ALL CATEGORY
Kang Emil Diundang Jokowi ke IKN Sebagai Arsitek
Jakarta, FNN - Koordinator Staf Khusus Presiden RI, AAGN Ari Dwipayana, mengungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengundang khusus mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ke Ibu Kota Nusantara (IKN), Rabu, agar bisa memberikan masukan soal pembangunan sesuai kapasitas seorang arsitek.\"Pak Ridwan Kamil diundang khusus oleh Bapak Presiden untuk melihat langsung progres pembangunan IKN karena Kang Emil adalah seorang arsitek sehingga bisa (memberikan) masukan sesuai keahlian beliau,\" kata Ari saat dihubungi dari Jakarta.Ridwan Kamil yang akrab disapa Kang Emil sebelumnya tampak duduk di jajaran depan bersama para menteri kabinet Indonesia Maju, Presiden Jokowi, dan para pejabat daerah saat seremoni groundbreaking Bandara Ibu Kota Nusantara, di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.Kang Emil duduk bersebelahan dengan Kepala Otorita IKN Bambang Susantono. Kemudian di sebelah Bambang adalah Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Presiden Jokowi.Presiden Jokowi pada Rabu ini dijadwalkan meninjau dan meletakkan batu pertama pembangunan (groundbreaking) sejumlah proyek infrastruktur di IKN.Saat meresmikan groundbreaking Bandara IKN, Jokowi menargetkan bandara itu dapat beroperasi penuh pada 2024.\"Hari ini kita segera akan melakukan groundbreaking pembangunan Bandar Udara Ibu Kota Nusantara (IKN) yang ditargetkan akan beroperasi penuh pada Desember 2024,\" tuturnya.Menurut Jokowi, pembangunan Bandara IKN ditargetkan selesai dan sudah dapat digunakan pada Juni 2024, namun resmi operasional pada Desember 2024. Kehadiran Bandara IKN, kata Jokowi, sangat penting seiring dengan padatnya kegiatan dan mobilitas orang, begitu juga barang dari dan menuju IKN.(ida/ANTARA)
Surat Terbuka Kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
Makna dan substansi Pasal 24C UUD 1945 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final - putusan melanggar hukum wajib batal demi hukum. Oleh Anthony Budiawan | Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) TUGAS Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terkait laporan dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi sungguh maha berat. Bukan karena materinya berat, tetapi karena dikejar waktu. Salah satu dugaan pelanggaran kode etik yang dilaporkan adalah hubungan kerabat, atau benturan kepentingan, antara pihak yang berperkara, yaitu ketua hakim konstitusi Anwar Usman, yang berstatus sebagai adik ipar Presiden Jokowi, sekaligus paman dari Gibran yang patut diduga sebagai pihak yang akan menerima manfaat dari uji perkara dimaksud di atas. Mahasiswa yang mengajukan permohonan uji materi secara jelas menyatakan kagum atas prestasi Gibran di dalam permohonannya, oleh karena itu memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar kepala daerah juga bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden meskipun belum cukup umur seperti diatur di dalam UU. Berdasarkan pasal 17 ayat (5) UU kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2008, ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dilarang ikut menangani perkara ini karena ada benturan kepentingan. Kekhawatiran UU dan kekhawatiran masyarakat terbukti. Benturan kepentingan ini menghasilkan putusan kontroversial. Mahkamah Konstitusi diduga memutus perkara melampaui wewenang yang diberikan Konstitusi (UUD). Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengabaikan pasal 17 ayat (5) tersebut. Anwar Usman diduga keras mempunyai niat tidak baik dalam menangani perkara ini, sehingga menghasilkan putusan tidak berdasarkan pertimbangan hukum secara murni dan adil. Anwar Usman mengabaikan azas iktikad baik (good faith) yang menjadi pedoman dan tuntutan dalam menjalankan hukum secara adil. Karena itu, para pelapor dugaan pelanggaran kode etik memohon kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi agar menyatakan Anwar Usman bersalah melanggar pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman. Sebagai konsekuensi, putusan hakim tersebut dinyatakan tidak sah, atau batal demi hukum, sesuai bunyi pasal 17 ayat (6) UU Kekuasaan Kehakiman. Pada kesempatan konferensi pers yang digelar oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (31/10), wartawan bertanya apakah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. https://youtu.be/wTEJoyBC64k?si=IfX3gd2ck4ghNm61 Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie tidak menjawab secara jelas. Jimly Asshiddiqie ragu apakah mempunyai wewenang membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, dengan alasan pasal 24C ayat (1) UUD menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final. Sedangkan hierarki UU Kekuasaan Kehakiman berada di bawah UUD sehingga tidak bisa bertentangan atau membatalkan pasal di dalam UUD. Jimly Asshiddiqie kemudian minta kepada masyarakat untuk memberi alasan yang bisa meyakinkan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat dibatalkan. Dalam kesempatan ini, saya ingin memberi sumbang saran bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait perkara ini wajib dinyatakan tidak sah, sesuai konstitusi. Artinya, tidak melanggar pasal 24C ayat (1) UUD dimaksud. Alasan pertama, UUD dibuat berdasarkan norma dalam kondisi normal atau kondisi ideal, di mana semua pihak taat hukum, dan mematuhi semua peraturan perundangan-undangan dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Tetapi, kalau satu kondisi tercipta akibat ada penyimpangan atau pelanggaran hukum, maka secara otomatis UUD tidak bisa dan tidak boleh melindungi pelanggaran hukum tersebut. Karena UUD dibuat berdasarkan azas good faith atau iktikad baik. Artinya, dalam hal putusan Mahkamah Konstitusi diambil dalam kondisi normal dan tidak ada pelanggaran hukum, maka benar, putusan Mahkamah Konstitusi tidak bisa diganggu gugat atau dibatalkan. Final. Tetapi, kalau putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pelanggaran hukum, apalagi kalau ada tindak pidana, maka putusan tersebut menjadi cacat hukum dan tidak sah, harus batal demi hukum. Dalam hal ini, putusan tidak sah tersebut tidak ada kaitannya dengan pasal 24C ayat (1) UUD. Putusan tidak sah tersebut harus dimaknai bukan membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga artinya tidak melanggar pasal 24C ayat (1) UUD. Selain itu, putusan final Mahkamah Konstitusi di pasal 24C ayat (1) UUD tidak boleh digunakan untuk melindungi