POLITIK

Saatnya Melawan, Ada Apa dengan TEMPO?

Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Salah satu tulisan di dalam majalah TEMPO Edisi 16-22 September 2019 berjudul, “Saatnya Sama-Sama Melawan” berisi tentang ajakan kepada publik untuk melawan secara massif atas rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota DPR. “Tanpa perlawanan masif dari publik, rencana Presiden Joko Widodo dan sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengebiri kemandirian dan kewenangan KPK akan berjalan tanpa hambatan,”tulis TEMPO, 16-22 Septermber 2019 itu. Langkah Ketua KPK Agus Rahardjo dan dua wakilnya, Laode Muhammad Syarif dan Saut Situmorang, menyerahkan kembali mandat gerakan pemberantasan korupsi kepada Presiden patut didukung. Menurut TEMPO, tindakan itu menegaskan rasa frustrasi mereka atas minimnya dukungan Jokowi kepada kerja KPK belakangan ini. Contoh paling nyata adalah tindakan Presiden menyetujui rencana DPR merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tanpa sama sekali berbicara kepada pimpinan Komisi. Sejak awal, proses revisi itu terkesan diam-diam dan tergesa-gesa. Padahal tak ada kegentingan apa pun yang memaksa pembahasannya harus dikebut pada hari-hari terakhir masa tugas parlemen periode ini. Wajar jika publik curiga ada agenda terselubung mematikan KPK. Apa pun dalih Presiden Jokowi, publik sudah pandai mencerna realitas. Faktanya: Istana setuju jika sepak terjang KPK diawasi sebuah lembaga yang merupakan kepanjangan tangan Presiden, setuju jika penyidikan bisa disetop dan status tersangka bisa dicabut, serta setuju semua pegawai KPK menjadi ASN yang tunduk kepada aturan-aturan birokrasi pemerintah. Diakui atau tidak, ketiga persetujuan itu bakal mengakhiri keberadaan KPK seperti yang kita kenal selama ini. Terpilihnya Firli Bahuri, mantan Deputi Penindakan KPK yang pernah terlibat pelanggaran etik, menjadi ketua baru komisi anti korupsi dalam sidang Komisi Hukum DPR pekan lalu menambah kecemasan kita. Kapolda Sumatera Selatan itu jelas-jelas tak punya respek terhadap kode etik, yang justru dibuat untuk memastikan tak ada konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi. Rekam jejak Firli membuat masa depan KPK makin memprihatinkan. Apa yang bisa diharapkan dari seorang penegak hukum yang enteng saja memberikan perlakuan khusus kepada pejabat negara dan pemimpin partai politik? Belum lagi catatan soal kasus-kasus korupsi yang sengaja dihambat atau ditunda ketika Firli menjadi pejabat KPK. Terpilihnya Firli adalah tanggung jawab Presiden Jokowi, yang memberikan mandat dan menentukan komposisi panitia seleksi. Tak berlebihan kiranya jika publik menilai Presiden sudah jatuh dalam perangkap oligarki di sekelilingnya. Para aktivis pendukung Jokowi yang kini merapat ke Istana telah gagal mengawal agenda reformasi di jantung lembaga eksekutif. Perubahan sikap dan komitmen Jokowi ini amat kentara jika kita bandingkan dengan hari-hari pertamanya menjadi presiden lima tahun lalu. Pada saat itu, bahkan untuk memilih menteri kabinetnya, Jokowi berkonsultasi lebih dulu dengan KPK. Itulah narasi yang ditulis TEMPO. “Sekarang, bola ada di tangan orang ramai. Masyarakat sipil perlu mendorong semua warga negara agar berbondong-bondong menyampaikan aspirasi mereka kepada parlemen. Jokowi sudah terpilih,” tulisnya. Menurut tulisan TEMPO , bukan saatnya lagi mendikotomikan publik berdasarkan kategori pendukung Jokowi atau Prabowo Subianto—dua kandidat presiden pada Pemilihan Umum 2019. Mengkritik Presiden bukan berarti mendukung Prabowo. Menolak pelemahan KPK bukan berarti mendukung radikalisme agama – fitnah sontoloyo yang selama ini kerap dilancarkan kepada Komisi. Puluhan juta penduduk yang mencoblos Jokowi dalam pemilihan presiden lalu harus ikut bersuara. Kritik TEMPO TEMPO “doeloe” – selama 5 tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla, tampak sekali dukungannya dalam penulisan. Sebelum Pilpres 2014 hingga Jokowi terpilih dan menjabat Presiden, sangat jelas keberpihakannya pada Pemerintah. Kita masih ingat, begitu dinyatakan menang Pilpres 2014, foto Jokowi diusung dan dibopong ramai-ramai oleh awak TEMPO beredar luas. Bahkan, tak cuma TEMPO cover TIME pernah menyebut, “A NEW HOPE, Indonesian President Joko Widodo Is A Force for Democracy”. Pembelaan atas kebijakan Presiden Jokowi sangat kentara sekali. Sampai ada yang menyebut bahwa TEMPO “terlibat” dalam pencitraan positif Jokowi selama ini. “Kalau kritis harusnya bukan Janji Tinggal Janji. Tapi, A New Problem,” ujar Prof. Hendrajit. Direktur Eksekutif The Global Future Institute yang juga wartawan senior itu menilai, kalau majalah kondang yang sekarang tiba tiba kritis kepada Jokowi, “Sebenarnya hanya pengen memperbaharui kontrak,” ungkapnya. “Apalagi kalau call sign yang dipakai: janji tinggal janji. Ini bukan kritis. Sejatinya masih satu rasa, cuma lagi il feel. Pengen balikan, tapi dengan saling pengertian yang baru. Jale jale,” lanjutnya. Istilah jale ini mengingatkan tulisan seseorang yang mengaku mantan wartawan TEMPO yang ditulis di Kompasiana.com. Jale menjadi kosakata Slank untuk ‘Uang Transportasi Wartawan’. Melansir Tempo.co, Selasa (12 November 2013 11:58 WIB), TEMPO bersama lembaga riset KataData dituding melakukan pemerasan terhadap Bank Mandiri berkaitan dengan kasus Rudi Rubiandini. Tudingan itu ditulis oleh penulis anonim dengan nama Jilbab Hitam, yang mengaku bekas wartawan Tempo angkatan 2006, di media sosial Kompasiana, Senin, 11 November 2013. Di tulisan berjudul "TEMPO dan KataData ‘Memeras’ Bank Mandiri dalam Kasus SKK Migas?" disebutkan Dirut PT Tempo Inti Media Tbk Bambang Harimurti menelepon Dirut Mandiri Budi Gunadi Sadikin menanyakan soal proposal KataData. KataData menawarkan diri sebagai konsultan komunikasi terkait penangkapan Direktur SKK Migas Rudi Rubiandini. Saat itu, Rudi adalah komisaris bank pemerintah itu. KataData yaitu lembaga riset yang dipimpin Metta Darmasaputra, mantan wartawan TEMPO. Menurut penulis itu, karena Mandiri tak meloloskan proposal KataData, majalah Tempo lalu menerbitkan laporan bertajuk "Setelah Rudi, Siapa Terciprat?" pada edisi 18 Agustus 2013 dengan gambar sampul Rudi Rubiandini. “Saya malah baru tahu ada proposal Metta (KataData) ke Mandiri dari tulisan ini. Kalau Tempo jauhlah dari memeras. Iklan yang diduga ‘bermasalah’ saja kami tolak kok,” kata Bambang. Menurutnya, staf humas Mandiri, Eko Nopiansyah, yang disebut dalam tulisan itu sudah ditanya, dan membantahnya. “Kata Eko, hoax, dia tak pernah bertemu dengan eks wartawan Tempo angkatan 2006, atau angkatan berapa pun, atau yang bukan eks wartawan Tempo, dan membicarakan yang dituduhkan penulis artikel itu,” kata Bambang. “Saya melihat sendiri bagaimana para wartawan TEMPO memborong saham-saham Grup Bakrie setelah TEMPO mati-matian menghajar Grup Bakrie di tahun 2008 yang membuat saham Bakrie terpuruk jatuh ke titik terendah,” tulis Jilbab Hitam. Ketika itu, tak sedikit para petinggi TEMPO yang melihat peluang itu dan memborong saham Bakrie. Dan rupanya, perilaku yang sama juga terjadi pada media-media besar lainnya seperti yang disebut Jilbab Hitam dalam tulisan tersebut. Memang, secara gaya, permainan uang dalam grup TEMPO berbeda gaya dengan grup Jawa Pos. “Teman saya di Jawa Pos mengatakan, falsafah dari Dahlan Iskan (pemilik grup Jawa Pos) adalah, gaji para wartawan Jawa Pos tidak besar,” ungkapnya. Namun, manajemen Jawa Pos menganjurkan para wartawannya untuk mencari ‘pendapatan sampingan’ di luar. “Syukur-syukur bisa mendatangkan iklan bagi perusahaan,” lanjut Jilbab Hitam. TEMPO berbeda. “Kami, wartawannya, digaji cukup besar. Start awal, di angka Rp 3 jutaan. Terakhir malah mencapai Rp 4 jutaan. Bukan untuk mencegah wartawan TEMPO bermain uang seperti yang dipikir banyak orang,” ungkapnya. Rupanya, agar para junior berpikir demikian, sementara para senior bermain proyek pemberitaan. Disebutkannya, media sekelas TEMPO, KOMPAS, Bisnis Indonesia, dan sebagainya yang disebut tadi di atas, tidak bermain Receh. Mereka bermain dalam kelas yang lebih tinggi. Mereka tidak dibayar per berita tayang seperti media ecek-ecek. “Mereka di bayar untuk suatu jasa pengawalan pencitraan jangka panjang,” tegasnya. Ketika TEMPO begitu membela Sri Mulyani, memangnya tak ada kucuran dana dari Arifin Panigoro sebagai pendana Partai SRI? Memangnya, ketika TEMPO menggembosi Sukanto Tanoto, tidak ada kucuran dana dari Edwin Surjadjaja (kompetitor bisnis Sukanto Tanoto)? Memangnya, ketika TEMPO usai menghajar Sinarmas, lalu balik arah membela Sinarmas, tidak ada kucuran dana dari Sinarmas? Memang dari mana Goenawan Mohamad mampu membangun Salihara dan Green Gallery? Memangnya, ketika TEMPO membela Menteri BUMN Mustafa Abubakar dalam Skandal IPO Krakatau Steel dan Garuda, tidak ada deal khusus antara Bambang Harimurti dengan Mustafa Abubakar? Ketika itu, “Bambang Harimurti juga Freelance menjadi staff khusus Mustafa Abubakar,” ungkap Jilbab Hitam. Memangnya, ketika TEMPO mengangkat kembali kasus utang grup Bakrie, tak ada kucuran dana dari Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang saat itu sedang bermusuhan dengan Bakrie? Lin Che Wei sebagai penyedia data keuangan grup Bakrie yang buruk, semula menawarkan Nirwan Bakrie jasa ‘Tutup Mulut’ senilai Rp 2 miliar. Ditolak oleh bos Bakrie, Lin Che Wei kemudian menjual data ini ke Agus Marto yang sedang berseberangan dengan grup Bakrie terkait sengketa Newmont. Agus Marto sepakat bayar Rp 2 miliar untuk mempublikasi data buruk grup Bakrie tersebut. “Grup TEMPO sebagai gerbang pembuka data tersebut kepada masyarakat dan media-media lain, dapat berapa ya? Lin Che Wei dapat berapa?” tulisnya. Itulah fakta TEMPO yang mungkin selama ini tertutupi dengan tulisan-tulisan kritisnya yang “Enak Dibaca dan Perlu”. Apakah kritisnya TEMPO kepada Presiden Jokowi atas terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK akan berujung pada Jale-Jale (suap)?

