ALL CATEGORY

Pancasila Menjadi Benteng Dampak Negatif Globalisasi TI

Serangan siber juga telah berkembang sampai tahap melumpuhkan sebagian atau seluruh instrumen dan infrasturktur siber sebuah negara. Tidak terkecuali juga Indonesia. Sifat serangan siber itu tidak hanya mengancam jiwa manusia. Namun mengancam jpula stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan sosial budaya. Kondisi ini membuat Indonesia kini mengalami krisis siber. By Komjen Pol. Dhama Pongrekun MH. MM Jakarta, FNN - Era globalisasi sekarang ini telah dijadikan alat untuk mengkoneksi secara global seluruh aspek kehidupan manusia. Koneksivitas global tersebut telah meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya dan politik. Basis utama dari sarana koneksitas global itu adalah money, power dan control Akibatnya setiap orang mampu mengakses informasi dengan bebas atau tanpa batas. Akses informasi itu, baik dalam bentuk gambar, tulisan maupun video yang dapat memanipulasi mindset manusia. Caranya, didahului dengan pelemahan sistem tubuh manusia, melalui perubahan struktur Deoxyribo Nucleic Acid (DNA), yang dirusak oleh gelombang elektromagnetik, dan mempunyai kekuatan hipnotis. Peralatan hipnotis yang bernama smartphone itu kita beli. Setelah dibeli, kita juga yang menggunakan. Namun yang mengontrol kita adalah mereka yang mendesain, dan memproduksi smartphone tersebut. Mereka mengontrol dan mengendalikan kita setiap saat. Kapan saja dan dimana saja, bila mereka mau. Rekayasa kehidupan, yang bisasanya disebut life engineering, dapat dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM). Life engineering bisanya dilakukan kapan saja, dan dimana saja. Dimulai dengan propaganda ketakutan, agar otok purba kita bekerja mencari perlindungan mempertahankan diri. Kerana pada hakikatnya life engineering itu sudah ada, sejak ini dunia diciptakan. Pada era modern, rekayasa kehidupan dilakukan melalui fase revolusi industry. Muaranya pada ditemukan tekonologi informasi dan tekonologi komnikasi. Media yang dipakai adalah internet, yang mulai digunakan sejak 20-30 tahun lalu. Sejak itu, globalisasi menjadi gelombang yang sangat dahsyat. Penguruh dan dampak dari globalisasi itu, sepertinya tidak bisa dibendung. Selalu ada dalam kehidupan sehari-hari kita. Sekarang, seluruh aspek kehidupan manusia, terhubung dengan mamanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Sementara sarana tekonologi informasi dan komunikasi yang dipakai sehari-hari adalah smartphone. Teknologi memang didesain untuk hadir di tengah-tengah kehidupan manusia. Teknologi juga didesain dengan sajian kecepatan dan efektivitas yang sangat tinggi. Teknologi telah memudahkan manusia yang menggunakannya saling berkonukasi secara praktis dan efisien. Walaupun demikian, kita jangan sampai terlena dan diperbudak oleh hadirnya teknologi tersebut. Kemajuan teknologi harus tetap kita waspadai. Tidak selamanya teknologi membawa dampak positif terhadap kehidupan manusia. Pengembangan teknologi misalnya, pada perangkat tekonologinya kerap disisipi aplikasi yang memiliki ekslusivitas, seperti pornografi dan candu. Misi-misi teknologi seperti inilah yang harus diwaspadai oleh para penggunanya. Dibalik semua kemudahan teknologi informasi saat ini, kemajuan teknologi juga mempunyai resiko dan ancaman. Pada umumnya teknologi tersebut, digunakan oleh barbagai negara untuk memenangkan persaingan kepentingan mereka di tingkat global. Pada titik itulah, perang sebagai bentuk puncak persaingan antara negara hadir dan berevolusi. Salah satu dampaknya, peperangan sekarang ini tidak hanya terbatas pada kontak fisik. Tidak juga hanya dengan menggunakan senjata konvensional. Konsep peperangan zaman now telah berkembang menjadi perang siber. Basisnya adalah penggunaan teknologi informasi dan komunkasi tersebut. Serangan siber juga telah berkembang sampai tahap melumpuhkan sebagian atau seluruh instrumen dan infrasturktur siber sebuah negara. Tidak terkecuali juga Indonesia. Sifat serangan siber itu tidak hanya mengancam jiwa manusia. Namun mengancam jpula stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan ketahanan sosial budaya. Kondisi ini membuat Indonesia kini mengalami krisis siber. Menghadapi kenyataan ini, semua komponen bangsa harus hadir mengantispasi kemungkinan terburuk. Karena Indonesia akan diserang oleh pusaran arus negative dari dampak globalisasi. Pusaran globalisasi itu memiliki tiga program besar, yaitu Money, Power dan Control. Pertahanan terbaik menghadapi ancaman globalisasi yang berbasis Money, Power dan Control itu adalah menghadirkan dasar negara Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sebab dasar negara Pancasila menempatkan manusia Indonesia mempercayai Tuhan Yang Maha Esa sebagai panduan kehidupan pribadi maupun berbangsa. Semua kemponen bangsa harus memperkuat ketahanan untuk menjiwai pilar bangsa Pancasila, dan UUD 1945 sebagai benteng menghadapi globalisasi hipnotis. Pengaruh globalisasi ini dijalankan dengan cara yang sistimatis, terstruktur dan masif ke semua lini pemerintahan. Semua orang ditanamkan suatu hidden agenda yang akan membuat kehidupan hanya satu arah. Yang ujung-ujungnya akan menyengsarakan bangsa, karena sudah ikut dengan agenda tersebut. Mereka melakukan agendanya dengan cara memberikan rasa ketakutan kepada kita. Dengan cara menyebarkan hipnotis ketakutan itu kita dipaksa mengikuti agenda yang sudah dijalankan. Agenga yang sistematis, karena dibumbui dengan kemudahan, kecepatan kepada manusia di dunia. Tanpa sadar akan membuai arah kehidupan yang luxury sebagai pemuas nafsu dunia. Kita jadi melupakan kehidupan kita yang berasal dari dunia supranatural. Bukan berasal dari suatu nilai angka atau eksak. Jika kita tidak berpegang teguh akan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka semua akan tergerus dengan kehidupan yang bernilai ekonomi. Era revolusi industri 4.0 dan kemajuan teknologi gadget khususnya, membuat kita kehilangan norma-norma. Membuat kita manipulasi mindset dengan aplikasi atau sarana yang ditawarkan. Sarana tersebut berisi materi-materi hipnotis yang penuh kebohongan dan propaganda ketakutan. Bahaya gelombang hypno elektromagnetik yang membuat kita menjadi addict. Penulis pernah mempraktekan bahaya gelombang hypno elektromagnetik itu dengan melakukan tes kinosiologi kepada dua mahasiswa dan satu narasumber pada seminar kebangsaan di Gereja Bethel Pekanbaru Sabtu (26/10/2019). Hasilnya, terbukti hypno elektromagnetik merusak sel-sel tubuh, apabila kita selalu dengan waktu yang lama mempergunakan gadget. Sudah waktunya Indonesia memiliki teknologi industri nasional yang di awaki anak-anak bangsa sendiri. Dampaknya, selain dapat memajukan ekonomi dalam negeri, hal ini juga dapat menjaga data keamanan seluruh bangsa Indonesia. Kita juga tidak lagi tergantung dengan bangsa lain seperti yang dikhawatirkan salah oleh Rektor Universitas Islam Negeri Jakarta Amany Burhanuddin Umar Lubis. Ketika menjadi pembicara di hadapan 300 lebih peserta Seminar Kebangsaan di Gereja Bethel Pekanbaru, penulis mengingatkan generasi muda bangsa harus berpedoman dengan Pancasila. Kerana dengan bangsa yang berdasar pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka akan sadar tentang pentingnya berprilaku hidup yang berkeadilan dan beradab itu. Kebhinekaan bangsa juga dengan sendirinya akan mempererat persatuan kita. Apabila persatuan sudah terwujud, tentu diharapkan setiap perbedaan pendapat, akan diakhiri dengan musyawarah dan mufakat. Pada akhirnya akan menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa indonesia. Penulis adalah Wakil Kepada Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN)

