POLITIK
Memahami Langkah Politik Prabowo
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tampaknya dukungan Megawati kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Megawati bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY cs. “Prabowo benar. Memang tidak ada oposisi di Indonesia,” tulis Direktur The Global Future Institute Hendrajit. Dalam sejarah politik Indonesia sejak Orde Lama, memang tidak pernah ada yang namanya oposisi di Indonesia. Menteri-menteri pembantu Presiden Soekarno pun berasal dari berbagai partai politik yang ada ketika itu. Begitu pula semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Pak Harto juga punya menteri dari parpol. Seingat saya begitu. Maaf kalau ternyata ada yang salah dengan argumen saya itu. Begitu halnya masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo. Tidak ada partai oposisi! Yang ada hanyalah Partai Koalisi! Di luar Partai Koalisi inilah yang “diposisikan” sebagai “partai oposisi” secara verbal, bukan yuridis formal! Sikap kritis dari pengurus parpol atau masyarakat ditempatkan sebagai “oposisi”. Bisa jadi, itulah langkah yang kini dijalani Prabowo Subianto, Ketum DPP Partai Gerindra yang sudah ditawari Presiden Jokowi untuk membantu di bidang pertahanan. Apalagi, konon, Prabowo diberi “wewenang” oleh Megawati. Wewenang untuk bicara langsung dengan Presiden Jokowi dalam menentukan Kabinet Kerja II. Dengan kata lain, sebelum memutuskan nama-mana menteri, Presiden Jokowi harus bicara dulu dengan Prabowo. Itulah fakta politiknya. Santer tersiar kabar bahwa Mahfud MD akan dimasukkan sebagai calon Menko Polhukam. Isu ini bisa terjadi karena jebakan opini. Manuver Mahfud ini jelas salah satu jebakan opini yang termakan oleh Jokowi dan PDIP sendiri. Masuknya Mahfud sebagai Menko Polhukam seolah-olah dibarter dengan terdepaknya Agus Harimurty Yudhoyono dari calon Menpora adalah kemenangan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Genk-nya. Secara politik, Menpora lebih pas dijabat Prananda Prabowo, yang bersih dan cerdas. Bukan kader PDIP yang punya 6Catatan Dosa. Kalau AHY masuk Kabinet Jokowi II, berarti Mega memelihara harimau untuk Pilpres 2024. Harimau yang siap terkam Capres PDIP. Jabatan Menpora tidak bernilai strategis dibanding jabatan Menko Polhukam sebagai penentu kebijakan polhukam tertinggi dalam rezim proksi ini. Secara formal, NasDem dan Demokrat ini seolah-olah menjadi oposisi atas Jokowi. Tapi, kader-kader SBY-Luhut Binsar Panjaitan-Hendropriyono-Surya Paloh seperti Mahfud, Sri Mulyani dan lain-lain (di luar dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin) berhasil masuk menjabat posisi strategis dalam Kabinet Jokowi II ini. Konon, atas rekomendasi Prabowo, Mahfud akan ditempatkan sebagai Jaksa Agung dengan tujuan besar untuk sikat para koruptor yang selama ini aman dan dilindungi. Karena itu, atas usulan Prabowo, Mahfud dipaksakan menjadi Jaksa Agung. Buat Prabowo situasinya gampang saja, koq. Kalau formasi kabinet mengecewakan, berarti agenda yang dibawanya ke Teuku Umar telah dinafikan. “Prabowo tinggal bilang, dengan segala hormat, saya pamit mundur Bu,” kata Hendrajit. Menjabarkan agenda dengan menempatkan orang yang pas di kabinet, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan. Tapi, “Bagaimana memasang orang yang ahli sekaligus mengerti ruh dari gagasan yang terumuskan pada agenda, maka wajar Prabowo akan all out.” “Termasuk saat meminta posisi Kemenhan,” lanjut Hendrajit. Kabarnya, hingga pada Senin, 21 Oktober 2019, malam di internal Prabowo masih terjadi perdebatan posisi yang nantinya harus dipilih yang pas antara Menko Polhukam atau Menhan. Kita masih ingat Mahfud sebagai tokoh yang menuduh para pemilih Prabowo mayoritas dari daerah basis radikalisme. Jika Mahfud ditunjuk sebagai Menko Polhukam, maka yang terjadi adalah anomali demokrasi dan politik Indonesia semakin menggila. Presiden bukan kader partai. Wapres bukan kader partai. Menko Polhukam bukan usulan dari partai. Menko Perekonomian bukan usulan dari partai. Partai pemenang pemilu dapat apa? Sebaiknya Budi Gunawan Menko Polhumkam, Rizal Ramli Menko Ekonomi. Itulah yang ada dalam benak pikiran Prabowo terkait usulan menteri-menteri Kabinet Jokowi II tersebut. Prabowo sendiri pernah cerita ihwal kisah dua pemimpin AS, Abraham Lincoln dan William Seward saat Rapimnas Gerindra di Hambalang, Bogor, Rabu (16/10/2019). Abraham selama hidupnya fight dengan Seward, tokoh yang lebih senior. Bahwa pada suatu ketika Abraham menyatakan ingin bertemu dengan Seward di kongres parlemen AS. Seward menolak bertemu, bahkan menyebut Abaraham sebagai monyet. Ia urung bertemu Seward. Bertahun-tahun kemudian, mereka terus bertarung secara politik hingga Abraham akhirnya terpilih menjadi presiden. Setelah terpilih, Abraham ternyata mau menawari William Seward untuk menjadi Menlu AS atau Secretary of State. Padahal, jabatan ini merupakan posisi ketiga terkuat di Amerika Serikat setelah presiden dan wakil presiden. Seward akhirnya tanya, “Lho kamu tahu kan saya benci banget sama kamu. Kenapa kamu menawarkan posisi menteri luar negeri ini kepada saya.” Jawaban Abraham justru mengejutkan dan membuka mata para penasihat dan pendukungnya, termasuk juga pendukung Seward. Menurut Abraham, ia dan Seward punya kesamaan, yakni cinta kepada AS. “Iya saya tahu kamu benci sama saya, bilang saya monyet dan saya juga benci banget sama kamu, tapi ada satu hal yang tidak bisa dibantahkan, dua dari kita memiliki kecintaan luar biasa kepada United States of America,” ungkap Sandiaga Uno. Menurut Sandi, Prabowo menyebut bahwa Abraham memerlukan masukan dari Seward. Ia membutuhkan Seward untuk menjadi orang terdekatnya. “Karena kecintaan kepada USA dan saya butuh masukan, bukan (masukan) ABS, asal bapak senang, bukan orang yang memberikan masukan yang ingin saya dengar. Saya butuh Anda sebagai orang terdekat dengan saya,” lanjut Sandi. *Mengapa Bergabung* Seorang teman wartawan senior mencatat, Indonesia saat ini sudah dalam kondisi “bahaya”, ibarat Siaga I, ancaman dari luar sudah kritis dan juga “perpecahan” di dalam negeri sudah menganga lebar, sehingga Indonesia mudah sekali diintervensi Asing. Ini yang rakyat tidak menyadarinya. Prediksi-prediksi ahli ekonomi dunia tentang kondisi Indonesia tahun depan menukik tajam karena ekonomi tidak berputar, dan pembangunan infrastruktur yang tidak mengenal skala prioritas. Maka langkah Prabowo adalah “Menyatukan Rakyat yang Terbelah” dengan membubarkan Kubu 01-02 dan pembubaran BPN setelah pemilu dilaksanakan. Karena dengan rakyat yang terbelah, adu domba berlangsung dan intervensi negara lain yang sudah di depan mata, sangat mudah dilakukan. Karena itu Prabowo melakukan konsoludasi dengan pihak-pihak yang dianggap masyarakat berlawanan, untuk merajut kembali persatuan dan untuk bersinergi dalam menghadapi musuh utama kita, yaitu intervensi asing. Bagaimanapun Prabowo tahu kapasitas Jokowi, tanpa dukungan dari SBY Cs dan kapasitas berpikir (baca: intelektualitas) Mega yang merupakan “atasan” Jokowi yang mendukung dan menentukan Jokowi. Bagaimanapun, Mega itu seorang ibu RT yang bisa maju karena dukungan suaminya (Taufik Kiemas), bukan karena kapasitasnya sendiri, maka perlu masukan wawasan tentang kondisi Indonesia yang sebenarnya saat ini, dan juga politik dalam negeri yang sebenarnya terjadi. Makanya, diterangkan semua dan kondisi darurat saat ini terhadap intervensi asing. Kondisi Mega sendiri saat ini merasa Genk SBY Cs, Surya Paloh, dan Taipan China lebih berperan terhadap Jokowi dan mengambil manfaat yang sangat besar ke Jokowi. Di sini Mega ingin merebut kembali pengaruhnya ke Jokowi. Ia merasa Jokowi itu bisa jadi Presiden karena dia sehingga dengan memegang Prabowo, Mega bisa menyingkirkan SBY Cs dan saat ini Mega bergantung