POLITIK

Prabowo Minta Jabatan?

Saya selalu melihat Pak Prabowo adalah orang yang tulus. Mencintai Indonesia lebih dari hidupnya. Pak Prabowo itu tidak pernah bisa melupakan kawan. Beliau juga bukan orang yang pendendam. Oleh Naniek S. Deyang Jakarta, FNN - Saya tahu persis Pak Prabowo itu orang yang malu bicara jabatan dan uang. Jadi ketika orang bilang Prabowo datang ke Istana, bertemu Bu Mega, bertemu Surya Paloh dan mungkin bertemu yang lain, saya yakin dia nggak minta jabatan. Bertahun-tahun, kalau saya bertemu Pak Prabowo, pasti yang dibicarakan adalah keutuhan bangsa. Kesedihannya atas nasib rakyat Indonesia, karena masih banyak yang miskin. Sumber daya alam yang tereksploitasi gila-gilaan, tetapi tidak dinikmati oleh rakyat. Pokoknya mau duduk sampai berapa jam pun dengan Pak Prabowo, yang diomongkan pasti seputar itu-itu juga. Bahkan suka sekali diulang -ulang lagi. Kalau sudah bicara tentang kesejahteraan rakyat, maka suaranya pasti bakal meninggi dan emosional. Saya bicara atau menulis ini tidak mewakili siapapun. Saya bukan orang Partai Gerindra. Saya juga tidak bekerja di perusahaan-perusahaan milik Pak Prabowo. Saya sangat mengagumi kecintaan Pak Prabowo yang luar biasa besar kepada Indonesia dan keutuhan NKRI. Namun demikian, dia juga memang bukan manusia yang sempurna. Ada juga sisi kelemahahan yang dimiliki oleh Pak Prabowo. Kelemahan itulah yang menjadi salah satu penyebab kekalahannya dalam beberapa kali pertarungan di Pilpres. Apa saja kelemahannya? Namun pada kesempatan ini, saya tidak tertarik untuk membahas sisi kelemahannya Pak Prabowo. Saya lebih tertarik membahas beberapa kelebihannya yang saya ketahui. Saya selalu melihat beliau adalah orang yang tulus. Mencintai Indonesia lebih dari hidupnya. Pak Prabowo itu tidak pernah melupakan kawan. Beliau juga bukan seorang yang pendendam. Jadi, meski Pak Prabowo keliling ke Surya Paloh, Bu Megawati, Ketua Umum PPP dan lain-lain, saya haqul yakin dia nggak akan pernah meninggalkan PAN dan PKS. Pak Prabowo itu punya hubungan perkawanan yang luar biasa istimewa dengan Ketua Dewan Syuro PKS, Ustazd Salim Segaf Al-Jufri. Demikian juga dengan Pak Amien Rais (pendiri PAN). Waktu Pak Amien diperiksa di Polda, dan lama tidak selesai-selesai, Pak Prabowo terlihat sangat pilu dan stress. Lalu semua orang -orang penting ditelepon, agar mengusahakan Pak Amien segera disudahi pemeriksaannya. Pak Amien sendiri kalau sama Pak Prabowo sadah seperti ke adiknya sendiri. Begitu juga hubungan Pak Prabowo dengan Pak SBY. Hormatnya sama Pak SBY minta ampun. Saat Pilpres lalu misalnya, setiap kali Pak SBY minta bertemu, maka Pak Prabowo memilih untuk mendatangi Pak SBY di rumanya. Padahal Pak Prabowo ketika itu adalah Capres. Meski dilarang banyak orang, Pak Prabowo nggak peduli. Pak Prabowo selalu bilang "Beliau Pak SBY itu mantan Presiden, dan senior saya. Biar saya saja yang mendatangi Pak SBY, "uajarnya. Lalu dengan ulama? Tidak bergeser sedikitpun sikap hormatnya. Pak Prabowo selalu hormat kepada ulama. Juga tidak pernah meninggalkan ulama. Makanya lihatlah sikapnya kepada Haeres, UAS, dan ulama lain. Apakah Pak Prabowo pernah menghujat ulama? Tidak kan? Ini hanya catatan pribadi saya, mau dibaca, ya monggo, nggak dibaca juga, ya silahkan saja. Nggak percaya juga nggak apa-apa. Bully saja terus Pak Prabowo. Soalnya kalau membully Pak Prabowo, pasti anda-anda juga nggak bakalan dilaporkan ke polisi. Jadi, bully saja sesuka hatinya teman-teman. Hitung-hitung buat pelampiasan, karena nggak bisa membully penguasa Penulis adalah Wartawan Senior

Pengorbanan Jari Kelingking Wiranto dan Jualan Narasi Radikalisme

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Akhirnya publik mendapat petunjuk baru yang mencerahkan. Petunjuk itu berasal dari Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, Aburizal Bakrie, yang baru saja menjenguk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat. Menurut Ical (sapaan akrab Aburizal Bakri) mengatakan bahwa jari kelingking Wiranto terluka karena menangkis serangan pelaku penusukan. Begitu ujar Aburizal seperti yang dikutip dari Antara, Minggu (13/10). Padahal, akibat luka jari kelingking Wiranto ini publik sejagat, jutaan rakyat Indonesia dibuat heboh, juga bingung. Pelaku awalnya diberitakan tukang mabok, tukang judi dingdong. Di pemberitaan yang lain dikabarkan taat ibadah, rajin sholat. Pelaku katanya terpapar ISIS, anggota JAD. Namun kemudian, muncul berita pelaku adalah korban penggusuran oleh Jokowi di Medan. Akibat luka jari kelingking Wiranto, Dandim Kendari dicopot dan istrinya dilaporkan polisi. Anggota TNI AU di Surabaya di sanksi. Muncul narasi bersihkan TNI dari radikalisme. Karena jari kelingking Wiranto, segenap elemen anak bangsa berubah menjadi sosok yang peduli pada kondisi negeri. Presiden langsung berdiri berpidato mengajak segenap elemen anak bangsa untuk menyatakan perang pada radikalisme, Menag, mengutuk radikalisme dan menekankan pentingnya reinterpretasi pemahaman agama. Ketua MPR mengutuk radikalisme, Prabowo mengutuk radikalisme, Megawati kirim karangan bunga untuk jari kelingking Wiranto, KSAD menjadi 'garang kepada dandim', penggerebekan dan penangkapan rakyat dilakukan oleh aparat di Bali, Bekasi dan Bandung. Bahkan, hingga Yakult selaku pimpinan Bani Majengjeng Hemereketehe ikut menebar fitnah dan tudingan berdalih narasi radikalisme. Padahal, untuk kasus Wamena itu yang luka bukan hanya jari kelingking. Bahkan, bukan hanya meninggal biasa, atau karena ditusuk kunai, tetapi meninggal karena dibakar hidup-hidup, ada yang mati setelah diperkosa. Mana suara Jokowi? Mana suara Menag? Mana suara ketua MPR yang kala itu juga ketua DPR? Mana karangan bunga Mega untuk korban Wamena? Mana suara Prabowo? Mana pidato KSAD yang tegas pada pelaku genosida Wamena ? Mana itu Yakult yang sok paling NKRI ? Terima kasih Bang Ical, terim kasih atas pencerahannya karena memberi kabar luka jari kelingking ini kami segenap rakyat Indonesia tak lagi khawatir tentang usus yang dipotong, darah mengucur 3,5 liter, dan yang lebih penting kami tidak perlu khawatir dan mengindahkan narasi radikalisme. Pengorbanan jari kelingking Wiranto ini layak untuk dikenang dan diapresiasi oleh segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kelak, jika Wiranto meninggal dunia di atas pusaranya perlu untuk dibangun 'Monumen Jari Kelingking', dalam bentuk patung jari kelingking berukuran besar. Di atas pusara Wiranto, ditulis pesan bagi segenap anak bangsa: " di sini telah ditanam jasad yang sangat berjasa mengorbankan jari kelingkingnya demi menjaga kedaulatan negara dari ancaman radikalisme." [].

Deklarasi Oposisi Rocky Gerung, Siapa Mau Bergabung?

