POLITIK
Mengintai 24 Jam, Musuh Gubernur Anies Seperti Piranha Lapar
Oleh Asyari Usman Jakarta, FNN - Mereka berlomba-lomba mau menjadi pahlawan untuk menjatuhkan Gubernur Anies Baswedan. Kali ini, amunisinya adalah soal anggaran untuk membeli lem Aibon sebesar 82 miliar dan pena ballpoint sebesar 124 miliar. Jumlahnya memang tak masuk akal. In kesalahan besar. Semua sepakat. Tetapi, harap diingat, jumlah ini baru pada tahap pengajuan. Pengajuannya pun asal-asalan saja. Kepala SKPD (satuan kerja perangkat daerah) yang tidak cermat. Bisa jadi juga malas. Bahkan, mungkin saja ada yang sedang menjalankan misi untuk menjelekkan Anies. Tapi, anggaplah ini kekeliruan Anies. Tidak masalah. Akan menjadi pelajaran bagi Gubernur santun ini ke depannya. Agar tidak lagi percaya 100 persen kepada staf yang memasukkan angka-angka anggaran ke dalam sistem e-budgeting. Yang harus diingat tiap saat oleh Anies adalah bahwa dia diincar 24 jam oleh orang-orang yang tidak suka padanya. Para musuh politik Anies menunggu kesalahan itu bagaikan ikan piranha yang sedang lapar. Begitu ada aroma yang mirip bau darah, ikan-ikan piranha itu langsung meluncur secepat kilat ke TKP. Memang mengerikan. Inilah yang harus diwaspadai oleh Gubernur Anies. Dia harus awas 24 jam juga, sebagaimana para musuh mengincar 24 jam. Khusus soal anggaran belanja, persoalannya sangat sensitif. Pasti menjadi fokus intipan musuh-musuh politik yang ingin sekali melihat Anies diserang dari segala arah. Sekali lagi, mereka itu mengintai 24 jam. Anies harus semakin hati-hati lagi. Dan ini tentunya bagus sekali. Alhamdulillah, Gubernur Anies sangat sigap. Dia mengumpulkan stafnya untuk membicarakan keanehan anggarapan lem Aibon dan ballpoint itu pada 23 Oktober. Jauh sebelum para musuh politiknya menggelar jumpa pers PSI yang kental untuk cari panggung. Rapat yang dipimpin Anies untuk membicarakan keanehan mata anggaran itu baru diunggah ke kanal YouTube pemprov pada 29 Oktober. Seperti dijelaskan oleh Gubernur, dia tidak mau mengumumkan itu kepada publik. Apalagi sambil menunjukkan kemarahan di depan kamera. Atau sambil memaki-maki staf yang didapati bersalah. Anies cukup mengatakan bahwa mereka yang tak berniat kerja dengan profesional akan dikeluarkan dari barisan. Tidak harus membentak-bentak. Tidak harus tunjuk-tunjuk pertanda jagoan, dlsb. Jadi, ke depan nanti Bung Anies hendaklah ekstra hati-hati. Tak salah kalau diturunkan staf yang khusus bertugas untuk mengawasi angka-angka yang dimasukkan ke sistem e-budgeting. Percayalah, ada orang yang terus-menerus mengincar kesalahan Gubernur Anies. Anda tidak perlu merasa terganggu oleh insiden lem Aibon dan ballpoint itu. Bukan Anda yang membuat kesalahan itu, kok. Semua orang paham. Itu hanya ulah gerombolan piranha yang sedang lapar. 31 Oktober 2019 Penulis Adalah Wartawan Senior
Jokowi Apakan Itu Partai-Partai Non DPR dan NU?
Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Urusan apa dan dengan siapa? Urusan dengan partai politik tertentu, dan Nahdatul Ulama (NU). Mereka tak diperlakukan sama dengan partai-partai lain. Sampai sejauh ini tanpa ada penjelasan dari Pak Jokowi. Entah kenapa demikian? Apakah hanya karena mereka tidak memiliki kursi di DPR, atau ada hal lainnya? Juga tidak jelas. Serba gelap. Kenapa mereka tak diangkat menjadi menteri atau diberikan jabatan lain? Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, jumlah kementerian memang terbatas. Tetapi kenapa juga tidak menggunakan keterbatasan tersebut untuk memprioritaskan mereka? Kenapa hanya memprioritaskan yang lain? Lalu juga dengan mereka yang tidak berpartai? Tak ada penjelasan yang selayaknya dari Pak Jokowi. Telah Bekerja Dilihat dari sudut pandang hukum, cara pembentukan kabinet dalam sistem presidensial, memang berbeda dengan parlementer. Sistem presidensial menyerahkan kewenangan pembentukan kabinet sepenuhnya pada presiden secara personal. Partai tidak diikutkan dalam urusan yang satu ini. Beda betul dengan sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, ini partai-partai, tentu saja yang memiliki kursi di DPR, yang sedari awal berkoalisi dengan Pak Jokowi, ikut membicarakan masalah menteri di kabinet. Dalam makna partai ikut menentukan formasi kabinetnya Pak Jokowi. Tetapi soalnya tidak disitu. Ini bukan soal hukum. Ini persoalan politik. Penentuan mengenai siapa, dan dapat apa, itu adalah soal politik, dan bukan hukum. Mengapa sebagian partai, bukan hanya diikutkan, tetapi dijatahi jabatan. Sementara sebagian partai yang lain tidak dijatahi jabatan? Toh dalam kenyataannya, mereka telah menjadi lebih dari Jokowi dan Kiyai M’ruf. Sepanjang jalan dalam pelaksanaan kampanye yang bergelombang dan berat, mereka telah memperlihatkan kesungguhannya untuk memenangkan Jokowi dan Ma’ruf Amin. Lagi-lagi, ini bukan masalah hukum. Namun ini sepenuhnya masalah politik. Merekalah yang menyukseskan Pak Jokowi menjadi presiden. Pada merekalah Presiden berhutang. Hutangnya pasti sangat tak bisa diperhitungkan. Mereka telah bersekutu, setidaknya menjadi pendukung non ideologis Pak Jokowi dengan segala emosinya. Mereka bukan sekutu asal-asalan. Mereka sekutu yang paling top. Apalagi sayap NU. Politik memang dunianya tersendiri. Dunia yang bisa saja sangat kejam. Dunia ini, seperti Churchil, pria yang pernah menjadi PM Ingris pada perang dunia kedua dulu. Pria yang sangat bergairah menghadapi tantangan. Terkadang mengabaikan yang detail. Churchil juga mudah mengubah kebijakan lukiskan sebagai dunia yang membuat seseorang bisa mati berkali-kali. Disitulah bedanya dengan perang, katanya. Dalam perang orang hanya mati sekali. Sementara dalam politik, bisa mati berkali-kali. Itukah yang sedang dipaksa untuk dialami partai-partai ini dan NU? Diabaikan setelah bekerja, tanpa adanya penjelasan? Padahal mereka adalah fungsionaris-fungsionaris utama partai-partai yang berkelas lebih dari kubu pendukung Pak Jokowi. Orang-orang ini terlihat jelas dalam semua hal. Mereka telah tampil paling depan untuk berbicara dalam banyak tingkatan isu aktual. Mereka juga arif dalam banyak hal. Apakah mungkin karena mereka arif itulah, sehingga menjauhkan mereka dari hasrat menjadi lawan untuk Pak Jokowi sepagi ini? Kearifan mereka, mungkn dapat diharapkan tidak membuat mereka mempertalikan politik dengan harga diri. Ketika politik dan harga diri dipertalikan. Atau politik dilihat sebagai permainan yang melibatkan harga diri, emosi dan fanatisme, maka goresan kecil sekalipun terhadap mereka, sama dengan memanggil badai datang secepat kilat. Begitulah yang tersirat dari kata-kata bijak,” satu lawan menjadi terlalu banyak dari seribu kawan”. Rumit Memang Partai-partai ini dan NU pasti tidak meminta jabatan apapun, dalam pemerintahan Pak Jokowi. Saya sangat yakin itu. Itu dapat dipastikan. Toh dulu, hampir setiap saat mereka secara terbuka mengatakan memberikan bahwa dukungan yang mereka berikan kepada Pak Jokowi tanpa syarat. Apalagi harus memegang jabatan ini atau itu. Mereka, saya menduga, juga tidak sedang menyuruh dengan cara yang khas agar Pak Jokowi memahami mereka. Betapa politik tidak pernah terlepas dari kredo “kami berikan apa dan apa imbalannya”. Mereka