Jokowi Penentu Kesuksesan Prabowo

Secara konstitusional Prabowo tidak bisa menentukan sendiri apa yang mau dikerjakan di Kementerian Pertahanan. Prabowo harus, dengan semua kemampuan terbaik dan ketulusan hebat yang dimilikinya terhadap bangsa ini, harus mendapat otorisasi dari Presiden. Perintah konstitusi yang ini imperative. Oleh Dr. Margarito Kamis Jakarta, FNN - Prabowo Subianto adalah pria dengan jejak ketentaraan yang gemilang. Berkali-kali masuk ke gelanggangg pilpres. Satu kali sebagai calon wakil presiden dan dua kali sebagai calon presiden. Dua kali menjadi rifal tangguh bagi Jokowi. Sebanyak itu pula Prabowo, pria yang hebat ini menemukan akhir yang menyakitkan. Setidaknya untuk para supporternya. Kekalahan terakhir, teridentifikasi sebagai kekalahan paling menyakitkan. Itu karena berbagai soal pada pemilu 2019 ini betul-betul sulit dinalar dengan akal sehat. Begitu banyak petugas pemungutan suara yang menemui akhir hidupnya. Mereka mati di hari-hari pencatatan perolehan suara. Kematian ratusan petugas pencatat suara ini adalah satu soal sangat pahit. peroalan pahit lainnya adalah jumlahnya yang sulit untuk diterima dan dimengerti. Anehnya, semua berlalu dengan langgam. Bahkan mencedurung menyepelekan sebagai sebuah kelaziman di pesta demokrasi. Tanpa penjelasan, yang memadai, semuanya terkubur begitu saja dalam keangkuhan rendahan. Betul, di luar kematian yang masal itu, semua fakta busuk lain dalam pemilu telah terbantah secara legal. Lagi-lagi itu memang betul. Tetapi tetap saja bantahan hukum itu tak bisa menguburkan black box pemilu itu sebagai pemilu sangat memilukan sejauh ini. Memukul akal sehat kita. Menggelamkan harkat dan marabat manusia menjadi sebutan yang tepat untuk pemilu kali ini. Tak Bermakna Tetapi kenyataan tersebut, hampir pasti bukan satu-satunya fakta di sekitar pemerintahan baru, yang membuat Prabowo terlihat jelas. Dia terlihat sebagai sosok yang paling menyita perhatian. Timbul bersama rakyat di tengah kabinet Jokowi. Setelah sebelumnya menjadi rifal tangguhnya. Prabowo kini telah timbul bersama Jokowi. Timbul dengan segala pertimbangan yang tidak seorang pun dapat mengetahui deteilnya. Memang menarik untuk dicermati. Bahkan ada yang tak habis pikir. Namun ada juga yang bisa memahami kenyataan ini. Faktanya sekarang Prabowo timbul di Kementerian Pertahanan. Kementerian yang secara konstitusi sangat bernilai strategis. Apalagi pancaran antusias dan penghormatan otentik aparatur di Kementerian Pertahanan atas kedatangan Prabowo terlihat begitu telanjang. Penghormatan kepada Prabowo dari jajaran Kementerian Pertahanan pada prosesi serah terima jabatan Menteri Pertahanan itu tidak seperti biasanya. Karena sangat spesialis dan “mengagumkan” di kementerian tersebut. Semuanya terlihat begitu nyata. Mau apa? Begitulah politik riil. Untuk alasan apapun politik rill adalah pekerjaan para elit. Suka atau tidak, ya begitulah adanya. Dan itu bukan hanya perkara di Indonesia. Ini perkara seperti ini menjadi biasa dalam politik riil di manapun didunia ini. Sudah sejak dari dahulu kala, jejak-jejak sejarah, menunjukan politik selalu digerakan oleh pertimbangan-pertimbangan yang lebih sering tak terlihat daripada yang sering terlihat. Jangan terkecoh dengan yang terlihat. Kenalilah hal yang tak terlihat. “Pak Prabowo lebih tahu tentang urusan pertahanan daripada saya”. Begitu inti kata-kata Jokowi saat mengumumkan dan melantik Prabowo. Tetapi dilihat dari sudut konstitusi, setulus apapun kata itu terlihat, kata-kata itu tak memiliki makna konstitusional. Mengapa demikian? Secara konstitusional Prabowo tidak bisa menentukan sendiri apa yang mau dikerjakan di Kementerian Pertahanan. Prabowo harus, dengan semua kemampuan terbaik dan ketulusan hebat yang dimilikinya terhadap bangsa ini, harus mendapat otorisasi dari Presiden. Perintah konstitusi yang ini imperative. Apa saja yang dimaui Jokowi? Dialah Presiden yang mengangkat Prabowo untuk membantu dirinya melaksanakan urusan pemerintahan yang dipegangnya, di bidang pertahanan negeri ini. Itu point penting dan konstitusionalnya. Direktif Presiden adalah panduan konstitusional untuk Pak Prabowo. Tidak lain dan tidak lebih dari itu. Sejelas apapun ilmuan politik mengidentifikasi kata-kata itu sebagai benteng Jowowi kelak. Misalnya, ketika postur politik dan teknis pertahanan tidak cukup baik, tetap menjadi tanggung jawab konstitusional ada pada Jokowi sebagai presiden. Apalagi Jokowi berkali-kali mengatakan, menteri tak boleh memiliki visi sendiri. Semuanya harus berdasarkan visi Presiden dan Wakil Presiden. Sistem Presidensial Presiden, siapapun orangnya dalam sistem presidensial bukan primus interpares. Presiden bukan orang yang terkemuka. Yang utama, diantara yang setara dalam kabinet itu. Presiden, yang terambil dari kata precedere dalam bahasa latin adalah pemimpin. Untuk apa yang kelak ketika dirumuskan oleh pembuat konstitusi Amerika tahun 1787 sebagai Chief of Executive. Itu sebabnya, presiden sering disematkan dengan sebutan, misalnya Chief of Executive Politics, Chief of Negosiator, Chief of Law Offcier, Chief of Ambasador, dan lainnya. Presiden adalah jabatan tunggal. Jabatan yang kewenangan-kewenangannya tak terbagi, dan tak bisa dibagi. Sifat jabatan itu membawa konsekuensi, misalnya siapa yang diminta dan diangkat membantu dirinya, sepenuhnya tanggung jawab dirinya. Kapabel, kompeten atau tidak orang yang diangkat itu, terserah presiden. Walau memang harus diakui politik dan kenyataan demokrasi sering meminta presiden harus menghidupkan kearifannya. Misalnya, presiden tidak menggunakan kewenangannya itu semaunya sendiri. Walaupun demikian, semuanya tergantung pada visi dan kebijakan presiden. Bukan pada kebijakan menteri, Sehebat apapun menteri itu. Orang boleh saja bilang rel goverenment adanya di Kementerian. Anggapan seperti itu tidak salah. Tetapi itu cuma separuhnya saja. Kekuatan pertahanan Angakatan Laut Amerika misalnya, suka atau tidak, harus dipertalikan dengan kecemerlangan kebijakan yang melampaui zaman oleh Thomas Jefferson. Kebijakan Presiden Amerika ketiga, pada periode 1801-1809 inilah yang membuat Angkatan Laut Amerika menjadi penguasa laut dunia sekarang ini Thomas Jefferson keluar dengan kebijakan membangun armada laut yang hebat bekerja. Kebijakan itu dirangsang oleh pengalamannya sebagai Duta Besar Amerika untuk Inggris. Dalam kapasitasnya sebagai Duta Besar, Thomas Jefferson pernah berurusan dengan Turki Usmaniah. Mereka membicarakan hambatan keamanan yang dialami oleh kapal-kapal Amerika dalam pelayaran perdagangan kedua negara. Amerika sangat beruntung. Sebab pada waktunya, Amerika memiliki William Mckinley (1897-1901) sebagai presiden. McKinley adalah Presiden yang mengubah, dan membawa Amerika menjadi pemimpin dunia seperti sekarang. Menggantikan posisi Inggris. Ragam kebijakan Presiden William Mckinley, yang mengubah Amerika, menjadi pemimpin dunia itu, dilukiskan oleh Henry Adams, seorang peneliti dengan sebutan “McKinlysian.” Dia menggambarkannya dengan that is “the system of combination, consolidation, trusts, realized at home, and realizable abroad.” Bukan Trump, tetapi Presiden Mckinley yang pertama kali menggunakan senjata tarif dalam memproteksi produk-produk industri dalam negeri Amerika. Mckinley, bukan Trump yang pertama, mengintroduksi gagasan proteksionis ke dalam sebuah undang-undang. Undang-undang itu dikenal dengan Dengely Tarrif. Soal undang-undang tarif ini, kata McKinley kepada seorang senator mengatakan, menjadikan Dengely Tarrif sebagai senjata utama lain, sehingga membuat, dan membawa Amerika menjadi produsen utama di dunia. Presiden, ya tetap saja presiden. Sebab dialah presiden untuk semua urusan bangsa dan negara di bidang eksekutif. Tidak bisa, dengan alasan apapun, presiden menyatakan itu bahwa bukan urusannya. Atau itu jangan tanya saya. Tidak bisa begitu kalau jadi presiden. Tidak ada dalam ilmu tata negara itu pemerintahan sebuah negara yang bersistem presidensial disebut pemerintah. Misalnya, nama dari seorang menteri. Pemerintahan presidensial selalu dinamakan sesuai dan melekat dengan nama dari presiden. Amerika misalnya, dinamakan pemerintahan atau administrasi Jefferson, McKinley, Franklin Delano Rosevelt atau saat ini Donald Trump. Indonesia namanya, pemerintahan Soeharto, pemerintahan Mega, pemerintahan SBY dan pemerintahan Jokowi. Tidak bisa disebut pemerintahan Prabowo atau siapa menteri yang lainnya. Praktis nama presiden diambil dan disematkan pada pemerintahannya. Prabowo memang punya jejak ketentaraan yang gemilang. Mungkin saja kegemilangan itu tersaji kembali di Kementerian Pertahanan ini. Tetapi apapun prestasi dan keberhasilan yang dicapainya, tidak dapat digunakan sebagai dasar menyebutkan pemerintahan Jokowi menjadi pemerintahan Prabowo. Tidak bisa. Untuk dan dengan alasan apapun. Presiden Jokowi, entah basa-basi atau tidak, secara resmi telah mengakui kehebatan Prabowo. Itu jelas menjadi modal besar bagi Prabowo. Tetapi modal besar itu akan terus saja menjadi modal. Modal dasar tersebut, tak akan berbuah apapun, bila Presiden tidak mendefenisikan visinya. Presiden harus memberikan direction dan otoritas secara detailnya kepada Prabowo. Direction Presiden Jokowi itu adalah kuncinya. Begitulah sistem presidensial bekerja. Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khiarun Ternate

