ALL CATEGORY

Inaugurasi Horor

Oleh M Rizal Fadillah Jakarta, FNN - 2O Oktober 2019 adalah hari inaugurasi Presiden dan Wakil Presiden. Heboh sekali rasanya penghelatan politik ini. Ada nuansa ketakutan yang sangat, sehingga situasinya mencekam. Ada horor di sana. Horor isu penggagalan pelantikan, sehingga disiapkan perlindungan di banyak matra. Pasukan militer dan polisi mendominasi. Puluhan ribu bagaikan ada yang hendak kudeta. Dukungan kekuatan partai pendukung sudah pasti dan yang unik adalah pasokan mahluk halus yang diundang Ki Sabdo. Konon dari pengakuannya, itu perintah Jokowi. Segala jenis pasokan hadir dari Nyi Loro Kidul Nyi Blorong hingga Jin Kahyangan. Katanya lengkap. Dari aspek keagamaan banyak yang mengelus dada karena salah satu yang dilantik adalah seorang Kyai Ketua Umum MUI yang tidak (mau) mengundurkan diri. Tentu dilengkapi dengan banyaknya jabatan lain yang dipegang. Mistik mistik menyebabkan Negara Ketuhanan bergeser menjadi Negara Kehantuan. Tragis. Ketika viral "Ki Sabdo" menjampi jampi Gedung DPR/MPR RI teringatlah pada "penasehat" Raja Brawijaya yang bernama "Sabdo Palon". Ketika Majapahit dikalahkan oleh Kesultanan Demak maka Raja Majapahit Brawijaya masuk Islam. Penasehat "dedemit" nya Sabdo Palon diajak masuk Islam, tetapi ia menolak dengan keras dan berucap "Sabdo Palon matur sugal yen kawula boten ngrasuka agama Islam. Wit kula puniki yekti Ratuning Dang Hyang tanah jawi. Momong marang anak putu Sagung kang para Nata Wus pinasthi sayekti pisahan". Intinya Sabdo Palon adalah "dedemit" pengasuh pemimpin tanah Jawa, daripada masuk Islam lebih baik berpisah dengan Brawijaya. Dan ia bersumpah akan bangkit lagi mengganti agama Islam. "Kula gantos Kang agami" katanya. Sabdo yang memasukkan banyak dedemit ke gedung DPR/MPR untuk memproteksi pelantikan menjadi fenomena baru yang memprihatinkan bangsa. Semakin merenung bisa bisanya Pak Jokowi yang selalu bersemangat jadi imam Shalat dan Pak Ma'ruf Amin yang Kyai sampai sangat toleran dan terpapar oleh mistisisme. Kemusyrikan yang menguasai dan mengendalikan politik. Rupanya aksi demo mahasiswa yang masif hendak dihadapi oleh para "dedemit" dari berbagai spesies dan genus. PasukanTNI dan Polri yang berjumlah puluhan ribu kalah pamor dan efektif oleh pasokan Dedemit dibawah komando Sabdo. Sungguh suatu pelecehan. Sejarah akan mencatat inilah inaugurasi terhoror sepanjang sejarah. Pasca pelantikan bisa bisa komunitas dedemit akan terus ikut mengisi ruang istana. Sehingga suasana magis meliputi penjuru Istana itu. Saran saja untuk Pak Jokowi, contohlah Raja Brawijaya yang rela "diceraikan" dirinya oleh Sabdo Palon demi agama Islam. Dunia mistik membuat Allah SWT tidak ridlo. Ulama, umat, dan kaum rasional akan melawan kemusyrikan dan kebodohan. Lengser keprabon merupakan sebuah keniscayaan. *) Pemerhati Politik Madinah, 20 Oktober 2019

Anomali-Anomali Pelantikan Presiden

Oleh Hersubeno Arief Jakarta, FNN - Pelantikan Jokowi sebagai Presiden RI periode kedua (2019-2024) penuh dengan anomali. Aneh, ganjil dan banyak kelainan. Anomali pertama. Harusnya pelantikan ini menjadi pesta rakyat. Penuh sukacita. Bangsa Indonesia merayakan suksesnya pesta demokrasi. Rakyat malah dijauhkan. Diwaspadai. Ditakuti. Lihatlah apa yang terjadi di Jakarta hari ini. Suasananya sungguh tegang. Seperti mau perang. Negara dalam kondisi darurat. Aktivitas warga dibatasi. Polisi, tentara, sampai petugas Satpol PP bertebaran di sepanjang sudut kota. Banyak di antaranya mengenakan pakaian sipil, mengamati pergerakan warga dengan waspada. Jalan-jalan utama ditutup untuk umum. Ruas jalan di seputar gedung MPR/DPR, seputar istana presiden dan berbagai ruas jalan protokol yang menghubungkannya tak bisa dilalui. Jalan-jalan utama itu ditutup aksesnya untuk rakyat. Hanya petugas keamanan dan pihak yang berkaitan langsung dengan pelantikan presiden dan wakil presiden yang boleh melaluinya. Kegiatan car free day, olahraga pekanan warga Jakarta sepanjang jalan MH Thamrin dan Sudirman ditiadakan. Kawasan Monas juga ditutup untuk publik. Kawasan yang biasanya menjadi tempat hiburan murah rakyat kebanyakan itu dijaga ketat aparat keamanan. Lucunya beberapa kepala daerah di seputar Jakarta juga ikut-ikutan paranoid. Walikota Bekasi Rachmat Effendy juga meniadakan kegiatan car free day di jalan Ahmad Yani, Bekasi. Padahal lokasi sangat jauh dari arena pelantikan. Bupati Bogor Ade Yasin guru dan orang tua yang pelajar dan anaknya ikut unjukrasa menentang pelantikan. Anomali kedua. Polisi memberlakukan larangan unjuk rasa. Larangan berlaku hampir sepekan. Sejak Selasa (15/10) sampai saat pelantikan Ahad (20/10). Unjukrasa, menyampaikan ekspresi politik, pendapat secara lisan dan tulisan adalah hak konstitusional warga negara. Dalam negara demokrasi seperti Indonesia dijamin konstitusi. Polisi tetap bersikeras melarang unjukrasa kendati Presiden Jokowi mempersilakan rakyat dan mahasiswa turun ke jalan. Presiden malah sempat mengaku rindu didemo. Anomali ketiga, TNI dan peralatan tempur dikerahkan secara besar-besaran. Seperti darurat perang. Helikopter, pesawat tanpa awak (drone), pesawat militer dikerahkan untuk memantau keamanan dari udara. Sejumlah panser TNI juga diparkir di beberapa kawasan pusat perbelanjaan di Jakarta. Panglima TNI mengeluarkan ancaman. “Siapapun yang akan menggagalkan pelantikan kabinet, berhadapan dengan TNI.” Dalam negara demokrasi, tugas militer itu mengamankan negara dari ancaman musuh, negara asing. Bukan berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Situasi keamanan ketertiban masyarakat adalah domainnya polisi. Bukan militer. Sejak TNI back to basic, TNI harus menjauhkan diri dari hiruk pikuk politik praktis. Sekarang malah diseret-seret kembali ke politik. Mengamankan rezim penguasa. Anomali keempat. Rakyat banyak yang tidak antusias menyambut pelantikan. Bahkan emak-emak menyerukan gerakan “tutup tv dengan taplak meja.” Di twitter seruan #BesokMatikanTVSeharian memuncaki trending topic. Mereka tak peduli, siapa yang mau jadi presiden, siapa yang mau jadi wapres, apalagi siapa yang mau jadi menteri. Situasinya berbeda jauh dengan Pelantikan Jokowi periode pertama. Saat itu rakyat mengelu-elukannya. Terjadi eforia. Di sepanjang jalan Sudirman dan MH Thamrin menuju istana rakyat berdiri berjajar sepanjang jalan. Jokowi bahkan sempat melepas jasnya dan turun dari kendaraan menyalami warga. Anomali kelima, ini merupakan kelainan terbesar demokrasi. Yakni bergabungnya partai oposisi ke dalam pemerintahan. Bahkan capres lawan Prabowo Subianto juga kemungkinan akan bergabung dalam kabinet. Mau dicari dalam buku teks demokrasi yang paling klasik sekalipun, tak ada ceritanya, oposisi kok bergabung dalam kabinet. Malah ikut berebut jatah kursi menteri. Tak heran bila banyak rakyat yang menyatakan kecewa. Baik dari pendukung Jokowi maupun Prabowo. “ Kalau begini ngapain harus pilpres segala?” Sudah menghabiskan anggaran negara trilyunan rupiah, masyarakat bermusuhan, gontok-gontokan, ratusan nyawa melayang sia-sia, akhirnya hanya bagi-bagi kekuasaan. Mengapa sejak awal tidak baku atur saja. Tak perlu melibatkan rakyat. Silakan atur negara ini suka-suka. Fenomena ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Demokrasi khas ala Indonesia. Ala Nusantara. End