adalah orang-orang yang sangat tahu bahwa dunia politik tidak pernah cukup jauh dari permainan siapa yang menunggangi siapa? Walaupun demikian, saya cukup yakin bahwa mereka sangat tahu politik juga bukan dunia yang tidak terjalin dengan kebijakanaan dan kearifan. Politik sangat membutuhkan sisi kebijakan dan kearifan tersebut. Disitulah Jokowi seharusnya berada. Rumit memang. Tetapi serumit itu sekalipun, Pak Jokowi harus menemukan cara solusi untuk dapat menyenangkan mereka. Pemecahan yang menyenangkan itu tidak berbentuk meminta mereka untuk memahami kesulitan Pak Jokowi. Sudah terlalu lama. Bahkan terlalu sering selama kampanye, mereka memahami Pak Jokowi. Juga memahami Kiyai Ma’ruf. Sekarang bukan waktunya meminta mereka memahami sekali lagi kesulitan dari Pak Jokowi. Sekarang Pak Jokowi sudah menjadi Presiden. Keadaan mutakhir memperlihatkan arus kecil membawa Pak Jokowi ke suatu perspektif klasik dalam politik. Perspektif itu adalah mereka telah bersama-sama dengan Pak Jokowi mencapai tujuan menjadi presiden. Pak Jokowi pasti sangatlah mengetahui itu. Dan politik sangat mengharuskan presiden untuk tahu tentang keinginan mereka. Sebab faktanya mereka sudah bekerja siang dan malam, dan tertatih-tatih untuk menjadikan Pak Jokowi menjadi Presiden. Haruskah memberikan mereka jabatan? Padahal mereka juga tidak meminta. Namun apa iya? Apa Pak Jokwi tak mengetahui bahwa bagi partai politik, berada dalam kekuasaan pemerintahan itu menjadi sejenis kehormatan. Ini memang gengsi yang kecil. Soal ini memang sangat krusial. Karena semua kementerian telah terisi. Jabatan lain juga sudah terisi. Berhentikan mereka yang sedang menjabat? Apa alasannya? Mereka juga, dengan cara yang minimal sekalipun telah bekerja membawa Pak Jokowi menjadi Presiden. Bentuk lembaga baru untuk mereka? Oke saja. Tetapi duit sedang susah. Hutang sedang terus digali. BPJS kesehatan sudah dinaikan. Kerumitan-kerumitan kecil itu, dalam kenyataannya berhimpit dengan formasi kabinet yang jauh dari segaris dengan kearifan konstitusional selama bertahun-tahun. Kearifan konstitusional itulah yang membuat PP Muhammadiah dan PB NU bertahun-tahun berada pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama. Kini kedua ormas terbesar di Indonesia itu tersingikir dari dua kementerian tersebut. Padahal NU, setidaknya melalui sayapnya, seperti juga partai-partai sudah habis-habisan di sepanjang jalan kampanye pilpres yang berat. Pantaskah NU harus menemukan kenyataan yang pahit ini? Yaitu tersingikir dari puncak Kementerian Agama? Akankah semua kerumitan itu menghasilkan jalan terjal bagi Pak Jokowi? Yang bisa dijelaskan, urusan Pak Jokowi dengan mereka jauh dari selesai. Memecahkannya sangat rumit. Namun tidak segera memecahkannya juga lebih rumit lagi. Bembiarkannya, sama saja dengan membuat spektrum politik menjadi serba negative ke depan. Rumit, tapi tidak kusut memang. Akankah Pak Jokowi mendatangi mereka dengan paket pemecahan masalah yang menyenangkan? Dan apakah selaras dengan keadaan bangsa ini? Infrastruktur tak punya hati. Manusia punya hati yang bisa merasa. Juga punya emosi dan punya mimpi. Terburu-buru akan menghasilkan solusi yang rapuh. Tetapi berlama-lama justru dapat memanggil fenomena James Comey, Direktur FBI yang disingkirkan Trump dari jabatannya. Anda tahu? Comey muncul di depan Komite Inteljen DPR menjahit secara rapih berbagai cerita tentang isu keterlibatan Rusia dalam pemilu yang menghasilkan Trump sebagai Presiden. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate
PKS Dalam Pelukan Surya Paloh
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Picture of the week! Foto Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan erat dengan Presiden PKS M Sohibul Iman, layak dinobatkan sebagai “Foto pilihan pekan ini.” Foto keduanya dalam pose berpelukan ala teletubbies, beredar secara cepat di medsos. Lengkap dengan berbagai komentar. Komentar yang muncul kebanyakan mengundang senyum. Ada juga yang membuat meme. Foto itu disandingkan dengan foto Prabowo sedang berwelfie ria bersama Megawati dan Puan Maharani. Captionnya: Cinta yang tertukar! Secara visual, foto yang diabadikan ketika Surya Paloh berkunjung ke kantor DPP PKS itu memang sangat kuat. Apalagi tafsir politiknya. Jauh lebih menarik dan multi tafsir. PKS adalah satu-satunya partai yang sejak awal menyatakan oposisi terhadap Jokowi. Sementara Nasdem partai pendukung Jokowi yang berkali-kali menyatakan siap menjadi oposisi. Walau akhirnya tetap masuk kabinet, dan menempatkan tiga orang menteri. Dari sisi positioning, secara politis keduanya berada dalam kubu berseberangan. Sebelumnya sulit membayangkan mereka akan berpeluk-ria, apalagi sampai membuat beberapa kesepakatan. Tapi itulah fenomena politik kontemporer Indonesia. Tempat adagium bahwa politik sebagai the art of possibility benar-benar diterapkan. Kemungkinannya bahkan jauh melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Beyond our imagination. Prabowo saja bisa masuk kabinet Jokowi dan menjadi Menhan. Mengapa pula Surya Paloh dan Sohibul Iman tidak bisa berpeluk-mesra dan membuat blok baru oposisi? Gak perlu baper Pertemuan antara Surya Paloh dan Sohibul Iman ini kian menyadarkan kita, jangan terlalu baper dalam melihat politik Indonesia. Ojo kagetan. Ojo gumunan. Dengan begitu kita tidak perlu kaget, marah, apalagi sakit hati ketika tiba-tiba tokoh atau partai yang kita dukung berubah haluan di tengah jalan. Woles saja. Namanya juga politisi. Mari kita simak beberapa fakta dan fenomena berikut ini: Pertama, batas antara penguasa dan oposisi sangat kabur. Bisa saja oposisi kemudian bergabung dengan penguasa. Sebaliknya yang berada dalam pemerintahan karena kepentingannya kurang/tidak terakomodasi, berancang-ancang menjadi oposisi. Kedua, karena adanya kepentingan yang sama, pemerintah dan oposisi bisa saling bahu membahu dan saling mendukung. Tidak peduli suara pemilih, suara rakyat. Pengesahan UU KPK adalah contoh nyata. Semua fraksi di DPR sepakat mendukung, kendati mendapat perlawanan keras dari masyarakat, mahasiswa dan pelajar. Imbalannya semua fraksi mendapat jatah kursi wakil ketua MPR, termasuk PKS. Caranya dengan mengubah Pasal 15 UU Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Ketiga, kabinet besar dan gemuk Jokowi berpotensi pecah di tengah jalan. Kabinet yang dimaksudkan membuat semua happy, “disini senang, dis senang,” berubah menjadi “di sini senang, di sana berang.” Banyak yang tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Nasdem sudah menyatakan secara terbuka. Mereka keberatan dengan masuknya Gerindra, apalagi mendapat pos penting sebagai Menhan. Keempat, Jokowi tampaknya harus sudah bersiap-siap menghadapi oposisi yang cukup kuat di DPR, termasuk dari partai pengusungnya. Nasdem sudah mengisyaratkan kemungkinan akan menjalin kerjasama dengan PKS di DPR. PDIP juga tampaknya tidak puas dengan pembagian jatah kursi di kabinet. Apalagi Luhut Panjaitan ternyata masih berperan besar di pemerintahan. Bukan tidak mungkin PDIP juga akan menjadi oposisi terhadap beberapa kebijakan pemerintah. Oposisi di DPR akan kian besar dengan tidak diakomodasinya PAN dan Demokrat di kabinet. Kelima, tiga tahun, atau paling lambat dua tahun jelang Pemilu 2024 sudah mulai terbentuk konfigurasi kekuatan politik baru. Parpol pendukung Jokowi bisa bubar jalan, atau setidaknya mulai mencari jagoan masing-masing. Pertemuan PKS dan Nasdem bisa menjadi indikator mulai terbentuknya embrio baru koalisi parpol pada Pilpres 2024. Pertemuan ini bisa dilihat sebagai sebuah lanjutan dari pertemuan Surya Paloh dengan Gubernur DKI Anies Baswedan beberapa waktu lalu. Waktu dan kepentingan politik akan menentukan apakah kemesraan ala *_teletubbies_* itu berlanjut sampai 2024, atau hanya manuver sesaat. Publik pasti belum lupa bagaimana Prabowo dan Surya Paloh juga baku rangkul menjelang pembentukan kabinet. Saat itu Surya menyatakan kepentingan negara di atas kepentingan parpol. Ternyata Nasdem menyabot kursi Menteri Pertanian yang sudah lama diincar Gerindra. Sebaliknya Gerindra yang mematok harga mati kursi Mentan, tetap bersedia masuk kabinet dengan kompensasi kursi Menteri Kelautan dan Perikanan. end