Prabowo Tak Ingin Rakyat Terbelah

Dari ketiga kisah itulah, Prabowo ingin mengajak kadernya untuk belajar dari negara besar. Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Mungkin itulah jawaban paling tepat untuk menjawab pertanyaan sebagian rakyat Indonesia yang masih penasaran mengapa Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto bergabung dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Wapres Ma’ruf Amin. Dua kali Pilpres 2014 dan 2019 telah membuat rakyat pemilih Jokowi dan Prabowo “perang” tanpa henti. Jika ini dibiarkan terus, bukan tidak mungkin akan terjadi perang terbuka yang melibatkan kekuatan militer. Inilah yang dihindari Prabowo. Itulah alasan mengapa saat Presiden Jokowi meminta Prabowo membantunya dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 sebagai Menteri Pertahanan, Prabowo tidak menolaknya. Prabowo menyanggupinya dengan segenap jiwa dan raga. Kejadian ini tentu merupakan hal yang sangat tidak biasa. Bagaimana tidak, keduanya pernah bertarung sengit pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu. Apalagi, sengitnya kontestasi kedua pilpres antara Jokowi dan Prabowo terasa sampai ke akar rumput. Lebih dari 5 tahun, publik seperti tersekat pada dua kubu yang berbeda: cebong dan kampret. Ketegangannya merambat tidak hanya di level politik nasional. Di level daerah, Pilkada DKI Jakarta dan Pilkada Jabar menjadi bukti atas friksi keduanya. Bahwa friksi pendukung keduanya sangatlah keras. Kesediaan Prabowo menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi – Ma’ruf bagi banyak orang sangat sulit diterima akal sehat, apalagi ego. Pro-kontra langkah Prabowo pun merebak di publik. Banyak yang mendukung dengan memahaminya sebagai bukti kebesaran jiwa sosok mantan Danjen Kopasus itu, tapi tidak sedikit juga yang belum bisa memahami – apalagi menerima – langkah politik yang tidak biasa terjadi di Indonesia ini. Di Amerika Serikat, Hillary Clinton yang sebelumnya bekas pesaingnya melawan Barack Obama sebagai calon presiden dari Partai Demokrat, akhirnya mengangkat Clinton sebagai Menteri Luar Negeri (21 Januari 2009 – 1 Februari 2013). Kembali ke Prabowo, apa sebenarnya yang membuat mantan Pangkostrad tersebut bersedia membantu Presiden Jokowi mengelola pemerintahan, khusus di bidang pertahanan? “Saya kira tugas beliau lebih tahu dari saya,” kata Presiden Jokowi. Jawaban atas pertanyaan mengapa Prabowo akhirnya bersedia bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju, sebenarnya telah disampaikan secara tersirat, tapi sangat jelas, yaitu saat Rapimnas Partai Gerindra pada Rabu,16 Oktober 2019, lalu. Mengutip Saluran8, sepekan sebelum dilantik menjadi Menhan, dalam pidatonya, Prabowo mengisahkan perjalanan 3 tokoh besar dunia dari 3 negara yang juga (kemudian menjadi) besar, yaitu Jepang, Amerika Serikat, dan Tiongkok. Pertama, Toyotomi Hideyoshi dan Tokugawa Ieyasu. Hideyoshi adalah seorang pemimpin pasukan besar di Jepang pada masanya dan Ieyasu adalah salah satu musuh besarnya dengan kekuatan prajurit yang tidak kalah tangguh plus jumbo. Prabowo bercerita, suatu hari sebelum bertempur, Hideyoshi dengan 70 ribu pasukan yang di belakangnya mengirim utusan khusus ke Ieyasu untuk meminta bertemu. Dalam pertemuan titu, Hideyoshi mengutarakan gagasannya daripada bertarung, kenapa tidak bersekutu saja. “(Yang mulia) Ieyasu, pasukan Anda hebat-hebat, kuat-kuat. Begitupun pasukan saya, jumlahnya tidak kalah banyak. Tapi, yang mulia… kalau besok kita jadi bertempur, di antara kita pasti akan ada yang kalah dan ada yang menang.” “Akan ada banyak prajurit kita yang berguguran. Akan banyak orang tua Nippon yang kehilangan anaknya. Anda cinta Nippon, saya juga cinta Nippon, kenapa kita tidak bekerjasama dan bersatu saja? demi cinta kita terhadap Nippon.” Akhirnya kedua pasukan besar yang bertikai ini bersekutu dan membawa kemajuan yang hasilnya bisa dinikmati bersama dan oleh segenap rakyat. Kedua, Abraham Lincoln dan William Seward. Suatu ketika Lincoln menyatakan ingin bertemu dengan Seward di kongres parlemen Amerika Serikat. Seward menolak bertemu, bahkan mengatakan “kasih tahu monyet itu suruh pulang” kepada sekretarisnya hingga umpatan tersebut terdengar oleh Lincoln sendiri. Bertahun-tahun berlalu, mereka terus bertarung sengit di arena politik hingga Lincoln akhirnya terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Setelah memenangkan Pemilihan Presiden AS pada 6 November 1980, hal pertama yang dilakukan oleh Lincoln ternyata meminta Seward menjadi Scretary of State. Seward kaget, karena selama ini dia ibarat rival abadinya Lincoln. “Kenapa Anda pilih saya? Saya kan tidak suka sama Anda,” tanya Seward sebagaimana diceritakan Prabowo. “Oh, saya tahu, Anda tidak suka sama saya dan saya tidak suka sama Anda. Tapi saya tahu, Anda cinta United State of America. Dan, saya cinta United State of America. Kenapa kita tidak kerjasama demi United State of America,” lanjut Prabowo berkisah. Prabowo tertegun membaca kisah tersebut. “Inilah kenapa Amerika jadi negara besar, kenapa Jepang jadi negara kuat,” ungkap Prabowo dalam benaknya. Ketiga, Mao Tse-tung, mantan musuhnya (Zhang Lam?) dan Deng Xiaoping. Selanjutnya Prabowo berkisah tentang Mao Tse-tung yang menang melawan Jepang dan Kuomintang. Dua hari sebelum mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok, Mao memanggil beberapa orang untuk menjadi Wakil Presiden. Salah satu yang dipanggil adalah seorang tokoh sekaligus jenderal yang pernah menjadi lawannya. Orang yang pernah memimpin operasi dan membunuh puluhan ribu pasukan Mao itu kaget dengan permintaan Mao untuk menjadi wakil presiden. “Kenapa Anda pilih saya? Anda tahu, dulu saya pernah pimpin operasi dimana puluhan ribu anak buahmu saya bunuh.” “Tidak! Tidak! Jangan lihat ke belakang! Lihat ke depan. Kita bangun RRT ke depan,” jawab Mao Tse-tung dikisahkan Prabowo. Lalu ada juga kisah Deng Xiaoping, tiga kali dipecat oleh Mao Tse-tung. Anaknya dilempar dari balkon dan cacat seumur hidup. Ketika Mao-tung meninggal, Deng Xiaoping melanjutkan kepemimpinan Mao dan peran-peran, jejak, serta eksistensi Mao tetap dipeliharanya, bahkan hingga hari ini. Dari ketiga kisah itulah, Prabowo mengajak kader-kadernya untuk belajar dari negara-negara yang kini menjadi besar. Agar Indonesia juga bisa menjadi negara besar. Anda bisa melihat video pidato Prabowo ini yang diunggah di halaman Digdaya TV. Berbekal video tersebut, sebetulnya kita sudah bisa menyimpulkan sendiri kenapa Prabowo bersedia menyanggupi permintaan Jokowi untuk menjadi Menteri Pertahanan. Dan, Prabowo mengaplikasikannya. Prabowo melihat masa depan, bukan masa lalu. Riwayat sejarah yang pernah terjadi di Jepang, AS, dan Tiongkok, tampak kini sedang terjadi di Indonesia. Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo, Prabowo berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Ia mengalah demi hindari perpecahan anak bangsa Indonesia. Dari keputusan politik keduanya, kini kita melihat arah Indonesia sedang menuju ke visi yang lebih besar melalui sinergi politik dengan dasar sama-sama cinta terhadap Indonesia. Artinya, Jokowi – Prabowo sepakat berdamai untuk membangun masa depan. Hanya saja, tampaknya masih ada pihak yang kurang ikhlas dengan bergabungnya Prabowo dalam Kabinet Indonesia Maju tersebut. Usulan Hak Veto yang bakal diberikan Presiden kepada para Menko diduga kuat beraroma “kepentingan” politis. “Veto” Menko Hari-hari ini muncul usulan Presiden Jokowi akan memberikan Hak Veto pada para Menko. Tujuannya untuk menjaga agar visi presiden dijalankan para menteri. Ada empat Menko di pemerintahan Joko – Ma’ruf. Yakni Menko Polhukam yang dijabat Mahfud MD, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang dijabat Muhadjir Effendy. Menurut Mahfud, Kemenko bertugas mengawal visi besar presiden. Tujuannya supaya dapat diimplementasikan para pembantunya di kementerian dan lembaga setingkat menteri. Pendek kata, Menko melakukan koodinasi sinkronisasi dan harmonisasi terhadap kebijakan yang diterbitkan para menteri. Kemenko mengkoordinasikan tugas-tugas kementerian yang menjadi wewenang masing-masing. “Presiden mengatakan Menko boleh memveto kebijakan menteri yang ada di bawahnya kalau dia bertindak sendiri, apalagi sampai bertentangan dengan kebijakan Presiden maupun kebijakan Kementerian lain yang sejajar,” ujarnya. Direktur The Global Future Institute Prof Hendrajit mempertanyakan, apa benar (Hak Veto ini) cuma untuk menyasar Menhan baru Prabowo Subianto? “Gimana dengan yang di bawah Menko Perekonomian?” ungkap Hendrajit. Kemenko Perekonomian-nya sendiri dari Golkar, Mendag dari PKB, Menteri BUMN dari pebisnis, Meneri Perindustrian juga Golkar. Menhub dari kalangan profesional. Airlangga dan Agus Gumiwang, bukan sekadar satu partai. Tapi juga satu faksi. “Agus Suparmanto, politisi PKB, saya lihat merupakan titik rawan dari konfigurasi kerjasama di jajaran Menko Perekonomian Airlangga. Begitu juga Erick Thohir,” lanjutnya. Bagaimana kalau kalau skema veto untuk Menko diterapkan? Menko Perekonomian Airlangga dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, boleh dibilang satu skema dan satu agenda. Menhub Budi Karya Sumadi bisa klop dengan Airlangga dan Jokowi karena sama sama alumni UGM, meski lebih kental kedekatannya sama Jokowi. Erick Thohir, bos Mahaka Group tersebut, jalur koneksi bisnisnya lebih dekat ke Jusuf Kalla ketimbang ke Jokowi. Jadi, potensi tabrakan antar kementerian di jajaran kemenko ekonomi cukup rawan. “Faksi Airlangga dan Agus Gumiwang satu sisi, Mendag Agus Suparmanto yang PKB dan Erick Thohir yang pengusaha dekat dengan JK dan Astra Group. Pada sisi lain,” ungkap Hendrajit. Sedangkan di Menko Polhukam, malah tak rumit. “Kalau terkesan ada hubungan yang nggak sreg antara Prabowo dan Mahfud, apapun, mereka berdua pernah berkolaborasi saat Mahfud menjadi Ketua Timses Prabowo Subianto – Hatta Rajasa,” ujarnya. Seharusnya komunikasi dan koordinasi mereka berdua lebih bagus daripada Tim Airlangga. Di Kemenko Maritim dan Investasi, Menko bisa memveto Menteri Kelautan dan Perikaman, LBP memveto Edhy Prsbowo. Sementara di bidang lain , Mahfud bisa memveto Prabowo. Sebenarnya mreka kerja untuk rakyat atau hanya skema veto memveto sih? Dari sini terlihat, yang bakal benar-benar kerja untuk negara hanya Prabowo! ***