pada Prabowo. Jokowi harus menuruti Mega! Makanya, ini terlihat oleh kita bagaimana sikap Mega yang tak menyalami Paloh dan di dalam perpecahan 01 terlihat SBY Cs bersatu melawan Mega dengan membuat gaduh di Papua. Jadi, manuver Prabowo masuk ke dalam disambut oleh Mega untuk menyingkirkan SBY Cs dan kelompok ketiga itu yang selama ini sangat memanfaatkan Jokowi untuk kepentingan bisnisnya, aseng, dan asing. Ini yang paling jahat. Ibarat Prabowo membedah isi perut Kubu 01. Bagaimana dengan kondisi Kubu 02, resiko yang harus ditanggung Prabowo, ulama yang tergabung dalam ijti’ma ulama. Kecewa dan mengambil sikap opisisi! Begitu juga PKS dan relawan yang “tidak mengerti” kondisi negara saat ini ada yang marah. Ada yang kecewa, tapi ini semua resiko karena prioritas utama adalah ancaman kedaulatan negara dari intervensi asing yang semakin nyata. Diharapkan, dangan Prabowo masuk di posisi yang sangat penting bagi keputusan-keputusan strategis untuk keamanan negara, paling tidak, pertama, negara lain yang bermaksud ingin mengintervensi berfikir sejuta kali dengan masuknya Prabowo dalam pemerintahan. Karena tidak bisa disetir dan tidak bisa diiming-imingi. Kedua, integritas Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas batas-batas wilayah dipandang lagi oleh negara-negara tetangga dan naik pamornya. Jadi, jangan main-main dengan Indonesia. Presiden bisa saja lemah tapi pertahanan negara kuat dan dipandang kembali bagi kawasan Asia Tenggara. Ketiga, kestabilan wilayah kembali naik. Papua bisa dikuasai kembali. Karena rakyat Papua sangat hormat pada Prabowo, begitu juga dengan rakyat Aceh. Mereka menganggap Prabowo sebagai sahabat rakyat Aceh. Bisa disimpulkan, keamanan negara bisa dipulihkan, dan SBY Cs bisa tidak berperan lagi. Keempat, hal lain sebagai efek kestabilan negara, maka ekonomi bisa ditata ulang dengan skala prioritas. Tampaknya dukungan Mega kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Mega bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY Cs. Kali ini Mega menyadari ancaman luar merupakan prioritas utama, sehingga Jokowi harus mengikuti konsep yang dibuat Prabowo. Dengan dukungan penuh Mega, yang punya massa itu adalah PDIP dan Gerindra dominan, SBY Cs “nol besar”. Mereka tak punya grass rooth, hanya semu. Buktinya, keluarga TNI lebih memilih Prabowo saat Pilpres lalu. Di seluruh Indonesia kompleks militer dimenangkan 02. Jadi, sebetulnya mereka itu “jenderal ompong”. Jadi di sini terlihat kepiawaian Prabowo dalam meneliti “sumber penyakit” dan mencoba menyembuhkan dari dalam. Semoga dengan niat baik dan tulus dari Prabowo itu, Allah SWT meridhoi sepak terjangnya dalam membenahi negara ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Aamiin. ***
Ini Bukan Soal Pelantikan
Oleh Tony Rosyid (Pemerhati Bangsa) Jakarta, FNN - Lebay! Begitulah komentar sebagian rakyat terkait besarnya parade pasukan yang mengawal pelantikan Jokowi-Ma'ruf sebagai presiden dan wapres terpilih. 31.000 pasukan dengan peralatan perang termasuk tank berada di sekitar lokasi pelantikan. Pelabuhan dan supermarket dijaga ketat. Hiburan rakyat di lokasi car freeday dan monas ditutup. Bahkan demo dilarang sejak seminggu sebelum pelantikan. Berlebihan! Begitulah kira-kira persepsi publik yang muncul. Kenapa pasukan itu tidak dikirim ke Papua untuk melindungi sejumlah imigran yang dibantai dan dibakar hidup-hidup? Menjaga kantor bupati, kantor gubernur dan aset negara yang dirusak dan dibumi hanguskan? Begitulah diantara tanggapan yang banyak muncul di media sosial. Tentu, aparat punya alasan. Pertama, sebelum pelantikan Presiden-wapres terjadi demo besar-besaran, terutama dari kalangan mahasiswa. Ada bentrokan yang mengakibatkan dua mahasiswa mati dan beberapa lainnya luka-luka. Bahkan ada yang pecah tengkorak kepalanya. Jadi, aparat ingin memastikan pelantikan betul-betul aman. No demo, no keributan. Kedua, pelantikan presiden-wapres identik dengan pergantian pejabat. Kapolri dan Panglima adalah pejabat tinggi negara. Wajar jika mereka harus menunjukkan loyalitasnya kepada presiden. Loyalitas memiliki dua fungsi, yaitu fungsi tanggungjawab dan fungsi politik. Sampai disini, pengerahan pasukan mulai bisa dimengerti. Beda dengan 2014. Tak ada demo dan kekecewaan rakyat terhadap Jokowi. 2019 situasinya betul-betul berubah. Yang berbaris di jalan Gatot Subroto, Soedirman, Bundaran HI, Thamrin dan sekitarnya tak lagi rakyat, tapi aparat. Ini bukan pesta rakyat lagi, tapi pesta aparat dan pejabat. Memang beda! Isu pelantikan, dua-tiga hari kedepan diprediksi akan redup. Publik tak lagi membicarakannya. Justru ada hal penting yang nampaknya lepas dari perhatian rakyat. Apa itu? Pertama soal isi pidato Jokowi. Tak banyak tanggapan. Apakah karena rakyat sudah tak lagi percaya kata-kata Jokowi? Entahlah. Kedua, soal koalisi. Siapa saja yang akan dipercaya Jokowi untuk membantunya di kabinet? Dan dimana posisi Prabowo dan Surya Paloh? Begitu juga Tito Karnavian yang rumornya akan menjabat sebagai mendagri. Soal ini, kita perlu bahas dalam artikel tersendiri. 2014, lima tahun lalu, pidato Jokowi menyinggung soal demokrasi. Indonesia adalah negara demokratis ketiga di dunia, kata Jokowi. Sekarang? Setelah lima tahun negara ini dipimpin Jokowi, bagaimana nasib demokrasi? Tanyakan pada dosen, mahasiswa, pers dan ulama. Di benak mereka ada jawaban pastinya. Jangan tanya rektor, karena sejak dipilih oleh menteri, para rektor sudah berubah fungsi jadi agen kekuasaan 2019 kali ini Jokowi bicara lima hal. Pertama, pembangunan SDM. Kedua, pembangunan infrastruktur. Ketiga, penyederhanaan regulasi. Keempat, penyederhanaan birokrasi. Kelima, transformasi ekonomi. Point nomor 1,2 dan 5 itu program jangka panjang dan berkesinambungan. Pembangun SDM, infrastruktur dan transformasi ekonomi tak cukup hanya lima tahun. It's good, dan perlu didukung. Kendati faktanya, target dan janji pertumbuhan ekonomi 7-8 persen lima tahun lalu tak terbukti. Selama kepemimpinan Jokowi pertumbuhan ekonomi tak lebih dari 5 persen. Yang sedikit perlu dicermati adalah point nomor 2 dan 3. Penyederhanaan regulasi dan birokrasi. Ini mestinya bisa dikerjakan mulai tahun pertama di periode awal. Kenapa baru bicara sekarang? Apa susah dan kendalanya bagi presiden untuk menyederhanakan regulasi dan birokrasi di periode pertama? Gak sulit. Otoritas dan kekuasaan ada di tangan. Cukup dengan satu tanda tangan, semua beres. Hanya soal kebijakan. Kenapa tidak dilakukan? Ini yang jadi pertanyaan Terlambat! Meski terlambat, tetap lebih baik dari pada tidak sama sekali. Rakyat hanya perlu mengawasi apakah dua janji ini akan direalisasikan kedepan. Kenapa harus rakyat, bukan DPR? Ah, capres saja ikut koalisi, bagaimana sempat ngawasi? Mungkin hanya PKS. Itupun kursinya gak terlalu banyak. Sudah begitu, PKS terus diganggu dengan isu wahabi, khilafah dan Islam radikal. Cukup bayar 10-30 orang untuk demo setiap pekan di depan kantor PKS supaya konsentrasinya terganggu. Rakyatlah oposisi yang sesungguhnya ketika partai-partai yang seharusnya jadi oposisi memilih ikut koalisi. Gak tahan lihat kursi. Alasannya macam-macam. High politics-lah... demi keutuhan bangsalah... Ketinggian bahasanya bro! Lalu buat opini ada poros ketiga-lah.... Ada penumpang gelap-lah... Klasik! Dalam situasi seperti ini, rakyat terpanggil untuk menjadi oposisi. Diantara tugas rakyat adalah mengawasi kinerja pemerintahan lima tahun kedepan, termasuk program presiden yang diungkapkan dalam pidato pasca pelantikan Minggu, 20 Oktober kemarin. Melakukan kritik, bila perlu demo jika presiden mengambil kebijakan yang salah. Asal tak anarkis. Tak melanggar hukum. Tetap hati-hati. Pengalaman kemarin, banyak demonstran yang mati. Waspadah...waspadalah... Jakarta, 22/10/2019
Pak Prabowo kok Anti Klimaks?