putusan Mahkamah Konstitusi yang melanggar hukum. Majelis Kehormatan Mahkamah konstitusi bahkan harus memaknai sebaliknya. Kalau terbukti terjadi pelanggaran pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman dalam menangani perkara ini, maka putusan hakim menjadi tidak sah, dan “putusan tidak sah” tersebut bersifat final dan mengikat, sesuai pasal 24C ayat (1) UUD. Perlu ditegaskan, secara prinsip, konstitusi tidak boleh melindungi kejahatan. Prinsip ini wajib ditaati oleh semua pihak. Oleh karena itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi tidak boleh membiarkan pasal 24C ayat (1) dijadikan tameng untuk melindungi kejahatan, kalau terbukti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdasarkan pelanggaran kode etik dan mufakat jahat. Bagi pihak yang secara sadar melindungi kejahatan termasuk ikut berbuat jahat. Kedua, pasal 24C ayat (5) menyatakan: “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi ……” Kalau terbukti Anwar Usman melanggar kode etik dan pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman, maka Anwar Usman melanggar pasal 24C ayat (5) UUD ini: Anwar Usman tidak mempunyai integritas, kepribadiannya tercela, tidak adil, bukan negarawan meskipun memahami konstitusi, tapi tidak menjalankan kekuasaannya sesuai konstitusi. Selain itu, ketiga, pasal 24C ayat (6) UUD memerintahkan, agar ketentuan lainnya diatur dengan undang-undang. Pasal 24C ayat (6) berbunyi: “Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, …. serta ketentuan lainnya …. diatur dengan undang-undang.” UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman harus dilihat sebagai perintah langsung pasal 24C ayat (6) UUD, untuk memastikan pasal 24C ayat (5) tentang hakim yang berintegritas dan adil dapat terwujud. Dalam butir menimbang UU Kekuasaan Kehakiman No 48 Tahun 2009 disebutkan secara eksplisit, untuk mewujudkan kekuasaan hakim yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, sesuai perintah UUD, maka diperlukan UU tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam butir Mengingat bahkan disebutkan lebih eksplisit lagi, bahwa UU tentang Kekuasaan Kehakiman bagian dari penjabaran UUD, antara lain Pasal 24C. “Mengingat: Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;” Dengan demikian, UU Kekuasaan Kehakiman harus dilihat sebagai wujud nyata untuk melindungi konstitusi dari potensi kejahatan, yang sekarang ternyata terbukti, dan sedang berlangsung. Pasal 17 ayat (5) khususnya untuk melindungi konstitusi dari kejahatan hakim, sesuai kriteria pada pasal 24C ayat (5) UUD. Dengan demikian, semoga Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dapat melihat permasalahan ini secara jernih, bahwa pelanggaran terhadap pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman pada hakekatnya adalah pelanggaran terhadap Pasal 24C ayat (5) UUD, sehingga putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pelanggaran hukum atau kejahatan, wajib batal. (*)
Politik Kekerabatan, Bukan Monopoli Jokowi
Potik kekerabatan bukan monopoli Jokowi. Megawati Sukarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono sudah menjadi imam dalam hal dinasti. Hary Tanoesoedibjo pun tanpa merasa risih memasang istri dan selutuh anaknya untuk duduk di kursi Senayan. Oleh: Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN Partai Perindo seakan sudah menjadi kendaraan pribadi keluarga Hary Tanoesoedibjo. Taipan ini mengusung istri dan semua anaknya turut serta berjuang menguasai Senayan. Istri Hary Tanoe, Liliyana Tanaja Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg Partai Perindo untuk Dapil Jakarta II dengan nomor urut 1. Anak pertama Hary, Angela H Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg dari Partai Perindo untuk Dapil Jawa Timur I. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu mendapatkan nomor urut 1. Anak kedua Hary, Valencia H Tanoesoedibjo tercatat sebagai bakal caleg dari Partai Perindo di Dapil Jakarta III, dengan nomor urut 1. Anak ketiganya, Jessica Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg di Dapil NTT II, dengan nomor urut 1. Selanjutnya, anak keempat Hary, Clarissa Tanoesoedibjo sebagai bakal caleg di Dapil Jawa Barat I, dengan nomor urut 2. Adapun anak bungsu Hary, Warren Tanoesoedibjo bakal caleg di Dapil Jawa Tengah I, dengan nomor urut 2. Hary Tanoesoedibjo juga sendiri terdaftar di Dapil Banten III. Dia mendapatkan urut 1 di antara bakal caleg Perindo lainnya di dapil tersebut. Fenomena politik kekerabatan tampaknya kian mengental pada Pemilu 2024. Bukan hanya Hary Tanoe yang memboyong keluarganya untuk meramaikan pesta demokrasi tersebut. Fenomena itu terjadi di banyak partai politik. Para bakal caleg keluarga elite partai politik itu jumlahnya sedikitnya hampir 20 orang. Keikutsertaan mereka diketahui setelah KPU RI mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR RI pada Agustus lalu. Dalam dokumen tersebut, terdapat 9.919 nama bakal caleg yang diusung 18 partai politik untuk bertarung di 84 daerah pemilihan (dapil). Tampak lima nama bakal caleg yang merupakan istri atau suami dari elite partai politik. Bahkan, empat di antaranya nyaleg bareng dengan pasangannya. Himmatul Aliyah, istri dari Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, misalnya. Himmatul tercatat sebagai bakal caleg Partai Gerindra untuk Dapil DKI Jakarta II dengan nomor urut 1, sedangkan Muzani sendiri nyaleg di Dapil Lampung I dengan nomor urut 1. Ada juga Netty Prasetiyani, istri dari Wakil Ketua Majelis Syura PKS yang juga mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher). Netty jadi bakal caleg PKS di Dapil Jawa Barat VIII dengan nomor urut 1, sedangkan Aher berlaga di Dapil Jawa Barat II dengan nomor urut 1. Lalu ada Erry Ayudhiansyah. Dia adalah suami dari Ketua DPP PKB sekaligus Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim. Erry jadi bakal caleg PKB untuk Dapil Banten II dengan nomor urut 1, sedangkan Chusnunia akan bertarung di Dapil Lampung I dengan nomor 1. Julie Sutrisno Laiskodat tak ketinggalan. Istri dari politikus senior Partai Nasdem sekaligus Gubernur NTT Viktor Laiskodat ini jadi caleg Partai Nasdem untuk Dapil Dapil NTT I dengan nomor urut 1, sedangkan Viktor maju di Dapil NTT II dengan nomor urut 1. Begitu juga Atalia Praratya. Istri Ridwan Kamil, Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Gubernur Jawa Barat ini bakal caleg Partai Golkar di Dapil Jawa Barat I dengan nomor urut 2. Jika dicermati, termasuk Hary