Wakil Menteri Bukan Anggota Kabinet

Oleh Dimas Huda (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Kabinet Indonesia Maju mendapat respon positif banyak kalangan. Pasar saham pun membiru. Nilai rupiah sempat sedikit menguat. Pentolan partai Koalisi Indonesia Kerja atau KIK sudah senyum-senyum. Puas. Tim sukses bertajuk Relawan Pro Jokowi atau Projo yang pada awalnya sewot dan sempat mau bubaran akhirnya lega. Sang Ketum, Budi Arie Setiadi, dapat jatah wakil menteri. Lumayan. Para “Cebong” ini sudah bisa menerima kenyataan Prabowo Subianto bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin. "Ya sudah slow-slow lah, udah mulai ada cinta, cinta sedikit. Gitu ya," kata Budi Arie Setiadi, Jumat (25/10). Ya, pada hari itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin resmi melantik 12 wakil menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Para wakil menteri itu lima orang dari partai politik dan anggota tim sukses. Lainnya, kaum profesional. Jokowi menilai 12 wakil menteri ini akan mampu memberikan dukungan kepada tugas-tugas menteri. “Profilnya sangat bagus dalam rangka memperkuat kabinet indonesia maju,” katanya. Wakil menteri itu diberikan untuk 11 kementerian yang ada di Kabinet Indonesia Maju. Berbeda dari yang lainnya, Kementerian BUMN yang dipimpin Erick Thohir mendapat dua wakil menteri. Mereka adalah Kartika Wirjoatmodjo dan Budi Gunadi Sadikin. Keduanya diambil dari pimpinan Badan Usaha Milik Negara. Kartika adalah Direktur Bank Mandiri, sedangkan Budi adalah Direktur Utama Inalum. Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto mendapat tandem Wahyu Sakti Trenggono. Sebelumnya Wahyu adalah Bendahara Tim Kampanye Nasional. Menteri Agama yang kontroversial, Fachrul Razi dipasangkan dengan Zainut Tauhid Sa'adi. Dia adalah Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga kader PPP. Soal ilmu agama, Zainut jelas lebih paten ketimbang Fachrul. Dengan bergabungnya Zainut Tauhid, maka PPP mendapat jatah dua kursi di kabinet Jokowi Ma'ruf. Sebelumnya yang menjadi perwakilan PPP hanya Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa. Perindo mengirim Angela Tanoesoedibjo, puteri Ketua Umum Perindo, Hari Tanoesoedibjo, yang oleh Presiden Jokowi diberi jatah sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sedangkan kader Partai Solidaritas Indonesia atau PSI, Surya Tjandra, mendapat jatah Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Wakil Kepala BPN. Politisi Golkar, Jerry Sambuaga, menjabat Wakil Menteri Perdagangan. Kader PDIP Wempi Wetipo menjabat sebagai Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Bergabungnya Wempi membuat porsi PDIP di kabinet Jokowi-Maruf menjadi tujuh orang. Sebelumnya ada tiga politikus PDIP lawas yakni Tjahjo Kumolo, Yasonna Laoly, dan Pramono Anung menjadi wajah lama yang kembali menghuni kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Selain itu Menteri Sosial Juliari Batubara dan Menteri PPPA, I Gusti Ayu Bintang Darmawati. Selain itu simpatisan PDIP yakni Menteri PUPR Basuki Hadimuljono. Selanjutnya, perwakilan Golkar di kabinet Jokowi menjadi empat. Sebelumnya, ada Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto yang telah dilantik sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Kemudian Agus Gumiwang Kartasasmita yang mengisi pos Menteri Perindustrian dan Zainudin Amali sebagai Menteri Pemuda & Olahraga. Di Wamen ada Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga. Sejarah Istilah wakil menteri pertama kali digunakan pada Kabinet Presidensial, kabinet pemerintahan pertama Indonesia. Kala itu, Presiden Sukarno mengangkat 2 orang sebagai wakil menteri, yaitu Wakil Menteri Dalam Negeri Harmani dan Wakil Menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo. Setelah itu, wakil menteri hanya ada pada Kabinet Sjahrir I, Sjahrir III, dan Kerja III. Pada kabinet-kabinet lainnya, beberapa kali juga terdapat jabatan "menteri muda" yang dari beberapa sisi memiliki kemiripan dengan wakil menteri. Pada era Orde Baru wakil menteri ditiadakan. Namun di bawah Presiden Soeharto itu ada menteri muda. Bedanya, menteri muda adalah anggota kabinet sedangkan wakil menteri bukan anggota kabinet. Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pengangkatannya didasarkan pada pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang memperbolehkan presiden untuk mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu yang memiliki beban tugas lebih. Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa wakil menteri merupakan pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, berbeda dengan menterinya. Dalam aturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa yang dimaksud pejabat karier adalah pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon 1A. Pada tanggal 5 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa penjelasan pasal 10 UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga dinyatakan tidak berkekuatan hukum tetap. Presiden kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri. Dalam peraturan baru ini, wakil menteri dapat berasal dari pegawai negeri atau bukan pegawai negeri. Wakil menteri pertama yang diangkat Presiden SBY adalah Wakil Menteri Luar Negeri Triyono Wibowo yang mendampingi Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda pada Kabinet Indonesia Bersatu. Pada Kabinet Indonesia Bersatu II, presiden mengangkat lebih banyak lagi wakil menteri. Asal sesuai dengan perundang-undangan, tidak masalah presiden mengangkat wakil menteri. Sebagaimana diatur pasal 10 Undang-Undang No 39 Tahun 2018 tentang Kementrian Negara, presiden dimungkinkan mengangkat wakil menteri. Pasal 10 UU 39/2018 menyebutkan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada kementerian tertentu. UU ini pula yang memungkinan presiden melakukan bagi-bagi kursi bagi para pendukungnya. End

Membenturkan, dan Adu Domba Menhan dengan Presiden

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Sejak Kamis (24/10) video pendek penyambutan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan yang baru, beredar di media sosial. Para pendukung Prabowo sangat bersemangat menyebarkannya, dengan ditambahi narasi: Menhan rasa Presiden! Ada juga yang menambahi narasinya dengan kata-kata yang lebih bombastis. “Baru sehari jadi Menhan, negara tetangga sudah mengekeret. Apalagi kalau jadi presiden!” Benar dalam video tersebut Prabowo tampak dielu-elukan oleh pegawai Dephan. Mereka berjejal di jalan yang akan dilalui Prabowo, sambil membawa bendera merah putih dalam ukuran kecil. Konon kabarnya, belum ada seorang Menhan baru yang disambut heboh, gegap gempita seperti Prabowo. Fenomena ini menyadarkan kita pada satu realitas, bangsa ini masih terjebak pada kultus individu, bukan pada value. Emosional, bukan rasional. Value, nilai, panduannya sangat jelas. Benar, salah. Kemaslahatan umat, kemaslahatan rakyat Vs kemaslahatan pribadi dan kelompok. Pada kultus individu, yang benar bisa salah, dan yang salah bisa menjadi benar. Ukurannya menguntungkan kita secara pribadi, atau kelompok. Bila tidak, maka itu salah. Semuanya hanya didasari oleh sikap emosional, bukan penilaian yang rasional. Nilai baik dan benar, tidak akan pernah berubah. Sunatulloh. Hukum alam. Sementara manusia setiap saat bisa berubah. Hal itu menjelaskan mengapa nuansa pilpres lalu seperti sebuah perang. Dua geng, dua gerombolan besar, saling menghabisi satu dengan yang lainnya. Tidak boleh satu orang pun yang mengkritik, apalagi sampai memberi penilaian jelek pada jagoannya. Langsung hajar habis….. Baik Jokowi maupun Prabowo di mata para true believers, para pengikut yang taklid buta, adalah manusia sempurna. Tak ada cacatnya sama sekali. Jangan-jangan malah dianggap sebagai orang suci. Itulah bahayanya kultus individu. Membuat orang menjadi rabun dekat. Tak pernah bisa melihat kesalahan tokoh pujaannya. Sebaliknya dengan mudah menemukan kesalahan siapapun yang menjadi lawannya. Masalah nasional dilokalisir menjadi kepentingan personal. Entah disadari atau tidak, sikap para pendukung Prabowo ini sesungguhnya akan merugikan orang yang mereka puja. Sementara dalam jangka panjang akan merugikan kepentingan nasional. Merugikan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Akhiri Dikotomi Seharusnya ketika Prabowo memutuskan tawaran untuk bergabung dalam kabinet Jokowi, dikotomi, apalagi kontestasi diantara pendukung, harus berakhir. Sebagai menteri, Prabowo adalah pembantu Presiden Jokowi. Tak peduli jabatannya sebagai Menhan, atau menteri apapun. Terimalah realitas itu dengan lapang dada. Tak perlu merasa malu dan menutupinya dengan eforia semu. Prabowo saja bisa menerima. Bisa lapang dada. Anda kok tidak? Tak perlu lagi ada glorifikasi melebih-lebihkan posisi dan peran Prabowo secara berlebihan. Tak perlu lagi terus diwacanakan bahwa sebagai Menhan, Prabowo adalah menteri utama. Salah satu triumvirat. Manakala terjadi kekosongan kekuasaan presiden dan wapres. Lebih ngeri lagi muncul wacana, pada waktunya Prabowo akan menggantikan Jokowi. Masuk kabinet Adalah strategi. Bergerilya membangun kekuatan dari dalam. Tak perlu lagi terus dihembus-hembuskan bahwa dengan Prabowo menjadi Menhan, kekuatan militer Indonesia akan ditakuti. Ini urusan negara kok. Bukan urusan pribadi. Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet perdana, Presiden Jokowi sudah jelas menyatakan “tak ada visi-misi menteri. Yang ada visi-misi presiden dan wakil presiden.” Prabowo sendiri sejak awal juga menyadari posisinya. Tak lama setelah menghadap Jokowi di istana, dia mengaku sudah mendapat arahan apa tugas dan program kerja yang harus dijalankan. "Saya akan bekerja sekeras mungkin mencapai sasaran. Dan harapan yang ditentukan. Saya kira demikian," tegas Prabowo. Sebagai pemberi mandat, Jokowi akan mengevaluasi kinerja Prabowo. Bila tidak perform, menyimpang, apalagi menunjukkan tanda-tanda melawan perintah, sub ordinasi, dia bisa dicopot. Begitu aturan mainnya. Apa boleh buat, suka tidak suka, status menteri adalah P-E-M-B-A-N-T-U presiden. Setiap saat bisa dipindahkan, diganti dan diberhentikan. Glorifikasi, memuja secara berlebihan, hanya akan membuat posisi Prabowo menjadi kikuk dan tidak nyaman. Dipastikan para pendukung Jokowi — yang sesungguhnya juga tidak nyaman dengan kehadiran Prabowo— akan bereaksi balik. Kita akan kembali terjebak pada perang buzzer seperti pada pilpres lalu. Sudahlah akhiri semuanya. Baik Jokowi maupun Prabowo hanya manusia bisa. Bukan Satrio Piningit, apalagi manusia setengah dewa. Mereka punya kelebihan dan juga kekurangan. Tidak perlu memuja secara berlebihan. Tak perlu pula benci secara berlebihan. Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Permasalahan bangsa ini terlalu banyak. Terlalu berat. Biarkan Jokowi memenuhi janji-janji kampanyenya dan Prabowo membantu mewujudkannya. Jangan benturkan Prabowo dengan Jokowi. Mereka kini berada dalam satu tim. Satu perahu yang sama. Tugas kita yang berada di luar pemerintahan, terus mengawasi, mengkritik, mengingatkan manakala mereka menyimpang. Pujian yang berlebihan seperti racun yang akan membunuh akal sehat. Sementara kritik, seperti obat yang pahit, namun menyehatkan. Jangan pula dimusuhi. Apalagi dikriminalisasi. End

