN. Sisanya berasal dari kerjasama pemerintah dengan badan usaha dan investasi swasta (KPBU). Menteri PPN/Bappenas Bambang Soemantri Brodjonegoro mengatakan, untuk menambah pembiayaan pembangunan ibukota pemerintah akan menerapkan skema tukar guling sejumlah aset pemerintah di Jakarta. Aset tersebut tersebar di Jalan Medan Merdeka, Jalan MH Thamrin, Jalan Sudirman, kawasan Jalan Rasuna Said, Kuningan dan Sudirman Central Business District (SCBD). Perlu dicatat di Jalan Medan Merdeka Utara terdapat Istana Presiden, Gedung Mahkamah Agung, Departemen Dalam Negeri, dan Mabes TNI AD. Di Merdeka Selatan terdapat Istana Wapres, Balaikota DKI, dan Gedung Kementerian BUMN. Di Jalan Medan Merdeka Selatan dan Utara, Jalan Thamrin, Jalan Sudirman, kawasan Kuningan dan SCBD tersebar sejumlah bangunan penting departemen dan kantor pemerintahan, termasuk kantor pusat Bank Indonesia. Belum lagi bila kita bicara Gedung MPR/DPR di kawasan Senayan yang lahannya sangat luas. Asset-asset tersebut jelas sangat menggiurkan. Bikin air liur pengembang langsung meleleh. Dipastikan para pengusaha besar dan asing yang berminat, sudah mulai membuat daftar. Melakukan lobi, kasak-kusuk, gedung dan lahan mana saja yang akan mereka caplok. Ada dana sangat besar yang akan beredar. Ada cash back super jumbo yang masuk ke kantong sejumlah oknum pemerintah dan swasta. Ada pengusaha dan oknum pemerintah yang akan kaya mendadak. Tambah tajir melintir karena tukar guling dan pemindahan ibukota. Siapa saja para pengusaha besar yang potensial bakal menguasai asset negara yang ditinggal boyongan ke Kaltim? Sudah bisa diduga. Tak akan jauh-jauh dari mereka yang masuk dalam daftar 1.00 orang terkaya di Indonesia. Majalah Forbes yang bermarkas di AS, merilis daftar orang terkaya Indonesia tahun 2019. Dari 10 orang terkaya, hanya menyelip satu nama pengusaha pribumi. Chairul Tanjung yang berada di peringkat ke-5. Jika daftarnya diperpanjang sampai 20 nama, pemilik jaringan Trans Media dan Trans Mart itu tetap menjadi satu-satunya nama. Bila kita bicara negara asing yang potensial ikut membangun ibukota dan membeli aset pemerintah, maka tak jauh-jauh negara itu adalah Cina. Negara tirai bambu itu sudah menjadi semacam aspirin bagi Indonesia. Semua masalah keuangan negara, jalan keluarnya adalah Cina. Pemerintah Cina sangat getol menggelontorkan dananya ke sejumlah proyek infrastruktur di Indonesia. Mulai dari kereta api cepat, sejumlah pembangkit listrik, dan berbagai proyek lainnya. Kabar terbaru dari Menko Maritim Luhut Panjaitan, sebuah perusahaan asuransi asal Cina bersedia membantu memperbaiki IT BPJS Kesehatan. “Bagi Pak Menko maritim, sepertinya setiap masalah yang dihadapi bangsa solusinya hanya satu yaitu minta 'bantuan' dari China,” sindir mantan Sesmen BUMN Said Didu melalui akun twitternya. Jakarta memang berbeda dengan Kartasura. Nurhadi Rangkuti dalam artikelnya berjudul : Kartasura yang Ditinggalkan (Majalah Arkeologi Indonesia, 12 Juli 2011) menulis : Menyaksikan bekas keraton atau baluwarti Kartasura sungguh menyedihkan. “Di dalam tembok baluwarti, kini dipenuhi dengan perumahan permanen, kebun dan makam. Selain alun-alun, tempat tinggal puteri keraton (keputren) dan petamanan keraton telah menjadi pemukiman padat. Sitihinggil, tempat yang ditinggikan di depan alun-alun, sebagian telah pula menjadi permukiman. Puing-puing bangunan kuna yang tersisa adalah gedung obat (mesiu), bangunan pos jaga Kumpeni. Situs itu kini dipenuhi makam.” Istana Presiden dan aset pemerintah di Jakarta dipastikan tidak akan bernasib seperti itu. Tidak perlu kaget bila Istana Negara —jika benar termasuk daftar aset tukar guling— menjadi menjadi “istana” baru salah satu orang terkaya di Indonesia, atau kantor Perwakilan pemerintahan asing. Gedung yang sekarang bernama Istana Negara, dibangun tahun 1796 pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten. Semula merupakan rumah peristirahatan milik pengusaha Belanda bernama J A Van Braam. Teori pengulangan sejarah kembali berlaku. Dari pengusaha kembali pengusaha. Dari milik asing kembali menjadi milik aseng. End

Papua, “We Are Not Monkey”

Framing Abu Janda terhadap Front Pembela Islam (FPI) itu sudah sangat terlalu luar biasa! Seharusnya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bertindak tegas. Karena, fakta di lapangan yang beredar dalam video-video, justru tampak ormas Doreng. Oleh Mochamad Toha Wartawan Senior Jakarta, FNN - Sejak berubah nama dari Provinsi Irian Jaya menjadi Papua (dan Papua Barat) pada waktu Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid – Wapres Megawati Soekarnoputi, persoalan Papua memang begitu seksi untuk dijadikan “proyek politis”. Gelontoran dana Otonomi Khusus dari Pusat, ternyata belum sanggup “memakmurkan” warga Papua hingga kini. Konflik horizontal di Bumi Cendrawasih nyaris terjadi setiap saat. Beragam pemicu bisa menjadi pemantik kerusuhan di Papua. Provokasi yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya dan demo di Kota Malang, bermula dari umpatan nama penghuni “Kebun Binatang”, seperti “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua menjadi pemantik kerusuhan. Ditambah lagi adanya provokasi dari akun Permadi Arya alias Abu Janda @permadiaktivis: gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an (6:54 PM - Aug 19, 2019). Framing Abu Janda terhadap Front Pembela Islam (FPI) itu sudah sangat terlalu luar biasa! Seharusnya Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian bertindak tegas. Karena, fakta di lapangan yang beredar dalam video-video, justru tampak ormas Doreng. “Terbukti ormas cecunguk pengkhianat-cukong yang menyerang asrama mahasiswa Papua di Surabaya,” ungkap sumber Pepnews.com. Kepada para pengkhianat, jangan kalian main api dengan mengorbankan rakyat Papua dan umat Islam. Mengapa juga disebut umat Islam segala? Karena framing Abu Janda itulah, rakyat Papua yang tidak tahu peristiwa sebenarnya yang terjadi di Surabaya, langsung menyangka adanya keterlibatan FPI, sehingga sempat ada upaya menyerang masjid. Namun, upaya tersebut mendapat perlawanan umat Islam di Papua, sehingga tidak sampai terjadi bentrok. Setidaknya itulah yang terjadi pada Senin, 19 Agustus 2019, di Manokwari, Papua Barat, lokasi awal mula kerusuhan di Bumi Cendrawasih. Tudingan Abu Janda jelas sudah masuk kategori upaya pecah-belah antar umat beragama (Islam dan Kristen) di Papua. Apalagi, sebelum peristiwa Papua tersebut sudah menyebar video Ustadz Abdul Somad yang dianggap menghina Salib. Karena dianggap menghina simbol agama Nasrani itu, UAS dilaporkan sejumlah kelompok masyarakat ke Polisi. Menariknya, rekaman video yang dianggap menghina ini terjadinya sekitar 3 tahun lalu. Mengapa baru sekarang ini dipersoalkan? Siapa pengunggap rekaman video tersebut, menarik untuk ditelusuri. Karena, dari sinilah nanti bisa terungkap motif di balik penyebarannya. Dalam klarifikasinya, UAS menegaskan video ceramah itu adalah barang lama, tiga tahun lalu. UAS dilaporkan oleh organisasi massa Brigade Meo ke Polda NTT terkait ceramah UAS yang viral di media sosial dan dianggap meresahkan umat Nasrani. WE Online, Senin, 19 Agustus 2019 08:33 WIB mengutip penelusuran akun @nephilaxmus. Penelusuran dari akun twitter atas nama @nephilaxmus menemukan, ada lima cuitan dari beberapa akun yang mendorong kontroversi hukum melihat salib UAS ini yang menjadi viral belakangan ini. Dengan kata kunci penelusuran: ‘somad salib’. Akun Twitter @KatolikG merupakan akun yang terawal mengusung isu video hukum melihat salib UAS tersebut. Pada cuitannya, akun @KatolikG melampirkan postingan akun Instagram @katolik_garis_lucu yang berisi respons atas video ceramah UAS tersebut. Cuitan akun Twitter @KatolikG itu kemudian dibalas komentar beberapa akun, diantaranya akun @PosRonda551, yang memosting cuitan komentarnya pada 15 Agustus 2019 pukul 09.23 PM. Selanjutnya, akun Twitter lain yang mengawali isu ini yakni akun @TolakBigotRI pada 16 Agustus 2019. Dalam cuitannya akun ini prihatin dengan ceramah UAS ini. Sehari sebelum HUT Kemerdekaan RI-74, beberapa akun menggulirkan isu ceramah salib UAS yaitu akun @inspirasijiwa pada 16 Agustus 2019 pukul 12.22 PM. Akun lainnya yang mengomentari isu video ceramah UAS, yakni akun @Rudi_Tarigan yang memosting statusnya pada 16 Agustus 2019 pukul 12.38 PM mengomentari postingan dari akun @TolakBigotRI. Nah, itu adalah temuan akun @nephilaxmus, kalau penasaran, akun ini sudah menyilakan Anda bisa menelusuri sendiri melalui pencarian di Twitter dengan mengetikkan kata kunci 'somad salib'. Dari penelusuran akun @nephilaxmus tersebut sebenarnya sudah sangat jelas sekali. Bahwa di sini ada unsur kesengajaan dari pemosting untuk membenturkan UAS (Islam) dengan umat Nasrani, sehingga berpotensi muncul konflik antar agama. Ini yang kemudian membuat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) menyatakan akan tetap mendampingi UAS berkaitan dengan kasus yang dituduhkan kepadanya. Pendampingannya terkait proses hukumnya. “Pasalnya, selain pengurus LAMR, UAS menyandang gelar adat kehormatan Melayu Riau, Datuk Seri Ulama Setia Negara,” kata Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat (MKA) LAMR, Datuk Seri Al Azhar, dalam pernyataan pers di Pekanbaru, Senin (19/8/2019). Datuk Al Azhar menyampaikan hal tersebut didampingi oleh Ketum Dewan Pimpinan Harian (DPH) LAMR Datuk Seri Syahril Abubakar, menanggapi gencarnya pemberitaan tentang tuduhan UAS menista agama tertentu yang sampai dilaporkan ke kepolisian. Menurutnya, Datuk Seri Abdul Somad telah membuat klarifikasi atas tuduhan yang ditujukan kepadanya. Selain itu, materi yang dipermasalahkan terjadi tiga tahun lalu dan dibentangkan secara eksklusif. “Atas dasar itu, kami justru mempertanyakan mengapa baru sekarang materi ceramah UAS dipermasalahkan, setelah tiga tahun terjadi, apalagi ceramah itu bersifat eksklusif (tertutup),” katanya. Menurut Datuk Seri Syahril Abubakar, atas dasar itu pula pihaknya menduga, ada kepentingan lain di balik mempermasalahkan ceramah UAS tersebut. “Tapi kami yakin, berbagai pihak masih memiliki niat baik agar masalah ini tidak merusak hubungan harmonis anak bangsa, sehingga bisa diselesaikan secara baik,” ujarnya. Pihak UAS sendiri juga sudah melakukan klarifikasi bahwa hal tersebut disampaikan untuk menjawab pertanyaan jamaah tentang Nabi Isa dan patung menurut Islam. UAS mengklaim menjawab pertanyaan jamaah tersebut di dalam kajian tertutup, di Masjid Raya Annur Pekanbaru, di kajian rutin setiap Sabtu subuh, bukan tabligh akbar di lapangan terbuka atau di televisi. Jadi, nasib Papua itu sebenarnya tak ubahnya dengan nasib umat Islam. Mereka telah menjadi target operasi “proyek politis” dari kalangan elit tertentu di Jakarta. Apalagi, konon, hal ini masih ada kaitannya dengan bargaining susunan kabinet. Apalagi, pemantik kerusuhan Papua itu karena ada umpatan “monyet” yang ditujukan kepada mahasiswa Papua di Surabaya dari seorang yang diduga aparat. Dari sini pun bisa ditanyakan, mengapa dia harus berkata seperti itu, siapa yang perintahkan? Solusi atas ketersinggungan warga Papua hanya dengan permintaan maaf saja. Oknum aparat itu harus diproses secara hukum tanpa pandang bulu. Kasihan Papua, eksploitasi tambang di perut Bumi Cendrawasih “dikuasai” elit politik di Jakarta. Tak ada satupun orang Papua yang berani minta saham PT Freeport Indonesia, seperti yang telah dilakukan elit Jakarta, “Papa Minta Saham”. Tapi, Papua masih cukup beruntung bila dibandingkan dengan umat Islam di provinsi luar Papua. Meski mereka membawa bendera Bintang Kejora, toh tidak ada aparat berwenang yang berani merampas dan menangkapnya, meski di depan Istana Merdeka sekalipun. Ini berbeda dengan perlakukan terhadap umat Islam. Langsung dipersekusi! Apalagi sampai membawa Bendera Tauhid! Langsung dituding terpapar radikal, terlibat HTI, dan diburu aparat! Bahkan, ditembakin dengan peluru tajam, seperti saat demo di depan MK pada 21-22 Mei 2019 hingga menewaskan 9 orang. Demo Papua, tidak ada sebutir peluru tajam pun yang keluar dari senjata aparat. Yang terjadi justru sebaliknya. Aparat (polisi) malah dikejar-kejar pendemo yang menuntut Referendum dan Merdeka di Papua, Senin (19/8/2019). Kasihan Papua dan umat Islam yang sejatinya telah menjadi korban “proyek politik” demi sebuah tujuan elit politik di Jakarta. End.