Tanoe, ada delapan bakal caleg DPR yang punya hubungan dengan elite politik sebagai ayah-anak atau nenek-cucu atau paman-keponakan. Mereka itu misalnya Parananda Surya Paloh. Anak Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem ini sebagai bakal caleg nomor urut 1 di Dapil Sumatera Utara I untuk Nasdem. Ada juga Putri Zulkifli Hasan, anak dari Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Putri jadi bakal caleg PAN di Dapil Lampung I dengan nomor urut 1. Lalu, Rivandra Airlangga, putra dari Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. Rivandra tercatat sebagai bakal caleg Partai Golkar untuk Dapil Jawa Barat V dengan nomor urut 1. Hisan Anis Matta, putri dari Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta juga tak ketinggalan. Hisan jadi bakal caleg Partai Gelora di Dapil Jawa Barat V dengan nomor urut 1. M Rasyid Rajasa, putra dari Ketua Majelis Penasihat PAN Hatta Rajasa. Rasyid terdaftar sebagai bakal caleg PAN di Dapil Jawa Barat I dengan nomor urut 5. Erwin Aksa, keponakan dari mantan wakil presiden RI sekaligus mantan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla (JK). Erwin yang kini menduduki posisi Ketua DPP Partai Golkar ternyata maju sebagai bakal caleg di Dapil Jakarta III dengan nomor urut 2. Rahayu Saraswati, anak dari Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Hasyim Djojohadikusumo sekaligus keponakan dari Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang kini memegang jabatan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra maju sebagai bakal caleg di Dapil Jakarta III dengan nomor urut 1. Diah Pikantan O Putri Hapran juga begitu. Pikantan merupakan anak dari Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani. Dia tentu cucu dari Ketua Umum PDIP sekaligus mantan presiden RI Megawati Soekarnoputri. Pikantan jadi bakal caleg dari partai berlogo banteng itu di Dapil Jawa Tengah IV dengan nomor urut 1. Merusak Demokrasi Fenomena keluarga elite partai politik menjadi bakal caleg ini merupakan bentuk politik kekerabatan. Fenomena ini disebut merusak demokrasi dari banyak sisi. \"Jaringan politik kekerabatan ini sulit diketahui oleh masyarakat, padahal itu dampaknya buruk, merusak demokrasi kita,\" kata Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi). Pada umumnya caleg-caleg kekerabatan ini menjadi caleg dengan menempuh jalan pintas, yakni mengandalkan kedekatan dengan elite partai. Mereka biasanya mendaftar di hari terakhir pendaftaran dan tidak mengikuti tahapan kaderisasi seperti anggota partai lainnya. Itu sebabnya, fenomena politik kekerabatan merusak proses kaderisasi partai karena kader-kader potensial yang sudah mengikuti tahapan kaderisasi, bahkan mungkin pencalonan, terhalang langkahnya menjadi caleg karena harus mengalah dengan keluarga elite partai. Kalaupun bisa menjadi caleg, para kader tetap saja harus merelakan nomor urut kecil apabila terdaftar di dapil yang sama dengan keluarga bos partai. Politik kekerabatan atau politik dinasti ini terjadi karena regulasi pemilu tidak melarang hal tersebut. Praktik tersebut semakin subur akibat adanya \"oligarki partai\" alias segelintir orang yang punya kuasa penuh menentukan kebijakan partai. \"Jadi saya kira (fenomena politik kekerabatan ini) berbanding lurus dengan faktor partai politik kita yang masih dikuasai oligarki. Jadi politik dinasti itu sudah menjadi satu hal yang tak terelakkan,\" kata Lucius. Elit Pemangsa Dinasti politik adalah fenomena yang terjadi setiap pemilu. Para pembuat undang-undang pun tak pernah membuat rekomendasi atau memastikan agar dinasti politik tak terjadi lagi. Tengok saja trah Yudhoyono yang maju melalui Partai Demokrat. Trah ini dinahkodai oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Rombongan keluarga yang maju caleg ini adalah akibat kepengurusan dan keanggotaan partai politik yang memberi keistimewaan pada kader yang dekat dengan ketua umum. Hal ini agar praktik menyimpang bisa dikendalikan. “Ini semua bisa dijelaskan karena oligarki partai yang belum juga berubah. Jadi politik dinasti itu sudah menjadi satu hal yang tak terelakkan,” ujar Lucius. Politik dinasti sebenarnya bukan sistem yang tepat diterapkan negara yang demokratis. Pasalnya, setiap warga negara memiliki hak suara yang harus dijamin dan dipenuhi. Selain itu, politik dinasti juga mampu menyuburkan budaya korupsi dan kecenderungan mempertahankan kekuasaan. Banyak studi membuktikan bahwa sejak awal terjadi pembajakan terhadap lembaga-lembaga dan prosedur Demokrasi, dan ini menjadikan demokratisasi Indonesia berwatak sangat elitis. Robison & Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, yaitu politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru pasca pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis. Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya”dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan, senjata, teknologi). Dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki. Akan tetapi ada studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008) melihat bahwa“demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis. ”Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan–sekaligus merebut kekuasaan–melalui kompetisi electoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Sehingga, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki. Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen penting neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Soeharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak Soeharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligark sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligark pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Sehingga Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.
Selamatkan Kapal!
