ALL CATEGORY

Menteri “Bernoda” Korupsi (2): Halim Iskandar dan Ida Fauziyah?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Selain nama Mendagri Tito Karnavian dan Menteri BUMN Erick Thohir, nama Abdul Halim Iskandar, kakak Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar yang menjabat Mendes PDTT dan Menaker Ida Fauziah, ternyata “bernoda” korupsi juga. Keduanya adalah politisi PKB pimpinan Ketum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Sayangnya, kedua politisi PKB itu pernah “berurusan” dengan KPK. Meskipun mereka diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi. Ini dibenarkan oleh pihak KPK. Menurut Jubir KPK Febri Diansyah, Halim Iskandar dan Ida Fauziyah itu pernah dipanggil dan diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang berbeda. Beberapa orang memang pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam sejumlah perkara terpisah. “Saya kira itu juga sudah terbuka ya informasinya,” kata Febri seperti dilansir RMOL.id. Halim Iskandar pernah diperiksa dalam kasus dugaan gratifikasi dari kasus pencucian uang Bupati non-aktif Nganjuk Taufiqurrahman. Sedangkan Ida Fauziyah terkait kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 untuk tersangka eks Ketum PPP Surya Darma Ali. Mantan Menteri Agama ini pun sudah divonis Pengadilan Tipikor Jakarta. “Ada beberapa kasus yang berjalan saat itu, seperti suap dan gratifikasi Bupati Nganjuk dan juga kasus korupsi haji yang melibatkan Menteri Agama sebelumnya,” ujar Febri, mengutip Law-justice.co, Rabu (23/10/2019 08:30 WIB). “Memang ada beberapa nama yang kita tahu terkait dengan beberapa kasus korupsi yang pernah ditangani KPK. Namun, mereka memang baru diperiksa sebagai saksi sejauh ini,” ungkap Febri. Halim Iskandar Jejak digital Abdul Halim Iskandar yang “bernoda” korupsi masih terekam. Terkait dirinya yang pernah dipanggil KPK, Halim Iskandar menyatakan sudah clear dan ia tidak terlibat. “Semua clear, enggak ada masalah,” ujarnya, mengutip Kompas.com. Seperti dilansir Kompas.com, Selasa (22/10/2019), dirinya sempat berurusan dengan KPK pada 2018. Dia dipanggil sebagai saksi terkait penyidikan perkara tindak pidana pencucian uang dengan tersangka mantan Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman. Seperti dilansir Liputan6.com, Selasa (22 Okt 2019, 15:09 WIB), “Ya saya kenal, waktu di Jombang ya, sudah,” ujar Abdul Halim usai diperiksa di Gedung KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa 31 Juli 2018. Halim Iskandar tidak menampik kerap bertemu dengan mantan Bupati Nganjuk tersebut. Namun, menurut Ketua DPW PKB Jawa Timur itu, perkenalan dan pertemuannya dengan Taufiqurrahman hanya sebatas kaitan sebagai pengurus partai. “Dia kan orang Jombang. Dia (Bupati Nganjuk Taufiqurrahman) aktif di Golkar, saya di PKB. Kenal sebagai pengurus partai. Sudah itu saja,” kata Halim Iskandar. Taufiqurrahman sendiri merupakan tersangka penerimaan gratifikasi terkait proyek-proyek di Nganjuk. Taufiqurrahman yang diduga KPK menerima gratifikasi Rp 5 miliar selama 2013-2017. Nama mantan Ketua DPRD Jatim periode 2014-2019 itu sempat pula secara tersirat sebagai “kerabat” Muhaimin Iskandar yang sedang digadang-gadang agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Makanya Ketum PKB ini sedang membutuhkan logistik. Hal itu terungkap dari pengakuan terpidana kasus suap proyek infrastruktur Musa Zainuddin yang menyeret Muhaimin Iskandar dalam pusaran perkara yang membelitnya. Seperti dikutip Tempo, Sabtu (19/10/2019), Muhaimin dituding terima duit fee Rp 6 miliar. Selain dituding menerima duit, Muhaimin disebut juga berupaya menggagalkan permohonan justice collaborator (JC) kadernya tersebut. Awal Oktober lalu, 3 penyidik KPK memeriksa Musa. “Saya diperiksa atas surat permohonan sebagai JC,” kata Musa. Kepada Tempo, Musa mengatakan penyerahan uang itu merupakan respons atas percakapan bersama Jazilul beberapa bulan sebelumnya. Saat itu, Sekretaris Fraksi PKB Jazilul Fawaid mengatakan Muhaimin Iskandar sedang membutuhkan logistik untuk mendorong kader PKB agar maju dalam bursa cagub Jatim 2018. Nama yang sedang digadang-gadang saat itu adalah kerabat Muhaimin. Ternyata, kerabat ini tidak lain adalah Abdul Halim Iskandar, kakak Muhaimin Iskandar yang belakangan batal maju dalam kontestasi Pilgub Jatim 2018. Surat JC Musa yang diperoleh Tempo menyebutkan sebagian besar uang dari para pengusaha itu diserahkan kepada Jazilul. Jumlahnya jauh lebih besar dari uang yang ia terima, yakni Rp 6 miliar. “Yang di tangan saya cuma Rp 1 miliar,” ujar Musa. Musa menjalani hukuman selama 9 tahun karena terbukti menerima suap sebesar Rp 7 miliar untuk meloloskan proyek infrastruktur Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Maluku dan Maluku Utara Tahun Anggaran 2016. Setelah anggaran diketuk, Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir menemui Musa. Abdul Khoir mengaku tertarik menggarap proyek pembangunan jalan Taniwel-Saleman, Maluku, senilai Rp 56 miliar. Mantan anggota Komisi Infrastruktur Dewan Perwakilan Rakyat dari PKB itu ditahan sejak Februari 2017. Uang tersebut berasal dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir, kontraktor proyek, yang lebih dulu dihukum Pengadilan Tipikor Jakarta. Musa mengatakan penyidik ingin mengkonfirmasi surat permohonan menjadi JC Musa yang diajukan pada sekitar Juli 2019. Musa juga membuka kronologi aliran dana suap Rp 7 miliar yang selama ini tak terungkap di pengadilan dan pemeriksaan. Belakangan, Musa mengaku duit suap itu tidak dia nikmati sendiri, tapi mengalir ke sejumlah koleganya di PKB, termasuk ke Muhaimin. Berbeda dengan keterangan di persidangan, aliran dana suap dari Abdl Khoir ternyata tak berhenti di tangan Musa. Musa mengaku menutupi peran para koleganya lantaran menerima instruksi dari dua petinggi partai. Keduanya menekan Musa agar menutupi keterkaitan uang itu dengan para petinggi PKB. Mereka mengatakan, Ketum PKB Muhaimin Iskandar berpesan agar kasus suap itu berhenti di Musa. “Saya diminta berbohong dengan tidak mengungkap peristiwa sebenarnya,” ucap Musa. Imin – panggilan akrab Muhaimin – kini menjabat Wakil Ketua DPR. Ida Fauziah Selain Abdul Halim Iskandar, jejak digital serupa yang “bernoda” korupsi juga mengarah ke Ida Fauziah, politikus PKB yang diangkat Presiden Joko Widodo menjabat Menaker dalam Kabinet Indonesia Maju (KIM) 2019-2024. Pada medio 2014, Ida Fauziah yang saat itu anggota Komisi VIII DPR pernah diperiksa KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pelaksanaan Haji 2012 sampai 2013 yang mengarah kepada Komisi VIII DPR. “Diperiksa untuk tersangka SDA (Surya Dharma Ali, mantan Menag saat itu),” tulis Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha, melalui pesan singkat, Senin (18/8/2014). Selain Ida, KPK juga turut menjadwalkan memeriksa Anggota Komisi VIII Fraksi Demokrat, Muhammad Baghowi, Soemintarsih Muntoro (Anggota Komisi VIII DPR Fraksi Hanura), dan bekas Ketua Komisi VIII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Jazuli Juwaini. Kemudian, mantan Direktur Jenderal Pelaksanaan Haji dan Umrah Anggito Abimanyu buat kesekian kalinya juga diperiksa sebagai saksi. Dalam kasus tersebut, ketika itu KPK baru menetapkan seorang tersangka yaitu mantan Menag SDA. Tetapi uniknya, dalam surat perintah dimulainya penyidikan tercantum kalimat “SDA dan kawan-kawan”. SDA disangka melanggar pasal 2 ayat (1) dan atau pasal 3 UU No. 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana. Praktik korupsi yang mereka lakukan ditengarai terjadi di berbagai lini. Seperti: pengadaan penginapan, transportasi, dan katering. Selain itu, diduga SDA juga menyalahgunakan kuota Panitia Pelaksanaan Ibadah Haji serta memanipulasi Sistem Komputerisasi Haji. Apakah kedua menteri asal PKB ini akan diproses KPK hingga pengadilan Tipikor Jakarta, seperti mantan Menpora Imam Nahrawi? ***