Kalau Benar Pakai Dukun, Kita Mundur Ratusan Tahun

Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ada video tentang adegan paranormal. Namanya, Ki Sabdo. Sang Dukun sedang duduk bersila di lobi gedung Nusantara 5 di DPR, Senayan. Dia kelihatan membaca mantra. Tak lama kemudian selesai. Si perekam video bertanya kepada Pak Dukun tentang apa yang dia kerjakan. Menurut dukun yang berpakaian serba hitam itu, termasuk blangkonnya, dia sedang melakukan gladi bersih untuk peranan sebagai penjaga atau pengawal pelantikan Jokowi-Ma’ruf, 20 Oktober 2019. Ki Sabdo menjelaskannya dengan lengkap. Dia sudah membooking ratu pantai selatan, Nyi Roro Kidul berserta pengawalnya yang bernama Nyi Blorong. Juga diikutsertakan Jin Kayangan. Mereka inilah yang akan mengamankan pelantikan Jokowi-Ma’ruf. Intinya, kata Ki Sabdo, persiapan untuk pengawalan pelantikan sudah sangat mantap. Gladi bersih ini, sesuai video, dilakukan hari Jumat (18 Oktober 2019). Benarkah pihak Istana yang mengerahkan Ki Sabdo? Staf ahli utama kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin, mengatakan Istana tidak pernah mengerahkan paranormal atau dukun. Tetapi, di akhir video yang dimaksud di atas, Ki Sabdo mengatakan “iya” ketika ditanya apakah dia disuruh oleh Jokowi. Perlukah Jokowi mengerahkan kekuatan gaib untuk mengamankan pelantikannya? Soal perlu atau tidak, tentu ini tergantung Jokowi sendiri. Namun, pengerahan dukun untuk ikut mengamankan pelantikan memperlihatkan Jokowi meyakini kekuatan magis. Ini sepenuhnya hak beliau. Hak untuk mempercayai bentuk-bentuk kekuatan magis. Tidak ada yang bisa melarang. Cuma, apakah kepercayaan kepada kekuatan magis itu sesuai dengan norma-norma agama, khususnya agama Islam yang dianut oleh Pak Jokowi? Tentu ini sangat kontroversial. Terlepas dari sudut pandangan norma agama, pengerahan paranormal atau dukun dengan tujuan untuk mengawal acara pelantikan presiden, memunculkan beberapa masalah. Pertama, pengerahan paranormal atau dukun mencerminkan ketidakpercayaan pada berbagai institusi keamanan negara. Terlihat ada keraguan terhadap kemampuan kepolisian, badan intelijen dan TNI untuk mengamankan rangkaian pelantikan. Semua lembaga keamanan ini tidak mengenal kekuatan magis sebagai musuh atau ancaman bagi mereka. Terkesan pengerahan dukun itu meremehkan aparatur keamanan. Kedua, pengerahan paranormal jelas menunjukkan kemunduran spiritual dan intelektualitas ratusan tahun. Tuhan Yang Maha Esa menurunkan bantuan kepada manusia agar makhluk yang terbaik ini terbebas dari belenggu kehinaan intelektualitas. Allah mengirimkan utusan silih berganti untuk menjelaskan agar manusia tidak menyembah atau bersujud kepada sesama makhluk. Penjelasan itu didakwahkan ke Indonesia sekitar 700-an tahun yang lalu. Sampai akhirnya kita mantap dalam teologi keesaan Allah. Kita yakin bahwa hanya Allah-lah sumber segala kekuatan dan kekuasaan. Jadi, pengerahan dukun mengembalikan Anda ke masa sebelum kedatangan risalah yang membebaskan manusia dari cengkeraman kebodohan (jahiliyah). Ketiga, pengerahan dukun (paranormal) akan menjadi teladan yang membingungkan bagi generasi milenial. Prinsip perdukunan tidak sejalan dengan ‘creative thinking’ (berpikir kreatif). Tidak akan bisa terhubung dengan ‘digitalized technology’ (teknologi terdigital). Intinya, penyertaan dukun dalam acara-acara kenegaraan akan menyampaikan pesan yang kontradiktif tentang kapasitas para pemimpin. Di satu pihak, para penguasa mengatakan mereka ingin mempercepat pembangunan sains dan teknologi. Namun, di pihak lain, para penguasa juga menunjukkan isyarat bahwa pikiran mereka terbelenggu oleh perdukunan yang tidak punya sambungan dengan sains dan teknologi itu sendiri. Akibatnya, muncul pertanyaan apakah para penguasa memahami atau tidak terobosan sains dan teknologi yang berlangsung terus-menerus. Apakah mereka mengerti bahwa sains dan teknologi adalah buah dari pembebasan manusia dari sungkupan kebodohan dan kelemahan. Itulah tiga hal yang perlu kita cermati terkait penyertaan dukun atau paranormal di dalam aspek-aspek kehidupan kita. Semoga kita tidak masuk ke dalam terowongan yang akan membawa kemunduran intelektualitas. Ratusan tahun ke belakang. [] 20 Oktober 2019

