POLITIK

Dilema UU KPK, Jokowi Tinggal Sendirian atau "Lengser"?

Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat Oleh Mochamad Toha Jakarta, FNN - Ketika berlangsung demonstasi mahasiswa di Jakarta, diantara corat-coret yang ada di jalan, terlihat sebuah coretan menarik: “Jokowi Kemana??” Pertanyaan nakal pun muncul. Apakah Jokowi sudah meninggalkan Jakarta? Ach, tak mungkin! Jokowi yang dimaksud adalah Presiden Joko Widodo. Jika melihat aksi demo yang menolak beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang ditolak rakyat tersebut, apakah Jokowi bakal mundur sebagai Presiden periode 2014-2019, yang berakhir pada 19 Oktober 2019? Ataukah malah tetap memaksa bertahan hingga bersama Ma’ruf Amin, Jokowi akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024? Saya pernah menulis, “Berdasar UUD 1945, Jokowi Tidak Boleh Dilantik!” di Pepnews.com. Dasar hukumnya adalah pasal 6A UUD 1945. Sesuai pasal 6A UUD 1945, mengharuskan agar pemenang pilpres harus menang di 50% wilayah provinsi. Selian itu, tidak boleh ada suara di wilayah provinsi yang kurang dari ataiu di bawah 20 persen. Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno tidak menang secara nasional (menurut versi KPU dan MK), tapi keduanya menang di 26 provinsi. Tidak ada perolehan suara di bawah 20 persen. Dengan demikian maka Prabowo menang dua point versi UUD 1945. Sedangkan Jokowi hanya satu poin. Solusinya:,MPR harus bersidang untuk melantik Prabowo – Sandi. Bukan melantik Jokowi – Ma’ruf. Jika MPR ngotot melantik Jokowi, itu jelas melanggar UUD 1945. Rangkaian pertemuan Prabowo dengan Presiden Jokowi, dilanjutkan pertemuan Prabowo dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Prabowo. Setelah itu, dengan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, perlu dicermati. Pasti ada tujuannya. Kabarnya, setelah bertemu dengan Hendro, Prabowo juga akan bertemu dengan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Adakah pembicaraan yang sangat penting dalam pertemuan-pertemuan tersebut? Sudah pasti ada! Baik Jokowi, Megawati, maupun Hendro dan SBY, sebenarnya sudah tahu. Meski paslon 01 Joko Widodo – Ma’ruf Amin dinyatakan sebagai pemenang Pilpres, 17 April 2019. Namun ternyata berdasarkan UUD 1945 mereka tidak bisa dilantik. Kalau Jokowi – Ma’ruf tetap dilantik, maka MPR justru melanggar konstitusi (pasal 6A UUD 1945 itu). Karena itu, kedudukan UUD 1945 ditempatkan di posisi tertinggi sumber hukum. Sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Artinya, kalau ada aturan perundang-udangan yang bertentangan dengan UUD 1945, maka bisa dinyatakan batal demi hukum. Secara hukum, MPR wajib patuh pada perintah UUD 1945, karena kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Semua undang-undang, Peraturan, Keppres, dan Kepmen wajib patuhi UUD 1945. Yang bertentangan dengan isi UUD 1945, harus dibatalkan atau gagal demi hukum. Inilah yang dibahas ketika pertemuan Prabowo dengan Megawati, Hendro, dan SBY nantinya. Tak hanya itu. Melansir Tribunnews.com, Kamis (15 Februari 2018 09:54), anggota BPIP Mahfud MD yang juga pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta dalam sebuah talkshow di televisi swasta menyatakan “kalau sudah mendapat cemoohan masyarakat, menurut TAP MPR No.6 Tahun 2001, seorang pemimpin kalau sudah tidak dipercaya masyarakat, kebijakannya dicurigai menimbulkan kontroversi, enggak usah menurut hukum, saya belum salah gitu. Mundur!” Begitu pula halnya yang tercantum dalam Tap MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Persoalan etika, moral dan norma harus ditempatkan di atas kaidah-kaidah hokum yang berlaku. Bakan yang terjadi sebaliknya. Etika politik dan pemerintahan itu mengandung misi kepada setiap pejabat. Tujuannya, agar elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati. Selain itu, siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral. Kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata karma. Dalam perilaku politik yang toleran. Tidak berpura-pura, tidak arogan, serta jauh dari sikap munafik. Tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. Jokowi Sendirian Tidak salah, kalau dalam demo mahasiswa terkait Revisi undang-undang KPK dan sebagainya itu, kemudian terselip tuntutan agar Jokowi mengundurkan diri. Dan, untuk tuntutan terkait undang-undang KPK, sepertinya Jokowi akan terbitkan Perpu KPK. Isinya membatalkan revisi undang-undang KPK atau menuundanya. Legislasi reviews dan judicial reviews kemungkinan besar tidak jadi direkomendasi. Artinya, yang akan dilakukan untuk meredam demo mahasiswa adalah tetap diterbitkan Perpu KPK. Salah satu alasan politiknya, presiden tidak tahu jika revisi undang-undang KPK tidak ada dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Karena Prolegnas merupakan syarat hukum untuk proses penerbitan undang-undang dan revisi undang-undang. Sampai disini, yang kalah adalah DPR. Konsekuensi dan resiko jika penerbitan Perppua adalah Jokowi akan ditinggalkan oleh partai-partai pengusungnya. PDIP, Golkar, PPP, PKB, dan NasDem sebagai parpol yang memotori revisi undang-undang KPK akan membelakangi Jokowi. Sampai disini Jokowi berpotensi akan sendirian dalam memimpin pemerintahnya lima tahun ke depan. Apalagi, seperti disampaikan Megawati sebelumnya bahwa “PDIP lebih nyaman dengan koalisi barunya”. Partai Gerindra adalah koalisi barunya PDIP. Makanya, pertemuan Prabowo dengan Megawati tersebut merupakan sinyal bahwa Jokowi akan ditinggalkan oleh PDIP. Mantan Ketua KPK yang juga Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengatakan, persetujuan Istana terhadap DPR untuk revisi undang-undang KPK sebagai bukti tindakan radikal. Sikap ini juga sebagai bentuk penghianatan Presiden bersama DPR terhadap daulat rakyat. Wajar jika kemudian ada tuntutan Jokowi harus turun. Karena dianggap telah melakukan pengkhianatan bersama DPR. Dalam tiga pekan terakhir ini isu politik memang berpusat di DPR dan Jokowi. Misalnya, isu revisi undang-undang KPK, RUU KUHP, RUU Pesantren, RUU P-KS, RUU Pertanahan dan beberapa RUU sensitif lainnya, yang menuai banyak perdebatan. Demonstrasi mahasiswa juga tak hanya di Jakarta, tetapi merambah di beberapa kota besar Indonesia. Korban berjatuhan. Dua mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari Immawan Randi dan M. Yusuf Kardawi menjadi korban tewas. Mereka berdua ikut demo dan unjuk rasa mahasiswa yang digelar di depan DPRD Sulawesi Tenggara, Kamis (26/9/2019). Sebelumnya, dalam aksi mahasiswa di DPR RI, seorang korban mahasiswa Universitas Al Azhar bernama Faisal Amir, kini masih dirawat di RS Pelni Petamburan, Jakarta. Faisal disebut-sebut sebagai keponakan dari Menham Ryamizard Ryacudu. Kembali ke soal undang-undang KPK di atas. “Mengapa undang-undang KPK hasil revisi dibatalkan?” tanya Ketum DPP IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) Bambang Sulistomo kepada Pepnews.com. Menurut putra Pahlawan Bung Tomo itu, adanya badan pengawas sebenarnya menisbikan sendiri hasil seleksi yang ketat dari kehormatan dan integritas sebuah panitia seleksi, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga kepresidenan. “Artinya, pimpinan KPK hasil seleksi itu dianggap tidak dipercaya oleh lembaga-lembaga yang memilihnya sendiri. Sudah pasti badan pengawas akan mencampuri pokok-pokok perkara yang akan digarap KPK,” tegasnya. Mas Bambang menilai, ini sangat berbahaya. Sebab tidak ada contoh di manapun, sebuah badan pengawas bisa mencegah penegak hukum untuk mengumpulkan bukti-bukti tindakan korupsi. Apalagi, kelahiran undang-undang KPK hasil revisi tersebut dianggap para pakar hukum sudah cacat konstitusi. “Mumpung undang-undang KPK hasil revisi itu sampai hari ini belum ada informasi telah ditandatangani oleh lembaga kepresidenan, sebagaiknya batalkan saja demi keutuhan NKRI!” Sebuah pilihan yang sulit bagi Jokowi. Diteruskan akan berhadapan dengan mahasiswa! Tak diteruskan dengan Perpu KPK, bakal ditinggal Parpol Koalisi. Apalagi, BEM se-Indonesia menolak undangan pertemuan dengan Presiden Jokowi. Penolakan ini sebagai pertanda Jokowi sudah tidak dihargai lagi sebagai Presiden. Tentu, lebih bijak jika Jokowi mundur. Karena kepemimpinannya sudah “dicemooh oleh rakyat sendiri”. Penulis adalah Wartawan Senior