Pak Dasco, Mana "Penumpang Gelap" Itu?

Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Kita tinggalkan sejenak soal Papua. Kembali dulu ke isu pilpres. Tepatnya ke soal “penumpang gelap” di kubu Prabowo. Sebab, isu ini belum tuntas. Tidak bisa didiamkan begitu saja. Julukan ini terlanjur meciptakan kekeruhan. Menimbulkan keresahan. Publik menebak-nebak siapa gerangan ‘penumpang gelap’ itu. Orang yang selama ini berada di sekitar Prabowo, semuanya bisa menjadi tertuduh. Termasuk para habaib, ulama, ustads, relawan, emak-emak, dlsb. Dan juga para kader Gerindra garis lurus. Kalau yang garis bengkok tak akan menjadi tertuduh penumpang gelap. Mereka malah menggelapkan penumpang atau membuat penumpang menjadi gelap. Wakil ketua umum Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, harus menjelaskan siapa itu ‘penumpang gelap’ yang dia katakan mau membenturkan Prabowo Subianto (PS) dengan pihak yang berkuasa. Dasco yang memulai istilah itu. Dia yang memunculkan tuduhan itu. Dia yang menebar fitnah itu. Sekarang, Pak Dasco, Anda harus gentlemen. Anda harus tunjukkan ke publik siapa-siapa itu ‘penumpang gelap’ yang Anda maksudkan. Anda tidak boleh lepas tangan setelah Anda mulai fitnah itu. Yang Anda sebut ‘penumpang gelap’ itu membuat banyak orang tak nyaman. Fitnah Anda itu seakan-akan tertuju kepada para habaib, para ulama, para ustadz yang selama ini mendukung Prabowo. Seolah-olah tertuju kepada para relawan, emak-emak, dan simpatisan Prabowo. Anda sebutkan bahwa ‘penumpang gelap’ itu adalah orang-orang yang tak setuju dengan anjuran agar tidak ada aksi damai di Mahkamah Konstitusi (MK) ketika akan berlangsung sidang gugatan hasil pilpres 2019. Tuduhan Anda, Pak Dasco, sangat liar. Sangat berbahaya. Banyak orang bisa risih dan resah. Sebab, ada puluhan ribu orang yang merasa perlu mengawal sidang di MK itu. Dan mereka sama sekali tidak punya maksud membuat keonaran. Tidak bermaksud melaga-laga siapa pun. Mereka hanya ingin menunjukkan solidaritas kepada Prabowo dan ingin agar keadilan bisa menang di MK. Tiba-tiba, entah apa dasarnya, Anda memunculkan istilah ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Ini sangat menyakitkan banyak orang. Anda harus jelaskan siapa mereka. Pak Dasco, Anda harus pertanggungjawabkan fitnah ini. Pak Fadli Zon, yang juga wakil ketua umum Gerindra, sudah membantah keberadaan ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo. Setelah itu, tak ada angin tak ada hujan, muncul tulisan buzzer bayaran Anda yang memuji-muji Habib Rizieq. Tulisan ini seolah ingin meredam tudingan ‘penumpang gelap’ ke arah Habib, ke arah para ulama. Kalau Anda tidak menjelaskan soal ‘penumpang gelap’ itu, maka tidak keliru kalau ada yang berkesimpulan bahwa Anda memang ingin para ulama dan umat Islam tidak lagi bersama Prabowo. Ini mirip dengan kejadian ketika seorang ketua umum partai yang mengatakan bahwa partai dia tidak perlu suara umat Islam. Menurut hemat saya, sikap tegas ketum partai itu malah lebih bagus. Lebih terhormat. Dia terus-terang mengatakan partai beliau tak memerlukan suara umat Islam. Nah, sebaiknya Anda pun berterus terang saja. Katakan dengan tegas bahwa Anda dan Gerindra tak perlu umat Islam. Ini lebih baik ketimbang Anda munculkan istilah ‘penumpang gelap’ yang salah satu arahnya tertuju ke para ulama dan umat Islam. Juga tertuju kepada para relawan dan emak-emak yang boleh dikatakan 100% berasal dari latarbelakang umat Islam. Jadi, Pak Dasco, kami imbau sekali lagi agar Anda menjelaskan siapa saja ‘penumpang gelap’ di kubu 02. Agar semuanya menjadi jelas. Berbagai pihak telah menyampaikan desakan agar ‘penumpang gelap’ di kubu Prabowo diungkap saja identitasnya. Dibuka saja. Supaya tidak terus liar. Agar bisa diketahui apakah mereka para ulama atau bukan. Atau, kalau bukan ulama, berarti ‘penumpag gelap’ itu adalah mereka yang juga ‘penumpang terang’. Harap diingat, para ulama dan umat Islam berperan besar mengantarkan Prabowo ke posisi tawar (bargaining position) politik seperti sekarang ini. Dukungan kuat umat Islam di seluruh pelosok Indonesia di pilpres 2019 ini membuat Parbowo bisa menjadi figur yang diakui kekuatan politiknya oleh pihak lawan. Sayangnya, Anda bertindak ceroboh dengan isu ‘penumpang gelap’. Inilah tudingan yang menyakitkan para ulama dan umat Islam, seandainya merekalah yang Anda maksud. Sangat tendensius. Sekali lagi, kalau Anda dan Gerindra tak perlu umat, lebih baik dikatakan saja dengan tegas. Anda tidak harus membuat fitnah ‘penumpang gelap’ untuk mengusir ulama dan umat dari lingkaran Prabowo. Umat akan pergi dengan sukarela. Banyak kok yang harus diurus oleh para ulama dan umat. Jadi, Pak Dasco, tolong jawab mana Penumpang Gelap itu? (23 Agustus 2019)