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Manuver dan pilihan politik Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo membuat Rocky Gerung “ingkar” janji. Tanpa menunggu pelantikan presiden, dia sudah mengumumkan sikapnya: Oposisi terhadap Prabowo! Rocky bahkan berjanji akan berkeliling Indonesia, mengajak para kampret (mantan pendukung Prabowo) bergabung bersamanya. “Benar. Deklarasi sebagai oposisi terhadap Prabowo terpaksa saya majukan,” ujar Rocky dalam tayangan perdana resonansi.tv ( berbasis youtube ) Selasa (15/10). Bagi yang tidak paham konteks dan sikap politiknya, keputusan Rocky ini agak membingungkan. Pada kampanye pilpres lalu Rocky berjanji. "Pak Prabowo akan saya kritik 12 menit setelah dia dilantik, catat jejak digital hari ini," kata Rocky di hadapan ribuan alumni perguruan tinggi pendukung Prabowo-Sandi di Gedung Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta Timur, Sabtu (26/1/2019). Apa lacur ternyata Prabowo kalah. Seharusnya tidak ada pelantikan. Seharusnya Prabowo tetap bersama kampret. Bersama Rocky menjadi oposisi. Mengkritik pemerintah. Bukan dikritik. Namun melihat manuvernya dalam beberapa hari terakhir, semakin meyakinkan publik, Prabowo tidak akan pernah menjadi oposisi. Tidak akan timbul tenggelam bersama rakyat, seperti yang dia janjikan. Safari politiknya menunjukkan dia telah menjadi bagian terpenting dari pemerintahan Jokowi. Menjadi aktor utama mewakili kepentingan Megawati dan Jokowi. Jumat (11/10) Prabowo bertemu dengan Jokowi di Istana. Saat itu dia mengaku memenuhi undangan Jokowi. Kepada media secara diplomatis Prabowo menyatakan siap membantu Jokowi bila dibutuhkan. Namun seandainya tidak berada di kabinet, Gerindra akan loyal sebagai penyeimbang. Bukan oposisi. Basi-basi politisi yang sudah basi! Setelah bertemu Jokowi, Ahad malam (13/10) Prabowo melanjutkan safari politiknya. Secara mengejutkan dia bertandang ke rumah Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Sebelumnya sulit membayangkan kedua figur ini bisa bertemu. Apalagi kemudian saling rangkul, peluk, tertawa bersama dan mengaku punya banyak kesamaan pandangan. Prabowo selama ini secara terbuka menyatakan ketidak-sukaannya terhadap Surya Paloh. Dia selalu menolak diwawancarai oleh Metro TV milik Surya. Prabowo menyebut Metro TV tidak punya akhlak dan pencetak kebohongan. Sebaliknya Metro TV juga selalu memberitakan Prabowo secara miring. Termasuk dalam editorialnya sebagai sikap resmi redaksi. Hubungan keduanya seperti anjing dan kucing. Seperti tokoh kartun legendaris Tom and Jerry. Tak pernah akur. “Permusuhan” keduanya terus berlanjut. Pada saat Prabowo bertemu Megawati dalam diplomasi nasi goreng, pada saat yang sama Surya menggelar pertemuan dengan Gubernur DKI Anies Baswedan. Setelah itu Surya maupun media miliknya Metro TV dan Media Indonesia mulai menyuarakan pentingnya oposisi. Surya juga mulai melakukan kritik dan bersuara miring terhadap beberapa kebijakan pemerintahan Jokowi. Pada pelantikan anggota DPR RI (2/10) terjadi drama politik yang cukup menarik. Mega tidak menyalami Surya. Padahal Surya sudah berdiri menyambutnya. Mustahil pertemuan Prabowo dengan Surya kali ini tanpa sepengetahuan dan restu Megawati. Mereka saat ini telah menjadi satu paket yang solid. Pemilihan ketua MPR adalah salah satu contohnya. Gerindra akhirnya sepakat mendukung Bambang Soesatyo sebagai ketua MPR setelah Prabowo menemui Megawati. Padahal sebelumnya mereka ngotot mengajukan Ahmad Muzani. Sehari kemudian, Senin malam (14/10) Prabowo bertemu dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Setelah itu dia juga direncanakan akan bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Pertemuan Prabowo dengan para ketua umum partai pendukung Jokowi ini tentu saja sangat menarik dan menimbulkan tandatanya. Dalam kapasitas apa, dan apa pula kepentingannya? Prabowo tampaknya telah mendapat peran baru. Dia menjadi semacam mediator mempertemukan kepentingan Megawati sebagai pemegang saham mayoritas pemerintah, dengan para partner pemegang saham lainnya. Safari politik itu juga sekaligus menjadi semacam pemberitahuan resmi kepada partai-partai pendukung pemerintah. Bahwa saat ini dia yang mengendalikan permainan. Bila tidak mencapai titik temu, maka seperti dikatakan Rocky, bisa terjadi kampret mengusir cebong. Menjadi Perdana Menteri “Kelihatannya Prabowo akan menjadi semacam Perdana Menteri. Menjalankan peran yang selama ini dimainkan Luhut Panjaitan. Bahkan lebih besar,” ujar Rocky. Rocky mendapat informasi Prabowo akan menempati posisi sebagai Menkopolhukam, sesuai dengan latar belakang dan keahliannya. Bukan posisi Wantimpres seperti yang selama ini diduga. Dengan posisinya tersebut, Prabowo juga akan mengambil alih peran Wapres Ma’ruf Amin, termasuk dalam diplomasi internasional. Peran itu selama ini dijalankan oleh Wapres Jusuf Kalla dan tidak mungkin dimainkan Ma’ruf. Hanya saja dalam catatan Rocky kemungkinan besar Prabowo akan menghadapi persoalan, terutama catatan lamanya yang berhubungan dengan kasus HAM. Bila itu bisa diatasi, maka dia akan menjadi tokoh nomor dua di republik ini setelah Jokowi. Besarnya peran Prabowo itu tak lepas dari kepentingan politik Ketua Umum PDIP Megawati. “ Dia merasa lebih nyaman, dan sudah paham luar dalam soal Prabowo,” ujar Rocky. Megawati ingin mengamankan kepentingan politik dan keberlangsungan kekuasaannya pasca Jokowi. Prabowo merupakan sekutu politik yang paling tepat dibandingkan ketua umum partai lain, termasuk Surya. Pertemuan Prabowo dengan para ketum parpol menjadi semacam negosiasi, bagi-bagi kapling di kabinet. Pos-pos penting dan strategis secara politik dan menghasilkan uang dikuasai oleh Megawati dan Prabowo. Sementara pos-pos kabinet yang menghabiskan uang, silakan dibagi-bagi ke parpol lainnya. Baku atur, cincai di antara para oligarki. Tinggal rakyat bingung sendiri. Baik pemilih Jokowi, maupun Prabowo cuma bisa melongo. Akal sehat mereka tidak bisa mencerna. Mereka masih gontok-gontokan. Para politisi junjungan mereka rangkul-rangkulan, bagi kapling rezeki dan kekuasaan. Tak perlu ada oposisi, sehingga mereka bebas tanpa kontrol, melakukan apa saja. “Beli nomor 1, kok dapatnya nomor 2. Promo Berlaku Selama 5 Tahun.” Begitulah meme menggambarkan suasana hati rakyat. Getir dan bikin kita hanya bisa tersenyum kecut. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara! Tanpa representasi parpol sebagai oposisi di DPR, rakyat akan berhadapan langsung dengan pemerintah. Hanya dengan PKS sebagai oposisi, perannya tidak signifikan. “Bila situasi ekonomi dan politik memburuk, sulit terhindarkan munculnya DPR jalanan. Anak-anak STM bisa kuasai kabinet,” terang Rocky. Itulah pentingnya rakyat yang tetap berakal sehat bergabung. Menjadi kekuatan kontrol dan kritis terhadap pemerintah. Apakah Rocky Gerung bersedia menjadi pemimpinnya? End