Jokowi Yang Bertanggung Jawab Terhadap Pelemahan KPK

Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Oleh Andi W. Syahputra Jakarta, FNN - Ada yang tak lazim dilakukan Jokowi soal upaya pembenahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dibandingkan masalah lain yang butuh waktu cukup lama. Tak begitu halnya dengan masalah KPK. Ada dua keputusan super cepat yang dikeluarkan Presiden Jokowi, sehingga patut dipertanyakan. Pertama, pengembalian 10 nama calom pinana (capim) KPK kepada DPR yang cuma berselang dua hari. Terhitung sejak diserahkan oleh Pansel kepada presiden. Kedua, Presiden Jokowi mengirimkan surat presiden (surpres) Nomor R-42/Pres/09/2019 terkait revisi undang-unadng KPK kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Rabu 11 Septembes 2019 kemarin. Hanya berselang lima hari sejak draft materi revisi undang-unang KPK telah diserahkan kepada Presdien sebagai pemegang kendali utama dalam urusan pemerintahan kepada DPR. Ketika itu presiden berjanji akan mengkajinya terlebih dahulu. Pada hari yang sama, pernyataaan presiden itu dikuatkan senada oleh Menteri Sekretariat Negara, Pratikno. Menurut Menteri Pratikno, sikap pemerintah sejauh ini mengenai revisi undang-undang KPK yang diajukan DPR tersebut, “banyak memerlukan koreksi”. Presiden bakal menambahkan banyak revisi pada draf yang diajukan sebelumnya. Surpres itu menjadi ganjil. Sesuai ketentuan, presiden masih punya waktu selama 60 hari untuk membahasnya terlebih dahulu. Pasal-pasal mana saja yang dinilai presiden bisa melemahkan KPK sebelum diserahkan kepada DPR. Apalagi mengingat masa bakti anggota DPR 2014-2019 tinggal menghitung hari saja. Hanya sekitar 20 hari lagi.. Tak ada alasan bagi presiden untuk tergesa-gesa melakukan koreksi. Atau memang draft itu berasal dari satu sumber yang sama? Rupanya ada kejar tayang dan target yang hendak disasar. Dari dua rangkaian peristiwa super cepat tersbut, sejatinya kesungguhan Presiden Jokowi untuk memberantas korupsi tengah mendapat ujian berat. Komitmennya tengah diuji. Seperti sedang meniti tali, antara membesarkan atau mengkerdilkan KPK. Langkah super cepat yang telah diambil presiden, sejauh ini membuat banyak orang bahkan pendukungnya mulai ragu-ragu. Akankah Jokowi sanggup untuk “selamat sampai ke seberang?” Untuk perseteruan KPK-DPR kali ini, tampak sekali presiden “main mata” dengan DPR. Sungguh, sikap kurang terpuji yang dipertontonkan di tengah konflik tahunan dua lembaga negara yang tak kunjung usai. Seperti di film kartun, KPK-Polri ibarat Tom and Jerry. Sepatutnya presiden justru hadir sebagai pengayom. Dengan kuasa eksekutif yang dimilikinya, presiden punya kekuatan untuk membatalkan atau menunda dulu pemilihan capim KPK maupun pembahasan revisi undang-undang KPK. Paling kurang tak terlalu ngotot tergesa-gesa menyampaikan Surpres kepada DPR lantaran secara ketentuan masih banyak waktu tersedia. Berilah ruang bagi komisioner KPK untuk aktif terlibat bersama pemerintah. Seolah ada keyakinan bahwa dalam tempo yang sesingkat-singkatnya pembahasan revisi undang-undang KPK akan menghasilkan undang-undang baru yang kelak menguatkan KPK. Pikiran semacam ini keliru. Waktu singkat takkan menjamin akan menjadi lebih baik. KPK bukanlah sarang taliban yang mesti diserang dari segala penjuru. Komisioner dan pegawai KPK masih berada di ranah yang selaras dengan buku manual pemberantasan korupsi. Panduan yang selama ini digadang-gadang oleh pemerintah. Kendati popularitasnya merosot, KPK masih menjadi medium bagi masyarakat dalam mencari rasa keadilan, lantaran uangnya dicuri. Sangat disayangkan, presdien justru mengambil jarak tanpa memaksimalkan perannya selaku Kepala Negara untuk mendamaikan perseteruan. Malah nimbrung bermain menjadi sekutu DPR. Draft Warisan Masih lekat dalam benak publik hampir saban tahun KPK dibuat serial drama berdarah-darah. Situasi kondisi kali ini serupa dengan kasus cicak versus buaya. Bagi sebagian khalayak, tampilnya presiden dalam perseteruan dengan menjadi sekutu DPR tentu saja menambah bobot cerita. Sebab tidak ada lagi cicak versus buaya, tetapi cicak versus komodo. Begitulah kata banyak orang. Sekilas membaca draft revisi, rupanya tak jauh beda dengan draft tahun sebelumnya yang sempat tertunda pembahasannya. Lho kok tahu? Sanagat gampang dan mudah Bandingkan kualitas Komisi III DPR saat ini periode sebelumnya (2009-2014). Lihat saja sisi produktivitas undang-undang yang berhasil ditelurkan, maupun kemampuan dalam menjaga sinergitas antar lembaga penegakan hukum. Tidak terasa perberbedaan kualitasnya. Maka tak heran bila draft revisi merupakan duplikasi dari draft Komisi III DPR periode sebelumnya. Kendati ada sedikit polesan perubahan, namun sekedar hanya untuk pembeda belaka. Substansinya draft revisi itu merupakan penjabaran dari rapat internal Komisi III DPR sewaktu dipimpin oleh Benny Kabur Harman. Selain itu, dulu ada Ahmad Yani, Fahri Hamzah, Bambang Soesatyo dan Sarifuddin Sudding. Kala itu, Ketua Komisi II DPR Benny Kabur Harman, diminta oleh Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso untuk segera merumuskan draft yang memuat 10 poin kewenangan KPK yang mesti direvisi. Intinya, KPK akan diminta fokus hanya untuk pencegahan. Jangan heran, dalam kampanye salah satu konsiderannya adalah perlunya revisi KPK, karena dinilai telah gagal dalam melakukan pencegahan. Ada pun hak penyelidikan dan penyidikan menjadi ranah polisi. Kemudian hak penuntutan diserahkan kepada Jaksa. Na'as, draft revisi undang-undang KPK tersebut akhirnya kandas di tengah jalan. Mati suri sebelum pembahasan. Kala itu, Presiden SBY tak sepenuhnya mendukung, lantaran pada masanya konflik KPK versus DPR maupun KPK versus Polri kerapkali terjadi dalam beberapa babak. SBY tak ingin sejarah mencatat dirinya sebagai presiden pencoreng noktah merah pelemahan KPK. Draft revisi itu rampung pada 23 Februari 2012. Covernya ditulis dengan judul huruf berwarna merah. Bertuliskan “Penghapusan Kewenangan Penuntutan oleh KPK”. Yang menarik ada konsideran memuat narasi pokok sebagai ruh perubahan. Begini bunyinya, “satu hal penting lainnya yang diatur dalam undang-undang ini adalah penghapusan tugas penuntutan oleh KPK”. Dalam sistem peradilan pidana terpadu, penuntutan adalah tugas kejaksaan. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Dalam usulan revisi, tugas tersebut dikembalikan kepada kejaksaan, sehingga KPK diharapkan lebih focus Dalam menjalankan tugasnya. (Budi Setyarso, 2012). Penulis sepenuhnya setuju bahwa dalam rangka penguatan peradilan pidana terpadu (integrated due process of law) untuk hal penuntutan, komisioner KPK mesti terlebih dahulu berkonsultasi kepada Jaksa Agung atau Jampidsus. Setiap penuntutan harus dikonsultasikan lebih dulu. Lantas pertanyaannya, apakah benar selama ini mekanisme kebijakan penuntutan oleh Jaksa KPK mengabaikan integrated due process of law tadi? Apakah benar, kejaksaan tidak diajak turut serta memutuskan tuntutan Jaksa dalam satu perkara korupsi? Rasanya tidak benar juga. Suatu ketika, penulis pernah dikabari oleh salah seorang Jaksa sewaktu sesi penuntutan dalam persidangan perkara korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang molor dimulai. Sang Jaksa mengabari bahwa rencana tuntutan (rentut) masih dikonsultasikan dengan Kejaksaan. “Tunggu persetujuan Sisiangamangaraja satu dulu,” begitu katanya. Tak kalah pentingnya. Draft revisi juga mencantumkan ketentuan tentang Dewan Pengawasan yang bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Usulan ini boleh dibilang upaya pembonsaian kinerja KPK. Lho kok begitu? Selain menciptakan spriral pengawas yang tak berujung, kehadiran Dewan Pengawas tetap saja tak menjamin Dewan Pengawas bekerja independen. Kehadiran Dewan Pengawas justru memunculkan kekuatiran kinerja KPK akan dintervensi atau direcoki dari dalam. Lagi pula selama ini KPK sudah dilengkapi dengan Pengawas Internal dan eksternal. Pengawas internal yakni Komite Etik dan Penasehat Internal. Dalam rangka perbaikan, Penasehat Internal perlu diperluas bobot kewenangannya dengan fungsi pengawasan. Tanpa perlu lagi dibuat organ baru yang justru akan menimbulkan over laping. Sedangkan, pengawasan eksternal, selama ini sudah tertata baik. Lewat medium Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara KPK dengan Komisi III DPR sebagai mitra kerja. Komisi III DPR telah berfungsi sebagai pengawas eksternal. Tak cuma itu, ada RDP gabungan antara Komisi III DPR, Polri, KPK dan kejaksaan. Tujuannya untuk membangun sinergitas dan koordinasi antara intitusi penegak dengan lembaga pengawas eksternal. Publik juga secara terbuka dapat turut mengawasi dan menilai KPK. Caranya dengan mengirimkan laporan kepada Komite Etik maupun Penasehat Internal terhadap penyidik yang bermasalah. Kehadiran Dewan Pengawas adalah justru dianggap sebagai upaya legitimasi transformasi perubahan fungsi dan peran KPK dalam pemberantasan korupsi. Terkait dengan pemberlakuan SP3, memang KPK mesti membuka diri. SP3 adalah instrumen dalam menciptakan kepastian hukum. Adanya keterbatasn personal dan rumitnya data dalam pengumpulan alat bukti ditenggarai menjadi sebab kinerja KPK terbatas. Belum lagi pergulatan di internal KPK yang membuat pengambilan keputusan berjalan lamban. Sehingga berlawanan dengan masyarakat yang menghendaki kasus-kasus kakap diungkap sesegera mungkin. Kegagalan dalam merumuskan, mencari dan mengumpulkan alat bukti boleh jadi menjadi beban tersendiri dalam membidik kasus. Penyelidikan tak bisa ditingkatkan lantaran tak cukup bukti. Sementara KPK tak mengenal SP3 untuk menghentikan kasus yang terlanjur diselidiki dan ditingkatkan ke penyidikan. Tak heran, banyak kasus menumpuk tak terselesaikan dalam waktu lebih dari dari dua tahun. Contohnya kasus R.J Lino, mantan Dirut PT Pelindo II yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka hamper genap empat tahun, sejak akhir 2015 Akibatnya, tersangka hidup tanpa kepastian hukum. Solusimya adalah penyidik KPK harus diberikan kewenangan untuk mengeluarkan SP3. Selama lebih dari tiga tahun kinerjanya tak beranjak mengalami kemajuan, maka SP3 adalah cara terhormat untuk memberikan kepastian hkum kepada tersangka. SP3 juga diberikan untuk kasus-kasus yang mandeg penangananya. Dengan begitu, penyidik dituntut untuk lebih professional dalam bekerja. Lonceng Kematian Lonceng telah dikumandangkan. Presiden dan DPR telah bersekutu untuk memulai pembahasan revisi undang-undang KPK dengan satu tafsir. Tidak ada poin krusial yang diperdebatkan, sehingga tidak butuh waktu panjang untuk membahasnya. KPK sebagai lembaga superbody yang independen tengah dipertaruhkan. Tanpa dukungan Presiden dan legislatif, sulit berharap Komisi mampu bekerja maksimal. Andai kedua pihak, presiden dan DPR bersekutu itu menggunakan otoritasnya untuk mengubah keadaan KPK, seperti yang terjadi saat ini, maka lonceng kematian KPK sudah tiba. Indikasinya sudah mulai tampak jelas. Namun sebelum lonceng kematian itu berbunyi, pengunduran diri serentak tiga Komisioner KPK menjadi jalan pintas penyelamatan. Pengunduran diri tiga komisioner KPK mesti dibarengi dengan penyerahan mandat kepada Presiden disertai surat resmi secara tertulis. Tindakan ini bukan tanpa dasar dan menyalahi ketentuan. Hal itu diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 32 ayat (1) butir 5 menyebutkan bahwa pemimpin komisi berhenti atau diberhentikan karena alasan mengundurkan diri. Opsi ini mestinya bisa dipakai komisioner KPK untuk bargaining kepada Presiden. Mendesak agar komisioner KPK diberikan ruang partisipasi sejajar dengan mitranya dalam melakukan pembahasan revisi. Pembangkangan para komisioner bukan lantaran adanya rencana perubahan, tetapi lantaran tak pernah ikut dilibatkan dalam merumuskan revisi undang-undang KPK. Kondisi semacam ini mengandung makna, arah pembahasan digelar in absentia alias tanpa keterlibatan komisioner. Dengan kata lain, tak ada lagi pintu untuk diskusi. Keputusan Presiden mengirimkan surpres ditafsirkan Presiden ingin revisi segera kelar. Bukankah sikap tergesa-gesa ini dapat diartikan ada target yang hendak dicapai? Dengan pembahasan yang tergesa-gesa, tak akan ada solusi pemberantasan korupsi yang bakal memuaskan publik. Sebaliknya, komentar presiden dalam konprensi pers Jum’at (13/9/2019) kemarin malah muncul kesan kuat presiden tak punya pengetahuan sedikit pun mengenai revisi. Sikap Presiden ini jelas berbahaya. Dugaan adanya konspirasi dibalik upaya pelemahan KPK bisa samakin kuat. Bila dibiarkan berlanjut, bisa-bisa terjadi krisis kepercayaan terhadap presiden yang katanya dipilih oleh mayoritas rakyat itu. Presiden harus tegas bersikap menunda pembahasan dan mengundang komisioner KPK untuk turut aktif terlibat. Kini, yang dibutuhkan hanya tinggal ketegasan. Presiden tinggal perintahkan koalisi parpol pendukungnya agar menunda pembahasan. Dengan cara itu kita masih percaya bahwa presiden memang punya semangat dan komitmen kuat dalam soal pemberantasan korupsi. Persis seperti yang disampaikannya dalam kampanye pilpres tempo hari. Sekarang ini waktu yang tepat bagi publik untuk menagih janji Presiden. Publik butuhj pembuktian dari presdien bahwa program anti korupsi yang terlanjur muluk disampaikan itu bukan sekedar pepesan kosong belaka. Tentu Presiden mesti bernyali, tetapi adakah nyali itu? Wallahu ‘alam bissawab Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pegiat Anti Korupsi