Donald Trump dan Reputasi Amerika

Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). By Shamsi Ali Imam di Kota New York York, NewFNN - Ternyata kebesaran dan harga diri sebuah negara tidak saja ditentukan oleh kebesaran ukurannya atau kekayaan dan keindahan alamnya. Tidak juga hanya dengan jumlah penduduk dan kemajuan perekonomiannya. Atau ketinggian inovasi sains dan teknologinya. Kebesaran dan kehormatan sebuah negara sedikit banyaknya juga ditentukan oleh siapa yang menjadi pemimpinnya. Pemimpin negara seolah menjadi representasi kecil atau cermin mini dari sebuah negara itu sendiri. Saya teringat di saat Indonesia baru merdeka, merangkak membangun jati diri dalam segala lini kehidupannya. Indonesia ketika itu secara perekonomian lemah, secara militer lemah, secara politik masih dalam proses mencari jatidiri. Bahkan secara sosial rentang mengami disintegrasi karena daerah-daerah baru dalam integrasi. Namun Indonesia justeru di awal-awal kemerdekaannya itu tampil menjadi singa Asia, bahkan salah satu pemimpin dunia yang disegani. Satu di antara sekian banyak kebanggaan itu adalah Indonesia menjadi salah satu pionir berdirinya Gerakan Non Blok (Non Align Movement). Konferensi Asia Afrika yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno di Bandung merupakan cikal bakal terwujudnya Gerakan Non Blok itu. Kini perhimpunan negara-negara dunia ketiga yang lebih dikenal dengan singkatan GNB itu menjadi organisasi dengan anggota terbesar dari negara-negara anggota PBB. Reputasi dan kehormatan yang diraih oleh Indonesia dalam segala keterbatasan itu ternyata salah satunya karena kapabilitas, reputasi dan kharisma pemimpinnya. Dunia menghormati dan memuliakan Indonesia karena kehormatan dan kemuliaan pemimpinnya, Soekarno. Reputasi Amerika Secara ekonomi dan politik, apalagi secara militer, saya tidak pernah meragukan kebesaran dan kehebatan Amerika. Amerika dengan segala kekurangannya, yang dapat kita bicarakan pada kesempatan lain, masih negara super power dunia. Apalagi jika merujuk kepada dasar-dasar kenegaraan, Konstitusi dan nilai-nilai luhur (values) yang menjadi pijakan bagi bangsa Amerika dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadikan Amerika salah satu negara yang paling solid dalam kehidupan publiknya. Yang justeru mengkhawatirkan, bahkan pada tingkatan tertentu memalukan bangsa Amerika saat ini adalah kenyataan bahwa Presidennya mengalami “mental state” (suasana kejiwaan) yang kurang stabil. Sejak terpilihnya, banyak yang mengira jika Donald Trump hanya memainkan politik “cowboy” yang cenderung tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sikap dan kata-katanya seringkali tidak menggambarkan sebagai seorang presiden (unpresidential). Dalam perjalanannya menghuni Gedung Putih ternyata semakin nampak jika sang presiden negara adi daya ini memang tidak stabil dalam kejiwaannya. Keadaan itu terindikasi secara jelas dari kata-kata yang kerap tidak menentu. Berubah setiap saat, seolah berbicara tanpa pertimbangan apapun. Contoh terakhir sebagai misal saja, bagaimana sang presiden menjuluki Perdana Menteri Denmark dengan kata “nasty”, persis seperti yang disebutkan untuk Hillary dalam beberapa kesempatan debat calon presiden saat itu. Kata “nasty” atau “absurd” yang ditujukan kepada PM Denmark itu jelas bukan ekspresi seseorang yang dewasa, apalagi seorang presiden. Dan itu disebabkan karena ada keinginan Donald Trump membeli sebuah pulau yang berbadan otonom di negara itu. Pulau itu adalah Iceland. Tapi PM Denmark menolak keinginan Donald Trump. Penolakan ini oleh Donald Trump dianggap penghinaan yang berujung dengan tuduhan “nasty” atau kotor. Ini bukan pertama kali terjadi. Hal sama dilakukan dengan Perdana Menteri Inggris ketika itu, Theresa, menyerangnya secara kasar melalui akun Twitternya. Sikap dan kata sang presiden ini menjadikan banyak warga Amerika merasa risih, bahkan malu. Bagaimanapun juga presiden sebuah negara menjadi simbol terdepan dari negara itu. Dalam dua hari terakhir ini sang presiden malah menyampaikan hal-hal yang entah itu disadari atau tidak, tapi sangat mengganggu akal rasional bangsa Amerika. Dalam sebuah kesempatan Donald Trump dijuluki oleh seorang penyiar radio sebagai “King of Israel”, penyelamat bangsa Israel. Kita pahami bahwa kata King of Israel dalam bahasa Kitab Suci berarti tuhan itu sendiri. Maka dalam hal ini Donald Trump sedang diposisikan sebagai tuhan. Anehnya Donald Trump malah senang dan bangga dijuluki sebagai King of Israel itu. Dia mengirimkan Twitter dan berterima kasih kepada penyiar radio itu. Di kesempatan lain Donald Trump mengaku sebagai “the Chosen” (orang terpilih) untuk menerapkan tarif dagang yang tinggi kepada China. Kata “chosen” dalam bahasa biblical (kitab suci) berarti seorang utusan atau rasul dalam bahasa umumnya. Keterlibatan Donald Trump dalam pencekalan dua anggota Kongress untuk mengunjungi Israel, Ilhan Omar dan Rashid Tlaib, juga menjadi indikator penting dari ketidak becusan itu. Kunjungan ke Israel merupakan tradisi tahunan anggota Kongress sebagai simbol kedekatan dan dukungan Amerika ke negara itu. Tapi kali ini nuansa itu berubah. Dengan adanya dua anggota Kongress yang beragama Islam, bahkan satunya memang putrì keturunan Palestina, kunjungan itu tidak lagi secara otomatis sebagai dukungan dan persahabatan. Tapi sekaligus sebagai “fact finding mission” atau misi mencari kebenaran di lapangan. Tentu hal ini bagi sebagian yang punya kepentingan berbahaya. Karena selama ini boleh jadi banyak fakta di lapangan yang tidak disampaikan secara jujur kepada bangsa Amerika. Karenanya bangsa Amerika sudah cukup lama “misguided” atau “misled” dalam hal konflik Palestina-Israel. Yang paling aneh dalam kasus ini adalah bahwa Presiden Amerika sendiri yang berkolabirasi dengan Perdana Menteri Israel mencekal anggota Kongress untuk berkunjung. Sungguh realita terbalik di mana presiden sebuah negara harusnya membela warganya, apalagi anggota legislatif, jika diperlakukan tidak senonoh oleh bangsa lain. Terlalu panjang jika semua kejadian yang tidak pantas dan berkaitan dengan presiden Amerika ini disampaikan semuanya. Tapi saya kira bukti terbesar dari ketidak stabilan mentalitas presiden Amerika ini adalah ketika dengan serta merta menjadikan musuh semua yang tidak setuju dengannya. Satu bukti yang paling nyata adalah bahwa dalam masa singkat menduduki Gedung Putih, puluhan staf tinggi negara ini mengundurkan diri atau dipecat. Anehnya hampir semua staf yang mundur atau dipecat itu “turn their backs” alias berbalik dari mendukung menjadi menyerang Doland Trump. Contoh yang paling nyata adalah lawyer pribadinya, Michael Cohen. Akhirnya ketidak stabilan itu juga kembali diekspresikan kemarin hari. Dalam sebuah pernyataannya Donald Trump menyampaikan bahwa jika komunitas Yahudi mendukung Democrat maka itu berarti mereka tidak loyal (disloyal) kepada agama Yahudi dan Israel. Pernyataan ini jelas sangat merendahkan komunitas Yahudi. Seolah dukungan Donald Trump selama ini hanya karena kepentingan “suara” semata. Wajar saja, di satu sisi Donald Trump mendukung sepenuhnya Israel. Tapi di sisi lain pendukung fanatiknya dari kalangan White Supremacy dengan brutal dan kejam menyerang dan membunuh warga Yahudi di Amerika. Jangan terkejut dengan kenyataan paradoks itu. Karena Donald Trump sendiri adalah sosok yang penuh dengan karakter paradoks... * Imam di Kota New York.