AKBP Idham Azis Pernah Terkena Sanksi Karena Kasus Perjudian

Dikhawatirkan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air karena takut berhadapan dengan “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” punya hubungan kedekatan masa lalu dengan Kapolri. Kasian, pemerintahan Pak Jokowi juga dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Oleh Nasrudin Joha Jakarta, FNN – Pada tahun 2004, kalangan enternal polisi dan dunia perjudian di tanah air dibikin heboh. Penyebabnya Kapolri ketika itu Jendral Polisi Drs. Da’i Bachtiar marah besar. Akibatnya, Kapolri Da’i mencopot sejumlah perwira menengah polisi jabatannya masing-masing. Mereka yang dicopot dari jabatanya tersebut, umumnya bertugas di jajaran Polda Metro Jaya. Para perwira menengah Polda Metro Jaya yang dicopot itu, dipindahkan ke polda-polda di daerah Indonesia Timur dan Indonesia Tengah. Mereka ditempatkan di Papua, Maluku, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Mereka dicopot dari jabatannya, karena danggap membiarkan perjudian marak dan telanjang mata terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Padahal perjudian dengan dalih apapapun adalah pelanggaran terhadap pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 303 KUHP ini di kalangan pelaku perjudian tanah air, sering disebut dengan “Pasal San Kong San. Bahasa cinanya San yang berarti angka tiga. Kong artinya angka nol atau kosong, dan San lagi tetap artinya tiga. Akibatnya, Telegram Rahasia (TR) Kapolri Da’i Bachtiar untuk mencopot dan memindahkan sejumlah perwira menengah dari Polda Metro Jaya ke Indonesia Timur dan Indonesia Tengah itu, terkenal dengan nama “TR San Kong San”. Ada juga yang menyebutnya dengan TR 303. Yang lain menamakannya TR perjudian. Satu diantara perwira menengah Polda Metro Jaya yang terkena atau ikut terdampak dari terbitnya “TR San Kong San” adalah Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Drs. Idham Azis. Calon Kapolri pengganti Tito Karnavian ini dipindahkan Da'i Bachtiar ke Polda Sulawesi Tengah. Jabatan Idham Azis ketika itu adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Sebelum menjabat sebagai Kapolres Metro Jakarta Barat, Idham Azis menjabat Kasat Jatanras atau biasa disebut Kasatum. Organ di bawah Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Kasatum Polda Metro Jaya ketika itu adalah penanggung jawab lapangan semua kegiatan perjudian dan prostitusi. Aturan bakunya, Kasatum harus memastikan tidak ada kegiatan perjudian dengan dalih apapun, dan dalam bentuk apapun yang terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Namun jika ada kegiatan perjudian secara terbuka, maka dipasatikan penyebabnya ada dua kemungkinan. Kemungkinan Pertama, perjudian ketika itu memang marak, dan terbuka di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Siapapun bisa bermain judi dengan gampang dan bebas. Penulis sering ikut menyaksikan dan menemani teman yang bermain judi di beberapa tempat perjudian. Namun bisa saja kegiatan perjudian berlangsung dengan bebas dan terbuka. Tetapi tanpa sepengetahuan Kasatum Polda Metro Jaya dan jajaran kepolisian di bawahnya. Artinya, perjuadian yang terjadi adalah ilegal atau liar. Sayangnya, para bandar judi tidak ditindak, sehingga membuat Kapolri Da’i Bachtiar harus marah besar. Kemungkinan Kedua, perjudian memang berlansung, namun liar. Artinya, ada perjudian tanpa izin. Namun bisa saja perjudian tersebut hanya bisa berjalan dengan leluasa, karena sepengetahuan jajaran Kasatum Polda Metro Jaya. Artinya, ada yang tau sama taulah. Bahasa kerennya ada yang hengky pengky. Walaupun demikian, setiap saat mereka bisa juga ditangkap atau tempat judinya ditutup bila diperlukan . Secara struktur, seharusnya AKBP Drs. Idham Aziz tidak perlu terkena sanksi atau terdampak “TR San Kong San”. Sebab jabatan Idham adalah Wakapolres Metro Jakarta Barat. Wakapolres tidak memiliki kaitan komando langsung terhadap kegiatan perjudian di wilayah hukum Polres Metro Jakarta Barat. Kewenangan tersebut hanya ada pada Kapolres atau Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat. Palaksana lapangannya adalah Kanit Voice Control (VC). Bawahan dari Kasat Serseum Polres Metro Jakarta Barat Kapolri Jangan Tersandara Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang menjadi bandar perjudian di wilayah hukum Polda Metro Jaya didominasi oleh kelompok “Naga Sembilan”. Mereka juga yang sekarang mengontrol lebih dari separuh roda perputaran ekonomi nasional. “Naga Sembilan” pula yang mengendalikan separuh sistem hukum kita sekarang. Sayangnya, mereka tidak pernah berwujud atau nongol ke permukaan Rasanya sangat sulit bagi siapapun untuk bisa menang di Polisi, Jaksa dan Pengadilan, jika berperkara dengan “Naga Sembilan”. Kekuasaan dan kekuatan hukum sebesar apapun, sepertinya tidak bisa untuk menghukum kedigjayaan “Naga Sembilan”. Apa jadinya bila Kapolri kita nanti adalah orang yang pernah bersentuhan dengan “Naga Sembilan”? Siapa pelaku binis negeri ini atau investor asing yang berani berperkara secara hukum melawan anggota kelompok “Naga Sembilan”? Kenyataan ini akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan iklim usaha dan investasi di tanah air. Paling kurang selama satu tahun tiga bulan ke depan. Selama kurun waktu Idham Azis menjabat sebagai Kapolri. Kita tidak ingin Kapala Polisi Indonesia disandra oleh para pengusaha hitam. Jangan juga sampai Kapolri kita dikendalikan oleh kelompok “Naga Sebilan”. Kapolri, siapapun orangnya harus terbebas dari pengaruh mavioso. Sebab kalau sampai Kapolri punya beban masa lalu dengan para mavioso perjudian dan prostitusi, maka itu pertanda buruk. Kasian sekali perjalanan bangsa ini untuk lima belas bulan ke depan. Dikhawatirkan kalangan pengusaha tidak berani menanamkan modalnya di tanah air, hanya karena takut berhadapan dengan kelompok “Naga Sembilan”. Hanya karena “Naga Sembilan” mempunyai kedekatan hubungan di masa lalu dengan Kapolri. Kasian juga bagi pemerintahan Pak Jokowi, karena dengan sendirinya jadi tersandra secara investasi. Padahal Indonesia sekarang membutuhkan investasi dalam yang jumlah sangat besar. Indonesia butuh invetasi, baik dari dalam negeri maupun asing. Tujuannya, untuk bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi di atas 6% setiap tahun. Untuk itu, dibutuhkan pejabat bidang hukum yang lumayan-lumayan bersihlah. Semua neraca dan indikator ekonomi Indonesia sekarang ini merah. Defisit neraca perdagangan merah sangat besar. Bahkan defisinya terbesar sepanjang Indonesia, sejak merdeka tahun 1945. Nilai defisitnya antara U$ 8-9 miliar dollar. Selain itu, neraca pembayaran juga merah. Begitu pula dengan necara penerimaan dari pajak, yang juga merah. Semua indikator ekonomi Indonesia yang lemah dan merah tersebut, telah mendorong Pak Jokwi harus melakukan kompromi politik dengan rivalmya Prabowo Subianto. Tujuannya, agar tercipta iklim politik yang kondusif. Targat akhirnya adalah masuknya investasi, terutama dari luar negeri dalam jumlah yang besar, sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 6% setiap tahun. Namun keinginan yang mulia tersebut, ternyata belum cukup Pak Jokowi. Masih dibutuhkan pejabat di bidang hukum yang tidak punya rekam jejak masa lalu dengan pengusaha hitam. Mereka adalah para penguasa yang dulu mengendalikan bisnis perjudian dan prostitusi. Tentu saja mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Apalagi marasa memiliki kedekatan emosional dengan Kapolri nantinya. Jika pejabat bidang hukum punya jejak masa lalu dengan para mavioso dan pengusaha hitam, dikhawatirkan akan menyulitkan Pak Jokowi dalam merealisasikan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Kecuali jika pada periode kedua ini, Pak Jokowi tidak lagi mengutamakan pelaksanaan program “Revolusi Mental dan Nawa Cita”. Pak Jokowi, ketika “TR San Kong San” tersebut keluar dulu, sangat mungkin Pak Jokowi tidak mengetahuinya. Karena tahun 2004 Pak Jokowi baru mulai perisiapan menjadi Walikota Solo periode pertama. Mungkin juga Pak Jokowi sedang sibuk-sibuknya mengurus modrenisasi Pasar Kliwer Solo. Pak Jokowi baru masuk Jakarta tahun 2012, untuk menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Kebetulan saja ketika itu, penulis adalah wartawan senior dari Majalah Hukum dan Politik. Semoga fakta dan informasi ini bermanfaat bagi pimpinan dan anggota Komisi III DPR. Sebab mulai Rabu besok ini Komisi III DPR melakukan rangkain uji kepatutan dan kelayakan terhadap Komjen Polisi Drs. Idham Azis sebagai calon Kapolri Terakhir, tulisan ini bukanlah karena adanya kebencian atau suka dan tidak suka penulis kepada pribadi Komjen Polisi Drs. Idham Azis untuk menjadi Kapolri. Bukan juga sebagai upaya untuk menghalangi atau menjegal Idham Azis menjadi Kapolri, Tulisan ini hanya sebagai sumbangan kecil dari pengetahuan dan pemahaman penulis sebagai anak bangsa. Hanya karena masih punya kepedulian kepada bangsa dan negara. Tulisan ini juga sebagai bentuk kecil dari cinta penulis kepada bangsa. Menurut penulis, bangsa ini sedang tidak aman secara ekonomi dan hukum. Berdosa sekali kalau penulis tidak meyampaikan fakta ini kepada publik. Kepada Pak Jokowi dan Komisi III DPR. Paling kurang, mudah-mudahan saja ketika menjadi Kapolri nantinya, Jendral Polisi Drs. Idham Azis lebih hati-hati dalam memimpin intitusi kepolisin. Insya Allaah, Amin amin amin Penulis adalah Wartawan Senior