Oleh Yudi Latif | Pemikir Saudaraku, saat menumpang bahtera Republik yang limbung, jernihkan pikir dan ingatlah pesan Kartini. \"Andaikata aku anak laki-laki, aku tak akan berpikir dua kali, untuk segera menjadi pelaut...Kami tak lagi ingin berlayar di atas kapal yang sedang tenggelam; Keberanian tangan yang memegang kemudi, dan memompa kebocoran, tentulah telah dapat menyelamatkan kita dari kehancuran.\" Negeri ini tak bisa dikatakan baik-baik saja. Secara jasmaniah bangsa ini tumbuh. Namun, di seantero negeri kualitas pikir mundur, karakter tumpur. Gerak politik kita ke masa depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan, dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera. Setiap saat, kapal republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya. Kita tak bisa terus menunggu. Kita biarkan bangsa ini hancur atau bangkit bertempur. Tanpa keberanian tangan-tangan yang turut meluruskan haluan kapal, kita akan tertinggal kecepatan retakan yang bisa merobohkan keutuhan negeri. Engkau saksikan sendiri, elit negeri beradu siasat dengan melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Rakyat kebanyakan hidup tanpa perlindungan berarti dari negara, bak yatim piatu yang ditinggalkan, dikhianati, dan dikorbankan. Dalam kondisi kerakyatan yatim piatu, bahaya terbesar muncul dari pola pikir ketergantungan dan mentalitas korban yang serba pasif, menanti kedatangan sang juru selamat. Warga harus bangkit bertempur, menghidupkan etos kepahlawanan dalam dirinya. Dengan menghidupkan jiwa pejuang, warga bisa menjalani kehidupan lebih gigih dan bertenaga, tak lembek membiarkan kejahatan dan pengkhianatan berjalan tanpa perlawanan. Aktif terlibat dalam tarian kehidupan, tak sekadar penonton yang pandainya cuma berteriak, mengumpat, dan mengeluh. Saatnya kita jadikan kepahlawanan sebagai sesuatu yg hidup di dalam diri, sekarang dan di sini. Seraya tak lupa munajat dan tawakal kepada Sang Maha Penolong. ”Ya Tuhan, lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang nakhoda dan awak kapal mencari selamat sendiri. Tolong, selamatkan kami!\" (Belajar Merunduk, Yudi Latif)
Silent Majority Mendukung Anies Baswedan
Oleh Tony Rosyid | Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa ANIES Baswedan, tokoh ini menjadi pembeda diantara dua capres lainnya. Jika Prabowo dan Ganjar berasal dari koalisi kekuasaan, Anies Baswedan tampil secara konsisten di pihak oposisi. Anies mengusung \"spirit perubahan\" yang tidak mungkin tema ini dinarasikan oleh kedua capres lainnya. Dengan tema \"perubahan\" Anies leluasa mengoreksi kepemimpinan sebelumnya. Tidak berarti semua salah. Tapi akan ada banyak yang perlu dikoreksi dan Anies punya ruang untuk menawarkan gagasan-gagasan dan program-program yang baru dan lebih segar. Sesuatu yang baru akan ditunggu dan lebih diminati rakyat. Dari peran ini, logikanya, dukungan rakyat terhadap Anies Baswedan akan sangat besar. Karena hadirnya Anies yang fresh ini diinginkan oleh mayoritas rakyat. Indikator yang bisa menjelaskan logika ini adalah pertama, lahirnya ratusan simpul-simpul relawan yang secara sukarela melakukan kerja-kerja politik buat Anies Baswedan. Kedua, adanya gelombang massa yang selalu bergerak ke setiap acara yang dihadiri Anies. Dua indikator ini cukup menjelaskan silent mojority yang punya harapan besar terhadap Anis Baswedan untuk memimpin negeri ini kedepan. Ekspektasi kepada Anies makin besar ketika keadaan rakyat pada hari ini sedang sangat memprihatinkan. Survei yang dilakukan Polmark di 32 provinsi (di luar 6 provinsi di Papua) dengan 38.400 responden dan margin of error 0,51% mengungkapkan fakta yang menuntut munculnya seorang pemimpin baru yang mampu melakukan perbaikan. Fakta itu adalah bahwa 92,6% rakyat merasakan harga bahan pokok naik dan tidak terjangkau. 98,5% rakyat merasa bahwa korupsi yang masif saat ini telah mengakibatkan kehidupan rakyat semakin sulit. 89,5% rakyat juga merasakan kesulitan mencari lapangan pekerjaan. 80,3% rakyat merasa bahwa layanan kesehatan tidak merata untuk bisa dinikmati oleh masyarakat miskin. 76,6% mengatakan bahwa infrastruktur telah berkembang tapi belum mampu meperbaiki kehidupan rakyat. Polmark juga mengungkapkan temuan bahwa 65,5% rakyat mengalami penurunan pendapatan. 49,6% mengalami kekacauan ekonomi. 29,6% rakyat kehilangan pendapatan. Fakta ini memberi karpet merah buat Anies Baswedan untuk menjawab tantangan terutama terkait kesulitan ekonomi dan sempitnya lapangan pekerjaan yang sedang dialami oleh mayoritas rakyat. Logikanya, rakyat tidak banyak bisa berharap kepada Prabowo dan Ganjar yang notebene adalah bagian dari kekuasaan. Apalagi Jawa Tengah misalnya, adalah provinsi di wilayah Jawa dengan tingkat kemiskinan terparah setelah Jogja. Apa yang bisa diharapkan untuk menyelesaikan kesulitan ekonomi yang dialami rakyat saat ini. Ini akan menyulitkan bagi Ganjar untuk mengangkat tema kesejahteraan. Tema kesejahteraan juga akan sulit dinarasikan oleh Prabowo, karena terbentur oleh program food state yang gagal. Meski begitu, tidak serta merta bagi Anies Baswedan, dan juga Muhaimin Iskandar untuk dengan mudah mengambil suara rakyat yang sedang sekarat ini. Setidaknya ada dua tantangan yang akan dihadapi Anies-Muhaimin. Pertama, potensi abuse of power. Penyalahgunaan kekuasaan. Penggunaan instrumen (alat) negara dan kecurangan menjadi hal yang laten terjadi pada setiap pemilu. Pemilu 2019, Prabowo jadi korban. Saat ini, Prabowo telah menjadi bagian dari kekuasaan. Dari tiga capres, hanya Anies Baswedan yang berada di luar kekuasaan. Kedua, money politics. Di tengah intimidasi terhadap para donatur (penyumbang relawan) Anies, lawan politik sedang menghambur-hamburkan uang. Dua lawan politik Anies memiliki logistik yang relatif tidak terbatas. Fakta di lapangan, pemilu sering dipersepsikan sebagai masa panen bagi banyak tokoh, agamawan, dan sebagian aktifis untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Tidak sedikit yang bersikap pragmatis. Aji mumpung. Idealisme hilang, nasib masa depan bangsa absen dari memori yang ada di kepala dan nurani banyak tokoh dan agamawan. \"Berapa anda dikasih Anies Baswedan? Kami siapkan mobil dan dana operasional sekian.\" Ini adalah kalimat yang sering kita dengar dari tim lawan Anies. Otomatis akan selalu menggoda iman dan konsistensi para tokoh dan agamawan yang berada di kubu Anies. Karena sering kita dengar, maka anda akan mudah mengeceknya. Apakah Anies dengan keterbatasan logistik akan tetap mampu menjaga simpati rakyat di tengah praktek abuse of power dan money politic yang semakin masif? Di sinilah kemampuan tim Anies-Muhaimin akan diuji dalam mengkonsolidasikan suara dari silent majority tersebut. Jakarta, 1 November 2023
Membaca Psikologis dan Gestur Politik Jokowi Hari Ini