Ada Bara Kecil di KPK

Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Demokrasi sejauh ini telah diterima sebagai tatanan politik paling akseptabel di antara tatanan lainnya. Tetapi pada saat yang sama tidak boleh dilupakan bahwa demokrasi juga mengandung sisi manipulatif yang canggih. Sayangnya, sisi manipulatif ini terlalu sering terabaikan. Salah satu sisi manipulatifnya adalah bentangan jarak teramat jauh antara pemilih dengan mereka yang dipilih. Akibat nyatanya adalah pemilih tak tahu apa yang dilakukan oleh mereka yang terpilih. Sungguhpun begitu demokrasi memiliki satu postulat paling mengagumkan. Postulat itu adalah tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah di negara demorasi yang bebas dari pengawasan. Singkatnya tidak boleh ada organisasi negara atau pemerintah yang tak terkontrol. Deteil kontrol terhadap setiap organisasi negara atau pemerintah, dalam semua negara demokrasi didefenisikan dalam hukum. Itu prinsipil sebagai nilai fundamental demokrasi yang bersendikan rule of law. Postulat lainnya yang sama mengagumkan adalah tentang hak dan kewenangan. Postulat ini, dalam garis besarnya menggariskan hak dan kewenangan hanya ada dalam hukum. Hanya dalam hukumlah hak dan kewenangan ditemukan. Tidak lebih, tidak juga atas suka atau tidak suka. Apa konsekuensinya? Pejabat atau organ negara sehebat apapun tidak bisa, dengan alasan apapun, menciptakan sendiri atau mengarang sendiri hak dan kewenangannya. Postulat ini memang terlihat ekstrim, tetapi hanya itu cara memelihara, bukan hanya demokrasi tetapi juga tertib bermasyarakat. Boleh saja postulat ini diremehkan dengan menyodorkan perspektif hukum progresif khas Philiph Selznick, atau perspektif teori keadilan Richard Posner. Dua ahli hukum dan hakim agung Amerika Serikat yang memutus hasil sengketa pemilu antara Al-Gore dengan George Wolker Bush, Jr. Boleh juga postulat itu dituduh tipikal positifistik Hans Kelsen, ahli hukum yang tersohor di dunia ilmu hukum dengan teori hukum berjenjang yang gemilang itu. Tetapi demokrasi tidak menyediakan argumen lain yang falid untuk menyangkalnya. Tragis memang. Namun demokrasi dan rule of law mengenyampingkan rasa etik dan rasa moral untuk ditembakan sebagai peluru berdaya ledak mematikan terhadap norma hukum yang secara positif berlaku. Demokrasi memang tidak mengharamkan “legitimasi” atas hukum. Itu jelas dan sangat jelas. Namun harus diketahui bahwa demokrasi dan rule of law menghormati legitimasi sebagai yang amat sangat sosiologis dan politis. Larry Cata Backer, professor hukum pada The Dickinson School of Law of the Pensylvania State University, penulis article From Constitution to Constitutionalism : A Global Framwork for Legitimate Public Power System, mengakuinya. Pengakuannya terlihat mengagumkan. Katanya konstitusi tanpa legitimasi bukan konstitusi dalam keseluruhannya. Legitimasi, dalam pandangan profesional akademiknya merupakan satu fungsi nilai. Berposisi sebagai fundasi konstitusionalism. Legitimasi, karena itu menurut Larry berfungsi sebagai instrumen evaluatif terhadap derajat responsifitas atau akseptabilitas atau kesesuaian norma hukum positif dengan hasrat masyarakat secara empiris. Sebatas itu, tak lebih. Demokrasi dan rule of law tak menerima legitimasi sebagai norma hukum. Bara Yang Bagus Nama dan lambang kantor Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), mengandung sifat dan nilai hukum sebagai nomenklatur lembaga negara. Menariknya dua huruf dari nomenklatur itu ditutupi kain hitam, sehingga nomenklatur itu tak dapat dikenali secara utuh untuk beberapa saat. Fakta itu nyatanya mengusik sebagian orang. Keterusikan mereka, sejauh yang terlihat diekspresikan melalui unjuk rasa ramai di depan kantor KPK. Cukup bising unjuk rasanya. Apalagi diselingi adu argumen antara beberapa orang di antara mereka dengan orang lain, entah siapa. Selang beberapa jam sesudah itu, muncul bara lain, bara kecil yang menyehatkan. Bara itu adalah beberapa Komisioner KPK melalui konfrensi pers menyatakan menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada Presiden. Walau terlambat, tetapi sikap itu bagus. Mengapa bagus? Peristiwa ini bernilai sebagai pengakuan tersurat bahwa secara konstitusional pemberantasan korupsi merupakan urusan pemerintahan. Kewenangan melaksanakan urusan itu berada ditangan presiden. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 tegas mengatur Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Konsekuensi konstitusionalnya melaksanakan undang-undang adalah kewenangan Presiden. Pasal lain dalam konteks melaksanakan UU, yang secara konstitusional sepenuhnya bersifat urusan pemerintahan. Bukan urusan peradilan atau yudikatif seperti diatus dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945. Tegas pasal 5 ayat (1) UUD 1945 mengatur Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Kewenangan ini, menurut konstitusi, dengan alasan apapun tidak dapat didelegasikan kepada lembaga negara lain. Apapun nama lembaga negara tersebut. Termasuk dan tidak terbatas pada lembaga yang pembentukannya diperintahkan oleh undang-undang. KPK misalnya. Lebih jauh UUD 1945 meneguhkan sifat urusan melaksanakan undang-unang dengan pengaturan rigid pada pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Pasal ini mengatur secara cukup terang dan tegas tentang sumpah presiden memegang teguh UUD dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada nusa dan bangsa. Sangat jelas sekali tugas konstitusional tersebut kepada presiden. Rangkaian pasal di atas, dalam sifat konstitusionalnya mengisolasi semua pemikiran kreatif yang berkencenderungan membelokan kewenangan presiden melaksanakan undang-undang sebagai urusan pemerintahan. Urusan yang ada dalam kekuasaannya sebagai presiden. Itu sebabnya kesediaan Komisioner KPK menyerahkan tugas pengelolaan pemberantasan korupsi kepada presiden, sembari menanti pengarahan presiden lebih jauh, harus dilihat dan diterima sebagai langkah yang sangat tepat. Sebuah refleksi meyakinkan secara konstitusional bahwa presiden merupakan satu-satunya figur konstitusi yang memegang kewenangan, kewajiban dan tanggung jawab melaksanakan semua urusan pemerintahan. Di dalamnya termasuk melaksanakan undang-undang memberantas korupsi. Tepat Menurut UUD 1945 Mengasingkan KPK yang ditugasi oleh undang-undang melaksanakan satu urusan pemerintahan, khususnya pemberantasan korupsi, sebagai lembaga yang berada diluar kekuasaan eksekutif presiden, jelas bertentangan dengan UUD 1945. Itu disebabkan UUD 1945 cukup tegas mengatur urusan itu sebagai urusan pemerintahan yang harus dan wajib dilaksanakan oleh presiden. Tidak perduli siapapun orangnya yang mejabat sebagai presiden itu. Memang secara keilmuan, kekuasaan presiden dapat dibatasi melalui undang-undang. Ketika undang-undnag telah membatasinya, maka presiden, dengan atau tanpa alasan, sesuai UUD 1945 harus mematuhinya. Itu Titik. Namun harus diingat, yang dapat dibatasi hanyalah kewenangan-kewenangan yang tidak didefenisikan secara tegas dalam UUD 1945. Kewenangan yang UUD 1945 telah mendefenisikannya secara tegas sebagai kewenangan presiden tersebut, tidak bisa dibatasi. Pemberantasan korupsi adalah urusan yang tidak secara tegas didefenisikan dalam UUD 1945. Tetapi korupsi sebagai satu jenis kejahatan, seperti kejahatan lainnya hanya bisa diberantas melalui penegakan hukum. Dan penegakan hukum menurut UUD 1945 adalah wewenang Presiden. Kenyataan atas kewenangan presiden itulah yang terlihat sebelum KPK dibentuk. Kewenangan penegakan hukum dalam rangka memberantas korupsi dilaksanakan oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Kedua organ pemerintah ini yang membantu presiden melaksanakan kewenangan pemberantasan kejahatan korupsi itu. Menariknya, segera setelah terbentuknya KPK, presiden diasingkan dari kewenangannya tersebut. Semua urusan korupsi terlihat sepenuhnya sejauh itu sebagai urusan KPK. Presiden-presiden berada dalam keadaan harus mengambil jarak sejauh mungkin dari KPK. Para presiden tak bisa memberi arah secara deteil dalam usaha penegakanm hukum pemberantasan korupsi. Presiden-presiden dipotong kewenangannya dengan sifat independen lembaga KPK. KPK seperti tersaji selama ini, dalam kenyataannya sebagi lembaga superbody. Sebagian disebabkan diintegrasikannya kewenangan penyidikan dan penuntutan. Selain itu, KPK diberikan kewenangan penyadapan tanpa aturan hukum yang rigid. Tidak itu saja. Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) ditenggelamkan dalam-dalam. Orang bisa jadi tersangka bertahun-tahun lamanya tanpa kejelasan. Kasus R.J Lino yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak akhir tahun 2015 merupakan bukti nayata. KPK menjadi satu dunia sendiri. Dunia yang deteil kewenangannya tak terawasi secara maksimum. Tragis memang. Selalu begitu dalam semua dunia superbody. Dunia yang mirip absolutisame ini, pengawasan ditabukan. Itu teridentifikasi dari ragam pikiran dibalik rencana perubahan undang-undang KPK yang diprakarsai DPR dan disetuju Presiden, kini dianggap sebagai dunia yang tidak sehat. Fakta dan kenyataan ini yang hendak dikoreksi. Deteil koresksinya itu antara lain meliputi (i) menjadikan KPK sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. (ii) menciptakan lembaga pengawas dan dibekali kewenangan memberi persetujuan penyadapan. (iii) pengaturan deteil penyadapan. (iv) diberikan kewenangan SP3. Sahkah semua rencana koreksi itu? Jawabannya hanya satu, yaitu “sah”. UUD 1945 dan pemikiran konstitusionalisme tentang hak dan kewenangan, sanga jelas. Hak dan kewenangan hanya ada dalam undang-undang. Tidak lain dari itu. Disisi ekstrim lain keabsahan perubahan undang-undang KPK itu terjalin dengan doktrin kedaulatan rayat Indonesia, yakni kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD 1945. Pelaksanan doktrin kedaulatan rakyat tersebut, diatur dengan undang-undang. Nalarnya bagaimana? Pakailah undang-undang untuk mendefenisikan hak dan kewenangan tersebut. Termasuk menciptakan unit baru, seperti pengawas misalnya dalam satu organ diKPK. Begitulah sebenarnya bernegara. Titik. Naif betul bila mengasingkan KPK dari kekuasaan pemerintahan, dan pengawasan. Apalagi dengan membiarkan KPK mendefenisikan sendiri pelaksanaan kewenangannya. Sekarang, terlihat nyata bahwa DPR dan Presiden menyadari kekeliruan selama ini. Meskipun terlambat, namun lebih baik, daripada membiarkan KPK dengan dunianya sendiri tanpa pengawasan yang rigid. Kesadaran DPR dan Presiden ini, sejauh disajikan dalam medan UUD 1945, tentu menyehatkan. Naif betul memanggil-manggil datangnya demokrasi dan rule of law. Namiun, pada pada saat yang sama menciptakan organ superbody, yang bekerja dengan pengawasan minimum. Akhirnya harus dinyatakan secara konklusif bahwa gagasan dan deteil rencana perubahan undang-undang KPK, sudah sangat tepat menurut UUD 1945. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate