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Apa posisi Prabowo di kabinet Jokowi-Ma’ruf? Akhirnya mulai terbuka. Kalau kita menyimak penjelasan Prabowo, maka kemungkinan besar jabatan yang akan diembannya adalah Menteri Pertahanan. Bukan Menkopolhukam. Apalagi Menteri Utama. “Saya diminta membantu Bapak Presiden di bidang pertahanan,” ujar Prabowo setelah bertemu Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Senin (21/10). Seperti para calon menteri lainnya, Prabowo datang mengenakan kemeja putih. Bedanya dia tidak mengenakan celana warna hitam, tapi warna kaki. Seragam Partai Gerindra. Dia didampingi Edhy Prabowo salah satu orang dekatnya yang juga akan menjadi menteri. Pos yang akan ditempatinya kemungkinan besar adalah Menteri Pertanian. Posisi yang sudah lama diincarnya. Di media pernyataan Prabowo ditanggapi secara beragam. Namun mayoritas menyampaikan pernyataan yang seragam: Kecewa berat! Anti klimaks! Cobalah longok medsos dan berbagai platform percakapan. Isinya mulai dari sekadar joke, keluh kesah, sinisme, sampai caci maki. Dengan menjadi Menhan, level Prabowo sama dengan menteri lainnya sebagai pembantu presiden. Kesediaan Prabowo “hanya” menjadi Menhan, membuat sebagian pendukungnya yang masih bertahan, kecewa dua kali. Tapi sebelum kita lanjutkan soal posisi Prabowo di kabinet, sebaiknya kita pahami dulu anatomi pendukung Prabowo. Mereka secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok yang sama sekali tidak mau ada kompromi dengan Jokowi. Apapun posisinya, Gerindra masuk dalam kabinet, apalagi Prabowo menjadi salah seorang menteri, adalah bentuk pengkhianatan. Bagaimana mungkin Prabowo bergabung dengan pemerintahan yang dulu disebutnya sebagai antek asing dan bisa menjadi penyebab Indonesia bubar. Bagaimana mungkin bergabung dengan sebuah pemerintahan yang dia sebut menang dengan cara yang curang. Lebih parah lagi yang dicurangi, dia sendiri! Kedua, kelompok yang masih percaya masuknya Prabowo ke dalam kabinet membawa strategi tersembunyi, memecah kekuatan lawan dari dalam. Mereka sangat meyakini Prabowo adalah seorang perwira tinggi yang “ahli strategi.” Argumen kelompok kedua ini mendapat pembenaran dengan munculnya pernyataan dan manuver Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Nasdem akan menjadi oposisi. Namun Nasdem batal jadi oposisi. Hanya bluffing. Gertak sambal. Politisi Nasdem Syahrul Yasin Limpo pagi ini merapat ke Istana pakai baju putih. Dia memastikan Nasdem tetap bersama Jokowi. Kelompok pendukung ini percaya bahwa posisi Prabowo di kabinet sangat spesial. Menjadi semacam perdana menteri. Orang kedua setelah Jokowi, menggeser peran Wapres Ma’ruf Amin. Jadi ini semacam _power sharing_. Bagi-bagi kekuasaan 55-45% seperti pernah disebutkan oleh Amien Rais. Posisinya kira-kira seperti Menko Maritim Luhut Panjaitan pada Kabinet Jokowi Jilid I. Tapi lebih besar. Lebih berkuasa. Powerfull. Untuk berperan seperti itu, maka posisi Prabowo setidaknya harus menjadi Menko. Posisi yang pas dan cocok adalah Menkopolhukam. Atau kalau perlu nomenklatur kabinet diubah dengan membentuk pos Menteri Utama. Ketika mengetahui bahwa Prabowo, sekali lagi “hanya” menjadi Menhan, kelompok kedua ini ikut-ikutan kecewa. Posisi Prabowo akan berada di bawah Menko Polhukam. Sampai sekarang belum ada gambaran siapa yang akan menempati posisi ini. Kalau sampai posisi Menko Polhukam ditempati oleh figur yang lebih yunior dibandingkan Prabowo, maka posisinya kian terdowngrade. Sebutlah misalnya Moeldoko, atau Budi Gunawan. Secara kepangkatan mereka memang lebih senior dibanding Prabowo. Keduanya jenderal bintang empat, Prabowo bintang tiga. Hanya saja dari sisi angkatan, kedua jauh di bawah Prabowo. Moeldoko lulusan Akabri 1980, dan Budi Akpol 1983. Sementara Prabowo Akabri 1974. Lebih celaka lagi kalau ternyata pos itu ditempati kembali oleh Wiranto atau Luhut. Dipastikan Prabowo tidak bisa berkutik. Wiranto jenderal bintang empat. Pernah menjadi KSAD, Panglima TNI, dan beberapa kali menjadi Menko Polhukam. Dia lulusan Akmil 1968. Secara senioritas Prabowo kalah segalanya. Luhut lulusan Akabri 1970. Jenderal bintang empat kehormatan. Lebih senior dibanding Prabowo, dan jelas lebih jago bermanuver. Dengan posisi sebagai Menhan, Prabowo bisa mendapat kenaikan pangkat satu tingkat. Menjadi jenderal bintang empat kehormatan seperti Luhut. Kelompok ketiga adalah para trueb Pejah gesang nderek Prabowo. Sebagai jenderal senior, mereka percaya Prabowo pasti punya perhitungan dan kalkulasi sendiri. Kelompok ketiga ini sangat percaya, dengan masuk ke dalam pemerintahan, apalagi menjadi Menhan, maka pada waktunya Prabowo akan mengambil alih kekuasaan. Dilantik menjadi Presiden menggantikan Jokowi. Membawa Indonesia menjadi negara yang kuat dan maju. Dalam sistem ketatanegaraan kita, Menhan bersama Mendagri dan Menlu disebut sebagai Triumvirat. Tiga jabatan yang sangat menentukan manakala terjadi kekosongan kekuasaan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 (3) UUD 45 apabila terjadi kekosongan jabatan presiden dan wapres secara bersamaan, maka tugas kepresidenan dipegang oleh tiga menteri tersebut secara bersama-sama, sampai terpilih presiden dan Wapres difinitif. Secara konstitusional ketiga jabatan itu berbeda dengan menteri-menteri lain, bahkan termasuk jabatan Menko. Kalau toh tidak terjadi turbulensi politik. Jokowi mengakhiri masa jabatan kedua dengan mulus, kelompok true believers ini sangat meyakini posisi Menhan sangat strategis dan penting. Bisa menjadi modal untuk kembali maju pada Pilpres 2024. Prabowo bisa mewujudkan visinya Indonesia sebagai negara yang kuat secara militer. Disegani negara tetangga dan dunia. Bukan negara cemen. Hanya bisa bertahan selama tiga hari bila digempur musuh. Harapan ini tampaknya sulit terwujud melihat alokasi anggaran Kemenhan tahun 2020 sebesar Rp 127.4 trilyun. Anggaran sebesar itu harus dibagi dengan Mabes TNI, Mabes TNI-AD, AL, dan AU. Bandingkan dengan anggaran Polri tahun 2020 sebesar Rp 104.7 trilyun. Agak sulit membayangkan Prabowo melakukan terobosan-terobosan. Menggunakan dana non budgeter, seperti dia lakukan pada waktu dulu memimpin satuan-satuan TNI. Kali ini skala tanggung jawabnya jauh lebih besar. Urusan negara. Urusan TNI secara keseluruhan. Bukan satuan setingkat batalion, atau brigade. Dibandingkan kelompok pertama dan kedua, kelompok ketiga, kelompok hidup mati dukung Prabowo ini jauh lebih kecil. Mereka terdiri dari anggota partai Gerindra dan para simpatisannya. Bila benar akhirnya Prabowo menempati posisi sebagai Menhan, modal politiknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan pilpres lalu. Kita hanya bisa mengucapkan selamat bertugas. Hati-hati di jalan Pak. End
Seleksi Menteri, Jokowi Tak Sertakan Kiyai Ma’ruf
Padahal, sekali lagi, ruang kearifan konstitusional memungkinkan Kiyai Ma’ruf terlibat dalam seleksi calon menteri. Bukan mengangkat menteri. Sayang kemungkinan ini, entah tak teridentifikasi oleh Jokowi atau sengaja dibiarkan tak terdentifikasi. Dengan argumen yang tidak seorang pun mengetahuinya, telah menjauhkan Kiyai Ma’ruf untuk sekadar ikut membicarakan, dan mengenal mereka calon menteri. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Hampir empat bulan setelah penetapan dirinya sebagai calon presiden terpilih dalam pemilu memilukan, Jokowi Widodo, Presiden terpilih ini tidak juga membekali dirinya dengan gambaran tentang pemerintahan macam apa yang akan dibentuk kelak setelah diambil sumpahnya. Itu tercermin dari kenyataan pada hari Senin tanggal 21 Oktober ini. Satu demi satu manusia, mungkin calon menteri, diberitakan media online silih berganti mendatangi dirinya di istana presiden. Sebagian dari mereka yang dipanggil bukanlah orang baru dalam dunia politik, dan bukan pula orang yang tidak memiliki kedekatan dengan dirinya. Beberapa dari mereka dikenal luas sebagai orang yang telah memainkan peran membantu dirinya, dalam arti yang luas. Mereka diajak berdiskusi secara singkat dengan spektrum yang sebagian terlihat begitu luas. Kiyai Tak Disertakan Bila Jokowi dan Kiyai Ma’ruf telah memiliki peta pemerintahan yang akan dibentuk kelak setelah keduanya dilantik, maka pekerjaan menyeleksi menteri dapat dilakukan dengan lebih terukur. Dengan peta yang tersedia jelas, maka keduanya dapat secara bersama membayangkan siapa saja figur yang dapat diminta membantu keduanya. Kiyai Ma’ruf, dalam kerangka itu dapat ditugaskan mengerjakan pekerjaan seleksi, sejauh yang bisa. Sayangnya tidak terjadi, sehingga soal itu harus dikerjakan dalam waktu sesempit sekarang. Senin dan Selasa akhirnya menjadi hari yang sibuk dengan sejumlah orang dipanggil ke Istana menemui Presiden, membicarakan sebisanya hal-hal yang mungkin akan dimintai bantuan mereka untuk dikerjakan. Senin yang sibuk di Istana kepresidenan, juga menjadi Senin yang sibuk di kantor wakil presiden. Di kantor ini Kiyai Ma’ruf menerima memori kerja Pak Jusuf Kalla, mantan wakil presiden. Ini berlangsung hingga jam 10 pagi, dan waktu sesudahnya Kiyai Ma’ruf melakukan perjalanan kenegaraan ke Jepang. Ia mewakili Presiden menghadiri penobatan Kaisar Jepang. Praktis Kiyai Ma’ruf tidak disertakan oleh Presiden Jokowi dalam seleksi menteri. Mengapa tak disertakan? Jokowi secara konstitusi memang tidak diwajibkan menyertakan Pak Kiyai Ma’ruf, wakil presidennya dalam urusan, sebut saja seleksi menteri ini. Sekali lagi, tidak wajib. Toh konstitusi menempatkan kewenangan mengangkat menteri sepenuhnya pada presiden. Medan normatif konstitusi memang begitu. Medan mengangkat menteri adalah medan tunggal, yang tidak perlu dibagi dengan Waki Presiden. Mengangkat menteri, jelas wewenang konstitusional Presiden, bukan Wakil Presiden. Mengangkat adalah tindakan hukum, yang memiliki konsekuensi hukum. Hanya presiden, bukan wakil presiden yang dapat mengangkat menteri. Wakil Presiden memang hanya berfungsi membantu Presiden. Tetapi Wakil Presiden juga bukan pembantu biasa. Wakil presiden adalah pembantu dengan keistimewaan konstitusional yang khas. Hanya kepada Wakil Presiden, bukan menteri, Presiden bisa memandatkan kewenangan mengurusnya. Bukan mengatur, bila presiden dalam keadaan tertentu tidak dapat menyelenggarakan sendiri urusan itu. Tetapi lain betul dengan tindakan seleksi. Dalam konteks seleksi, presiden tidak dilarang menyertakan wakil presiden. Sayangnya Presiden telah memilih berdiri tegak, untuk tak mengatakan membiarkan kearifan konstitusi itu tersembunyi dalam gudang politik konstitusionalisme. Ia hanya berjalan tegak lurus di track normatif konstitusi. Presiden membiarkan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden berjarak sejauh mungkin dalam urusan ini. Padahal, sekali lagi, ruang kearifan konstitusional memungkinkan Kiyai Ma’ruf terlibat dalam seleksi calon menteri. Bukan mengangkat menteri. Sayang kemungkinan ini, entah tak teridentifikasi oleh Jokowi atau sengaja dibiarkan tak terdentifikasi. Dengan argumen yang tidak seorang pun mengetahuinya, telah menjauhkan Kiyai Ma’ruf untuk sekadar ikut membicarakan, dan mengenal mereka calon menteri. Tahun-tahun Seremonial Kalau Presiden Jokowi bisa, bahkan harus berdiskusi dengan ketua-ketua partai yang membawa dirinya dan Kiyai Ma’ruf menjadi calon presiden dan wakil presiden, kenapa tidak dilakukan dengan Kiyai Ma’ruf, Wakil Presiden? Sehebat apapun ketua-ketua partai, mereka bukanlah figur tata negara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Figur itu disandang oleh Wakil Presiden, Kiyai Ma’ruf. Membuka diskusi, sesingkat apapun antara Presiden dengan Ketua-Ketua Partai Politik, menunjukan Presiden telah tahu lebih dari siapapun bahwa konstitusi bukan satu-satunya instrumen politik paling tangguh dalam menyumbangkan pemerintahan yang memiliki kapasitas sebagai pemerintahan yang efektif. Tidak. Presiden dalam konteks itu juga tahu lebih dari siapapun, pemimpin sangat sering beralih, mengambil dari gudang politik, hal-hal non hukum mengonsolidasi pemerintahannya. Seperti telah dilakukannya sendiri, Presiden Jokowi mestinya tahu politik di alam demokrasi menyediakan kearifan sebagai sumbu utama, penyumbang datangnya pemerintahan yang berkapasitas, dan memungkinkan semua elemen di dalamnya solid mengakselerasi program dan kegiatan pemerintahan. Kearifan inilah yang semestinya dipanggil Pak Jokowi pada kesempatan pertama dan dimainkan dalam kerangka seleksi, bukan mengangkat menteri, dengan melibatkan Kiyai Ma’ruf. Mengesampingkan kearifan-kearifan demokrasi sebagai sebuah kekuatan tak tertandingi dalam menciptakan keharmonisan, yang merupakan kekuatan inti pemerintahan, jelas tidak membantu tumbuhnya iklim harmoni yang diperlukan untuk membuat pemerintahan solid. Menjauhkan Kiyai Ma’ruf sejauh mungkin dari urusan seleksi Menteri memang tidak bakal menjadi alarm datangnya politik menyalahkan tindakan itu. Tidak. Tetapi bukan disitu pangkal soalnya. Pangkal soalnya adalah terbunuhnya kearifan. Tetapi mungkin saja Kiyai Ma’ruf tahu level kearifan Presiden Jokowi, dan mungkin juga tahu bahwa tidak diperlukan tes kecil untuk memastikannya. Sebagai orang yang tidak terlalu asing dalam dunia politik, Kiyai Ma’ruf mungkin mengetahui bahwa tidak ada cara paling ampuh meminta, menghadirkan kearifan, selain yang terlihat. Toh kearifan yang selalu bersendikan pada kejujuran, dan kejujuran merupakan perkara tersulit untuk diminta dalam dunia politik riil. Kiyai Ma’ruf mungkin saja menerimanya sebagai hal biasa dalam politik. Itu sebabnya terlalu prematur mengajukan pernyataan konklusif bahwa Kiyai Ma’ruf, dalam lima tahun mendatang hanya akan diperlakukan oleh Presiden Jokowi sepenuhnya sebagai pembantu tanpa portofolio. Kenyataan dirinya tak dilibatkan dalam seleksi calon menteri, karena itu, juga tak bisa dijadikan basis mengajukan pernyataan hipotetikal bahwa seistimewa apapun status Kiyai dalam kerangka konstitusi, lima tahun mendatang hanya akan menjadi tahun-tahun yang sibuk dengan seremoni.* Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
Pelantikan Jokowi dan Kesabaran Revolusioner: Sebuah Renungan
Tema pengamanan ini berbeda dengan tema pelantikan Jokowi pada 2014. Saat itu temanya pesta rakyat, riang gembira, pesta pora. Dengan tema pengamanan tersirat bahwa kekuatan yang mengancam Jokowi menjelang pelantikan ini sangatlah besar. Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle Jakarta, FNN - Jokowi akan dilantik sebentar lagi di gedung MPR RI. Seluruh dukun telah bergerak mengamankan peristiwa ini. Bahkan iblis terbesar penguasa laut, Nyi Roro Kidul, diundang para dukun itu untuk pengamanan. Puluhan ribu TNI Polri di seluruh pelosok negeri juga akan mengamankan pelantikan ini, khususnya 30.000 personel di Jakarta. Berbagai rute transportasi melintasi Gd. MPR dan Istana dibatasi. Kereta Api, Serpong Tanah Abang misalnya, hanya berhenti sampe stasiun Kebayoran Lama, tidak ke Tanah Abang agar tidak melintasi Gd. MPR. Car Free Day si batasi. Semua tema pengamanan menjadi sentral topik berita dan chit-chat rakyat di media sosial. Tema pengamanan ini berbeda dengan tema pelantikan Jokowi pada 2014. Saat itu temanya pesta rakyat, riang gembira, pesta pora. Dengan tema pengamanan tersirat bahwa kekuatan yang mengancam Jokowi menjelang pelantikan ini sangatlah besar. Siapakah dan atau apakah ancaman tersebut? Pada tahun 2014, Prabowo beroposisi terhadap Jokowi. Baik dalam sikap maupun dalam agenda di DPR dan pernyataan publik. Namun, saat ini, Prabowo sudah tunduk pada Jokowi. Prabowo kemungkinan akan diberikan jatah 2 menteri plus satu jatah wakil menteri, termasuk dirinya akan menjadi Menteri Pertahanan. Dari sisi siapa, tentu seharusnya ketundukan Prabowo pada Jokowi membuat kekuasaan Jokowi sempurna. Jika sempurna maka pesta rakyat 2019 harusnya lebih besar dari pesta rakyat 2014 lalu. Tesis ini ternyata gagal. Topik dan anggaran pengamanan Jokowi mendominasi. Ini dapat berarti Prabowo bukanlah pemimpin yang mempunyai kekuatan, setidaknya kekuatan riil alias bukanlah macan benaran tapi mungkin dia hanya macan ompong. Lalu siapa musuh Jokowi itu? Habib Rizieq tentu tidak punya kekuatan menggerakkan Jin Ifrid sehingga perlu dihadang Nyi Roro Kidul. Kekuatan Rizieq adalah kekuatan sikap, menyatakan tidak mendukung Jokowi dan pemerintahannya. Karena menurut Rizieq kemenangan Jokowi adalah illegal. Tapi untuk apa 30.000 pasukan TNI Polri di siapkan mengamankan sebuah pesta? jika itu pesta kemenangan? Kesulitan mencari siapa atau sosok musuh Jokowi membuat kita pindah pada pertanyaan apakah ancaman terhadap pelantikan Jokowi? Pertanyaan ini merujuk pada situasi bukan sosok. Pertanyaan ini bersifat lebih abstrak. Sebuah kekuasan memerlukan moral