Mahasiwa Mengoreksi Sisi Manipulatif Rule of Law

Mahasiswa mulai mengerti bahwa kapitalis global beroperasi melalui multinational corporation dan institusi-instituti global lainnya. Dengan cara yang saling terjalin, kelompok ini menjadikan rule of law, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas dan unsur-unsurnya sebagai hal hebat dalam tatanan global. Tatanan ini, suka atau tidak suka, difungsikan sebagai pasar keadilan global. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Unjuk rasa, sering disebut demonstrasi mahasiswa beberapa hari ini, menunjukan ada masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlihat mereka tak cukup rela membiarkan elit politik mendefenisikan sendiri rule of law dan supremasi hukum. Mereka seperti memastikan bahwa rule of law dan supremacy of law, untuk alasan apapun bukan hukum. Rule of law adalah konsep politik tentang bagaimana sebuah negara seharusnya diselenggarakan. Dari sejarahnya gagasan ini muncul pada abad ke-17. Gagasan ini menempatkan hukum di atas segalanya. Menggantikan tatanan sebelumnya, yang menempatkan orang penguasa diatas segala segalanya. Konsep ini mencegah demagog konyol dan tiran lembut sekalipun memegang kekuasaan. Tetapi pada level tertentu rule of law dan supremacy of law bisa berubah menjadi racun untuk bangsa. Ini terlihat dimengerti mahasiswa. Rule of law dan supremacy hukum mengasumsikan bahwa hukum dibuat, diciptakan, tentu dipikirkan, direncanakan dan diarahkan. Mahasiswa mengerti bahwa dengan begitu itu, maka semua gagasan buruk, seburuk apapun bisa dimasukan ke dalam tubuh hukum itu. Dapat dipastikan mahasiswa mengerti juga bahwa rule of law dan supremacy of law menyediakan kesempatan untuk dibelokan. Dibelokan dengan cara memasukan gagasan-gagasan yang mewakili kepentingan tertentu dan menguntungkan kelompok tertentu. Mereka sepertinya tahu ini kelemahan terbesar rule of law dan supremacy of law. Menariknya, kelemahan fundamental tersebut dikenali dengan sangat baik dan jelas oleh kapitalis-kapitalis cerdas. Mereka para kapitalis tersebut lalu mencoba manipulasi rule of law dan sufremacy of law dalam makna mengubahnya. Targetnya untuk mengamankan kepentingan mereka. Tipis Sekali Mengenal sisi mematikan rule of law, memerlukan penalaran kritis. Begini nalarnya; rule of law menjadikan hukum sebagai pranata tertinggi dan formal dalam kehidupan bernegara. Pada segala aspek bernegara. Begitulah postulatnya. Kapitalis global sangat tahu tentang postulat ini. Postulat ini merangsang mereka berpikir kalau begitu nalarnya, maka kita harus menguasai pembentuk dan penegak hukum. Fakta inilah yang sekarang diprotes dengan keras oleh mahasiswa, hampir di seluruh kota-kota besar Indonesia Agar terlihat benar, maka langkah selanjutnya adalah promosikan rule of law. Diatas landasan rule of law, hukum seburuk apapun, tetapi menyandang sifat hukum sebagai hukum yang sah. Karena sah, maka harus ditaati, suka atau tidak. Toh rule of law menolak semua argument apapun, terutama legitimasi politik untuk menantang keabsahannya. Legitimasi tidak diterima oleh rule of law sebagai argumen legal menyangkal daya laku dan daya ikat hukum. Sekali negara dengan cara yang ditetapkan hukum menetapkan sesuatu menjadi peraturan, maka sejak saat itu peraturan itu sah menjadi hukum. Konsekuensinya, suka atau tidak, senang atau tidak senang, hukum itu harus ditaati. Dijadikan panduan dan tuntunan dalam bertindak.Titik. Akhirnya, rule of law terlihat indah, hebat dan mengagumkan. Keindahan itu dibantu oleh sejarahnya yang panjang. Yang kemunculan awalnya memancarkan naiknya mozaik peradaban baru. Pada Negara-negara barat, ide ini menemukan elannya pada akhir abad ke-17. Diawali dengan glorius revolution di Inggris pada tahun 1688. Revolusi ini mengubah secara radikal kebiasaan dan dominanya supremasi orang, dan Raja, ke supremasi hukum. Revolusi ini mengubah secara radikal institusi-isntitusi politik korup menjadi inklusif. Tetapi itu hanya sisi luar, bukan sisi dalamnya. Sisi internal rule of law, khususnya hukumnya menyediakan ruang, substansinya dan menampung gagasan kolutif, gelap dan hitam. Sisi ini diketahui benar bahwa para perencana penguasaan sumberdaya ekonomi dunia. Pada yang umumnya meraka itu adalah kaum kapitalis. Itu sebabnya kelompok pecundang yang tak terjamah ini selalu bergerak. Mereka dengan mudah semua sumberdaya yang tersedia menguasai hukum. Dengan cara itu membawa mereka tetap menjadi kelompok tak terjamah oleh hukum. Mahasiswa mulai mengerti bahwa kapitalis global beroperasi melalui multinational corporation dan institusi-instituti global lainnya. Dengan cara yang saling terjalin, kelompok ini menjadikan rule of law, supremasi hukum, transparansi, akuntabilitas dan unsur-unsurnya sebagai hal hebat dalam tatanan global. Tatanan ini, suka atau tidak suka, difungsikan sebagai pasar keadilan global. Pasar global yang juga berfungsi sebagai pasar gagasan inilah, maka multinational corporation dan lembaga multinasional resmi lainnya mendesakan gagasan-gagasan mereka. Semua gagasan itu bernilai ekonomis. Gagasan feminism, multikulturalisme, seks bebas, dan sejenis sebagai tipikal kesamaan hak, dijejalkan habis-habisan. Gagasan-gagasan itu dibungkus dengan pemikiran konstitusionalisme. Konsep besarnya adalah Cosmopolitan Constitution dan Global Constitutionalism. Orang berakal tahu bahwa cara itu cerdas, tetapi mematikan. Orang berakal tahu kaki tangan kapitalis global ambil bagian mengampanyekan semua gagasan di atas. Termasuk tahu cara mereka merambah kakayaan masyarakat local. Caranya, dengan mengampanyekan apa yang disebut local wisdom. Mereka membenarkan negara berperan besar dalam kehidupan masyarakat, tetapi disisi lain mereka juga mengasingkan negara dari kehidupan masyarakat itu. Mengakui hak masyarakat lokal yang memiliki asset ekonomi adalah cara kapitalis mengasingkan negara. Menghormati masyarakat lokal itu, bernilai hukum dengan cara membiarkan masyarakat bersangkutan mengatur sendiri kehidupannya. Mau diapakan asset ekonomi mereka, sepenuhnya urusan mereka. Itu hebatnya. Padahal konsekuensinya tersedia jalan hukum bagi para kapitalis yang hendak menguasai asset ekonomi dalam masyarakat itu bernegosiasi langsung dengan mereka. Negara tidak bisa ikut campur, karena hukum telah menetapkan batas jangkau negara terhadap masyarakat itu. Tujuan akhirnya menguasai sumberdaya ekonomi di dalamnya. Tidak lebih. Kesadaran Subyektif Semua tipikal rule of law di atas jelas mematikan. Itu sebabnya demo mahasiswa kali ini, seperti yang sudah-sudah, mesti diterima dengan lapang dada. Demo ini, tentu dengan serangkaian kelemahan kecil yang tersaji secara kasat mata. Mesti harus diterima sebagai kekuatan lain yang dimiliki bangsa ini dalam memelihara eksistensi hukum. Tidak ada omong kosong terbesar selain mengatakan bahwa demokrasi terpelihara sepenuhnya dengan mengandalkan rule of law dan supremasi hukum. Sejarah telah cukup menyajikan kehebatannya bahwa demokrasi, dimanapun memerlukan norma dan kaidah non hukum untuk memelihara eksistensi, dan mempromosikan sisi baiknya. Demokrasi akan mematikan. Dimokrasi bisa membuat banyak orang tak berdaya, bila hanya mengandalkan hukum. Agar tak mematikan, demokrasi di negeri manapun di dunia, memerlukan dan menyodorkan, serta mengandalkan norma-norma non hukum untuk memeliharanya. Norma-norma non hukum itu, idealnya dimengerti dan dipraktikan oleh elit penguasa, ekonomi dan politik. Norma-norma non hukum itu harus dimiliki oleh pelaksana semua cabang kekuasaan; pemerintah, legislatif dan yudikatif. Pelaksana kekuasaan-kekuasaan ini harus mengerti betul tentang masalah ini. Tidak hanya itu, mereka juga harus memiliki keberanian untuk menunaikannya. Norma itu bisa berbentuk “tidak mentang-mentang” atau “tahan diri” atau “toleransi.” Karena norma ini bersifat non hukum, maka diperlukan kebijaksanaan luarbiasa. Diperlukan kematangan jiwa yang luar biasa, khas orang bijak. Orang bijak tahu dan mampu mengenali sombong dan angkuh. Tahu juga bahwa sombong dan angkuh selalu membakar dirinya, juga membakar bangsa. Norma itu, seperti ditunjukan pada sejarah demokrasi di negeri lain, berfungsi sebagai penyaring. Juga berfungsi sebagai benteng dan penangkal gagasan buruk. Benteng ini jauh lebih tahan dari hukum, rule of law. Mereka tahu bahwa sesuatu yang sah menurut hukum, mungkin tidak pantas menurut norma-norma ini. Tetapi memang beroperasinya norma-norma jenis ini sepenuhnya bersandar pada kesadaran subyektif setiap orang. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Khairun Tertante