Akhir Manuver Pilpres, Prabowo Bertemu SBY?

Bisa jadi, pertemuan Prabowo – Hendro itu sebagai “pembuka” pertemuan Prabowo – SBY, seperti halnya sebelum pertemuan Prabowo – Jokowi dan Prabowo – Megawati, BG sudah bertemu dengan Prabowo terlebih dahulu. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Rangkaian peristiwa yang terjadi di tanah air belakangan ini tampaknya saling terkait antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Targetnya, perhatian masyarakat tidak lagi tertuju pada gelaran Pilpres 2019 yang penuh dengan pencurangan. Saat pasca putusan MK yang “memenangkan” paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin diikuti “kerusuhan” 21-22 Mei 2019, sampai muncul isu akan membawanya ke PBB dan Mahkamah Internasional, timbul peristiwa lainnya sampai berhari-hari. Masyarakat pun mulai “melupakan” peristiwa pencurangan Pilpres 2019 yang telah menelan korban lebih dari 600 petugas KPPS tewas tersebut. Hiruk-pikuk Pilpres 2019 mulai meredup saat pidato Presiden Joko Widodo di MPR, 16 Agustus 2019. Sebelumnya, masyarakat dikejutkan dengan bertemunya Presiden Jokowi dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Sabtu (13/7/2019). Pertemuan ini telah memantik kemarahan para pendukung Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. Konon, sebelum pertemuan itu, Kepala BIN Budi Gunawan telah bertemu dengan Prabowo. Seperti itulah narasi yang dibangun oleh Partai Gerindra. Terkadang dalam perjuangan, jalan yang harus ditempuh tidak selalu sesuai dengan perasaan dan hati. Belum reda rasa kecewa para pendukung paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno itu, tiba-tiba atas inisiasi Budi Gunawan pula, Prabowo mengadakan pertemuan dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri di Jl. Teuku Umar, Jakarta. Menariknya, dalam pertemuan “politik nasi goreng” ala Mega tersebut, Rabu (24/7/2019) itu, seperti halnya saat Presiden Jokowi bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, juga dihadiri oleh Budi Gunawan (BG). Adakah yang istimewa? Kehadiran seorang pimpinan lembaga intelijen seperti BG tentunya sangat menarik. Mengapa dalam dua kali pertemuan politik ini BG selalu hadir? Sementara, Jokowi sendiri tidak hadir saat pertemuan di kediaman Megawati di Jl. Teuku Umar ini. Padahal, sebelumnya santer diberitakan bahwa akan terjadi pertemuan segitiga yang dihadiri Jokowi-Megawati-Prabowo, menyusul pertemuan Stasiun MRT antara Jokowi-Prabowo yang juga dihadiri oleh BG yang dianggap “mewakili” Teuku Umar. Pertemuan Jokowi-Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019), itu setidaknya membuat panik parpol Koalisi Jokowi, seperti NasDem, Golkar, PKB, dan PPP, pasca paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin menang gelaran Pilpres 2019. Jika rekonsiliasi yang sebelumnya dilontarkan pihak Jokowi terealisasi, maka dikhawatirkan akan mengurangi “jatah” kursi dalam Kabinet Kerja II Jokowi-Ma’ruf maupun pimpinan di lembaga legislatif seperti MPR, DPR, maupun DPD mendatang. Apalagi, syarat rekonsiliasi yang diajukan Prabowo tersebut harus mencerminkan prosentase perolehan suara 55% untuk Jokowi dan 54% Prabowo. Inilah yang membuat Ketum NasDem Suryo Paloh akhirnya menggelar pertemuan Koalisi Jokowi. Isu seputaran rekonsiliasi mulai meredup ketika Presiden Jokowi melontarkan keinginannya untuk memindahkan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya Kabupatan Penajam Pasir Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara formal pun Presiden Jokowi sudah “minta izin” untuk memindahkan Ibukota Negara ke Kaltim itu saat pidato di MPR, Jum’at (16/8/2019). Hingga muncul wacana menjual tanah negara untuk biaya Ibukota baru senilai lebih dari Rp 400 triliun itu. Hiruk-pikuk isu pemindahan ibukota pun menyedot perhatian masyarakat. Semula fokus pada manuver rekonsiliasi pertemuan MRT dan Teuku Umar, menjadi bicara perihal pemindahan ibukota ke Kaltim itu, tanpa menghitung hal krusial yang bakal terjadi. Menurut Direktur Eksekutif The Global Future Institute Prof. Hendrajit, titik rawan adalah sebelah barat-utara Kalimantan, dikelilingi oleh Laut Cina Selatan. Saat ini laut LCS menjadi medan perebutan pengaruh antara AS versus Cina. Pertama, “Buktinya, sejak era Presiden AS Barrack Obama melalui konsep Poros Keamanan Asia, AS mengirim 60 persen kapal perangnya ke LCS,” ungkap Hendrajit. Kedua, Cina sendiri dengan konsep One Belt One Road (OBOR) berupaya meningkatkan pengaruhnya di Asia Pasifik melalui pengamanan Jalur Sutra Maritim. Berarti LCS menjadi jalur Asia ke Eropa yang dikawal Cina baik secara ekonomi maupun militer. Ketiga, Konstelasi global yang demikian, menjadikan Kalimantan sebagai ibukota, sama saja menggiring Indonesia dalam posisi terkepung oleh pertarungan global AS maupun Cina yang sedang berebut wilayah pengaruh di LCS. “Ini bertentangan dengan bayangan para penggagas ibukota di Kalimantan bahwa Indonesia akan jadi pusat keseimbangan berbagai pulau di nusantara, maupun berbagai negara,” ungkap alumni Universitas Nasional Jakarta itu. Keempat, Cina sepertinya begitu bersikeras agar Indonesia memilih Kalimantan sebagai ibukota. Atas dua pertimbangan. Pertama, menjadikan Indonesia sebagai daerah penyangga, atau bahkan bumper atau tameng antara AS versus Cina. Kedua, dengan menjadi ibukota, Cina berharap mengimbangi pengaruh Inggris dan AS yang sudah lebih dahulu bercokol di Kalimantan. Apalagi, Malaysia dan Brunei, yang menguasai 23 persen wilayah Kalimantan, merupakan negara-negara eks jajahan Inggris. Hingga kini, isu pemindahan ibukota masih menjadi perhatian masyarakat, meski kemudian muncul “rusuh” Papua dan Papua Barat, Senin (19/8/2019). Tampaknya, “gelaran” rusuh di kedua provinsi wilayah Indonesia Timur ini tak bisa tutupi isu pemindahan ibukota. Maka, muncullah isu kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dinlai sangat mencekik rakyat. Isu ini dimulai dari Menkeu Sri Mulyani yang akan menaikkan iuran untuk kelas II dan I BJPS Mandiri sampai 100 persen guna menutupi defisit anggaran BPJS tersebut. Masalah “rusuh” Papua dan Papua Barat pun menjadi “tidak laku” lagi. Apalagi, ternyata banyak warga yang turun gunung merasa ditipu oleh koordinator aksi demo yang berakhir dengan perusakan berbagai fasilitas, sehingga mereka mengaku menyesal. Nyaris bersamaan waktunya dengan redupnya isu Papua dan Papua Barat ini, kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang menyentuh hajat hidup orang banyak itu mulai mengaburkan rencana pemindahan ibukota di Kalimantan ini, sehingga saling menutupi. Terakhir, hampir bersamaan, soal RUU KPK dan peresmian pabrik Esemka mulai menyedot perhatian masyarakat. Sehingga persoalan rekonsiliasi terkait hasil Pilpres 2019 nyaris hilang, jika tidak ada pertemuan Prabowo Subianto – AM Hendropriyono. Hendro Panik? Pertemuan Prabowo dengan mantan Kepala BIN pada Kamis (5/9/2019) itu, bukan tidak mungkin akan diikuti pertemuan antara Prabowo dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dalam waktu dekat. Bisa jadi, pertemuan Prabowo – Hendro itu sebagai “pembuka” pertemuan Prabowo – SBY, seperti halnya sebelum pertemuan Prabowo – Jokowi dan Prabowo – Megawati, BG sudah bertemu dengan Prabowo terlebih dahulu. Sehingga, muncul prediksi, setelah Prabowo – Hendro bertemu, dapat dipastikan akan terjadi pertemuan antara Prabowo – SBY. Melansir Liputan6.com, Hendro mengatakan dirinya telah bertemu dengan Presiden ke-6 RI itu untuk bertukar pikiran. Mungkinkah pertemuan Prabowo – Hendro ini semata-mata hanya untuk membahas masalah Papua, Papua Barat dan persoalan bangsa? Ataukah ada persoalan lain seperti HAM dan Pilpres 2019, sehingga mendorong Hendro bertemu Prabowo? Pasalnya, konon, masalah pelanggaran HAM dan pencurangan Pilpres 2019 sudah masuk ke Peradilan HAM di Den Haag dan PBB. Sehingga, bukan tak mungkin bisa mengancam para pelanggar HAM dan pencurangan Pilpres 2019 tersebut. Apalagi, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Negara-Negara Arab sudah tahu, tuduhan kepada Prabowo sebagai pelanggar HAM merupakan fitnah belaka. Mereka tahu, siapa yang selama ini memfitnah Prabowo untuk menjegal pada Pilpres 2014 dan 2019. Diduga, itulah yang membuat Hendro akhirnya wajib “hukumnya” bertemu dengan Prabowo. Sebab, sebagai profesor intelijen Indonesia, Hendro pasti sudah tahu bagaimana ending dari berbagai manuver Pilpres 2019 pada 20 Oktober nanti. Meski Prabowo pernah dikatain mengidap “psikopat”, ia tetap menghormati Hendro sebagai senior dan gurunya. Kunjungan itu adalah kunjungan kekeluargaan dan kunjungan pribadi yang telah lama direncanakan. “Sudah lama saya ingin sowan. Pak Hendro itu senior saya. Jadi guru saya, sehingga saya merasa memang pantas lah untuk sowan, diskusi, apalagi kalau ada masalah,” jelasnya di Senayan Residence, Jakarta Selatan, Kamis (5/9/2019) malam. Jika ada permasalahan negara, semua pihak harus bersatu dan saling mendukung. Karena itu Prabowo meminta waktu khusus untuk berkunjung. “Walaupun intinya adalah kekeluargaan kita juga membahas hal-hal yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara,” ujarnya. Adakah persoalan lain yang dibicarakan saat pertemuan Prabowo – Hendro tersebut? Apakah dalam pertemuan ini juga membicarakan bagaimana antisipasi jika tiba-tiba terjadi perubahan “peta politik” terkait Pilpres 2019? Ending manuver Pilpres 2019 nantinya ada di tangan Prabowo – SBY jika memang keduanya bertemu!