Faizal Assegaf Layak Wakili Maluku & Reformis di Kabinet

Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Sudah 41 tahun lebih, tidak ada putra Maluku yang duduk di kabinet sebagai menteri di NKRI ini. Putra Maluku terakhir yang duduk di kabinet adalah Profesor Dokter Gerrit Augustinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978. Kalau boleh bertanya, ‘apa salah dan dosa kami orang Maluku dan Maluku Utara kepada NKRI ini Pak Jokowi? By Kisman Latumakulita Tinggal enam hari lagi. Tepatnya hari Minggu depan, tanggal 20 Oktober, entah jam berapa, Pak Jokowi akan dilantik menjadi presiden Indoneia. Dan ini adalah periode kedua Pak Jokowi menjabat sebagai presiden. Baru Pak Jokowi lah yang menyamai rekor yang dicapai oleh Jendral Kehormatan TNI Purnawirawan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden Indonesia di era reformasi. Menjawab pertanyan wartawan di Istana Negara Jumat lalu 11 Oktober 20, Pak Jokowi memastikan bakal ada putra Papua yang duduk di kabinet. Pak Jokowi juga memastikan anggota kabinet bakal segera diumumkan setelah dilantik sebagai presiden. Bisa saja di hari yang sama. Namun bisa juga diumumkan pada hari-hari berikutnya. Soal pengumuman dan penyusunan anggota kabinet adalah kewenangan mutlak Pak Jokowi sebagai presiden. Khusus untuk kewenagan presiden yang satu ini, dipastikan hampir semua komponen bangsa sudah mengerti dan memahaminya. Semua dapat menerimanya sebagai hak presiden yang tidak bisa diganggu-gugat oleh siapapun . Istilah kerennya, disebut dengan “Hak Proregatif Presiden”. Menjadi hak mutlak Pak Jokowi juga untuk memastikan bakal ada wakil dari Papua di kabinet. Namun bagimana dengan wakil dari Maluku dan Maluku Utara. Sekedar mengingatkan saja, bahwa dua daerah ini menjadi pemegang saham pendiri republik ini Pak Jokowi. Dua daerah ini juga adalah satu diantara sepuluh provinsi yang mendirikan republik ini tahun 1945. Jong Ambon juga ikut menandatangani deklarasi “Sumpah Pemuda” tahun 1928. Bersama-sama dengan Jong Java, Jong Sumatera, Jong Selebes, Jong Borneo, yang mendeklarasikan “Sumpah Pemuda” sebagai cikal-bakal kemerdekaan Negara Indonesia. Sedangkan Papua itu baru menjadi bagian dari Indonesia pada 58 tahun yang lalu Pak Jokowi Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Maluku dan Maluku Utara melalui Kesultanan Tidore juga menyumbangkan sepertiga wilayah kekuasaanya masuk ke dalam Indonesia. Jadi, sepertiga wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekarang ini adalah kontribusi dari kami orang Maluku dan Maluku Utara, (ketika dulu masih menjadi satu provinsi). Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Tanpa harus menepuk dada bahwa kita bernegara dengan Pancasila dan UUD 1945 hari ini adalah karya putra Maluku Johanes Latuharharhary. Hampir saja kita menjadi Negara Indonesia khilafah sejak bedriri tahun 1945. Kalau saja anak Maluku J. Latuharhary dan A.A. Maramis tidak mengancam Bung Karno dan Bung Hatta agar tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dicoret. Ancamannya adalah Maluku dan Minahasa akan berpisah dari Indonesia. Dua daerah ini mau merdeka mendirikan negara sendiri, jika tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak dicoret dari Dasar Negara Pancasila. Pertanyaannya, apakah Maluku dan Maluku Utara masih bagian dari NKRI Pak Jokowi? Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Selian sebagai pendiri bangsa ini, sejak awal tahun 1800-san Kapitan Pattimura sudah tampil memimpin perlawanan kepada penjajah. Begitu juga dengan Sultan Nuku dari Kesultanan Tidore. Sultan Nuku yang terkenal dengan sebutan “Jou Barakati”, dana nama remajanya adalah Muhammad Amiruddin tersebut, telah memimpin pertempuran melawan penjajah sejak masih remaja (sebagai Kapita). Salah satu alasan utama Bung Karno memasukan Papua menjadi bagian dari NKRI, karena Papua adalah wilayah kekuasaan Sultan Nuku. Cerita ini bisa dibaca di risalah sidang-sidang Badan Usaha Persiapan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Adalah Muhamad Yamin, salah satu anggota PPKI dan BPUPKI ketika itu yang paling ngotot memasukan Papua sebagai bagian dari wilayah Indonesia Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Papua baru secara resmi menjadi dari NKRI 58 tahun yang lalu. Sedangkan Maluku dan Maluku Utara ikut mendirikan NKRI ini sebagai pemegang saham utama. Pemegang saham pendiri. Bahkan Pancasila yang hari ini kita pakai sebagai dasar Negara adalah hasil revisi dari putra Maluku Johannes Latharhary. Sebelumnya adalah Piagam Jakarta Tidak hanya sampai disitu Pak Jokowi. Sudah 41 tahun lebih, tidak ada putra Maluku yang duduk di kabinet sebagai menteri di NKRI ini. Putra Maluku terakhir yang duduk di kabinet adalah Profesor Dokter Gerrit Augustinus Siwabessy sebagai Menteri Kesehatan di tahun 1978. Kalau boleh bertanya, ‘apa salah dan dosa kami orang Maluku dan Maluku Utara kepada NKRI ini Pak Jokowi? Bukan itu saja Pak Jokowi. Kabinet Kerja yang enam hari lagi akan berakhir ini, ada sedikitnya dua puluh lima menteri berasal dari suku Jawa. Tiga menteri lagi berasal dari suku Sunda. Tujuh orang menteri berasal Sumatera, termasuk Aceh. Dua orang menteri berasal dari suku Bugis-Makasar. Satu berasal dari suku Bali. Satu lagi berasal dari suku Papua. Pelaku Reformasi Jika Pak Jokowi berkenan meningikutkan putra Maluku sebagai anggota kabinet, maka menurut saya Faizal Assegaf lebih layak dan pantas. Faizal Assegaf, salah satu tokoh reformasi 1998 yang berasal dari Maluku. Tokoh reformasi asal Maluku lainnya adalah Wahab Talaohu dan Haris Rusly Moti Tidak ada putra Maluku yang lebih berkeringat di Gerakan Reformasi 1998, selain tiga orang ini. Mereka bertiga ketika itu tampil menjadi aktor utama yang berhadap-hadapan dengan moncong senjatanya Wiranto di semua sudut Jakarta dan Yogyakarta. Mereka bersama-sama dengan Adian Napitupulu, Mashinton Pasaribu, Fahri Hamzah, Rama Pratama, Andi Rahmat, Bernat dan lain-lain. Resikonya adalah ditangkap atau ditembak dengan laras senjata dari anak buahnya Wiranto ketika itu Berkali-kali Pak Jokowi mengatakan akan melibatkan anak-anak muda untuk duduk di kabinet sebagai menteri. Rencana tersebut merupakan kebijakan yang sangat tepat dan strategis. Bahkan bisa dibilang sangat keren dan berkelas. Karena perubahan peradaban di muka bumi ini tidak pernah dimpimpin oleh orang tua. Perubahan selalu saja dimotori oleh anak-anak muda sebagai aktor utama. Sampai di sudut itu, menurt hemat saya, Faizal Assegaf yang paling memenuhi syarat menjadi anggota kabinet Pak Jokowi untuk periode kedua. Selain dari kalangan muda, pelaku dan aktor utama gerakan reformasi 1998, Faizal Assegaf juga adalah putra Maluku, yang lahir di Negeri Geser, Kabupaten Seram Bagian Timur, dan besar di Namlea Pulau Buru. Pak Jokowi adalah presiden yang lahir sebagai buah dari Gerakan Reformasi 1998. Tokoh-tokoh lain dari Maluku dan Maluku Utara, tidak ada yang berkeringat di Gerakan Reformasi 1998. Malah, sebaliknya menentang Gerakan Reformasih 1998. Kebetulan saya menjadi saksi pelaku, maupun wartawan yang mencatat dan menyasiksikan peristiwa reformasi tersebut dari meni ke menit, jam ke jam dan hari ke hari. Pada rangkaian pilpres kemarin, Faizal Assegaf, bersama-sama dengan Lanyala Mahmud Mataliti, yang sekarang Ketua DPD RI ikut berkeringat memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin di daerah Jawa Timur sebagai tim pemenangan. Penulis adalah Wartawan Senior Asal Maluku & Maluku Utara