Ekonomi dan Korupsi, Bukan Radikalisme!

Oleh Edy Mulyadi *) Jakarta, FNN - Saya seharusnya marah kepada Presiden Joko Widodo dan para menterinya. Ada beberapa alasan penting kenapa saya layak marah kepada mereka. Antara lain, sebagai rakyat dan pembayar pajak saya berhak berharap punya Presiden dan menteri yang benar-benar profesional, mengerti tugas dan fungsinya, serta berintegritas. Sebagai Presiden, Joko tidak membuktikan dirinya seorang profesional. Buktinya, dia abai terhadap kapasitas dan kapabilitas para pembantunya. Di periode kedua kekuasaannya, dia masih saja memilih orang-orang yang terbukti gagal menjalankan tugasnya. Sri Mulyani, Luhut Binsar Panjaitan, dan Airlangga Hartarto, misalnya. Mereka adalah barisan pejabat publik yang terbukti gagal tapi kembali dipercaya menghela perekonomian, agar negara maju dan rakyat sejahtera. Mantan pengusaha mebel itu juga mengabaikan aspek integritas yang harus melekat pada para pembantunya. Dari 34 menteri, ada sembilan yang pernah terseret kasus korupsi. Mereka adalah Airlangga Hartato (Menko Perekonomian), Agus Gumiwang (Menteri Perindustrian), Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Maritim dan Investasi), dan Ida Fauziah (Menteri Ketenagakerjaan). Empat nama lainnya, Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia), Abdul Halim Iskandar (Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi), Syahrul Yasin Limpo (Menteri Pertanian), dan Zainudin Amali (Menteri Pemuda dan Olah Raga). Ekonomi jeblok Pada tulisan kali ini, saya tak hendak menyentuh aspek hukum yang menyeret sembilan nama tadi pada kasus korupsi. Joko dan para hulubalangnya akan gampang mengelak, dengan mengatakan semuanya belum terbukti di pengadilan. Tentu saja, argumen itu benar. Tapi siapa pun tahu, di negeri ini politik bisa mengendalikan dan mempermainkan hukum. Jadi, sudahlah... Sejatinya, masalah yang kini Indonesia hadapi adalah ekonomi yang jeblok. Pertumbuhan yang macet. Utang yang tembus Rp5.000 triliun. Terjadi deindustrialiasi yang tak terbendung. Pengangguran yang membangkak dan lapangan kerja yang entah untuk siapa. Kita juga mengalami kemiskinan yang tak kunjung turun secara berarti. Harga-harga yang terus melambung. Pajak yang mencekik. Joko sepertinya tahu benar fakta ini. Tapi pada pidato pelantikannya, dia telanjur mengumbar mimpi, bahwa pendapatan rakyat Indonesia bakal mencapai Rp27 juta per bulan. Pertanyaanya, apakah dia tahu bahwa agar penduduk berpendapatan Rp27 juta per bulan pada 2045, itu artinya Indonesia harus tumbuh 7,5% sampai 8% setiap tahun berturut-turut selama 26 tahun ke depan? Padahal, fakta menunjukkan selama lima tahun terakhir (dan itu artinya, selama pemerintahan Joko periode pertama) ekonomi kita cuma berkutat di angka 5%? Stigma radikalisme Tapi, entah karena bisikan siapa, Joko kini sibuk mengalihkan perhatian rakyat pada isu radikalisme. Itulah sebabnya, para menterinya rajin menggonggong soal ini di kementerian masing-masing. Dan, yang membuat darah naik ke ubun-ubun, tudingan radikalisme para pejabat publik tersebut diarahkan kepada Islam dan ummat Islam. Bahkan, Fachrul Razi yang jadi menteri agama pun mengaku secara khusus mendapat perintah dari mantan Walo Kota Solo itu untuk memerangi radikalisme. Razi, misalnya, begitu diangkat langsung proklamasi bahwa dia bukanlah menteri agama Islam. “Saya adalah Menteri Agama Republik Indonesia. Di dalamnya ada agama-agama lain,” ujarnya kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (23/10). Tapi anehnya, tak lama berselang, dia langsung menebar ancaman kepada para ustadz dan penceramah yang dianggapnya menebar radikalisme dan perpecahan. Pertanyaan mendasar buat Razi, katanya anda bukan menteri agama (hanya) Islam melainkan juga agama-agama lain, tapi kenapa tudingan radikalisme dan perpercahan bangsa hanya anda tujukan kepada para ustad dan kyai? Bagaimana dengan para pendeta di gereja, biksu di vihara, tokoh agama di pura dan lainnya? Apa menurut anda mereka pasti tidak radikal? Lalu parameter radikal seperti apa? Apakah ustadz yang menyampaikan dalil Qur'an dan Sunnah kepada kaum muslimin masuk katagori radikal? Bagaimana dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu? Apakah ini juga pasal ini termasuk radikal? Setali tiga uang, Mahfud MD yang diangkat sebagai Menko Politik Hukum dan Keamanan pun berkoar seputar memerangi radikalisme. Profesor hukum tata negara ini terbilang rajin menebar stigma negatif kepada Islam dan ummatnya. Bahkan sikap ‘permusuhannya’ kepada agamanya sendiri telah tampak jauh sebelum diangkat sebagai menterinya Joko. Masih ingat ketika dia mengatakan, Prabowo menang di provinsi-provinsi yang radikal? Narasi yang dikembangkan sesaat usai dilantik jadi menteri, sama dengan Razi, soal masjid yang dia stigma jadi ajang penyebaran kebencian. Sebetulnya sangat mengherankan, jika seorang Mahfud yang berlatar belakang madrasah dan nahdiyin bisa begitu memusuhi Islam. Itu barangkali seorang warganet beragama nasrani Sad Ronin @wawat_kurniawan menulis, “pak @mahfudmd kalau anda tidak yakin agama yang anda yakini itu benar dan baik serta pembawa kedamaian, mending ikut saya pak ke gereja.” Pengalihan isu Heboh narasi radikalisme yang dinyanyikan para menteri baru tentu bukan tanpa sebab. Tokoh nasional Rizal Ramli menenggarai hal ini sebagai upaya pengalihan isu dari ketidakmampuan pemerintah mengatasi masalah ekonomi yang nyungsep. “Setahun ke depan agaknya akan digoreng terus isu 3R (radikalisasi, radikulisasi & radikolisasi),” tulis RR, begitu dia biasa disapa, di akun twitternya @RamliRrizal, Ahad (27/10). Pada titik ini, kemarahan rakyat, terutama yang beragama Islam, memang layak disemburkan kepada Joko, tim ekonomi, khususnya Machfud dan Razi. Sebagai orang Islam, sudah semestinya saya akan mengerahkan semua kemampuan dan sumber daya yang saya miliki agar bisa melaksanakan semua ajaran Islam. Ini wajar dan normal. Sewajar dan senormal warga negara Indonesia yang beragama lain. Dan, kini rezim Joko menjadikan Islam dan ummatnya sebagai musuh yang musti ditumpas. Wahai penguasa, kalau benar orang Islam radikal, tentu tidak akan ada WNI yang beragama selain Islam karena semua sudah dibunuhi olang orang Islam. Tidak ada rumah ibadah selain masjid dan mushola karena yang lain sudah dirubuhkan oleh orang Islam. Faktanya justru sebaliknya. Kendati muslim mayoritas, agama lain bisa tumbuh dan berkembang secara baik. Pemeluk agama lain bukan cuma dilindungi dan dihormati, mereka bahkan bisa dan boleh meraih puncak jenjang karir dalam pangkat dan jabatan. Tak terhitung jumlah kepala daerah, jenderal dan menteri yang beragama bukan Islam. Soal toleran dan cinta mati NKRI, ummat Islam sudah khatam, bahkan sejak negara ini belum berdiri. Sebagian besar, kalau tidak disebut semua, pahlawan beragama Islam. Banyak dari mereka yang ulama, kyai, dan santri. Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Sentot Alibasyah, dan lainnya jelas berpakaian ulama. Dengan pidato menggelegar dan berulang menyebut Allahu akbar, Bung Tomo menggelorakan semangat jihad arek-arek Suroboyo mengusir tentara sekutu dari Surabaya. Hasilnya, sekutu pergi walau harus ditebus dengan lebih dari 6.000 anak muda yang mati syahid, in sya Allah. Soekarno, Hatta, Sjahrir, Hasjim Asyhari, Ahmad Dahlan, Agus Salim, Natsir, Wahid Hasyim, Kasman, Abikusno, Roem, Soepomo, dan teramat banyak yang lain adalah muslim. Lalu, apakah mereka ngotot menghendaki dan memaksa Islam sebagai dasar negara? Tidak, kan? Cuma segitu? Mosok profesor sekelas Mahfud tidak bisa melihat kenyataan ini? Mosok jenderal seperti Razi tidak tahu fakta ini? Terus terang, selain marah saya kasihan kepada kalian. Profesor dan jenderal kok cuma segitu! Jadi, sudahlah. Berhentilah rezim ini menebar stigma radikalisme terhadap Islam dan ummat Islam. Masalah yang Indonesia hadapi sama sekali bukan radikalisme. Masalah kita adalah ekonomi yang terpuruk, pendapatan rakyat merosot, beban hidup yang teramat berat. Problem superberat lain adalah korupsi. Korupsi yang begitu massif telah merenggut hak-hak rakyat. Jangan lupa, para pelaku korupsi adalah merekaa yang selama ini paling nyaring berteriak saya pancasila, NKRI harga mati. Mereka itulah yang radikal yang sesungguhnya. Baiknya mulai sekarang, kalian bekerja bahu-membahu meningkatkan ekonomi kita. Joko dan kabinetnya harus ekstra sungguh-sungguh memerangi korupsi. Bukan sebaliknya malah melemahkan KPK. Dengan begitu, barulah kita boleh berharap rakyat bisa hidup sejahtera! [*] Jakarta, 29 Oktober 2019 Edy Mulyadi, wartawan senior