dan legitimasi. Moral dan legitimasi adalah spirit dan substansi. Sebuah sakral. Berbeda dengan legalitas. Legalitas adalah pengakuan hukum formal. Legalitas dapat diperoleh melalui jalan baik, namun juga dapat melalui jalan jahat. Machiavelli, Sang Guru Politik Italia, mengajari kekuasaan tanpa moralitas. Menurutnya kekuasaan tidak ada yang jahat. Katanya, "cambuklah musuhmu 100 kali, lalu besoknya cambuklah hanya 99 kali, maka kamu akan menjadi pemimpin yang baik di mata dia" Namun, secara general, kekuasaan berkaitan dengan moral dan legitimasi tadi. Sebuah kekuasaan yang diperoleh dan dijalankan tanpa moral dan legitimasi umumnya menghantui pikiran pemimpin itu setiap malam. Commodus, raja Roma di masa kuno, dalam film Gladiator, misalnya, menjadi raja tanpa moral dan legitimasi. Dia menjadi raja menggantikan ayahnya, Raja Marcus Aurelius, setelah membunuh secara rahasia ayahnya, dan menuduh pembunuhnya adalah Maximus, jenderal kesayangan kerajaan. Senat memberi legalitas pergantian raja dan pesta besar2an dilakukan. Namun, tanpa moral dan legitimasi, Commodus, menjadi raja yang paranoid. Commodus harus menyingkirkan semua elemen kekuatan yang dicurigai memusuhinya. Commodus menggunakan uang negara besar2an untuk memanipulasi adanya dukungan sah rakyat. Apakah Jokowi mengerahkan pengamanan besar2an karena soal legitimasi dan moral? kita belum mengetahui secara pasti, namun dari sisi ancaman sosok, tentu dengan Prabowo mengemis jadi menteri Jokowi, soal sosok setidaknya tak ada lagi. Kesabaran Revolusioner Berbagai isu miring tetap diarahkan rezim Jokowi bahwa kekuatan2 yang akan menggagalkan pelantikan Jokowi eksis. Projo, organ pemenangan Jokowi, menyebarkan spanduk diberbagai penjuru ibukota "Kawal Terus Pelantikan Jokowi-Makhruf Amin". Polri mengidentifikasi ada rencana bom bunuh diri. Nasdem mengatakan "pendukung #02 belum move on" Dll berita media online. Termasuk mengaitkan gerakan demo mahasiswa kemarin dengan urusan pengggalan pelantikan. Bagi pendukung #02, tentu saja tuduhan atau penggiringan penggagalan pelantikan Jokowi terhadap mereka adalah sebuah "misleading". Dari berbagai media yang dapat kita pantau tidak satupun pernyataan Habib Rizieq Sihab, pemimpin oposisi utama, menyatakan seruan penggagalan pelantikan. Begitu juga ulama2 sentral dalam ijtima Ulama, tidak ada satupun yang melakukan gerakan makar itu. Seruan penggagalan misalnya datang dari Sri Bintang Pamungkas, tapi Sri Bintang sudah menyerang Jokowi sejak kasus makar 2016 lalu. Dan Sri Bintang tidak mengaitkan dimensi waktu dalam melawan Jokowi. Abdul Basith yang dituduh akan melakukan serangan Bom Molotov (bukan bom C4), dan membuat kekacauan, bukanlah ulama atau figur sentral dalam gerakan ijtima Ulama maupun kekuatan non ulama anti Jokowi. Sehingga, kelompok masyarakat yang tidak memberikan legitimasi dan moral bagi kekuasaan Jokowi, sesungguhnya tidak melakukan gerakan penggagalan atas pelantikan Jokowi. Dari segi ini, maka Habib Rizieq dan kekuatan rakyat (underground) yang menyatakan atau merasakan tidak mendukung Jokowi pada periode kedua ini, mempunyai kemampuan mengendalikan diri, sehingga tidak terpancing pada politik kekuasaan kontemporer. Ini adalah sebuah kemajuan besar politik umat Islam, khususnya, dan rakyat oposisi umumnya, yakni memelihara kesabaran (meski mungkin terhina telah mendukung Prabowo?). Politik dengan kesabaran adalah sebuah politik ajaran nabi, bukan Machiavelli. . Melihat politik bukan sekedar ambisi berkuasa, mengemis-ngemis jadi menteri, merampok harta negara, dlsb. Politik kesabaran adalah politik merujuk pada John Lock, bahwa pemimpin adalah sebuah pengabdian pada kontrak sosial. Menjadikan rakyat sebagai penguasa sesungguhnya. Pada saat ini kita akhirnya mengetahui sebuah fakta sosial: rezim Jokowi membangun tema keamanan, sedangkan Rizieq Sihab dan kaum oposisi mengutamakan kesabaran revolusioner.
Anomali-Anomali Pelantikan Presiden
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI periode kedua (2019-2024) penuh dengan anomali. Aneh, ganjil dan banyak kelainan. Anomali pertama. Harusnya pelantikan ini menjadi pesta rakyat. Penuh sukacita. Bangsa Indonesia merayakan suksesnya pesta demokrasi. Rakyat malah dijauhkan. Diwaspadai. Ditakuti. Lihatlah apa yang terjadi di Jakarta hari ini. Suasananya sungguh tegang. Seperti mau perang. Negara dalam kondisi darurat. Aktivitas warga dibatasi. Polisi, tentara, sampai petugas Satpol PP bertebaran di sepanjang sudut kota. Banyak di antaranya mengenakan pakaian sipil, mengamati pergerakan warga dengan waspada. Jalan-jalan utama ditutup untuk umum. Ruas jalan di seputar gedung MPR/DPR, seputar istana presiden dan berbagai ruas jalan protokol yang menghubungkannya tak bisa dilalui. Jalan-jalan utama itu ditutup aksesnya untuk rakyat. Hanya petugas keamanan dan pihak yang berkaitan langsung dengan pelantikan presiden dan wakil presiden yang boleh melaluinya. Kegiatan car free day, olahraga pekanan warga Jakarta sepanjang jalan MH Thamrin dan Sudirman ditiadakan. Kawasan Monas juga ditutup untuk publik. Kawasan yang biasanya menjadi tempat hiburan murah rakyat kebanyakan itu dijaga ketat aparat keamanan. Lucunya beberapa kepala daerah di seputar Jakarta juga ikut-ikutan paranoid. Walikota Bekasi Rachmat Effendy juga meniadakan kegiatan car free day di jalan Ahmad Yani, Bekasi. Padahal lokasi sangat jauh dari arena pelantikan. Bupati Bogor Ade Yasin guru dan orang tua yang pelajar dan anaknya ikut unjukrasa menentang pelantikan. Anomali kedua. Polisi memberlakukan larangan unjuk rasa. Larangan berlaku hampir sepekan. Sejak Selasa (15/10) sampai saat pelantikan Ahad (20/10). Unjukrasa, menyampaikan ekspresi politik, pendapat secara lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia dijamin konstitusi. Polisi tetap bersikeras melarang unjukrasa kendati Presiden Jokowi mempersilakan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan. Presiden malah sempat mengaku rindu didemo. Anomali ketiga, TNI dan peralatan tempur dikerahkan secara besar-besaran. Seperti darurat perang. Helikopter, pesawat tanpa awak (drone), pesawat militer dikerahkan untuk memantau keamanan dari udara. Sejumlah panser TNI juga diparkir di beberapa kawasan pusat perbelanjaan di Jakarta. Panglima TNI mengeluarkan ancaman. “Siapapun yang akan menggagalkan pelantikan kabinet, berhadapan dengan TNI.” Dalam negara demokrasi, tugas militer itu mengamankan negara dari ancaman musuh, negara asing. Bukan berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Situasi keamanan ketertiban masyarakat adalah domainnya polisi. Bukan militer. Sejak TNI back to basic, TNI harus menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis. Sekarang malah diseret-seret kembali ke politik. Mengamankan rezim penguasa. Anomali keempat. Rakyat banyak yang tidak antusias menyambut pelantikan. Bahkan emak-emak menyerukan gerakan “tutup tv dengan taplak meja.” Di twitter seruan #BesokMatikanTVSeharian memuncaki trending topic. Mereka tak peduli, siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau jadi wapres, apalagi siapa yang mau jadi menteri. Situasinya berbeda jauh dengan Pelantikan Jokowi periode pertama. Saat itu rakyat mengelu-elukannya. Terjadi eforia. Di sepanjang jalan Sudirman dan MH Thamrin menuju istana rakyat berdiri berjajar sepanjang jalan. Jokowi bahkan sempat melepas jasnya dan turun dari kendaraan menyalami warga. Anomali kelima, ini merupakan kelainan terbesar demokrasi. Yakni bergabungnya partai oposisi ke dalam pemerintahan. Bahkan capres lawan Prabowo Subianto juga kemungkinan akan bergabung dalam kabinet. Mau dicari dalam buku teks demokrasi yang paling klasik sekalipun, tak ada ceritanya, oposisi kok bergabung dalam kabinet. Malah ikut berebut jatah kursi menteri. Tak heran bila banyak rakyat yang menyatakan kecewa. Baik dari pendukung Jokowi maupun Prabowo. “ Kalau begini ngapain harus pilpres segala?” Sudah menghabiskan anggaran negara trilyunan rupiah, masyarakat bermusuhan, gontok-gontokan, ratusan nyawa melayang sia-sia, akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan. Mengapa sejak awal tidak baku atur saja. Tak perlu melibatkan rakyat. Silakan atur negara ini suka-suka. Fenomena ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara. End
Jokowi “Akhirnya” Terbebas dari Sandera Politik!