Jokowi Sumber Masalah

Jokowi Sumber Masalah! Pendukungnya akan marah membaca kalimat yang saya tulis berulang-ulang. Padahal, para pendukungnya jugalah yang teriak-teriak agar SBY turun dari jabatannya. Teriakan ini disampaikan dengan lantang saat pemerintah SBY waktu itu menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Oleh Mangarahon Dongoran Jakarta, FNN - JUDUL ini akan membuat pendukungnya mencari pembenaran atas apa pun yang dilakukan Jokowi. Mereka akan melakukan pembelaan habis-habisan. Ya, pembelaan membabi buta. Eeh babi saja tidak buta. Mereka pasti tidak suka jika junjungannya disalahkan atas berbagai peristiwa politik, hukum, ekonomi, dan sosial yang sedang melanda negeri ini. Berbagai ketidakadilan, ketimpangan, dan keberpihakan (terutama berpihak pada aseng) membuat rakyat (kecuali pendukung gila-gilaan seperti Abu Janda serta Deny Siregar dan kawan-kawannya) frustrasi, emosi, dan naik tensi. Buntutnya, demonstrasi hampir tiap hari. Akibatnya, demonstran yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat dipukuli polisi. Banyak yang terluka dan sesak napas' dan bahkan (peristiwa 21 dan 22 Mei 2019, peristiwa di Papua) membuat puluhan korban meninggal dunia. Jokowi sumber masalah! Pendukungnya pasti marah atas tulisan saya ini. Akan tetapi, sebagai wartawan senior yang malang-melintang meliput aksi-aksi demo nasional di Jakarta, sumber masalahnya selalu di Presiden yang sudah sulit dipercaya rakyat. Jokowi sumber masalah! Wahai para pendukung Jokowi yang juga sebagian pelaku aksi demonstrasi 1998, Anda juga meneriakkan agar Soeharto lengser. Anda juga meneriakkan agar BJ Habibie turun dari jabatannya. Demikian juga saat Abdurrahman Wahid didemo, yang Anda keluarkan adalah agar Gus Dur turun dari jabatan sebagai presiden. Di masa Gus Dur teriakan Anda kencang karena Anda mengharap Megawati jadi Presiden dan ternyata jadi. Semasa Mega jadi presiden, demonstrasi boleh dikatakan relatif tidak ada. Soeharto dan Gus Dur turun karena demo dan kekacauan. Sedangkan Habibie turun karena pidato pertanggungjawabannya ditolak dalam Sidang Istimewa MPR. Sedangkan Megawati turun karena tidak dipilih rakyat dalam pemilihan langsung pertama tahun 2004. Jokowi sumber masalah! Pendukungnya akan marah membaca kalimat yang saya tulis berulang-ulang. Padahal, para pendukungnya jugalah yang teriak-teriak agar SBY turun dari jabatannya, saat pemerintah waktu itu menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Makanya, jangan salahkan jika sekarang ada meme di medsos yang menulis, "Dicari orang hilang..." Siapa lagi kalau bukan antara lain Diah Pita Loka alias Oneng, Eva Sundari, Adrian Napitupulu yang menjadi penggerak demo waktu itu. Jokowi sumber masalah! Pendukungnya pasti marah. Sewaktu majalah Tempo memuat gambar sampul pinokio yang disandingkan dengan Jokowi, pendukungnya demo ke Dewan Pers dan berencana melaporkan ke polisi. Padahal, di jaman SBY kerbau atau kerbo yang Anda giring di Bundaran Hotel Indonesia dan ditulis SiBuaYa atau yang terlihat jelas SBY, tak ada demo tandingan dan tak ada lapor atau rencana melaporkan ke polisi. Jokowi sumber masalah! Ini bukan pendukung yang marah. Jika Jokowi membaca tulisan saya ini dia akan mengeles. "Kok saya yang disalahkan!" Mengapa Jokowi yang tidak pernah memasukkan baju ke celana itu (kecuali pake jas) ngeles. Pembaca harus maklum dan ingat akan kalimat-kalimatnya jika ditanyakan wartawan atas sesuatu hal atau peristiwa. Inilah antara lain kalimatnya itu. "Bukan urusan saya. Saya kaget. Jangan tanya saya. Saya belum tahu. Itu urusan menteri nganu." Bahkan, ketika menyebut pertumbuhan ekonomi yang berada pada kisaran 5 persen per tahun selama pemerintahannya, tidak disyukuri, akan kufur nikmat. Semua orang ketawa membaca dan mendengarkan kalimatnya itu (kecuali pendukungnya). Orang juga tahu bersyukur atas setiap yang diberikan Allah subhanahu wa ta'ala. Justru, Jokowi-lah yang tidak mampu mendongkrak pertumbuhan 7 persen sesuai janjinya. Berarti, janji tidak ditepati. Jika presiden saja mengeluarkan jawaban-jawaban seperti itu, mau dibawa ke mana negeri ini? Jawabannya, "Jokowi sumber masalah. Titik," **

Gerakan Mahasiswa 2019: Manusia Bodoh dan Kuda Tunggang?

Oleh : Hersubeno Arief Jakarta, FNN - “Ditunggangi” menjadi kosa kata itu paling banyak disematkan kepada aksi mahasiswa 2019. Anehnya kosa kata yang sangat disukai oleh penguasa Orde Baru itu, kali ini tidak hanya digunakan oleh penguasa dan para pendukungnya. Kelompok-kelompok oposisi tertentu dengan senang hati menggunakannya. Pendukung pemerintah mencoba menggunakan mantra lama yang sukses pada Pilpres 2019: Aksi mahasiswa kali ini ditunggangi oleh kelompok khilafah dan radikal! Stigma ini disematkan dalam aksi mahasiswa di Yogya dengan tajuk: Gejayan Memanggil. Tujuannya untuk mengaborsi gerakan mahasiswa dan menimbulkan ketidak-percayaan publik. Sebaliknya beberapa kelompok oposisi juga mengamati dengan waspada dan curiga. Mereka mencurigai gerakan mahasiswa ini dimanfaatkan rezim pemerintah. Tujuannya untuk mengalihkan perhatian publik dari beberapa isu yang tengah mendera pemerintah. Berbagai teori konspirasi dikembangkan. Salah satu argumennya: mengapa tiba-tiba mahasiswa bergerak tak terbendung. Selama ini kemana saja? Pasti ada yang menggerakkan. Apes benar! Menjadi mahasiswa dalam posisi serba salah. Diam saja ketika terjadi hiruk pikuk politik, dibullly. Begitu turun ke jalan dicurigai. “Mahasiswa itu bukan manusia bodoh,” ujar Ketua BEM Universitas Gajah Mada (UGM) Atiatul Muqtadir (Fatur) dalam talkshow ILC TV One Selasa (24/9). Siapapun menyaksikan para ketua BEM mahasiswa saat tampil di ILC bersama Fatur, pasti sepakat dengannya. Fatur tampil memukau dan menjadi trending di dunia maya. Basis argumentasinya jelas. Sikapnya terhadap isu nasional yang dipersoalkan juga jelas dan tegas. Perbedaan generasi Mengapa sampai muncul kecurigaan terhadap aksi mahasiswa, terutama dari kelompok-kelompok oposisi tertentu? Pendekatan secara sosiologis bisa membantu kita menjawabnya. Penjelasannya adalah adanya perbedaan sosiologis antar-generasi. Generation gap. Latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda antar-generasi, membuat respon mereka juga berbeda ketika menghadapi sebuah situasi. Dua orang penulis asal Amerika Serikat William Strauss dan Neil Howe yang pertamakali memperkenalkan Generation Theory. Berdasarkan pembagian Strauss dan Howe setidaknya ada tiga generasi yang saat ini aktif di dunia bisnis, politik, pemerintahan, dan organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Generasi Baby boomer (1946-1966). Generasi X (1965-1980). Generasi Milenial (1981-1994). Mereka berada di puncak kekuasaan. Lingkaran kekuasaan di seputar Presiden Jokowi didominasi oleh generasi baby boomer. Figur seperti Megawati, Wiranto, Luhut Panjaitan, Hendropriyono, termasuk Presiden Jokowi adalah generasi ini. Mereka adalah generasi pasca Perang Dunia II. Cenderung berorientasi pada pencapaian dalam karir secara konsisten. Mereka juga jauh dari era digital. Kalau toh mengenal dunia digital, mereka masuk kategori imigran digital. Mereka juga hidup di era otoriter (Orde Baru) dan kemudian memasuki masa transisi demokrasi (Reformasi 1998). Jadi mereka adalah imigran demokrasi. Generasi ini adalah double imigran. Digital sekaligus demokrasi. Sebagian lainnya adalah Generasi X dan Generasi Milenial. Mereka masuk dalam kelompok native digital, namun dari sisi demokrasi adalah imigran. Mahasiswa yang kini turun ke jalan, adalah Generasi Z (1995-2010). Termasuk dalam kelompok ini pelajar Sekolah Teknk Menengah (STM) yang pada hari Rabu (25/9) ikut berunjukrasa ke Gedung DPR. Mereka adalah generasi native digital, sekaligus native demokrasi. Begitu lahir sudah terintegrasi dengan dunia digital dan demokrasi sekaligus. Latar belakang dan pengalaman hidup yang berbeda, membuat mereka juga berbeda dalam merespon peristiwa dan keadaan. Bagi generasi imigran demokrasi, bila sudah masuk ke dunia politik, pemilu sudah dilaksanakan, maka sebuah negara dianggap sudah demokratis. Persoalan HAM, kebebasan pers, dan berbagai kebebasan individual tidak masuk dalam hitungan. Mereka beranggapan, indikator kepedulian mahasiswa bila terlibat dalam politik praktis. Ketika mahasiswa seperti tak peduli ketika generasi yang lebih tua, turun ke jalan selama pilpres, maka mereka dianggap apolitis. Bagi generasi Z, demokrasi tidak hanya sebatas parpol dan kontestasi pemilu. Banyak fitur demokrasi yang seharusnya bisa dimaksimalkan. Mulai dari kebebasan individu, berekspresi, penghargaan terhadap ras, gender, agama, pemerintahan yang demokratis, sampai penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi dan kolusi. Hal itu menjelaskan mengapa begitu muncul satu isu bersama, yakni pelemahan KPK, aksi mahasiswa bermunculan. Mulai dari kota-kota besar, sampai dengan kota-kota kecil di seluruh Indonesia. Isu-isu lain, hanya isu ikutan. Aparat keamanan, generasi tua tiba-tiba menjadi bingung. Makanya kemudian muncul pertanyaan: Siapa yang menggerakkan? Kok tiba-tiba muncul sangat massif. Jawaban yang paling mudah, menoleh pada referensi lama. Gerakan-gerakan semacam ini hanya bisa terjadi bila ada mobilisasi massa. Ada bandar, dan ada yang menunggangi. Yang tidak mereka pahami, dalam dunia digital, isu-isu semacam itu dengan mudah didesiminasi dan disebarluaskan. Mereka juga dengan cepat berkoordinasi dan membangun gerakan. Aksi 212 adalah contoh lain, betapa isu populis yang menyentuh kepentingan orang banyak, bisa menggerakkan publik dengan sangat mudah dan cepat. Jangan dicari-cari, siapa yang menggerakkan, menjadi bandar, dan siapa yang menungganginya. Tidak akan ketemu. Karena memang tidak ada. Andai saja para orang tua yang curiga ini tak lupa, atau pernah membaca puisi Khalil Gibran. Mereka tidak perlu mengernyitkan kening. Apalagi sampai harus nyinyir. Anakmu, bukanlah milikmu. Anak adalah kehidupan, Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal darimu. Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu, Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan pikiranmu Karena mereka dikaruniai pikirannya sendiri. End