Ironisnya RKUHP: Ancaman Wartawan, Ringankan Koruptor

Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang akan disahkan DPR mengancam kebebasan pers. Salah satu isi pasal itu memuat ancaman penjara bagi orang yang dianggap menghina presiden. AJI Indonesia dan LBH Pers telah mencatat sedikitnya 10 pasal dalam RKUHP yang bisa mengancam kebebasan pers dan mengkhawatirkan adanya kriminalisasi wartawan. AJI menilai 10 pasal ini merupakan pasal karet atau bisa digunakan secara subjektif dan sewenang-wenang. “Kami khawatir kriminalisasi terhadap wartawan semakin banyak,” ungkap Ketua Bidang Advokasi AJI Sasmito pada Selasa (03/09/2019). RKUHP dijadwalkan untuk disahkan pada akhir September 2019 ini. Anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi memastikan, RKUHP tetap akan disahkan dalam rapat paripurna akhir bulan ini meskipun diwarnai protes. Sejak 2016, AJI telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Tapi, hingga menjelang pengesahannya, sejumlah pasal yang diprotes tetap dipertahankan DPR. “Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” kata Sasmito. Dalam lima tahun terakhir, dalam catatan AJI, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Umumnya, jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) sendiri menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat. “Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi,” lanjut Sasmito, seperti dilansir BBC.com, Rabu (4/9/2019). Anggota Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengatakan lembaganya tak akan mengikuti aturan RKUHP jika kebijakan ini jadi disahkan. DP tetap akan mengacu pada UU Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik. “Karena DP itu dasar semua tindakannya itu UU Pers. Tidak mungkin pada UU yang lain,” katanya kepada BBC Indonesia, Selasa (03/09/2019). DP juga menunjukkan sikap yang sama dengan AJI dan LBH Pers: menolak sejumlah pasal yang mengancam kebebasan pers. “DPR sudah ketinggalan zaman, kalau masih (melihat) kinerja atau pekerjaan jurnalistik itu mengancam. Jadi, kami tentu saja berharap itu tidak jadi (disahkan) dilakukan,” kata Hendry yang akan menyampaikan kajian terkait pasal-pasal bermasalah ini ke DPR. Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan 'tindak pidana pers'. Padahal, kata dia, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana. “Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal. Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi,” kata Fickar, Selasa (03/09/2019). Dari sederet pasal yang dikritik komunitas Pers, DPR mungkin hanya akan menambahkan keterangan Pasal 281 terkait dengan pemberitaan yang bisa mempengaruhi hakim. “Jadi, nanti hakim tidak sewenang-wenang menggunakan hal tersebut (mempidanakan). Tetapi tidak akan kita cabut,” ungkap anggota Komisi Hukum DPR Taufiqulhadi. Pasal tersebut akan diberikan keterangan lanjutan. Menurut Taufiq, dasar kemunculan pasal ini adalah menjaga wibawa pengadilan, terutama hakim. Dari hasil evaluasi, selama ini hakim yang mengadili sidang kasus yang sedang menjadi perhatian publik tertekan karena pers. “Ketika dia (hakim) hadir, kamera di dalam (ruang sidang). Hakim itu tidak hadir dengan dirinya, tapi dia akan ditekan dari publik. Keputusannya, jadi apa yang terjadi tidak normal,” kata Taufiq. Sementara itu, Pasal 291 dan 241 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, DPR juga punya alasan serupa, menjaga kewibawaan kepala negara. “Jika tidak ada wibawa maka dia tidak memiliki kemampuan untuk memerintah secara baik,” tambah Taufiq. Namun, menurut Fickar, pasal-pasal ini masih kontroversial. Misalnya dalam Pasal 281, sulit bagi pers untuk dilarang meliput. “Karena ketika sidang dibuka, itu dinyatakan untuk umum. Artinya bisa dilihat siapa pun,” katanya. Begitu pula dengan Pasal 291 dan 241. Pasalnya, presiden merupakan posisi pejabat publik yang terbuka akan kritik, komentar dan pendapat. “Karena jabatan (presiden) memang untuk dikritisi. Yang nggak boleh itu ketika menyangkut pribadi,” tambahnya. Ringankan Koruptor Pasal-pasal yang menyangkut kebebasan pers, bertolak belakang dengan pasal-pasal untuk terpidana korupsi. Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal dalam RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada UU Tipikor. Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. “Dari sisi ancaman pidana turun, menjadi berkurang ancamannya,” katanya kepada wartawan Muhamamd Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/09/2019). Selain itu, lanjut Zaenur, dengan berkurangnya ketentuan minimum denda kepada koruptor, akan semakin sulit mengembalikan kerugian negara. “Itu bahaya karena dengan hilangnya uang pengganti maka upaya pengembalian uang kejahatan itu menjadi susah,” katanya. Melansir BBC Indonesia, berdasarkan draf RKUHP, setidaknya ada 3 pasal mengenai pidana dan denda bagi koruptor yang bobot hukumannya lebih ringan ketimbang pasal-pasal dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertama, Pasal 604 RKUHP mengenai perbuatan memperkaya diri serta merugikan keuangan negara berisi ancaman hukuman pidana selama dua tahun penjara. Padahal pada Pasal 2 UU Tipikor, hukuman untuk tindakan serupa diganjar paling singkat 4 tahun penjara dan paling lama 20 tahun penjara. Begitu pula dengan dendanya. Pasal 2 UU Tipikor menetapkan denda paling sedikit Rp 200 juta, namun pada pasal 604 RKUHP dendanya menjadi Rp 10 juta. Kedua, Pasal 605 RKUHP yang diambil dari Pasal 3 UU Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang dan merugikan keuangan negara, sanksi dendanya lebih ringan dari Rp 50 juta menjadi Rp 10 juta. Ketiga, Pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diambil dari Pasal 11 UU Tipikor tentang penyelenggara yang menerima suap, ancaman hukumannya menjadi lebih ringan dari paling lama 5 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Pada pasal ini juga, denda terpidana korupsi menjadi Rp 200 juta. Sedangkan denda untuk tindakan serupa diganjar Rp 250 juta pada UU Tipikor. Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman menilai DPR semestinya mencabut seluruh pasal UU Tipikor dari RKUHP. Alih-alih revisi pada KUHP, dia justru berharap ada revisi UU Tipikor sebagai penguatan lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memasukkan ketentuan dari United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). UU Tipikor belum memenuhi seluruh standar dari UNCAC. Misalnya tentang korupsi di sektor swasta, korupsi yang dilakukan di negara lain. “Ini yang seharusnya diakomodir di dalam peraturan perundang-undangan, bukan malah mengaturnya di RKUHP,” jelas Zaenur. Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP. Kejahatan luar biasa itu antara lain korupsi hingga terorisme yang sudah diatur dalam undang undang khusus. “Karena pengaturan secara rinci sudah ada di UU khusus itu,” ungkap Fickar, seperti dilansir BBC Indonesia, Rabu (04/09/2019). Jika pasal-pasal dalam UU yang khusus mengatur kejahatan luar biasa masuk dalam RKUHP, tingkat keseriusan dan bobot kejahatannya akan berkurang. “Karena dengan memasukkan ke KUHP, maka itu akan menjadi tindak pidana biasa. Nah, kita keberatan pada itu,” lanjutnya. Ia menyarankan DPR mencabut seluruh pasal-pasal terkait kejahatan luar biasa yang diatur khusus dari RKUHP. “Sebaiknya, UU extraordinary crimes itu tetap berada di luar KUHP,” kata Fickar. Itulah fakta yang terjadi terkait RKUHP. Antara “ancaman” terhadap wartawan dengan para koruptor diperlakukan berbeda. Kriminalisasi pada wartawan atau warganet yang mengkritisi kebijakan Presiden bisa dianggap “menghina presiden”. Tampaknya, pasal “menghina presiden” ini sengaja dipertahankan DPR bukan semata-mana untuk menjaga kewibawaan Presiden Joko Widodo. Tapi, sebagai “jaminan keamaman” dari DPR kepada Presiden Jokowi. Seperti diketahui, selama 4 tahun terakhir, menjelang akhir jabatan, Presiden Jokowi banyak dikritisi oleh wartawan maupun warganet terkait dengan kebijakannya yang dianggap telah merugikan rakyat. Inilah yang sering ditulis wartawan yang kritis. Untuk mengantisipasi dan membungkam “suara rakyat” itulah maka Presiden Jokowi diberi “jaminan keamanan” oleh DPR. Sebagai balasannya, koruptor diringanin hukumannya.

Sahkan Revisi UU KPK, DPR Tak Mau Korupsi Dibasmi

Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK: kurang ajar. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Waspadai manuver para koruptor. Sekarang, wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan dipangkas habis. Tidak ada gunanya lagi. Yang berkuasa nantinya adalah Dewan Pengawas (DP) KPK. Ada semacam “board of directors” (dewas direktur) yang akan mengendalikan kerja KPK. Hampir pasti, para koruptor atau siapa saja yang berkepentingan akan bisa menyusup ke DP. Mereka bisa ‘order’ apa yang mereka inginkan. Bisa ‘order’ agar kasus si anu dihentikan, agar kasus ini dikaburkan, agar kasus itu didiamkan. Satu kata: kurang ajar. Saya tak menemukan kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan manuver orang-orang yang ingin mengebiri KPK. Proses pengebirian ini berlangsung di DPR. Atas inisiatif lembaga wakil rakyat ini. Hebatnya, semua fraksi setuju. Yang mereka sepakati itu adalah revisi UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK, kemarin (Kamis, 5/9/2019) Ini poin-poin penting yang akan membuat KPK menjadi singa ompong. Pertama, KPK akan dilengkapi Dewan Pengawas (DP). Kekuasaan DP ini sangat besar. Kedua, komisioner KPK harus minta izin ke DP untuk melakukan penyadapan telefon dan penggeledahan. Kalau DP tak setuju, tidak bisa dilaksanakan. Ini tentu celah yang berbahaya. Oknum DP bisa saja nanti memberitahukan operasi penyadapan kepada terduga yang mau disadap. Ketiga, KPK boleh menghentikan penyidikan atas sesuatu kasus. Bisa diterbitkan semacam SP3. Ini juga bisa membuka peluang untuk ‘deal’. Nantinya bisa saja oknum DP mengarahkan agar kasus seseorang dihentikan saja oleh KPK. Yang tak kalah penting adalah status karyawan KPK akan disamakan seperti ASN. Mereka akan menjadi pegawai negeri biasa. Tunduk pada semua aturan tentang ASN. Revisi ini sangat berbahaya. KPK tidak punya keistimewaan lagi. Hampir pasti OTT tidak akan semudah dan seseru sekarang. Sebab, OTT hanya bisa dilakukan dengan penyadapan telefon. Ini yang justeru dipangkas oleh DPR. Siapa yang berkepentingan dengan revisi ini? Semua fraksi setuju. Itu artinya, semua fraksi merasa OTT KPK mengancam kader mereka, baik yang duduk di DPR maupun yang duduk sebagai kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Selama ini, para gubernur dan bupati-walikota yang kena OTT berasal dari hampir semua fraksi di DPR. Yang paling banyak adalah dari fraksi PDIP. Dan di DPR-RI, fraksi PDIP-lah yang terbesar. Itu artinya, revisi ini menjadi tanggung jawab PDIP. Mereka inilah yang menjadi penentu di DPR. Kalau mereka tak setuju, pasti revisi tidak akan terjadi. Fraksi yang kedua adalah Golkar. Partai ini juga mencatat sekian banyak kadernya dijaring KPK lewat OTT. Begitu juga Partai Nasdem, Partai Demorkrat, Partai Gerindra, dll. Jadi, publik sekarang tahu bahwa DPR tidak menghendaki korupsi diberantas dan dicegah di Indonesia ini. Mereka sebaliknya menginginkan agar kader-kader mereka tetap bisa bebas mencuri uang negara atau memperkaya diri sendiri melalui wewenang yang mereka miliki di jajaran eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ketua KPK Agus Rahardjo menggelar jumpa pers, kemarin (5/9/2019). Dia mengatakan KPK sedang beradada di ujung tanduk. Agus tidak menjelaskan apakah itu tanduk banteng PDIP atau tanduk-tanduk yang sedang bermunculan di kepala para anggota DPR yang sangat bersemangat dengan revisi ini. Diberitakan bahwa DPR akan memburu pengesahan revisi sebelum masa jabatan mereka berakhir bulan depan.*** 6 September 2019