Spesialnya Wapres China dan Hinanya Rakyat Indonesia

Adapun China nampaknya memberi perhatian spesial kepada Jokowi. Wakil Presiden China, Wang Qishan, secara khusus diutus China untuk menghadiri pelantikan Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Bahkan, Sebelum ke Jakarta, Wang Qishan terlebih dahulu berkunjung ke kampung halaman Jokowi di Surakarta atau Solo, Jawa Tengah. [Catatan Pelantikan Jokowi - Ma'ruf] Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Wakil Ketua MPR Arsul Sani menyebut, pelantikan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 pada Minggu (20/10/2019) mendatang akan dihadiri oleh para tamu lebih dari 20 negara. Thailand mengutus deputinya untuk menghadiri pelantikan Presiden dan Wakil presiden terpilih periode 2019-2024. Sementara Amerika Serikat dan Laos mengirim utusan khusus. Adapun China nampaknya memberi perhatian spesial kepada Jokowi. Wakil Presiden China, Wang Qishan, secara khusus diutus China untuk menghadiri pelantikan Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Bahkan, Sebelum ke Jakarta, Wang Qishan terlebih dahulu berkunjung ke kampung halaman Jokowi di Surakarta atau Solo, Jawa Tengah. Pada Jumat (18/10/2019), Wang Qishan mendapat jamuan spesial dari Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo di rumah dinasnya, Loji Gandrung. Berbagai tarian tradisional dan makanan tradisional disuguhkan kepada rombongan Wapres China ini. Wang dikabarkan pernah berada di Solo pada sekitar tahun 1960. Kedatangan ke Solo juga untuk bernostalgia masa kecilnya. Untuk menjamu dan melayani tamu-tamu dari luar negeri termasuk tamu spesial dari China, Istana telah menyiapkan 18 mobil Mercedes Benz. Mercedes Benz S 450 L untuk tamu kepala negara atau perdana menteri. Mercedes Benz E 300 untuk utusan kepala negara. Total anggaran yang dikeluarkan untuk menyewa 18 mobil Mercedes Benz tersebut mencapai Rp 1 miliar. Sementara untuk tempat penginapan, Istana merekomendasikan Hotel Fairmont, Mulia, Sultan, Four Season. Alasannya, agar tamu negara tidak memakan banyak waktu saat menempuh perjalanan menuju gedung DPR/MPR pada tanggal 20 Oktober. Lantas apa yang telah dipersiapkan istana untuk menyambut rakyat dalam pelantikan? Suguhan apa yang akan dipersembahkan istana untuk rakyat? Nampaknya rakyat nasibnya tak seindah tamu negara, apalagi tamu dari China. Rakyat tidak akan mendapatkan layanan mobil mewah, penginapan megah, apalagi sempat mendapat jamuan spesial dan tari-tarian hangat dari penguasa. Rakyat, telah disuguhi kawat berduri, larangan menyampaikan pendapat padahal itu satu-satunya yang dimiliki rakyat, bahkan sudah disiapkan 31.000 pasukan untuk 'menyambut' (baca: menghadang) rakyat. Wajar saja tak ada kebahagiaan yamg dirasakan rakyat dalam pesta ini. Hina sekali perlakuan rezim ini pada rakyatnya? Sementara Wapres China seperti mengunjungi salah satu provinsinya saja. Mendapat penyambutan dan pelayanan serba wah, bahkan bisa bernostalgia hingga ke solo, mendapat hidangan lezat diiringi tarian hangat. China juga tak mencukupkan staf atase atau kedubes yang menghadiri pelantikan. Mungkin karena China menganggap Indonesia salah satu provinsinya, maka yang diutus langsung Wapres China. Bahkan, layaknya mengunjungi provinsi bawahan, Wapres China juga nyambi plesir ke Solo, tidak hanya menghadiri pelantikan. Itulah perlakuan berbeda yang disuguhkan penguasa pada rakyat di negeri ini. Meskipun kekuasan ditopang oleh pajak rakyat, tapi mereka tidak bekerja melayani rakyat sebagaimana mestinya. Justru, kepada China yang tidak pernah membayar pajak pelayanannya begitu terlihat istimewa.

Menanam Pancasila dengan Pupuk Kemunafikan

Anda berceramah tentang kejujuran tetapi Anda sendiri tiap hari menilap uang rakyat. Anda jelaskan soal keadilan sosial, tapi Anda lakukan kezaliman di mana-mana. Kalian pidatokan perihal kemanusiaan sementara kalian sendiri kejam, beringas, brutal. Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dulu, di zaman Orde Baru, ada BP7. Huruf ‘p’-nya sampai tujuh biji. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BPPPPPPP). Terpaksa disingkat BP7. Tahu kenapa disingkat pakai angka ‘7’? Sebab, kalau diketik lengkap BPPPPPPP di dalam dokumen harian atau di dalam korespodensi, khawatir huruf ‘p’-nya kurang atau lebih. Tak percaya, coba Anda hitung huruf ‘p’ yang tertulis di atas. Ada tujuh biji atau tidak? Nah, begitulah susahnya pemerintah Orde Baru memasyarakatkan Pancasila. Dibuat badan khusus dengan biaya besar. BP7 menggurita ke seluruh Indonesia. Di mana ada kabupaten, di situ ada BP7. Waktu itu, para petinggi negara khawatir rakyatnya tidak paham Pancasila dan tidak pancasilais. Digagaslah BP7 sebagai mesin injeksi Pancasila. Saking hebatnya mesin injeksi ini, Anda tak akan bisa hafal kepanjangan BP7 itu dalam tiga kali baca. Coba saja. Mesin injeksi Pancasila buatan Orde Baru itu digunakan sebagai alat untuk memompakan nilai-nilai falsafah bangsa itu ke dalam diri pegawai negeri dan mahasiswa. Mereka ini dianggap sebagai lapisan yang menentukan Indonesia menjadi pancasilais atau tidak. Dilaksanakanlah penataran P4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Dengan tujuan agar orang yang ditatar menjadi baik. Agar jiwa yang tidak pancasilais lenyap dari birokrasi. Dan agar para calon pemimpin yang sedang sekolah di perguruan tinggi, menjadi manusia pancasilais. Hasilnya? Korupsi merajalela. Penyelewengan uang negara makin marak. Jurang kaya-miskin melebar terus. Penggundulan hutan mencapai puncaknya. Para pelaku kejahatan ini semuanya hafal Pancasila. Mereka sudah diwisuda sebagai peserta penataran P4 100 jam atau 125 jam. Penataran Pancasila tak punya dampak apa-apa. BP7 buang-buang duit. Akhirnya badan ini dibubarkan. Fast forward, di bulan Juni 2017 dibentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Ada perasaan Pancasila tidak membekas. Banyak yang tidak paham. Inilah alasan untuk membuat model baru mesin injeksi Pancasila pengganti BP7. Persiden Jokowi lebih serius lagi. UKP-PIP dinaikkan menjadi Badan Pembinaan Idoelogi Pancasila (BPIP). Inilah versi mutakhir mesin injeksi Pancasila. Semua crew di sini bergaji besar. Target: manusia pancasilais sejati akan segera dirilis. Hasilnya? Omong kosong. Protipe pancasilais tak kunjung muncul. Korupsi tetap merajalela. OTT KPK, siapa takut? BUMN menjadi sarang korupsi. Pemilu menjadi ajang jual-beli suara. Pilpres penuh dengan kecurangan dan penipuan. Semua lembaga kepemiluan dihuni oleh orang-orang yang haus duit. Suara rakyat ditipu. Yang benar dikatakan salah, yang salah dibalik menjadi benar. Parpol-parpol tetap melakukan cara haram mencari dana operasional. Kelakuan para pimpinan parpol tak berubah. Masih terus munafik. Hidup mewah tapi sok peduli rakyat kecil. Pura-pura bersih, padahal maling semua. Pancasila mereka permainkan, mereka silatlidahkan. Semakin brengsek. Para pejabat tinggi di semua tingkat menjadi ganas. Semua diolah untuk memperkaya diri. Mereka berkoar-koar mau memperbaiki kehidupan rakyat. Tetapi sejatinya mereka munafik. Nah, ini dia. Kita temukan sekarang ‘keyword’-nya. Kata kuncinya: munafik dan kemunafikan. Kemunafikan itulah yang menjadi masalah besar. Bagaimana mungkin kalian bisa mengharapkan nilai-nilai luhur Pancasila tumbuh kalau pupuknya kemunafikan? Anda berceramah tentang kejujuran tetapi Anda sendiri tiap hari menilap uang rakyat. Anda jelaskan soal keadilan sosial, tapi Anda lakukan kezaliman di mana-mana. Kalian pidatokan perihal kemanusiaan sementara kalian sendiri kejam, beringas, brutal. Pancasila adalah hidup sederhana dan berbagi. Tetapi kalian semua rakus dan tamak. Kalian bercuap-cuap soal persatuan Indonesia, tetapi di balik itu kalian lakukan perbuatan yang memecah-belah bangsa. Sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kalian ubah menjadi “keadilan sosialita bagi semua yang banyak duit korupsinya”. Jadi, salah siapa? Yang salah adalah kalian semua yang masih menghuni sistem kenegaraan ini. Kalian adalah problem. Bukan solusi. Kalian penipu, bukan yang ditipu. Kalian perampok, bukan korban. Itulah sebabnya Pancasila tak bisa mengakar. Karena kemunafikan kalian semua. Bukan sosialisasi Pancasila yang menjadi masalah. Bukan karena ketiadaan BP7 atau keberadaan BPIP yang menjadi masalah. Tetapi karena tidak ada keteladanan pancasilais dari kalian semua. Padahal, kalian paham Pancasila. Jadi, pecuma kalian tanam Pancasila kalau pupuknya kemunafikan. Percuma ada BP7 atau BPIP.