Menag Ketemu UAS, Mau Memeriksa Hadits Yang Sensitif?

Oleh : Nasrudin Joha Jakarta, FNN - Menteri Agama Jenderal (Purn) Fachrul Razi dikabarkan akan menemui penceramah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS). Pertemuan tersebut merupakan bagian dari agenda Fachrul untuk merangkul segenap komponen masyarakat demi kepentingan bangsa. (28/10). Sebelumnya, Menag menegaskan agar ustadz-ustadz tidak menyampaikan konten ceramah yang memuat ayat atau hadits sensitif. Pertemuan ini, tentu menimbulkan praduga publik tentang rencana eksekusi para ustadz agar lolos verifikasi unsur 'sensitif' di dalam penyampaian ayat maupun hadits. Menag mengakui UAS memiliki peran dan berjuang untuk bangsa. Meskipun, dia juga memiliki penilaian ada satu dua butir ceramahnya yang menurutnya tidak pas. Menag mengaku memiliki kewajiban untuk menyampaikan itu. Pada artikel yang berjudul 'REZIM JOKOWI SEMAKIN REPRESIF TERHADAP ULAMA ?' penulis telah membuat analisis adanya pola baru yang memungkinkan bagi rezim untuk melakukan sejumlah 'intimidasi struktural', memaksa ulama untuk masuk 'meja perundingan' yang telah dipersiapkan rezim. Dalam negosiasi perundingan itulah, para ulama akan dihadapkan pada tiga opsi utama : Pertama, para ulama kritis yang menyampaikan sejumlah dalil untuk mengoreksi rezim, baik dalil dari al Quran maupun as Sunnah diminta untuk menarik diri dari aktivitas dakwah amat ma'ruf nahi munkar, serta menjadi satu kesatuan bersama rezim untuk mensyiarkan sejumlah dalil yang akan mengokohkan kedudukan rezim. Kedua, jika ulama kritis tidak mau menjadi ulama yang mendukung rezim, yang melegitimasi kekuasaan rezim dengan mencari kutipan dalil Al Quran maupun AS Sunnah, agar memilih diam dan fokus menyampaikan dakwah tentang akhlak dan kebajikan persoanal individual. Ketiga, ulama yang masih tetap nekat berdakwah dan menjelaskan syariah apa adanya, tetap mengutip dalil dari Al Quran dan AS Sunnah tanpa pilah pilih, tetap mengoreksi kezaliman rezim dan menolak melegitimasinya, akan diancam dengan sejumlah konsekuensi, termasuk akan dikriminalisasi. UAS nampaknya akan menjadi ulama pertama yang ditarget rezim. Pertemuan ini, merupakan langkah negosiasi untuk memaksa UAS memilih satu diantara tiga pilihan. Mau tunduk kepada rezim dan menerima sejumlah kompensasi, memilih untuk tiarap (diam), atau ditekan dan dikriminalisasi jika masih melawan rezim. Jadi, pertemuan Menag dengan UAS bukan untuk memferifikasi hadits yang disampaikan UAS. Sebab, secara keilmuan bisa apa Fahrur Razi dibandingkan UAS kalau bicara hadits ? Atau Menag mau menggunakan tangan kekuasaan untuk memberi stempel hadits yang disampaikan UAS sensitif ? Ini merupakan aksi nyata bahwa rezim memang ingin membungkam dakwah Islam, rezim menjadi pihak yang menyeleksi hadits berdasarkan arogansi kekuasaan. Berdalih ceramah sensitif, ayat sensitif, hadits sensitif, rezim akan mengunci dan menutup rapat syiar dakwah dan agama Islam menggunakan otoritas kekuasaan. Karenanya, semua ustadz, ulama, mubaligh, advokat, akademisi, tokoh Islam dan segenap umat Islam wajib bergandengan tangan untuk saling melindungi. Semboyan umat harus berani menjadi martir bagi ulama, sementara ulama siap menyongsong Syahid demi menjaga kemuliaan Dien Islam. Ya Allah, selamatkanlah umat dan agama ini. Amien. [].

Bicara Radikalisme, Jangan Lupa Korupsi dan UU KPK

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Tudingan dan labelisasi radikalisme terhadap umat Islam, dipastikan tidak akan berhenti. Para penguasa rakus, oligarki berbasis uang, golongan anti-Islam, kekuatan asing dan entah siapa lagi, akan berkolaborasi memusuhi Islam dan umat Islam. Ini akan terus berlangsung. Mereka itu dibantu oleh kelompok-kelompok liberal dan sekte sesat. Mereka akan senantiasa melakukan “concerted effort” (tindakan berjemaah) untuk melecehkan, meremehkan dan melemahkan umat Islam. Kalau melemahkan Islam, pasti tidak mungkin. Karena Islam itu urusan Allah SWT. Yang mereka lakukan adalah langkah-langkah untuk memojokkan umat Islam. Supaya umat tak berkutik. Agar umat ketakutan. Sekali lagi, proyek ini akan berlanjut dan berkepanjangan. Sebab, proyek ini adalah sumber uang dan sumber utang. Baik. Saat ini, kita sudah cukup bernarasi tentang rencana busuk mereka untuk menghancurkan umat Islam. Kita semua sudah paham apa tujuan mereka. Dan kita pun sudah hafal gerak-gerik mereka. Cukuplah itu. Sekarang, kita kembali ke isu korupsi. Kita harus kembali mempersoalkan langkah terkutuk pemerintah dan DPR dalam melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden Jokowi belum juga menerbitkan Perppu yang membatalkan pemberlakuan UU KPK hasil revisi. Boleh jadi juga tak akan pernah diterbitkan. Jangan sampai kita lupa pada masalah yang sangat urgen ini. Korupsi dan KPK perlu kita pertanyakan terus. Radikalisme tak akan pernah selesai. Sangat mungkin isu radikalisme itu, hari ini, sengaja diapungkan (being afloated) agar publik lupa dengan penghancuran KPK. Supaya publik tidak ingat dengan pembunuhan terhadap KPK. Kalangan mahasiswa sudah menyampaikan tuntutan kepada pemerintah agar membatalkan UU KPK hasil revisi. Sebab, UU ini jelas diolah untuk menjadikan KPK sebagai “singa ompong” dan tak berkuku. KPK bakal dikendalikan oleh Dewan Pengawas (DP) yang akan dibentuk oleh pemerintah atau DPR, atau oleh keduanya secara bersama-sama. DP adalah borgol yang diikatkan ke tangan KPK. Badan antikorupsi ini tidak bisa lagi melakukan penyadapan telefon secara bebas. Harus diizinkan dulu oleh Dewan. Kalau penyadapan tidak dibolehkan, itu berarti selesailah kisah-kisah heroik KPK dalam melakukan OTT (Operasi Tangkap Tangan). Dengan kehadiran DP, tampilan KPK berubah total. Wajah lembaga antikorupsi itu menjadi kunyu, gembel, loyo. Matanya kabur. Kupingnya pekak. Ototnya lisut. Tak bertenaga. Begitulah gambaran tentang KPK di bawah UU hasil revisi. KPK dihajar habis oleh DPR. Dalam kondisi lungai, KPK dibawa oleh Presiden Jokowi ke klinik bedah plastik untuk ganti kelamin. Agar tidak lagi garang. Masih adakah peluang untuk menyelamatkan KPK dari bedah plastik? Kelihatannya masih bisa. Kalau kita semua berperan. Mari kita persoalkan terus pemberantasan korupsi yang kini dilemahkan oleh DPR. Terutama oleh PDIP. Kenapa PDIP? Karena merekalah yang paling keras bersuara di DPR agar KPK dihancurkan.[] 29 Oktober 2019