Benny Wenda Skak Mat Wiranto

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tudingan Menko Polhukam Wiranto yang menyebut kerusuhan di Papua dan Papua Barat tak lepas dari aksi provokasi yang dilakukan Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda membuka kotak pandora. Benny Wenda justru menuding balik Wiranto yang telah berupaya memicu konflik horizontal dengan warga Papua. Ia tak terima dituding Wiranto sebagai dalang di balik kerusuhan Papua dan Papua Barat. “Wiranto gunakan saya,” ungkap Benny Wenda. “Wiranto adalah penjahat perang yang dicari oleh PBB karena kejahatan perang. Adalah Wiranto yang membentuk 'Pasukan Penjaga Merah & Putih' dan mencoba memicu konflik horizontal antara warga Papua dan warga Indonesia,” tegasnya. Penegasan Benny Wenda itu dikirim melalui surat elektronik kepada CNNIndonesia.compada Selasa (3/9/2019). Oleh Wiranto, Benny Wenda juga disebut aktif menyebar hoaxalias informasi palsu soal Papua ke luar negeri. "Benny Wenda sejak dulu aktivitasnya sangat tinggi, memberikan informasi palsu. Mereka provokasi. Seakan kita menelantarkan di sana, seakan melakukan pelanggaran HAM tiap hari," kata Wiranto dalam keterangan kepada wartawan, Senin (2/9/2019). Menurut Benny Wenda, warga Papua tidak pernah memiliki masalah dengan 'penduduk Indonesia'. “Kami hidup damai berdampingan. Tapi, orang seperti Wiranto berusaha menggerakkan kekerasan demi kepentingan mereka sendiri,” katanya. Demonstrasi yang terjadi di Papua selama beberapa pekan terakhir ini terjadi secara spontan akibat ketidakadilan yang dirasakan warga di sana selama ini. “Pemerintah Indonesia hanya berupaya mengalihkan perhatian dari kenyataan dengan menyalahkan saya,” tuturnya. Benny Wenda sebelumnya juga telah menegaskan masyarakat Papua tak pernah menganggap orang Indonesia sebagai musuh. Ia yang kini tinggal di Inggris menegaskan, rakyat Papua tak akan terpancing dengan provokasi yang dibuat pemerintah Indonesia. Tak hanya Wiranto, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko juga menudingnya sebagai dalang kerusuhan di Papua, termasuk melakukan mobilisasi diplomatik ke sejumlah negara. Menurut Pemerintah, Benny Wenda adalah tokoh separatis dan pendukung penggunaan kekerasan dalam mencapai tujuan politiknya untuk memisahkan Papua Barat dari Indonesia. Benny Wenda ditangkap dan ditahan di Jayapura pada 6 Juni 2002 atas tuduhan mengajak massa menyerang sebuah kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura pada 7 Desember 2000. Ia dihadapkan ke pengadilan pada 24 September 2002. Tidak lama kemudian Benny Wenda kabur dari penjara dan melarikan diri ke Inggris. Benny Wenda memperoleh suaka dari pemerintah Inggris pada 2002. Sejak itu Benny Wenda terus berkampanye untuk memisahkan Papua Barat dari kantornya di Oxford. Benny Wenda pernah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Michelle Bachelet pada akhir Januari 2019. Ketika itu Benny Wenda ikut dalam rombongan delegasi Vanuatu. Apa yang dilakukan oleh Benny Wenda itu, menurut Wiranto, hanya bisa dilawan dengan informasi yang aktual dan benar. Ia menegaskan dirinya berusaha meyakinkan negara lain bahwa Indonesia serius membangun Papua dan Papua Barat. “Mana mungkin menelantarkan. Tidak mungkin,” tegasnya. “Benar bahwa Benny Wenda bagian dari konspirasi dari masalah ini. Kita lawan dengan kebenaran dan fakta. Biasanya info menyesatkan dibantah dengan fakta,” ujar Wiranto lagi. Benny Wenda sendiri sudah bersuara atas gejolak di Papua dan Papua Barat. Ia menyatakan, tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menjadi pemantik kemarahan dan menyulut api ketidakadilan yang dialami rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk merdeka. “Kami sangat membutuhkan dunia untuk waspada dan untuk mendukung kami dan perjuangan kami untuk menentukan nasib sendiri dan perdamaian,” kata Benny dalam akun Facebook-nya, Selasa (27/8/2019). Dalang Asing? “Benar kan... jendral merah menciptakan kubangannya sendiri... satu jari tunjuk ke orang, 4 jari nunjuk diri sendiri,” ujar seorang wartawan senior. Susilo Bambang Yudhoyono, Luhut Binsar Panjaitan, dan AM Hendropriyono dilabeli sebagai “jendral merah”. Wiranto dan Moeldoko baru belakangan ini dimasukkan sebagai “operator lapangan” dari “jendral merah” yang berkolaborasi dengan Surya Paloh, CSIS, dan China. Mereka selama ini “memusuhi” umat Islam dan “jendral hijau”, seperti Prabowo Subianto. Dengan adanya pernyataan Benny Wenda yang menanggapi tudingan Wiranto itu menjadi jelas. Siapa dalang Rusuh Papua sebenarnya. Jika Wiranto menuding Benny Wenda, justru sama saja dengan menuding dirinya sendiri sebagai “dalang” Benny Wenda. Karena, seperti pengakuan Benny Wenda, “Wiranto gunakan saya”. Sehingga, sebenarnya tidak sulit untuk mencari Mbahe Dalang dan pemilik gawe wayangan itu. Apalagi, Polda Jatim kini juga menetapkan Veronica Koman sebagai tersangka provokator. Veronica Koman Liau sebagai tersangka provokasi di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya, Jawa Timur. Veronica diduga aktif melakukan provokasi melalui akun Twitter @VeronicaKoman. “Hasil gelar memutuskan dari bukti-bukti dan hasil pemeriksaan saksi ada enam, tiga saksi dan tiga ahli, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka atas nama VK, Veronica Koman,” kata Kapolda Jatim Irjen Polisi Luki Hermawan, di Mapolda Jatim, Rabu (4/9/2019). Irjen Luki menyebut Veronica ditetapkan sebagai tersangka karena terlibat aktif menyebarkan informasi hoax dan provokasi di medsos lewat akun Twitter pribadinya, terkait peristiwa di AMP. Informasi itu dinilai sebagai upaya provokasi untuk memanaskan situasi. “VK ini adalah orang yang sangat aktif, salah satu yang sangat aktif yang membuat provokasi di dalam mau pun di luar negeri untuk menyebarkan hoaks dan juga provokasi,” ungkap Irjen Luki kepada wartawan. Cuitan Veronica di Twitter yang dinilai polisi sebagai provokasi, yakni soal penangkapan dan penembakan mahasiswa Papua di Surabaya. “Ada lagi tulisan momen polisi mulai tembak ke dalam, ke Asrama Papua, total 23 tembakan termasuk gas air mata, anak-anak tidak makan selama 24 jam haus dan terkurung, disuruh keluar ke lautan massa,” kata Irjen Luki. “Kemudian ada lagi 43 mahasiswa papua ditangkap tapa alasan yang jelas 5 terluka, 1 kena tembakan gas air mata, dan semua kalimat-kalimat selalu diinikan (terjemahkan) dengan bahasa Inggris,” lanjutnya, seperti dilansir CNNIndonesia.com. Nama Veronica Koman Liau muncul terkait aktivitas mahasiswa Papua di Surabaya, Minggu (2/12/2018). Vero menjadi Kuasa Hukum Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) saat memperingati HUT Kemerdekaan Papua Barat pada 1 Desember 2018. Sebelumnya, nama alumni Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta itu sempat menyentak ketika wanita kelahiran 14 Juni 1988 itu sempat “diburu” Mendagri Tjahjo Kumolo lantaran orasi kerasnya saat berdemo menuntut pembebasan Basuki Tjahaja Purnama di depan Rutan Cipinang, Selasa (9/5/2018) lalu dianggap kebablasan. Orasi yang disoal Mendagri dari Vero adalah saat menyebut, rezim Presiden Joko Widodo lebih parah dari rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Video orasi Vero pun mendadak viral di medsos hingga akhirnya membuat panas telinga pemerintah. Saking geramnya, Tjahjo sampai mengeluarkan beberapa pernyataan keras kepada Veronica. “Saya segera akan kirim surat kepada dia. Dalam waktu satu minggu harus mengklarifikasi apa maksud pernyataan terbukanya,” katanya, Kamis (11/5/2018). Nah, jika dalam waktu satu minggu Veronica tak menyampaikan klarifikasi dan permintaan maaf, Tjahjo mengan­cam akan memperkarakannya. “Saya sebagai pembantu Presiden dan Mendagri akan melaporkan ke polisi,” tegasnya. Siapa sejatinya Vero? Berdasarkan informasi yang dihimpun, Vero merupakan perempuan kelahiran Medan. Dia meraih gelar sarjana hukum dari kampus UPH di Jakarta. Vero aktif dalam dunia aktivis yang yang kerap berhubungan dengan isu-isu Papua. Sesumbar Tjahjo ternyata tidak mempan juga. Buktinya, hingga kini Vero masih bisa bebas memprovokasi warga Papua dan dunia internasional dengan berita hoax-nya.Keberadaannya sepertinya “terlindungi” sehingga tidak mudah disentuh hukum Indonesia. Kabar pun berembus. Vero adalah seorang intelijen China yang memang ditugaskan di Indonesia. Mengutip Irene @IreneVienna (22:21 31 Agt 19): Veronica Koman Liaw, Intel RRC nyamar jadi aktivis RICINDONESIA LSM mengurus masalah pengungsi. Jadi, jika Vero masih bisa bebas dari jerat hukum, tentu dan pasti dia “dilindungi” oleh suatu “kekuatan” yang punya akses ke oknum pejabat berwenang di Indonesia. ***