Jokowi “Akhirnya” Terbebas dari Sandera Politik!

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Melihat persiapan pelantikan Presiden – Wakil Presiden Terpilih hasil Pilpres 2019, Minggu (20/10/2019) tampaknya bakal berlangsung aman dan lancar. Apalagi aparat keamanan yang sudah menyiagakan lebih dari 30 ribu anggota TNI-Polri. Dipimpin Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, aparat keamanan gabungan itu disiagakan di berbagai sudut kota dan sekitaran Gedung MPR-DPR Senayan, Jakarta, sejak sepekan ini. Tak hanya itu. Dukun pun diikutsertakan “pengamanan”. Dilansir Tempo.co, Jumat (18 Oktober 2019 12:05 WIB), dukun-dukun Pulau Belitung yang tergabung dalam Forum Kedukunan Adat Belitung menggelar ritual dan doa pada Kamis, 17 Oktober 2019, untuk kelancaran pelantikan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Ketua Forum Kedukunan Adat Belitung Mukti Maharip menyebut, ritual dan doa dilakukan dukun Belitung di Rumah Adat Belitong, Jl. Gajah Mada, itu untuk menghilangkan hal-hal negatif yang akan mengganggu pelantikan dan membuat situasi tidak kondusif. Jagad dunia maya juga kembali diramaikan dengan postingan video seorang lelaki dengan busana serba hitam yang disebutnya sebagai Ki Sabdo. Video berdurasi pendek sekitar 2 menit ini, membuat warganet bereaksi keras. Karena lelaki paroh baya ini menyampaikan pernyataan yang semakin membuat masyarakat terpecah dalam menyikapi peta politik Indonesia. Khususnya terkait dilantiknya Presiden dan Wapres Terpilih 2019-2024, Minggu, 20 Oktober 2019. Dalam video tersebut, terlihat Ki Sabdo duduk bersila atau bersemedi tepat di depan pintu gedung DPR/MPR Nusantara V. Hampir sekitar 20 detik lebih, Ki Sabdo bersemedi, sampai akhirnya menangkupkan kedua belah tangannya di wajah. Lantas, dirinya berdiri dan menyampaikan apa yang sedang dilakukannya. Setelah ada sebuah pertanyaan dari seseorang yang tak terlihat di dalam video. Ki Sabdo menyampaikan, bahwa dirinya sedang berada di gedung DPR dan melakukan gladi bersih. “Aku sedang cek anak buah saya. Ratu Selatan, Nyai Roro Kidul, Jin Kayangan dan lainnya. Semua sudah ada di dalam dan sekitarnya. Jadi untuk amankan pelantikan Joko Widodo,” ucap Ki Sabdo dalam video yang -posting Jumat (18/10/2019). Menurut Ki Sabdo Jagad Royo, begitulah dirinya dikenal, dari penglihatannya memang harus ada pengawalan secara spiritual untuk pelantikan Jokowi – Ma'ruf. “Harus ada pengawalan secara spiritual. Ini yang saya taruh di sini komplit sudah,” katanya. “Mulai Nyai Roro Kidul, Nyai Blorong, Jin Kayangan. Mantap sudah, pasti dilantik,” tegas Ki Sabdo. Dirinya juga menjawab, bila ada yang menghalangi pelantikan Jokowi – Ma'ruf, maka akan berurusan dengan Ratu Roro Kidul dan dirinya. “Urusan saya. Saya akan bereskan (bila ada yang menghalangi pelantikan, red),” ujar Ki Sabdo. Segawat itukah situasi dan kondisi Ibukota Jakarta jelang pelantikan Presiden – Wapres Terpilih? Mengapa sampai seperti itu pengamanannya? “Perang” Oligarki Apa yang membuat pengamanan begitu ketat jelang dan ketika pelantikan Jokowi – Ma’ruf sebagai Presiden dan Wapres 2019-2024? Sampai perlu melibatkan paranormal alias dukun segala? Sudah musyrikkah bangsa yang dikenal agamis ini? Tampaknya sekarang ini sedang terjadi persaingan (baca: “perang”) untuk berebut pengaruh sebagai pengendali Presiden Jokowi untuk Periode Kedua POTRI (President of The Republic Indonesia) dalam wujud Kabinet Kerja II. Sudah bukan rahasia lagi kalau selama ini ada Oligarki yang menguasai Presiden Jokowi. Selama Periode I jabatannya, “Sejumlah Jenderal”, CSIS, dan China dikenal sebagai Kaum Oligarki pengendali Jokowi, bukan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri. Kehadiran Ketum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Koalisi Rekonsiliasi yang dibawa mantan Danjen Kopassus ini membuat mereka terancam posisinya sebagai pengendali Jokowi untuk Periode II sebagai POTRI. Karena akan terjadi penggusuran besar-besaran terhadap Oligarki di Istana yang selama ini mengendalikan Jokowi. Kaum Oligarki itu tidak rela kekuasaannya digusur, sehingga tidak bisa kendalikan Jokowi 2019-2024. Mereka pun menciptakan berbagai manuver agar tetap berkuasa, minimal tidak kehilangan semuanya. Tetapi, berbagai planning mereka mentok di tengah jalan. Dan, yang diharapkan tinggal satu: Darurat Sipil. Fakta yang terjadi (di luar putusan yuridis formal), mereka telah memanipulasi hasil Pilpres 2019 dengan kemenangan Jokowi – Ma’ruf, tunggangi KPK dengan sandera Ketum-ketum Parpol Koalisi Jokowi, dan mau Kuasai Kabinet Jokowi II. Sehingga, mereka bisa menjadi penguasa Jokowi Jilid II. Jika rencana pertama tak berhasil, maka mereka menciptakan anarkisme, demo mahasiswa, dan framming isu dengan membawa tuntutan Perppu KPK. Darurat Sipil akan menjadi pilihan akhir mereka. Itulah mengapa suhu politik jelang pelantikan Presiden – Wapres Terpilih, meski Pilpres 2019 sudah lama usai semakin membara. Ini karena Rekonsiliasi sudah bergulir dan UU KPK telah direvisi. Akibatnya, “mereka” terancam lengser dari penguasa rezim Jokowi Jilid I. Mereka ciptakan berbagai aksi massa, anarkisme, separatisme, dan seterusnya. Jika tak ada rekonsiliasi, maka tidak ada segala aksi massa, separatis, anarkis, teroris dan lain-lain itu. Jika tidak ada rekonsiliasi dan tidak ada revisi UU KPK maka mereka tetap menjadi penguasa rezim Jokowi Jilid II: Oligarki, kolaborator China sebagai penindas umat-rakyat. Jadi, semua aksi massa, anarkisme, gejolak, separatisme, terorisme, framming isu dan opini terjadi pasca rekonsiliasi itu adalah ciptaan “Sejumlah Jenderal” itu untuk bertahan menjadi penguasa rezim Jokowi Jilid II. Jika tetap gagal, mereka akan paksakan “Darurat Sipil” sebagai upaya terakhir. Pembusukan citra Polri dapat terjadi karena oknum pimpinan Polri adalah kader “Sejumlah Jenderal” itu. Momentum terbaik Darurat Sipil mereka itu adalah chaos pada aksi massa mahasiswa yang menuntut penerbitan Perppu KPK. Korban berjatuhan, polisi jadi sasaran amarah, Darurat Sipil diterapkan, TNI AD pegang komando, Kabinet disusun mereka. Jadi, sebagian rakyat, mahasiswa, elit Indonesia secara tidak sadar telah jadi korban tipu daya dan tunggangannya. Massa ikut-ikutan mendesak terbitnya Perppu, latah meminta Prabowo tidak masuk kabinet. Massa tak sadar sedang membantu mereka tetap jadi penguasa. Fungsi Darurat Sipil itu sama dengan Perppu KPK yakni alat bagi mereka untuk memaksakan kehendaknya dalam penyusunan Kabinet Jokowi II. Setelah berhasil susun Kabinet Jokowi II, mereka jadi penguasa rezim kembali, maka Darurat Sipil dicabut. Seandainya Megawati-Jusuf Kalla-Budi Gunawan-Prabowo tidak menggulirkan Rekonsiliasi – UU KPK tidak direvisi, maka tidak akan terjadi gejolak, anarkisme, sabotase separatisme, provokasi, framing isu-opini, dan lain-lain menjelang 20 Oktober 2019, karena mereka sudah pasti kembali jadi penguasa. Sikap Jokowi sendiri ditentukan oleh konstelasi politik terakhir, Minggu, 20 Oktober 2019. Yaitu: Pemenang Perang Proksi III antara: Kubu Rekonsiliasi Mega-JK-BG-Prabowo Cs versus “Sejumlah Jenderal”. Namun, sampai hari ini Kubu Rekonsiliasi jauh lebih unggul dari mereka, selama Prabowo konsisten di Kubu Rekonsiliasi. Selama UU KPK hasil revisi eksis (Perppu tidak diteken). Selama rencana chaos dapat digagalkan. Maka mereka pasti lengser dari penguasa rezim. Jika kemenangan Kubu Rekonsiliasi atas “Sejumlah Jenderal” tersebut terjadi, maka kabinet Jokowi II akan sangat berbeda dengan Kabinet Jokowi I. Kabinet Jokowi II mengakomodir representasi umat Islam, steril dari elit “Sejumlah Jenderal”. Prabowo-BG menjadi Duet Pengendali di kabinet dan pemerintahan. Jika Kubu Rekonsiliasi menang perang Proksi III, dominasi Liberal Sekuler – Anti Islam pada Kabinet Jokowi II akan diganti dengan Nasionalis-Islam. De-Islamisasi di KPK akan berhenti. Sekitar 70% penyidik KPK antek “Sejumlah Jenderal” – CSIS digusur. Mereka bakal diseret jadi tersangka dan napi korupsi. Itulah prediksi yang bakal terjadi dalam detik-detik jelang prosesi pelantikan Presiden Jokowi – Wapres Ma’ruf. ***