LHKPN : Kontradiksi Peraturan Buatan Manusia & Norma Agama

Sebagai catatan dari penulis, Dharma dan Buwas dikenal oleh kalangan wartawan sebagai polisi yang lurus. Dalam pengertian tidak berpolitik, tidak ikut “faksi-faksian”, dan tidak pernah terlihat dan terendus dekat dengan “cukong” siapa pun. Bahkan dari riwayat jabatannya terdahulu, kedua perwira ini tergolong perwira yang selalu “dipinggirkan”. Oleh : Tony Hasyim Wartawan Senior Jakarta, FNN - Pekan lalu, seorang perwira tinggi Polri kembali mempersoalkan aturan wajib menyetor Laporan Harta Kekayaan Peyelenggara Negara (LHKPN ke KPK. Namanya Irjen Polisi Dharma Pongrekun, Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Kebetulan yang bersangkutan sekarang sedang mengikuti seleksi calon pimpinan KPK. Dharma sendiri sebetulnya sudah menyetor LHKP ke KPK pada 13 Maret 2019. Tapi ia berpandangan aturan dan sistem LHKPN ini harus diperbaiki. Sebelumnya, tahun 2015, Komjen Polisi Budi Waseso, yang terkenal dengan panggilan “Buwas” juga pernah mempersoalkan LHKPN sewaktu masih menjabat Kabareskrim Polri. Buwas sekarang dipercaya Presiden Jokowi sebagai Kepala Bulog. Sebelumnya Buwas juga sudah menyetor LHKPN sewaktu menjadi Kapolda Gorontalo (tahun 2012). Tapi sewaktu dipromosikan menjadi Kabareskrim, ia enggan menyetor LHKPN. Buwas justru meminta KPK sendiri yang melakukan pencatatan atas harta kekayaannya agar lebih objektif. Menurut Dharma aturan LHKPN membuat orang bersiasat untuk berbohong. Sebab, belum tentu semua harta kekayaan dia laporkan di LHKPN. Dharma menegaskan, sebagai sarana untuk transparansi, LHKPN bisa saja. Namun dia memandang tak perlu ada unsur paksaan atau sanksi. "Kalau lu mau tangkap (koruptor), tangkap saja. Transparansi apa, orang dia belum tentu daftarin semua hartanya kok," tegasnya. Menurut Dharma, LHKPN adalah konsep aturan ateis. Pernyataan Dharma ini menimbulkan kontroversi sampai sekarang. Alasan mempersoalkan LHKPN dari kedua perwira tinggi Polri tersebut hampir senada. Dalam prakteknya memanya memang tidak semua orang bisa objektif dalam mencatat dan melaporkan seluruh harta kekayaan pribadinya dengan berbagai pertimbangan. Bagi yang harta kekayaannya banyak memang sulit untuk mencatat secara detil harta kekayaannya. Bisa jadi mereka khawatir harta kekayaannya menjadi sorotan publik. Tapi bisa juga karena pertimbangan keyakinan agamanya. Terkait keengganan Buwas waktu itu, Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) pernah memberi penilaian tersendiri kepada Buwas. Menurut JK, Buwas adalah orang yang sederhana. Sehingga, meyakini harta yang miliki oleh jenderal bintang tiga tersebut tidaklah banyak. Buwas sendiri setelah menjadi Kabareskrim digeser ke posisi Kepala BNN. Tapi setelah itu dipromosikan Jokowo menjadi Kepala Bulog hingga hari ini. Sebagai catatan dari penulis, Dharma dan Buwas dikenal oleh kalangan wartawan sebagai polisi yang lurus. Dalam pengertian tidak berpolitik, tidak ikut “faksi-faksian”, dan tidak pernah terlihat dan terendus dekat dengan “cukong” siapa pun. Bahkan dari riwayat jabatannya terdahulu, kedua perwira ini tergolong perwira yang selalu “dipinggirkan”. Buwas hanya pernah sekali menjadi Kapolda, itu pun di daerah yang tidak “basah”, Provinsi Gorontalo. Dharma, bahkan sama sekali tidak pernah menjadi Kapolda, Kapolwil atau Kapolres. Konon, karena merasa tersisih di internal kepolisian, Dharma berinsiatif mencari medan pengabdian baru. Dalam catatan penulis, Dharma pernah ikut seleksi capim KPK tahun 2011 (waktu masih berpangkat AKPB), lalu mendaftar lagi tahun 2015 (berpangkat Kombes), tapi tidak lolos. Hebatnya, Dharma ikut lagi pada seleksi capim KPK tahun 2019 ini, setelah menyandang bintang dua di pundaknya. Sepertinya ia punya obsesi tersendiri di lembaga pemberantas korupsi tersebut. Bahwa Buwas dan Dharma sekarang punya posisi cukup bergengsi di luar kepolisian barangkali karena nasibnya memang baik. Tapi bisa jadi karena Presiden Jokowi, yang punya kewenangan tertinggi dalam mutasi dan promosi jabatan, dapat informasi tersendiri tentang sosok kedua perwira tinggi polisi Buwas dulu kalah bersaing di bursa calon Kapolri, tapi belakangan malah dijadikan Kabulog oleh Jokowi. Di posisi ini Buwas masih kelihatan aslinya, out spoken dan secara frontal melawan kebijakan impor beras yang diberlakukan Menteri Perdagangan. Faktanya, setelah Buwas masuk Bulog, stok dan harga beras relatif stabil hingga hari ini. Nampaknya Jokowi memang tidak salah dalam memilih Buwas. Dharma meski tidak pernah jadi Kapolda dan jarang muncul di media, sebulan lalu dipromosikan Jokowi sebagai Waka BSSN. Dharma sekarang berusi 53 tahun, masih punya kesempatan berkarir 5 tahun lagi di kepolisian. Dharma diangkat Jokowi sebagai Wakil Kepala BSSN setelah mendaftar menjadi capim KPK. Apakah ini sebuah bentuk dorongan agar Dharma bisa menjadi pimpinan KPK, atau ada rencanana lain? Hanya Jokowi yang tahu. Catatan berikutnya, ayah Buwas adalah Dangir Marwoto, seorang prajurit Kopassus TNI-AD dengan pangkat terakhir kolonel. Ada pun ayah Dharma adalah Marthen Pongrekun, seorang jaksa karir dengan jabatan terakhir Jaksa Agung Muda Pembinaan. Dari latar belakang keluarganya, sudah jelas kedua perwira ini berdarah aparatur negara. Mengapa Mereka Mempersoalkan LHKPN? Tidak banyak pejabat di Indonesia yang berani mempersoalkan kebijakan KPK tentang aturan wajib menyetor LHKPN ini. Karena bisa jadi mereka akan disorot KPK dan para aktivis anti-korupsi. Awal Maret 2019, Wakil Ketua DPR. Fadli Dzon pernah mengusulkan agar KPK menghapus aturan LHKPN dan fokus kepada pemeriksaan harta kekayaan penyelenggara negara melalui data pajaknya. Tapi akibatnya Fadli dibully oleh buzzer pendukung KPK. Menurut Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, usulan Fadli tersebut tidak bisa dilaksanakan karena SPT (Surat Pemberitahauan Tahunan) Pajak sifatnya sangat rahasia dan tidak bisa diakses semua orang. Sedangkan LHKPN ditujukan agar kepemilikan harta seorang penyelenggara negara bisa dicek dan diklarifikasi kebenarannya. Argumen pejabat KPK ini sebetulnya mudah disangkal. Dalam pembuktian tindak pidana korupsi sebetulnya KPK bisa meminta akses ke rekening tersangka korupsi. Dasar hukumnya adalah pasal 12 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi berwenang meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan uang tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa. Logikanya, jika KPK bisa mengakses kerahasiaan data perbankan, harusnya KPK bisa juga menembus kerasahasian data pajak. Tinggal koordinasi dengan Menteri Keuangan. Apa sulitnya? Yang perlu dipahami, Dharma dan Buwas adalah polisi reserse. Semua reserse di dunia menganut doktrin post factum, bahwa tindakan penyelidikan dan penyidikan baru dilakukan setelah tindak pidana terjadi. Hal ini yang membedakan reserse dengan komunitas intelijen. Profesi yang terakhir ini memang lazim bertindak atas dasar “kecurigaan”. Jika KPK bersikeras mengecek dan mengklarifikasi semua harta kekayaan penyelenggara negara sebelum yang bersangkutan menjadi tersangka tindak pidana korupsi, patut dipertanyaan KPK ini lembaga penegak hukum atau lembaga intelijen? Menurut hemat penulis, aturan pelaporan dan pengumuman LHKPN ini adalah produk hukum yang lebay (mengada-ada). Sampai saat ini tidak ada alasan historis dan logis dari lahirnya aturan soal LHKPN ini. Sejauh ini beberapa kalangan, termasuk pejabat di KPK, menyebut bahwa kewajiban melapor LHKPN adalah tolok ukur kejujuran bagi setiap penyelenggara negara. Tapi tidak ada satupun pertimbangan hukum, pasal dan penjelasan dari aturan terkait LHPKN yang menyebut secara eksplisit alasan-alasan dibalik kewajiban melapor LHKPN itu. Dalam situs resmi KPK, disebutkan ada tiga dasar hukum LHKPN. Pertama, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme. Kedua, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi. Ketiga, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor: 07 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Masih menurut informasi di situs KPK, dinyatakan bahwa bagi Penyelenggara Negara yang tidak memenuhi kewajiban LHKPN sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, maka berdasarkan Pasal 20 undang-undang yang sama akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Jelas, karena sanksinya hanya administratif, maka sifat dari melawan hukum atas kewajiban menyetor LHKPN ini adalah “pelanggaran”, bukan kejahatan. Buwas berpegangan pada prinsip ini. Tapi faktanya, sejauh ini belum pernah ada penyelanggara negara dikenakan sanksi oleh instansinya karena tidak menyetor LHKPN ke KPK. Bahkan belum pernah ada pejabat yang ditindak KPK karena katahuan berbohong dalam pengisian LHKPN. Dengan fakta-fakta seperti itu, apa urgensinya KPK membikin aturan wajib setor LHKPN kepada KPK? Memang, dalam dalam Peraturan KPK No. 7 Tahun 2016, pasal 3 ada satu ketentuan mengatakan, “LHKPN yang telah diumumkan tidak dapat dijadikan dasar baik oleh penyelenggara negara maupun pihak mana pun juga untuk menyatakan bahwa Harta Kekayaan Penyelenggara Negara tidak terkait tindak pidana”. Dengan penafsiran bebas, artinya harta kekayaan yang diperoleh seorang sebelum dan sesudah menjadi penyelenggara negara bisa dirampas oleh negara dalam rangka pemulihan kerugian negara akibat korupsi (asset recovery). KPK memang memiliki instrumen asset recovery. Hal ini diatur dalam pasal 18, UU No. 31 Tahun 1999 tentang UU Pidana Korupsi. Ketentuan ini memberi ruang kepada KPK untuk mengajukan tuntutan pidana tambahan berupa perampasan harta kekayaan dari hasil korupsi dan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Aturan ini masih diperdebatkan sampai sekarang. Karena tidak saja bersifat ultimum remedium (penghukuman pamungkas), tapi sudah bablas menjadi penghukuman “balas dendam” karena motifnya mengarah kepada “pemiskinan koruptor”. Masalahnya, bagaimana kalau si penyelenggara negara yang bersangkutan sudah kaya raya sebelum jadi pejabat, misalnya karena mendapat warisan atau menikah dengan orang kaya? Apakah harta bawaan tersebut bisa dirampas untuk negara? Bukankah aturan-aturan seperti justru