Mahasiswa, Ternyata Kalian Murni dan Serius

Dalam sejarah politik Indonesia, mahasiswa telah membuktikan dirinya sebagai komponen yang sangat menentukan. Itulah sebabnya para penguasa sepanjang zaman selalu memperhitungkan eksistensi mahasiswa. Dan itulah pula sebabnya ada penguasa yang berusaha agar mahasiswa tidak ikut dalam hiruk-pikuk perpolitikan. Sebab, mahasiswa dianggap sebagai penghambat tujuan busuk mereka. By Asyari Usman Jakarta, FNN - Dalam tulisan kemarin, saya merasa agak ragu terhadap derap langkah para mahasiswa yang berunjuk rasa di Jakarta dan berbagai kota lainnya. Ternyata kalian murni prihatin melihat kondisi negara. Alhamdulillah, kalian bukan mahasiswa hasil kooptasi. Bukan mahasiswa bayaran. Kalian murni terpanggil untuk ikut melakukan perbaikan. Setelah mengamati kronologi sejumlah unjuk rasa (unras), saya sekarang berkeyakinan bahwa para mahasiswa Indonesia telah menyadari posisi mereka sebagai ahli waris negara ini. Sebagai ahli waris, tentu mereka mempunyai kewajiban dan hak atas Indonesia. Mereka wajib mengawal dan mempertahankan negara ini. Sebaliknya, mereka berhak mengetahui apa-apa saja yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengelola negara ini. Mereka juga berhak menyampaikan protes terhadap kesewenangan para penguasa. Mahasiswa adalah komponen bangsa yang paling relevan mempertanyakan kebijakan-kebijakan penguasa. Pertama, karena mereka adalah orang-orang yang memiliki intelektaulitas yang cukup untuk mengamati dan menafsirkan langkah-langkah yang ditempuh oleh para penguasa. Kedua, mereka adalah generasi penerus yang akan melanjutkan pengelolaan negeri ini. Para mahasiswa memikul tanggung jawab moral untuk mewakili rakyat. Mereka adalah segmen bangsa yang memiliki banyak kelebihan untuk mengambil posisi sentral dalam setiap proses politik. Mereka memiliki ketajaman berpikir dan stamina fisik yang prima. Dua hal ini sangat diperlukan dalam menghadapi kesewenangan para penguasa. Baik itu kesewenangan eksekutif maupun kesewenangan legislatif Dalam sejarah politik Indonesia, mahasiswa telah membuktikan dirinya sebagai komponen yang sangat menentukan. Itulah sebabnya para penguasa sepanjang zaman selalu memperhitungkan eksistensi mahasiswa. Dan itulah pula sebabnya ada penguasa yang berusaha agar mahasiswa tidak ikut dalam hiruk-pikuk perpolitikan. Sebab, mahasiswa dianggap sebagai penghambat tujuan busuk mereka. Ada penguasa yang mencoba membungkam mahasiswa melalui berbagai cara. Misalnya, dengan siasat akademik. Mahasiswa diwajibkan ini dan itu supaya tak sempat mengamati cara negara ini dikelola. Ada juga yang mencoba memanjakan mahasiswa dengan berbagai stimulus. Tapi, kodrat alami mahasiswa tak bisa dibendung. Mereka adalah anak-anak muda yang sedang membina kapasitas intelektulitas. Pembinaan intelektualitas inilah yang kemudian membawa mahasiswa sampai ke ruang sosial dan politik. Dari sinilah mereka memulai pengamatan sosial-politik. Belakangan ini, mahasiswa kelihatannya mendeteksi sesuatu yang aneh terkait dengan pengelolaan negara. Naluri sosial-politik mereka bekerja. Mereka tersentak oleh sengatan kesewenangan penguasa. Sebagai contoh, mereka pun melihat keganjilan dalam proses revisi UU tentang KPK. Publik non-mahasiswa lebih dulu menilai bahwa revisi itu akan menghasilkan pelemahan lembaga antikorupsi itu. Para mahasiswa sepakat dengan temuan publik. Kalangan mahasiswa terkoneksi dengan suasana penentangan revisi UU KPK itu. Mereka juga sependapat bahwa langkah Presiden Jokowi menyetujui pelemahan KPK itu adalah tindakan yang melawan aspirasi rakyat. Restu Jokowi itu frontal dengan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini menjadi musuh keadilan dan kesejahteraan. Keikutsertaan mahasiswa dalam sepekan ini di arena gelar aspirasi tentulah akan memperkuat upaya untuk meluruskan cara berpikir para penguasa. Bahkan, mahasiswa sangat diharapkan menjadi pemeran utama dalam rangkaian koreksi terhadap kekeliruan penguasa. Sebab, bangsa dan negara ini adalah warisan untuk mereka. Mahasiswa berhak memantau dan memastikan agar negara ini tidak dikelola sesuka hati oleh para penguasa. Sebab, para mahasiswalah yang nantinya akan merasakan dampak buruk jika negara dikelola secara semberono. Mari kita berikan dukungan penuh kepada para mahasiswa. Mereka kini terpanggil untuk ikut menyelamatkan negara ini dari kesewenangan para penguasa. Kepada aparat keamanan kita meminta supaya tidak berlebihan dalam menghadapi para mahasiswa yang hanya ingin menyampaikan aspirasi mereka. Mereka bukan musuh negara. Kita doakan agar perjuangan untuk menjaga kedaulatan negara dan menegakkan keadilan, tidak terlalu berat. Amin, Allahumma amin! Penulis adalah Wartawan Senior

RUU Pertanahan Adalah RUU Perampasan Hak Pribadi

Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Oleh Margarito Kamis Jakarta, FNN - Rancangan UU Pertanahan (RUU Pertanahan) dilihat dari sudut konstitusi merupakan RUU yang buruk sekali. Nalar dibalik sejumlah pasal (rancangan) cukup jelas sangat primitif. Mereflesikan logika tipikal perencanaan sosial ekonomi yang umumnya para kapitalis. Memutarbalikan konsep rule of law. Ini manipulatif. Ada dua sebab pada level konseptual yang menunjukan RUU ini manipulatif. Pertama, RUU ini hendak disodorkan pada level tertentu sebagai sarana rekayasa social. Targetnya, menciptakan tatanan hukum pertanahan yang lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Tetapi jalan fikiran ini terlihat tidak lebih hanya sebagai cover politik. Mengapa begitu? Karena sejumlah pasal dalam RUU ini cukup jelas terlihat menyimpang dari prinsip-prinsip hak dalam UUD 1945. Begini logikanya. UUD mengakui hak bagi setiap orang. Hak ini terbagi ke dalam dua kategori besar. Kedua, kategori itu adalah hak yang bersifat alamiah dan hak diberikan oleh undang-undang. Hak yang bersifat alamiah, misalnya hak untuk memperoleh keturunan melalui keturunan yang sah. Hak untuk hidup, tidak disiksa dan lainnya. Hak ini tidak bisa dicabut oleh siapapun. Berbeda dengan hak alamiah, adalah hak yang dinyatakan ada karena diberikan oleh undang-undang. Biasanya disebut dengan hak yang bersifat parsial. Karena sifatnya sebagai hak yang parsial itu, maka hak ini oleh UUD dikualifikasi sebagai hak yang dapat dicabut. Menurut UUD 1945, pencabutan atau pembatasan atas hak ini hanya bisa dilakukan bila diatur dalam undang-undang. Pada titik ini muncul sebab kedua, yaitu orang-rang yang menandai Rancangan Undang-Undang (RUU) adalah ini buruk seburuknya manusia. Bahkan sanagt berbahaya. Bagaimana logikanya? Logikanya adalah karena hak hanya bisa dicabut dengan menggunakan undang-undang, maka buatlah undang-undang sebagai dasar untuk pencabutan atas hak itu. Jalan fikiran inilah yang ada dibalik sejumah pasal dalam RUU Pertanahan sekarang. Fakta inilah yang mungkin menjadi sebab tambahan protes dari mahasiswa . Ini Bentuknya Pasal 48 ayat (8) dalam RUU Pertanahan, sejauh yang tersebar di beberapa media berisi ketentuan: Masyarakat berhak mendapatkan informasi publik mengenai data pertanahan, kecuali informasi yang dikecualikan sesuai peraturan perundangan. Kelak bila pasal ini disahkan, maka muncul masalah hukum. Masalahnya adalah “informasi” jenis apa, yang dikecualikan? Nama pemegang hak seperti apa yang dikecualikan? Hak apa yang dikecualikan? Hak guna usaha seperti apa yang dikecualikan? Tidakkah hak guna usaha itulah yang saat ini muncul sebagai masalah terebesar dalam dunia penguasaan tanah? Sejauh ini hak guna usaha hanya diberikan kepada perorangan dan korporasi yang berusaha dibidang pertanian dan perkebunan. Selalu begitu dalam sejarahnya. Usaha perkebunan berada di atas lahan dalam jumlah puluhan ribu hektar. Umumnya pemegang hak ini adalah perserorangan yang berduit besar. Praktis mereka adalah pengusaha berskala besar. Norma itu memberikan pilihan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan. Kelak setelah disahkan pemerintah, dengan kewenangan yang diberikan undang-undang membuat dapat peraturan yang mengecualikan hak guna usaha. Pengecualian itu termasuk pemegang hak guna usaha sebagai informasi yang dikecualikan. Mereka, dengan demikian terlindungi, dalam makna mendapatkan privilege hukum untuk tidak diketahui orang. Kebijakan ini jelas sangat buruk dan primitif. Pasal 95 RUU Pertanahan ini seperti yang telah beredar di media berisi rumusan: “Setiap orang, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan atau membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun serta denda sebanyak-banyaknya 15.000.000(lima belas juta rupiah)”. Betul rumusan ini bersifat materil (delik materil). Delik yang dalam ilmu hukum dianggap telah ada sebagai perbuatan jahat bila akibat yang dilarang telah terjadi. Betul itu. Akibat yang dilarang dalam pasal ini adalah “sengketa atau konflik.” Tetapi apa yang dimaksud dengan “permufakatan jahat” dan apa yang dimaksud dengan “sengketa atau konflik.” Sanbgat tidak jelas dan karet tafsirannya. Ketidak jelasan norma-norma itu menjadi ketukan lembut untuk setiap penegak hukum merumuskan sendiri setiap peristiwa sebagai “permufakatan.” Tidak itu saja. Mereka juga dapat merumuskan sendiri setiap peristiwa untuk dikategori sebagai akibat permufakatan itu. Akibat itu apakah berupa sengketa atau konflik? Bahkan setiap persitiwa dapat dikategori “sengketa atau konflik” berdasarkan defenisi bikinan sendiri penegak hukum. Inilah yang sangat berbahaya sekali. Seharusnya dirumuskan secara jelas keadaan-keadaan yang dikategori sebagai sengketa dan atau konflik. Seharusnya pula dirumuskan secara jelas peristiwa-peristiwa yang dikategori sebagai “sengketa dan atau konflik. Rumusan yang jelas adalah cara hukum mencegah penyalahgunaan wewenang. Mereka para penegak hukum, dengan rumusan hukum yang jelas dan tegas, dipaksa untuk tidak menggunakan interpretasi sendiri yang sangat subjetif. Rumusan-rumusan di atas jelas berbahaya. Namun masih ada rumusan berikut ini jauh lebih berbahaya. Pasal 91 sejauh yang telah beredar, berisi ketentuan: “pemilik tanah yang menolak atau setiap orang yang menghalangi aparatur penegak hukum bidang pertanahan pada bidang tanahnya sebagaimana dimaksud pada pasal 10 ayat (4) huruf c dipidana paling lama 2 (dua) tahun serta denda Rp. 5.000. 000., (lima juta) rupiah”. Pasal ini jelas lebih berbahaya dari undang-undang yang dibuat untuk melegalkan pekentingan kekuasaan pejajah. Atau mungkin juga sebaliknya. Ada diantara penguasa pejajah yang bisa saja tidak menghendaki pasal-pasal seperti ini dalam produk undang-undang yang dibuat pejajah. Pasal ini sepertiunya terlihat hendak melindungi pemilik tanah. Tetapi tidak dalam prinsipnya. Mengapa? Untuk memperjelasnya, saya mengajukan satu kasus hipotetik. Kasusnya beini, “dalam hal seorang pengusaha hendak menguasai tanah dengan hak guna usaha (HGU) yang biasanya selalu luas, lalu tanah yang hendak dikuasainya itu meliputi bidang tanah yang telah dikuasai orang lain, maka orang yang bidang tanahnya tercakup dalam rencana HGU itu tidak dapat mempertahankannya”. Pengukuran atau penyelidikan atas luas tanah oleh aparatur pertanahan itu tidak dapat dicegah. Bila dicegah, apapun argumen yang digunakan, tindakan pencegahan itu tetap dikategori secara hukum sebagai tindakan menghalangi. Bisa dihukum minimal lima tahun. Hebat sekali kan ? Merampas Hak Pada titik itu sulit betul untuk tidak mengualifikasi rumusan pasal-pasal yang disebut di atas sebagai “sarana, cara merampas hak orang secara sah". Kapitalis mungkin susah untuk tidak menari-nari dengan pasal-pasal perampasan ini. Kapitalis manapun, dulu dan sekarang tidak mungkin tidak menyambut pasal-pasal ini dengan karpet merah sebagai berkah terencana rule of law. Dunia ilmu hukum memberitahukan kita bahwa kapitalis biasanya mengandalkan hukum sebagai alat untuk merampas hak orang, melipatgandakan hak, melipatgandakan asset, memperluas pasar dan memproteksi pasar. Kapitalis-kapitalis rakus dan tamak ini, dalam sejarahnya, selalu begitu. Mereka, sekali lagi, selalu memanggil hukum untuk menjaga, memburu dalam semangat mengonsetrasikan setiap jengkal sumberdaya ekonomi. Kapitalis tamak cukup cerdas membungkam penentang mereka dengan argumen rule of law dan demokrasi. Rule of law dan demokrasi diandalkan sebagai tatanan yang memungkinkan, memanggil siapa saja yang tumbuh dan menjadi sejahtera. Rule of law, selalu dalam pandangan saya, adalah konsep indah dan berkelas pada level kulit. Itu karena substansinya dapat dituliskan dengan berbagai macam gagasan. Satu dan lainnya tak beriringan dengan nilai-nilai dasar sebuah masyarakat. Hukum karena isinya selalu dapat ditulis sesuka hati oleh para perencana sosial dan ekonomi. Maka hukum juga dapat digunakan, dalam semangat merampas, mengalihkan kekayaan orang kaya ke orang miskin. Caranya, adalah dengan memperkenalkan program jaringan pengaman sosial, bahkan subsidi. Cara ini yang ditandai Frederick Bastiat, ekonom Prancis abad ke-19 yang ditahbiskan sebagai ekonom pembela tanpa batas terhadap pasar bebas. Dalam posisi itu, Frederick terang-terangan dan lantang mengeritik penggunaan hukum yang membenarkan proteksi dan subsidi. Baginya proteksi dan subsidi adalah cara perampasan hak orang kaya untuk dialihkan ke orang miskin. Cara ini tidak masuk akal. Menurutnya, cara yang tepat adalah membiarkan semua orang bebas dalam setiap usahanya. Dalam kecakapannya mengeritik hukum, Fredericl menandai hukum telah terlalu sering digunakan melampaui fungsi alamiahnya. Tetapi apapun itu, pembatalan pengesahan RUU Pertanahan harus disambut gembira. Andai saja tidak dibatalkan, maka RUU itu sepenuhnya berfungsi sebagai sarana perampasan hak. Itu karena tabiat politik yang tersedia ditengah kehidupan politik yang sepenuhnya elitis, tidak bakal menempatkan kapitalis sebagai korban utama RUU in. Pembatalan pengesahan RUU ini disisi lain terlihat sebagai keberhasilan paling nyata, walau mungkin tak disadari, bahwa tipuan halus rule of law berhasil dikenali dan dihentikan