Menteri “Bernoda” Korupsi (1): Tito Karnavian dan Erick Thohir?

Oleh Mochamad Toha (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Ketika mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju (KIM) periode 2019-2024, Presiden Joko Widodo perintahkan 7 hal untuk para menteri: 1. Jangan korupsi, ciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi; 2. Tidak ada visi misi Menteri, yang ada visi misi Presiden-Wakil Presiden; 3. Kerja keras, kerja cepat, kerja produktif; 4. Jangan terjebak rutinitas yang monoton; 5. Kerja berorientasi hasil nyata, tugas kita tidak hanya menjamin sent, tapi delivered. 6. Selalu cek masalah di lapangan dan temukan solusinya; 7. Serius dalam bekerja. Yang tak bersungguh-sungguh, dipastikan dicopot. Presiden Jokowi juga mengancam menteri korupsi langsung dicopot. Ini ancaman untuk menteri yang “bernoda” korupsi. Adakah di antara para menteri dan wakil menteri yang baru dilantik Presiden Jokowi tersebut “bernoda” korupsi? Berdasarkan jejak kasus dan digital news terdapat beberapa nama yang berpotensi akan berhadapan dengan penegak hukum. Siapa saja? Tito Karnavian Sehari setelah pelantikan menteri KIM, Jum’at (25 Oktober 2019 00:08 WIB), Tempo.co kembali mengungkit skandal “buku merah” yang di dalamnya tertulis nama Tito Karnavian yang buktinya sudah “diselamatkan” penyidik. Melansir Tempo.co, KPK menyatakan tidak ikut mengambil keputusan untuk menghentikan penyidikan kasus penyobekan barang bukti dalam kasus impor daging atau yang lebih dikenal sebagai skandal buku merah yang dilakukan Roland dan Harun. Kedua penyidik KPK asal Polri yang telah dikembalikan oleh KPK itu dilaporkan melakukan pengrusakan buku merah pada 12 Oktober 2018. Roland dan Harun, dua penyidik polri yang dipulangkan dari KPK setelah diduga merusak bukti tersebut. Menurut Jubir KPK Febri Diansyah, kewenangan untuk menghentikan penyidikan itu ada di kepolisian. “Kewenangan untuk melanjutkan atau menghentikan sebuah perkara itu berada pada penyidik, penyidik dalam hal ini tentu adalah yang berada di Polri,” katanya. Tim KPK yang datang dalam perkara itu cenderung hanya mendengarkan pemaparan dari kepolisian. KPK, tidak berwenang untuk menyepakati atau menolak penghentian penyidikan kasus tersebut. “Karena domain dari pokok perkara itu ada di kepolisian,” tegasnya. Sebelumnya, kepolisian telah menghentikan penyidikan kasus pengrusakan buku merah. Keputusan tersebut telah diambil dalam gelar perkara di Polda Metro Jaya pada 31 Oktober 2018. “Bahwa faktanya tidak ditemukan adanya perusakan catatan tersebut,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal di kantornya, Jakarta Selatan, Kamis, 24 Oktober 2019, seperti dilansir Tempo.co. Menurut Iqbal, gelar perkara itu diikuti unsur kepolisian, KPK, dan Kejaksaan. Kata Iqbal, ketiga lembaga termasuk KPK sepakat tidak ditemukan adanya dugaan perbuatan melawan hukum berupa pengerusakan barang bukti kasus suap daging impor Basuki Hariman ini. Polri mulai menyidik kasus pengrusakan buku merah pada 12 Oktober 2018. Terlapor dalam kasus itu ialah Roland dan Harun, dua penyidik polri yang dipulangkan KPK setelah diduga merusak bukti tersebut. Keduanya diduga telah merobek 15 lembar catatan transaksi dan membubuhkan tip-ex untuk menghapus sejumlah nama penerima uang dari perusahaan Basuki yang diduga mengarah ke petinggi polri (baca: Tito Karnavian, kini Mendagri). Perobekan itu terekam dalam CCTV di ruang kolaborasi lantai 9 gedung KPK pada 7 April 2017. Indonesialeaks, kanal bagi para informan publik berbagi dokumen penting tentang skandal, baru-baru ini merilis video CCTV soal pengrusakan buku merah tersebut. Rekaman itu menunjukkan peristiwa saat Roland dan Harun diduga melakukan pengrusakan terhadap buku. KPK telah menyerahkan salinan rekaman itu ke Polda Metro Jaya pada Oktober 2018. Rekaman video itupun sudah viral di medsos. Media mainstream sekelas Tempo.co yang tergabung dalam Indonesialeaks tidak mungkin menyebar berita hoax terkait rekaman video CCTV soal pengrusakan buku merah tersebut. Keberanian KPK mengusut kasus ini sangat ditunggu rakyat. Dari 7 lembar yang disobek itu dan dinyatakan “hilang” tersebut, antara lain ada data: Tgl 21/3/2016, untuk Kapolda/Tito USD 75.872 x 13.180 = 999.992.960; Tgl 20/4/2016, untuk Bp Tito/Polda USD 75.988 x 13.160 = 1.000.000.000; Tgl 19/5 2016 untuk Bp Tito (Kapolda) USD 73.882 x 13.535 = 999.992.870; Tgl 14/7/2016 untuk Bp Tito USD 76.160 x 13.130 = 999.980.800. Bukti 316: 1 (satu buah buku Bank berwarna merah bertuliskan Ir. Serang Noor No. Rek 4281755174 BCA KCU Sunter Mall beserta 1 (satu) bundel rekenng Koran PT Cahaya Sakti Utama Periode 4 November 2019 s.d. 16 Januari 2017. Langkah Presiden Jokowi menarik Tito Karnavian menjadi Mendagri bisa disebut sebagai langkah cerdik, mencerabut pengaruh dan kekuasaan Jenderal Tito di institusi Polri. Dengan menjabat Mendagri, KPK lebih leluasa mengusut skandal buku merah. Erick Thohir Konon, ada dana Asian Games 2018 lalu yang miss mencapai sekitar Rp 1,2 triliun, dan itu nasibnya ada di BPK. Sinyal itu ditegaskan oleh Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Memang mereka tidak menyebut nama dan perilaku secara spesifik yang mengarah ke sana, namun ungkapan itu memang ada peluang besar ke Imam Nahrowi dan Erick Thohir yang kini menjadi Menteri BUMN dalam KIM. Imam Nahrowi kini menghadapi proses hukum di Pengadilan Tipikor Jakarta terkait skandal dana hibah KONI. Sementara Erick Thohir ditunjuk Presiden sebagai Menteri BUMN karena dinilai sukses sebagai Ketua Inasgoc dalam perhelatan Asian Games 2018 lalu. Akankah Erick Thohir digiring oleh penyidik KPK ke arah tersangka, sebagaimana Menpora jadi tersangka? Agus Rahardjo sebelumnya mengatakan, pihaknya masih mendalami siapa saja yang terlibat dalam kasus kickback dana hibah Kemenpora ke KONI. Bahkan, KPK juga akan mengembangkan kasus dana hibah Kemenpora ke KONI itu hingga kemana-mana. Termasuk diantaranya menyelidiki hingga dana untuk Asian Games 2018 itu. “Kami masih dalami siapa saja yang akan terlibat kemudian rangkaiannya kemana,” ujarnya. “Kalau Kemenpora pasti tidak hanya dana hibah Kemenpora ke KONI, tapi ada juga yang ke International Olympic Committee (IOC). Ya kami bisa men-trace juga misalnya penggunaan dana Asian Games kemarin ya,” tegas Agus Rahardjo. Meski begitu, Agus enggan menyampaikannya secara detail mengingat hal itu saat ini sedang dalam penelusuran tim KPK. “Jadi, kami akan telusuri itu. Kami belum bisa melaporkannya secara komplit, secara jelas,” lanjut Agus Rahardjo. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang lebih tegas lagi. Institusinya telah menemukan indikasi-indikasi korupsi menjelang dan saat pergelaran Asian Games 2018 lalu. “Kami sudah melihat indikasi-indikasi (korupsi) waktu itu,” ujar Saut Situmorang. Semua data, semua percakapan, termasuk mutasi rekening dan bukti-bukti lain sudah ada di tangan. KPK tinggal menunggu waktu yang tepat untuk membongkar semuanya. Termasuk dugaan penyimpangan dana terkait Asian Games 2018. Sudah tiga bulan berlalu pesta akbar Asian Games 2018 yang terbilang sukses pelaksanaan dan sukses prestasi, menjadi sorotan banyak mata dunia. Namun dibalik kemeriahan itu KPK mencium aroma korupsi menjelang dan saat pergelaran Asian Games 2018. Pelan tapi pasti KPK mengusut indikasi korupsi atas even olahraga Internasional tersebut, sebab dana yang digunakan sekitar Rp 30 triliun, bukan tidak mungkin ada tangan nakal pejabat yang memanfaatkan uang tersebut untuk masuk kantong pribadi. Kabarnya, ada dana senilai Rp1,2 triliun yang tak bisa dipertanggungjawabkan. “Kami sudah melihat indikasi-indikasi (korupsi) waktu itu, tapi kami mau kelancaran acara (Asian Games 2018),” ujar Saut Situmorang kepada wartawan. Kini, Erick Thohir bakal menghadapi laporan mantan Wakapolri Komjen Purn. Oegroseno. “Hukum dibuat mainan oleh Erick Thohir dan beberapa oknum pengurus KOI,” ungkapnya kepada Pepnews.com, Senin (28/10/2019). Oegroseno melaporkan mantan petinggi Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Erick Thohir dan Helen Sarita de Lima, ke Polri karena ia merasa dirugikan setelah atlet tenis meja tidak dikirimkan ke SEA Games 2019 Filipina. Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) pimpinan Oegroseno, menyiapkan 4 atlet putra dan 4 atlet putri itu menuju SEA Games 2019 yang dilangsungkan mulai 31 November hingga 11 Desember 2019. Mereka dipatok target 1 medali emas, 2 perak, dan 4 perunggu. Tapi, KOI memutuskan untuk tidak menyertakan tenis meja ke SEA Games 2019. Sebab, PTMSI disebut sedang memiliki tiga kepengurusan. “Harapan atlet yang sudah menjalani latihan sejak Maret 2019 telah diluluhlantakkan oleh saudara Erick Thohir sebagai Ketum KOI masa bakti 2015 - 2019,” kata Oegroseno seperti dikutip dari Detiksport , Jumat (25/10/2019). Oegroseno bersikukuh dualisme kepengurusan PTMSI berakhir dengan munculnya Putusan PTUN pada pertengahan 2014 sampai dengan akhir 2015 dan sudah mendapatkan Putusan MA Nomor: 274K/TUN/2015 yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Isinya, KONI segera mengukuhkan kepengurusan PP PTMSI dengan Ketua Umum Komjen Pol (Purn) Drs Oegroseno, SH. “Kami mengalami kerugian anggaran yang telah dikeluarkan oleh swadaya PP PTMSI mencapai Rp 15 miliar,” ungkapnya. “Karena atlet sudah bertanding melawan atlet-atlet dari delapan negara tingkat Asia yang juga Kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020 serta ke Kejuaraan Internasional bulan depan di Batam,” ujar Oegroseno. ***