memicu orang untuk berusaha keras menutup-nutupi harta kekayaannya ketika hendak menjadi pejabat negara? Masih ingat kasus korupsi paling heboh yang terjadi tahun 2013? Waktu itu Irjen Polisi Djoko Susilo, Kakorlantas Polri, ditangkap KPK dalam kasus korupsi simulator SIM dan pencucian uang. Djoko dalam persidangan mengaku berbohong dalam mengisi LHKPN tahun 2012. Ia hanya melaporkan total harta dari profesi sebesar Rp 240 juta dan dari bisnis jual beli perhiasan dan properti sebesar Rp 960 juta. Joko mengaku sengaja tidak melaporkan aktivitas bisnis dan perihal istri-istrinya dengan alasan sebagai polisi dilarang memiliki usaha dan juga beristri lebih dari satu. Tapi sekali lagi, Djoko bukan ditangkap KPK karena berbohong dalam pengisian LHKPN, melainkan terlibat dalam kasus berbeda. Bahwa kemudian KPK berhasil menemukan harta kekayaan Djoko diluar LHKPN-nya itu karena pintar-pintarnya penyidik KPK dalam menelusuri harta kekayaan terpendam dari Djoko. Seperti diketahui, dalam kasus tersebut KPK sempat menyita sebuah rumah di Kota Solo, milik istri ketiga Djko Susilo, Dipta Anindita, karena diduga hasil tindak pindana pencucian uang terkait korupsi yang dilakukan Djoko. Belakangan, orang tua dari Dipta (mertua Djoko) terpaksa merogoh kocek sendiri hingga Rp 6 miliar untuk menebus rumah warisan tersebut karena ada wasiat dari orang tuanya agar rumah tersebut tidak boleh beralih kepada pihak lain kecuali kepada keluarga sendiri. Konsep Harta Kekayaan Menurut Ajaran Agama Dalam ajaran Islam, semua manusia dibolehkan bahkan diajurkan menjadi orang yang kaya raya. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Hajj, ayat 50, "Maka bagi orang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia.” Begitu banyak ajaran Islam tentang harta kekayaan. Para ulama sering mengulang-ulang ayat-ayat ini. Bahwa harta kekayaan yang diperoleh manusia adalah “reward” atas ikhtiar, doa, tawakal, sedekah, taqwa, rendah hati dan segala perbuatan terpuji yang diridhoi Allah. Tapi di sisi lain, dalam ajaran Islam, manusia tidak bisa mengklaim kepemilikan harta kekayaan secara pribadi. Dalam Surat Al-Hadid ayat 7, Allah berfirman, “Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” Sangat tegas, dalam ajaran Islam, harta kekayaan yang diperoleh semua manusia, sesungguhnya adalah milik Allah SWT. Dalam ajaran Kristen pandangan tentang harta kekayaan manusia juga harus bersumber dari Al- Kitab. Tidak ada ajaran Kristen yang mengutuk dan menyalahkan siapapun karena memiliki harta kekayaan yang banyak. Dalam Perjanjian Baru, Filipi 4:19 disebutkan: "Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus.” Dalam ajaran Islam maupun Kristen atau agama apapun, sejatinya memang tidak ada konsep kepemilikan harta kekayaan secara pribadi. Keyakinan seperti ini banyak dipegang oleh masyarakat Indonesia yang agamis. Sehingga jangan heran, dalam setiap publikasi sumbangan bencana alam melalui media massa, sering kali tertera nama penyumbang “Hamba Allah” atau “Hamba Tuhan”. Hal tersebut bukan berarti si penyumbang berniat menutupi-nutupi identitas pribadinya, melainkan justru memohon keridhoan Allah atas rezeki atau harta kekayaan yang disumbangkan kepada korban bencana. Jadi, aturan wajib melapor LHKPN ke KPK memang kontradiktif dengan norma-norma agama yang masih dipegang kuat oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Jika aturan LHKPN ini diwajibkan, konsekwensinya seseorang merasa dipaksa menyibukan diri melakukan pencatatan dan bersedia mengumumkan harta kekayaan yang sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik Tuhan. Jauh hari Buwas dan Dharma mempersolakan LHKPN, penulis pernah ngobrol dengan seorang kawan pengusaha yang mau ikut kontes pilkada. Tiba-tiba sekretarisnya masuk dan bertanya, "Pak ini LHKPN ngisinya bagaimana?" Sekretrarisnya minta petunjuk berapa nilai saham di perusahaan A, B, C dan seterusnynya. Pengusaha ini nampak bingung, lalu nyeletuk dengan nada kesal, “Sudah, terserah kamu saja yang ngisi. Jangan saya, nanti dibilang riya!” Riya adalah suatu definisi dari ajaran Islam tentang seseorang yang memamerkan sesuatu yang dimiliki atau diperbuat dengan tujuan dipuji atau mendapatkan penghargaan lebih dari orang lain. Lawan kata dari riya adalah ihklas. Dalam ajaran Islam, orang yang riya akan terhapus segala amalannya. Sebaliknya, setiap orang yang ikhlas, sekecil apa pun amalannya, akan dicatat sebagai pahala oleh Allah. LHKPN Bisa Memicu Pujian dan Fitnah Dalam ajang Pilpres kemarin ada isu hangat yang berkembang di masyarakat. Seperti di ketahui, menjelang pelaksanaan Pilpres 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan LHKPN calon presiden dan wakil presiden. Sebagaimana bunyi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018, capres dan cawapres wajib untuk melaporkan LHKPN sebagai syarat pencalonan. Dari data yang diumumkan KPU, tercatat harta kekayaan yang dilaporkan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo sebesar Rp 50,24 miliar. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 43,88 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,08 miliar, harta bergerak lainnya Rp 360 juta, kas dan setara kas Rp 6,10 miliar, dan hutang Rp 1,19 miliar. Cawapres nomor urut 01, Ma'ruf Amin, melaporkan harta sebesar Rp 11,64 miliar. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 6,97 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,62 miliar, harta bergerak lainnya Rp 226 juta, kas dan setara kas Rp 3,47 miliar dan hutang Rp 657 juta. Prabowo Capres nomor urut 02, Prabowo Subianto, melaporkan total LHKPN sebesar Rp 1,95 triliun. Dengan rincian, harta tanah dan bangunan Rp 230 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 1,43 miliar, harta bergerak lainnya Rp 16,41 miliar, surat berharga Rp 1,7 triliun, kas dan setara kas Rp 1,84 miliar., Total LHKPN cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno mencapai Rp 5 triliun. Rinciannya, harta tanah dan bangunan Rp 191 miliar, alat transportasi dan mesin Rp 325 juta, harta bergerak lainnya Rp 3,2 miliar, surat berharga Rp 4,7 triliun, kas dan setara kas Rp 495 miliar, harta lainnya Rp 41,29 miliar dan hutang Rp 340 miliar. Media massa kemudian mengulas dan membuat grafis ranking total kekayataan mereka. Yang terkaya, Sandi (Rp 5 triliun). Kedua, Prabowo (Rp, 1,9 triliun). Lalu Jokowi (Rp 50, 24 miliar) dan “termiskin” Ma’ruf Amin (Rp 11, 64 miliar). Nah, menariknya, harta kekayaan Prabowo dan Sandi yang “fantastis” tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh masyarakat. Karena ada mindset bahwa seorang presiden dan wakil presiden sebaiknya memang orang yang sudah mapan secara ekonomi, sudah kaya raya, supaya tidak tergoda korupsi lagi. Pandangan seperti ini tentunya membuat orang baik yang kebetulan tidak kaya raya menjadi minder tampil di ajang pilres. Sebaliknya, LHKPN dari Jokowi dan Ma’ruf yang nilainya kecil justru dicurigai telah di-markdown alias sengaja dikecilkan. Apalagi, belakangan ada rilis dari KPU yang menyebutkan dana sumbangan pribadi Jokowi untuk kampanye pilpres mencapai Rp. 19,5 miliar. Padahal dalam LHKPN-nya, total kekayaan Jokowi hanya Rp 50,2 miliar dan yang berupa kas hanya Rp. 6,1 miliar. Hal ini dianggap “mencurigakan” sehingga dipersoalkan oleh kubu Prabowo-Sandi sampai ke Mahkamah Konstitusi. Belakangan tim sukses Jokowi-Maruf menyebut hal tersebut terjadi karena "kesalahan input". Ada pun harta kekayaan Ma’ruf Amin diributkan pubik karena selama massa kampanye, media massa sering menyebut kediaman Ma’ruf Amin terletak di kawasan elite Menteng, persinya di Jalan Situbondo No. 12. Rumah tersebut digambarkan besar dan mewah. Padahal banyak masyarakat tahu, Ma’ruf Amin adalah kyai terkenal yang tinggal di kawasan sederhana di Koja, Jakarta Utara. Apakah Maruf punya satu atau dua rumah di Jakarta? Tidak ada penjelasan sampai sekarang. Jika Maruf punya rumah di kawasan Menteng, yang ditaksir bernilai puluhan miliar, mengapa ia melaporkan harta kekayaanya cuma Rp. 1,9 miiliar, dengan rincian harta tanah dan bangunan cuma Rp 230,4 juta? Apakah Maruf Amin telah berbohong? Belum tentu juga. Bisa jadi rumah di Jalan Situbondo itu cuma kontrakan atau dipinjamkan oleh seorang pengusaha pendukungnya. Apakah rumah kontrakan atau pinjaman harus dilaporkan dalam LHKPN? Jelas tidak. Karena yang diisi di LHKPN harus harta kekayaan pribadi. Jangan lupa, menurut aturannya, LHKPN ini setelah diserahkan ke KPK juga diumumkan ke publik. KPK memberi ruang kepada sasyarakat untuk melaporkan apabila di lingkungannya diketahui ada pejabat yang tidak melaporkan harta kekayaannya dengan benar dengan melampirkan bukti pendukung seperti foto dan info lainnya melalui email. Alhasil, LHKPN ini dalam prakteknya lebih banyak mudarat daripada mamfaatnya. Karena seseorang pejabat bisa terpaksa berbohong saat mengisi laporan LHKPN-nya dengan berbagai pertimbangan pribadi. Bisa jadi agar asal usul harta kekayaannya diusik atau mungkin pula karena tidak ingin dianggap riya (pamer). Sebaliknya, tetangga atau orang lain bisa mengirim informasi palsu ke KPK untuk mendiskreditkan seorang pejabat. Karena mindset seseorang terhadap harta kekayaan orang lain tidak selalu sama. Bisa melahirkan pujian, tapi bisa pula menjurus kepada fitnah. Dalam persepsi publik seperti itu KPK bakal disibukan dengan klarifikasi harta kekayaan seseorang yang dilaporkan orang lain. Padahal belum tentu seseorang jadi kaya karena korupsi. Sekarang kita ambil hikmahnya saja. Apa yang dipersoalkan Dharma dan Buwas adalah PR tersendiri bagi KPK. Menurut informasi resmi KPK, saat ini ada 350.539 orang penyelenggara negara yang punya status wajib setor LHKPN. Sementara SDM di KPK cuma 1600 orang, itu pun yang punya kapasitas sebagai penyelidik/penyidik tidak lebih dari setengahnya. Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi? Dalam praktek selama ini KPK sudah terbukti mampu menangkapi koruptor melalui instrumen penyadapan dan pelaporan masyarakat. Untuk kepentingan pemulihan aset hasil korupsi, toh KPK bisa berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Ditjen Pajak. Apa susahnya? Sekian