Telur Busuk di Ujung Tanduk KPK

Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut. Oleh Dimas Huda Jakarta, FNN - Kendati dalam satu eraman, telur-telur itu tak selalu bisa menetas semua. Ada kalanya, di antara telur itu sebagian menjadi telur busuk. Begitu juga dalam sebuah organisasi. Tidak semua kader terlahir sebagai kader yang bisa diandalkan. Kadang kala lahir kader busuk. Itu pula yang dialami banyak organisasi massa Islam. Nahdlatul Ulama atau NU, misalnya. Organisasi terbesar di Indonesia ini banyak melahirkan rokoh-tokoh yang bisa diandalkan, tokoh-tokoh bangsa yang mengharumkan nama NU, bangsa, negara, dan tentu saja agama. Namun tak sedikit juga dari rahim NU lahir kader yang tidak bisa diharapkan. Di era kini, era kepemimpinan Joko Widodo, sejumlah kader NU --anak-anak muda NU-- berkesempatan di garda depan dalam kepemimpinan nasional. Mereka bertabur di banyak partai. Mereka hebat-hebat. Nah, dari yang hebat-hebat itu ada juga yang bermasalah. Tengok saja, pengumuman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (18/9). Kader NU yang juga kader Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Imam Nahrawi, mendapat medali tersangka korupsi dari KPK. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) ini diduga menerima uang sebesar Rp26,5 miliar terkait dengan penyaluran bantuan dana hibah Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Tahun Anggaran 2018. Publik sudah tahu bahwa status terangka dari KPK bukan perkara sepele. Lazimnya, status itu bakal berlanjut dengan pakaian seragam rompi oranye, lalu berakhir menginap di hotel prodeo. Dunia gelap telah menyambut. Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, mengungkap bahwa selain menerima uang sebesar Rp14,7 miliar terkait dana hibah melalui asisten pribadinya Miftahul Ulum, Menpora Imam juga meminta uang sejumlah Rp11,8 miliar dalam rentang waktu 2016- 2018. "Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan oleh pihak KONI kepada Kemenpora," ujar Alexander, dalam konferensi pers, Rabu (18/9). Masuknya nama Imam dalam jeratan KPK harusnya tidak mengejutkan lagi. Soalnya, Imam sudah sering disebut dalam tiap sidang kasus duit KONI. Hal yang mengagetkan tentu, waktu penetapan itu. Waktu yang oleh Imam boleh jadi tak disangka-sangka. Seperti kita tahu, penetapan tersangka bagi Imam dilakukan KPK setelah disahkannya revisi UU KPK oleh DPR RI. Penetapan itu juga dilakukan pascapimpinan KPK menyerahkan mandat kepada Presiden Joko Widodo. Selanjutnya, ini adalah hal yang menyesakkan dada bagi Imam, keputusan itu dilakukan pada saat dirinya, juga pimpinan KPK, sudah berada di ujung kekuasaannya. Jabatan Menpora bagi Imam berakhir pada akhir bulan depan, sedangkan pimpinan KPK, termasuk Alexander, berakhir pada Desember tahun ini. Tiga Kali Mangkir Memang, nama Imam sudah jauh-jauh hari disebut-sebut terlibat dalam kasus tersebut. Awalnya, jaksa KPK yang mengungkap keterlibatan Menteri Imam. Hanya saja, duit yang dituduhkan tak sebesar yang diungkap Alexander. Sang Jaksa hanya membeberkan daftar pembagian dana hibah yang sejumlah Rp3,4 miliar. Daftar para penikmat itu dibuat Sekretaris Jenderal KONI, Ending Fuad Hamidy. Nama Imam ada di deretan nomor satu dalam daftar. Sekadar mengingatkan, kasus ini bermula dari penangkapan sejumlah pejabat Kemenpora dan KONI dalam operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK pada Selasa, 18 Desember 2018. Setelah penangkapan itu, lembaga antirasuah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Dua di antaranya adalah Hamidy dan Bendahara Umum KONI Jhonny E. Awuy sebagai tersangka pemberi suap. Tiga orang tersangka lain dari Kemenpora, yaitu Deputi IV Kemenpora Mulyana, pejabat pembuat komitmen di Kemenpora, Adhi Purnomo, dan Staf Kementerian Kemenpora, Eko Triyanto. Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan khusus penyelidikan tentang keterlibatan Imam dilakukan KPK sejak 25 Juni 2019. Imam sudah dipanggil sebanyak tiga kali yakni pada 31 Juli, 2 Agustus 2019 dan 21 Agustus 2019. Hanya saja, ia tidak menghadiri pemanggilan tersebut. KPK memandang telah memberikan ruang yang cukup bagi Imam untuk memberikan keterangan dan klariflkasi pada tahap penyelidikan. Kader PKB, Santri NU Imam memang baru tersangka. Semoga saja dia tidak korup. Korupsi itu perbuatan yang kejam. Ah, mana mungkinlah Imam berbuat begitu. Dia kan kader PKB. Dia kan santri NU. Nama dengan titel lengkap Imam adakah Dr. H. Imam Nahrawi, S.Ag., M.KP. Pria ini sebelumnya adalah Sekretaris Jenderal DPP PKB. Saat mahasiswa, lelaki kelahiran Bangkalan, 8 Juli 1973, ini aktif sebagai bagian dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Tapi, bagaimana jika Imam benar melakukan itu. Jika benar begitu, maka publik bisa mengambil pelajaran bahwa telur dalam satu eraman memang tak selalu menetas semua. Ada kalanya, sebagian telur menjadi telur busuk. Lagi pula, Imam tidak sendiri. Penetapan tersangka atas diri Imam oleh KPK ini hanya menambah daftar kader NU yang kena jeratan KPK saja. Sebelumnya, Muhammad Romahurmuziy atau Romy terkena OTT KPK. Eks Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mulai disidangkan dalam kasus jual beli jabatan. Kita tahu, siapa Romy. Dia adalah kader NU tulen. Dia putra Prof. Dr. K.H. M. Tochah Mansoer, Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga, pendiri sekaligus ketua pertama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU). Ia juga cicit pendiri NU Abdul Wahab Hasbullah. Kini, banyak pihak berharap, Iman dan Romy menjadi yang terakhir bagi kader NU yang berurusan dengan KPK. Sayangnya, publik sudah menerka, Lukman Hakim Saifuddin bisa-bisa menyusul. Menteri Agama ini adalah kader NU. Pada tahun 1988-1999 ia berkiprah di Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) NU sebagai Wakil Sekretaris. Sama dengan Romy, Lukman terbelit dalam kasus jual beli jabatan. Keterlibatan Lukman terekspos setelah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Timur, Haris Hasanudin, didakwa oleh KPK telah menyuap Romy dan Lukman untuk memuluskan dirinya menduduki jabatan sebagai kepala kantor wilayah. Haris mengaku dirinya memberi Lukman Rp10 juta pada 9 Maret 2019 di Jombang. Tatkala KPK menggeledah ruang kantor Lukman, penyidik menemukan uang Rp180 juta dan US$30 ribu. Selanjutnya penyidik menyita uang US$30 ribu di laci ruang kerja Menag itu. Jika dirupiahkan, maka duit sebanyak itu bernilai sekitar Rp423 juta. Jadi, total duit berupa dolar dan rupiah itu menjadi sekitar Rp603 juta. FC Awalnya, tidak jelas duit dari mana yang tersimpan di laci itu. Dari pengakuan Lukman, uang itu adalah akumulasi dari dana operasional menteri yang diperolehnya. Baik itu dari honorarium yang diterima dari berbagai kegiatan seperti ceramah dan pembinaan, dan urusan lain di dalam dan luar kementerian agama. Sebagian dari uang itu juga menurutnya adalah dana sisa perjalanan baik ke luar atau pun dalam negeri. Soal duit US$30 ribu, asal-usulnya baru terungkap pada Rabu, 26 Juni 2019. Kala itu, Lukman dihadirkan dalam persidangan sebagai saksi terdakwa Kepala Kanwil Kemenag Jawa Timur, Haris Hasanuddin. Lukman menyebut uang US$30 ribu tersebut pemberian Atase Agama Arab Saudi, Syekh Ibrahim, terkait kegiatan MTQ Internasional yang digelar di Indonesia. "Itu dari keluarga Amir Sultan, karena rutin keluarga Raja mengadakan MTQ Internasional Indonesia," jelasnya. Duit itu diberikan di ruang kerja Menag pada Desember 2018. Sungguh sangat disayangkan karier politik kader-kader muda NU ini diwarnai tragedi yang jelas memalukan. NU adalah ormas Islam yang amat keras melawan korupsi. NU memandang korupsi adalah kejahatan berat. Hukum bagi koruptor, menurut NU, adalah potong tangan sampai hukuman mati. Fatwa ini dikeluarkan dalam Mubes NU pada 2012. "Kami tetap meminta praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan," pinta Sekretaris Jendral PKB, M Hasanuddin Wahid, Rabu (18/9) terkait status tersangka Imam Nahrawi. Ya, semoga saja Imam tak bersalah. Itulah yang mestinya ia buktikan. Sudah sepantasnya NU atau PKB melakukan pembelaan pada kadernya. Lagi pula, KPK bukanlah malaikat yang selalu benar. Atas dasar itu, tidak semua telur yang berada di ujung tanduk KPK adalah telur busuk. Penulis adalah Wartawan Senior