Menteri “Bernoda” Korupsi (2): Halim Iskandar dan Ida Fauziyah?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Selain nama Mendagri Tito Karnavian dan Menteri BUMN Erick Thohir, nama Abdul Halim Iskandar, kakak Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar yang menjabat Mendes PDTT dan Menaker Ida Fauziah, ternyata “bernoda” korupsi juga. Keduanya adalah politisi PKB pimpinan Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Sayangnya, kedua politisi PKB itu pernah “berurusan” dengan KPK. Meskipun mereka diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi. Ini dibenarkan oleh pihak KPK. Menurut Jubir KPK Febri Diansyah, Halim Iskandar dan Ida Fauziyah itu pernah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang berbeda. Beberapa orang memang pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam sejumlah perkara terpisah. “Saya kira itu juga sudah terbuka ya informasinya,” kata Febri seperti dilansir RMOL.id. Halim Iskandar pernah diperiksa dalam kasus dugaan gratifikasi dari kasus pencucian uang Bupati non-aktif Nganjuk Taufiqurrahman. Sedangkan Ida Fauziyah terkait kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 untuk tersangka eks Ketum PPP Surya Darma Ali. Mantan Menteri Agama ini pun sudah divonis Pengadilan Tipikor Jakarta. “Ada beberapa kasus yang berjalan saat itu, seperti suap dan gratifikasi Bupati Nganjuk dan juga kasus korupsi haji yang melibatkan Menteri Agama sebelumnya,” ujar Febri, mengutip Law-justice.co, Rabu (23/10/2019 08:30 WIB). “Memang ada beberapa nama yang kita tahu terkait dengan beberapa kasus korupsi yang pernah ditangani KPK. Namun, mereka memang baru diperiksa sebagai saksi sejauh ini,” ungkap Febri. Halim Iskandar Jejak digital Abdul Halim Iskandar yang “bernoda” korupsi masih terekam. Terkait dirinya yang pernah dipanggil KPK, Halim Iskandar menyatakan sudah clear dan ia tidak terlibat. “Semua clear, enggak ada masalah,” ujarnya, mengutip Kompas.com. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (22/10/2019), dirinya sempat berurusan dengan KPK pada 2018. Dia dipanggil sebagai saksi terkait penyidikan perkara tindak pidana pencucian uang dengan tersangka mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman. Seperti dilansir Liputan6.com, Selasa (22 Okt 2019, 15:09 WIB), “Ya saya kenal, waktu di Jombang ya, sudah,” ujar Abdul Halim usai diperiksa di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 31 Juli 2018. Halim Iskandar tidak menampik kerap bertemu dengan mantan Bupati Nganjuk tersebut. Namun, menurut Ketua DPW PKB Jawa Timur itu, perkenalan dan pertemuannya dengan Taufiqurrahman hanya sebatas kaitan sebagai pengurus partai. “Dia kan orang Jombang. Dia (Bupati Nganjuk Taufiqurrahman) aktif di Golkar, saya di PKB. Kenal sebagai pengurus partai. Sudah itu saja,” kata Halim Iskandar. Taufiqurrahman sendiri merupakan tersangka penerimaan gratifikasi terkait proyek-proyek di Nganjuk. Taufiqurrahman yang diduga KPK menerima gratifikasi Rp 5 miliar selama 2013-2017. Nama mantan Ketua DPRD Jatim periode 2014-2019 itu sempat pula secara tersirat sebagai “kerabat” Muhaimin Iskandar yang sedang digadang-gadang agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Makanya Ketum PKB ini sedang membutuhkan logistik. Hal itu terungkap dari pengakuan terpidana kasus suap proyek infrastruktur Musa Zainuddin yang menyeret Muhaimin Iskandar dalam pusaran perkara yang membelitnya. Seperti dikutip Tempo, Sabtu (19/10/2019), Muhaimin dituding terima duit fee Rp 6 miliar. Selain dituding menerima duit, Muhaimin disebut juga berupaya menggagalkan permohonan justice collaborator (JC) kadernya tersebut. Awal Oktober lalu, 3 penyidik KPK memeriksa Musa. “Saya diperiksa atas surat permohonan sebagai JC,” kata Musa. Kepada Tempo, Musa mengatakan penyerahan uang itu merupakan respons atas percakapan bersama Jazilul beberapa bulan sebelumnya. Saat itu, Sekretaris Fraksi PKB Jazilul Fawaid mengatakan Muhaimin Iskandar sedang membutuhkan logistik untuk mendorong kader PKB agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Nama yang sedang digadang-gadang saat itu adalah kerabat Muhaimin. Ternyata, kerabat ini tidak lain adalah Abdul Halim Iskandar, kakak Muhaimin Iskandar yang belakangan batal maju dalam kontestasi Pilgub Jatim 2018. Surat JC Musa yang diperoleh Tempo menyebutkan sebagian besar uang dari para pengusaha itu diserahkan kepada Jazilul. Jumlahnya jauh lebih besar dari uang yang ia terima, yakni Rp 6 miliar. “Yang di tangan saya cuma Rp 1 miliar,” ujar Musa. Musa menjalani hukuman selama 9 tahun karena terbukti menerima suap sebesar Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Maluku dan Maluku Utara Tahun Anggaran 2016. Setelah anggaran diketuk, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir menemui Musa. Abdul Khoir mengaku tertarik menggarap proyek pembangunan jalan Taniwel-Saleman, Maluku, senilai Rp 56 miliar. Mantan anggota Komisi Infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB itu ditahan sejak Februari 2017. Uang tersebut berasal dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, kontraktor proyek, yang lebih dulu dihukum Pengadilan Tipikor Jakarta. Musa mengatakan penyidik ingin mengkonfirmasi surat permohonan menjadi JC Musa yang diajukan pada sekitar Juli 2019. Musa juga membuka kronologi aliran dana suap Rp 7 miliar yang selama ini tak terungkap di pengadilan dan pemeriksaan. Belakangan, Musa mengaku duit suap itu tidak dia nikmati sendiri, tapi mengalir ke sejumlah koleganya di PKB, termasuk ke Muhaimin. Berbeda dengan keterangan di persidangan, aliran dana suap dari Abdl Khoir ternyata tak berhenti di tangan Musa. Musa mengaku menutupi peran para koleganya lantaran menerima instruksi dari dua petinggi partai. Keduanya menekan Musa agar menutupi keterkaitan uang itu dengan para petinggi PKB. Mereka mengatakan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar berpesan agar kasus suap itu berhenti di Musa. “Saya diminta berbohong dengan tidak mengungkap peristiwa sebenarnya,” ucap Musa. Imin – panggilan akrab Muhaimin – kini menjabat Wakil Ketua DPR. Ida Fauziah Selain Abdul Halim Iskandar, jejak