Jokowi Ingkari Nahdliyin?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Pengangkatan Jend. TNI Purn. Fachrur Razi sebagai Menteri Agama menggantikan posisi Lukman Hakim Saifuddin. Lukman adalah kader Nahdlatul Ulama (NU) yang mewakili PPP. Lukman tidak terpilih lagi karena diduga terlibat korupsi. Yaitu korupsi yang melibatkan mantan Ketum PPP Romuharmuzy yang kini disidangkan di Pengadilan Tipikor Jakarta. Politisi yang akrab dipanggil Romy ini juga kader NU. Mungkin inilah masalahnya mengapa posisi dan jatah NU “hilang”. Sementara dalam tradisi, Menag biasanya dijabat oleh perwakilan dari organisasi keagamaan seperti NU. Lepasnya kader NU dari posisi Menag yang selama ini menjadi jatah untuk NU telah membuat NU kecewa, terutama para kiai di daerah. Apalagi, Menag baru ini disebut-sebut adalah warga Muhammadiyah. Terkait penunjukan Fachrul Razi, Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas mengatakan, pihaknya menerima protes dari banyak kiai dari daerah. Menurutnya, banyak kiai di berbagai daerah merasa kecewa dengan keputusan Presiden Joko Widodo terkait jabatan Menag. “Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait Menag,” kata Robikin dalam keterangan tertulis. Seperti dilansir Kompas.com, Rabu (23/10/2019, 14:47 WIB), “Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes,” ungkap Robikin. Menurutnya, para kiai paham bahwa Kemenag harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. Namun sayangnya, pemilihan pemimpin Kemenag tak sesuai dengan yang diharapkan dalam membentengi NKRI dari ajaran radikalisme. Para kiai sudah lama merisaukan fenomena terjadinya pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran. Bahkan, juga sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Semua di luar kelompoknya kafir dan halal darahnya. “Teror adalah di antara ujung pemahaman keagamaan yang keliru seperti ini,” kata Robikin. Karena dampak dari radikalisme itu sangat membahayakan, maka secara kelembagaan, NU sudah mengantisipasi dan mengingatkannya jauh-jauh hari. “Bahkan NU menyatakan Indonesia sudah kategori darurat radikalisme, di samping darurat narkoba dan LGBT,” tandas Robikin. Boleh jadi, dipilihnya Fachrur Razi sebagai Menag ini juga terkait dengan apa yang disebut sebagai “radikalisme” itu. Seperti kata Presiden Jokowi saat mengumumkan namanya, “Beliau (ditunjuk karena) urusan yang terkait dengan radikalisme, ekonomi umat, dan industri halal,” ungkapnya. Rasa kecewa juga disampaikan Pengurus Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PBNU Ridwan Darmawan. Dia mengaku heran tak satu pun kader NU yang dilirik Presiden Jokowi, meski sebelumnya muncul kabar Jokowi bakal menjadikan kader NU sebagai Menag. “Kami merasa kecewa dengan komposisi (susunan menteri) yang beredar hari ini, apalagi kita menurut informasi yang beredar Menteri Agama bukan dari NU,” ujar Ridwa dalam keterangan tertulis yang diterima awak media Rabu (23/10/2019). Ridwan menyebut, seharusnya Jokowi menghargai kontribusi warga NU saat ajang pemilihan presiden (Pilpres) 2019 lalu. Pasalnya, warga dan para Masyayikh NU berperan besar dalam memenangkan pasangan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Menurut Ridwan, seharusnya Jokowi berkomitmen memberikan posisi Menag kepada kader NU. Apalagi, banyak kader NU yang pantas menjabat Menag, baik yang menjadi pengurus NU maupun yang berada di berbagai partai politik. Ridwan pun menyayangkan sikap Jokowi yang tidak menghargai “keringat” yang telah dikeluarkan warga nahdliyin. Seharusnya, Jokowi melihat siapa yang turut membantunya menjadi presiden untuk kedua kalinya. “Di NU sangat banyak pengurus dan tokoh yang berkualitas untuk mengisi pos Menag. Pak Jokowi bebas memilih, asal kader NU dan dekat dengan ulama, jika tidak diberikan ke NU saya yakin Presiden Jokowi bisa kualat,” tegas Ridwan. Bagi nahdliyyin, katanya, Menag dari kalangan NU adalah harga mati. “Jika tidak, ditunda saja pelantikan menterinya,” tegas Ridwan seperti dikutip Gelora.co, Rabu (23/10/2019). Ucapan Ridwan ini disampaikan sebelum pelantikan. Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar sendiri sebagai kader NU sebelumnya berharap dapat jatah 6 orang menteri, tapi ternyata cuma memperoleh 3 kursi. Menko Polhukam Mahfud MD, Menaker Ida Fauziah, dan Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar. “Dikadali” Jokowi? Menurut Prof. Sumanto Al Qurtuby, Kabinet Indonesia Maju yang telah diumumkan Presiden Jokowi, Selasa (23/10/2019), kali ini diisi atau didominasi oleh kalangan politisi, pengusaha, praktisi, dan tentara/polisi. Yang menarik, kabinet sekarang tidak ada yang dianggap sebagai “representasi NU” atau kalangan santri/pesantren. Ida Fauziyah dan Abdul Halim Iskandar dianggap “representasi” Muhaimin Iskandar (atau PKB), bukan NU. Oleh kalangan struktural NU, Mahfud sudah lama dianggap “bukan NU” atau “tidak cukup NU” atau “tidak memiliki komitmen terhadap NU”. Yang menarik adalah posisi Menag yang selama ini hampir dipastikan dipegang oleh “kader” NU tapi kini jatuh ke tangan seorang mantan jenderal yang, maaf, tidak jelas wawasan dan keilmuan keagamaannya hingga beredar meme di lingkungan NU: “Dibutuhkan pembimbing agama untuk Menteri Agama”. Fazhrul Razi dikenal sebagai “ahli strategi militer”. Mau ngapain di Kemenag? Mengatur strategi perang melawan “radikalisme Islam”? Menurut Sumanto Al Qurtuby, sarang kelompok Islamis radikal bukan di Kemenag, tapi di Diknas, BUMN, Kominfo, Kemenpan, atau mungkin Kemenhan. Kemenag isinya para santri yang justru selama ini berperang melaman kelompok “Islam radikal”. Sangat disayangkan kalau NU diabaikan alias “dicuekin” oleh Jokowi, Mega dan “lingkaran dalam” mereka. Padahal NU-lah yang selama ini menjadi “bamper,” “kopral” dan pejuang melawan barisan kadrun dan mugrun. NU yang sering memobilisasi massa menghadang mereka. NU juga yang sering menggelar istigatsah kubro besar-besaran membela Jokowi. NU juga yang “perang dalil” dan “perang pemikiran” melawan kelompok idiologis Islamis seperti HTI dan lainnya. Kenapa NU? Karena NU yang memiliki massa besar yang bisa menandingi mereka. Karena hanya para kader NU yang bisa “perang dalil” dan “perang kitab” dengan mereka. Yang lain nggak ada. Muhammadiyah sekalipun karena mereka nggak bisa ndalil dan mbaca Kitab Kuning. Bahkan banyak kader Muhammadiyah yang sudah “bermimikri” menjadi kadrun atau setengah kadrun. Jika Muhammadiyah saja nggak bisa ndalil apalagi “banteng”, pengusaha, tentara, politisi, dan polisi. Semoga NU tak kecewa dan tetap ikhlas dengan susunan kabinet ini, meskipun sudah habis-habisan membela Jokowi, meski sepertinya hanya dijadikan pendorong “truk mogok”, dan kalau truk sudah jalan, mereka ditinggal atau sebagai “tangga” dan “pion” saja. Bahkan, tulis Sumanto Al Qurtuby, dijadikannya Kiai Ma’ruf sebagai cawapres pun dianggap sebagai bagian dari “sasaran antara”, “tangga” dan “pion” ini. Semoga saja NU tetap eksis membela Tanah Air, meskipun tak mendapat “jatah” menteri. “Saya gak bisa membayangkan jika kader-kader NU: para ulama dan kiai pesantren ngambek dan mogok tak mau lagi “berperang” melawan kelompok Islamis radikal,” tegasnya. Apakah Wapres Ma’ruf Amin dinilai sudah cukup “mewakili” NU? Bukankah posisi Wapres itu setara dengan total jumlah menteri? Sedangkan posisi Presiden itu setara dengan Wapres plus para menteri? Sehingga, dengan kata lain, sudah seharusnya NU tak mempermasalahkan “tidak ada” menterinya dari NU. Lain halnya dengan Muhammadiyah yang hanya ada 5 kadernya menjadi menteri di Kabinet Indonesia Maju. Yaitu: Muhajir Effendi, Siti Nurbaya, Juliari Batubara, Nadiem Makarim, dan Fachrur Razi. Perlu dicatat, bahwa tidak ada satu pun kader PAN yang duduk di Kabinet Jokowi II tersebut! ***

Prabowo Saja Begini, Bagaimana Mau Memercayai yang Lain?

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Prabowo Subianto (PS) adalah politisi dan negarawan yang integritasnya mendekati kesempuraan. Siang-malam dia memikirkan keutuhan NKRI. Kabarnya, tidak ada satu pun lawan bicara Prabowo yang bisa mengelak dari topik kebangsaan dan keadilan. Begitulah hebatnya kualitas Prabowo. Tidak terbantahkan. Kawan dan lawan politiknya paham itu. Dia tak pernah terdengar terlibat atau menyerempet korupsi. Bahkan apa yang ada pada dirinya selalu disumbangkan untuk kenyamanan orang lain, khususnya orang-orang yang berada di dalam satu lingkaran kerja dengannya. Prabowo selalu memikirkan orang lain. Cerita-cerita tentang ini tak ubahnya seperti derajat hadits shohih. Artinya, kisah-kisah yang bukan karangan belaka. Bukan omong kosong. Dia selalu menduhulukan kepentingan negara dan bangsa di atas keinginan pribadinya. Ketika dia berorasi tentang keadilan bagi seluruh rakyat, Prabowo membuktikannya dalam banyak pergaulan sosial atau lingkungan organisatoris. Tak berlebihan, bagi saya, kalau mau dikatakan bahwa Prabowo adalah “malaikat politik” Indonesia. Dia berintegritas. Bersih. Baik budi. Mendahulukan orang lain, dlsb. Sekarang, “malaikat politik” itu telah melepaskan predikat yang menggambarkan kemuliaan dan keksatrian dirinya. Dia tak sanggup sendirian menjadi “malaikat politik”. Prabowo mungkin merasa lebih mulia jika dia masuk ke dalam koalisi para “politisi trisula”. Padahal, selama ini pekikan-pekikan “jenderal lapangan” itu tidak pernah menunjukkan kemungkinan dia akan melepas predikat itu. Tapi, itulah yang dia lakukan. Dia tinggalkan para pendukungnya. Dengan alasan, ingin mendobrak dari dalam. Dengan jabatan Menteri Pertahanan, dia akan menjabarkan strategi besar (grand strategy) untuk melumpukan rencana jahat. Yang dijalankan oleh orang-orang yang sering dia sebut sebagai “pengkhianat”. Nah, seperti apa kira-kira kesimpulan Anda tentang langkah Pak PS itu? Sambil menunggu jawaban Anda, saya berpendapat bahwa situasi di Indonesia ini sudah sangat parah. Sangat hina. Sudah hancur-lebur. Saking rusaknya, Prabowo yang “putih-bersih” itu pun bisa menjadi begini. Bagaimana mungkin Anda bisa mempercayai para politisi lain? Poliltisi yang setulus dan sebaik Prabowo saja, bisa dengan enteng meninggalkan umat yang sangat percaya kepada dia. Bagaimana mungkin Anda bisa percaya kepada Jokowi, Megawati, Surya Paloh, SBY, Muhaimin Iskandar, Jusuf Kalla, Bambang Soesatyo, Airlangga Hartarto, Oesman Sapto Odang, Yusril Ihza Mahendra, Suharso Monoarfa, dlsb? Tidak mungkin! Tidak mungkin bisa dipercaya. Semuanya tak bisa dipercaya selain Prabowo. Itu pun Prabowo sebelum menjadi menteri Jokowi. Sekarang, Prabowo yang tulus dan jujur itu pun ikut lebur membubur. Wallahu a’lam. [] 24 Oktober 2019