Jokowi Masuk Perangkap Revisi UU KPK

Mungkinkah PDIP sengaja menjerumuskan Jokowi lewat usul revisi UU KPK? Bisa iya, bisa tidak. Bisa iya, karena ada indikasi keluarga besar PDIP mulai tidak nyaman dengan sepak-terjang Jokowi. Bisa tidak, karena tak mungkin rasanya Bu Megawati sengaja menyulitkan posisi politik Jokowi. By Asyari Usman Tim inti Jokowi kecolongan. Revisi UU KPK kini menjerumuskan dia. Sekarang, pendukung Jokowi sendiri terbelah. Sebagian menentang keras revisi itu. Sebagian lain masih tetap setia membela Jokowi. Untuk yang membela mati-matian, tentu bisa dipahami semua orang mengapa mereka bersikap begitu. Tetapi, reaksi publik secara umum membuat posisi Jokowi menjadi labil. Terutama, rangkaian unjukrasa yang dilancarkan oleh kalangan mahasiswa di Jakarta dan juga di kota-kota besar lain di Indonesia. Kalau aksi jalanan ini membola salju, bisa jadi efeknya akan semakin jauh ke jantung kekuasaan. Sangat mengherakan mengapa tim penasihat inti Jokowi bisa terjebak menyetujui revisi UU KPK nomor 30 Tahun 2002. Seharusnya mereka paham betul bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah lembaga yang didukung kuat oleh semua orang dari segala kubu dan latarbelakang. Semestinya, tim penasihat Jokowi tahu bahwa korupsi adalah musuh bersama rakyat. Lintas partai, lintas agama, lintas ideologi. Di kubu Jokowi, hanya para buzzer beliau saja yang mendukung revisi. Seharusnya, Jokowi tidak menyentuh KPK. Badan ini mengakar di hati rakyat. Rakyat yang cendekiawan atau rakyat biasa. Gebrakan-gebrakan KPK selama ini sangat ‘menghibur’ bagi rakyat. Para anggota DPR boleh tak suka kepada KPK. Tapi, begitu lembaga ini dilihat sedang dikeroyok, rakyat pasti akan bereaksi. Publik sangat sederhana melihat KPK. Yang mau melemahkan KPK, mereka anggap prokorupsi. Baik itu presiden maupun DPR atau pihak lain yang memusuhi KPK. Realitas ini yang kelihatannya lepas dari kalkulasi Jokowi dan juga DPR. Publik tidak perduli soal kemacetan beberapa kasus besar di KPK. Bagi mereka, ketika DPR mengusulkan revisi UU KPK dan Presiden Jokowi menyetujuinya, itu berarti DPR dan Jokowi tidak lagi antikorupsi. Anggapan ini sangat berbahaya. Terutama bagi Presiden. Sekarang ada pertanyaan: apakah Jokowi sengaja dijebak oleh DPR atau kedua pihak itu sama-sama anggap enteng terhadap kemungkinan reaksi keras dari publik? Yang paling getol dengan revisi ini adalah PDIP. Merekalah yang memotori gagasan revisi. Suara mereka paling besar. Apalagi banyak dukungan dari fraksi-fraksi lain, khususnya blok politik yang besar-besar yang sekubu dengan Jokowi. Mungkinkah PDIP sengaja menjerumuskan Jokowi lewat usul revisi UU KPK? Bisa iya, bisa tidak. Bisa iya, karena ada indikasi keluarga besar PDIP mulai tidak nyaman dengan sepak-terjang Jokowi. Bisa tidak, karena tak mungkin rasanya Bu Megawati sengaja menyulitkan posisi politik Jokowi. Barangkali Jokowi pribadi tak memahami atau tidak memperkirakan kemungkinan reaksi ‘hostile’ (bermusuhan) dari publik. Yang cukup mencemaskan adalah reaksi yang ditunjukkan oleh beberapa media besar yang selama ini mendukung Jokowi. TEMPO, sebagai contoh, mengambil posisi konfrontatif dengan Jokowi terkait revisi UU KPK yang dihakimi sebagai upaya untuk melemahkan lembaga favorit rakyat itu. Begitu juga grup Kompas. Koran ini terang-terangan memperlihatkan keberatannya terhadap pengeroyokan KPK. Tapi, adakah kemungkinan posisi Jokowi terancam serius? Kalau demo mahasiswa berkembang besar, maka bisa saja situasi menjadi tak terkendali. Ancaman itu sangat mungkin menjadi serius. Polisi pasti bisa mengambil tindakan represif. Tapi, represif terhadap mahasiswa berbeda dengan represif terhadap aksi-aksi umat Islam. Represif terhadap umat Islam selalu dimenangkan oleh polisi. Sebab, para ulama atau ustad yang memimpim aksi unjukrasa selalu bisa “dijinakkan”. Kalau pimpinan mahasiswa belum tentu bisa ditundukkan tanpa kontrareaksi dari anak-anak mahasiswa itu. Yang merepotkan polisi, mungkin, adalah bila semangat demo mahasiswa semakin tinggi. Kalau polisi represif, situasi bisa menjadi tak terduga. Bisa unpredictable. Sebab, kalau para mahasiswa merasa pihak keamanan bertindak berlebihan, konfrontasi bisa naik ke level berikutnya. Bisa sangat serius! Sekarang ini, tudingan publik terhadap Jokowi adalah bahwa dia berubah menjadi prokorupsi dengan menyetujui revisi UU KPK. Ini opini publik yang sangat kuat. Komitmen Jokowi untuk memberantas korupsi menjadi cacat di mata rakyat. Hebat orang-orang yang telah berhasil menggiring Jokowi masuk ke perangkap revisi UU KPK. Perangkap ini berkemungkinan membawa Jokowi ke cuaca ekstrem dengan turbulensi kategori fatal. Penulis adalah Wartawan Senior

Polemik KPK Berpotensi Goyang Jokowi!