digital serupa yang “bernoda” korupsi juga mengarah ke Ida Fauziah, politikus PKB yang diangkat Presiden Joko Widodo menjabat Menaker dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) 2019-2024. Pada medio 2014, Ida Fauziah yang saat itu anggota Komisi VIII DPR pernah diperiksa KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 yang mengarah kepada Komisi VIII DPR. “Diperiksa untuk tersangka SDA (Surya Dharma Ali, mantan Menag saat itu),” tulis Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, melalui pesan singkat, Senin (18/8/2014). Selain Ida, KPK juga turut menjadwalkan memeriksa Anggota Komisi VIII Fraksi Demokrat, Muhammad Baghowi, Soemintarsih Muntoro (Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Hanura), dan bekas Ketua Komisi VIII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini. Kemudian, mantan Direktur Jenderal Pelaksanaan Haji dan Umrah Anggito Abimanyu buat kesekian kalinya juga diperiksa sebagai saksi. Dalam kasus tersebut, ketika itu KPK baru menetapkan seorang tersangka yaitu mantan Menag SDA. Tetapi uniknya, dalam surat perintah dimulainya penyidikan tercantum kalimat “SDA dan kawan-kawan”. SDA disangka melanggar pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. Praktik korupsi yang mereka lakukan ditengarai terjadi di berbagai lini. Seperti: pengadaan penginapan, transportasi, dan katering. Selain itu, diduga SDA juga menyalahgunakan kuota Panitia Pelaksanaan Ibadah Haji serta memanipulasi Sistem Komputerisasi Haji. Apakah kedua menteri asal PKB ini akan diproses KPK hingga pengadilan Tipikor Jakarta, seperti mantan Menpora Imam Nahrawi? ***
Gagasan yang Menyulitkan Nadiem Makarim
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Karena sesuatu hal, baru sekarang bisa menuliskan tanggapan. Mohon maaf kalau dirasakan telambat. Pada hari pelantikan kabinet Jokowi, seorang pemilik akun FB bernama Sahat Siagian, memperlihatkan rasa senangnya terhadap penunjukan Nadien Makarim sebagai menteri pendidikan. Sahat mengatakan, inilah kesempatan baik bagi Nadiem untuk membongkar masjid-masjid yang berada di komplek sekolah. Sahat jelas-jelas memperlihatkan kegusarannya terhadap busana muslimah yang dipakai oleh para siswi. Dia menginginkan agar Nadiem ‘menetralkan’ pakaian muslimah yang sangat dibencinya itu. Tersirat keinginan Sahat agar pakaian yang menutup aurat dilarang di semua sekolah. Sahat berharap banyak pada Nadiem. Dia membayangkan Mendiknas yang baru ini akan melancarkan gebrakan untuk membasmi suasana islami di lingkungan sekolah dan kampus. “Habiskan semua, Bung. Luluhlantakkan mereka,” tulis Sahat. “Tidak boleh lagi ada yang menaungi pendidikan. Sebab, belajar adalah sebuah upaya untuk membebaskan diri dari tahyul atau kepercayaan apa pun,” kata Sahat lagi. Luar biasa pedas kalimat-kalimat Sahat. Dia meminta agar Nadiem memberangus suasana islami di sekolah dan kampus. Sahat tak menyembunyikan kebenciannya pada Islam. Kehidupan Nadiem sangat disenangi oleh Sahat. Dia melihat prinsip hidup Nadiem sangat cocok untuk ditiru oleh umat Islam. Misalnya, Sahat mengatakan bahwa dia tidak terkejut ketika dia tahu istri Nadiem beragama Katolik. Dan dia sangat senang pula mendengar anak-anak Nadiem dibaptis. Tetapi, Sahat lupa bahwa Nadiem tidak akan mampu mengubah satu orang pun perempuan yang telah teguh dengan keislamannya. Nadiem akan membentur tembok keras jika dia mencoba mengganggu umat Islam yang menerapkan syariat secara wajar, damai dan konstitusional. Akibat benturan itu boleh jadi akan sampai ke wajah Sahat. Kita yakin Nadiem tidak akan mengutak-atik masjid atau surau yang ada di sekolah. Hampir pasti kaum muslimin akan menafsirkannya sebagai upaya kelompok lain untuk mengganggu umat Islam. Kenapa? Karena Sahat terlanjur mengatakan bahwa istri Nadieam beragama Katolik. Seharusnya Sahat tidak menyebutkan itu dalam tulisannya yang berjudul “Bung Nadiem”. Memang terasa enak menyebutkan itu. Tetapi, menjadi sangat sensitif ketika suatu hari nanti Nadiem mengeluarkan kebijakan yang frontal terhadap umat Islam. Kalau Nadiem tiba-tiba membongkar semua masjid atau surau dari komplek sekolah, tentulah salah satu yang terlintas di pikiran kaum muslimin adalah Katolik. Istri Nadiem yang bergama Katolik. Jadi, tulisan Sahat itu sesungguhnya sangat berbahaya. Gagasan Sahat menyulitkan Nadiem. Bisa memunculkan kecurigaan antargolongan. Seharusnya tidak diumbar di depan umum tentang kekatolikan istri Nadiem. Apalagi di media sosial beredar foto-foto keluarga Nadiem yang tampak sedang mengikuti acara di gereja. Sahat seharusnya menyembunyikan kekatolikan istri Nadiem itu. Supaya umat Islam tidak curiga kepada Nadiem. Jika kelak beliau menghantam umat Islam sebagaimana diinginkan oleh Sahat Siagian.[] 28 Oktober 2019
Jokowi Penentu Kesuksesan Prabowo
Secara konstitusional Prabowo tidak bisa menentukan sendiri apa yang mau dikerjakan di Kementerian Pertahanan. Prabowo harus, dengan semua kemampuan terbaik dan ketulusan hebat yang dimilikinya terhadap bangsa ini, harus mendapat otorisasi dari Presiden. Perintah konstitusi yang ini imperative. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Prabowo Subianto adalah pria dengan jejak ketentaraan yang gemilang. Berkali-kali masuk ke gelanggangg pilpres. Satu kali sebagai calon wakil presiden dan dua kali sebagai calon presiden. Dua kali menjadi rifal tangguh bagi Jokowi. Sebanyak itu pula Prabowo, pria yang hebat ini menemukan akhir yang menyakitkan. Setidaknya untuk para supporternya. Kekalahan terakhir, teridentifikasi sebagai kekalahan paling menyakitkan. Itu karena berbagai soal pada pemilu 2019 ini betul-betul sulit dinalar dengan akal sehat. Begitu banyak petugas pemungutan suara yang menemui akhir hidupnya. Mereka mati di hari-hari pencatatan perolehan suara. Kematian ratusan petugas pencatat suara ini adalah satu soal sangat pahit. peroalan pahit lainnya adalah jumlahnya yang sulit untuk diterima dan dimengerti. Anehnya, semua berlalu dengan langgam. Bahkan mencedurung menyepelekan sebagai sebuah kelaziman di pesta demokrasi. Tanpa penjelasan, yang memadai, semuanya terkubur begitu saja dalam keangkuhan rendahan. Betul, di luar kematian yang masal itu, semua fakta busuk lain dalam pemilu telah terbantah secara legal. Lagi-lagi itu memang betul. Tetapi tetap saja bantahan hukum itu tak bisa menguburkan black box pemilu itu sebagai pemilu sangat memilukan sejauh ini. Memukul akal sehat kita. Menggelamkan harkat dan marabat manusia menjadi sebutan yang tepat untuk pemilu kali ini. Tak Bermakna Tetapi kenyataan tersebut, hampir pasti bukan satu-satunya fakta di sekitar pemerintahan baru, yang membuat Prabowo terlihat jelas. Dia terlihat sebagai sosok yang paling menyita perhatian. Timbul bersama rakyat di tengah kabinet Jokowi. Setelah sebelumnya menjadi rifal tangguhnya. Prabowo kini telah timbul bersama Jokowi. Timbul dengan segala pertimbangan yang tidak seorang pun dapat mengetahui deteilnya. Memang menarik untuk dicermati. Bahkan ada yang tak habis pikir. Namun ada juga yang bisa memahami kenyataan ini. Faktanya sekarang Prabowo timbul di Kementerian Pertahanan. Kementerian yang secara konstitusi sangat bernilai