Sri dan Luhut Jadi Menteri Lagi, Bagus Itu

Oleh Edy Mulyadi (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Presiden Joko Widodo pagi tadi sudah mengumumkan dan melantik para menteri yang jadi pembantunya. Komentar dan respon pun berhamburan. Ada yang pro, juga kontra. Biasa. Seperti telah diduga sebelumnya, masuknya Prabowo Subianto dalam jajaran pembantu Joko menyita porsi lumayan dominan dalam parade komentar. Yang pro bilang, Prabowo masuk untuk memperbaiki dari dalam, untuk meningkatkan kualitas pertahanan dan kedaulatan NKRI dari rongrongan musuh eksternal, dan seterusnya, dan sebagainya. Sedangkan buat yang kontra, aneka respon tersebut bermuara pada tamsil macan yang sudah benar-benar menjadi kucing. Meong, meoong, meoooong.... Tulisan kali ini sama sekali tak hendak menyinggung perkara Prabowo. Saya sama sekali tidak tertarik. Komposisi tim ekonomi Kabinet Joko jilid dua justru lebih menarik. Posisi Menteri Keuangan yang kembali dijabat Sri Mulyani Indrawati, misalnya. Tak kurang menariknya adalah, Luhut Binsar Panjaitan, yang ternyata bukan saja tetap di posisinya sebagai Menko Kemaritiman. Dia bahkan dapat _job_ (baca: wewenang) tambahan, yakni investasi. Nomenklatur resminya, Menko Maritim dan Investasi. Gaya sekaligus powerful! Banyak pihak, khususnya ekonom garis lurus yang jauh-jauh hari sudah mengingatkan Joko, agar tidak memakai dua orang ini. Sebagai Menkeu, Sri Mulyani terbukti tidak mampu membuat ekonomi Indonesia meninggalkan angka ‘kutukan’ 5%. Selain itu, pejuang neolib di garda depan ini, juga selalu menerapkan prinsip investor first dalam penyusunan APBN dan kebijkan fiskalnya. Buat investor, khususnya asing, dia rajin mengobral berbagai keringanan bahkan pembebasan pajak. Sebaliknya, untuk UMKM, Sri justru hobi menggebuk mereka dengan berbagai pungutan. Prinsip mengutamakan investor yang diterapkan Sri bukanlah hal ganjil. Memang begitu karakteristik mazhab neolib. Siapa pun penganutnya, pasti akan mematuhinya. Apalagi bila yang bersangkutan punya posisi superpenting semisal menteri keuangan, tentu prinsip ini kian menemukan wujudnya. Ketatkan Anggaran Buktinya, ya Sri ini. Saat didapuk menjadi Menkeu di Kabinet Kerja tiga tahun silam, dia langsung melakukan pemangkas sejumlah pos anggaran. Dalihnya, untuk mengamankan APBN agar defisit tidak menganga lebar. Tidak tanggung-tanggung, perempuan ini memotong anggaran hingga Rp137 triliun di APBN. Para ekonom menyebut ini sebagai kebijakan pengetatan alias austerity yang pertama. Pos angaran apa sajakah yang kena gunting tajam Sri? Dalam tempo empat periode sekaligus (kuartal IV 2016-III 2017) pos Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib menjadi korban. Khusus di kuartal II-2017, sektor pengeluaran pemerintah ini tumbuh negatif, yaitu -0,03%. Padahal, ketiga pos ini terbukti menjadi penyumbang yang cukup dominan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tahunan dari sektor tersebut terjun bebas dari 7% pada 2016, menjadi hanya 2% setahun berikutnya. Akibatnya, kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi keseluruhan juga turun dari 0,23% di tahun 2016 jadi cuma 0,07% pada 2017. Buat rakyat awam, tentu angka-angka tadi sangat asing. Namun dampaknya langsung mereka rasakan. Daya beli masyarakat anjlog dan mengurangi pembelian produk industri. Kalau sudah begini, tentu saja sektor industri pengolahan yang langsung berhubungan dengan daya beli masyarakat jadi lesu darah. Pertumbuhan industri pengolahan tembakau remuk-redam, dari 3,52% (2016) jadi -0,64% (2017). Begitu juga dengan tekstil dan pakaian tekstil (TPT) yang anjlok dari 8,7% (2016) ke 3,8% (2017). Hal serupa terjadi pada industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki yang terjun dari 9,4% (2016) ke 2,2% (2017). Angka-angka bertabur merah tadi bermuara pada PDB yang menciut dari 5,17% pada 2016 menjadi 5,07% di tahun 2017. Sri dan jajarannya juga terbukti gagal memanfaatkan faktor menggeliatnya sektor konstruksi dan real estat sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi. Kini, di kuartal II-2019, pertumbuhan ekonomi kembali mencetak posisi terendah dalam tiga tahun terakhir, 5,06%. Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, mencatat sejumlah kegagalan Sri sebagai Menteri Keuangan. Rasio pajak Indonesia hanya 9%-10%, termasuk yang terendah di kawasan Asia dan Afrika. Terjadi deindustrialisasi yang tak terbendung. Industri baja yang pernah menjadi andalan dan kebanggaan nasional, terus berdarah-darah digempur baja impor dari Cina. Bahkan Batam yang digadang-gadang sebagai kawasan industri unggulan hanya mampu tumbuh 2%. Sri selalu mengklaim APBN disusun dengan sangat prudent hingga sangat stabil. Padahal faktanya, APBN kita lumayan rentan. Defisit transaksi berjalan sangat besar, US$8,4 miliar. Belum lagi data yang ada menunjukkan 50% lebih surat utang Pemerintah dimiliki asing. Sedikit saja asing berulah dan melepas obligasi Pemerintah, kita bisa dibuat jungkir-balik karenanya. Masih tentang surat utang negara (SUN), sebagai pejuang neolib yang gigih, Sri selalu memberi kupon/bunga yang kelewat tinggi. Angkanya berkisar 2-3% lebih tinggi ketimbang negara-negara yang credit rating-nya di bawah Indonesia. Kalau saja Sri mau bersikap profesional, Indonesia sudah selayaknya memperoleh bunga jauh lebih murah ketimbang Filipina dan Vietnam, misalnya. Sayangnya, jangankan lebih murah, berusaha dapat bunga pada harga yang sama dengan kedua negara itu pun dia tidak lakukan. Lalu, kalau saja dia mau menegosiasikan ulang, tentu sangat bermanfaat. Tidak usah banyak, cukup 1,5% bunganya berhasil diturunkan. Maka, hasilnya setiap tahun kita bisa menghemat anggaran sekitar Rp29 triliun. Jumlah ini bisa dimanfaatkan untuk menambal BPJS kesehatan yang compang-camping. Tapi, lagi-lagi hal itu tidak dia lakukan. Memang watak neolib selalu lebih mengutamakan kepentingan majikan asing ketimbang kesejahteraan rakyatnya sendiri. Kebiasaannya mengobral surat utang dengan bunga supertinggi inilah yang amat menyenangkan para investor. Ini pula yang menjelaskan mengapa mereka tidak segan-segan menghadiahi Sri dengan gelar sebagai Menkeu terbaik dunia. Bukan itu saja, tangan-tangan asing yang tak terlihat pula yang menyelamatkan Sri dari pusaran kasus Bank Century yang menghebohkan itu. Padahal, di dalam negeri prestasi dan kinerjanya justru membuat perekonomian mandeg dan beban rakyat kian berat saja. Pada titik ini, gelar Menkeu ‘terbalik’ justru jauh lebih pas baginya. Kembalinya Sri di posisi Menkeu sudah hampir pasti buah dari titipan (tekanan?) Bank Dunia dan IMF. Paling tidak, kita bisa membaca hal ini sebagai upaya kompromi sekaligus kompensasi yang diberikan Joko atas keberatan Amerika terhadap kian dominannya pengaruh Cina pada periode pertama kekuasaannya. Sebagai petugas yang baik, Sri tentu akan menjalankan kehendak majikan asingnya, IMF dan Bank Dunia. Guna memastikan prinsip investor first berjalan dengan baik, sangat mungkin dia akan lebih eksesif dalam mengetatkan anggaran sebagai babak lanjutan. Semua itu dimaksudkan agar APBN punya dana yang cukup untuk membayar pokok dan cicilan utang yang tiap tahun mencapai Rp680an triliun. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran infrastruktur yang dibangga-banggakan, dan anggaran pendidikan sebagaimana diamanatkan Undang Udang yang minimal 20%. Seperti yang sudah-sudah, Sri juga tidak akan peduli kalau untuk itu dia harus memangkas anggaran sosial berupa subsidi bagi rakyat. Itulah yang menjelaskan mengapa harga BBM, listrik, gas dan berbagai kebutuhan dasar rakyat terus melonjak-lonjak. Makelar Cina Kini, kita lihat sosok menteri ekonomi yang ‘cukup fenomenal’ lainnya, Luhut Binsar Panjaitan. Sepak terjangnya selama menjadi menteri terkesan serampangan. Semua hal dia urus. Akibatnya, banyak warga net alas netizen menjulukinya sebagai Menteri ASU (Atasi Segala Urusan). Hobinya yang suka cawe-cawe di luar tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)nya itu, membuat Faisal Basri Faisal menghujaninya dengan kritik. Kebijakan Luhut dinilai kerap tumpang-tindih dengan kementerian-kementerian yang tidak ada kaitannya dengan sektornya. Contohnya, Luhut bernafsu sibuk di mobil listrik. Padahal, harusnya, program itu jadi domain Kementerian Perindustrian di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Luhut juga dikenal sebagai menteri yang China minded. Apa-apa Cina. Sedikit ada masalah, solusinya Cina. Dia pula yang rajin memakelari aneka proyek raksasa di negeri ini kepada para pengusaha asal Negeri Tirai Bambu. Bahkan, untuk mengatasi kemelut keuangan BPJS pun, si Opung lagi-lagi menawarkan perusahaan asal Cina sebagai solusi. Selain sebagai pejabat publik, Luhut juga dikenal sebagai pebisnis. Jaringan usahanya mengurita ke bidang pertambangan, energi, listrik, dan lainnya. Banyak pihak menuding pensiunan jenderal ini punya konflik kepentingan, terutama di area pertambangan dan listrik. Kita tentu masih ingat, bagaimana dia berupaya menghapuskan aturan kewajiban pengusaha menjual 25% batubaranya kepada PLN. Maklum, harga ekspor sedang supergurih. Dia juga yang sangat bernafsu menentang pemberlakuan harga domestik untuk batubara yang dijual ke PLN. Persoalannya kini, Joko ternyata mengabaikan semua saran dan masukan seputar figur calon menteri di periode kedua kekuasaannya. Banyak orang pun jadi uring-uringan, misuh-misuh. Tak Independen Buat saya justru sebaliknya. Sikap ndegil bin kopeg Joko ini justru bagus. Ini menunjukkan sebagai presiden dia sama sekali tidak independen. Soal Sri, misalnya, sulit dibantah bahwa posisinya kembali sebagai Menkeu adalah hasil permintaan (tekanan?) IMF dan Bank Dunia. Begitu pula dengan mempertahankan Luhut di posisi semula plus wewenang di bidang investasi juga menjadi konfirmasi betapa Joko telanjur jatuh dalam cengkeraman Cina. Dengan posisinya sebagai Menko Maritim saja Luhut sudah jadi calo bagi perusahaan-perusahaan Cina, kok. Apalagi setelah ada embel-embel investasi, dengan sendirinya dia password bagi kian derasnya serbuan pengusaha Cina ke sini. Perbedaan investor Cina dengan Jepang, Amerika, Eropa dan sejumlah negara lain adalah pada pola bedol desanya. Cina bukan cuma membuka pabrik atau membangun infrastruktur di sini, tapi juga menggerojok utang dengan jumlah fantastis, membawa bahan baku plus tenaga kerja di semua level. Kombinasi duet Sri dan Luhut dipastikan akan membuat Indonesia semakin tidak bisa kemana-mana. Pertumbuhan akan ajeg di kisaran 5% bahkan lebih rendah lagi. Mimpi Joko bahwa rakyat akan punya pengasilan Rp27 juta per bulan pada 2045 benar-benar akan jadi impian belaka. Sebaliknya, beban hidup rakat makin berat. Ketimpangan sosial kian menganga lebar. Kalau sudah begini, tinggal seberapa kuat rakyat menahan beban dan sabar. Tapi ekadar mengingatkan, sejarah Indonesia modern bercerita Soekarno dan Soeharto tumbang karena krisis ekonomi. Padahal, keduanya dikenal sebagai penguasa yang kuat. Sudah, gitu aja! Jakarta, 23 Oktober 2019