Oleh Dr. Anton Permana | Direktur TDM Institute DALAM piramida teori Maslow, power dan kendali adalah puncak tertinggi dari ambisi dan tingkat kebutuhan manusia setelah kebutuhan biologis, psikologis, popularitas (pengaruh), power kekuasaan, dan King Maker. Jadi wajar, ketika seseorang yang menjabat sebuah jabatan tertinggi di sebuah pemerintahan (nagara) maupun organisasi, ketika mau turun habis masa jabatannya akan mengalami apa yang disebut “Post power syndrom”. Dan ini lazim menimpa siapapun manusianya. Gejala post power syndrom ini, dalam teori kekuasaan menimbulkan berbagai macam dampak tergantung situasi, lingkungan, dan watak figur tokohnya. Ada yang soft landing dan happy landing, menjadi warga negara biasa yang kemudian aktif di lembaga charity dan keagamaan. Ada juga yang paranoid, gelisah, grasa-grusu hingga cawe-cawe karena mungkin tidak siap dengan kondisi politik yang terjadi. Begitu juga yang dapat kita lihat dari seorang Jokowi dalam beberapa bulan terakhir ini. Bagaimana manuver dan gestur politiknya cukup membuat “kaget” banyak pihak, khususnya pihak pendukung utama seperti PDIP dan para pendukung koalisi lainnya baik partai maupun non-partai. Puncaknya adalah terkait putusan kontroversial MK yang secara vulgar memberi karpet merah buat anaknya Gibran Rakabuming untuk menjadi Bacawapres Prabowo Subianto. Yang saat ini sudah terdaftar sebagai Bacapres-Bacawapres didukung Partai Gerindra, Golkar, Gelora, PBB, dan PSI. Sontak, langkah kuda politik Jokowi ini membuat sebahagian ada yang marah, kesel, geram, bahkan ada juga yang tepuk tangan dan tersenyum menang. Kenapa Jokowi bisa berubah seperti itu ? Memilih koalisi baru dan meninggalkan parpol dan orang-orang yang menjadikannya Presiden ? Mari kita baca analisa di bawah ini : 1. Saat ini, jangan sekali-kali coba ganggu, hambat, bahkan menyerang Jokowi. Pasti akan berimbas fatal. Karena secara psikologis dan gestur politiknya, saat ini Jokowi sedang berada di puncak kekuasaan dan di puncak kepercayaan diri yang sangat tinggi. Pedang kekuasaan Jokowi sedang terhunus dari sarungnya dan mengkilap tajam. Semua lini kekuasaan sudah di bawah kendali Jokowi. Terutama TNI-POLRI (khususnya Polri yang menjadi stabilisator kekuatan utama Jokowi). KPK, BIN, MK, MA, dan kekuatan pihak legislatif pun tiarap menyelamatkan diri masing-masing. Rekam jejak mereka semua sudah masuk dalam “permainan” peta konflik kekuasaan. Karena hampir semua lini sendi kekuasaan tersandera kasus. Seperti ungkapan Hasto Sekjen PDIP, dengan istilah “kartu truf”. Artinya, saat ini Jokowi dalam kondisi siaga tempur, dengan siapa saja yang coba-coba menggangu kepentingan dan agenda politiknya kedepan. 2. Point nomor 1 di atas terjadi karena ada analisis gestur yang menyatakan bahwa ; saat ini Jokowi seakan ingin menyatakan kepada semua pihak bahwa dirinya adalah “The real President”. Beliau saat ini adalah “The real King Maker” yang memegang kendali politik di Indonesia saat ini secara tunggal dan powerful. Analisis ini lebih diperkuat lagi dengan drama makan siang bersama para kandidat Capres di Istana negara. Show of Force ini sangat perlu Jokowi lakukan untuk membantah bahwa dirinya selama ini adalah boneka politik. Untuk membalik anggapan bahwa dirinya hanya seorang “petugas partai” dan bisanya hanya planga-plongo. Semua stigma dan anggapan ini yang secara gestur politik Jokowi ingin balik 180 derjat. Bahkan seorang Ketua Umum PDIP Megawati pun, yang notabone nya adalah partai terbesar dan utama pendukung pemerintah, Jokowi tinggalkan. The Queen Maker dan julukan wanita terkuat di dunia saat ini, dibuat tak berdaya dan kebingungan oleh manuver politik Jokowi. Atau ada juga pendapat (second opinion) atau anekdot yang mengatakan, “Jokowi itu baru tersadar dirinya itu adalah Presiden satu tahun belakangan ini. Makanya, terjadi perubahan prilaku Jokowi yang sebelumnya banyak nurut dan humbble sekarang menjadi “berdarah dingin” bahkan kepada sesama koalisinya sendiri”. 3. Secara geopolitik global dan regional, Jokowi juga seakan memberikan sinyal kepada kekuatan elit global dan para oligarkhi dunia. Bahwa, kalau punya kepentingan terhadap Indonesia saat ini, hanya ada satu penguasa tunggal bernama Jokowi. Lawatan Jokowi ke China bertemu Jin Ping dan ke Arab Saudi minggu kemaren, juga memberikan sinyal kepada kita bahwa, dua sumber logistik supporting politik kekuatan global sudah “disabotase” Jokowi. Siapa tahu kalau dalam pertemuan tersebut, bisa saja Jokowi memanfaatkannya untuk mendapatkan dukungan politik dan finansial buat pasangan kandidat Prabowo dan anaknya Gibran. Karena secara narasi politik, dimata dunia internasional, bersatunya Prabowo dan Gibran sebagai reseprentasi Jokowi sangat positif di mata elit global. Sangat berbeda dengan opini dan tanggapan rakyat Indonesia yang sangat kontroversial. Lalu bisa jadi juga, lawatan Jokowi memblokade dukungan China ke Ganjar dan dukungan dunia Arab ke Anies Baswedan, dan mengalihkannya ke pasangan Prabowo-Gibran. Ini baru dugaan bisa salah dan juga bisa benar. Namun dalam dunia politik ini lazim terjadi. 4. Ada opini yang beredar bahwa, konflik antara Mega Vs Jokowi adalah drama politik semata. Namun, bagi yang punya akses informasi ke dalam ring 1 pusaran kekuasaan, opini tersebut mudah terbantahkan. Karena, konflik antara Megawati Vs Jokowi ini adalah perebutan akan siapa yang menjadi pemegang kendali politik nasional di Indonesia saat ini. The Queen Maker (Megawati) vs The King Maker (Jokowi) ? Dan titik konflik mulai meretak itu adalah sejak Megawati mengumumkan secara sepihak Ganjar sebagai Capres PDIP tanpa melibatkan Jokowi. Di sini Megawati ingin memperlihatkan bahwa dirinyalah yang memegang kendali politik, namun di satu sisi Jokowi yang jelas sebagai Presiden tentu tak ingin di akhir masa jabatannya berlalu begitu saja. Jokowi tentu mempunyai kepentingan untuk menjamin keamanan masa depan diri dan keluarganya. Dan Jokowi tentu perlu memastikan bahwa yang akan menjabat Presiden selanjutnya adalah yang bisa mengamankan nasib keluarganya dan “utang” politiknya terhadap China seperti pembangunan IKN dan beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya. Apalagi konflik antara mereka berdua sudah merebak lama. Di satu sisi Megawati merasa Jokowi lebih melayani dan memberikan keuntungan manfaat kepada kelompok bisnisnya seperti LBP Cs, tapi di satu sisi Jokowi juga terlalu didikte dan merasa direndahkan dengan ungkapan-ungakapn “Petugas Partai” dan “Jokowi bukanlah siapa-siapa kalau tak ada PDIP..” dari Megawati. Ini sesuai penjelasan tokoh senior PDIP bung Panda Nababan dalam sebuah Podcastnya. Artinya adalah, konflik antara Megawati dan Jokowi sangat serius. Awalnya mungkin hanya sekedar “psywar” saja. Keinginan Jokowi ingin memperpanjang masa jabatan Presiden, Megawati menolak. Lalu Jokowi ingin memasangkan Prabowo-Ganjar biar cukup dua pasang dan akan mudah menang, Megawati juga menolak. Barulah Jokowi melalui tangan-tangannya manuver menjadikan Kaesang ketua PSI, dan Gibran dimajukan jadi Cawapres dari Golkar. Apa ada kemungkinan mereka akan rujuk kembali? Wallahu’alam. Namanya politik, semua hal bisa terjadi. Karena yang abadi itu hanya kepentingan. 