Bukan Radikalisme, Cuma Keresahan Mereka Saja

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Dalam 20 tahun terakhir ini, umat Islam leluasa menjalankan dakwah. Di mana saja, di semua tingkat. Setelah puluhan tahun dikekang dan ditindas oleh penguasa. Dakwah itu kini membuahkan hasil positif. Ketakwaan umat secara umum terlihat meningkat. Kasat mata menyaksikan itu. Tanda-tandanya antara lain adalah semakin banyak wanita yang mengenakan busana muslimah. Umat semakin paham dan percaya diri. Di kampus-kampus. Di tempat-tempat kerja, baik di lingkungan kantor pemerintahan maupun di lingkungan pabrik-pabrik. Ahamduillahnya, gairah keislaman tidak lagi terbatas di lingkaran yang dulu boleh disebut tak berkelas. Islam kini dipahami, dihayati, dan dilaksanakan semaksimal mungkin oleh kelas menengah. Kelas terdidik. Educated. Begitulah pertumbuhan dakwah yang dijalankan dengan damai oleh para ulama, kiyai, ustad, dll. Berhasil menjangkau lapisan luas masyarakat. Dan disambut dengan tangan terbuka. Dulu, orang-orang yang bermukim di kawasan elit kota-kota besar enggan memakai jilbab. Takut dikatakan terbelakang jika mengenakan busana muslimah. Sekarang, semua itu sirna dimakan oleh pengetahuan mereka tentang Islam. Dulu, orang Islam ragu-ragu menampilkan keislamannya. Sekarang, semua itu hilang. Umat dari segala lapisan dan kelas memberikan perhatian besar terhadap dakwah. Umat semakin paham bahwa tujuan hidup mereka adalah akhirat yang terbaik. Itulah buah dakwah yang mulai meresahkan banyak pihak. Resah karena tiba-tiba hari ini di mana-mana perempuan Islam rata-rata memakai busanana muslimah. Menutup aurat. Majelis ilmu agama tumbuh bak jamur di tanah lembab. Pertumbuhan dakwah itu juga ditandai oleh kehadiran rumah ibadah, yaitu masjid dan musholla, di kantor-kantor dan tempat-tempat komersial seperti mal, plaza, pasar, dlsb. Bahkan sampai ke sekolah-sekolah. Rata-rata sekolah memiliki masjid atau surau. Sholat dan sarananya menjadi kebutuhan mutlak. Ini yang membuat kaum liberal meradang. Mereka panik melihat semakin banyak kaum muda yang lebih tertarik kepada ketakwaan ketimbang kesesatan. Di banyak perguruan tinggi negeri, juga swasta, boleh dikatakan hampir 100 persen mahasiswa dan dosen Islam berpakaian muslimah. Akibatnya, mereka gelisah melihat kampus-kampus yang mahasiswanya ikut pengajian dan majelis ta’lim. Ada masjid kampus. Azan bersahut-sahutan. Salah seorang Youtuber sesat, namanya DS, termasuk yang gelisah melihat kampus-kampus yang semakin solid dengan suasana Islami. Dalam satu kampanye video, DS menuduh mereka tercuci otak, terpapar radikalisme, dll. Dia tuduh para mahasiswa yang semakin takwa itu sebagai pendukung khilafah. Garis keras, intoleran, dsb Umat Islam tampkanya kembali dijadikan bulan-bulanan. Label radikalisme dikampanyekan oleh orang-orang yang anti-Islam. Baik oleh mereka yang Islam maupun yang bukan Islam. Para penguasa ikut termakan. Presiden Jokowi sendiri juga yakin umat Islam sekarang menjadi radikal. Salah satu fokus kerja Jokowi adalah proyek deradikalisasi. Padahal, umat hanya menjalankan syariat agama mereka. Secara damai dan tidak mengganggu siapa pun. Tapi, mengapa begitu gencar kampanye radikalisme? Ada beberapa penjelasan. Pertama, sejak 20 tahun terakhir ini umat Islam dari semua lapisan dan di segenap pelosok negeri bisa bersatu dalam dakwah. Bersatu dalam Islam garis lurus. Ini yang membuat para pembenci Islam yang memiliki kekuatan uang tak terbatas, berusaha menggunakan para penguasa untuk menindas pertumbuhan dakwah. Salah satu caranya adalah memunculkan isu radikalisme. Terminologi ini sangat ampuh untuk menakut-nakuti umat. Kedua, ada kekuatan luar yang juga merasa resah melihat umat yang semakin solid dalam dakwah. Islam garis lurus yang tersambung begitu kukuh membuat kekuatan luar merasa terhalang untuk masuk. Mereka menjadi frustrasi. Umat garis lurus akan membendung mereka. Kekuatan luar yang ingin masuk ke sini, pasti merasa tak cocok dengan umat yang menunjukkan sauasana islami. Ketiga, bisa jadi juga sejumlah pemegang kuasa tertentu sengaja memelihara isu radikalisme karena mereka bisa menjual itu untuk mendapatkan duit besar. Ini sangat berbahaya. Sebab, para penguasa yang memelihara isu radikalisme itu bisa memainkannya secara terukur dan terkendali. Mereka itu sangat ceroboh. Permainan ini hanya mengorbankan umat. Umat Islam menjadi tertuduh terus. Jadi, yang sesungguhnya berlangsung bukanlah keberadaan radikalisme. Yang ada hanyalah suasana islami umat garis lurus yang sama sekali tidak mengancam siapa pun. Cuma memang menyulut keresahan sejumlah pihak. Yaitu, mereka yang tak rela umat ini bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’aala. Padahal, umat Islam yang memiliki ketakwaan dipastikan akan bermentalitas Pancasila.[] 28 Oktober 2019