Jokowi di Negara Hukum Yang Compang-Camping

Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Pak Jokowi telah menulis jejak kepresidenannya dalam memimpin pelaksanaan Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Sebentar lagi Pak Jokowi akan kembali menulis jejak baru dalam memimpin pelaksanaan Undang-Uundang Dasar, Undang-Undang dan Peraturan. Pak Jokowi akan menulisnya disepanjang garis pemerintahannya lima tahun yang akan datang. Semua yang telah ditulisnya sepanjang hampir lima tahun ini tersaji begitu telanjang. Semuanya dapat dilihat, dan dinilai. Juga dapat diberi warna setegas dan sejelas mungkin. Bagaimana Pak Jokowi melihat dan menilai? Bila mungkin, semua pelaksanan hukum yang telah ditulisnya sendiri, itu satu perkara. Itu juga perkara Pak Jokowi sendiri. Pentingkah Pak Jokowi mengetahui, menilai dan menimbang semua yang telah ditulis itu? Mungkin ya. Apakah penilaian itu membawa dirinya menyangkal kenyataan yang menyajikan pada level yang cukup terang. Bahwa tampilan pelaksanaan hukum selama hampir satu periode sejauh ini cukup buruk? Pak Jokowi bisa menyanggahnya. Andai Pak Jokowi menyanggah kenyataan saat ini, Pak Jokowi berpapasan dalam penilaian yang berbeda begitu dalam, antara dirinya dengan rakyat. Jelas tidak memungkinkan keduanya bertemu pada titik yang sama. Pak Jokowi, tidak mungkin diminta mengambil langkah manis mengubah, atau mewarnai pelaksanaan hukum dimasa akan datang dengan menyisipkan moralitas ke sisi-sisi intinya. Berubah Total Pak Jokowi, entah mengeluh atau justru mengungkapkan fakta tak terbantahkan. Telah menyatakan dalam sebuah kesempatan belum lama ini, bahwa perusahaan-perusahaan yang keluar dari Cina, tidak masuk ke Indonesia. Mereka pergi ke negara lain, sepperti Vietnam, Malaysia dan lainnya. Pada negeri-negeri itulah mereka menaruh uangnya. Sayangnya, Indonesia tak dilirik oleh mereka. Padahal Indonesia sekarang ini, dengan Pak Jokowi sebagai pemimpinnya, sangat membutuhkan uang. Apakah Indonesia sedang menerima atau sedang dihukum oleh kapitalis-kapitalis rakus tersebut? Sebagi akibat dari ketidakonsistenan menerapkan hukum di bidang investasi? Apakah ketidakkonsistenan itu menghasilkan birokrasi korup. Boleh jadi iya. Kapitalis disepanjang garis politik hukum barat, memang tak mengenal rugi. Mereka hanya dan harus terus untung. Untuk urusan untung, kelompok penghisap paling mematikan ini memang selalu begitu. Mereka meminta dengan cara yang khas kepada semua pemerintah untuk menciptakan birokrasi yang menguntungkan mereka. Titik. Begitulah kelakuakan mereka di semua negara. Bila keinginannya tidak dipenuhi, mereka bakal menghukum dengan cara yang selalu tipikal. Tetapi menariknya, negara-negara yang sedang melarat selalu didapati meratapi kepergian mereka. Kelompok ini, tidak bisa diharapkan bicara tentang hal-ihwal kemanusiaan. Mereka juga tidak bisa diharapkan bicara hukum yang tak pilih kasih. Itu tidak bisa. Tidak usah menggelengkan kepala, karena kelompok ini tidak bakal terusik pemilu yang acak kadul. Juga tak usah meminta mereka bicara kematian ratusan petugas PPS pada pemilu yang menghasilkan Pak Jokowi sebagai presiden terpilih. Mustahil meminta kelompok ini mendesak Pak Jokowi mengusut tuntas peristiwa memilukan itu. Jangan bermimpi mereka menantikan peradilan atas kasus-kasus itu. Sudahlah, itu lain perkara. Perkara menjijikan dalam konteks negara hukum demokratis adalah orang gila. Orang yang tiba-tiba muncul dan berulah ditengah musim pemilu. Jijik karena, entah bagaimana, mereka tahu orang hendak ke masjid, menyerang dalam kadar sebagai orang gila. Orang gila tak bisa dihukum, tentu saja. Jadilah seperti cerita fiksi politik dan hukum gila-gilaan. Berlalu, hilang begitu saja. Kenyataan ini muncul di tengah semua orang memimpikan negara ini harus memperbaiki moralitas berhukum. Impian itu seharusnya membawa negara semakin muncul dengan jaminan berkelas untuk rakyat memperoleh rasa aman. Sial, entah bagaimana, malah tercipta lagi fenomena lain. Negara menjadi begitu sangat terampil dan energik melaksanaan hukum dalam Undang-Undang ITE. Padahal Undang-Undang ini cukup menyengsarakan. Betul jangan main fitnah. Sebab fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah itu juga pekerjaan orang-orang yang mati hatinya. Tak terasa putaran waktu pelaksanaan Undang-Undang ITE telah membawa negara hukum mengingkari moralitasnya sendiri. Nurani dan moralitas negara hukum demokratis tersingkir jauh. Negara hukum demokratis menjadi sangat angkuh. Terlalu kuat membentengi jalan pulang ke moralitas intinya. Politik terus berproses dalam negara hukum demokratis. Dalam tampilan empiris yang berubah, dan beralih menjadi negara hukum tak lagi demokratis. Setidaknya menjadi compang-camping. Terminologi penghinaan juga menjadi begitu jamak. Pernyataan tidak simpati terhadap satu peristiwa, apalagi ada korbannya, bisa bermakna “fitnah.” Setelah difitnah, lalu datanglah derita untuknya. Akan diterkam dalam Undang-Undang ITE. Membuat dan menyebarkan sebuah vidio berisi peristiwa yang belum terang hukumnya, bisa juga menghasilkan derita. Didatangi oleh kekuasaan yang namanya Undang-Undang ITE. Tampilan empiris negara hukum semakin terasa tak demokratis. Mengkristal dengan laju yang tidak biasanya. Demonstran terlihat menjadi musuh hukum. Boleh jadi paling berbahaya. Demonstran main keras, hukum main keras. Demonstran mesti luka-luka dan maaf, mati. Itu yang terjadi pada demo tolak hasil pemilu Mei lalu dan demo tolak RUU KPK akhir September kemarin. Sangat Susah Konstitusi tidak berubah. Itu sudah jelas. Tetapi meja politik sedang berubah drastis. DPR tak lagi terbelah. PAN dan PKS, dua partai ini jelas tidak bakal bisa mengubahnya. Pengambilan posisi sebagai oposisi, tidak bakal membawa mereka menjadi penantang. PAN dan PKS, saya cukup percaya, tidak bakal bisa menggoda kawan sebelah untuk main keras secara konstitusi mengubah hukum yang tak demokratis menjadi demokratis. Itu sangat tidak mungkin bisa terjadi. Rintangan politik yangbukan hukum, melampaui modal yang mereka punyai. Berat meminta negara hukum tak demokratis berubah menjadi negara hukum demokratis lima tahun akan datang. Unifikasi di tubuh DPR, tak memungkinkannya. DPR suka atau tidak, juga telah terunifikasi dengan pemerintah. Pengawasan mau disuarakan dari jalan? Negara hukum demokratis sekalipun selalu kaya menyediakan dalam gudang tersembunyinya begitu banyak cara menjinakan. Untuk front negara hukum modern – negara kesejahteraan- yang juga digariskan dalam UUD 9145, rakyat baru saja dikagetkan dengan Inpres kenaikan iuran BPJS. Tidak bisa berkelit. Ada sanksi menyertainya. Peserta BPJS tidak bisa apa-apa. Harus tunduk. Nantinya kalaupun tarif dasar listrik meminta untuk disesuaikan, rakyat pun hanya bisa menggerutu. Tetapi harus capat-cepat berhenti menggerutu. Apalagi menuangkan gerutuannya ke medsos. Ingat, ada monster yang setiap saat bisa dipakai pemerintah untuk mengejar mereka yang bergerutu di medsos. Monster itu bernama Undang-Undang ITE. Atas nama negara hukum dimasa depan, hukum akan ditempatkan pada rangking teratas di meja kebijakan pengelolaan semua soal negara ini. Negara bisa saja selalu benar. Rakyat benar? Nanti dulu. Bisakah negara dengan hukum seperti itu berpacu dalam percaturan beradab dan bermartabat memanusiakan rakyat? Itu soal yang paling rumit. Negara hukum tak demokratis bisa lebih angkuh memproduksi diskriminasi. Membebek pada pluralisme dan toleransi konyol khas Amerika. Lalu apa? Seperti Amerika dan Barat di sepanjang front kampanye pluralisme dan toleransi. Langit dan cuaca sosial politik lima tahun mendatang mungkin didominasi saja oleh streotipe-streotipe yang busuk. Streotipe-satreotipe tersebut bisa berupa anti pluralism, intoleran, radikal dan sejenisnya. Gerak kompleks politik dan ekonomi, seperti dituliskan dalam sejarah negara ini di tahun 1966, tentu di tengah kerumitan. Akan membawa negara hukum semakin tak demokratis. Semakin compang-camping. Hukum pada saatnya nanti tampil dengan moralitas rendahan. Keadilan menjadi sangat khas. Seperti barang bagus yang susah untuk didapat rakyat. Tragisnya, kondisi ini menjadi hal yang biasa-biasa saja. Tersaji sebagai takdir politik yang tak dapat dielakan. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Arteria Pernah Mengaku Takut Disadap