Dalang Rusuh Papua Orang Asing?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Akhirnya Polda Jatim menetapkan Tri Susanti yang akrab dipanggil Mak Susi sebagai salah satu tersangka dalam kasus kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua (AMP) di Jalan Kalasan, Surabaya, Sabtu (17/8/2019). Politisi ini pun ditahan di Polda Jatim. Selain Mak Susi, seorang ASN bernama Syamsul Arifin yang bekerja di Pemkot Surabaya juga ditetapkan sebagai tersangka. SA diduga melontarkan ucapan rasialis kepada penghuni AMP yang memicu aksi massa di Papua dan Papua Barat. Nama Tri Susanti muncul di beberapa stasiun televisi pada Selasa (20/8/2019). Ini setelah di Papua dan Papua Barat terjadi kerusuhan yang meluas, menyusul ucapan rasialis di Surabaya itu. Mewakili beberapa ormas, Mak Susi meminta maaf ke publik. Menurutnya, pihaknya tak berniat mengusik warga Papua dan Papua Barat di Surabaya. “Kami atas nama masyarakat Surabaya dan rekan-rekan ormas menyampaikan permohonan maaf,” ungkap Mak Susi, seperti dilansir KompasTV. Kericuhan di AMP Surabaya, berawal dari informasi adanya perusakan bendera merah putih. “Kami hanya ingin bahwa Papua ini Indonesia. Kami hanya mau bendera merah putih. Jadi, tujuan utama kami untuk merah putih dan berdampak seperti itu,” lanjut dia. Mak Susi sempat diperiksa selama 10 jam di Markas Polda Jatim sejak pukul 15.00 WIB dari Senin (26/8/2019), terkait aksi pengepungan AMP. Saat itu tim penyidik mendalami dugaan ujaran kebencian yang dilakukan Mak Susi melalui grup WhatsApp. Ada 26 pertanyaan yang diajukan penyidik. Selain Mak Susi, ada lima anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) yang telah diperiksa polisi. Salah satu diantaranya, AS, kini juga dijadikan tersangka dan ditahan oleh penyidik, menyusul Mak Susi. Setelah melakukan penyelidikan dan mendalami keterangan para saksi, polisi tetapkan MakSusi dan AS sebagai tersangka. Penetapan Mak Susi itu didasari sejumlah alat bukti, yakni video elektronik pernyataannya di sebuah berita, video serta narasi yang viral di media sosial, dan rekam jejak digital. Seperti diketahui, pada Rabu, 14 Agustus 2019, Mak Susi mengundang sejumlah ormas di sebuah warung di Jalan Penataran Surabaya. Kamis, 15 Agustus 2019, ia pun mengunggah pengumuman dalam sebuah grup WA berisi kata-kata: “Karena ada kemungkinan masalah bendera di depan Asrama Kalasan akan dibuat besar, digoreng oleh mereka bila butuh perhatian internasional. Semoga hanya dendam coklat saja, masalah penahanan mahasiswa di Polda Papua”. Selanjutnya, Jum’at, 16 Agustus 2019, Mak Susi mengunggah gambar di grup WA Info KB FKPPI. “Bendera merah putih dibuang ke selokan oleh kelompok separatis di Surabaya pada Jumat, 16 Agustus 2019, pukul 13.30 WIB, tepatnya di depan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya”. Pada Sabtu, 17 Agustus 2019, di grup WA yang sama, Mak Susi menuliskan, “Mohon perhatian urgent, kami butuh bantuan massa, karena anak Papua akan melakukan perlawanan dan telah siap dengan senjata tajam dan panah. Penting Penting Penting”. Selanjutnya, dalam aksi Sabtu, 17 Agustus 2019, muncul ujaran-ujaran rasial yang disebut memicu aksi kerusuhan di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat. Setelah jadi tersangka, penyidik juga telah mengajukan surat pencekalan terhadap yang bersangkutan ke Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. “Permohonan pencekalan telah diajukan. Surat panggilan juga telah disampaikan. Sejauh ini, telah diperiksa 16 saksi terkait dan telah diperiksa ahli,” ujar Dedi, seperti dilansir Kompas TV, Rabu (28/8/2019). Menurut Brigjen Dedi, Mak Susi disangka Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menyusul Mak Susi, Tim Penyidik Ditreskrimsus Polda Jatim kembali menetapkan tersangka dalam kasus pengepungan AMP di Surabaya. Berdasar penyelidikan video dari laboratorium forensik dan mendalami keterangan saksi, SA ditetapkan tersangka dan ditahan. “SA diketahui mengeluarkan kata-kata mengandung rasis dan diskriminasi kepada penghuni asrama,” kata Kapolda Jatim Irjen Polisi Luki Hermawan, Jumat (30/8/2019). SA yang ASN tersebut dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sayangnya, Irjen Luki belum mau menyebut dari kelompok ormas mana tersangka SA dimaksud. “Itu nanti, tunggu pendalaman saja,” terang Irjen Luki, seperti dikutip Kompas.com, Jum’at (30/8/2019). Selain Mak Susi dan AS (unsur sipil/warga), tampaknya bakal ada oknum TNI yang dijadikan tersangka karena diduga terlibat provokasi. Seperti dilansir Kompas.com, Minggu (25/8/2019), Kapendam V/Brawijaya Letkol Arm Imam Hariyadi mengatakan, lima anggotanya yang dijatuhi skorsing, salah satunya adalah Danramil 0831/02 Tambaksari. "Skorsing itu namanya pemberhentian sementara, sifatnya temporer. Walaupun sebenarnya itu merupakan sanksi juga ya, jadi hak-hak dia dikurangi juga,” katanya kepada Kompas.com, Minggu (25/8/2019) malam. Menurutnya Letkol Imam, skrosing itu diberikan untuk memudahkan Pomdam V/Brawijaya dalam melakukan penyidikan. Ia menyayangkan tindakan oknum anggota TNI tersebut yang diduga telah melakukan pelanggaran disiplin. Seorang prajurit teritorial, lanjutnya, seharusnya bisa menjaga sikap di lapangan. “Terkait dengan anggota saya, mereka pada saat di lapangan kenapa bisa menampilkan sikap-sikap seperti itu (melontarkan ujaran rasial),” ujar dia. Seorang prajurit teritorial, tampilan mereka di lapangan seharusnya menampilkan komunikasi sosial. “Tidak emosional, walaupun situasinya seperti itu (memanas),” tutur Letkol Imam. Ia menjelaskan, penyidikan yang dilakukan Pomdam V/Brawijaya terus berjalan. Selain itu, menurut Letkol Imam, Pomdam juga melengkapi berkas-berkas perkara sehingga kasus tersebut bisa segera dibawa ke persidangan. Mengenai sanksi yang akan dijatuhkan nanti, akan diputuskan melalui persidangan di peradilan militer. “Begitu persidangan nanti kan ada putusan. Nanti hasil putusan itulah yang (menentukan hukuman). Dasarnya adalah hasil penyidikan saat ini,” jelas Letkol Imam. Selain Danramil Tambaksari, Imam tidak menjelaskan secara rinci siapa saja 4 anggota TNI lainnya yang diduga ikut melontarkan makian kepada mahasiswa asal Papua tersebut. Ia memastikan semua yang ada di lapangan sudah diambil keterangannya. “Saya kurang tahu. Nanti yang lain juga akan didalami apakah hanya saksi atau diduga ikut terlibat (melontarkan kata-kata rasis), yang jelas kalau saya lihat ada satu kelihatan emosi,” kata Letkol Imam. Yang menarik untuk dipertanyakan adalah mengapa ada kesan pengepungan terhadap AMP ini bisa sampai terjadi, dan lolos dari aparat Polri maupun TNI? Apakah benar tersangka Tri Susanti sebagai Koordinator Aksi yang mengundang ormas lainnya? Ada baiknya kita ikuti bagaimana kronologi pengepungan AMP Surabaya menurut penuturan penghuni AMP berikut: Rabu, 14 Agustus 2019, 09.30 Kami didatangi Satpol PP untuk Izin Pemasangan bendera (merah-putih); Kamis, 15 Agustus 2019, 09.00 Kami didatangi Camat Tambaksari, Satpol PP, dan TNI untuk memasang bendera di depan AMP Surabaya; Jumat, 16 Agustus 2019, 09.02 Penambahan pengecoran tiang bendera di depan AMP Kamasan III Surabaya oleh Satpol PP bersama intel-intel aparat TNI-Polri, 15.45 Danramil Tambaksari datang mengamuk-ngamuk; Menendang pagar asrama KAMASAN III beberapa kali dan kemudian merusak fiber plat dan banner penutup pagar asrama, yang kemudian diikuti oleh anak buahnya berpakaian dinas loreng lengkap, juga berpakaian preman; Danramil sendiri yang kemudian memprovokasi beberapa massa yang diduga ormas untuk datang ke asrama seperti yang terlihat divideo. Satpol-PP, aparat kepolisian berpakaian dinas lengkap dan berpakaian preman pun berada di TKP namun tak berbuat apa-apa. Ancaman pembunuhan pun datang dari salah seorang oknum perwira TNI-AD, ”Awas kamu, kalo sampai jam 12 malam kamu keluar, lihat saja kamu saya bantai.” Ancaman serupa pun datang dari seorang oknum yang diduga intel berpakaian (Jaket coklat) preman. Ia mengancam Hendrik jika sampai keluar pagar asrama maka akan dibantai. Mereka memaki kami dengan kata-kata rasis: ”Monyet, Babi, Anjing dan Kera”, juga: ”Kamu jangan keluar, saya tunggu kamu”. Saat itu juga jumlah ormas-ormas reaksioner semakin bertambah banyak. Kemudian mereka dobrak pintu depan asrama dan melempari batu hingga mengakibatkan kaca asrama pecah, jalan-jalan pun diblokade. Kami terkurung diruang Aula Asrama. Sabtu, 17 Agustus 2019, 13.20-13.40 Ormas orasi-orasi dengan meneriaki yel-yel, usiir, usiir, usiir Papua, Usir Papua sekarang juga. Selain itu kata-kata rasis (Monyet,Anjing, Babi), dan berbagai kata makian pun masih diteriaki; 13.40-14.20 Aparat berusaha menyuruh kami untuk segera mengosongkan Asrama dan salah satu anggota dari LBH Bung Dani melakukan negosiasi. Selang beberapa menit ia masuk dan mengkoodinasi dengan Mahasiswa Papua di dalam ruang Aula selama 5 Menit. 14.20 - 14.40 Kami diteriaki dengan semua kata-kata rasis sambil barisan Aparat Brimob mulai mengangkat senjata laras panjang dan mengarahkan ke Arah Asrama. Mereka langsung masuk mendobrak pintu kecil sambil melakukan tembakan. Kami Mahasiswa ada di dalam Aula dan berusaha melindungi diri dari tembakan senjata api dan gas air mata yang dilepaskan dari aparat dan Ormas yang meneriaki rasis. Kami semua kena gas air mata dan rasa pedis + panas di kulit kami semakin menjadi-jadi. Selama tembakan berlangsung suasana, asrama penuh dengan kabut asap dan beberapa di antara kami sesak nafas. Mereka berhasil masuk dan mengarahkan senjata ke depan sambil mengarah ke arah posisi kami kumpul. 14.40 Kami dipaksa dan didorong dari lantai 2 turun dan berjalan jongkok keluar dengan tangan terangkat. Sementara itu alat komunikasi kami semua dirampas dan ditahan. Kami diarahkan keluar menuju halaman dan dipaksa menggunakan tembakan senjata api untuk turun dari lantai 2. Kami diangkut ke dalam 4 Dalmas lebih yang sudah parkir depan asrama sejak pagi tadi. Kami diperiksa dan didorong masuk ke truk Dalmas. Ada di antara kami yang dipukul dengan sepatu laras panjang dan pukulan tangan hingga mengeluarkan darah. Ada 4 orang yang diborgol tangannya dan dituntun keluar asrama dan diangkut. Ada diantara kami yang luka berdarah. 15.50 Kami tiba di Polrestabes Surabaya dan diarahkan di salah satu ruangan dan dimintai Keterangan Nama; 18.20 Kuasa Hukum kami dari LBH dan Kontras Surabaya melakukan negosiasi; 18.24 - 21.45 Kami dimintai keterangan Kepolisian; 23. 20 Kami dipulangkan dan tiba di Asrama Mahasiswa Papua. Dari jejak waktu dan peristiwa di atas sudah jelas, siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas insiden di AMP Surabaya itu hingga menjadi “pemantik” kerusuhan di Papua dan Papua Barat. Atas perintah siapa Koramil memprovokasi Ormas? Juga, atas perintah siapa Brimob lakukan “penyerangan”? Dengan mudah bisa dijawab: adakah Asing terlibat? ***