Kabinet Rekonsiliasi: Jokowi Bukan (lagi) Petugas Partai

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pengumuman kabinet Jokowi Jilid II mengirim satu pesan penting : Jokowi bukan lagi petugas partai, seperti pernah dinisbahkan oleh Ketua Umum PDIP Megawati. Jokowi telah menjadi Presiden yang “mandiri.” Tidak mau didekte oleh partai, maupun ormas pengusungnya. Dia menyusun kabinet berdasarkan kepentingan taktis dan strategis politiknya. Tentu tetap mengakomodasi kepentingan partai pendukung, dan akuisisi terhadap lawan politik. Pesan tegas itu sangat terlihat bila kita mencermati komposisi kabinet yang baru saja diumumkan Jokowi, Rabu (23/10). Pertama, Jokowi memperkokoh posisinya sebagai Presiden dengan ditopang oleh dua kekuatan utamanya: Geng Luhut Binsar Panjaitan dan profesional dengan pilar utama geng alumni Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelum pembentukan kabinet banyak rumor dan spekulasi yang menyebutkan kemungkinan Luhut, tangan kanan Jokowi tidak akan masuk kabinet. Megawati tidak menyukainya. Spekulasi kian kencang seiring menguatnya peran Kepala BIN Budi Gunawan. Dia berhasil mempertemukan Prabowo dengan Jokowi, dan kemudian dengan Megawati. Alih-alih tergusur, Luhut tetap menduduki posisi lamanya sebagai Menko Maritim. Perannya kian besar karena ditambahi bidang investasi. Dengan peran baru itu posisi Luhut akan menjadi semakin kuat dan penting. Apalagi dikaitkan dengan kian besarnya investasi Cina yang masuk ke Indonesia. Bersama Luhut masuk juga seorang sekondan lamanya Jenderal (TNI) Fahrul Razi sebagai Menteri Agama. Pria Aceh ini satu angkatan dengan Luhut di Akabri 1970. Dalam dua kali pilpres, aktif sebagai ketua tim Bravo-5, tim pemenangan Jokowi yang dibentuk Luhut. Fahrul juga menjadi salah satu petinggi perusahaan milik Luhut PT Toba Sejahtera. Pilar lain pendukung Jokowi adalah para profesional. Erick Tohir yang menggantikan Rini M Soemarno sebagai Menteri BUMN. Kepala KSP Moeldoko, Menkop/UKM Teten Masduki, Menteri Investasi/BKPM Bahlil Lahadalia, Mendikbud/Dikti Nadiem Makarim, Menkes Mayjen TNI Dr Terawan AP, Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro, Menteri Pariwisata Wisnuthama. Masuk dalam barisan ini adalah mantan Kapolri Tito Karnavian yang ditunjuk sebagai Mendagri. Tito pantas menduduki posisi sangat penting dan berpengaruh itu. Di bawah komandonya Polri punya andil besar dalam kemenangan Jokowi. Sementara sejumlah nama profesional yang masuk dalam geng alumni UGM adalah Menteri PUPR Basoeki Hadimulyono, Menhub Budi Karya Sumadi, Menlu Retno LP Marsudi, dan Mensesneg Pratikno. Dalam barisan ini juga bisa ditambahkan nama Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Kedua, benar PDIP menjadi partai terbanyak mendapatkan kursi di kabinet seperti diinginkan Megawati. 5 kursi. Namun beberapa diantaranya tidak cukup prestisius. Pramono Anung dan Yasona Laoly tetap dalam posisi semula sebagai Mensekab dan Menkumham. Dua wajah baru Juliari P Batubara sebagai Mensos, IG Ayu Bintang Darmawati sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Sementara Mantan Mendagri Tjahjo Kumolo posisinya terdowngrade jauh. Dia hanya menjadi Menpan. Sebuah kementrian yang anggaran tahunannya kalah jauh dibanding dengan satu direktorat jenderal di Kemendagri. Anggaran Kemenpan tahun 2020 yang disetujui DPR hanya sebesar Rp 304, 310 miliar. PDIP masih dapat tambahan “satu pos baru” tapi secara tidak langsung. Jaksa Agung ST Baharuddin adalah adik kandung politisi PDIP TB Hasanuddin yang semula disebut-sebut disiapkan sebagai Menhan. Nama Kepala BIN Budi Gunawan yang semula diperkirakan akan menjadi orang kuat baru secara mengejutkan tidak muncul di kabinet. Kemungkinan dia tetap di pos semula. Tetap bermain di belakang layar. Dengan komposisi ini PDIP tidak menempati satu pun pos triumvirat (Menhan, Menlu, dan Mendagri). Ketiga pos ini menjadi sangat penting manakala terjadi kekosongan kekuasaan. Ketiga, Jokowi memberikan pos Menteri Pertahanan kepada Prabowo, namun menolak memberikan pos Menteri Pertanian kepada Waketum Gerindra Edhie Prabowo. Pos tersebut diberikan kepada Syahrul Yasin Limpo dari Nasdem. Edhie dipindahkan menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Jauh-jauh hari Gerindra memberi syarat hanya akan bergabung ke dalam kabinet bila mendapatkan pos di bidang pertahanan dan ketahanan pangan. Bila tidak, lebih baik di luar kabinet. Dengan hanya dua pos menteri, maka akuisisi politik terhadap Prabowo biayanya sangat murah. Keempat, Jokowi bisa tetap memaksa Nasdem dalam kabinet dengan kompensasi Menteri Pertanian yang semula diincar Gerindra. Nasdem juga mendapat jatah dua menteri lainnya, yakni Menkominfo Johny G Plate dan Menteri Lingkungan Hidup Siti Nurbaya. Bandingkan dengan posisi Nasdem sebelumnya. Mendapat jatah Jaksa Agung dan Menteri Perdagangan. Dua posisi sangat strategis yang disebut-sebut ikut menjadi penentu naiknya perolehan suara Nasdem pada Pemilu 2019. Sebelumnya Nasdem juga pernah mendapat pos sebagai Menteri Agraria. Kelima, Jokowi berani melanggar pakem baku yang selama ini disediakan untuk dua ormas terbesar NU dan Muhammadiyah. Pos Kemenag yang biasanya menjadi jatah NU diberikan ke seorang jenderal. Pos Mendikbud yang secara tradisional menjadi jatah Muhammadiyah diberikan ke bos Gojeg. Representasi NU cukup diwakili oleh PKB yang mendapat jatah tiga menteri: Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menaker Ida Fauziah, dan Menteri Desa Abdul Halim Iskandar. Nama-nama tokoh NU seperti Yenny Wahid, Ketua Umum GP Anshor Yaqut Cholil Qoumas, dan Ipang Wahid tidak masuk kabinet. Padahal mereka ikut berkeringat. Pasang badan bela Jokowi. Ketua PB NU Said Agil Siradj juga sudah menyatakan siap menyetorkan sejumlah nama. Mungkin termasuk namanya sendiri. Sementara Muhammadiyah hanya kebagian satu pos, yakni Menko PMK Muhajir Effendy. Posisi tinggi tapi tanpa portofolio. Keenam, beberapa partai pendukung Jokowi yang tidak lolos parlemen gigit jari. Hanura, PSI, Perindo, PKPI, dan PBB Yusril tidak mendapat jatah. Termasuk dalam posisi ini Partai Demokrat dan PAN. Mereka tidak diajak masuk dalam kabinet. Kemungkinan kalau beruntung mereka akan mendapat jatah wakil menteri, kepala badan, atau jabatan-jabatan lain di luar kabinet. Dari komposisi tersebut Jokowi sudah menunjukkan posisinya. Para partai pendukung --termasuk PDIP-- boleh mengusulkan nama. Jadi tidaknya yang menentukan Jokowi dan orang dekat dalam lingkar kekuasaannya. Apakah mereka puas dan bisa menerima pembagian jatah di kabinet itu? Waktu yang akan berbicara. Satu pesan penting yang perlu diingat. Yang sudah masuk kabinet, jangan terlalu gembira. Yang belum masuk jangan terlalu sedih berlebihan. Apalagi sampai memaki-maki. Toh masih ada reshufle kabinet. Banyak berdoa saja. End