strategis. Apalagi pancaran antusias dan penghormatan otentik aparatur di Kementerian Pertahanan atas kedatangan Prabowo terlihat begitu telanjang. Penghormatan kepada Prabowo dari jajaran Kementerian Pertahanan pada prosesi serah terima jabatan Menteri Pertahanan itu tidak seperti biasanya. Karena sangat spesialis dan “mengagumkan” di kementerian tersebut. Semuanya terlihat begitu nyata. Mau apa? Begitulah politik riil. Untuk alasan apapun politik rill adalah pekerjaan para elit. Suka atau tidak, ya begitulah adanya. Dan itu bukan hanya perkara di Indonesia. Ini perkara seperti ini menjadi biasa dalam politik riil di manapun didunia ini. Sudah sejak dari dahulu kala, jejak-jejak sejarah, menunjukan politik selalu digerakan oleh pertimbangan-pertimbangan yang lebih sering tak terlihat daripada yang sering terlihat. Jangan terkecoh dengan yang terlihat. Kenalilah hal yang tak terlihat. “Pak Prabowo lebih tahu tentang urusan pertahanan daripada saya”. Begitu inti kata-kata Jokowi saat mengumumkan dan melantik Prabowo. Tetapi dilihat dari sudut konstitusi, setulus apapun kata itu terlihat, kata-kata itu tak memiliki makna konstitusional. Mengapa demikian? Secara konstitusional Prabowo tidak bisa menentukan sendiri apa yang mau dikerjakan di Kementerian Pertahanan. Prabowo harus, dengan semua kemampuan terbaik dan ketulusan hebat yang dimilikinya terhadap bangsa ini, harus mendapat otorisasi dari Presiden. Perintah konstitusi yang ini imperative. Apa saja yang dimaui Jokowi? Dialah Presiden yang mengangkat Prabowo untuk membantu dirinya melaksanakan urusan pemerintahan yang dipegangnya, di bidang pertahanan negeri ini. Itu point penting dan konstitusionalnya. Direktif Presiden adalah panduan konstitusional untuk Pak Prabowo. Tidak lain dan tidak lebih dari itu. Sejelas apapun ilmuan politik mengidentifikasi kata-kata itu sebagai benteng Jowowi kelak. Misalnya, ketika postur politik dan teknis pertahanan tidak cukup baik, tetap menjadi tanggung jawab konstitusional ada pada Jokowi sebagai presiden. Apalagi Jokowi berkali-kali mengatakan, menteri tak boleh memiliki visi sendiri. Semuanya harus berdasarkan visi Presiden dan Wakil Presiden. Sistem Presidensial Presiden, siapapun orangnya dalam sistem presidensial bukan primus interpares. Presiden bukan orang yang terkemuka. Yang utama, diantara yang setara dalam kabinet itu. Presiden, yang terambil dari kata precedere dalam bahasa latin adalah pemimpin. Untuk apa yang kelak ketika dirumuskan oleh pembuat konstitusi Amerika tahun 1787 sebagai Chief of Executive. Itu sebabnya, presiden sering disematkan dengan sebutan, misalnya Chief of Executive Politics, Chief of Negosiator, Chief of Law Offcier, Chief of Ambasador, dan lainnya. Presiden adalah jabatan tunggal. Jabatan yang kewenangan-kewenangannya tak terbagi, dan tak bisa dibagi. Sifat jabatan itu membawa konsekuensi, misalnya siapa yang diminta dan diangkat membantu dirinya, sepenuhnya tanggung jawab dirinya. Kapabel, kompeten atau tidak orang yang diangkat itu, terserah presiden. Walau memang harus diakui politik dan kenyataan demokrasi sering meminta presiden harus menghidupkan kearifannya. Misalnya, presiden tidak menggunakan kewenangannya itu semaunya sendiri. Walaupun demikian, semuanya tergantung pada visi dan kebijakan presiden. Bukan pada kebijakan menteri, Sehebat apapun menteri itu. Orang boleh saja bilang rel goverenment adanya di Kementerian. Anggapan seperti itu tidak salah. Tetapi itu cuma separuhnya saja. Kekuatan pertahanan Angakatan Laut Amerika misalnya, suka atau tidak, harus dipertalikan dengan kecemerlangan kebijakan yang melampaui zaman oleh Thomas Jefferson. Kebijakan Presiden Amerika ketiga, pada periode 1801-1809 inilah yang membuat Angkatan Laut Amerika menjadi penguasa laut dunia sekarang ini Thomas Jefferson keluar dengan kebijakan membangun armada laut yang hebat bekerja. Kebijakan itu dirangsang oleh pengalamannya sebagai Duta Besar Amerika untuk Inggris. Dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar, Thomas Jefferson pernah berurusan dengan Turki Usmaniah. Mereka membicarakan hambatan keamanan yang dialami oleh kapal-kapal Amerika dalam pelayaran perdagangan kedua negara. Amerika sangat beruntung. Sebab pada waktunya, Amerika memiliki William Mckinley (1897-1901) sebagai presiden. McKinley adalah Presiden yang mengubah, dan membawa Amerika menjadi pemimpin dunia seperti sekarang. Menggantikan posisi Inggris. Ragam kebijakan Presiden William Mckinley, yang mengubah Amerika, menjadi pemimpin dunia itu, dilukiskan oleh Henry Adams, seorang peneliti dengan sebutan “McKinlysian.” Dia menggambarkannya dengan that is “the system of combination, consolidation, trusts, realized at home, and realizable abroad.” Bukan Trump, tetapi Presiden Mckinley yang pertama kali menggunakan senjata tarif dalam memproteksi produk-produk industri dalam negeri Amerika. Mckinley, bukan Trump yang pertama, mengintroduksi gagasan proteksionis ke dalam sebuah undang-undang. Undang-undang itu dikenal dengan Dengely Tarrif. Soal undang-undang tarif ini, kata McKinley kepada seorang senator mengatakan, menjadikan Dengely Tarrif sebagai senjata utama lain, sehingga membuat, dan membawa Amerika menjadi produsen utama di dunia. Presiden, ya tetap saja presiden. Sebab dialah presiden untuk semua urusan bangsa dan negara di bidang eksekutif. Tidak bisa, dengan alasan apapun, presiden menyatakan itu bahwa bukan urusannya. Atau itu jangan tanya saya. Tidak bisa begitu kalau jadi presiden. Tidak ada dalam ilmu tata negara itu pemerintahan sebuah negara yang bersistem presidensial disebut pemerintah. Misalnya, nama dari seorang menteri. Pemerintahan presidensial selalu dinamakan sesuai dan melekat dengan nama dari presiden. Amerika misalnya, dinamakan pemerintahan atau administrasi Jefferson, McKinley, Franklin Delano Rosevelt atau saat ini Donald Trump. Indonesia namanya, pemerintahan Soeharto, pemerintahan Mega, pemerintahan SBY dan pemerintahan Jokowi. Tidak bisa disebut pemerintahan Prabowo atau siapa menteri yang lainnya. Praktis nama presiden diambil dan disematkan pada pemerintahannya. Prabowo memang punya jejak ketentaraan yang gemilang. Mungkin saja kegemilangan itu tersaji kembali di Kementerian Pertahanan ini. Tetapi apapun prestasi dan keberhasilan yang dicapainya, tidak dapat digunakan sebagai dasar menyebutkan pemerintahan Jokowi menjadi pemerintahan Prabowo. Tidak bisa. Untuk dan dengan alasan apapun. Presiden Jokowi, entah basa-basi atau tidak, secara resmi telah mengakui kehebatan Prabowo. Itu jelas menjadi modal besar bagi Prabowo. Tetapi modal besar itu akan terus saja menjadi modal. Modal dasar tersebut, tak akan berbuah apapun, bila Presiden tidak mendefenisikan visinya. Presiden harus memberikan direction dan otoritas secara detailnya kepada Prabowo. Direction Presiden Jokowi itu adalah kuncinya. Begitulah sistem presidensial bekerja. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khiarun Ternate
Wakil Menteri Bukan Anggota Kabinet
Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabinet Indonesia Maju mendapat respon positif banyak kalangan. Pasar saham pun membiru. Nilai rupiah sempat sedikit menguat. Pentolan partai Koalisi Indonesia Kerja atau KIK sudah senyum-senyum. Puas. Tim sukses bertajuk Relawan Pro Jokowi atau Projo yang pada awalnya sewot dan sempat mau bubaran akhirnya lega. Sang Ketum, Budi Arie Setiadi, dapat jatah wakil menteri. Lumayan. Para “Cebong” ini sudah bisa menerima kenyataan Prabowo Subianto bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin. "Ya sudah slow-slow lah, udah mulai ada cinta, cinta sedikit. Gitu ya," kata Budi Arie Setiadi, Jumat (25/10). Ya, pada hari itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin resmi melantik 12 wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Para wakil menteri itu lima orang dari partai politik dan anggota tim sukses. Lainnya, kaum profesional. Jokowi menilai 12 wakil menteri ini akan mampu memberikan dukungan kepada tugas-tugas menteri. “Profilnya sangat bagus dalam rangka memperkuat kabinet indonesia maju,” katanya. Wakil menteri itu diberikan untuk 11 kementerian yang ada di Kabinet Indonesia Maju. Berbeda dari yang lainnya, Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir mendapat dua wakil menteri. Mereka adalah Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin. Keduanya diambil dari pimpinan Badan Usaha Milik Negara. Kartika adalah Direktur Bank Mandiri, sedangkan Budi adalah Direktur Utama Inalum. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto mendapat tandem Wahyu Sakti Trenggono. Sebelumnya Wahyu adalah Bendahara Tim Kampanye Nasional. Menteri Agama yang kontroversial, Fachrul Razi dipasangkan dengan Zainut Tauhid Sa'adi. Dia adalah Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga kader PPP. Soal ilmu agama, Zainut jelas lebih paten ketimbang Fachrul. Dengan bergabungnya Zainut Tauhid, maka PPP mendapat jatah dua kursi di kabinet Jokowi Ma'ruf. Sebelumnya yang menjadi perwakilan PPP hanya Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. Perindo mengirim Angela Tanoesoedibjo, puteri Ketua Umum Perindo, Hari Tanoesoedibjo, yang oleh Presiden Jokowi diberi jatah sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sedangkan kader Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, Surya Tjandra, mendapat jatah Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN. Politisi Golkar, Jerry Sambuaga, menjabat Wakil Menteri Perdagangan. Kader PDIP Wempi Wetipo menjabat sebagai Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Bergabungnya Wempi membuat porsi PDIP di kabinet Jokowi-Maruf menjadi tujuh orang. Sebelumnya ada tiga politikus PDIP lawas yakni Tjahjo Kumolo, Yasonna Laoly, dan Pramono Anung menjadi wajah lama yang kembali menghuni kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Selain itu Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Selain itu simpatisan PDIP yakni Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Selanjutnya, perwakilan Golkar di kabinet Jokowi menjadi empat. Sebelumnya, ada Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang telah dilantik sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Kemudian Agus Gumiwang Kartasasmita yang mengisi pos Menteri Perindustrian dan Zainudin Amali sebagai Menteri Pemuda & Olahraga. Di Wamen ada Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga. Sejarah Istilah wakil menteri pertama kali digunakan pada Kabinet Presidensial, kabinet pemerintahan pertama Indonesia. Kala itu, Presiden Sukarno mengangkat 2 orang sebagai wakil menteri, yaitu Wakil Menteri Dalam Negeri Harmani dan Wakil Menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo. Setelah itu, wakil menteri hanya ada pada Kabinet Sjahrir I, Sjahrir III, dan Kerja III. Pada kabinet-kabinet lainnya, beberapa kali juga terdapat jabatan "menteri muda" yang dari beberapa sisi memiliki kemiripan dengan wakil menteri. Pada era Orde Baru wakil menteri ditiadakan. Namun di bawah Presiden Soeharto itu ada menteri muda. Bedanya, menteri muda adalah anggota kabinet sedangkan wakil menteri bukan anggota kabinet. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pengangkatannya didasarkan pada pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang memperbolehkan presiden untuk mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu yang memiliki beban tugas lebih. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa wakil menteri merupakan pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, berbeda dengan menterinya. Dalam aturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa yang dimaksud pejabat karier adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon 1A. Pada tanggal 5 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penjelasan pasal 10 UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap. Presiden kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri. Dalam peraturan baru ini, wakil menteri dapat berasal dari pegawai negeri atau bukan pegawai negeri. Wakil menteri pertama yang diangkat Presiden SBY adalah Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo yang mendampingi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pada Kabinet Indonesia Bersatu. Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, presiden mengangkat lebih banyak lagi wakil menteri. Asal sesuai dengan perundang-undangan, tidak masalah presiden mengangkat wakil menteri. Sebagaimana diatur pasal 10 Undang-Undang No 39 Tahun 2018 tentang Kementrian Negara, presiden dimungkinkan mengangkat wakil menteri. Pasal 10 UU 39/2018 menyebutkan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada kementerian tertentu. UU ini pula yang memungkinan presiden melakukan bagi-bagi kursi bagi para pendukungnya. End
Membenturkan, dan Adu Domba Menhan dengan Presiden
Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sejak Kamis (24/10) video pendek penyambutan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan yang baru, beredar di media sosial. Para pendukung Prabowo sangat bersemangat menyebarkannya, dengan ditambahi narasi: Menhan rasa Presiden! Ada juga yang menambahi narasinya dengan kata-kata yang lebih bombastis. “Baru sehari jadi Menhan, negara tetangga sudah mengekeret. Apalagi kalau jadi presiden!” Benar dalam video tersebut Prabowo tampak dielu-elukan oleh pegawai Dephan. Mereka berjejal di jalan yang akan dilalui Prabowo, sambil membawa bendera merah putih dalam ukuran kecil. Konon kabarnya, belum ada seorang Menhan baru yang disambut heboh, gegap gempita seperti Prabowo. Fenomena ini menyadarkan kita pada satu realitas, bangsa ini masih terjebak pada kultus individu, bukan pada value. Emosional, bukan rasional. Value, nilai, panduannya sangat jelas. Benar, salah. Kemaslahatan umat, kemaslahatan rakyat Vs kemaslahatan pribadi dan kelompok. Pada kultus individu, yang benar bisa salah, dan yang salah bisa menjadi benar. Ukurannya menguntungkan kita secara pribadi, atau kelompok. Bila tidak, maka itu salah. Semuanya hanya didasari oleh sikap emosional, bukan penilaian yang rasional. Nilai baik dan benar, tidak akan pernah berubah. Sunatulloh. Hukum alam. Sementara manusia setiap saat bisa berubah. Hal itu menjelaskan mengapa nuansa pilpres lalu seperti sebuah perang. Dua geng, dua gerombolan besar, saling menghabisi satu