Menyoal Keharmonisan Gubernur & Wakil Gubernur Maluku

Memanasnya hubungan dua pejabat ini, akan turut memanaskan suasana batin di jajaran birokrat. Pengalaman membuktikan, polarisasi politik akan makin kentara jelang pemilihan periode berikutnya. Karena masing-masing kubu akan berupaya berebut pengaruh. Kalau sudah bergini, lagi-lagi pelayanan publik akan dikorbankan. Oleh M. Ikhsan Tualeka Jakarta, FNN - Wakil Gubernur Maluku Barnabas Orno protes keras. Protes itu terkait nama Wagub Orno yang tidak dalam daftar nama-nama pejabat yang harus disebutkan oleh Gubernur Maluku Murad Ismail dalam sambutan saat peresmian Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) dr. J. Leimena yang juga dihadiri oleh Menteri Kesehatan Nila Moeloek, pada tanggal 16 Oktober 2019. Orno merasa tidak dihargai. Karena hal seperti ini sudah sering terjadi. Orno menuding Biro Humas dan Protokoler Pemerintah Provinsi Maluku gagal menjalankan tugas. Akibatnya, dapat menyebabkan keretakan hubungannya dengan Gubernur. Tidak ada nama Wagub di daftar yang harus disebutkan dalam sambutan Gubernur menjadi pertanda ada birokrasi yang tidak beres di protokol dan humas. Mereka bisa saja lelet atau ada persoalan yang lain. Harusnya ditelusuri apa saja penyebabnya Jika benar ada kesalahan di internal, maka mereka harus segera dievaluasi. Namun evaluasinya tidak perlu diungkapkan ke publik. Karena publik akan cenderung membaca situasi ini sebagai sinyal bahwa ada yang kurung beres di internal pemerintahan. Sebenarnya bukan hanya soal penyebutan nama dalam sumbutan Gubernur. Meski baru seumur jagung, Murad dan Orno sudah sering terlihat kurang senyawa. Perbedaan pandangan diantara mereka yang sering mengemuka ke publik. Misalnya, soal legalisasi minuman sopi adalah salah satu adegan yang bisa direkam publik. Masyarakat bisa menganggap kalau mereka bedua kerap berada pada perspektif yang berbeda dalam melihat satu persoalan. Sejumlah rumor lain turut mempertegas dan mengkonfirmasi adanya disharmoni itu. Sebenarnya ini situasi yang tak begitu mengagetkan. Bila dibandingkan dengan melihat trend hubungan relasi kepala daerah di berbagai tempat. Umumnya hubungan Kepala Daerah dan Wakilnya sudah tidak harmonis di awal-awal masa jabatn Berdasarkan dara dari Kementrian Dalam Negeri RI (2015), tercatat sekitar 75 persen pasangan kepala daerah (Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota ataupun Gubernur dan Wakil Gubernur) di Indonesia hubungan kerjanya tidak harmonis. Dampaknya sangat mempengaruhi kinerja pembangunan di daerah tersebut. Bila hubungan kedua kepala daerah harmonis, maka kinerja pemerintahan akan berjalan maksimal. Daerah tentu saja akan semakin maju. Guna mengantisipasi hal seperti ini, sebenarnya pemerintah telah berupaya dengan menyodorkan pilihan pada draf awal UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam draf awal Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut, hanya Wali Kota/Bupati dan Gubernur saja yang dipilih dalam pilkada. Sedangkan wakilnya adalah dari kalangan birokrat. Namun tawaran itu kandas, karena ditolak oleh kalangan DPR. Pengalaman di sejumlah daerah membuktikan keharmonisan antara Bupati/Walikota dan Gubernur dengan Wakil Gubernur hanya bertahan antara enam bulan hingga satu tahun pemerintahan. Sesudah itu, mulai muncul konflik. Hubungan diantara mereka menjadi tidak lagi harmonis. Biasanya diakibatkan karena kurangnya komunikasi, konflik kepentingan, dan tidak memahami tugas masing-masing. Namun dari semua itu, masalah paling krusial biasanya karena sejumlah Wakil Bupati/Wakil Walikota ataupun Wakil Gubernur tidak bisa menahan diri. Selain itu tidak menyadari akan tugasnya sebagai seorang wakil. Sebaliknya, seorang Bupati/Walikota ataupun Gubernur tidak memiliki leadership yang baik untuk dapat memobilisasi dan mengakomodir potensi yang dimiliki oleh pasangannya. Berikutnya adalah soal komunikasi yang kurang bagus antara keduanya. Kondisi ini berakibat pada hubungan dintara mereka yang tidak baik pula. Selanjutnya berdampak pada pengambilan kebijakan pembangunan didaerah tersebut. Situasi ini makin diperparah oleh pengaruh orang-orang di lingkaran kekuasaan mereka. Baik itu yang di lingkaran formal, seperti jajaran birokrasi, maupun yang informal seperti bekas tim sukses. Mereka inilah yang menjadi ‘pembisik utama' atau ‘orang dekat’. Situasi seperti kalau dibiarkan, akan menyebabkan pembelahan birokrasi dan masyarakat. Akan muncul kubu-kubuan di tubuh birokrasi. Dalam banyak hal, dampak dari hubungan tidak harmonis ini akan memunculkan perpecahan pada kalangan birokrasi. Karena akan membuat birokrasi bisa terbelah dalam split loyalis. Memanasnya hubungan dua pejabat ini, akan turut memanaskan suasana batin di jajaran birokrat. Pengalaman membuktikan, polarisasi politik akan makin kentara jelang pemilihan periode berikutnya. Karena masing-masing kubu akan berupaya berebut pengaruh. Kalau sudah bergini, lagi-lagi pelayanan publik akan dikorbankan. Mestinya setelah dilantik, pimpinan eksekutif harus duduk bersama. Membuat roadmap bersama. Setelah itu melaksanakan tugas dan kewajibannya secara bersama-sama pula. Sesuai dengan yang dijanjikan dan diamanatkan oleh Undang-Undang. Begitu pula jika ada persoalan antara kepala daerah dengan wakilnya. Seharusnya dapat diselesaikan secara internal. Tidak perlu untuk diumbar ke ruang publik. Ibarat pasangan ‘suami-istri’, bila ada masalah, cukup diselesaikan di kamar atau di atas ranjang. Anak-anak tak perlu sampai mengetahui, apalagi tetangga. Pasangan kepala daerah juga harus memperbanyak sabar dan menahan diri. Kalau tidak sabar, apalagi semua ingin maju dan tampil, tanpa ada koordinasi, bisa runyam. Masing-masing harus bekerja sesuai porsinya. Saling menghargai dan menjaga komunikasi diantara mereka. Kalau komunikasinya intensif, maka hubungan kepala daerah dengan wakilnya akan baik pula. Intinya, keharmonisan hubungan kepala daerah mesti terjaga guna menjamin kinerja pembangunan di daerah dapat berlangsung dengan baik dan lancer. Semuanya untuk mencapai kemaslahatan bagi masyarakat dan kemajuan daerah tersebut. Masyarakat juga mesti lebih proaktif mengontrol pemerintahan. Caranya, dengan kembali melihat janji-janji kampanye pasangan kepala daerah ketika mencalonkan diri. Janji-janji yang belum dilaksanakan, supaya ditagih, agar bisa segera dituntaskan. Masyarakat harus lebih bersuara dan kritis. Tujuannya, agar kedua pemimpin ini dapat memastikan pelayanan publik berjalan optimal. Selain itu, rakyat juga agar dapat menuntaskan janji-janji saat kampanye dulu. Jangan sampai pemimpinnya sudah tidak fokus. Warganya juga kehilangan daya kritis untuk kembali menginmgatkan merera. Tentu akan menjadi alamat buruk bagi daerah. Penulis adalah Direktur IndoEast Institute