Memahami Langkah Politik Prabowo

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tampaknya dukungan Megawati kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Megawati bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY cs. “Prabowo benar. Memang tidak ada oposisi di Indonesia,” tulis Direktur The Global Future Institute Hendrajit. Dalam sejarah politik Indonesia sejak Orde Lama, memang tidak pernah ada yang namanya oposisi di Indonesia. Menteri-menteri pembantu Presiden Soekarno pun berasal dari berbagai partai politik yang ada ketika itu. Begitu pula semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Pak Harto juga punya menteri dari parpol. Seingat saya begitu. Maaf kalau ternyata ada yang salah dengan argumen saya itu. Begitu halnya masa Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Presiden Joko Widodo. Tidak ada partai oposisi! Yang ada hanyalah Partai Koalisi! Di luar Partai Koalisi inilah yang “diposisikan” sebagai “partai oposisi” secara verbal, bukan yuridis formal! Sikap kritis dari pengurus parpol atau masyarakat ditempatkan sebagai “oposisi”. Bisa jadi, itulah langkah yang kini dijalani Prabowo Subianto, Ketum DPP Partai Gerindra yang sudah ditawari Presiden Jokowi untuk membantu di bidang pertahanan. Apalagi, konon, Prabowo diberi “wewenang” oleh Megawati. Wewenang untuk bicara langsung dengan Presiden Jokowi dalam menentukan Kabinet Kerja II. Dengan kata lain, sebelum memutuskan nama-mana menteri, Presiden Jokowi harus bicara dulu dengan Prabowo. Itulah fakta politiknya. Santer tersiar kabar bahwa Mahfud MD akan dimasukkan sebagai calon Menko Polhukam. Isu ini bisa terjadi karena jebakan opini. Manuver Mahfud ini jelas salah satu jebakan opini yang termakan oleh Jokowi dan PDIP sendiri. Masuknya Mahfud sebagai Menko Polhukam seolah-olah dibarter dengan terdepaknya Agus Harimurty Yudhoyono dari calon Menpora adalah kemenangan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan Genk-nya. Secara politik, Menpora lebih pas dijabat Prananda Prabowo, yang bersih dan cerdas. Bukan kader PDIP yang punya 6Catatan Dosa. Kalau AHY masuk Kabinet Jokowi II, berarti Mega memelihara harimau untuk Pilpres 2024. Harimau yang siap terkam Capres PDIP. Jabatan Menpora tidak bernilai strategis dibanding jabatan Menko Polhukam sebagai penentu kebijakan polhukam tertinggi dalam rezim proksi ini. Secara formal, NasDem dan Demokrat ini seolah-olah menjadi oposisi atas Jokowi. Tapi, kader-kader SBY-Luhut Binsar Panjaitan-Hendropriyono-Surya Paloh seperti Mahfud, Sri Mulyani dan lain-lain (di luar dari Joko Widodo-Ma’ruf Amin) berhasil masuk menjabat posisi strategis dalam Kabinet Jokowi II ini. Konon, atas rekomendasi Prabowo, Mahfud akan ditempatkan sebagai Jaksa Agung dengan tujuan besar untuk sikat para koruptor yang selama ini aman dan dilindungi. Karena itu, atas usulan Prabowo, Mahfud dipaksakan menjadi Jaksa Agung. Buat Prabowo situasinya gampang saja, koq. Kalau formasi kabinet mengecewakan, berarti agenda yang dibawanya ke Teuku Umar telah dinafikan. “Prabowo tinggal bilang, dengan segala hormat, saya pamit mundur Bu,” kata Hendrajit. Menjabarkan agenda dengan menempatkan orang yang pas di kabinet, bukan sekadar bagi-bagi kekuasaan. Tapi, “Bagaimana memasang orang yang ahli sekaligus mengerti ruh dari gagasan yang terumuskan pada agenda, maka wajar Prabowo akan all out.” “Termasuk saat meminta posisi Kemenhan,” lanjut Hendrajit. Kabarnya, hingga pada Senin, 21 Oktober 2019, malam di internal Prabowo masih terjadi perdebatan posisi yang nantinya harus dipilih yang pas antara Menko Polhukam atau Menhan. Kita masih ingat Mahfud sebagai tokoh yang menuduh para pemilih Prabowo mayoritas dari daerah basis radikalisme. Jika Mahfud ditunjuk sebagai Menko Polhukam, maka yang terjadi adalah anomali demokrasi dan politik Indonesia semakin menggila. Presiden bukan kader partai. Wapres bukan kader partai. Menko Polhukam bukan usulan dari partai. Menko Perekonomian bukan usulan dari partai. Partai pemenang pemilu dapat apa? Sebaiknya Budi Gunawan Menko Polhumkam, Rizal Ramli Menko Ekonomi. Itulah yang ada dalam benak pikiran Prabowo terkait usulan menteri-menteri Kabinet Jokowi II tersebut. Prabowo sendiri pernah cerita ihwal kisah dua pemimpin AS, Abraham Lincoln dan William Seward saat Rapimnas Gerindra di Hambalang, Bogor, Rabu (16/10/2019). Abraham selama hidupnya fight dengan Seward, tokoh yang lebih senior. Bahwa pada suatu ketika Abraham menyatakan ingin bertemu dengan Seward di kongres parlemen AS. Seward menolak bertemu, bahkan menyebut Abaraham sebagai monyet. Ia urung bertemu Seward. Bertahun-tahun kemudian, mereka terus bertarung secara politik hingga Abraham akhirnya terpilih menjadi presiden. Setelah terpilih, Abraham ternyata mau menawari William Seward untuk menjadi Menlu AS atau Secretary of State. Padahal, jabatan ini merupakan posisi ketiga terkuat di Amerika Serikat setelah presiden dan wakil presiden. Seward akhirnya tanya, “Lho kamu tahu kan saya benci banget sama kamu. Kenapa kamu menawarkan posisi menteri luar negeri ini kepada saya.” Jawaban Abraham justru mengejutkan dan membuka mata para penasihat dan pendukungnya, termasuk juga pendukung Seward. Menurut Abraham, ia dan Seward punya kesamaan, yakni cinta kepada AS. “Iya saya tahu kamu benci sama saya, bilang saya monyet dan saya juga benci banget sama kamu, tapi ada satu hal yang tidak bisa dibantahkan, dua dari kita memiliki kecintaan luar biasa kepada United States of America,” ungkap Sandiaga Uno. Menurut Sandi, Prabowo menyebut bahwa Abraham memerlukan masukan dari Seward. Ia membutuhkan Seward untuk menjadi orang terdekatnya. “Karena kecintaan kepada USA dan saya butuh masukan, bukan (masukan) ABS, asal bapak senang, bukan orang yang memberikan masukan yang ingin saya dengar. Saya butuh Anda sebagai orang terdekat dengan saya,” lanjut Sandi. *Mengapa Bergabung* Seorang teman wartawan senior mencatat, Indonesia saat ini sudah dalam kondisi “bahaya”, ibarat Siaga I, ancaman dari luar sudah kritis dan juga “perpecahan” di dalam negeri sudah menganga lebar, sehingga Indonesia mudah sekali diintervensi Asing. Ini yang rakyat tidak menyadarinya. Prediksi-prediksi ahli ekonomi dunia tentang kondisi Indonesia tahun depan menukik tajam karena ekonomi tidak berputar, dan pembangunan infrastruktur yang tidak mengenal skala prioritas. Maka langkah Prabowo adalah “Menyatukan Rakyat yang Terbelah” dengan membubarkan Kubu 01-02 dan pembubaran BPN setelah pemilu dilaksanakan. Karena dengan rakyat yang terbelah, adu domba berlangsung dan intervensi negara lain yang sudah di depan mata, sangat mudah dilakukan. Karena itu Prabowo melakukan konsoludasi dengan pihak-pihak yang dianggap masyarakat berlawanan, untuk merajut kembali persatuan dan untuk bersinergi dalam menghadapi musuh utama kita, yaitu intervensi asing. Bagaimanapun Prabowo tahu kapasitas Jokowi, tanpa dukungan dari SBY Cs dan kapasitas berpikir (baca: intelektualitas) Mega yang merupakan “atasan” Jokowi yang mendukung dan menentukan Jokowi. Bagaimanapun, Mega itu seorang ibu RT yang bisa maju karena dukungan suaminya (Taufik Kiemas), bukan karena kapasitasnya sendiri, maka perlu masukan wawasan tentang kondisi Indonesia yang sebenarnya saat ini, dan juga politik dalam negeri yang sebenarnya terjadi. Makanya, diterangkan semua dan kondisi darurat saat ini terhadap intervensi asing. Kondisi Mega sendiri saat ini merasa Genk SBY Cs, Surya Paloh, dan Taipan China lebih berperan terhadap Jokowi dan mengambil manfaat yang sangat besar ke Jokowi. Di sini Mega ingin merebut kembali pengaruhnya ke Jokowi. Ia merasa Jokowi itu bisa jadi Presiden karena dia sehingga dengan memegang Prabowo, Mega bisa menyingkirkan SBY Cs dan saat ini Mega bergantung pada Prabowo. Jokowi harus menuruti Mega! Makanya, ini terlihat oleh kita bagaimana sikap Mega yang tak menyalami Paloh dan di dalam perpecahan 01 terlihat SBY Cs bersatu melawan Mega dengan membuat gaduh di Papua. Jadi, manuver Prabowo masuk ke dalam disambut oleh Mega untuk menyingkirkan SBY Cs dan kelompok ketiga itu yang selama ini sangat memanfaatkan Jokowi untuk kepentingan bisnisnya, aseng, dan asing. Ini yang paling jahat. Ibarat Prabowo membedah isi perut Kubu 01. Bagaimana dengan kondisi Kubu 02, resiko yang harus ditanggung Prabowo, ulama yang tergabung dalam ijti’ma ulama. Kecewa dan mengambil sikap opisisi! Begitu juga PKS dan relawan yang “tidak mengerti” kondisi negara saat ini ada yang marah. Ada yang kecewa, tapi ini semua resiko karena prioritas utama adalah ancaman kedaulatan negara dari intervensi asing yang semakin nyata. Diharapkan, dangan Prabowo masuk di posisi yang sangat penting bagi keputusan-keputusan strategis untuk keamanan negara, paling tidak, pertama, negara lain yang bermaksud ingin mengintervensi berfikir sejuta kali dengan masuknya Prabowo dalam pemerintahan. Karena tidak bisa disetir dan tidak bisa diiming-imingi. Kedua, integritas Indonesia sebagai negara yang berdaulat penuh atas batas-batas wilayah dipandang lagi oleh negara-negara tetangga dan naik pamornya. Jadi, jangan main-main dengan Indonesia. Presiden bisa saja lemah tapi pertahanan negara kuat dan dipandang kembali bagi kawasan Asia Tenggara. Ketiga, kestabilan wilayah kembali naik. Papua bisa dikuasai kembali. Karena rakyat Papua sangat hormat pada Prabowo, begitu juga dengan rakyat Aceh. Mereka menganggap Prabowo sebagai sahabat rakyat Aceh. Bisa disimpulkan, keamanan negara bisa dipulihkan, dan SBY Cs bisa tidak berperan lagi. Keempat, hal lain sebagai efek kestabilan negara, maka ekonomi bisa ditata ulang dengan skala prioritas. Tampaknya dukungan Mega kepada Prabowo kali ini sangat besar. Karena memang Mega bergantung pada Prabowo untuk menyingkirkan SBY Cs. Kali ini Mega menyadari ancaman luar merupakan prioritas utama, sehingga Jokowi harus mengikuti konsep yang dibuat Prabowo. Dengan dukungan penuh Mega, yang punya massa itu adalah PDIP dan Gerindra dominan, SBY Cs “nol besar”. Mereka tak punya grass rooth, hanya semu. Buktinya, keluarga TNI lebih memilih Prabowo saat Pilpres lalu. Di seluruh Indonesia kompleks militer dimenangkan 02. Jadi, sebetulnya mereka itu “jenderal ompong”. Jadi di sini terlihat kepiawaian Prabowo dalam meneliti “sumber penyakit” dan mencoba menyembuhkan dari dalam. Semoga dengan niat baik dan tulus dari Prabowo itu, Allah SWT meridhoi sepak terjangnya dalam membenahi negara ini untuk kesejahteraan rakyatnya. Aamiin. ***