5. Dengan sudah mendaftarkannya Prabowo-Gibran ke KPU, Kaesang sudah jadi ketua PSI. Apa mungkin Jokowi mengambil langkah ini tanpa persiapan? Tanpa keyakinan untuk menang? Tanpa menggunakan kekuasaannya untuk menang? Putusan MK, perlawanan Jokowi terhadap PDIP dan Megawati memberikan sinyal kepada kita bahwa, seorang Jokowi “pasti” sudah mempersiapkan semuanya dengan rapi dan berlapis. Apalagi dengan kekuasaan presidensial yang ada ditanggannya saat ini, Jokowi ibarat sudah menjelma menjadi Pendekar Sakti Mandraguna. Karena memegang senjata pusaka bernama “kekuasaan”. Prabowo saja yang dahulu adalah musuh bebuyutannya sekarang sudah tunduk dan berada di bawah ketiak kekuasaannya. PDIP sebagai partai penguasapun sudah dicabut taringnya dan sibuk meratapi nasibnya. Para kelompok oposisi seperti IB HRS, Munarman, kelompok KAMI (termasuk saya) sudah selesai dipenjarakannya. Berbagai macam Ormas besar juga sudah dikuasai atau minimal dipecah belah menjadi dua bahagian. Untuk KPU, Bawaslu, TNI, Kapolri, KPUD, hingga Pj Kepala Daerah, semua dilantik atas kuasa Jokowi. Media dan Lembaga Survey pun saat ini ibarat sudah menjadi tim sorak sorai Jokowi. Kesimpulannya adalah ; hampir semua lini sudah dikuasai dan dikendalikan Jokowi. Secara kalkulasi tempur Jokowi sudah di atas angin. Makanya kita bisa melihat Prabowo begitu percaya diri dan energik. Dan begitu yakin Pilpres akan dimenangkan satu putaran saja. Namun apakah politik akan berjalan on the track sesuai skenario yang sudah dibangun ? Wallahu’alam. Bisa saja berjalan mulus dan lancar, tapi bisa juga terjadi extraordinary case. Kejadian luar biasa yang merubah segalanya. Dalam politik, hal itu biasa saja. Seperti contoh terdekat adalah Pilkada DKI 2017. Siapa sangka Ahok akan terjungkal kalah oleh Anies Baswedan. Padahal semua lini sudah dikuasai dan kendalikan penguasa saat itu. Nah sekarang, jagoan Jokowi “Prabowo-Gibran” mempunyai dua pasang kandidat lawan yang tidak bisa dianggap remeh. Ganjar-Mahfud yang didukung PDIP, dan AMIN yang diusung Nasdem-PKS-PKB. Dua pasang kandidat ini secara basis massa, sama2 menpunyai basis masa ideologis dan militan. Ganjar Mahfud dengan basis massa kiri, dan AMIN dengan basis massa Kanan. Kita akan lihat bagaimana Jokowi memainkan Pilpres dan Pemilu hari ini. Yang jelas, Jokowi pasti tidak akan main-main dengan hasil Pilpres mendatang. Minimal, Jokowi pasang orang-orangnya di tiga pasang kandidat ini. Meskipun yang utama tetap ada pada pasangan Prabowo-Gibran. Cuma harapan kita sebagai masyarakat adalah ; Siapapun yang akan terpilih dan menang nantinya adalah memang benar murni dari hasil pilihan rakyat. Bukan hasil rekayasa mesin Situng, rekapitulasi bodong PPK, ataupun C1 siluman. Karena, kecurangan hanya akan menghasilkan kegaduhan. Dan untuk itulah kita mengetuk pintu hati para penyelenggara Pemilu dan Pilpres, mulai dari KPPS, PPK, KPUD, KPU, Bawaslu, MK, TNI dan Polri hingga ASN dan BUMN untuk NETRAL. Tidak berpihak apalagi ikut “cawe-cawe” memenangkan satu pasangan kandidat tertentu. Karena hal itu akan merusak demokrasi dan menjerumuskan nasib bangsa kita menuju jurang kehancuran. Karena penguasa yang terpilih dari kecurangan hanya akan mendatangkan malapetaka dan kerusakan. Wallahu’alam. Batam, 01 November 2023.
Rencana Dukung Anies, DPP BroNies Temui Wakil Ketua Umum DPP PROJO
Jakarta | FNN - Ketua Umum DPP Relawan Bro Anies (BroNies) bersama Sekjen dan Bendahara Umum serta pengurus lainnya, Selasa sore, 31 Oktober 2023 menemui Wakil Ketua Umum DPP PROJO di hotel Namira Surabaya, Jawa Timur. Yusuf Blegur dan Guntur Siregar juga Deasy Narulita selaku Ketua Umum, Sekjen dan Bendahara Umum bersama rekan-rekan BroNies mengadakan silaturahim dengan Suhandoyo Wakil Ketua Umum aktif DPP PROJO sebagai pendiri dan pernah menjadi ketua PROJO Jawa Timur. Pertemuan BroNies dengan salah satu tokoh penggerak PROJO itu mencoba menjajaki rencana deklarasi PROJO mendukung Anies. Seperti yang sudah dideklarasikan, PROJO terbelah mendukung capres Prabowo dan Ganjar. Pertemuan BroNies dengan Handoyo yang juga menjadi Ketua Bapilu Partai Nasdem Jawa Timur, merupakan upaya untuk konsolidasi dalam rangka mempersiapkan dan menindaklanjuti aspirasi beberapa pengurus aktif PROJO yang selama ini merasa simpati dan memiliki empati terhadap figur Anies Baswedan. Yusuf dan Guntur mencoba meminta saran dan pertimbangan tentang pentingnya membangun komunikasi dan koordinasi dengan basis kekuatan nasionalis terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada Handoyo yang dikenal sebagai penggerak massa di Jawa Timur, ujar kedua pengurus BroNies yang Aktifis GMNI. Silaturahim itu disambut hangat dan antusias oleh Handoko yang pernah menjadi anggota DPRD dan Ketua Fraksi PDIP Jawa Timur. Pertemuan relawan pendukung Anies dan pendukung Jokowi (BroNies dan PROJO) tersebut menghasilkan satu agenda kegiatan Deklarasi PROJO Pro Anies, rencananya akan dilaksanakan antara di Jawa Timur, Jawa Tengah dan di Jakarta. Handoyo yang pernah mengumpulkan suara terbanyak dan memenangkan pemilihan Ketua DPD dalam Konferda PDIP Jawa Timur namun digagalkan oleh Hasto Kristianto-Sekjend PDIP, mengatakan akan melakukan konsolidasi PROJO Jawa Tengah juga. Apalagi banyak pengurus PROJO Jawa Tengah yang tidak puas dan kecewa kepada Prabowo yang memilih Gibran sebagai cawapresnya, pungkas Handoyo. Sementara Yusuf Blegur dan Guntur Siregar akan berusaha membantu memfasilitasi aspirasi atau keinginan Deklarasi PROJO Pro Anies bisa dilaksanakan di Jakarta. Kami akan komunikasi dengan semua pihak terkait yang bisa membantu kegiatan itu. Ini menjadi bentuk inisiasi dan tanggungjawab BroNies dalam menggalang semua potensi kekuatan politik yang berbasis ideologi kiri dan nasionalis demi memenangkan Anies sebagai presiden. In syaa Allah pasangan AMIN bisa membuat “matchsvorming” dan harus sanggup membangun “samen bundelling van alle revolutionary krachten”, menjelang pilpres 2024. Selain kehadiran Gus Imin dengan basis NU nya di Jatim dan Jateng, semoga kolaborasi BroNies dan PROJO dapat berkontribusi pada pemenangan pasangan AMIN. Aamiin. (*) *Surabaya, 31 Oktober 2023.* *DPP BroNies* *Yusuf Blegur-Ketua Umum* *Guntur Siregar-Sekjend*