Negara Tidak Boleh Justifikasi Rasisme & Papua Phobia Dengan Kriminalisasi Rakyat Papua

Tindàkan rasialisme itu tindakan yang menyerang dan merendahkan martàbat setiap individu. Karena itu ketika orang Papua dikatakan Monýet dan Gorila, tentu memancing reaksi indìvidu yang ras, warna kulit dan etño biologis yang sama sebagai bangsa Papua melanesia. Karena itulah tindakan perlawanan atau anti rasial muncul secara spontanitas oleh setiap individu di Papua. Oleh Natalius Pigai Aktivis Kemanusiaan Jakarta, FNN - Pernyataan Wiranto bahwa perusuh di Manokwari diproses secara hukum sebagai mana dilansir media online kumparan, tanggal 19 agustus 2019. Tentu saja Wiranto tidak eloķ dan pantas sasar kepada rakyat Papua ýang pada saat ini pòsisinya sebagai korban rasialisme di Indonesia. Apalagi rakyat Papua melakukan tindakan menentang/penghapusan diskriminasi rasial yang merupakan sèmangat/menstream dunia internasional yang ingin membangun peradaban baru anti diskriminasi dan masyarakat inklusif. Negara sejatinya mendorong terciptanya situasi yang aman dan kondusif dengan pendekatan persuasif dan bermartabat, serta sebagai orang Jawa dimana sukunya adalah pelaku rasialisme bisa dianggap sangat subjektif dan tidak kredibel. Menjamurnya rasialisme dan Papua Phobia atau Phobia terhadap orang Papua dan kulit hitam sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Tindakan itu sudah dilakukan sejak pasca integrasi politik Indonesia 1970an kemudian 1980an sampai hari ini dan terus berlangsung. Papua phobia justru dilakukan oleh kaum migran yang mengadu nasip hidup di Papua, àparat TNI/Polri, Pènegak Hukum dan Koorporasi, masyarakat Papua tidak memiliki daya juang untuk mencari keadilan melalui proses hukum. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembangunan integrasi politik di Papua secara subtansial. Akibatnya, kondisi hari ini adalah hasil resultante dari kegagalan pembentukan karakter dan rasa kebangsaan (nation and charakter Building). Negara mesti berpikir dan bernarasi di tingkat seperti itu bukan bernarasi rendahan dan/atau bernarasi konotasi negatif dengan cara tambal sulam atau setiap masalah langsung diredam melalui penerapan delik secara kaku dan ketat. Negara juga membangun grand design komprehensip tentang pembangunan integrasi politik nasional yang diikat karena adanya keadilan subtantif yaitu keadilan pembangunan maupun keadilan pembagian kekuasaan untuk membangun Indonesia tanggung rènteng. Bagimana 74 tahun Presiden dan Wakil Presiden dipimpin hanya oleh satu suku dari 714 suku di Indonesia. Itu adalah problam paling serius. Maka; design politik kebangsaan dan multi kultur melalui 1). Tanpa presidensial threshold. 2). Sistim pemilu Popular Vote (satu orang satu suara satu nilai) dianggati dengan Èĺektoral Collage (sistim distrik); 3). Sistim giliran Jawa luar Jawa atau Indonesia Timur, tengah dan barat; 4). Konsensus nasional ùntuk pembagian kekuasaan dan struktur anggaran nasional; 5). Meninggalkan desentralisasi simetris ke desentralisasi asimetris, karena setiap daerah memiliki gaya dan pola kepemimpinan serta adat istiadat yang berbeda Itulah pekerjaan pelerjaan pemerintah yang sesungguhnya untuk memantapkan politik lebanģsaan untuk ratusan tahun yang akan datang. Kecenderungan hari ini adalah design politik menguntungkan satu suku dan tercipta kultus budaya dan suku, semakin haus akan kekuasaan, makin rakus dan sombong sehingga merendahkan harkat dan martabat suku-suku lain sebagaimana terjadi pada hari ini. Saya meminta saudara Negara tidak menyalagunakan otoritas negara untuk menjastifikasi tindakan rasisme dengan kriminalisasi terhadap rakyat Papua yang protes baik di Manokwari, Sorong, Jayapura dan hampir semua penjuru Propinsi Papua dan Papua Barat. Tindàkan rasialisme itu tindakan yang menyerang dan merendahkan martàbat setiap individu. Karena itu ketika orang Papua dikatakan Monýet dan Gorila, tentu memancing reaksi indìvidu yang ras, warna kulit dan etño biologis yang sama sebagai bangsa Papua melanesia. Karena itulah tindakan perlawanan atau anti rasial muncul secara spontanitas oleh setiap individu di Papua. Tidak Ada Aktor Yang Mengarahkan, Menuntutn dan Memimpin. Pemerintah mendorong proses hukum terhadap rakyat Papua, maka sudah dipastikan kriminalisasi dan ketidak adilan. Sebagai aktivis kemanusiaan yang secara individu pernah menangani lima belas ribu kasus di Indonesia, pernah mengunjungi 34 Propinsi di Indonesia meneliti dan melihat lebih dari 400 Kabupaten/Kota, sangat memahami tipologi kasus, sehingga mudah memperkirakan perlawanan besar akan muncul dan fragmentasi suku, agama, antar golongan àkan makin mengkristal. Dalam konteks sosiologi konflik, rasialisme muncul sebagai isu yang timbul tenggelam (recurent issues). Di Negara lain, perlawanan terhadap rasialisme, senophobia dan anti semistik adalah perang tanpa titik akhir (infinity war). Ìtu yang harus dicamkan. End

Referendum Papua, Mungkinkah?

Keinginan mereka merdeka masih mix antara perluasan otonomi sebesar besarnya demi kemakmuran rakyat (rakyatnya yang merdeka bukan Papua) vs merdeka. Namun, setelah Theys di bunuh di era Presiden Megawati, beberapa tahun kemudian, Toha Alhamid mengatakan pada saya, Bangsa Papua sudah sulit untuk bersama Indonesia. By Dr. Syahganda Nainggolan Sabang Merauke Circle Jakarta, FNN - Jokowi telah melakukan "touring" di Papua. Dengan sepeda motor yang canggih, beberapa tahun lalu. Berbagai pembangunan juga dibanggakan Jokowi bahwa dia sebagai pemilik prestasi terbesar membangun jalan yang terpanjang selama Papua bersama Indonesia. Buzzer2 Jokowi malah memposting2 jalanan yang indah mirip di negara2 maju sebagai jalan yang dibangun Jokowi di Papua. Rakyat Papua juga mencintai Jokowi dengan memilih Jokowi sebagai capres hampir 100%. Apakah rakyat Papua lalu semakin cinta Indonesia? atau cinta NKRI? Setelah dinyatakan bergabung dengan Indonesia pada tahun 1969? Saya baru saja melihat video ribuan atau puluhan ribu massa di depan kantor Gubernur Papua Barat. Pada acara kemarin, seorang ibu berpidato. Ibu itu mengatakan bahwa anak-anak Papua yang di Jawa adalah anak-anak yang dia lahirkan, bukan anak monyet. Dia berkeringat membesarkan anak-anak itu. Dalam keringat itu mengalir darah Papua. Tapi mengapa Jawa dan NKRI menindas anak-anak Papua? Lalu ibu itu meneriakkan yel-yel, setelah berhenti menghela nafas. Teriaknya dlanjutkan dengan kata “Papua”, puluhan ribu rakyat langsung meneriakkan jawaban, "MERDEKA”. Setelah itu sambutnya lagi dengan kata “Referendum”, sahutan massa, “YES” Teriakan Merdeka yang saya lihat bukan seperti 21 tahu lalu. Ketika saya menanyakan hal tersebut kepada almarhum Theys Eluay dan Toha Al Hamid. Beberapa hari sebelum Theys Eluay dibunuh, pemimpin Bangsa Papua itu bersama sekjennya, Toha Alhamid sempat makan siang bersama almarhum Adi Sasono, Yorrys R, dan saya. Keinginan mereka merdeka masih mix antara perluasan otonomi sebesar besarnya demi kemakmuran rakyat (rakyatnya yang merdeka bukan Papua) vs merdeka. Namun, setelah Theys di bunuh di era Presiden Megawati, beberapa tahun kemudian, Toha Alhamid mengatakan pada saya, Bangsa Papua sudah sulit untuk bersama Indonesia. Menurut Toha Alhamid, seluruh negara-negara Melanesia di Pasifik dan jaringan Gereja di Amerika semakin bulat mendukung Papua berpisah. Paska kematian Theys, kecenderungan Papua tidak pernah lagi mix antara merdeka vs atau ragu-ragu. Kecenderungan keinginan merdeka semakin dominan. Bendera-bendera Merah Putih sudah dibakar sebagain mereka. Olivia Tasevski dalam "West Papua's Quest for Independence", July 2019, the Diplomat, menjelaskan detail dukungan yang semakin besar kepada gerakan Papua Merdeka. Ketua partai oposisi Inggris dari Partai Buruh, Jeremy Corbyn dan Richard Di Natali dari Senator Parlemen Australia diantara figur utama pendukung itu. Benny Wenda, pemimpin Papua Merdeka (ULMWP/United Liberation Movement of West Papuan), mengklaim telah mendapat dukungan dari 1,8 juta jiwa rakyat Papua dalam petisi yang ditujukan ke PBB. Petisi untuk menuntut pengusutan pelanggaran HAM dan menuntut pula kemerdekaan. Petisi itu sudah diterima ketua PBB bagian Human Rights, Michelle Blachelet. Disamping itu, Benny juga telah berhasil meyakinkan negara2 Pasifik untuk ikut dalam pertemuan rutin mereka MSG (Melanesia Spearhead Group). Di sisi lain, dukungan Israel terhadap Papua semakin nyata. Beberapa tahun lalu, Papua mengibarkan bendera Israel ke seluruh penjuru Papua, sebagiannya resmi. Sikap resmi ini diperkuat lagi oleh pernyataan Sekda Papua baru baru ini tentang tanah Papua sebagai tanah Israel. Meskipun Israel, Inggris, Australia dan Amerika tidak melibatkan negara dalam relasi dukungan terhadap Papua merdeka. Namun gerakan rakyat dan elit dari negara-negara tersebut mengindikaiskan kedekatan gerakan Papua Merdeka dengan mereka. Sejauh pembahasan ini, kita sudah melihat bahwa kehendak rakyat Papua untuk merdeka, khususnya lima tahun belakangan ini semakin menggila. Lalu bagaimana kita harus berbuat? Sikap lembut Jokowi terhadap Papua selama lima tahun ini, kecenderungannya akan mengantar pada sebuah situasi kompromistis. Selain tentunya balas jasa dukungan orang orang Papua hampir 100 persen dalam pilpres mendukung Jokowi. Jaman Suharto, situasi Papua tenang dan terkendali, karena Suharto melakukan cara kekerasan mempertahankan Papua. Sedangkan masa sebelum Jokowi, beberapa institusi dalam negara memanfaatkan "gerakan jihadis Islam" sebagai milisi sipil berperang atau ancaman memerangi kelompok-kelompok seperatis. Dulu ada "Laskar Jihad" pimpinan Ustadz Ja’far Umar Thalib. Laskar-laskar seperti ini sudah distigma sebagai radikalisme, ISIS dan pembuat kerusuhan. Sehingga akhirnya, situasi separatisme di Papua hanya akan dilawan oleh tentara. Namun, siapkah tentara diterjunkan ke Papua? Tantara tentu sangat siap untuk berperang. Masalahnya tinggal pada Jokowi. Jika Jokowi percaya pada kehendak rakyat, maka referendum bukanlah jalan yang "haram". Negara demokrasi seperti Inggris pun mempersilakan Bangsa Skotlandia untuk melakukan jejak pendapat untuk merdeka tahun lalu. Kenapa kita tidak? Persoalannya adalah apakah kasus Timor Timur akan terulang? Ketika Habibie, Presiden yang dianggap lemah, mempersilakan referendum Timor Timur, akhirnya propinsi ke 27, kala itu, lepas dari Indonesia. Apalagi muncul pertanyaan, bagaimana kalau Papua minta referendum lalu Aceh dan Maluku menuntut yang sama? Semuanya sekarang tergantung Jokowi, dan bersifat urgen. Opsi Jokowi dapat berupa : 1. Menyerang gerakan Papua Merdeka dan anasir-anasirnya secara massif. 2. Jokowi melakukan referendum rakyat Indonesia untuk mengijinkan atau tidak mengijinkan Referendum Rakyat Papua. 3. Memberi ijin Referendum Papua Sambil menunggu keputusan Jokowi, lembaga saya Sabang Merauke Circle, nasibnya diujung tanduk. Karena Sabang dan Merauke mungkin saja hilang. Tinggal Circle nya saja. End