Rezim Terus Memburu dan Mempersekusi UAS?

Di media sosial, telah viral siapa saja dalang dibalik pernyataan tuntutan pembatalan ceramah UAS. DEB V secara terbuka menyebut ada keterlibatan rezim dan penopangnya, yang ikut mengkonsolidasi penolakan di Frankfurt, Jerman. Bahkan konsolidasi penolakan juga dilakukan di Bremen dan Hamburg Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Rupanya, pembatalan ceramah UAS di UGM bukanlah akhir. Umat mengira, di UGM adalah yang terakhir kalinya UAS dihalangi untuk menebarkan dakwah, menyadarkan umat. UAS masih dianggap 'mesin pemusnah massal' yang akan memusnahkan kedunguan, membangkitkan kesadaran, dan tentu hal ini yang akan memicu kebangkitan umat Islam. Keadaan inilah yang tidak diinginkan rezim. Rezim ingin terus menancapkan hegemoninya kepada umat, mengkondisikan umat agar tetap dalam keadaan dungu dan memaksa agar umat ketakutan dan membiarkan kezaliman yang diproduksi rezim. Rezim khawatir dan sangat takut, kedunguan diangkat dari umat, umat menjadi sadar dan atas kesadaran itu umat tak lagi takut dan secara kolektif mengajukan perlawanan semesta kepada rezim. Hari ini (17/10), Ustaz Abdul Somad (UAS) dikabarkan kembali ditolak mengisi ceramah di Frankfurt, Jerman. UAS dijadwalkan mengisi Tablig Akbar pada tanggal 23 Oktober 2019. Penolakan tersebut dilontarkan oleh akun Change.org bernama Deb V yang mengajak warganet menolak acara kedatangan UAS. Deb V. menuliskan alasanya menolak UAS karena sering membuat pernyataan yang intoleran bahkan cenderung provokatif memusuhi sesama Muslim, tapi juga kepada non muslim. Di media sosial, telah viral siapa saja dalang dibalik pernyataan tuntutan pembatalan ceramah UAS. DEB V secara terbuka menyebut ada keterlibatan rezim dan penopangnya, yang ikut mengkonsolidasi penolakan di Frankfurt, Jerman. Bahkan konsolidasi penolakan juga dilakukan di Bremen dan Hamburg. Selain di Jerman, UAS sebelumnya juga batal mengisi sebuah acara Tabligh Akbar sekaligus penggalangan dana masjid fase 2 di wilayah Amsterdam, Belanda. Pembatalan tersebut disampaikan melalui surat pemberitahuan yang diterbitkan oleh Persatuan Pemuda Muslim se-Europa (PPME) Al-Ikhlash Amsterdam. Dilihat detikcom, Kamis (10/10/2019), surat pemberitahuan itu ditandatangani oleh ketua PPME Hansyah Iskandar Putera beserta wakilnya Hasanul Hasibuan. Memang benar, rezim ini tidak menggunakan tangannya langsung untuk memburu UAS. Kadangkala dengan otoritas kepegawaian, kadangkala menggunakan ormas Bani Majengjeng, antek dari partai pengusung rezim, komponen gerombolan kafir (pada kasus laporan polisi), juga menggunakan otoritas kampus (pada kasus UGM). Saat ini, UAS telah berlepas diri dari status PNS nya. Artinya, otoritas kepegawaian tidsk mungkin bisa lagi digunakan oleh rezim untuk memburu dan mempersekusi UAS. Namun kemerdekaan UAS sebagai rakyat biasa tanpa status Aparat Sipil Negara tidak membuat rezim ini berhenti memburu UAS. Kasus Jerman ini, menjadi bukti bahwa perburuan UAS masih terus dilakukan. Sebenarnya UAS ini memang bandel, ustadz yang satu ini intoleran, tidak mau diajak rukun dengan rezim seperti Yusuf Mansur dan Ma'ruf Amin. Andaikan UAS tidak bandel, mau diatur rezim seperti Yusuf Mansur atau Ma'ruf Amin, maka UAS tidak akan pernah mendapat perlakuan zalim dari rezim. Bahkan, ceramah UAS akan didanai dan difasilitasi rezim. Setelah rezim mampu menghentikan 'dampak destruktif' dari seruan-seruan HRS, mampu mengisolasi HRS di Arab Saudi, ternyata dari rahim umat ini muncul UAS sebagai pengganti. Tak suka dengan model dakwah HRS yang tegas dan lugas, rezim juga membenci ceramah UAS yang karib dengan logika yang dibumbui canda. Intinya, semua ujaran yang akan menyadarkan umat, menghilangkan kedunguan umat, pasti akan diburu rezim. Rezim ini tidak ingin umat menyadari, bahwa kebangkitan umat ada pada Islam dan sadar bahwa rezim yang ada hanyalah boneka yang dijadikan alat oleh penjajah untuk menindas umat Islam.