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Arteria Dahlan kembali "bikin ulah" dengan menyebut Prof. Emil Salim sebagai "sesat". Keruan saja, ucapannya itu mendapat hujatan netizen dengan menyebutnya "sombong" dan "tidak beradab". Nama politikus PDIP Arteria Dahlan mencuat pertama kali saat RDP Komisi III DPR dengan Jaksa Agung M. Prasetyo soal travel umroh bodong, Rabu (28/3/2018). “Yang dicari jangan kayak tadi bapak lakukan inventarisasi, pencegahannya, Pak,” katanya. “Ini Kementerian Agama bangsat, Pak, semuanya, Pak!” lanjut Arteria dengan nada tinggi. Reaksi atas pernyataan Arteria yang memaki Kementerian Agama dengan ucapan “bangsat” itupun diterima Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. “Sejak sore tadi (kemarin) saya banyak sekali menerima ungkapan kemarahan dari jajaran Kemenag dari berbagai daerah atas adanya ungkapan tersebut,” ucapnya. Bahkan, ia sempat mempertanyakan kosakata bangsat oleh Arteria yang dialamatkan ke jajarannya. Lukman menyarankan Arteria untuk meminta maaf. “Saran saya, agar tak menimbulkan permasalahan yang makin rumit, sebaiknya yang bersangkutan bersedia menyampaikan permohonan maaf atas ungkapannya itu,” kata Lukman. Mengutip keterangan Lukman kepada detikcom, Kamis (28/3/2018), atas makian dari Arteria itu, Lukman mengaku menerima banyak pesan yang mengungkapkan kemarahan atas makian bangsat dari politikus PDIP tersebut. Lukman mempersilakan masyarakat menilai pengggunaan kosakata bangsat oleh Arteria pada pemerintah itu. “Silakan rakyat menilai sendiri pilihan kosakata yang digunakan oleh salah seorang wakilnya itu,” ujarnya. Reaksi datang dari Dewan Pengurus Wilayah Perkumpulan Guru Madrasah (DPW PGM) Indonesia Jabar. Melalui suratnya Nomor: 015/B/SEK DPW-PGM JBR/IV/2018, organisasi profesi guru Madrasah ini menyatakan keberatan dan tersinggung atas ucapan dari Arteria. “Ungkapan Saudara Arteria Dahlan tidak mencerminkan sikap, perilaku dan tutur kata yang mulia sebagai seorang anggota DPR RI yang seharusnya menjadi teladan masyarakat dan terhormat,” tulis Ketua Umum DPW PGM Indonesia Jabar H. Heri Purnama, MPd I. DPW PGM Indonesia Jabar meminta Arteria untuk menyampaikan secara terbuka di muka umum permintaan maaf kepada jajaran Kemenag dan semua lembaga binaan Kemenag di seluruh tanah air dan tidak mengulang kejadian yang sama. Arteria Dahlan adalah anggota DPR RI Fraksi PDIP asal Dapil VI Jatim. Lahir di Jakarta pada 7 Juli 1975, Arteria ini seorang pengacara dan pemilik Kantor Hukum Arteria Dahlan Lawyers. Arteria adalah Ketua Badan Bantuan Hukum dan Advokasi DPP PDIP. Ia menangani perkara pilkada calon-calon dari PDIP, antara lain Rieke Dyah Pitaloka dan Teten Masduki pada Pilkada Jabar 2013, AA Ngurah Puspayoga dan Pilkada Bali 2013 serta Effendi Simbolon dan Djumiran Abdi pada Pilkada Sumut 2013. Arteria dilantik menjadi Pejabat Antar Waktu (PAW) DPR-RI periode 2014-2019 pada 23 Maret 2015 menggantikan Djarot Syaiful Hidayat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama. Pada masa kerja 2014-2019 Arteria duduk di Komisi II yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur & Reformasi Birokrasi dan Kepemiluan. Arteria meniti karirnya di bidang hukum. Jejak digital mencatat, Arteria aktif berorganisasi di asosiasi pengacara dan menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal DPP Serikat Pengacara Indonesia (DPP SPI). Arteria juga aktif menjadi advokat di kasus-kasus dan organisasi yang sarat dengan konflik. Pada Pemilu Legislatif 2014, namanya tercatat sebagai salah satu dari sembilan caleg PDIP. Ia maju bersama Pramono Anung Wibowo, Djarot Saiful Hidayat, Eva Kusuma Sundari, Budi Yuwono, Rina Yuniarti, Erjik Bintoro, Marhaen Djumadi, dan Mistinah. Arteria Dahlan maju caleg PDIP Dapil Jatim VI. Saat itu, terdapat 9 kursi di dapil ini bakal diperebutkan 105 DPR RI. Dapil Jatim VI meliputi Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar. Arteria baru “terpilih” setelah Djarot Saiful Hidayat meninggalkan Senayan menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta menggantikan Basuki Tjahaja Purnama yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta “warisan” Jokowi. Dari 105 caleg di Dapil Jatim VI ini, 51 orang berdomisili di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Arteria, termasuk salah satu caleg yang bukan berasal dari Dapil Jatim VI. Berbeda dengan Djarot yang pernah menjabat Walikota Blitar. Sejak menjadi anggota DPR RI, Arteria mulai menunjukkan “sikap kritis” sebagai legislator. Salah satunya, mengkritisi institusi KPK ketika di-Pansus-kan pada 2017 lalu yang masa kerja Pansus Angket DPR atas KPK selesai pada 28 September 2017. Kompas.com menulis, di akhir masa kerja, Pansus Angket tak lagi mengkritisi institusi KPK sebagai lembaga penegak hukum. Pansus Angket KPK saat itu malah menuduh Ketua KPK Agus Rahardjo terindikasi korupsi. Menurut mereka, Agus diduga terlibat dalam kasus korupsi saat menjabat sebagai Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Hal itu dikatakan dalam konferensi pers Pansus DPR di Hotel Santika, Jakarta, Rabu (20/9/2017). “Kami temukan indikasi penyimpangan di internal LKPP yang saat itu pimpinannya adalah Agus Rahardjo,” ujar Arteria. Agus diduga terlibat korupsi pengadaan alat berat penunjang perbaikan jalan pada Dinas Bina Marga di Provinsi DKI Jakarta, pada 2015. Suara vokal Arteria Dahlan saat menjadi anggota Pansus KPK itulah yang membuat namanya “terkenal”. Terakhir, dengan bahasa “bangsat”, ia mengkritisi Kemenag terkait travel “umrah bodong”. Sayangnya, Arteria tidak berani bangsatin KPK. Mungkinkah Arteria takut pada KPK jika ia harus ucapkan kosakata “bangsat” pada lembaga antirasuah itu? Mengapa ia begitu gethol menolak kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK? Jejak digital mencatat, Arteria pernah mengaku takut disadap KPK. Mungkin karena latar belakangnya sebagai seorang pengacara itulah yang membuat perilaku dan bahasa Arteria terbiasa melontarkan umpatan seperti “bangsat”. Ketika RDP Arteria bisa bertindak layaknya hakim di pengadilan yang “mengadili” pejabat pemerintah. Kompas.com, Selasa (26/09/2017, 16:56 WIB) menulis “ketakutan” itu. Ia khawatir dengan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Arteria minta KPK bisa membeberkan secara gamblang prosedur dan mekanisme penyadapan yang dilakukan selama ini. Tidak sulit telusur latar belakang mengapa politisi PDIP Arteria Dahlan begitu gethol serang KPK dan terakhir, Prof. Emil Salim, mantan Menteri LH era Presiden Soeharto, dengan kata “sesat”. Dari jejak digital news, Arteria pernah mengaku takut disadap KPK! “Kapan instruksi sadap dilakukan, kapan memberikan alat sadap, alat sadap (itu) kan terbatas alatnya, kapan mereka melakukan penyadapan, terus atas dasar apa,” kata Arteria dalam rapat Komisi III DPR RI dengan KPK di Jakarta, Selasa (26/9/2017). Menurutnya, jika tidak dijelaskan secara detail, maka akan muncul anggapan bahwa seolah-olah ada penyadapan yang sah sebagaimana diatur Undang-undang dan penyadapan yang tidak sah. “Jangan sampai ini kita pikir ada penyadapan yang sah dan tidak sah,” kata politisi yang baru terpilih menjadi anggota DPR RI itu. Arteria mengaku takut menjadi korban penyadapan, jika benar ada penyadapan yang tidak sah. Apalagi KPK akhir-akhir gencar melakukan OTT. “Takut kita. Jangan-jangan saya disadap. Kita enggak tahu melalui yang tidak resmi (sah),” ujar Arteria. Selain dia, beberapa anggota Komisi III lainnya juga kembali menyoal kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK. Masalah penyadapan ini selalu dipermasalahkan dari waktu ke waktu. Berkali-kali pula KPK menyatakan bahwa penyadapan selama ini sah dan telah diaudit. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief sebelumnya merasa heran dengan sikap para anggota Dewan itu. Padahal, kata Laode, semua lembaga penegak hukum memiliki kewenangan penyadapan. Ia mengatakan, putusan MK atas Pasal 5 Undang-Undang ITE terkait penyadapan tidak serta-merta menghilangkan kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK. Menurutnya, KPK tetap membutuhkan kewenangan penyadapan dalam memberantas korupsi. Sebab, lanjut Laode, kewenangan penyadapan seperti di KPK juga dimiliki oleh lembaga pemberantasan korupsi di hampir semua negara. Ia pun menegaskan, KPK selalu melakukan penyadapan sesuai dengan aturan yang berlaku. KPK juga tidak pernah menyebarkan hasil sadapan ke publik, kecuali yang terkait perkara dan didengarkan di pengadilan. Laode mengungkapkan, hasil penyadapan ini hanya berhubungan dengan kasus-kasus. Jadi, “Siapa yang mendengarkan ya hanya penyelidik dan penyidik KPK dan ketika disampaikan di pengadilan,” tegasnya. Jadi, jelas sekali, mengapa Arteria ikut andil “serang” KPK. Adakah yang disembunyikan Arteria sehingga “takut” disadap KPK? ***

Tentang Arteria Dahlan (PDIP): Bisa Jadi Dia...

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kemarin tertunda berkomentar tentang Pak Arteria Dahlan. Gara-gara ada berita besar. Tentang Pak Wiranto. Arteria menghardik Pak Prof Emil Salim di acara Mata Najwa (9/10/2019). Dia tunjuk-tunjuk Pak Emil tanpa ragu sedikit pun. Tak ragu bahwa cara dia itu tidak menunjukkan akhlak seorang wakil rakyat. Nah, pagi ini mumpung ada waktu berkomentar tentang kegarangan Arteria. Mengapa Arteria menjadi tak sopan kepada Pak Emil? Mengapa politisi PDIP ini berperangai sombong? Ada hal-hal yang mungkin belum kita pahami tentang Arteria Dahlan. Pertama, bisa jadi dia menunjuk-nunjuk Pak Emil Salim sambil mengatakan pakar ekonomi itu sesat, karena dia sedang menjalankan misi rahasia untuk menghancurkan PDIP. Siapa tahu. Lho, kok disebut menghancurkan? Karena, kesombongan yang dipertontonkan oleh Arteria itu mendapat reaksi geleng-geleng kepala dari publik. Patut diduga dia sedang bersekongkol untuk membusukkan PDIP. Sikap Arteria yang angkuh itu bisa merugikan citra elektoral PDIP. Tapi, faktor ini mungkin tidak punya dasar yang kuat. Masa iya Banteng sejati mau menghancurkan partainya? Tak mungkinlah. Kedua. Kalau yang pertama tak mungkin, berarti Arteria memperlihatkan karakter aslinya: sombong, angkuh, arogan, dan sejenisnya. Jika ini benar, tentu bagus juga kita katakan kepada beliau bahwa piala kosombongan yang paling terkenal dalam sejarah manusia masih dipegang oleh fir’aun. Baik. Kalau misalnya Arteria tidak bermaksud mau menghancurkan PDIP dan tidak juga bermaksud menunjukkan kesombongan, terus apalagi? Ada yang ketiga. Boleh jadi dia sedang mencari perhatian pimpinan partainya. Barangkali saja Arteria mendapat info bahwa pimpinan PDIP diam-diam sedang melaksanakan tes kemampuan arogansi. Mungkin Arteria merasa sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk memamerkan kemampuan berdebat sangar dan angkuh di depan publik. Yang keempat, boleh jadi Arteria sedang stress karena utang atau karena hal yang lain. Jadi, kita tak tahu pasti apa penyebab Arteria tersulut dan begitu geram melihat Prof Emil Salim. Yang jelas, Pak Emil yang telah berusia 89 tahun masih tampak segar. Tak kelihatan stress. Tak tampak ada noda korupsi di wajah beliau. Mungkin inilah yang membuat Pak Emil lebih santai dalam berdiskusi. Sedangkan Arteria tampak garang. Cemberut. Siap menerkam. Dan sangat marah kepada Pak Emil yang ikut berjuang melawan sikap PDIP yang ingin melemahkan KPK. [] 11 Oktober 2019