Tamparan Keras dari Papua

Papua menampar para pemimpin negeri ini. Di depan istana, putera Papua mengibarkan Bintang Kejora. Mereka meneriakkan yel yel “merdeka”. Para pemimpin negeri ini seakan tak berdaya. Mereka diam seribu bahasa. Oleh Dimas Huda Jakarta FNN - Kamis 29 Agustus 2019, media massa memberitakan Presiden Joko Widodo berkali-kali tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan ulah pelawak Kirun yang tampil di tengah pertunjukan wayang. Pada malam itu, didampingi oleh ibu negara Iriana dan pejabat lainnya, Jokowi menyaksikan pertunjukan wayang kulit yang digelar di Alun-alun Kota Purworejo. Padahal, pada siang harinya, nun jauh di sana, di wilayah timur Indonesia, Jayapura bergolak. Sudah hampir dua pekan ini daerah itu membara. Unjuk rasa menjalar di beberapa wilayah lainnya sejak Senin (18/8). Tuntutan mereka seragam: merdeka. Bendera Bintang Kejora pun dibawa-bawa. Pada Kamis itu massa membakar gedung Majelis Rakyat Papua (MRP), mobil, kantor Pos, hingga kantor Telkom Indonesia. Suasana mencekam. Warga pendatang tak berani keluar rumah. Di Kabupaten Deyai, Papua, unjuk rasa berakhir rusuh. Sejumlah petugas dan warga tewas. Menkopolhukam Wiranto melaporkan dari TNI ada tiga orang. Satu meninggal dunia, dua luka dan sekarang masih kritis. Sedangkan dari aparat kepolisian ada empat luka-luka. “Masyarakat satu yang meninggal, juga tewas karena kena panah dan senjata-senjata dari masyarakat sendiri," katanya, Kamis (29/8). Gambar-gambar prajurit TNI dan Polri yang roboh bersimbah darah dengan kepala tertusuk panah, beredar luas di media sosial. 10 pucuk senjata SS 1 milik TNI dikabarkan dirampas oleh pengunjuk rasa. Pengungsi Konflik Papua sudah terjadi lama. Jauh sebelum insiden rasis di Malang dan Surabaya. Insiden dua kota di Jawa Timur itu hanya pemicu saja. Papua bak api dalam sekam. Namun, para pemimpin tak menganggap serius, sampai kemudian belasan karyawan PT Istaka Karya dibantai anggota Organisasi Papua Merdeka di Gunung Kabo, Desember 2018 lalu. Selanjutnya, pemerintah menambah pasukan militer di Kabupaten Nduga untuk mengejar kelompok OPM pimpinan Eginaus Kogeya. Di tengah operasi militer ini ribuan warga sipil mengungsi. Sebelum rakyat Papua turun ke jalan-jalan, Tim Kemanusiaan yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga menyatakan 182 pengungsi meninggal di tengah konflik bersenjata. "Ini sudah tingkat pelanggaran kemanusiaan terlalu dahsyat. Ini bencana besar untuk Indonesia sebenarnya, tapi di Jakarta santai-santai saja," ujar John Jonga, anggota tim kemanusiaan, seperti dikutip BBC Indonesia. Menurutnya, pengungsi yang meninggal - sebagian besar perempuan berjumlah 113 orang - adalah akibat kedinginan, lapar dan sakit. Berdasarkan temuan tim yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Nduga ini, para pengungsi berasal dari Distrik Mapenduma sebanyak 4.276 jiwa, Distrik Mugi 4.369 orang dan Distrik Jigi 5.056, Distrik Yal 5.021, dan Distrik Mbulmu Yalma sebesar 3.775 orang. Sejumlah distrik lain yang tercatat adalah Kagayem 4.238, Distrik Nirkuri 2.982, Distrik Inikgal 4.001, Distrik Mbua 2.021, dan Distrik Dal 1.704. Mereka mengungsi ke kabupaten dan kota terdekat atau ke dalam hutan. "Ada yang ke Wamena, Lanijaya, Jayapura, Yahukimo, Asmat, dan Timika. Pengungsi-pengungsi itu (sebagian) masih ada di tengah hutan, sudah berbulan-bulan," lanjut John. Hanya saja, berdasarkan Kementerian Sosial dan Pemprov Papua, jumlah pengungsi Nduga yang meninggal sebanyak 53 orang. Dari angka korban itu, 23 di antaranya merupakan anak-anak. Adem Ayem Banyak yang mengkritik bahkan mengecam cara Jokowi menyikapi pergolakan di Papua. Dia santai. Bagaikan tak ada kejadian apa-apa. Dia tangguhkan kunjungan ke Papua. Padahal, kunjungan itu perlu untuk menunjukkan keseriusan pemerintah meredakan kemarahan orang Papua. Sejumlah kalangan juga menyerukan situasi di Papua sangat gawat. Sebuah situasi yang jauh lebih serius bila dibandingkan dengan saat Provinsi Timor-Timur lepas dari Indonesia. Papua bisa menjadi pintu masuk disintegrasi bangsa. Indonesia bisa terjerembap dalam Balkanisasi. Terpecah-pecah menjadi banyak negara. Seperti yang terjadi pada negara eks Yugoslavia. Praktisi media, Hersubeno Arief, mengingatkan dibandingkan dengan Timtim, potensi Papua lepas dari Indonesia jauh lebih besar. Secara ekonomi, politik, maupun pertarungan geopolitik global, posisi Papua lebih menarik dan menentukan. Dari sisi ekonomi potensi sumber daya alam Papua jauh lebih menggiurkan. Mulai dari tambang, energi, hutan, potensi kelautan, wisata dan lain-lain. Jangan dilupakan, masalah Papua tidak lepas dari gelombang persaudaraan ras Melanesia (Melanesian Brotherhood). AS, Inggris dan Australia menjadi salah satu penyokong dan “pelindung” 16 Forum Negara Kepulauan Pasifik ( Pasifik Island Region). Dengan didukung negara-negara Afrika--karena persamaan warna kulit--Forum Negara Kepulauan Pasifik ini bisa memainkan peran penting dalam lobi-lobi kemerdekaan Papua di PBB. Saat insiden pembakaran masjid di Tolikara, Letjen TNI Purn. J Suryo Prabowo pernah memperingatkan lepasnya Timtim diawali peristiwa yang mirip-mirip itu. Dalam kurun waktu 1996-1998, diawali dengan adanya mushola dibakar di Viqueque, kemudian banyak gereja dibakar di daerah lain di luar Timtim. Eskalasinya membesar hanya gara-gara satu kasus di pelosok provinsi termuda Indonesia waktu itu. Veteran perang Timtim ini menyebut kasus Timtim itu sebagai permainan global. Pada 1996 ribuan prajurit Australia disiagakan di Darwin. Mereka dipersiapkan untuk bisa beroperasi di daerah tropis. Tiga tahun kemudian, pada 1999, prajurit-prajurit Australia itu tiba di Bumi Loro Sae di bawah bendera PBB sebagai pasukan Interfet (International Force for East Timor). Dan tak lama kemudian, akibat intervensi global, terjadi referendum dan Timtim lepas. Kini di Darwin ada sekitar 20-an ribu marinir AS. “Apakah mungkin Marinir AS itu akan ke Papua sebagai Interfweb (International Force for West Papua)?” sentil Suryo Prabowo, kepada Forum Keadilan, suatu ketika. Asal tahu saja, ada sedikitnya 20 negara yang ‘mencari makan’ di Papua. Kenyamanan mereka belakangan sedikit terusik. Itu sebabnya, Indonesia harus lebih serius lagi menangani masalah Papua. Jangan sampai peristiwa Timtim terulang kembali.

Harus Diakui Kehebatan Mereka dalam Fabrikasi Isu

Mereka buat fabrikasi isu-isu pengganti. Muncul dengan rapi dari hari ke hari. Sekarang ada soal pemindahan ibu kota. Disusul masalah Papua yang diduga keras adalah ‘permainan’ orang-orang yang memiliki kekuasaan di luar sistem. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Sekarang ini tidak ada lagi yang berbicara soal 600-an petuas KPPS pemilu 2019 yang meninggal dunia. Keluarga yang meninggal diberi santunan 36 juta. Ketua KPU, Arief Budiman, menyerahkan uang itu kepada keluarga korban sambil fotonya diambil. Di foto itu ada plakat bertuliskan “Penyerahan Santunan 36,000,000”. Disiarkan oleh media. Persoalan dianggap selesai. Tak ada lagi cerita tentang pemilu yang paling buruk. Yang paling kacau. Pemeritah bisa melenggang tanpa ada yang mengejar soal kematian itu. Kematian massal yang dianggap misterius tsb. Usul agar dilakukan otopsi terhadap jenazah petugas KPPS itu, ditolak begitu saja. Tidak ada yang memprotes penolakan itu. Tidak ada yang meberitakan meskipun ada protes. Kontroversi soal hasil pilpres yang penuh dengan dugaan kecurangan masif itu, juga bisa hilang. Diganti dengan isu ‘permen koalisi’. Diambil alih oleh heboh diplomasi nasi goreng dan pertemuan Lebak Bulus. Disusul hiruk-pikuk jatah kursi menteri. Yang goblok-goblok kemudian memunculkan isu Poros 3. Lalu ada soal ‘penumpang gelap’. Seolah-olah tidak ada lagi persoalan keabsahan penghitungan suara pilpres. Seakan tidak ada masalah legitimasi jabatan presiden. Semua diminta atau direkayasa supaya ‘move on’. Melupakan perampokan kolosal suara rakyat. Diminta membiarkan konspirasi jahat itu berlalu tanpa prosekusi. Harus diakui kepintaran dan kehebatan mereka mengalihkan perhatian publik. Hebat. Acungan jempol untuk kehebatan penguburan isu pilpres yang sebetulnya merupakan skandal demokrasi terbesar dan terburuk di dunia. Mereka buat fabrikasi isu-isu pengganti. Muncul dengan rapi dari hari ke hari. Sekarang ada soal pemindahan ibu kota. Disusul masalah Papua yang diduga keras adalah ‘permainan’ orang-orang yang memiliki kekuasaan di luar sistem. Akibatnya, publik dihebohkan oleh kedua topik yang trendy ini. Kejahatan demokrasi yang sebetulnya sangat merusak perjalanan bangsa ini, menjadi semakin jauh dari publik. Padahal, kejahatan politik itu baru saja dilakukan beberapa bulan yang lalu. Belum sampai setengah tahun. Luar biasa pintar dan ampuh cara kerja mesin pengalihan isu di negeri ini. Perampokan dahsyat itu lenyap begitu saja. Rakyat dihibur dengan kontroversi pemindahan ibu kota dan ancaman Papua lepas. Seakan-akan seluruh proses pilpres tidak ada masalah. Seakan hasil pilpres 2019 bersih dari najis. Kemudian, kesulitan berat perekonomian juga bisa mereka tutupi. Dampak fatal akibat utang besar, juga dibuat seperti tidak bermasalah. Strategi senyap hegemoni ekonomi RRC, berjalan tanpa gangguan yang berarti. Penyeludupan narkoba skala besar bisa berlangsung di balik kobaran beberapa isu baru itu. Ancaman terhadap KPK yang bakal jatuh ke tangan para bandit, tersisihkan oleh orkestrasi isu-isu tsb. Semua orang membahas ibu kota dan Papua. Dalam dua hari ini, ditambah isu hukuman kebiri kimiawi untuk pelaku kejahatan pedofil di Mojokerto. Semua media memberikan bobot yang berlebihan terhadap isu baru ini. Begitulah cara mereka mengacak-acak perhatian publik. Membuat kejahatan para penguasa dan ancaman kekuatan asing, lepas dari kejaran media. Lepas dari investigasi jurnalistik dan jurnalistik investigatif.*** 29 Agustus 2019