Komitmen pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi sudah tidak dapat dipercaya lagi. Mosi tidak percaya juga diberikan kepada DPR Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Istilah “Polisi Taliban” yang ada di KPK sebenarnya sudah ada semasa Muhammad Busyro Muqoddas menjadi Ketua KPK (2010-2011). Istilah Taliban melekat pada kelompok tersebut karena dikenal militan dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, mereka rela meninggalkan keanggotaan Polri-nya agar bisa menjadi penyidik tetap KPK. “Mimpi mereka menjadi jenderal dicopot untuk menjadi pengabdi KPK dan mereka semua militan makanya saat saya masuk sudah ada istilah Taliban,” ujar Busyro. “Saya juga heran kenapa istilahnya Taliban, tapi mereka menjelaskan ini tak ada konotasinya dengan agama tapi Taliban itu menggambarkan betapa militansinya Penyidik di KPK,” lanjut Busyro, Sabtu (14/9/2019). Anggota dari kelompok Taliban ini, juga mempunyai latar belakang keagamaan yang berbeda diantaranya Kristen, Hindu, dan Islam. Kini istilah Taliban itu kemudian dipolitisasi yang ada indikasi perintahnya berasal dari Istana dan dikembangkan Pansel KPK. Busyo menilai, Tim Pansel KPK yang dibentuk Presiden Joko Widodo, seperti kehilangan akal saat melakukan seleksi pada tahapan psikotes. Baru kali ini pansel itu seperti kurang kerjaan, tak mempunyai konsep padahal ada tiga guru besar. “Masa, psikotesnya menggunakan isu-isu radikalisme, pertanyaannya itu seperti anak SMP,” ungkap Busyro. Serangan terhadap KPK dilakukan dari berbagai sudut dan cara. Setelah DPR secara aklamasi memilih tokoh yang dinilai melanggar kode etik sebagai Ketua KPK, kini muncul tudingan KPK dikuasai kelompok Taliban. Kelompok Taliban di KPK adalah stigmatisasi terhadap penyidik KPK yang tanpa pandang bulu melakukan penegakan hukum, melakukan OTT, dan memproses sejumlah pejabat korup. Penyebutan istilah kelompok Taliban dinilai sejumlah kalangan sebagai upaya pelemahan terhadap KPK. Guru Besar LIPI Prof. Syamsuddin Haris dan kawan-kawannya selama 3 tahun melakukan penelitian di KPK. Hasilnya, ditegaskan bahwa tidak ada kelompok Taliban di KPK. “Saya dan beberapa teman sdh lbh dari 3 thn terakhir melakukan kerjasama riset dgn rekan2 di @KPK_RI. Tdk ada Taliban,” ujar Syamsuddin Harin. Sebutan ada kelompok Taliban di KPK atau istilah Polisi Taliban Vs Polisi India itu adalah upaya dari insitusi lain di Indonesia untuk melemahkan KPK sehingga mereka kemudian bisa menguasai KPK. “Itu adalah isapan jempol belaka utk membenarkan saudara tua (baca: polisi) masuk dan meng-obok2 KPK,” tegasnya, Sabtu (14/9/2019). Syamsuddin Haris termasuk guru besar yang secara konsisten dan keras mengkritik upaya pelemahan KPK. Ia juga mengingatkan Presiden Jokowi untuk menyelamatkan KPK, terutama terkait revisi UU KPK. Menurut Syamsuddin Haris, DPR sekarang bukan akan merevisi UU KPK, tetapi membentuk UU KPK baru yang menjadi macan ompong. Goyang Jokowi Berikut cuitan Syamsuddin Haris terkait KPK. @sy_haris Sep 11: Saya sdh baca. Ini bukan revisi tapi pembentukan UU baru krn hampir semua pasal diubah. KPK format lama dibubarkan dan dibentuk KPK baru yg macan ompong. Cc: @PDI_Perjuangan @Gerindra @Golkar5 @NasDem @DPP_PKB @PDemokrat @PKSejahtera @Fraksi_PAN @DPP_PPP @sy_haris Sep 13: Lengkap sdh skenario pelumpuhan @KPK_RI. Pak @jokowi mbiarkan capim yg diduga cacat integritas lolos ke DPR, bahkan kemudian dipilih sbg Ketua KPK. Pada saat bersamaan Presiden setuju mbahas usul revisi UU KPK dari DPR. Mereka lupa, di atas Presiden & DPR ada rakyat yg berdaulat. @sy_haris· Sep 13: Ketika aspirasi dan hati nurani publik (tentang pentingnya integritas komisioner serta independensi lembaga antikorupsi) ternyata sekadar menjadi alas kaki kekuasaan. Hidup para oligark, hidup koruptor. @sy_haris 23h: Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2018 berada di angka 38, meningkat satu poin dibanding 2017, atau diperingkat 89 dari 180 negara. Itu artinya, kita butuh @KPK_RI yg kuat, independen & bebas dari intervensi lembaga lain. Apa jadinya jika KPK lumpuh? Dan, Revisi UU KPK akhirnya telah ditetapkan DPR. Tapi, suara penolakan atas penetapan itu terus dilakukan publik. Salah satu diantaranya adalah pengamat politik Rocky Gerung. Ia menyebut, orkestra pelemahan KPK sejatinya dipimpin oleh Presiden Jokowi. “Karena presiden memimpin sendiri pelemahan KPK, melalui DPR seolah- olah itu legal," kata Rocky Gerung di sela-sela kuliah umum di Universitas Bosowa, Makassar, seperti dilansir Teropongsenayan.com, Selasa (17/9/2019). Rocky menyebut, revisi UU KPK di DPR ibarat sebuah pertunjukan orkestrasi yang dipimpin langsung oleh Jokowi. “Jadi dari awal memang direkayasa disuruh cepat-cepat supaya isunya mengendap karena akan ada isu baru lagi, soal kebakaran hutan dan segala macam,” ujarnya. “Tapi publik akan mengingat itu (semua) sebagai pengerdilan hak demokrasi itu, pengerdilan kemampuan KPK untuk membersihkan negeri ini dan ini akan masih berlanjut dan masyrakat sipil tidak akan terima,” imbuh Rocky. Menurut Rocky, seharusnya presiden melibatkan publik untuk menampung masukan terkait revisi UU KPK. “Mustinya Presiden tanya publik bukan tanya DPR. KPK itu kayak Irian sih musti referendum,” ujarnya. Sikap keras atas sikap Presiden Jokowi juga datang dari mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD), Bandung. Konsolidasi Mahasiswa Unpad (KMU) memberikan mosi tidak percaya pada Pemerintahan Presdien Jokowi. Mereka menilai, komitmen pemerintahan Jokowi dalam memberantas korupsi sudah tidak dapat dipercaya lagi. Mosi tidak percaya juga diberikan kepada DPR yang dinilai telah berkerjasama dengan Jokowi untuk melemahkan KPK melalui revisi UU KPK. Konsolidasi Mahasiswa Unpad menggarisbawahi 4 poin krusial usulan DPR dan disetujui Presiden Jokowi, yakni keinginan membentuk Dewan Pengawas KPK, aturan penyadapan, kewenangan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), dan status pegawai KPK. Jadi, “(Ini) bukan lagi bentuk upaya pelemahan terhadap KPK, melainkan sudah pada tahap merampas entitas yang dimiliki KPK sebagai komisi independen pemberantas korupsi,” tulis pernyataan yang diotentifikasi dua pentolan KMU, Bigwantsa dan Luthfi. “Kami sebagai mahasiswa tidak mempercayai komitmen pemerintahan Joko Widodo beserta anggota DPR RI dalam memberantas korupsi apabila revisi UU KPK terus dilanjutkan,” tulis statement KMU itu. Tuntutan serupa juga datang dari Mahasiswa Riau yang berhasil “menduduki” DPRD Riau. Mereka menuntut Jokowi mundur dari kedudukannya sebagai Presiden. Termasuk gerakan Mahasiswa Makassar. Suara keresahan juga menggema dari Balairung Universitas Gajah Mada, Jogjakarta. Ketua Dewan Guru Besar UGM Prof. Koentjoro menilai revisi UU KPK akan mengebiri lembaga antirasuah itu. Para dosen, mahasiswa, hingga karyawan kampus itu berkumpul bersama kompak mengenakan pakaian berwarna hitam. “Upaya sistematis pelemahan KPK dan gerakan antikorupsi yang agresif dan begitu brutal dalam beberapa pekan terakhir ini sungguh melecehkan moralitas bangsa kita,” tegas Prof. Koentjoro saat membaca deklarasi UGM tolak pelemahan KPK di Balairung, Gedung Pusat UGM. Fenomena menarik dari mahasiswa yang mulai bergerak di Makassar atau Bandung. Meski sebagai riak kecil. Dan gerakan besar di Riau. Jika gerakan mahasiswa seperti di Pekanbaru Riau ini berefek domino, maka bisa menggoyang porisi Presiden Jokowi. Dalam satu bulan ke depan, bisa saja ada gelombang yang memusat di DPR/MPR RI Jakarta. Artinya, ada tekanan politik penolakan Joko Widodo – Ma’ruf Amin untuk dilantik semakin menguat. Aksi mahasiswa biasanya menjadi magnet bagi gumpalan lain. M. Rizal Fadillah menulis, dosa politik pemerintahan Jokowi sudah terlalu banyak. Dari dosa kecil hingga besar. Contoh dosa kecil: membagi dan melempar amplop uang dari mobil, jadi imam tanpa kapasitas, doyan impor, atau di lokasi bencana “empati” dengan swafoto. Lalu dosa menengah seperti main-main “divestasi 51 %” Freeport, mobil “Nasional-China” Esemka, banjir TK Cina, atau rencana pindah Ibukota tanpa persetujuan rakyat. Yang dosa besar, seperti “pembiaran” 700 petugas pemilu tewas, kecurangan pemilu, dwifungsi Polisi, poros Beijing, serta “pembunuhan” KPK. Sehingga, wajar jika muncul tuntutan untuk menyudahi amanat rakyat. Menteri-menteri yang dipilihnya selama masa jabatan banyak yang “belepotan”, baik pernyataan maupun kebijakan. Rezimnya tidak berprestasi, bahkan sebaliknya membuat rakyat hampir frustrasi. Terlalu berat bagi Jokowi mengemban amanat sebagai Presiden. Lebih baik pensiun. Itu lebih membahagiakan diri, keluarga, dan tentu saja rakyat. Moga. Begitu catatan Pemerhati Politik dari Bandung itu, 19 September 2019. Apalagi, dengan banyaknya anggota Parpol Koalisi Jokowi yang menjadi pesakitan KPK. Ini bisa memicu penarikan dukungan kepada Jokowi yang dianggap “tidak bisa” melindunginya. Seperti Menpora Imam Nachrowi yang ditetapkan KPK sebagai tersangka. Dengan bahasa ekstrim: Jokowi Khianati Parpol Koalisi!

Firli Bahuri Ketua KPK, "Titipan" Siapa?!