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Melihat persiapan pelantikan Presiden – Wakil Presiden Terpilih hasil Pilpres 2019, Minggu (20/10/2019) tampaknya bakal berlangsung aman dan lancar. Apalagi aparat keamanan yang sudah menyiagakan lebih dari 30 ribu anggota TNI-Polri. Dipimpin Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, aparat keamanan gabungan itu disiagakan di berbagai sudut kota dan sekitaran Gedung MPR-DPR Senayan, Jakarta, sejak sepekan ini. Tak hanya itu. Dukun pun diikutsertakan “pengamanan”. Dilansir Tempo.co, Jumat (18 Oktober 2019 12:05 WIB), dukun-dukun Pulau Belitung yang tergabung dalam Forum Kedukunan Adat Belitung menggelar ritual dan doa pada Kamis, 17 Oktober 2019, untuk kelancaran pelantikan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Ketua Forum Kedukunan Adat Belitung Mukti Maharip menyebut, ritual dan doa dilakukan dukun Belitung di Rumah Adat Belitong, Jl. Gajah Mada, itu untuk menghilangkan hal-hal negatif yang akan mengganggu pelantikan dan membuat situasi tidak kondusif. Jagad dunia maya juga kembali diramaikan dengan postingan video seorang lelaki dengan busana serba hitam yang disebutnya sebagai Ki Sabdo. Video berdurasi pendek sekitar 2 menit ini, membuat warganet bereaksi keras. Karena lelaki paroh baya ini menyampaikan pernyataan yang semakin membuat masyarakat terpecah dalam menyikapi peta politik Indonesia. Khususnya terkait dilantiknya Presiden dan Wapres Terpilih 2019-2024, Minggu, 20 Oktober 2019. Dalam video tersebut, terlihat Ki Sabdo duduk bersila atau bersemedi tepat di depan pintu gedung DPR/MPR Nusantara V. Hampir sekitar 20 detik lebih, Ki Sabdo bersemedi, sampai akhirnya menangkupkan kedua belah tangannya di wajah. Lantas, dirinya berdiri dan menyampaikan apa yang sedang dilakukannya. Setelah ada sebuah pertanyaan dari seseorang yang tak terlihat di dalam video. Ki Sabdo menyampaikan, bahwa dirinya sedang berada di gedung DPR dan melakukan gladi bersih. “Aku sedang cek anak buah saya. Ratu Selatan, Nyai Roro Kidul, Jin Kayangan dan lainnya. Semua sudah ada di dalam dan sekitarnya. Jadi untuk amankan pelantikan Joko Widodo,” ucap Ki Sabdo dalam video yang -posting Jumat (18/10/2019). Menurut Ki Sabdo Jagad Royo, begitulah dirinya dikenal, dari penglihatannya memang harus ada pengawalan secara spiritual untuk pelantikan Jokowi – Ma'ruf. “Harus ada pengawalan secara spiritual. Ini yang saya taruh di sini komplit sudah,” katanya. “Mulai Nyai Roro Kidul, Nyai Blorong, Jin Kayangan. Mantap sudah, pasti dilantik,” tegas Ki Sabdo. Dirinya juga menjawab, bila ada yang menghalangi pelantikan Jokowi – Ma'ruf, maka akan berurusan dengan Ratu Roro Kidul dan dirinya. “Urusan saya. Saya akan bereskan (bila ada yang menghalangi pelantikan, red),” ujar Ki Sabdo. Segawat itukah situasi dan kondisi Ibukota Jakarta jelang pelantikan Presiden – Wapres Terpilih? Mengapa sampai seperti itu pengamanannya? “Perang” Oligarki Apa yang membuat pengamanan begitu ketat jelang dan ketika pelantikan Jokowi – Ma’ruf sebagai Presiden dan Wapres 2019-2024? Sampai perlu melibatkan paranormal alias dukun segala? Sudah musyrikkah bangsa yang dikenal agamis ini? Tampaknya sekarang ini sedang terjadi persaingan (baca: “perang”) untuk berebut pengaruh sebagai pengendali Presiden Jokowi untuk Periode Kedua POTRI (President of The Republic Indonesia) dalam wujud Kabinet Kerja II. Sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini ada Oligarki yang menguasai Presiden Jokowi. Selama Periode I jabatannya, “Sejumlah Jenderal”, CSIS, dan China dikenal sebagai Kaum Oligarki pengendali Jokowi, bukan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Kehadiran Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Koalisi Rekonsiliasi yang dibawa mantan Danjen Kopassus ini membuat mereka terancam posisinya sebagai pengendali Jokowi untuk Periode II sebagai POTRI. Karena akan terjadi penggusuran besar-besaran terhadap Oligarki di Istana yang selama ini mengendalikan Jokowi. Kaum Oligarki itu tidak rela kekuasaannya digusur, sehingga tidak bisa kendalikan Jokowi 2019-2024. Mereka pun menciptakan berbagai manuver agar tetap berkuasa, minimal tidak kehilangan semuanya. Tetapi, berbagai planning mereka mentok di tengah jalan. Dan, yang diharapkan tinggal satu: Darurat Sipil. Fakta yang terjadi (di luar putusan yuridis formal), mereka telah memanipulasi hasil Pilpres 2019 dengan kemenangan Jokowi – Ma’ruf, tunggangi KPK dengan sandera Ketum-ketum Parpol Koalisi Jokowi, dan mau Kuasai Kabinet Jokowi II. Sehingga, mereka bisa menjadi penguasa Jokowi Jilid II. Jika rencana pertama tak berhasil, maka mereka menciptakan anarkisme, demo mahasiswa, dan framming isu dengan membawa tuntutan Perppu KPK. Darurat Sipil akan menjadi pilihan akhir mereka. Itulah mengapa suhu politik jelang pelantikan Presiden – Wapres Terpilih, meski Pilpres 2019 sudah lama usai semakin membara. Ini karena Rekonsiliasi sudah bergulir dan UU KPK telah direvisi. Akibatnya, “mereka” terancam lengser dari penguasa rezim Jokowi Jilid I. Mereka ciptakan berbagai aksi massa, anarkisme, separatisme, dan seterusnya. Jika tak ada rekonsiliasi, maka tidak ada segala aksi massa, separatis, anarkis, teroris dan lain-lain itu. Jika tidak ada rekonsiliasi dan tidak ada revisi UU KPK maka mereka tetap menjadi penguasa rezim Jokowi Jilid II: Oligarki, kolaborator China sebagai penindas umat-rakyat. Jadi, semua aksi massa, anarkisme, gejolak, separatisme, terorisme, framming isu dan opini terjadi pasca rekonsiliasi itu adalah ciptaan “Sejumlah Jenderal” itu untuk bertahan menjadi penguasa rezim Jokowi Jilid II. Jika tetap gagal, mereka akan paksakan “Darurat Sipil” sebagai upaya terakhir. Pembusukan citra Polri dapat terjadi karena oknum pimpinan Polri adalah kader “Sejumlah Jenderal” itu. Momentum terbaik Darurat Sipil mereka itu adalah chaos pada aksi massa mahasiswa yang menuntut penerbitan Perppu KPK. Korban berjatuhan, polisi jadi sasaran amarah, Darurat Sipil diterapkan, TNI AD pegang komando, Kabinet disusun mereka. Jadi, sebagian rakyat, mahasiswa, elit Indonesia secara tidak sadar telah jadi korban tipu daya dan tunggangannya. Massa ikut-ikutan mendesak terbitnya Perppu, latah meminta Prabowo tidak masuk kabinet. Massa tak sadar sedang membantu mereka tetap jadi penguasa. Fungsi Darurat Sipil itu sama dengan Perppu KPK yakni alat bagi mereka untuk memaksakan kehendaknya dalam penyusunan Kabinet Jokowi II. Setelah berhasil susun Kabinet Jokowi II, mereka jadi penguasa rezim kembali, maka Darurat Sipil dicabut. Seandainya Megawati-Jusuf Kalla-Budi Gunawan-Prabowo tidak menggulirkan Rekonsiliasi – UU KPK tidak direvisi, maka tidak akan terjadi gejolak, anarkisme, sabotase separatisme, provokasi, framing isu-opini, dan lain-lain menjelang 20 Oktober 2019, karena mereka sudah pasti kembali jadi penguasa. Sikap Jokowi sendiri ditentukan oleh konstelasi politik terakhir, Minggu, 20 Oktober 2019. Yaitu: Pemenang Perang Proksi III antara: Kubu Rekonsiliasi Mega-JK-BG-Prabowo Cs versus “Sejumlah Jenderal”. Namun, sampai hari ini Kubu Rekonsiliasi jauh lebih unggul dari mereka, selama Prabowo konsisten di Kubu Rekonsiliasi. Selama UU KPK hasil revisi eksis (Perppu tidak diteken). Selama rencana chaos dapat digagalkan. Maka mereka pasti lengser dari penguasa rezim. Jika kemenangan Kubu Rekonsiliasi atas “Sejumlah Jenderal” tersebut terjadi, maka kabinet Jokowi II akan sangat berbeda dengan Kabinet Jokowi I. Kabinet Jokowi II mengakomodir representasi umat Islam, steril dari elit “Sejumlah Jenderal”. Prabowo-BG menjadi Duet Pengendali di kabinet dan pemerintahan. Jika Kubu Rekonsiliasi menang perang Proksi III, dominasi Liberal Sekuler – Anti Islam pada Kabinet Jokowi II akan diganti dengan Nasionalis-Islam. De-Islamisasi di KPK akan berhenti. Sekitar 70% penyidik KPK antek “Sejumlah Jenderal” – CSIS digusur. Mereka bakal diseret jadi tersangka dan napi korupsi. Itulah prediksi yang bakal terjadi dalam detik-detik jelang prosesi pelantikan Presiden Jokowi – Wapres Ma’ruf. ***
Islamophobia dan Deislamisasi