Habis Manis Buzzer Dibuang

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Habis manis sepah dibuang. Begitulah jika orang makan tebu. Hanya manisnya saja yang diisap, sedangkan sepahnya dibuang. Makna ungkapan ini bisa macam-macam. Misalnya, dibuang setelah tidak dipakai lagi. Bisa juga diterjemahkan, disimpan pada saat diperlukan saja, dan dibuang jika tidak diperlukan lagi. Bisa juga dimaknai, selagi masih digunakan dirawat dengan baik, tetapi bila tidak dipergunakan lagi dicampakkan begitu saja. Begitulah nasib buzzer. Teranyar tentu saja buzzer Jokowi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut aktivitas para buzzer pendukung Presiden Joko Widodo saat ini merugikan presiden terpilih periode 2019-2024 itu. Dibilang habis manis sepah dibuang, karena buzzer itulah pasukan militan Jokowi di media sosial kala pemilihan presiden kemarin. Mereka rajin memproduksi hoaks dan menyerang lawan-lawan politik Jokowi. Kini Jokowi sudah menang. Ia merangkul kekuatan lawan. Sampai kini, para buzzer masih asyik menjalankan tugasnya. Mereka menggonggong pada saat Jokowi memutuskan menyetujui revisi UU KPK. Berbagai hoaks ditebar. Sampai pada akhirnya, Istana memandang permainan para buzzer sudah kelewatan. Mereka akan dibubarkan. Maknanya, alokasi anggaran untuk buzzer dihentikan. Suplai dana dari Istana ke buzzer ditutup. Dunia medsos tentu akan lebih tentram tanpa buzzer bayaran seperti itu. Maklum saja, gara-gara buzzer yang rajin menyebar hoaks, sulit membedakan mana yang benar mana yang salah. Mereka mahir memutar balikkan fakta. Mereka juga berisik. Para buzzer sangat lihai mengelola fitnah dan kebohongan sebagai isu publik. Para tuyul modern ini sangat bersemangat mengotori ruang publik dengan fitnah dan pembodohan. Siapa Buzzer Istana Itu? Menarik, kesimpulan yang diambil tokoh pers Ilham Bintang dalam tulisannya berjudul “Ada Buzzer Istana Di ILC TVOne”, yang ditayangkan CeknRicek Rabu (9/10). Ilham menyorot aksi Ali Mochtar Ngabalin dalam acara ILC Selasa malam (8/10) itu. Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden ini dinilai begitu agresif mengagitasi publik. Seringkali menyerobot kesempatan berbicara pembicara lain. Dia mendemonstrasikan politik “belah bambu”. Yang satu (pihak Presiden Jokowi) diangkat setinggi langit, sedangkan Budi Setyarso yang mewakili Tempo, “diinjak” habis sampai rata dengan tanah. “Dari adegan itu kita bisa simpulkan itulah Buzzer Istana sesungguhnya. Kenapa kita repot-repot mencarinya selama empat jam diskusi ILC?” tulisnya. Menurut Ilham, sebagai pejabat negara rasanya sangat tidak etis Ngabalin mempertontonkan gaya otoriter di saat mencoba meyakinkan publik mengenai gaya egaliter Presiden Jokowi. “Paradoksal,” tegasnya. Paradoks Ngabalin ini bukan hanya tidak etis, tetapi cukup memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU ITE. Mengintimidasi dan memperkusi lawan debat, ditambah pula dengan sumpah terkutuk. Buzzer bertajuk Ngabalin versi Ilham Bintang, tentu berbeda dengan buzzer di dunia medsos. Buzzer berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti lonceng, bel atau alarm. Bisa juga dibilang kentongan. Alat tradisional tempo dulu yang sering digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat ada pengumuman atau berita penting. Buzzer, influencer atau rain maker maknanya tak jauh beda. Influncer adalah orang yang mampu mempengaruhi pengikut, sehingga memberikan efek buzz di media sosial. Hanya saja, menurut Dahnil Anzar Simanjuntak dalam ILC, buzzer menyebar informasi dan gagasan bukan orisinil dari pikirannya. Sementara influencer menyampaikan gagasan dari hasil murni pikirannya. Buzzer menyebar informasi hoaks dari mereka yang membayar. Soal bayar membayar ini dalam dunia buzzer, menurut juru bicara Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto ini, seperti pasar gelap. Namanya saja pasar gelap, hanya sedikit yang tahu. Namun semua itu bisa dinilai dari pola kerja mereka. Arahnya ke mana. Siapa yang menggerakkan. Singkat cerita, buzzer dalam makna negatif, adalah sekelompok orang yang dibayar untuk kepentingan politik tertentu dengan tugas membuat dan menyebar fitnah untuk menjatuhkan lawan politik. Buzzer boleh juga disamakan dengan pembunuh bayaran. Mereka membunuh menggunakan diksi-diksi yang kasar. Mereka menyerang orang-orang yang bersifat krisis. Mereka kelompok yang terorganisasi. Senjata Makan Tuan Pasukan medsos yang oleh Tempo disebutnya pendengung. Namun, belakangan kata “pendengung” oleh sebagian pegiat medsos dirasa terlalu lembut sehingga diganti “penggonggong”. Pendengung dan penggonggong bahkan pengembik, punya maksud sama. Fungsinya seperti makna buzzer: lonceng, bel atau alarm. Ngung … untuk pendengung. Gukguk .. untuk penggonggong. Mbik… untuk mengembik. Pendengung untung lebah. Penggongong untuk anjing. Pengembik untuk kambing. Silakan dipilih, mana yang enak saja. Toh, semua bikin berisik. Tak hanya para tetangga yang terkena dengungan, gonggongan dan embikan itu. Sang pemilik rupanya juga kena dampak yang sama. Ibaratnya, senjata makan tuan. Wajar saja jika Jokowi akan mengevaluasi keberadaan buzzer itu. "Buzzer-buzzer itu harus ditinggalkanlah. Pemilu juga sudah selesai. (Gunakan) Bahasa-bahasa persaudaraan, kritik, sih, kritik tapi tidak harus dengan bahasa-bahasa yang kadang-kadang enggak enak juga didengar," ucap Moeldoko. Menurutnya, pada saat ini, para buzzer pendukung Jokowi justru melakukan cara-cara yang bisa merugikan pemerintahan Jokowi sendiri. Ia pun meminta buzzer-buzzer Presiden Jokowi di sosial media untuk tidak terus-menerus menyuarakan hal-hal yang justru bersifat destruktif. "Dalam situasi ini relatif sudah enggak perlu lagi buzzer-buzzeran. Yang diperlukan adalah dukungan politik yang lebih membangun, bukan dukungan politik yang bersifat destruktif," tergasnya. Merasa terdesak, belakangan para penggogong secara membabi buta menyerang pakar drone emprit Ismail Fahmi di Twitter. Serangan itu dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif. Ismail Fahmi diserang karena dialah yang membocorkan asal hoaks oleh buzzer Jokowi. Ismail dengan teknologi drone emprit melakukan kerja secara profesional. Drone emprit membongkar kelakuan buzzer Jokowi ketika menyebarkan hoaks ambulans berisi batu dan bensin sampai grup whatsApp anak STM buatan oknum polisi. Mengundang Iba Pengakuan Moeldoko ini seperti membenarkan ulasan dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Keduanya membuat laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Ilmuan ini membeberkan bahwa pemerintah menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik. Pemerintah dan partai-partai politik juga memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial. Alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot. Berdasarkan isinya, konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar. Para buzzer, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp1 juta sampai Rp50 juta. Para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Sementara itu, Peneliti Center for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, menyebut pendapatan buzzer politik di media-media sosial bisa setara upah minimum regional (UMR). “Buzzer di wilayah DKI Jakarta dapat menerima upah hingga Rp3,9 juta per bulan dengan jam kerja delapan hingga sepuluh jam sehari,” ujarnya seperti dikutip Antara, Maret lalu. Seorang koordinator buzzer, dapat mengantongi Rp6 juta per bulan. Angka itu cukup menggiurkan di saat ekonomi sulit saat ini. Banyak penganggur terdidik yang terjerumus dalam dunia buzzer. Kini, buzzer Jokowi akan jadi korban PHK. Sepertinya menyedihkan. Mengundang iba. Padahal harusnya mereka ikut menikmati kemenangan Jokowi di periode kedua ini. "Kekuasaan periode kedua belum dimulai, tapi Buzzers sudah dibuang alias disingkirkan alias diapkir. BPJS naik 100%, Tarif ini tarif itu naik. Honor hilang. Gimana nasib para Buzzer, ya...? Ckckck kasihan," cuit Tengku Zulkarnain, Senin (7/10). Tentu saja cuit Tengku Zul itu hanya sindiran saja. Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menyarankan para buzzer untuk tetap aktif menjalankan tugasnya lantaran hal itu dirasa bisa mempengaruhi keputusan kakak pembina buzzer. "Serang terus sana sini, mana tahu kakak pembina berubah pikiran. Ya nggak?," imbuhnya. Tengku Zul, tidak menyebut siapa Kakak Pembina yang dimaksud. Namun di kalangan pegiat medsos sudah tahu sama tahu, yang dimaksud Kakak Pembina adalah Moeldoko. Jika benar begitu maka: buzzer menggonggong, kakak pembina berlalu. Biarlah begitu. Kini, adalah saat yang tepat untuk buzzer taubat. Dalam perspektif Islam, mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjingkannya adalah perbuatan keji yang diumpamakan dengan memakan bangkai saudara sendiri. Bahkan perilaku fitnah disebut lebih keji dari pembunuhan.

Polemik Menuju Periode Kedua, Aman atau Lengser?