Makan Siang di Istana: Anies Head To Head Dengan Jokowi
Oleh Asyari Usman | Jurnalis Senior Di sebelah kanan Jokowi ada Ganjar Pranowo. Di sebelah kiri ada Prabowo Subianto. Di depan Jokowi duduk Anies Baswedan. Inilah posisi di meja makan siang di Istana pada hari Senin kemarin (30/10/2023). Entah siapa yang mengatur posisi duduk ini. Dan kemudian posisi ketiga capres sewaktu mereka secara bersama menyampaikan penjelasan pers setelah makan siang itu. Saya tidak ahli tafsir bahasa tubuh atau body language. Tetapi, posisi duduk makan siang ketiga capres 2024 atas undangan Jokowi itu sangat menarik untuk dibaca dalam konteks kompetisi pilpres saat ini. Bagi saya, Prabowo dan Ganjar di kiri-kanan Jokowi menyiratkan banyak makna. Pertama, Prabowo dan Ganjar sangat dekat dengan Jokowi. Kedua, mereka bertiga ada di satu kubu. Ketiga, Anies adalah tamu mereka bertiga. Keempat, Anies paling jauh jaraknya dari Jokowi. Itu makna negatifnya. Tapi ada pula makna-makna positif. Pertama, Anies tidak kecut menghadapi ketiga lawan politiknya itu. Kedua, Anies menjadi “distinctive” alias beda sendiri dalam arti memiliki karisma dan aura sebagai bintang di meja makan. Ketiga, Anies seperti “keynote speaker” di situ. Alias, orang yang ditunggu kata-katanya. Yang juga sangat menarik adalah momen ketika ketiga capres berdiri di depan awak media yang menunggu mereka keluar. Di sini pun banyak bahasa tubuh yang secara natural membuat Anies menjadi pusat perhatian. Pertama, ketika mereka secara bergantian menyampaikan komentar tentang makan siang itu kepada para wartawan. Mereka dalam posisi berdiri di podium. Prabowo pertama kemudian Anies. Setelah itu Ganjar. Dalam urutan ini, Anies berada di tengah. Selesai menyampaikan komentar, ketiga capres diminta berpegangan tangan. Alam mengatur Anies lagi-lagi berada di tengah. Di sebelah kanan Prabowo, di sebelah kiri Ganjar. Kembali ke meja makan, Anies berjarak paling jauh dengan Jokowi tetapi berhadap-hadapan diametral dengan Anies. Asli head to head. Faktanya, Anies memang tidak punya kaitan apa pun dengan Jokowi dalam proses pilpres ini. Tidak didukung Jokowi. Bahkan dimusuhi habis-habisan. Berkali-kali Jokowi gagal menjegal Anies. Dalam situasi sendirian di meja makan itulah Anies menyampaikan dengan santun tapi tegas agar Jokowi netral. Tidak mudah menyampaikan ini secara spontan dan tanpa beban. Upper cut pertama ke wajah Jokowi. Pesan netralitaa itu mengisyaratkan bahwa Jokowi tidak netral. Anies tidak takut mengucapkan itu di depan Jokowi langsung. Secara keseluruhan, makan siang di Istana itu berhasil dijadikan Anies sebagai tempat untuk menunjukkan bahwa Jokowi adalah manusia biasa. Anies tidak punya beban. Dia bersikap dan berbicara normal saja. Anies tidak datang sebagai pengemis dukungan. Beda dengan Prabowo dan Ganjar.[]
The Queen of Lip Service
Oleh M Rizal Fadillah | Pemerhati Politik dan Kebangsaan BEBERAPA waktu yang lalu BEM UI memberi gelar kepada Presiden Jokowi sebagai The King of Lip Service karena Jokowi ini berkarakter banyak janji atau program tetapi minim pelaksanaan. Bahasa gaulnya \"omdo\" omong doang atau omong dodol. Basa-basi alias bohong melulu. Sayangnya sang Raja tidak memiliki rasa bersalah, mungkin meyakini bahwa bohong adalah bagian dari \"service\". Baru dalam sejarah ketatanegaraan kita ada Presiden bergelar sedahsyat ini. Apalagi di mata mahasiswa, generasi penerus masa depan bangsa. Meski kadang berlebihan dalam semangat tetapi di kampus mereka dididik untuk berfikir akademis baik kritis, obyektif, analitis maupun sistematis. Mahasiswa terdidik untuk tidak suka pada basa basi atau perilaku munafik. Lip service adalah bentuk dari kemunafikan. Tidak mau dan tidak mampu bersikap konsisten atau konsekuen. Gelar mahasiswa kepada Jokowi sama saja dengan deklarasi bahwa Jokowi adalah pemimpin munafik. Sesuatu yang semestinya menjadi perilaku yang tidak boleh melekat pada seorang pemimpin, apalagi sebagai Presiden. Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran untuk Cawapres adalah sukses Jokowi. Memperkuat dukungan Jokowi kepada pasangan Prabowo-Gibran. Meneguhkan pelarian Jokowi dan Gibran dari PDIP. Dan tentu hal ini wajar membuat Megawati dan PDIP panas hati. Jokowi tidak balas budi walau dengan seribu narasi termasuk bermain di tiga kaki. Punggawa PDIP mulai mengkritisi Putusan MK hasil rekayasa Jokowi. Ada Hasto, Masinton, Beathor dan lainnya. Megawati mengatur ritme. Namun rakyat melihat sikap PDIP belum berkulminasi terapi baru tahap eskalasi. Ada kekhawatiran publik reaksi itu hanya menjadi bagian dari babak sebuah sandiwara. Sementara rakyat ditempatkan sebagai penonton yang sedang dibodohi. Megawati dan PDIP harus menunjukkan bukti bahwa mereka sungguh-sungguh untuk menjaga marwah. Permainan vulgar Jokowi tidak boleh dibiarkan. Megawati harus memecat Gibran sebagai tahap awal. Konsisten dengan pemecatan Budiman Sudjatmiko. Berikutnya Jokowi sebagai \"biang keladi\" harus diberi sanksi organisasi. Dipecat dari keanggotaan PDIP. Megawati harus berani. Janganlah bersikap seperti tayangan video di medsos dimana seekor banteng lari terbirit-birit ketakutan dihampiri oleh manusia berkostum kodok berwarna merah. Bila Megawati tidak berani bertindak maka asumsi publik tentang sandiwara memang terbukti. Jika dahulu Jokowi diberi predikat sebagai \"The King of Lip Service\" maka jangan-jangan Megawati kini digelari oleh banyak komunitas sebagai \"The Queen of Lip Service\". Artinya Jokowi dan Megawati sama saja. Menurut \"Bang Eddy Channel\" cuma bisa \"banyak cingcong\". Arah politik bangsa ke depan membutuhkan figur yang memiliki sikap politik jujur, berani, adil dan obyektif. Jokowi adalah akar dari problema bangsa yang harus segera dieliminasi. Tukang sandera yang tidak layak untuk terus berkuasa. Mesti dibuat rungkad. Megawati dan PDIP bisa memulai untuk itu. Saat ini Jokowi sedang nekad cawe-cawe memainkan boneka Gibran dengan mengelus-elus Prabowo. Tidak peduli lagi pada teriakan rakyat atau serudukan banteng. Kata mahasiswa hanya ada satu kata \"lawan !\". Kata aktivis dan oposisi: \"makzulkan !\" Kata rakyat secara serempak : \"penjarakan !\" Jokowi memang harus berhenti sampai sini. Agar tidak terus menerus melakukan kerusakan di muka bumi. Bumi pertiwi telah habis dicuri dan digagahi oleh Jokowi, kroni dan oligarki. Bandung, 1 November 2023.