Pak Presiden Tolong Bubarkan Relawan Jokowi

Oleh Mangarahon Dongoran, (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Jika relawan Jokowi tidak dibubarkan atau membubarkan diri, maka akan menjadi salah satu benalu pengganggu roda pemerintahan lima tahun mendatang. PEKAN lalu ada berita yang sempat menarik perhatian saya, saat saya dirawat di sebuah rumah sakit di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Berita itu bukan karena Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Pun juga bukan karena hiruk-pikuk pengangkatan 34 menteri dan pejabat setingkat menteri yang menjadi pembantu Presiden. Bukan pula pengangkatan 12 orang wakil menteri yang menjadi pembantu wakil menteri dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Dengan pengangkatan wamen, berarti ada pembantunya pembantu presiden. Berita menarik bagi saya adalah ketika relawan Projo (Pro Jokowi) menyatakan bubar. Alasannya, karena mereka merasa tidak dibutuhkan lagi. Meski sebenarnya itu alasan yang dibuat-buat. Alasan paling menyebalkan sebenarnya ada dua. Pertama, karena Projo tidak suka Prawobo Subianto diangkat menjadi Pertahanan RI. Harap maklum, Prabowo adalah rival Jokowi dalam dua kali Pilpres (2014 dan 2019). Dalam dua kali pilpres itu juga Projo merupakan relawan militan yang selalu siap dengan peluru tajamnya untuk menghujam lawan Jokowi, yaitu Prabowo Subianto. Bukan relawan tanpa pamrih Alasan kedua, karena Projo yang merasa berdarah-darah dan berkeringat membela Jokowi, tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Meski selama ini mereka mengatakan relawan tanpa pamrih, tapi dari hati yang dalam, Projo merasa ditinggal begitu saja. "Sakitnya tuh, di sini (maksudnya hati)," demikian kira-kira yang terasa pada sebagian relawan Projo. Sejujurnya, saya senang dengan ketulusan Projo membubarkan diri, meski akhirnya diralat alias tidak bubar karena Ketua Umumnya Budi Ari Setiadi diangkat menjadi Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Artinya, setelah mengancam bubar, baru diberi kue. Seandainya tidak mengancam, mungkin Projo tidak dapat apa-apa. Artinya, selama ini orang-orang Projo bukanlah relawan tanpa pamrih, tetapi relawan dengan penuh harapan. Projo sebenarnya berharap mendapapat kursi menteri. Apa boleh buat, wamen oun jadilah. Ibarat kata pepatah, "Tak ada rotan akar pun jadilah." Jauh sebelum Projo mengeluarkan pernyataan membubarkan diri (meski batal), sebenarnya saya sudah ingin meminta atau menyarankan agar Presiden RI membubarkan seluruh relawan Jokowi. Alasannya, karena Pilpres yang merupakan pertarungan demokrasi sudah berakhir. Ibarat peperangan, yang satu sudah kalah, dan yang menang harus berusaha merangkul yang kalah. Prabowo disandera Apalagi, lawan utama Anda (Prabowo) sudah dijadikan sandera dalam pemerintahan Anda. Ibaratnya, panglima perangnya sudah Anda buat bertekuk lutut, tidak berdaya, dan tunduk sesuai dengan keinginan Anda. Jika macam-macam, tinggal ditendang dari kabinet yang Anda pimpin. Saya sudah tahu jawaban yang akan dilontarkan Jokowi jika permintaan atau saran saya ini dibaca. "Saya tidak berhak membubarkan mereka (relawan Jokowi)," kira-kira itu jawaban yang keluar. "Betul! Anda tidak berhak membubarkannya. Akan tetapi Anda berhak menjaga jarak dengan para relawan Jokowi itu. Setidaknya, Anda bisa mengatakan, "Pilpres sudah selesai. Jadi, semua harus bersatu. Relawan Jokowi tidak diperlukan lagi. Semuanya adalah rakyat saya." Mengapa saya meminta atau menyarankan Presiden membubarkan Relawan Jokowi yang jumlahnya menurut data yang saya peroleleh 120 relawan (bisa lebih)? Karena menurut pengamatan dan hemat saja, jika Relawan Jokowi tidak dibubarkan atau membubarkan diri, maka akan menjadi salah satu benalu pengganggu roda pemerintahan lima tahun ke depan. Banyak benalu lain, baik yang berasal dari eksternal maupun internal. Belum lagi pertumbuhan ekonomi yang diyakini akan berat, yang merupakan benalu terbesar. Belum lagi gangguan keamanan, seperti pemberontakan separatis di Papua. Meminta proyek Mereka akan terus meminta atau menekan agar mendapatkan jabatan dan proyek. Ini saya katakan, karena ada pengalaman seorang kepala daerah tingkat dua (walikota) yang sempat menyampaikan unek-uneknya ke saya pada periode Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla ( 2014-2019) yang lalu. Kata walikota itu, ia pusing karena didatangi Relawan Jokowi. Mereka meminta proyek. Tidak dikasih mereka menekan. Kalau dikasih, belum tahu track recordnya atau rekam jejaknya dalam urusan proyek bagus. Tidak hanya di daerah. Relawan Jokowi juga meminta proyek di BUMN. Kalau ada komisaris atau direksi di sebuah BUMN berasal dari Relawan Jokowi maupun tim suksesnya, mereka tidak perlu meminta karena sudah ditawarkan. Kalau BUMN yang komisaris atau direksi tidak ada yang berasal dari relawan atau tim sukses, maka mereka masuk meminta proyek dengan memaksa. Oleh karena itu, "Pak Presiden Tolong Bubarkan Relawan Jokowi." Sebab, selain merupakan salah satu benalu di pemerintahan yang Anda pimpin, relawan ini juga berpotensi besar untuk berbenturan dengan sesama anak bangsa. Sebab, jika ada kelompok atau individu yang dianggap tidak sejalan dengan mereka, maka dianggap sebagai lawan yang harus dimusuhi dan kalau perlu "dibinasakan." Jika ada perbedaan pendapat, apalagi menyangkut agama, mereka langsung mencap, "intoleran, anti Pancasila, anti NKRI," dan sederet kata lainnya. Bahkan, mereka tidak segan mengatakan sebagai kelompok radikal. Bahkan, jika ada yang mengkritisi kebijakan pemerintah, terutama mengkritisi janji kampanye Anda yang tidak dilaksanakan, mereka akan mem-bully atau merundung habis-habis. Ini seperti yang terjadi dalam lima tahun pemerintahan Anda sebelumnya. Mereka akan mengatakan hal itu fitnah, bukan kritik. Padahal, yang disampaikan adalah kritik dan mengingatkan apa yang Anda janjikan selama kampanye. Sebagaimana sering Anda kemukakan, pemerintahan yang Anda pimpin membutuhkan masukan, kritik dan saran membangun. Sekali lagi Pak Presiden, tolong bubarkan Relawan Jokowi ! **