Salah ѕаtu jаnjіnya ketika bеrdеbаt dengan Prаbоwо dі Pіlрrеѕ kemarin аdаlаh menguatkan KPK. Jіkа Pеrррu tіdаk kunjung dіtеrbіtkаn, mаkа Jоkоwі mеngkhіаnаtі аmаnаt rаkуаt yang mеmіlіhnуа. Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Terkait Revisi UU KPK, Presiden Joko Widodo hari-hari ini dalam posisi terjepit. Kabarnya, versi Ketum Partai NasDem Surya Paloh, sebenarnya Presiden Jokowi sepakat dengan Parpol Koalisi Jokowi, yakni menolak penerbitan Perppu KPK. Makanya, hingga hari ini, Presiden Jokowi belum juga menyatakan sikapnya, membatalkan rencana menerbitkan Perppu KPK atau melanjutkan UU KPK yang sudah ditetapkan DPR RI dengan berbagai resiko diantara keduanya bila bersikap. Sejumlah tokoh yang berjumpa Presiden Jokowi pada Kamis, 26 September 2019, lalu yang menggelar konferensi pers di Galeri Cemara, Jl. HOS Cokroaminoto No. 9-11, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Jum’at (4/10/2019), misalnya. Melansir Tribunnews.com, Jum’at (4/10/2019), konferensi pers ini digelar untuk menyikapi kabar batal dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK oleh Presiden Jokowi. Sejumlah tokoh yang hadir dalam acara diskusi ini antara lain pakar hukum Bivitri Susanti, Prof DR Emil Salim, mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, mantan Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas dan Slamet Rahardjo. Di sini, Prof Emil memberikan pemaparan terkait tujuan kegiatan acara. “Menyadari sejarah yang lampau, prestasi KPK yang gigih berjuang, kami merasa perjuangan ini harus diteruskan demi kebersihan aparat pemerintah dari korupsi,” katanya. Prof Emil menjelaskan bahwa undang-undang KPK yang telah diresmikan sifatnya memperlemah. Dan langkah itu terkait upaya pembatasan proses penyidikan dan penyadapan yang memang dimiliki oleh lembaga anti rasuah tersebut. Pelemahan tersebut dinilai berdampak signifikan bagi pekerjaan KPK. Karena itu, Prof Emil bersama tokoh yang hadir ini mendukung Presiden Jokowi untuk menerbitkan Perppu KPK. “Kalau ini semua dibatasi, itu namanya KPK dikebiri. Karena itu, kami minta Presiden untuk terbitkan Perppu dan kami mendukung Presiden menolak UU KPK itu,” ujar Prof Emil. Indonesia Cоruрtіоn Watch (ICW) mengakui, angin ѕеgаr sempat dihembuskan Istana soal kabar Prеѕіdеn Jоkоwi akan ѕеgеrа mеnеrbіtkаn Pеrаturаn Pеmеrіntаh Pengganti Undаng-Undаng (Perppu) Revisi UU 30/2002 tentang KPK. Hingga detik іnі Pеrррu KPK belum dikeluarkan, Presiden ѕереrtіnуа masih mеnghіtung untung rugi dаn dіhаdарkаn раdа ѕіtuаѕі dіlеmаtіѕ seperti mаkаn buah ѕіmаlаkаmа bila betul-betul mеnеrbіtkаn Perppu. Pеnеlіtі ICW Kurnіа Rаmаdhаnа mеngіngаtkаn Jokowi, akan аdа еfеk уаng jauh lеbіh besar jіkа Perppu KPK іtu tidak segera dіtеrbіtkаn. Kurnіа mеnуеbut аdа delapan еfеk jika Jоkоwі tіdаk menerbitkan Pеrррu. Pеrtаmа, реnіndаkаn korupsi аkаn mеlаmbаt, kаrеnа рrоѕеѕnуа sekarang hаruѕ mеlаluі izin dаrі Dеwаn Pengawas,” ujаrnуа ѕааt kоnfеrеnѕі реrѕ di Kаntоr YLBHI, Jаkаrtа, seperti dilansir Uzonews.com, Minggu (6/10/2019). Kedua, KPK tak lаgі menjadi іnѕtіtuѕі utаmа penindakan kоruрѕі. Karena, KPK аkаn menjadi bagian dаrі pemerintah. Kеtіgа, jіkа Jokowi tidаk terbitkan Pеrррu mаkа аkаn mеmреrburuk сіtrа реmеrіntаhаn. “Mаѕа jabatan Jokowi-JK аkаn bеrаkhіr 14 hаrі lаgі. Seharusnya іtu memberikan lеgасу уаng baik dеngаn саrа tеrbіtkаn Perppu,” jelas Kurnіа. Keempat, adalah Jоkоwі ingkar jаnjі terhadap Nawacita yang ѕеlаmа ini dia gadang-gadang. Lаlu, Indеkѕ Prestasi Korupsi Indоnеѕіа аkаn stagnan аtаu turun ѕеhіnggа berakibat kераdа сіtrа реmеrіntаh di mаtа іntеrnаѕіоnаl jatuh. Kurnіа juga mеnjеlаѕkаn efek yang аkаn terjadi jika Jokowi rаgu mеngеluаrkаn Pеrррu mаkа Jokowi tеlаh mеnсіdеrаі реnghаrgааn Bung Hatta Anti-Corruption Awаrd (BHACA) уаng dіѕеmаtkаn kераdаnуа ѕааt mеnjаbаt ѕеbаgаі Walikоtа Surakarta раdа 2010. “Yаng paling utаmа jіkа ѕаmраі реlаntіkаn pada 20 Oktober mendatang, Pеrррu tidаk kunjung diterbitkan maka Jоkоwі tеlаh mеngkhіаnаtі аmаnаt reformasi, уаіtu memberantas KKN,” tеgаѕ Kurnіа. Salah ѕаtu jаnjіnya ketika bеrdеbаt dengan Prаbоwо dі Pіlрrеѕ kemarin аdаlаh menguatkan KPK. Jіkа Pеrррu tіdаk kunjung dіtеrbіtkаn, mаkа Jоkоwі mеngkhіаnаtі аmаnаt rаkуаt yang mеmіlіhnуа. Menurut Direktur Eksekutif The Global Future Institute Prof. Hendrajit, yang bikin Jokowi Andi Lao, antara dilema dan galau, soal Perppu batalin Revisi KPK, karena ada hal yang krusial secara politis. Bukan sekadar pro koruptor atau anti koruptor. Apapun motif di balik ide revisi KPK maupun terpilihnya Irjen Polisi Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru itu, implikasinya bukan soal berkomitmen dengan pemberantasan korupsi atau tidak. Tapi lebih politis lagi. Akibat revisi KPK dan terpilihnya Firli Bahuri, KPK selain ganti sistem, juga ganti formasi dan tentunya aktor kunci. Kalau sudah sampai sini, kesalahan ada pada kedua belah pihak. Bahwa KPK selama ini tidak pernah murni jadi alat pemberantasan korupsi. Kedua, KPK dibentuk lebih untuk penanganan OTT gratifikasi dan suap, ketimbang membangun strategi pencegahan korupsi yang didasarkan pada sistem politik yang koruptif di semua bidang. Akibat fokus pada gratifikasi dan bukannya memadamkan bara apinya, yaitu sistem politik yang koruptif dan melemahkan sistem kenegaraan, maka KPK kemudian jadi sistem berkumpulnya sebuah klik politik buat mengimbangi aktor-aktor politik di DPR dan Eksekutif. Sehingga dengan kerangka pemberantasan korupsi yang menyempit pada OTT gratifikasi dan suap, KPK jadi alat pukul buat melumpuhkan lawan politik yang bertabrakan agendanya dengan klik politik yang menguasai sistem dan password KPK selama ini. “Dan, korban utamanya adalah politisi DPR, DPD dan para menteri di pemerintahan Presiden Jokowi – Wapres Jusuf Kalla,” ungkap Hendrajit. Berkumpulnya para tokoh yang dimotori Gunawan Mohammad, Kuntoro Mangkusubroto, Arifin Panigoro, Eri Riana, merupakan cermin kegelisahan klan politik yang tergusur seturut munculnya revisi uu KPK dan naiknya Firli Cs. Pada tataran inilah, Jokowi jadi Andi Lao. Bukan soal ngeluarin Perppu. Di balik sistem KPK selama ini, ada kartel politik di luar lingkup DPR-MPR yang memegang grip Jokowi di balik layar. “Selain kubu para jenderal seperti Wiranto, SBY, Hendro, dan Luhut,” lanjutnya. Jika Jokowi terbitin Perppu, berarti Presiden bukan sekadar menghadapi DPR. Melainkan bakal menghadapi para skemator yang ingin mengubah sistem dan formasi KPK yang selama ini dikuasai klik yang para tokohnya bertemu Jokowi di Istana tempo hari. “Jalan keluarnya menurut saya, masyarakat harus ajukan skema baru di luar versi revisi atau versi klik KPK lama yang sebenarnya juga sarat kepentingan dan sudah bersenyawa dengan Istana sejak Luhut dan Teten Masduki di ring satu Jokowi,” ujar Hendrajit. Alternatifnya, menurut Hendrajit, pemberantasan korupsi harus terintegrasi ke dalam strategi untuk melumpuhkan musuh yang telah dan akan melemahkan sistem kenegaraan kita. Dan, “Strateginya bukan lagi menekankan pemberantasan, tapi pencegahan.” Bukan eradication, tapi prevention. Ketika musabab korupsi karena sistem politiknya yang memang koruptif, maka masalah pokok dari kejahatan korupsi bukan gratifikasi dan suap saja. Melainkan penyalahgunaan kekuasaan melalui mekanisme negara di dalam negara. Juga, merajalelanya tim siluman. Dan klan politik di balik KPK yang sekarang ini lagi gerah dan kejang kejang, selama ini juga tak membantu banyak. Sekaranglah momentum berbagai elemen masyarakat mengajukan skema dan skenario alternatif. Jokowi Lengser? Dalam rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang berjudul “Perppu KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik”, LSI melaporkan temuannya perihal penurunan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi selama 5 tahun menjabat Presiden. LSI mencatat, tada 12 persen menyatakan sangat puas; 54,3 persen publik mengaku cukup puas dengan kinerja presiden, sisanya kurang puas dan tidak puas pada kinerja presiden. Selain itu LSI juga memaparkan tren kepuasan publik terhadap kinerja presiden. “Jokowi sudah 5 tahun menjadi presiden. Secara umum apakah sejauh ini Ibu/bapak sangat puas dengan kerja Presiden Jokowi?” demikian pertanyaan survei wawancara yang diajukan sebagaimana terlampir dalam keterangan tertulis rilis LSI, Minggu (6/10/2019). Dalam grafik disajikan, ada penurunan tren kepuasan publik dalam rentang waktu 8 bulan. Pada Maret 2019, ada 71 persen publik puas atas kinerja Jokowi. Tapi, pasca pilpres sampai Oktober ini tren kepuasan publik atas kinerja Jokowi justru turun menjadi 67 persen. Melihat kenyataan politik seperti itu, Jokowi harus segera mengambil pilihan dilematis. Jika Jokowi tak mau menerbitkan Perppu KPK, dia akan berhadapan dengan mahasiswa penolak UU KPK. Kalau terbitkan Perppu KPK, dia berhadapan dengan DPR. Kalau mau “aman”, tentunya Jokowi bisa memilih mengundurkan diri dari jabatan Presiden. Tanda-tanda ini bisa dicermati dari pidato Presiden Jokowi saat HUT TNI ke-74 di Halim Perdana Kusuma, Sabtu (5/10/2019), lalu. “Pada kesempatan yang baik ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada pejabat-pejabat dan perwira tinggi utama yang telah membantu periode kepemimpinan Presiden tahun 2014-2019. Terima kasih kepada Wakil Presiden Bapak Jusuf Kalla; kepada Menkopolhukam Bapak Tedjo Edhy Purdijatno, Bapak Luhut Binsar Pandjaitan, dan Bapak Wiranto; kepada Menteri Pertahanan Bapak Ryamizard Ryacudu; Kepada Panglima TNI Bapak Moeldoko, Bapak Gatot Nurmantyo, dan Bapak Hadi Tjahjanto; kepada KASAD Bapak Mulyono dan Bapak Andika Perkasa; kepada KASAL Bapak Ade Supandi dan Bapak Siwi Sukma Aji; serta kepada KASAU Bapak Ida Bagus Putu Dunia, Bapak Agus Supriatna, dan Bapak Yuyu Sutisna.” Apakah pidato Jokowi itu isyarat pamitan bahwa dia akan memilih undur diri karena merasa sudah tidak mampu sebagai Presiden? Penulis adalah Wartawan Senior