Bukan Soal GBHN, Tapi Soal Moralitas dan Kapasitas

Presiden kalian tebirit-birit. Dia menyerahkan banyak urusan kepada beberapa orang saja. Pembangunan infrasturktur dan pengembangan ekonomi dilaksanakan acak-acakan, tanpa pedoman. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Perdebatan hangat tentang kesinambungan pembangunan, tidak menyentuh persoalan fundamental yang kita hadapi. Banyak yang berpendapat ketiadaan GBHN (Garis Besar Haluan Negara) membuat penjabaran kekuasaan pemerintahan menjadi amburadul, akhir-akhir ini. Yang lainnya mengatakan, berbagai klausul UUD 1945 juga menjadi masalah. Sesungguhnya, bukan itu yang menjadi persoalan. Bukan GBHN. Bukan juga isi UUD 1945. Masalah besarnya adalah moralitas dan kapasitas pemimpin. Kapasitas politisi. Itu yang menjadi problem utama. Inilah yang absen. Inilah yang menyebabkan politik Indonesia menjadi kacau. Sebaik apa pun GBHN dan UUD, tidak ada artinya kalau para politisi dan pimpinan negara tidak punya moralitas dan kapasitas. Sehebat apa pun GBHN, di tangan orang yang ‘brainless’ tetap saja tidak ada gunanya. Begitu pula UUD. Jadi, presiden tanpa GBHN bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah kalian tak punya moralitas. Kalian curangi proses pilpres sehingga dimenangkanlah orang yang tidak berkapasitas. Yang tidak bisa apa-apa. Kalian atur lembaga pelaksana pemilu agar capres kalian menang. Inilah yang menjadi masalah mendasar. Capres yang bagus kualitasnya kalian rekayasa menjadi kalah. Padahal, jelas-jelas capres yang dikalahkan itu punya kemampuan dan dipilih oleh mayoritas rakyat. Kalian singkirkan capres yang memiliki visi pembangunan jangka panjang. Yang paham tentang kesinambungan. Kalian paksakan capres yang berambisi jangka pendek. Yang tidak paham meletakkan dasar-dasar pembangunan yang bervisi jauh ke depan. Sekarang, kalian salahkan ketiadaan GBHN. Capres berkapasitas yang dipilih mayoritas, kalian paksa kalah. Berantakanlah. Kesapakatan mayoritas rakyat, kalian batalkan dengan kekuasaan kalian. Rakyat mengatakan capres ini mampu mendefinisikan pembangunan yang berkelanjutan. Tapi kalian intervensi semua lembaga pemilu, lembaga peradilan, dan lembaga kekuasaan lainnya agar capres pilihan mayoritas itu tidak menang. Akibatnya sangat fatal. Negara ini terombang-ambing. Rajut sosial compang-camping. Perekonomian dan pembangunan morat-marit. Presiden kalian tebirit-birit. Dia menyerahkan banyak urusan kepada beberapa orang saja. Pembangunan infrasturktur dan pengembangan ekonomi dilaksanakan acak-acakan, tanpa pedoman. Inilah pilihan kalian, ahli pencitraan. Tidak ada kapasitas. Dan berada di bawah kendali koalisi. Koalisi yang hanya memikirkan dana parpol dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada. Kalau presiden memiliki kapasitas, dia tak akan mengutamakan pencitraan untuk ditayangankan di televisi. Tak ada moral, nol kapasitas. Dia tidak tahu bahwa dia tak mampu. Tapi kalian paksakan terus. Tanpa moral, kalian paksakan kemenangannya. Dan tanpa moral juga, dia terima kemenangan syubhat itu. Tanpa kapasitas, dia jalankan jabatan yang direbut secara brutal itu. Sekarang, kalian mulai ragu. Pembangunan tanpa visi. Tidak ada arah. Tak jelas apa yang ingin dicapai dalam 20-25 tahun ke depan. Dia tak punya bayangan. Asyik dengan angan-angannya sendiri. Itulah akibat ketiadaan moralitas dan kapasitas. Tidak ada rasa malu ketika rakyat memberikan aba-aba “sudah cukuplah Anda”. Inilah yang disebut tak bermoral. Setelah dipaksakan terus, pengelolaan negara menjadi amburadul. Inilah pertanda nol-kapasitas. Moralitas sangat krusial. Itulah yang membuat proses pemilihan pemimpin dan rekrutmen politik menjadi relatif bersih di mesin demokrasi Barat. Pencurangan suara adalah dosa besar bagi mereka. Orang yang melakukan itu akan hilang dari peredaran. Karir mereka selesai. Moralitas politisi di negeri lain didukung oleh moralitas dua pilar demokrasi lainnya. Yaitu, media massa dan sistem peradilan. Di sana, tidak akan pernah terjadi media massa mendiamkan para politisi bejat. Meskipun media tsb adalah pendukung ideologi partai si politisi bejat itu. Di sini, media massa mainstream terang-terangan melindungi para politisi busuk yang mereka sukai. Begitu juga sistem peradilan mereka. Tidak bisa dicampuri oleh siapa pun. Tidak akan pernah ada kontak antara pemegang kekuasaan dengan para hakim. Apalagi intimidasi. Di negeri ini, kelihaian menipu atau mencurangi pemilihan dianggap sebagai kehebatan. Para politisi tak merasa risih ketika kekalahan mereka, dengan segala cara, mereka balikkan menjadi kemenangan. Inilah yang sekarang mencelakakan Indonesia. Pada usia 70 tahun tempo hari, seharusnya Indonesia memiliki pemimpin yang cerdas, kuat, dan jujur. Yang lahir dari proses seleksi demokratis tanpa rekayasa dan intervensi. Dia lahir dari pergelutan kapasitas di bawah sorotan tajam media massa. Kalau pemimpin punya moralitas, dia pasti menghindarkan perbuatan korup. Dan jika dia punya kapasitas, dia akan mampu dan mengerti menjalankan pemerintahan. Dengan sendirinya, dia paham tentang konsep pembangunan yang berkesinambungan. Dia tahu tujuannya dan paham cara mencapainya. Tanpa GBHN. Jadi, sekali lagi, semua ini bukan soal GBHN. Melainkan moralitas dan kapasitas. Kalau kedua aspek ini eksis, insyaAllah Indonesia akan memiliki pemimpin yang hebat dari segala sisi. (19 Agustus 2019)

Pepesan Kosong Kabinet Jokowi-Ma’ruf

Mana mungkin Golkar, PKB, dan Nasdem bersedia mendapat jatah satu kursi sama dengan parpol lain, termasuk yang tidak lolos parlemen seperti Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI. Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Menyimak penjelasan Presiden Jokowi kepada para pimpinan media soal komposisi kabinet, hampir dapat dipastikan banyak parpol yang bakal gigit jari. Apalagi partai pendukung paslon 02 yang ingin merapat ke pemerintah. Termasuk Gerindra. Jangan terlalu terbuai mimpi mendapat banyak jatah kursi, konon pula pos-pos kementerian yang basah dan prestisius. Bisa masuk dan mendapat pos alakadarnya saja, sudah sangat beruntung. Seperti pengakuan Jokowi, susunan kabinetnya sudah final. Ada menteri yang berusia di bawah 30 tahun. Ada yang berusia antara 30-40 tahun. Keduanya berasal dari kalangan profesional. Jokowi mengklaim, rekam jejak manajerialnya, bagus. “Profesional akan mendapat porsi 55 persen, dan parpol 45 persen,” ujarnya. Dengan rumus tersebut, berarti kalangan parpol hanya akan kebagian 15 kursi. Maksimal 16 kursi. Hal itu sesuai dengan ketentuan UU jumlah kementerian sebanyak 34. Mari berhitung berapa kira-kira jatah menteri yang akan didapat masing-masing parpol. Pada Pilpres 2019 Jokowi-Ma’ruf diusung oleh 9 parpol : PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI. Belakangan Gerindra diajak masuk. Jadi setidaknya akan ada 10 partai di koalisi pemerintah. Bila ditambah dengan Demokrat yang sudah menyatakan mendukung pemerintah, jumlahnya 11 parpol. Ketua Umum PDIP Megawati dengan tegas minta Jokowi memberikan jatah kursi terbanyak kepada partainya. Permintaan yang sulit ditolak. Bagaimanapun Jokowi adalah kader dan petugas partai. Seandainya jatah kursi menteri disamakan dengan kabinet Jokowi-JK, maka setidaknya ada lima menteri asal PDIP. Menko PMK Puan Maharani, Mensekab Pramono Anung, Mendagri Tjahjo Kumolo, dan Menkumham Jasona Laoly. Oh iya tolong diingat, barangkali ada yang lupa, atau tidak tahu. Masih ada satu orang lagi ternyata, yakni Menkop Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga. Dengan PDIP mendapat jatah yang sama, maka tinggal tersisa 10-11 kursi. Bila benar Gerindra mendapat tawaran tiga orang menteri, maka jumlah yang tersisa untuk partai lain, tinggal 7-8 menteri. Sangat tidak masuk akal. Mana mungkin Golkar, PKB, dan Nasdem bersedia mendapat jatah satu kursi sama dengan parpol lain, termasuk yang tidak lolos parlemen seperti Hanura, Perindo, PKPI, dan PSI. Lebih tidak mungkin lagi Golkar, PKB, dan Nasdem bersedia diberi kursi lebih sedikit dari Gerindra. (Masih tarik menarik) Dengan kalkulasi semacam itu, kendati Jokowi menyatakan susunan kabinet sudah final, namun sesungguhnya di balik layar masih jauh dari final. Sedang terjadi negosiasi, tarik menarik, dan tekan menekan menekan antar-kubu pendukung Jokowi. Sikap Ketua Nasdem Surya Paloh yang belakangan sering sangat kritis terhadap pemerintah, adalah bagian dari proses itu. Ujungnya bisa bertemu dan tetap berada dalam kabinet. Atau kalau sampai tidak menemukan titik temu, berada di luar kabinet. Berada di luar kabinet adalah opsi yang pasti sangat dihindari oleh parpol pendukung Jokowi-Ma’ruf. Yang berada di luar koalisi saja ingin masuk, masakan yang di dalam malah keluar. Impossible. Hil yang mustahal. Di luar parpol, perlu dicatat banyak kepentingan politik lain yang bermain di seputar Jokowi. Mulai dari kepentingan bisnis lokal maupun internasional, kelompok kepentingan di dalam negeri, dan kepentingan politik asing, terutama negara-negara adidaya seperti AS dan China. Representasi kelompok kepentingan itu bisa tercermin dari berbagai figur “non” parpol seperti Luhut Panjaitan, AM Hendropriyono, Gories Mere, Moeldoko, Sri Mulyani, Rini Soemarno dan beberapa figur lainnya. Sebagian dari mereka adalah proxy. Mereka harus tetap bertahan di lingkar kekuasaan, agar akses dan kepentingan mereka tetap terjaga. Hanya dengan begitu kartu mereka juga tetap hidup dan punya nilai politis dan bisnis. Tak bisa dipungkiri, di luar parpol kelompok kepentingan ini mempunyai peran besar dalam “kemenangan” Jokowi. Hal itu pasti sangat dipahami oleh Jokowi. Kelompok-kelompok kepentingan ini semuanya harus bisa diakomodasi oleh Jokowi. Pos kementerian yang diisi oleh para profesional, tidak selalu dapat diartikan mereka bebas dari kepentingan politik dan bisnis. Bisa saja mereka adalah profesional yang berafiliasi dengan parpol, kepentingan bisnis lokal maupun multinasional, kepentingan kelompok agama dan kelompok tertentu, dan kepentingan negara-negara asing. Menyadari banyaknya kepentingan semacam itu, maka sangat wajar bila para petinggi parpol kini tengah berjibaku, menggunakan berbagai macam cara untuk mengamankan kursinya. Khusus bagi Gerindra, bila akhirnya hanya mendapat pos satu atau maksimal dua kementerian, maka harga politik yang harus dibayar sangat mahal. Kecuali bila mendapat kompensasi berupa pos-pos lain di luar kabinet dan konsesi bisnis yang memadai. Lebih parah lagi kalau sampai Gerindra sama sekali tidak jadi mendapatkan kursi. Itu namanya ribut-ribut rebutan pepesan kosong. Dalam politik memang tidak ada Nasi Goreng yang gratis. End