Oleh Daniel Mohammad Rosyid Jakarta, FNN - Sejak deklarasi war on terror oleh GW Bush pasca penyerangan terhadap the WTC, New York 2001, narasi islamophobia disemburkan sebagai justifikasi atas perang ilegal yang dilancarkan AS dan sekutunya atas Afghanistan, Irak, Libya dan Suriah. Narasi itu mengeras di Indonesia sejak Jokowi Presiden sekitar 5 tahun lalu. Peristiwa penyerangan atas Menkopolhukam Wiranto di Menes, Pandeglang, oleh Pemerintah langsung dikaitkan ke kelompok radikal ISIS. Padahal kita tahu, ISIS adalah hasil kreasi operasi intelijen CIA di Timur Tengah, sama seperti tuduhan pemilikan Weapon of Mass Destruction oleh Saddam Husein, semuanya untuk menjadi casus belli bagi aksi militer pre emptive AS dan sekutunya, sekaligus pasar bagi penjualan senjata oleh industri militer AS. Perlu dicermati, bahwa narasi yang menyudutkan Islam itu bukan hal baru bagi muslim yang hidup di kawasan seluas Eropa yg dulu pernah disebut Nusantara ini. Penjajah Belanda selalu menyebut para pejuang kemerdekaan itu kaum extrimist atau radikal. Terlebih karena para "pemberontak" itu lazimnya digerakkan oleh para ulama yang membina pesantren. Aksi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan disebut sebagai aksi polisionil, atau aksi penertiban atas kaum pemberontak. Bahkan menghadapi ultimatum pasukan Sekutu di Asia Tenggara yang mengepung Surabaya, mbah Kyai Hasyim Asya'ari telah mendeklarasikan Resolusi Jihad. Rezim ini dan juga banyak pendukung fanatiknya yang sok NKRI, sok Pancasila secara sengaja melupakan banyak fakta bahwa NKRI didirikan oleh para ulama (Kyai Hasyim Asy'ari, Ki Bagoes Hadikoesoemo, H. Agoes Salim) yang bekerjasama dengan kaum nasionalis (Ir. Soekarno, Bung Hatta dkk) dan kaum Nasrani (AA. Maramis). Prajurit TNI dibentuk dari santri yang dilatih Jepang (PETA) yang diprakarsai oleh para ulama. Upaya deislamisasi adalah bagian tak terpisahkan dari proses sekulerisasi yang dipaksakan atas bangsa Indonesia terutama melalui persekolahan paksa massal sejak awal 1970an. Melalui persekolahan paksa massal itu secara perlahan tapi pasti, Pemerintah menggusur pesantren dan masjid sebagai pusat-pusat peradaban masyarakat Islam. Diperkuat dengan televisi, proses penyiapan masyarakat industri itu dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masiv. Secara perlahan, prosentase perolehan suara partai-partai Muslim dalam berbagai Pemilu selalu menurun. Saat ini kita menyaksikan bahwa masyarakat Indonesia didominasi oleh kaum abangan ( islamiyyun), sementara kaum santri ( muslimun) tetap minoritas. Jagad politik nasional dikuasai oleh "parpol tengah" nasionalis-sekuler. Sekulerisasi itu dimulai dengan mereduksi Islam menjadi sekedar "agama" yang hanya relevan bagi hidup sesudah mati, bukan sebuah cara hidup dengan semua dimensinya, termasuk ekonomi dan politik. Riba misalnya, yang jelas-jelas diharamkan Islam, dilunakkan sehingga bisa diterima sebagai praktek ekonomi yang "normal", darurat berkepanjangan, hingga hari ini. Akibatnya, masyarakat tidak saja miskin tapi juga sekaligus bodoh sehingga mudah dijadikan obyek politisasi para elite. Dakwah yang paling kuat adalah melalui kekuasaan politik dan ekonomi. Bahkan Bupati atau Gubernur yang adil adalah pendoa yang maqbul, lebih maqbul daripada doa kyai yang hanya berbicara di mimbar-mimbar masjid. Deislamisasi dilakukan dengan mengerdilkan masjid sebagai tempat ritual belaka. Khutbah politik dan ekonomi dilarang. Dakwan Islam juga mengalami demaritimisasi, mengasingkan ummat Islam dari kemaritiman sebagai tulangpunggung perdagangan dan jasa. Perdagangan adalah sektor ekonomi yang strategis sedangkan perdagangan global tidak bisa dibayangkan tanpa kemaritiman. Terdapat puluhan kesultanan Islam yang tersebar sejak Aceh hingga Papua yang menjadi pemain kunci dalam perdagangan di Nusantara maupun ke China dan Timur Tengah. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, demaritimisasi dakwah adalah a gigantic geostrategic mistake. Apa mungkin mempersatukan Indonesia tanpa kemaritiman? Stasiun Bandung, 17/10/2019
Tiki-taka Prabowo, Strategi Kuatkan Negara?!
Terjadi dua faksi istana yang bersitegang, yaitu Teuku Umar dan Gondangdia. Group PDIP-Golkar-Gerindra vs NasDem dan sejumlah jenderal, termasuk Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, apa keuntungan Gerindra? Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bagaikan permainan sepak bola, manuver safari politik Prabowo Subianto jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI berikutnya menarik untuk dicermati. Strategi tiki-takanya bisa jadi jalan keluar permasalahan bangsa dan negara saat ini. Tiki-taka adalah strategi dalam sepak bola. Intinya bermain manuver dengan umpan-umpan yang terukur, sehingga bisa mencapai tujuan alias goal. Manuver politik yang dilakukan Prabowo memang penuh dengan political shock yang tiba-tiba. Ending berbagai manuver Prabowo yang dimulai dengan pertemuan bersama Presiden Joko Widodo, dilanjutkan dengan Megawati Soekarnoputri, dengan Presiden Jokowi lagi, Surya Paloh, dan Muhaimin Iskandar, untuk mencari “solusi bangsa”. Terakhir, Prabowo juga bertemu dengan pimpinan Airlangga Hartarto di Kantor DPP Partai Golkar. Dalam konferensi pers seusai pertemuan, Prabowo mengaku kedatangannya ibarat pulang ke almamaternya dulu. “Saya hari ini kembali ke almamater saya, saya dulu lulusan Golkar. Golkar menyumbang banyak kader ke banyak institusi di republik ini,” kata Prabowo di DPP Golkar, Selasa, 15 Oktober 2019, seperti dilansir Tempo.co. Sebelum mendirikan Gerindra pada 2008, Prabowo memang bergabung dengan Golkar. Ia juga mengikuti konvensi Partai Golkar untuk menjadi capres pada Pemilu 2004. Prabowo kalah dari Wiranto – kini Menko Polhukam – dalam konvensi itu. Prabowo berujar dia pun tak merasa canggung kembali ke Golkar. Menurut dia, Gerindra dan Golkar memiliki banyak kesamaan. “Kami sepakat untuk menjaga negara dan bangsa yang kita cintai,” kata mantan Danjen Kopassus ini. Prabowo mengatakan Golkar dan Gerindra sepakat untuk bekerja sama di kemudian hari. Ia berujar komunikasi politik yang baik di antara para elit akan membawa suasana yang baik bagi terwujudnya stabilitas negara. Sebelumnya, Prabowo juga bertemu dengan mantan Kepala BIN Hendropriyono di kediaman mantan Pangdam Jaya ini. Semua “persoalan” yang selama ini menyangkut keduanya sudah cair. Tidak ada lagi “permusuhan” politik diantara keduanya. Menjadi oposisi – karena dalam sistem politik Indonesia memang tidak mengenal oposisi – tampaknya bukan menjadi pilihan politik Prabowo yang “kalah” dari capres petahana Joko Widodo pada Pilpres, 17 April 2019. Keputusan Ketum DPP Partai Gerinda Prabowo Subianto mengambil langkah politik dengan Koalisi Rekonsiliasi memang sulit dipahami oleh masyarakat, terutama para pendukungnya. Bagi Prabowo, ini adalah pilihan yang sulit. Kalau Prabowo memilih berada di luar pemerintahan, jelas segala apa yang dicita-citakannya menuju Indonesia Adil dan Makmur akan sulit tercapai. Satu-satunya jalan adalah Prabowo harus bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Salah satu contoh, yang mampu menghadang kekayaan Indonesia lari ke luar negeri hanya pemerintah, bukan “oposisi”. Karena, pemerintah-lah yang punya kewenangan melakukan pencegahan tersebut. Masuknya Prabowo dalam Koalisi Rekonsiliasi nanti justru bisa mewarnai kebijakan yang akan diambil Presiden dan Wapres Terpilih. Bisa jadi, jajaran kabinet Jokowi nanti bersih dari koruptor karena dipilih yang kapabel dan cerdas. Konon, Kabinet Cerdas ini tidak ada kader-kader dari partai-partai yang kadernya terlibat korupsi, walau dari Partai Koalisi Pilpres. Sekitar 40-45 persen komposisi Kabinet Kerja II berasal dari Koalisi Rekonsiliasi, sedangkan sisanya dari profesional. Penentuan siapa-siapa yang layak masuk dalam Kabinet Cerdas ini sudah atas konfirmasi Megawati. Namun, sebelum memutuskan, Jokowi diminta Megawati untuk membicarakan dengan Prabowo terlebih dahulu. Itulah hasil Koalisi Rekonsiliasi. Kabarnya, pertemuan Prabowo-Jokowi adalah forum bagi Jokowi meneruskan permintaan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar Megawati-Prabowo mau terima kader Demokrat duduk di kabinet meski hanya 1 orang. Dipastikan, Megawati-Budi Gunawan-PDIP menolak permintaan SBY tersebut. Sedangkan Prabowo cenderung mengulang kesalahan dengan memaafkan SBY, meski sudah beberapa kali dikhianatinya. Sehingga, mungkin masih ada kader Demokrat. Padahal, sebelumnya ada keputusan Koalisi Rekonsiliasi menempatkan Demokrat-Nasdem sebagai oposan pada rezim Jokowi Jilid II tentunya merupakan kiamat bagi SBY. Terlebih lagi, pasca segala upaya tekan Jokowi teken Perppu KPK kandas. Makanya, hingga Kamis, 17 Oktober 2019, batas akhir keputusan penandatanganan Perppu KPK, jika Presiden Jokowi tidak meneken Perppu