Dinasti Politik: Bermula dari The Godfather Membagi-bagi Kekayaan Alam
Sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu. Oleh Dimas Huda | Jurnalis Senior FNN Beberapa negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi terjebak oligarki dan menjadi akar bagi terciptanya oligarki, termasuk di Indonesia. Salah satu institusi yang turut berperan adalah partai politik. Pertanyaan yang kemudian kerap mengusik adalah bagaimana sebuah institusi demokrasi seperti partai bisa terjebak dalam lingkaran oligarki? Kepala Puslit Politik LIPI, Firman Noo, menyebut di Indonesia keterjebakan itu disebabkan oleh beberapa hal antara lain. Pertama, Ketua Umum sebagai figur utama atau elite partai yang menjadi penentu. \"Orang-orang kuat\" ini muncul sebagai reprensentasi ideologis atau historis. Pada umumnya, di Indonesia saat ini, partai tidak bersifat ideologis. Figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor sejarah terbentuknya partai atau sebuah \"moment historis\" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas. Figur-figur memainkan peran kesejarahan partai itu menyebabkan penghormatan, yang akhirnya kerap berlebihan sehingga keberadaannya berikut inner circle di dalamnya sangat kokoh. Partai-partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya kemudian sebagai pimpinan partai, cenderung berpotensi mengalami oligarkis. Keberadaan figur ini, di satu sisi mampu menghadirkan stabilitas partai. Namun, di sisi lain juga berpotensi besar menghadirkan model pengaturan dan tata kelola partai yang sentralistik. Kedua, aspek historis ataupun ideologis. Kehadiran para figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan adanya ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan dimiliki figur. Colin Crouch (2004) menggunakan istilah \"firma politik\" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang pada akhirnya bagaimana partai dikelola. Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental saat ini karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. Dulu almarhum Cak Nur atau Nurcholish Majid pernah menyinggung faktor ini dengan istilah kepemilikan \"gizi\". Situasi ini sangat terasa terutama pada partai-partai yang tidak berorientasi values atau ideologi dalam aktivitasnya. Akibatnya, jaringan (networking ), konstelasi, ataupun kontestasi internal yang terbentuk saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor kekuatan material-finansial. Ketiga, pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai itu sendiri singkatnya adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai. Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. Dalam momen-momen tertentu, pelaksanaan musyawarah menjadi semu. Keputusan partai kerap diambil sepihak. Sementara hukuman bagi mereka yang membangkang atau dianggap tidak loyal bisa diputuskan secara cepat, tanpa harus melalui tahapan-tahapan pemeriksaan. Turunan dari lemahnya kelembagaan adalah proses kaderisasi yang mati suri. Pada akhirnya memungkinkan \"figur-figur asing\" untuk bisa langsung berada dalam lingkar kekuasaan, yang kiprahnya kebanyakan cenderung mengokohkan oligarki. Ketidakjelasan kaderisasi juga menyebabkan kader lebih terpicu untuk berlindung pada patron tertentu sehingga memuluskan pola hubungan patron-client, tentu saja mengganggu pembangunan demokrasi internal partai yang sehat. Keempat, AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figure pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini tentu mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang objektif. Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elite partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elite maupun ketergantungan kader pada manuver elite. Selain itu yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis. Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas, diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan partai yang reformer, dukungan aturan dukungan civil society. Pembenahan yang bersifat parsial dan tanpa dukungan komprehensif, jelas tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya pereduksian oligarki dalam partai politik. Kemudian menjawab pertanyaan ke dua yaitu bagaimana oligarki muncul di Indonesia? Dua Dimensi Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik. Menurut Winters, sistem oligarki pertama kali muncul di Indonesia pada tahun 1970 yang dibangun oleh Soeharto. Untuk memimpin sistem oligarki yang dibentuknya, Soeharto berlagak layaknya seorang The Godfather yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia pada kelompok-kelompok tertentu, seperti kelompok para jenderal, penguasa etnis Tionghoa dan kelompok pribumi. Setelah berkuasa, ancaman nyata Soeharto itu ada pada para Jenderal TNI, jadinya dia membagi-bagikan kekayaan misalnya dengan pengelolaan hutan di Kalimantan dan menyebut para Jenderal itu kaya karena dia. Soeharto itu seorang Godfather yang ekonomis dan politis. Sistem oligarki Soeharto mulai mengalami gangguan saat anak anak Soeharto menjadi dewasa dan mulai berbisnis. Kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, karena para oligark di bawah Soeharto sudah tidak mau membela Soeharto karena tingkah laku anak-anaknya sudah tidak bisa dikendalikan, contohnya ketika LB Moerdani mengeluhkan anak-anak Soeharto dan akhirnya dia dipecat. Pada saat ini di Indonesia, kekuatan oligark dikuasai oleh kalangan pribumi, karena mereka memiliki uang dan jabatan. Tetapi sebelumnya, di zaman Orde Baru, oligark dikuasai oleh pengusaha dari etnis Tionghoa, yang punya akses langsung ke Soeharto. Berbeda dengan era orde lama dan orde baru, pada masa reformasi ini bentuk demokrasinya berubah sejak pemilu tahun 1999. Hadirnya oligarki ini dimulai dari keberlangsungan sistem politik yang dipilih. Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti yang diterapkan di Indonesia, dalam skema penyelenggaraan pemilu didahului dengan pemilu legislatif, partai politik merupakan elemen penting. Partai politik memiliki peran strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen/DPR. Dengan melihat pada alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dengan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan. Dengan menggunakan mekanisme keterwakilan menuntut adanya individu-individu yang duduk di kursi parlemen/DPR. Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang melakukan rekrutmen menjaring wakil-wakil tersebut. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk duduk di kursi parlemen/DPR. Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut. Gurita Oligarki Hampir semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki -dalam istilah Pierre Bourdie- modal kapital dan sosial yang kuat. Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah. Pendidikan politik yang disajikan di masyarakat diringkas ke dalam materi-materi kampanye-kampanye yang gegap gempita, gaduh oleh berita bohong, menjatuhkan lawan dengan fitnah atau hoaks dan sama sekali tidak mencerahkan. Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat sebagai konstituennya dianggap sebagai obyek politik semata lima tahunan yaitu mendekati rakyat ketika membutuhkan suara rakyat dalam pemilu. Sebagai subyek demokrasi, seharusnya masyarakat dituntut mendapatkan pendidikan politik dan memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya. Namun dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana. Secara internal, partai politik bahkan kerapkali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme penjaringan calon anggota legislatif maupun kepala daerah oleh sejumlah partai. Tampak jelas bahwa seleksi calon legislatif dan kepala daerah justru dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak memungkinkan dipantau oleh publik. Belum lagi soal fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan calon pemimpin daerah. Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanisme hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah. Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan siapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada. Partai politik begitu kuat perannya dalam Negara, sehingga layak dikatagorikan sebagai monopolistik. Setelah lebih dari dua dekade, ternyata penguatan peran secara cepat (mendadak) yang tanpa dilandasi pendewasaan secara memadai itu, mengkondisikan partai menjadi rentan oleh jebakan hakikat kekuasaan berupa kecenderungan untuk membesar dan memusat. Maka tidaklah mengherankan, apabila dewasa ini semakin dikenali penguatan watak sistem kekuasaan oligarki dan bahkan aristokrasi di dalam partai politik. Sistem kekuasaan oligarki partai politik tampil melalui kecenderungan sentralisasi kekuasaan, dominasi elit partai, pragmatism berlebihan (opportunistic) dan kroniisme kepemimpinan (pengurus, yang secara keseluruhan dibungkus dengan pemandulan pelembagaan (institusionalisasi) partai. Dalam pada ini, gejala aristokratisasi partai terlihat dari kronilisasime elit atau penguasa partai yang mulai tergeser oleh nepotisme dan dinasti. (*)