Jika melihat jejak kariernya itu, tentu tidak salah kalau Firli disebut-sebut sebagai “orangnya” SBY yang sengaja dipasang di KPK. Atau “orangnya” BG/PDIP dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang telah membebaskannya dari pelanggaran kode etik KPK. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Seperti halnya Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, Irjen Polisi Firli Bahuri adalah “orangnya” Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Tak hanya Ruki dan Firli. Konon, Agus Rahardjo termasuk “orangnya” SBY juga. Empat orang lainnya, selain Laode Muhammad Syarif yang “orangnya” Wapres Jusuf Kalla, “orangnya” SBY Cs. Jadi, jika pada 2018 dan 2019 ini tak ada kader Demokrat yang diciduk KPK, karena ada orangnya SBY yang bercokol di dalam KPK. Pengkhianatan SBY Cs pada PDIP melalui hasil capim KPK jilid IV yang terpilih pada 17 Desember 2015 lalu, tak ada seorang pun “titipan” PDIP. Tinggal Aris Budiman, Dirdik KPK, yang satu-satunya tangan Budi Gunawan/PDIP di KPK. Tapi, AB yang sudah out dari KPK itu, tak berkutik untuk bisa menghalangi tokoh-tokoh PDIP yang menjadi target OTT KPK dan penunggangan kasus BLBI untuk ancam Megawati Soekarnoputri jadi tersangka jika PDIP menolak usung Joko Widodo sebagai Capres Petahana 2019. Apakah terpilihnya Irjen Firli Bahuri yang kini masih menjabat Kapolda Sumatera Selatan ini hasil rekonsiliasi antara SBY Cs dengan BG/PDIP? Sehingga, nantinya Firli bisa “menjamin” untuk tidak mengusik politisi dari Parpol Koalisi Jokowi? Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, Irjen Polisi Purnawirawan, politikus, anggota DPR. Lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1971 ini terpilih jadi Ketua KPK, 16 Desember 2003 hingga digantikan oleh Antasari Azhar pada 2007. Jika melihat jejak digital terkait pimpinan KPK, tentu saja terpilihnya Irjen Firli Bahuri tidak menyalahi aturan hanya karena dia seorang anggota Polri. Apalagi, sejarah KPK mencatat, pernah pula dipimpin seorang yang berlatar anggota Polri. Terakhir, saat KPK dipimpin Agus Rahardjo pun ada seorang anggota Polri bernama Basaria Panjaitan. Pertanyaannya, mengapa ketika Irjen Firli Bahuri yang dipilih Komisi III DPR RI sebagai Ketua Terpilih KPK 2019-2023 dipersoalkan? Firli Bahuri terpilih bersama Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintouli Siregar. Kecuali Alex, yang petahana komisioner KPK, yang lainnya terbilang “wajah baru”. Belum terungkap mereka ini titipan siapa. Mengapa Ditolak? Terpilihnya Irjen Firli Bahuri bukan hanya direaksi oleh eksternal KPK. Dalam internal KPK juga terjadi penolakan, terutama dari Wadah Pegawai KPK. Pasalnya, saat Firli menjadi Direktur Penyidikan, dia melanggar kode etik sebagai Pegawai KPK. Adalah Abdullah Hehamahua, penasehat KPK yang cukup keras menyikapi terpilihnya Irjen Firli Bahuri sebagai Ketua KPK. Saat diketahui Firli telah melanggar kode etik, pimpinan KPK lebih setuju mengembalikan Firli ke Polri daripada diproses. Dari 5 pimpinan KPK, 3 setuju dikembalikan, makanya tak ada pemrosesan lebih lanjut. Tujuannya untuk menjaga hubungan baik dengan coklat (Polri), ternyata malah nyapim. “Tragis, rasanya saya mau ganti warga negara saja,” tulis Hehamahua. “Tahun lalu saya diundang Pengawas Internal (IP) KPK sebagai ahli untuk dimintai keterangan atas dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Firli. Saya diperlihatkan video dan foto-foto Firli berhubungan dengan orang yang sedang diperiksa KPK,” ujarnya. “Atas pemeriksaan dan rekomendasi PI, Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) menyidangkan Firli dan dijatuhi sanksi atas pelanggaran berat sehingga seharusnya dipecat (sesuai SOP di KPK),” ungkap Hehamahua. Kesalahannya tiga: berhubungan dengan tersangka/calon tersangka, menerima gratifikasi, dan memainkan kasus di KPK. “Berdasarkan pelanggaran yang dilakukan, seharusnya Firli tidak hanya dijatuhi sanksi etik tapi juga sanksi pidana,” tegasnya. Sebelum putusan DPP dieksekusi pimpinan, Firli ditarik instansinya, bahkan dipromosikan menjadi Kapolda Sumsel. “Jadi kalau ada yang membela Firli, maka saya melepaskan diri dari mereka ketika pertanggungjawaban di akhirat nanti,” lanjutnya. “Bila perlu saya dikeluarkan dari grup ini. Tapi ada kelucuan lain dari Pansel dan Komisi 3 yakni diantara komisioner yang dipilih itu, ada salah seorang yang beberapa tahun lalu tidak lulus seleksi pegawai KPK tapi lulus jadi komisioner,” ujar Hehamahua. “Memang dunia sudah mau kiamat,” tutur Hehamahua yang tulisannya beredar di berbagai grup WA ini. Dan, perlawanan atas terpilihnya Firli dilakukan secara terbuka sebelum ke-5 pimpinan KPK mengembalikan mandatnya ke Presiden Joko Widodo. Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan fakta terkait data penanganan kasus di lembaga antirasuwah itu. Pernyataan itu disampaikan Agus di tengah gelombang penolakan terhadap revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ia mengungkap, lebih dari seribu perkara korupsi sudah ditangani. “Tapi ini bukan hanya soal jumlah orang yang ditangkap dan diproses hingga divonis bersalah melalukan korupsi saja. Jabatan pelaku korupsinya juga terbaca jelas,” kata Agus, Jumat (6/9/2019). Pelaku pejabat publik terbanyak adalah anggota DPR dan DPRD, yaitu dalam 255 perkara. Kemudian kepala daerah berjumlah 110 perkara. Mereka diproses dalam kasus korupsi dan ada juga yang dijerat pencucian uang. Ini baru data sampai Juni 2019. “Setelah itu, sejumlah politisi kembali diproses,” ujarnya, seperti dilansir Detik.com. Dengan UU KPK yang saat ini berlaku, Agus menganggap kinerja KPK tak pandang bulu. Bila revisi UU KPK mulus terjadi di DPR, Agus menyebut ada pasal-pasal yang bisa mematikan kinerja KPK selama ini. “Selama upaya pemberantasan korupsi dilakukan di Indonesia, mungkin tidak akan pernah terbayangkan ratusan wakil rakyat dan kepala daerah tersentuh hukum. Adagium hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke atas sering sekali kita dengar,” ujar Agus. Tapi, dengan dukungan publik yang kuat, KPK berupaya untuk terus menjalankan tugasnya. Selain anggota DPR, DPRD, kepala daerah, ada 27 menteri dan kepala lembaga yang dijerat, dan 208 perkara yang menjerat pejabat tinggi di instansi, yaitu setingkat eselon I, II, dan III. “Tercatat, Ketua DPR RI dan Ketua DPD aktif dan sejumlah menteri aktif yang melakukan korupsi juga ikut diproses,” ungkap Agus. Menurut Agus, angka-angka di atas tentu bukan sekadar hitungan numerik orang-orang yang pada akhirnya menjadi tersangka hingga bisa disebut koruptor. Kasus-kasus ini, lanjut Agus, tentu juga terkait ratusan proyek pemerintah dan perizinan. “Proyek dengan nilai hingga ratusan miliar itu, atau bahkan, triliunan rupiah dipotong untuk kepentingan sejumlah pejabat yang mereka sebut commitment fee,” ungkap Agus lagi. Padahal seharusnya uang rakyat Indonesia yang menjadi sumber utama anggaran, harus dapat dinikmati secara penuh oleh masyarakat. “Niat baik pemerintah untuk membangun negeri ini diselewengkan para pelaku korupsi,” lanjut Agus. Pernyataan Agus muncul tak lama usai ratusan pegawai KPK menggelar aksi menolak revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di lobi gedung KPK, Jumat (6/9/2019). Turut hadir antara lain Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Dalam kesempatan itu, Saut mengatakan, lima pimpinan KPK telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi terkait revisi UU KPK. “Mudah-mudahan untuk dibaca, untuk direnungkan, kemudian mengambil kebijakan,” katanya. Sebelumnya, sebanyak 10 fraksi dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (5/9/2019), sepakat revisi UU KPK menjadi inisiatif DPR. Keputusan itu tak ayal menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, tidak terkecuali di kalangan pimpinan KPK. Firli Bahuri lahir di Prabumulih, Sumatera Selatan, 7 November 1963. Dia menjadi anggota Polri sebagai lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) pada 1990. Firli kemudian masuk di PTIK pada 1997. Pada 2001, dia menjabat Kapolres Persiapan Lampung Timur. Pada 2004, Firli kemudian menempuh Sekolah Pimpinan Menengah (Sespimen). Kariernya berlanjut dengan ditarik ke Polda Metro Jaya menjadi Kasat III Ditreskrimum, 2005-2006. Selanjutnya dua kali berturut-turut menjadi Kapolres, yakni Kapolres Kebumen dan Kapolres Brebes pada 2008 saat pangkatnya masih AKBP. Kariernya semakin moncer ketika ditarik ke Ibukota menjadi Wakapolres Metro Jakarta Pusat pada 2009 lalu. Kepercayaan terus mengalir pada Firli. Dia didapuk menjadi ajudan Presiden SBY pada 2010. Keluar dari Istana, Firli lantas memegang jabatan Direskrimsus Polda Jateng pada 2011. Firli kembali ke Istana dan kali ini menjadi ajudan Wapres RI Boediono pada 2012. Dia kemudian menjabat Wakapolda Banten pada 2014 dengan pangkat Kombes. Firli juga sempat mendapat promosi Brigjen saat dimutasi jadi Karo Dalops Sops Polri pada 2016. Puncak kariernya di Polri diraih setelah “dikembalikan” dari KPK ke Mabes Polri dan dipromosikan sebagai Kapolra Sumsel. Jika melihat jejak kariernya itu, tentu tidak salah kalau Firli disebut-sebut sebagai “orangnya” SBY yang sengaja dipasang di KPK. Atau “orangnya” BG/PDIP dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang telah membebaskannya dari pelanggaran kode etik KPK.