KPK, maka Revisi UU KPK yang sudah diketok DPR RI sebulan lalu, akan tetap diberlakukan. High Politic Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebutkan, 99,99 persen Gerindra bergabung Istana. Tak ada lagi ruang untuk berpikir oposisi bagi Gerindra. Bicara Gerindra, maka tak ada ubahnya bicara Prabowo. Sebab, di tangan Prabowo semua keputusan Gerindra dibuat. Sama halnya dengan Demokrat, PDIP, dan NasDem. Otoritas partai mutlak di tangan ketua umumnya. Bagi para pendukung, ini sebagai bentuk penghianatan. Kenapa dianggap berhianat? Menurut Tony Rasyid, pertama, karena dari awal Prabowo berulangkali membuat pernyataan di depan pendukungnya point of no return. Intinya, akan terus membuat perlawanan terhadap Istana. Semula perlawanan massa. Lalu berubah jadi perlawanan hukum di MK. Kalah, kenapa terus bergabung? Kedua, para pendukung,termasuk barisan mantan jenderal, ulama dan emak-emak kompak menginginkan Prabowo membawa Gerindra sebagai oposisi. Wajar, kalah ya oposisi. Ini logika yang lebih waras. Harapan tinggal harapan. Tak digubris! Di sisi lain, bagi kader Gerindra, langkah Prabowo untuk gabung ke Istana dianggap sebagai strategi high politik, politik tingkat tinggi. Maksudnya? Jika masuknya Gerindra ke koalisi Jokowi itu dimaksudkan untuk memporak-porandakan kubu Jokowi, ini sudah berhasil. Terjadi dua faksi istana yang bersitegang, yaitu Teuku Umar dan Gondangdia. Group PDIP-Golkar-Gerindra vs NasDem dan sejumlah jenderal, termasuk Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, apa keuntungan Gerindra? “Tentu, kalau hanya dapat jatah tiga menteri itu bukan high politik. Itu politik ecek-ecek,” jelas Tony Rasyid dalam tulisannya yang tersebar di berbagai grup WA. Sehingga, terkadang tidak mudah untuk memahami manuver Prabowo. Dari beberapa pertemuan yang dilakukan Prabowo dengan pimpinan partai Koalisi Pilpres itu, yang menarik adalah pertemuan Prabowo-Paloh, Minggu (13/10/2019), malam yang menghasilkan tiga kesepakatan. Kesepakatan itu dibacakan Sekjen NasDem Johnny G Plate di hadapan Surya Paloh dan Prabowo serta wartawan, seusai pertemuan. Berikut tiga kesepakatan tersebut: Pertama, pemimpin partai politik sepakat untuk memperbaiki citra parpol dengan meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan lain. Dan menjadikan persatuan nasional sebagai orientasi perjuangan serta menjaga keutuhan bangsa. Kedua, pemimpin parpol sepakat untuk melakukan segala hal yang dianggap perlu untuk mencegah dan melawan segala tindakan radikalisme berdasar paham apapun yang dapat merongrong ideologi Pancasila dan konsensus dasar kebangsaan. Ketiga, pemimpin partai politik sepakat bahwa amandemen UUD 1945 sebaiknya bersifat menyeluruh, yang menyangkut kebutuhan tata kelola negara sehubungan dengan tantangan kekinian dan masa depan kehidupan bangsa yang lebih baik. Direktur The Global Future Institute Hendrajit menafsirkan poin kedua kesepakatan tersebut. Radikalisme ditujukan ke semua ideologi atau kelompok. Bukan spesifik ke Islam. “Seperti yang sering saya tulis selama ini, radikal itu peruncingan ideologis,” katanya. Bukan fundamentalisme ideologis. Sosialisme demokrasi kalau meruncing ke kanan, jadinya ya neoliberalisme. Kalau meruncing ke kiri, bisa jadi komunisme. Bahkan, nasionalisme pun kalau meruncing bisa jadi fasisme atau ultra nasionalis. “Mengenai poin ketiga, frase amandemen yang bersifat menyeluruh, saya menangkap kesan ini bisa kembali ke UUD 1945. Bukan sekadar mengamandemen beberapa pasal semata,” ujar Hendrajit. Artinya, Hendrajit melihat, ada indikasi ke arah tata ulang pengelolaan sistem kenegaraan. Istilah yang dipakai amandemen yang menyeluruh berarti secara teknis diarahkan kembali ke UUD 1945. “Jadi pahami dulu kerangka besar pandangan yang mendasari joint statement Prabowo-Paloh. Baru kita kritik atas dasar kerangka pemikiran itu,” tegas Hendrajit. Misalnya, kalau benar akan menuju amandemen menyeluruh atau kembali ke UUD 1945, bagaimana dengan masa jabatan presiden? Bagaimana menjabarkan pengertian “setelah itu dapat dipilih kembali”? Artinya kita mau opsi mana terkait masa jabatan presiden? Di Amerika Serikat cukup dua kali masa jabatan. Di Prancis satu kali jabatan, namun 7 tahun. Terus terkait pasal bahwa presiden dipilih melalui musyawarah untuk mufakat oleh MPR sebagai wujud kedaulatan rakyat yang tertinggi. Kira-kira bagaimana implementasinya. Menurut Hendrajit, justru pertemuan Prabowo-Paloh ini jauh lebih serius daripada selfa-selfi Jokowi-Prabowo di Istana beberapa hari lalu. “Pertemuan kedua tokoh ini justru pertemuan politis yang sesungguhnya. Dan substansial. Terlepas apapun hasilnya nanti,” tegasnya. Kalau memang benar Prabowo bergabung dengan Pemerintah, diharapkan nantinya bisa menjadikan Indonesia akan lebih baik. Indonesia Adil-Makmur! Namun, semua kembali pada niat Prabowo di dalam melakukan safari politiknya. Benarkah permainan tiki-takanya demi kebaikan bangsa dan negara di masa mendatang? Atau, hanya sekadar memenuhi hasratnya untuk ikut berkuasa, seperti yang kerap ditudingkan pihak-pihak yang berseberangan dengan Prabowo selama ini!
Pak Jokowi, Kenapa Pelantikan Dibuat Tegang?
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pak Jokowi, pelatikan presiden atau perdana menteri adalah saat-saat yang membahagiakan. Di mana pun di dunia ini. Seperti halnya pelantikan Panjenengan pada 2014 tempohari. Rakyat berbondong mengelu-elukan Anda. Berebut jabat tangan. Berlomba-lomba untuk selfi bersama Sampeyan. Semua orang ceria. Banyak tepuk gemuruh. Tapi, kali ini, kenapa suasananya akan berbeda? Kok dibuat tegang, Pak? Terasa seram sekali. Bakal ada pengerahan 27,000 personel keamanan. Tentara dan polisi dikerahkan untuk mengawal pelantikan Bapak. Hampir bisa dipastikan akan banyak “road block” dan kawat berduri di mana-mana. Kenapa, Pak Jokowi? What’s wrong, Sir? Bukankah pelantikan kedua ini momen yang luar biasa bagi Anda, Pak? Menang untuk periode kedua harusnya menandakan pengakuan rakyat terhadap kinerja Anda. Tapi, kok bukan itu yang akan terlihat. Kenapa ‘Njenengan malah membentengi diri di balik kawat berduri? Kenapa Anda harus dilantik di balik barikade barakuda? Di balik barisan keamanan bersenjata lengkap? Memangnya ada yang berani mengganggu Bapak? Siapa berani? Tak bakalan, Pak. Enggak mungkin! Rakyat oposisi takut semua sekarang. Takut dikatakan radikal atau teroris. Dan juga takut dikeroyok brutal. Takut dipentungi ‘gaspol’ dan ditendangi dengan sepatu laras. Terus, polisi mengatakan mereka tidak akan merespon pemberitahuan unjuk rasa (unras) oleh siapa pun. Intinya, tidak boleh ada demo. Mulai 15 Oktober sampai 20 Oktober 2019. Dengan alasan acara pelantikan panjenengan akan dihadiri para tamu VIP dari luar negeri. Karena ada tamu asing itu, perlulah ditunjukkan bahwa kita ini beradab dan santun. Ini yang dikatakan pejabat tinggi keamanan di Jakarta. Hanya saja, Pak, mengapa keberadaban dan kesantunan hanya diperlihatkan kepada para tamu asing saja? Kenapa begitu, Pak? Apakah di hadapan rakyat tidak perlu beradab? Tidak perlu santun? Maaf, Pak. Saya bertanya karena sewaktu berlangsung rangkaian unjuk rasa mahasiswa, pelajar dan komponen rakyat lainnya belum lama ini, tak terlihat aparat keamanan tampil beradab apalagi santun. Begitu, Pak Jokowi. Mungkin Panjenengan tahu juga ada korban yang pecah tempurung kepala. Ada yang wajahnya tak dikenali lagi. Bahkan ada yang langsung masuk surga, insya Allah. Jadi, sekali lagi saya bertanya, Pak Jokowi. Kenapa, pelantikan periode kedua ini terkesan sangar, Pak? Ada apa gerangan? Berbeda kontras dengan pelantikan 2014. Waktu itu, rakyat senang Anda menang. Sekarang, kok ada kesan rakyat tak tenang Anda menang. Mumpung masih ada waktu. Pak Jokowi bisa membuat pelantikan 20 Oktober nanti bersuasana rileks. InsyaAllah, bisa. Dibuat santai saja, Pak. Bukankah koalisi Bapak sekarang menjadi mayoritas besar dan solid? Tidak ada yang harus dicemaskan. Semuanya punya Sampeyan, Pak. Ketua MPR, orang Bapak. Ketua DPD, juga. Ketua DPR, apalagi. Seribu persen. Pak Probowo pun sudah all-out mendukung Panjenengan. Meskipun para pendukung beliau tak ikut. Artinya, yang tidak mendukung itu orang-orang lemah semua. Tak punya apa-apa. Jadi, sangat amanlah, Pak! Tak perlu baridake atau perintang jalan. Tak usah pakai kawat berduri. Karena kesannya mencekam. Terasa tegang, Pak. Ini hanya saran, Pak. Selebihnya terserah Panjenengan. [] 16 Oktober 2019