Islamophobia dan Deislamisasi

Oleh Daniel Mohammad Rosyid Jakarta, FNN - Sejak deklarasi war on terror oleh GW Bush pasca penyerangan terhadap the WTC, New York 2001, narasi islamophobia disemburkan sebagai justifikasi atas perang ilegal yang dilancarkan AS dan sekutunya atas Afghanistan, Irak, Libya dan Suriah. Narasi itu mengeras di Indonesia sejak Jokowi Presiden sekitar 5 tahun lalu. Peristiwa penyerangan atas Menkopolhukam Wiranto di Menes, Pandeglang, oleh Pemerintah langsung dikaitkan ke kelompok radikal ISIS. Padahal kita tahu, ISIS adalah hasil kreasi operasi intelijen CIA di Timur Tengah, sama seperti tuduhan pemilikan Weapon of Mass Destruction oleh Saddam Husein, semuanya untuk menjadi casus belli bagi aksi militer pre emptive AS dan sekutunya, sekaligus pasar bagi penjualan senjata oleh industri militer AS. Perlu dicermati, bahwa narasi yang menyudutkan Islam itu bukan hal baru bagi muslim yang hidup di kawasan seluas Eropa yg dulu pernah disebut Nusantara ini. Penjajah Belanda selalu menyebut para pejuang kemerdekaan itu kaum extrimist atau radikal. Terlebih karena para "pemberontak" itu lazimnya digerakkan oleh para ulama yang membina pesantren. Aksi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan disebut sebagai aksi polisionil, atau aksi penertiban atas kaum pemberontak. Bahkan menghadapi ultimatum pasukan Sekutu di Asia Tenggara yang mengepung Surabaya, mbah Kyai Hasyim Asya'ari telah mendeklarasikan Resolusi Jihad. Rezim ini dan juga banyak pendukung fanatiknya yang sok NKRI, sok Pancasila secara sengaja melupakan banyak fakta bahwa NKRI didirikan oleh para ulama (Kyai Hasyim Asy'ari, Ki Bagoes Hadikoesoemo, H. Agoes Salim) yang bekerjasama dengan kaum nasionalis (Ir. Soekarno, Bung Hatta dkk) dan kaum Nasrani (AA. Maramis). Prajurit TNI dibentuk dari santri yang dilatih Jepang (PETA) yang diprakarsai oleh para ulama. Upaya deislamisasi adalah bagian tak terpisahkan dari proses sekulerisasi yang dipaksakan atas bangsa Indonesia terutama melalui persekolahan paksa massal sejak awal 1970an. Melalui persekolahan paksa massal itu secara perlahan tapi pasti, Pemerintah menggusur pesantren dan masjid sebagai pusat-pusat peradaban masyarakat Islam. Diperkuat dengan televisi, proses penyiapan masyarakat industri itu dilakukan secara terstruktur, sistemik dan masiv. Secara perlahan, prosentase perolehan suara partai-partai Muslim dalam berbagai Pemilu selalu menurun. Saat ini kita menyaksikan bahwa masyarakat Indonesia didominasi oleh kaum abangan ( islamiyyun), sementara kaum santri ( muslimun) tetap minoritas. Jagad politik nasional dikuasai oleh "parpol tengah" nasionalis-sekuler. Sekulerisasi itu dimulai dengan mereduksi Islam menjadi sekedar "agama" yang hanya relevan bagi hidup sesudah mati, bukan sebuah cara hidup dengan semua dimensinya, termasuk ekonomi dan politik. Riba misalnya, yang jelas-jelas diharamkan Islam, dilunakkan sehingga bisa diterima sebagai praktek ekonomi yang "normal", darurat berkepanjangan, hingga hari ini. Akibatnya, masyarakat tidak saja miskin tapi juga sekaligus bodoh sehingga mudah dijadikan obyek politisasi para elite. Dakwah yang paling kuat adalah melalui kekuasaan politik dan ekonomi. Bahkan Bupati atau Gubernur yang adil adalah pendoa yang maqbul, lebih maqbul daripada doa kyai yang hanya berbicara di mimbar-mimbar masjid. Deislamisasi dilakukan dengan mengerdilkan masjid sebagai tempat ritual belaka. Khutbah politik dan ekonomi dilarang. Dakwan Islam juga mengalami demaritimisasi, mengasingkan ummat Islam dari kemaritiman sebagai tulangpunggung perdagangan dan jasa. Perdagangan adalah sektor ekonomi yang strategis sedangkan perdagangan global tidak bisa dibayangkan tanpa kemaritiman. Terdapat puluhan kesultanan Islam yang tersebar sejak Aceh hingga Papua yang menjadi pemain kunci dalam perdagangan di Nusantara maupun ke China dan Timur Tengah. Bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, demaritimisasi dakwah adalah a gigantic geostrategic mistake. Apa mungkin mempersatukan Indonesia tanpa kemaritiman? Stasiun Bandung, 17/10/2019

Tiki-taka Prabowo, Strategi Kuatkan Negara?!