Setelah Megawati, PDIP Terancam Gulung Tikar

Puan atau Prananda ini tak mungkin memakai nama Soekarno. Agak aneh kalau Puan dan Prananda disoekarnokan menjadi Puan Soekarnocucu atau Prananda Soekarnocucu. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Megawati Soekarnoputri dipaksakan dan diikhlaskan lagi menjadi ketua umum PDIP. Itulah yang terjadi di Kongres ke-5 Partai Banteng di Bali, Kamis (9/8/2019). Kok bisa “paksa” dan “ikhlas” berada di satu situasi? Tentu saja bisa. Khususnya di PDIP. Di habitat Banteng ini, Megawati adalah “queen that can do everything”. Beliau adalah Ratu yang bisa melakukan apa saja. Di kerajaan partainya. Jadi, kalau beliau dipaksakan menjadi ketua umum lagi, maka dia harus diikhlaskan untuk jabatan itu. Dengan demikian, “paksa”dan “ikhlas” adalah dua kata yang berlawanan makna, tetapi tidak pernah bertentangan di lingkungan PDIP. Semoga tidak membingungkan. Baik. Kongres di Bali didominasi oleh kesoekarnoan ketua umumnya. Dari sini terbaca bahwa partai itu tidak punya kepercayaan diri untuk berjalan tanpa nama Soekarno. Mereka masih akan mengandalkan DNA politik presiden pertama itu. Lantas, apa yang bisa digambarkan tentang masa depan PDIP setelah pimpinan tertingginya berganti dan tidak bisa menyandang nama Soekarno? Secara umum, parpol-parpol yang mengandalkan ketokohan atau karisma seseorang, akan terancam gulung tikar. Mereka akan mengecil dari pemilu ke pemilu. Tak terkecuali PDIP. Partai ini akan mengalami kesulitan ketika, suatu hari nanti, tidak lagi dipimpin oleh Megawati. Mereka sudah bisa merasakan ini, Itulah sebabnya Bu Mega masih dipaksa atau terpaksa menjadi ketua umum lagi. Bu Mega dipaksa atau memaksakan diri karena misi beliau belum selesai. Yaitu, memindahkan saham mayoritas Bu Mega di PDIP kepada salah seorang anak beliau. Puan Maharani atau Prananda Prabowo. Yang menjadi masalah, kalaupun transfer saham mayoritas itu bisa dilakukan kepada Puan atau Prananda, mereka ini diperkirakan tidak akan memiliki otoritas pribadi yang bisa menyamai Bu Mega. Dan sangat tak mungkin menyulap Puan atau Prananda menjadi figur yang diandalkan sebagai ‘vote getter’ (pengumpul suara) dalam waktu singkat. Megawati telah melakukan ini sejak pemilu 1999. Sampai detik ini, hanya Megawati dengan embel-embel Soekarnoputri-nya yang bisa menyulut grass-root (akar rumput) “versi pokok-e” untuk terus mendukung Banteng. Ke depan nanti, basis massa “versi pokok-e” akan semakin mengecil jumlahnya sejalan dengan pertumbuhan di bidang pendidikan dan intelektualitas. Ini bermakna bahwa kesoekarnoan pimpinan PDIP hampir pasti tidak bisa lagi diandalkan untuk menambang suara di masa-masa selanjutnya. Meskipun, misalnya, Bu Mega bisa bertahan 50 tahu lagi di kursi ketua umum dengan Soekarnoputri-nya. Nah, apalagai kalau Bu Mega digantikan oleh Puan atau Prananda. Mereka ini tak mungkin memakai nama Soekarno. Agak aneh kalau Puan dan Prananda disoekarnokan menjadi Puan Soekarnocucu atau Prananda Soekarnocucu. Sudah bisa diperkirakan bagaimana postur Banteng nantinya kalau Puan Maharani atau Prananda Prabowo memimpin PDIP. Akan sangat berat jika sistem dinasti dikukuhkan sebagai model kepemimpinan partai. Inilah yang tampaknya merisaukan Bu Mega dan para senior partai. Di satu sisi, Mega ingin agar anak-anak beliau memimpin PDIP. Tetapi, di sisi lain, Mega sadar bahwa embel-embel Soekarno tidak bisa disematkan ke kedua cucu proklamator itu. Jadi, ada dua faktor yang membuat PDIP unggul saat ini. Pertama, akar rumput “versi pokok-e” yang relatif masih besar jumlahnya. Kedua, nama Megawati yang menyandang Soekarnoputri. Seperti disebutkan tadi, kedua faktor penentu ini akan segera sirna. Tak terelakkan. PDIP akan kehilangan “drive” untuk tetap bisa mempertahankan keunggulannya. Bahkan, sangat mungkin akan mejadi partai yang gulung tikar. Dalam arti, blok-blok politik dinasti yang unggul hari ini akan berubah menjadi partai gurem, partai 5 persenan. Megawati sendiri, dulu, muncul menjadi tokoh karena ‘dibesarkan’ oleh penindasan era Orde Baru. Penindasan terhadap PDIP membuat Mega menjadi ‘pahlawan’. Kepahlawanan itulah yang kemudian membawa keberuntungan bagi PDIP. Partai ini langsung menang hampir 34% di pemilu 1999, pemilu pertama era Reformasi. Golkar tergeser ke posisi kedua dengan perolehan suara 22.5%. Tetapi, di pemilu 2004, PDIP hanya merebut 18.5%. Golkar malah di urutan teratas dengan perolehan 21.5%. Penurunan drastis perolehan suara PDIP dari 34% di tahun 1999 menjadi 18.5% di tahun 2004 menunjukkan bahwa dukungan besar kepada PDIP itu hanya “protest vote” (suara protes) terhadap para penguasa otoriter saat itu. Suara besar PDIP pada pemilu 1999 itu tak bertahan. Setelah ini, Banteng tak pernah mencapai di atas 20% di pemilu-pemilu berikutnya. Pada pileg 2019, PDIP memperoleh 19.3%. Perolehan besar ini sangat disangsikan kemurniannya. Patut diduga, PDIP bisa menduduki posisi teratas karena banyak melakukan praktik yang bertentangan dengan asas-asas pemilu. Mereka leluasa melakukan itu karena sedang memegang kekuasaan. Kembali ke peralihan kepemimpinan dari Mega kepada kedua anak beliau. Proses transfer kepemilikan PDIP pasti bisa lancar. Tidak akan ada yang berani menentang kalau Bu Mega mendudukkan Puan atau Prananda sebagai ketua umum. Sangat mudah. Sebab, PDIP tidak beda dengan “perusahaan keluarga” yang mayoritas sahamnya dipegang oleh Bu Mega. Artinya, orang-orang yang disebut kader atau politisi di situ sama seperti pegawai perusahaan. Mereka bisa dipromosikan atau didemosikan kapan saja oleh pemilik perusahaan. Tidak ada yang bisa mencegah atau berkeberatan. Tidak ada rapat umum pemegang saham (RUPS). Dalam arti, tidak ada suara lain di PDIP kecuali suara Bu Mega. Beliau adalah suara tunggal. Apa saja gagasan, usulan, atau keputusan di lingkungan partai bisa diveto oleh Ibu Ketum. Sebaliknya, apa saja yang diinginkan Bu Mega, harus dilaksanakan. Kalaupun ada rapat, munas, kongres, dll, itu hanya sekadar menjabarkan AD/ART saja. Proforma belaka. Di era post-millenial, anak-anak muda Indonesia tidak akan menoleh ke parpol “perusahaan keluarga” model PDIP. Generasi penerus tak akan ‘nyambung’ dengan praktik seperti itu. PDIP akan tergerus dengan sendirinya. Diperkirakan, inilah awal dari stagnasi perolehan suara yang kemudian memburuk menjadi penciutan secara konstan. Banteng akan semakin kurus. PDIP akan mengalami deflasasi pengikut dan pemilih dari pemilu ke pemilu. Itulah ancaman gulung tikar kalau para pemimpin di partai ini tidak segera melakukan tindakan radikal. Tindakan yang indektik dengan mentalitas generasi muda post-millenial yang sangat kontras dengan watak para politisi ‘old-style’ (model lama) yang bermentalitas korup (corrupt mentality). Jadi, dengan cara pengelolaan yang ada saat ini, PDIP kelihatannya tidak akan bisa bertahan lama. Partai-partai lain yang akan mengalami nasib yang sama termasuk Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Nasdem, dan PKB. Sedangkan Hanura dan PPP sudah lebih dulu mengerdil. Diperkirakan, hanya Golkar dan PKS yang bisa bertahan karena mereka tidak bersandar pada ketokohan satu-dua orang. Mereka adalah partai yang rasional dengan sistem siapa bagus dia naik (merit system). Bukan karena suka atau tak suka pimpinan. PKS, khususnya, akan menjadi partai modern yang mengkombinasikan pembinaan mentalitas mandiri dengan loyalitas, antikorup dan antikarat. Kalau PKS konsisten sebagai partai prorakyat, dan pemilu berjaan tanpa kecurangan, mereka berpeluang untuk menjulang tinggi. End