Joe Paloh

Oleh Dahlan Iskan Jakarta, FNN - Tulisan ini tertunda terus. Setiap kali akan muncul di DI’s Way tergeser oleh kejadian baru. Tapi Joe Biden kini hot kembali. Ditambah salaman Srimulat-nya Megawati. Maka --meski beberapa orang sudah dapat bocorannya-- kisah ini sayang dilewatkan: Mereka berpasangan secara serasi. Dua periode. Delapan tahun. Namun, begitu tidak menjabat, keduanya tidak pernah berhubungan. Via WA sekali pun. Itulah Barack Obama dan Joe Biden. Presiden ke-44 Amerika dan wakilnya. Masing-masing hanya memendam dugaan: kenapa mereka tidak bisa saling bertemu. Di awal bulan ketujuh masa pensiunnya, Joe duduk-duduk di dalam rumahnya. Yang halaman belakangnya khas rumah orang kaya Amerika: luas sekali. Dengan hamparan rumput dan pepohonan. Itu malam hari. Di luar sudah gelap. Khususnya di halaman belakang itu. Tapi Joe masih bisa melihat ada sesuatu yang mencurigakan. Ada korek api menyala. Di halaman belakang itu. Agak di kejauhan. Di balik pepohonan sana. Di Amerika berlaku peraturan: setelah pensiun enam bulan mantan wapres tidak lagi mendapat pengawalan. Karena itu Joe harus lebih waspada. Pun malam itu. Joe curiga. Mengapa ada orang di halaman belakang. Ia bergegas ke kamar tidurnya. Membuka laci di sebelah ranjangnya: ada senjata dan pistol di situ. Juga tersimpan medali tertinggi yang pernah diterimanya. Penghargaan dari negara. Ia ambil pistol itu. Ia slempitkan di balik jasnya. Ia ajak serta anjingnya. Ke halaman belakang. Jalannya pelan. Langkahnya hati-hati. Saat membeli pistol itu Joe ditegur istrinya: untuk apa? Kan sudah punya senjata? Waktu itu Joe tidak bisa menjawab. Malam inilah jawabnya. Begitu melewati pintu belakang Joe merasa aneh. Mencium bau rokok. Yang aromanya seperti pernah ia cium. Ia pun melewati beberapa pohon. Sambil berlindung di baliknya. Aroma rokok yang sama kian kuat. Kian dekat ke pohon itu kian keras aroma rokoknya. Kian kenal pula aroma rokok apakah itu. Dan siapa yang biasa mengisap rokok seperti itu. Barack Obama. Joe pun terbatuk kecil. Lalu menegurkan suaranya ke arah aroma itu. "Kok sekarang merokok lagi?" "Kalau lagi rindu sahabatnya saja." "Kenapa mencurigakan begini?" Barack hanya membisikkan jawabannya. Sangat rahasia. Intinya malam itu Barack ingin membisikkan kabar duka yang mencurigakan: teman baik Joe baru saja meninggal. Ditabrak Amtrak. Kereta api jurusan Delaware-Washington DC. Yang misterius: Di meja kerja korban ditemukan peta. Menunjuk ke alamat Joe. Ini bisa krusial. Korban ditengarai bunuh diri. Atau fly oleh obat bius. Atau dibunuh jaringan perdagangan narkotik. Atau ada motif politik. Pokoknya ia mati tidak wajar. "Joe, hati-hatilah. Anda bisa dikait-kaitkan." Apalagi, si korban memang kenal baik dengan Joe. Meskipun pekerjaan sang korban hanya kondektur Amtrak. Itu karena Joe selalu naik Amtrak. Belasan tahun. Joe adalah pelanggan setia Amtrak. Yakni saat Joe jadi anggota DPR. Selama 15 tahun. Jurusannya pun tetap. Jamnya tetap. Dari rumahnya di Delaware ke gedung DPR di Washington DC. Satu jam perjalanan. Nyaris tiap hari. Siapa pun di stasiun Delaware kenal Joe. Apalagi kondektur. Kelak, setelah Joe jadi wapres, stasiun itu diberi nama ”Stasiun Amtrak Joe Biden”. Setelah perokok itu pergi, Joe bertekad ingin menyelidiki sendiri: mengapa kondektur itu tewas. Toh ia sudah tidak banyak kesibukan. Rasanya tidak mungkin bunuh diri. Orangnya baik. Dan lagi sudah hampir pensiun dari Amtrak. Joe ingin merasakan jadi seperti detektif swasta. Ingin membongkar misteri kematian kondektur itu. Barack membantu sepenuhnya. Termasuk paspampres yang masih melekat mendampinginya. Yang untuk mantan presiden tidak ada batasan enam bulan. Keduanya pun terlibat lika-liku penyelidikan. Sampai menyamar tidur di motel murahan. Juga sampai ngebut. Untuk mengejar motor besar yang mencurigakan. Joe yang pegang kemudi. Sampai tergelincir ke sawah. Barack yang mendampingi. Singkat cerita, Joe berhasil. Pembunuhan itu terbongkar. Satu jaringan perdagangan obat bius terungkap. Salah satunya tokoh polisi di Delaware. Yang amat ia percaya. Di akhir cerita terjadi tembak-tembakan. Barack sampai tiarap di atas aspal. Si polisi jahat menembak Joe. Yang ditembak pun roboh. Tubuhnya ambruk ke tubuh Barack. Wah, Joe tertembak. Barack melihat sendiri peluru mengenai dadanya. Pasti Joe tewas. Begitu pikir Barack. Ternyata Joe tidak apa-apa. Justru sang polisi yang roboh. Joe sempat menembaknya lebih cepat. Lho tadi kan peluru mengenai dadanya. Kenapa tidak berdarah? Joe merogoh saku atas di bajunya. Mengeluarkan tanda jasa tertinggi yang ia kantongi. Medali itu penyok. Kena peluru. Hollywood banget. Kisah itu memang fiksi. 100 persen fiksi. Ditulis dalam wujud sebuah novel. Judulnya: Hope Never Dies. Yang baru selesai saya baca seminggu sebelum menulis ini. Itulah sebuah novel laris di Amerika. Penulisnya Anda sudah tahu: Andrew Shaffer. Penulis cerita film Hollywood ”Fifty Shades of Grey” itu. Yang di Indonesia sangat terkenal filmnya. Shaffer juga menulis buku lainnya seperti ”Yoga-Philosophy for Every One, Bending Mind and Body”. Saya nyaris tidak bisa berhenti membaca novel ”Hope” itu. Tokoh-tokohnya begitu akrab di benak kita. Karakter tokohnya pun mencerminkan karakter Barack yang kita kenal. Dengan intelektualitasnya. Dengan flamboyannya. Dengan humor-humor tingkat tingginya. Demikian juga karakter Joe yang kita kenal. Terasa sekali tercermin di novel itu. Juga dengan keseniorannya. Dan humor tingkat tingginya. Tercermin juga betapa serasi pasangan itu. Betapa sudah seperti keluarga. Meski yang satu kulit putih dan satunya kulit hitam. Di akhir cerita baru diungkap: mengapa keduanya tidak saling kontak selama enam bulan terakhir. Kata Joe pada Obama: saya tidak berani kontak, saya khawatir mengganggu Anda. Joe melihat Barack begitu sibuk keliling dunia. Bersama tokoh-tokoh muda. Barangkali Barack tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang tua seperti dirinya. ”Umur saya kan sudah 76 tahun.” Sedang Barack mengatakan kepada Joe begini: ”Joe, saya kira Engkau sengaja menjauhi saya. Saya jadi sungkan mengontak Anda.” Kok menjauhi? ”Siapa tahu Engkau akan mencalonkan diri sebagai presiden. Yang harus menghindari bayang-bayang Barack.” Sekali lagi itu novel. Fiksi. Yang ternyata benar hanyalah: Joe akhirnya memang mencalonkan diri sebagai presiden. Untuk Pilpres 2020. Melawan incumbent Donald Trump. Tua lawan tua. Tapi kan tidak ada lagi istilah orang tua sekarang ini. Sejak Mahathir Mohamad terpilih sebagai perdana menteri Malaysia. Di umurnya yang 93 tahun saat itu. Saya membayangkan: kalau hubungan Pak SBY dan Bu Mega dibuat novel pasti akan laris manis pula. Ditambah pemain baru: Surya Paloh.(dahlan iskan) https://www.disway.id/r/674/joe-paloh