Gagasan yang Menyulitkan Nadiem Makarim

By Asyari Usman (Wartawan Senior) Jakarta, FNN - Karena sesuatu hal, baru sekarang bisa menuliskan tanggapan. Mohon maaf kalau dirasakan telambat. Pada hari pelantikan kabinet Jokowi, seorang pemilik akun FB bernama Sahat Siagian, memperlihatkan rasa senangnya terhadap penunjukan Nadien Makarim sebagai menteri pendidikan. Sahat mengatakan, inilah kesempatan baik bagi Nadiem untuk membongkar masjid-masjid yang berada di komplek sekolah. Sahat jelas-jelas memperlihatkan kegusarannya terhadap busana muslimah yang dipakai oleh para siswi. Dia menginginkan agar Nadiem ‘menetralkan’ pakaian muslimah yang sangat dibencinya itu. Tersirat keinginan Sahat agar pakaian yang menutup aurat dilarang di semua sekolah. Sahat berharap banyak pada Nadiem. Dia membayangkan Mendiknas yang baru ini akan melancarkan gebrakan untuk membasmi suasana islami di lingkungan sekolah dan kampus. “Habiskan semua, Bung. Luluhlantakkan mereka,” tulis Sahat. “Tidak boleh lagi ada yang menaungi pendidikan. Sebab, belajar adalah sebuah upaya untuk membebaskan diri dari tahyul atau kepercayaan apa pun,” kata Sahat lagi. Luar biasa pedas kalimat-kalimat Sahat. Dia meminta agar Nadiem memberangus suasana islami di sekolah dan kampus. Sahat tak menyembunyikan kebenciannya pada Islam. Kehidupan Nadiem sangat disenangi oleh Sahat. Dia melihat prinsip hidup Nadiem sangat cocok untuk ditiru oleh umat Islam. Misalnya, Sahat mengatakan bahwa dia tidak terkejut ketika dia tahu istri Nadiem beragama Katolik. Dan dia sangat senang pula mendengar anak-anak Nadiem dibaptis. Tetapi, Sahat lupa bahwa Nadiem tidak akan mampu mengubah satu orang pun perempuan yang telah teguh dengan keislamannya. Nadiem akan membentur tembok keras jika dia mencoba mengganggu umat Islam yang menerapkan syariat secara wajar, damai dan konstitusional. Akibat benturan itu boleh jadi akan sampai ke wajah Sahat. Kita yakin Nadiem tidak akan mengutak-atik masjid atau surau yang ada di sekolah. Hampir pasti kaum muslimin akan menafsirkannya sebagai upaya kelompok lain untuk mengganggu umat Islam. Kenapa? Karena Sahat terlanjur mengatakan bahwa istri Nadieam beragama Katolik. Seharusnya Sahat tidak menyebutkan itu dalam tulisannya yang berjudul “Bung Nadiem”. Memang terasa enak menyebutkan itu. Tetapi, menjadi sangat sensitif ketika suatu hari nanti Nadiem mengeluarkan kebijakan yang frontal terhadap umat Islam. Kalau Nadiem tiba-tiba membongkar semua masjid atau surau dari komplek sekolah, tentulah salah satu yang terlintas di pikiran kaum muslimin adalah Katolik. Istri Nadiem yang bergama Katolik. Jadi, tulisan Sahat itu sesungguhnya sangat berbahaya. Gagasan Sahat menyulitkan Nadiem. Bisa memunculkan kecurigaan antargolongan. Seharusnya tidak diumbar di depan umum tentang kekatolikan istri Nadiem. Apalagi di media sosial beredar foto-foto keluarga Nadiem yang tampak sedang mengikuti acara di gereja. Sahat seharusnya menyembunyikan kekatolikan istri Nadiem itu. Supaya umat Islam tidak curiga kepada Nadiem. Jika kelak beliau menghantam umat Islam sebagaimana diinginkan oleh Sahat Siagian.[] 28 Oktober 2019

Menteri Agama (Tak) Mengurus Umat Islam

Ucapan menteri yang bernada tidak untuk mendamaikan suasana seperti itu, seharusnya tidak boleh ada di lembaga pemerintahan. Kita patut menyatakan, sekarang kementerian itu tidak lagi untuk mengurus Umat Islam. Sementara uang wakaf, sedekah, dana haji, miliknya Umat Islam kini telah dipergunakan lebih dari separuhnya oleh pemerintah. Oleh Dr. Ahmad Yani Jakarta, FNN – Departemen Agama secara historis didirikan untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam menjalankan syariat. Kementerian ini didirikan pada tahun 1946. Lembaga ini ada sebagai kompromi politik atas hilangnya tujuh kata dalam “Piagam Jakarta” pada tanggal 22 Juni 1945. Kita mengetahui bahwa setelah proklamasi 17 Agustus 1945, umat Islam melalui tokoh-tokoh politiknya merelakan kehilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hilangnya tujuh kata ini sebagai bentuk kompromi umat Islam demi keutuhan bangsa. Terlihat bahwa umat Islam menempatkan keutuhan bangsa di atas segala-galanya. Meskipun alasan keutuhan masih menimbulkan tanda tanya hingga hari ini. Namun sikap moderat umat Islam merelakan piagam Jakarta menjadi Pancasila tidak bisa dinilai secara murah oleh siapapun. Itu adalah bentuk pengorbanan terbesar yang tak boleh dilupakan. Pengorbanan inim juga tidak boleh dikesampingkan oleh siapapun Pengorbanan Umat Islam atas hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta, telah menjadi perhatian utama dari pendiri bangsa ketika itu. Sehingga Muhamad Yamin, bertanya "tidak cukuplah jaminan kepada Agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja. Melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam sendiri”. Pendek cerita, harus menurut kehendak rakyat. Bahwa urusan Agama Islam yang berhubungan dengan pendirian Islam, Wakaf, Masjid, dan penyiaran Islam, harus diurus oleh kementerian yang istimewa. Nama lembaganya ketika di tahun 1945 itu adalah “Kementerian Agama". Jadi Kementerian Agama didirikan pada tahun 1945 itu untuk mengurusi hal-ihwal Agama Islam, sesuai kepentingan Islam. Lembaga ini diadakan bukan untuk kepentingan dan urusan yang lain. Begitulah sejarah tentang lahirnya Kementerian Agama tersebut. Pertanyaan Muhamad Yamin itu menjadi bukti sejarah bahwa Kementrian Agama tersebut, dibuat khusus hanya untuk umat Islam dalam mengakomodir segala kepentingan umat Islam. Selain itu, Kementrian Agama juga yang menjadi titik temu antara kubu nasionalis sekuler dan nasionalis agama. Kiyai Haji Wahid Hasyim dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa "model Kementerian Agama ini pada hakikatnya adalah kompromi jalan tengah. Jalan antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara." Pemerintah mengumukan berdirinya Kementrian Agama setelah disepakati secara aklamasi di oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ketika itu Haji Mohammad Rasjidi yang diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Agama Pertama. Haji Mummad Rasjidi adalah seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern. Dan di kemudian hari, Haji Muhammad Rasjidi dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah. Jangan Ahistoris Bozzz Apa yang dikatakan oleh Menteri Agama Fahrul Rozi bahwa “dirinya bukanlah Menteri Agama Islam, dan dia ditugaskan untuk melawan radikalisme, telah membuka kembali luka lama dalam kehidupan umat Islam”. Mengatakan bukan Menteri Agama Islam adalah pernyataan ahistoris, buta dan tuli terhadap sejarah kelahiran bangsa. Sebab sejarah mencatat, bahwa aspirasi Umat Islam diakomodir dengan terbentuknya Kementerian Agama pada awal-awal kemerdekaan bangsa ini. Ucapan yang bernada tidak untuk mendamaikan suasana seperti itu, seharusnya tidak boleh ada di lembaga pemerintahan. Kita patut menyatakan, bahwa sekarang kementerian itu tidak lagi untuk mengurus Umat Islam. Sementara uang wakaf, sedekah, dana haji, miliknya Umat Islam kini telah dipergunakan lebih dari separuhnya oleh pemerintah. Secara kasarnya, sekarang Umat Islam sedang diperas. Tetapi kekayaan Umat Islam yang disimpan di Kementrian Agama tidak dianggap oleh pemerintah. Sementara ceramah ustadz dibatasi, mesjidnya diawasi. Apakah ini yang dikehendaki oleh pemerintah sekarang? Masih berdasar pernyataan menteri Agama Fahrul Rozi. Bahwa dia ditugaskan oleh Presiden untuk mengurus radikalisme. Semua kementerian periode kedua ini sepertinya hanya mengurus radikalisme. Kita menyebutnya dengan pemerintahan yang mengurus radikalisme. Bahkan Prof. Dr. Din Syamsuddin menyarankan Kementrian Agama diganti namanya menjadi Kementrian Anti Radikalisme. Sebegitu kuatnya radikalisme sehingga mulai dari aparat keamanan seperti Polisi, Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Nasiopnal Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga kementerian di kabinet Jokowi yang kedua semua mengurusinya. Berarti kerja pemerintah hanya mewujudkan program deradikalisasi saja. Tugas Menteri Agama itu adalah membangun moral bangsa. Membangun moral keagamaan, yang memberikan nilai positif dan konstruktif bagi bangsa. Menjaga kerukunan, dan meningkatkan kualitas pendidikan keagamaan. Membawa pesan keagamaan di tengah masyarakat. Begitulah tugas-tugas Kementrian Agama yang seharusnya. Sementara fungsinya adalah membuat dan menetapkan kebijakan keagamaan. Mengelola kekayaan di Kementrian Agama, dan mengawasi pelaksanaan tugas. Selain itu, melaksanakan kegiatan dan bimbingan teknis. Karena itu kalau tugas Kementerian Agama adalah mengurus radikalisme dan bukan menteri Agama Islam, lebih baik kementerian itu dihilangkan saja. Sebab sejarah kementerian itu merupakan hasil akhir dari kompromi diantara tokoh-tokoh bangsa. Kompromi antara golongan nasionalis Islam dengan golongan nasionalisme sekuler. Terlepas dari semua itu, Menteri Agama Fahrul Rozi sekarang ini tidak cocok mengurus kementerian. Tetapi lebih cocok diberikan tugas sebagai kepala BNPT. Itu lebih menjurus ke pikiran beliau ketimbang mengurus urusan Umat Islam yang begitu kompleks. Wallahualam bis shawab. Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta serta Advokat