dengan yang lainnya. Tidak boleh satu orang pun yang mengkritik, apalagi sampai memberi penilaian jelek pada jagoannya. Langsung hajar habis….. Baik Jokowi maupun Prabowo di mata para true believers, para pengikut yang taklid buta, adalah manusia sempurna. Tak ada cacatnya sama sekali. Jangan-jangan malah dianggap sebagai orang suci. Itulah bahayanya kultus individu. Membuat orang menjadi rabun dekat. Tak pernah bisa melihat kesalahan tokoh pujaannya. Sebaliknya dengan mudah menemukan kesalahan siapapun yang menjadi lawannya. Masalah nasional dilokalisir menjadi kepentingan personal. Entah disadari atau tidak, sikap para pendukung Prabowo ini sesungguhnya akan merugikan orang yang mereka puja. Sementara dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan nasional. Merugikan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Akhiri Dikotomi Seharusnya ketika Prabowo memutuskan tawaran untuk bergabung dalam kabinet Jokowi, dikotomi, apalagi kontestasi diantara pendukung, harus berakhir. Sebagai menteri, Prabowo adalah pembantu Presiden Jokowi. Tak peduli jabatannya sebagai Menhan, atau menteri apapun. Terimalah realitas itu dengan lapang dada. Tak perlu merasa malu dan menutupinya dengan eforia semu. Prabowo saja bisa menerima. Bisa lapang dada. Anda kok tidak? Tak perlu lagi ada glorifikasi melebih-lebihkan posisi dan peran Prabowo secara berlebihan. Tak perlu lagi terus diwacanakan bahwa sebagai Menhan, Prabowo adalah menteri utama. Salah satu triumvirat. Manakala terjadi kekosongan kekuasaan presiden dan wapres. Lebih ngeri lagi muncul wacana, pada waktunya Prabowo akan menggantikan Jokowi. Masuk kabinet Adalah strategi. Bergerilya membangun kekuatan dari dalam. Tak perlu lagi terus dihembus-hembuskan bahwa dengan Prabowo menjadi Menhan, kekuatan militer Indonesia akan ditakuti. Ini urusan negara kok. Bukan urusan pribadi. Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet perdana, Presiden Jokowi sudah jelas menyatakan “tak ada visi-misi menteri. Yang ada visi-misi presiden dan wakil presiden.” Prabowo sendiri sejak awal juga menyadari posisinya. Tak lama setelah menghadap Jokowi di istana, dia mengaku sudah mendapat arahan apa tugas dan program kerja yang harus dijalankan. "Saya akan bekerja sekeras mungkin mencapai sasaran. Dan harapan yang ditentukan. Saya kira demikian," tegas Prabowo. Sebagai pemberi mandat, Jokowi akan mengevaluasi kinerja Prabowo. Bila tidak perform, menyimpang, apalagi menunjukkan tanda-tanda melawan perintah, sub ordinasi, dia bisa dicopot. Begitu aturan mainnya. Apa boleh buat, suka tidak suka, status menteri adalah P-E-M-B-A-N-T-U presiden. Setiap saat bisa dipindahkan, diganti dan diberhentikan. Glorifikasi, memuja secara berlebihan, hanya akan membuat posisi Prabowo menjadi kikuk dan tidak nyaman. Dipastikan para pendukung Jokowi — yang sesungguhnya juga tidak nyaman dengan kehadiran Prabowo— akan bereaksi balik. Kita akan kembali terjebak pada perang buzzer seperti pada pilpres lalu. Sudahlah akhiri semuanya. Baik Jokowi maupun Prabowo hanya manusia bisa. Bukan Satrio Piningit, apalagi manusia setengah dewa. Mereka punya kelebihan dan juga kekurangan. Tidak perlu memuja secara berlebihan. Tak perlu pula benci secara berlebihan. Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Permasalahan bangsa ini terlalu banyak. Terlalu berat. Biarkan Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya dan Prabowo membantu mewujudkannya. Jangan benturkan Prabowo dengan Jokowi. Mereka kini berada dalam satu tim. Satu perahu yang sama. Tugas kita yang berada di luar pemerintahan, terus mengawasi, mengkritik, mengingatkan manakala mereka menyimpang. Pujian yang berlebihan seperti racun yang akan membunuh akal sehat. Sementara kritik, seperti obat yang pahit, namun menyehatkan. Jangan pula dimusuhi. Apalagi dikriminalisasi. End
Jokowi Ingkari Nahdliyin?
Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pengangkatan Jend. TNI Purn. Fachrur Razi sebagai Menteri Agama menggantikan posisi Lukman Hakim Saifuddin. Lukman adalah kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mewakili PPP. Lukman tidak terpilih lagi karena diduga terlibat korupsi. Yaitu korupsi yang melibatkan mantan Ketum PPP Romuharmuzy yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Politisi yang akrab dipanggil Romy ini juga kader NU. Mungkin inilah masalahnya mengapa posisi dan jatah NU “hilang”. Sementara dalam tradisi, Menag biasanya dijabat oleh perwakilan dari organisasi keagamaan seperti NU. Lepasnya kader NU dari posisi Menag yang selama ini menjadi jatah untuk NU telah membuat NU kecewa, terutama para kiai di daerah. Apalagi, Menag baru ini disebut-sebut adalah warga Muhammadiyah. Terkait penunjukan Fachrul Razi, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas mengatakan, pihaknya menerima protes dari banyak kiai dari daerah. Menurutnya, banyak kiai di berbagai daerah merasa kecewa dengan keputusan Presiden Joko Widodo terkait jabatan Menag. “Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menag,” kata Robikin dalam keterangan tertulis. Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (23/10/2019, 14:47 WIB), “Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” ungkap Robikin. Menurutnya, para kiai paham bahwa Kemenag harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Namun sayangnya, pemilihan pemimpin Kemenag tak sesuai dengan yang diharapkan dalam membentengi NKRI dari ajaran radikalisme. Para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Bahkan, juga sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. “Teror adalah di antara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini,” kata Robikin. Karena dampak dari radikalisme itu sangat membahayakan, maka secara kelembagaan, NU sudah mengantisipasi dan mengingatkannya jauh-jauh hari. “Bahkan NU menyatakan Indonesia sudah kategori darurat radikalisme, di samping darurat narkoba dan LGBT,” tandas Robikin. Boleh jadi, dipilihnya Fachrur Razi sebagai Menag ini juga terkait dengan apa yang disebut sebagai “radikalisme” itu. Seperti kata Presiden Jokowi saat mengumumkan namanya, “Beliau (ditunjuk karena) urusan yang terkait dengan radikalisme, ekonomi umat, dan industri halal,” ungkapnya. Rasa kecewa juga disampaikan Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Ridwan Darmawan. Dia mengaku heran tak satu pun kader NU yang dilirik Presiden Jokowi, meski sebelumnya muncul kabar Jokowi bakal menjadikan kader NU sebagai Menag. “Kami merasa kecewa dengan komposisi (susunan menteri) yang beredar hari ini, apalagi kita menurut informasi yang beredar Menteri Agama bukan dari NU,” ujar Ridwa dalam keterangan tertulis yang diterima awak media Rabu (23/10/2019). Ridwan menyebut, seharusnya Jokowi menghargai kontribusi warga NU saat ajang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu. Pasalnya, warga dan para Masyayikh NU berperan besar dalam memenangkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Menurut Ridwan, seharusnya Jokowi berkomitmen memberikan posisi Menag kepada kader NU. Apalagi, banyak kader NU yang pantas menjabat Menag, baik yang menjadi pengurus NU maupun yang berada di berbagai partai politik. Ridwan pun menyayangkan sikap Jokowi yang tidak menghargai “keringat” yang telah dikeluarkan warga nahdliyin. Seharusnya, Jokowi melihat siapa yang turut membantunya menjadi presiden untuk kedua kalinya. “Di NU sangat banyak pengurus dan tokoh yang berkualitas untuk mengisi pos Menag. Pak Jokowi bebas memilih, asal kader NU dan dekat dengan ulama, jika tidak diberikan ke NU saya yakin Presiden Jokowi bisa kualat,” tegas Ridwan. Bagi nahdliyyin, katanya, Menag dari kalangan NU adalah harga mati. “Jika tidak, ditunda saja pelantikan menterinya,” tegas Ridwan seperti dikutip Gelora.co, Rabu (23/10/2019). Ucapan Ridwan ini disampaikan sebelum pelantikan. Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar sendiri sebagai kader NU sebelumnya berharap dapat jatah 6 orang menteri, tapi ternyata cuma memperoleh 3 kursi. Menko Polhukam Mahfud MD, Menaker Ida Fauziah, dan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar. “Dikadali” Jokowi? Menurut Prof. Sumanto Al Qurtuby, Kabinet Indonesia Maju yang telah diumumkan Presiden Jokowi, Selasa (23/10/2019), kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, dan tentara/polisi. Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren. Ida Fauziyah dan Abdul Halim Iskandar dianggap “representasi” Muhaimin Iskandar (atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud sudah lama dianggap “bukan NU” atau “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU”. Yang menarik adalah posisi Menag yang selama ini hampir dipastikan dipegang oleh “kader” NU tapi kini jatuh ke tangan seorang mantan jenderal yang, maaf, tidak jelas wawasan dan keilmuan keagamaannya hingga beredar meme di lingkungan NU: “Dibutuhkan pembimbing agama untuk Menteri Agama”. Fazhrul Razi dikenal sebagai “ahli strategi militer”. Mau ngapain di Kemenag? Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Menurut Sumanto Al Qurtuby, sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag, tapi di Diknas, BUMN, Kominfo, Kemenpan, atau mungkin Kemenhan. Kemenag isinya para santri yang justru selama ini berperang melaman kelompok “Islam radikal”. Sangat disayangkan kalau NU diabaikan alias “dicuekin” oleh Jokowi, Mega dan “lingkaran dalam” mereka. Padahal NU-lah yang selama ini menjadi “bamper,” “kopral” dan pejuang melawan barisan kadrun dan mugrun. NU yang sering memobilisasi massa menghadang mereka. NU juga yang sering menggelar istigatsah kubro besar-besaran membela Jokowi. NU juga yang “perang dalil” dan “perang pemikiran” melawan kelompok idiologis Islamis seperti HTI dan lainnya. Kenapa NU? Karena NU yang memiliki massa besar yang bisa menandingi mereka. Karena hanya para kader NU yang bisa “perang dalil” dan “perang kitab” dengan mereka. Yang lain nggak ada. Muhammadiyah sekalipun karena mereka nggak bisa ndalil dan mbaca Kitab Kuning. Bahkan banyak kader Muhammadiyah yang sudah “bermimikri” menjadi kadrun atau setengah kadrun. Jika Muhammadiyah saja nggak bisa ndalil apalagi “banteng”, pengusaha, tentara, politisi, dan polisi. Semoga NU tak kecewa dan tetap ikhlas dengan susunan kabinet ini, meskipun sudah habis-habisan membela Jokowi, meski sepertinya hanya dijadikan pendorong “truk mogok”, dan kalau truk sudah jalan, mereka ditinggal atau sebagai “tangga” dan “pion” saja. Bahkan, tulis Sumanto Al Qurtuby, dijadikannya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres pun dianggap sebagai bagian dari “sasaran antara”, “tangga” dan “pion” ini. Semoga saja NU tetap eksis membela Tanah Air, meskipun tak mendapat “jatah” menteri. “Saya gak bisa membayangkan jika kader-kader NU: para ulama dan kiai pesantren ngambek dan mogok tak mau lagi “berperang” melawan kelompok Islamis radikal,” tegasnya. Apakah Wapres Ma’ruf Amin dinilai sudah cukup “mewakili” NU? Bukankah posisi Wapres itu setara dengan total jumlah menteri? Sedangkan posisi Presiden itu setara dengan Wapres plus para menteri? Sehingga, dengan kata lain, sudah seharusnya NU tak mempermasalahkan “tidak ada” menterinya dari NU. Lain halnya dengan Muhammadiyah yang hanya ada 5 kadernya menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju. Yaitu: Muhajir Effendi, Siti Nurbaya, Juliari Batubara, Nadiem Makarim, dan Fachrur Razi. Perlu dicatat, bahwa tidak ada satu pun kader PAN yang duduk di Kabinet Jokowi II tersebut! ***
Prabowo Saja Begini, Bagaimana Mau Memercayai yang Lain?
By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Prabowo Subianto (PS) adalah politisi dan negarawan yang integritasnya mendekati kesempuraan. Siang-malam dia memikirkan keutuhan NKRI. Kabarnya, tidak ada satu pun lawan bicara Prabowo yang bisa mengelak dari topik kebangsaan dan keadilan. Begitulah hebatnya kualitas Prabowo. Tidak terbantahkan. Kawan dan lawan politiknya paham itu. Dia tak pernah terdengar terlibat atau menyerempet korupsi. Bahkan apa yang ada pada dirinya selalu disumbangkan untuk kenyamanan orang lain, khususnya orang-orang yang berada di dalam satu lingkaran kerja dengannya. Prabowo selalu memikirkan orang lain. Cerita-cerita tentang ini tak ubahnya seperti derajat hadits shohih. Artinya, kisah-kisah yang bukan karangan belaka. Bukan omong kosong. Dia selalu menduhulukan kepentingan negara dan bangsa di atas keinginan pribadinya. Ketika dia berorasi tentang keadilan bagi seluruh rakyat, Prabowo membuktikannya dalam banyak pergaulan sosial atau lingkungan organisatoris. Tak berlebihan, bagi saya, kalau mau dikatakan bahwa Prabowo adalah “malaikat politik” Indonesia. Dia berintegritas. Bersih. Baik budi. Mendahulukan orang lain, dlsb. Sekarang, “malaikat politik” itu telah melepaskan predikat yang menggambarkan kemuliaan dan keksatrian dirinya. Dia tak sanggup sendirian menjadi “malaikat politik”. Prabowo mungkin merasa lebih mulia jika dia masuk ke dalam koalisi para “politisi trisula”. Padahal, selama ini pekikan-pekikan “jenderal lapangan” itu tidak pernah menunjukkan kemungkinan dia akan melepas predikat itu. Tapi, itulah yang dia lakukan. Dia tinggalkan para pendukungnya. Dengan alasan, ingin mendobrak dari dalam. Dengan jabatan Menteri Pertahanan, dia akan menjabarkan strategi besar (grand strategy) untuk melumpukan rencana jahat. Yang dijalankan oleh orang-orang yang sering dia sebut sebagai “pengkhianat”. Nah, seperti apa kira-kira kesimpulan Anda tentang langkah Pak PS itu? Sambil menunggu jawaban Anda, saya berpendapat bahwa situasi di Indonesia ini sudah sangat parah. Sangat hina. Sudah hancur-lebur. Saking rusaknya, Prabowo yang “putih-bersih” itu pun bisa menjadi begini. Bagaimana mungkin Anda bisa mempercayai para politisi lain? Poliltisi yang setulus dan sebaik Prabowo saja, bisa dengan enteng meninggalkan umat yang sangat percaya kepada dia. Bagaimana mungkin Anda bisa percaya kepada Jokowi, Megawati, Surya Paloh, SBY, Muhaimin Iskandar, Jusuf Kalla, Bambang Soesatyo, Airlangga Hartarto, Oesman Sapto Odang, Yusril Ihza Mahendra, Suharso Monoarfa, dlsb? Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa dipercaya. Semuanya tak bisa dipercaya selain Prabowo. Itu pun Prabowo sebelum menjadi menteri Jokowi. Sekarang, Prabowo yang tulus dan jujur itu pun ikut lebur membubur. Wallahu a’lam. [] 24 Oktober 2019