Terjadi dua faksi istana yang bersitegang, yaitu Teuku Umar dan Gondangdia. Group PDIP-Golkar-Gerindra vs NasDem dan sejumlah jenderal, termasuk Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, apa keuntungan Gerindra? Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Bagaikan permainan sepak bola, manuver safari politik Prabowo Subianto jelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI berikutnya menarik untuk dicermati. Strategi tiki-takanya bisa jadi jalan keluar permasalahan bangsa dan negara saat ini. Tiki-taka adalah strategi dalam sepak bola. Intinya bermain manuver dengan umpan-umpan yang terukur, sehingga bisa mencapai tujuan alias goal. Manuver politik yang dilakukan Prabowo memang penuh dengan political shock yang tiba-tiba. Ending berbagai manuver Prabowo yang dimulai dengan pertemuan bersama Presiden Joko Widodo, dilanjutkan dengan Megawati Soekarnoputri, dengan Presiden Jokowi lagi, Surya Paloh, dan Muhaimin Iskandar, untuk mencari “solusi bangsa”. Terakhir, Prabowo juga bertemu dengan pimpinan Airlangga Hartarto di Kantor DPP Partai Golkar. Dalam konferensi pers seusai pertemuan, Prabowo mengaku kedatangannya ibarat pulang ke almamaternya dulu. “Saya hari ini kembali ke almamater saya, saya dulu lulusan Golkar. Golkar menyumbang banyak kader ke banyak institusi di republik ini,” kata Prabowo di DPP Golkar, Selasa, 15 Oktober 2019, seperti dilansir Tempo.co. Sebelum mendirikan Gerindra pada 2008, Prabowo memang bergabung dengan Golkar. Ia juga mengikuti konvensi Partai Golkar untuk menjadi capres pada Pemilu 2004. Prabowo kalah dari Wiranto – kini Menko Polhukam – dalam konvensi itu. Prabowo berujar dia pun tak merasa canggung kembali ke Golkar. Menurut dia, Gerindra dan Golkar memiliki banyak kesamaan. “Kami sepakat untuk menjaga negara dan bangsa yang kita cintai,” kata mantan Danjen Kopassus ini. Prabowo mengatakan Golkar dan Gerindra sepakat untuk bekerja sama di kemudian hari. Ia berujar komunikasi politik yang baik di antara para elit akan membawa suasana yang baik bagi terwujudnya stabilitas negara. Sebelumnya, Prabowo juga bertemu dengan mantan Kepala BIN Hendropriyono di kediaman mantan Pangdam Jaya ini. Semua “persoalan” yang selama ini menyangkut keduanya sudah cair. Tidak ada lagi “permusuhan” politik diantara keduanya. Menjadi oposisi – karena dalam sistem politik Indonesia memang tidak mengenal oposisi – tampaknya bukan menjadi pilihan politik Prabowo yang “kalah” dari capres petahana Joko Widodo pada Pilpres, 17 April 2019. Keputusan Ketum DPP Partai Gerinda Prabowo Subianto mengambil langkah politik dengan Koalisi Rekonsiliasi memang sulit dipahami oleh masyarakat, terutama para pendukungnya. Bagi Prabowo, ini adalah pilihan yang sulit. Kalau Prabowo memilih berada di luar pemerintahan, jelas segala apa yang dicita-citakannya menuju Indonesia Adil dan Makmur akan sulit tercapai. Satu-satunya jalan adalah Prabowo harus bergabung dengan pemerintahan Jokowi. Salah satu contoh, yang mampu menghadang kekayaan Indonesia lari ke luar negeri hanya pemerintah, bukan “oposisi”. Karena, pemerintah-lah yang punya kewenangan melakukan pencegahan tersebut. Masuknya Prabowo dalam Koalisi Rekonsiliasi nanti justru bisa mewarnai kebijakan yang akan diambil Presiden dan Wapres Terpilih. Bisa jadi, jajaran kabinet Jokowi nanti bersih dari koruptor karena dipilih yang kapabel dan cerdas. Konon, Kabinet Cerdas ini tidak ada kader-kader dari partai-partai yang kadernya terlibat korupsi, walau dari Partai Koalisi Pilpres. Sekitar 40-45 persen komposisi Kabinet Kerja II berasal dari Koalisi Rekonsiliasi, sedangkan sisanya dari profesional. Penentuan siapa-siapa yang layak masuk dalam Kabinet Cerdas ini sudah atas konfirmasi Megawati. Namun, sebelum memutuskan, Jokowi diminta Megawati untuk membicarakan dengan Prabowo terlebih dahulu. Itulah hasil Koalisi Rekonsiliasi. Kabarnya, pertemuan Prabowo-Jokowi adalah forum bagi Jokowi meneruskan permintaan Ketum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono agar Megawati-Prabowo mau terima kader Demokrat duduk di kabinet meski hanya 1 orang. Dipastikan, Megawati-Budi Gunawan-PDIP menolak permintaan SBY tersebut. Sedangkan Prabowo cenderung mengulang kesalahan dengan memaafkan SBY, meski sudah beberapa kali dikhianatinya. Sehingga, mungkin masih ada kader Demokrat. Padahal, sebelumnya ada keputusan Koalisi Rekonsiliasi menempatkan Demokrat-Nasdem sebagai oposan pada rezim Jokowi Jilid II tentunya merupakan kiamat bagi SBY. Terlebih lagi, pasca segala upaya tekan Jokowi teken Perppu KPK kandas. Makanya, hingga Kamis, 17 Oktober 2019, batas akhir keputusan penandatanganan Perppu KPK, jika Presiden Jokowi tidak meneken Perppu KPK, maka Revisi UU KPK yang sudah diketok DPR RI sebulan lalu, akan tetap diberlakukan. High Politic Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa Tony Rosyid menyebutkan, 99,99 persen Gerindra bergabung Istana. Tak ada lagi ruang untuk berpikir oposisi bagi Gerindra. Bicara Gerindra, maka tak ada ubahnya bicara Prabowo. Sebab, di tangan Prabowo semua keputusan Gerindra dibuat. Sama halnya dengan Demokrat, PDIP, dan NasDem. Otoritas partai mutlak di tangan ketua umumnya. Bagi para pendukung, ini sebagai bentuk penghianatan. Kenapa dianggap berhianat? Menurut Tony Rasyid, pertama, karena dari awal Prabowo berulangkali membuat pernyataan di depan pendukungnya point of no return. Intinya, akan terus membuat perlawanan terhadap Istana. Semula perlawanan massa. Lalu berubah jadi perlawanan hukum di MK. Kalah, kenapa terus bergabung? Kedua, para pendukung,termasuk barisan mantan jenderal, ulama dan emak-emak kompak menginginkan Prabowo membawa Gerindra sebagai oposisi. Wajar, kalah ya oposisi. Ini logika yang lebih waras. Harapan tinggal harapan. Tak digubris! Di sisi lain, bagi kader Gerindra, langkah Prabowo untuk gabung ke Istana dianggap sebagai strategi high politik, politik tingkat tinggi. Maksudnya? Jika masuknya Gerindra ke koalisi Jokowi itu dimaksudkan untuk memporak-porandakan kubu Jokowi, ini sudah berhasil. Terjadi dua faksi istana yang bersitegang, yaitu Teuku Umar dan Gondangdia. Group PDIP-Golkar-Gerindra vs NasDem dan sejumlah jenderal, termasuk Wiranto dan Luhut Binsar Panjaitan. Lalu, apa keuntungan Gerindra? “Tentu, kalau hanya dapat jatah tiga menteri itu bukan high politik. Itu politik ecek-ecek,” jelas Tony Rasyid dalam tulisannya yang tersebar di berbagai grup WA. Sehingga, terkadang tidak mudah untuk memahami manuver Prabowo. Dari beberapa pertemuan yang dilakukan Prabowo dengan pimpinan partai Koalisi Pilpres itu, yang menarik adalah pertemuan Prabowo-Paloh, Minggu (13/10/2019), malam yang menghasilkan tiga kesepakatan. Kesepakatan itu dibacakan Sekjen NasDem Johnny G Plate di hadapan Surya Paloh dan Prabowo serta wartawan, seusai pertemuan. Berikut tiga kesepakatan tersebut: Pertama, pemimpin partai politik sepakat untuk memperbaiki citra parpol dengan meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan lain. Dan menjadikan persatuan nasional sebagai orientasi perjuangan serta menjaga keutuhan bangsa. Kedua, pemimpin parpol sepakat untuk melakukan segala hal yang dianggap perlu untuk mencegah dan melawan segala tindakan radikalisme berdasar paham apapun yang dapat merongrong ideologi Pancasila dan konsensus dasar kebangsaan. Ketiga, pemimpin partai politik sepakat bahwa amandemen UUD 1945 sebaiknya bersifat menyeluruh, yang menyangkut kebutuhan tata kelola negara sehubungan dengan tantangan kekinian dan masa depan kehidupan bangsa yang lebih baik. Direktur The Global Future Institute Hendrajit menafsirkan poin kedua kesepakatan tersebut. Radikalisme ditujukan ke semua ideologi atau kelompok. Bukan spesifik ke Islam. “Seperti yang sering saya tulis selama ini, radikal itu peruncingan ideologis,” katanya. Bukan fundamentalisme ideologis. Sosialisme demokrasi kalau meruncing ke kanan, jadinya ya neoliberalisme. Kalau meruncing ke kiri, bisa jadi komunisme. Bahkan, nasionalisme pun kalau meruncing bisa jadi fasisme atau ultra nasionalis. “Mengenai poin ketiga, frase amandemen yang bersifat menyeluruh, saya menangkap kesan ini bisa kembali ke UUD 1945. Bukan sekadar mengamandemen beberapa pasal semata,” ujar Hendrajit. Artinya, Hendrajit melihat, ada indikasi ke arah tata ulang pengelolaan sistem kenegaraan. Istilah yang dipakai amandemen yang menyeluruh berarti secara teknis diarahkan kembali ke UUD 1945. “Jadi pahami dulu kerangka besar pandangan yang mendasari joint statement Prabowo-Paloh. Baru kita kritik atas dasar kerangka pemikiran itu,” tegas Hendrajit. Misalnya, kalau benar akan menuju amandemen menyeluruh atau kembali ke UUD 1945, bagaimana dengan masa jabatan presiden? Bagaimana menjabarkan pengertian “setelah itu dapat dipilih kembali”? Artinya kita mau opsi mana terkait masa jabatan presiden? Di Amerika Serikat cukup dua kali masa jabatan. Di Prancis satu kali jabatan, namun 7 tahun. Terus terkait pasal bahwa presiden dipilih melalui musyawarah untuk mufakat oleh MPR sebagai wujud kedaulatan rakyat yang tertinggi. Kira-kira bagaimana implementasinya. Menurut Hendrajit, justru pertemuan Prabowo-Paloh ini jauh lebih serius daripada selfa-selfi Jokowi-Prabowo di Istana beberapa hari lalu. “Pertemuan kedua tokoh ini justru pertemuan politis yang sesungguhnya. Dan substansial. Terlepas apapun hasilnya nanti,” tegasnya. Kalau memang benar Prabowo bergabung dengan Pemerintah, diharapkan nantinya bisa menjadikan Indonesia akan lebih baik. Indonesia Adil-Makmur! Namun, semua kembali pada niat Prabowo di dalam melakukan safari politiknya. Benarkah permainan tiki-takanya demi kebaikan bangsa dan negara di masa mendatang? Atau, hanya sekadar memenuhi hasratnya untuk ikut berkuasa, seperti yang kerap ditudingkan pihak-pihak yang berseberangan dengan Prabowo selama ini!