Cara Tiongkok Kuasai Nikel Indonesia (Sengkarut Nikel Bag-1)
By Luqman Ibrahim Soemay
Jakarta, FNN – Sampai sekarang, ada tiga kapal pengangkut bijih nikel mentah (ore) ke luar negeri masih ditahan Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Pomala, Sulawesi Tenggara. Syahbandar Pomala menahan tiga kapal pengangkut nikel ore itu dengan alasan yang remeh-temeh, bahkan cendrung dibuat-buat.
Apa saja kesalahan dari tiga kapal tersebut juga tidak dapat dijelaskan oleh Syahbandar Pomala. Pokoknya kapal tahan saja. Tidak boleh berlayar. Karakter umum para birokrasi Indonesia yang sudah punya stigma huebat. “Kalau bisa dipersulit, mengapa juga harus dipermudah?”
Tiga kapal pengungkut bijih nikel mentah yang ditahan Syahbandar Pomala ini, bagian dari dua belas kapal yang dibolehkan mengangkut bijih nikel mentah sejak Agustus 2019 lalu. Kapal pengangkut pertama sampai kapal dengan ke sembilan tidak ada masalah.
Kapal bisa berangkat aman-aman saja. Kapalnya sudah berangkat ke negara tujuan dengan selamat. Begitu sampai pada kapal ke sepuluh, sebela adan dua belas, mulai ada masalah. Hambatan datang dari Syahbandar Pomala sebagai penguasa pelabuhan.
Ketiga kapal tersebut adalah MV Aqua Atlantic, MV Pan Begonia, dan KSL Deyang. Tiga kapal berbendera asing ini tidak mendapat izin berlayar dari Syahbandar Pomala sejak 30 Oktober 2019 lalu. Sampai sekarang tidak ada penjelasan, kapan Syahbandar Pomala mengeluarkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) untuk ketiga kapal itu.
Setiap kapal rata-rata mengangkut bijih nikel mentah dengan kadar dibawah 1,7 sebanyak 50.000 ton. Jadi, tiga kapal yang ditahan tersebut diperkirakan mengangkut sekitar 150.000 ton bijih nikel mentah. Negara tujuan ekspor adalah Cina Tiongkok.
Jika dihitung berdasarkan harga nikel di pasaran luar negeri sekarang, yaitu U$ 45 dollar per ton, maka nilai devisa setiap kapal adalah U$ 2.250.000 dollar. Dengan demikian, total nilai ekspor tiga kapal yang masih ditahan Syahbandar Pomala itu sebesar U$ 6.750.000 dollar.
Bila dikalikan dengan kurs yang berlaku sekarang Rp 14.000 per dollar, maka nilai 150.000 ton nikel ore yang tidak bisa diangkut ke luar negeri itu sekitar Rp 94,5 miliar. Mungkin tak seberapa nilai ekspor tersebut. Cuma saja, bila ditelusuri lebih mendalam, banyak persoalan ada disana. Para mafia yang bekerja dibalik tertahannya tiga kapal pengangkut bijih nikel mentah ini.
Akibat tertahannya tiga kapal itu, eksportir sebagai penyewa kapal harus membayar denda keterlambatan berangkat (demurrage) U$ 20.000 dollar setiap hari. Sampai dengan hari ini (Minggu 15/12) sudah 45 hari tiga itu kapal ditahan. Biaya yang dikeluarkan eksportir untuk membayar denda demurrage sebanyak U$ 90.000 dollar atau setara dengan Rp 12,6 miliar.
Harga dan biaya kemahalan ini yang sebenarnya tidak perlu terjadi, jika mental birokrasi Indonesia sudah terbebas dari stigma huebat, “kalau bisa dipersulit, mengapa juga harus dipermudah?”. Apalagi kewajiban-kewajiban yang dibebankan negara kepada eksportir bijih nikel mentah sudah dilunasi semuanya.
Kewajiban tersebut, antara lain royalty tambang nikel, dan PPH pasal 22. Selain itu, ada juga pembayaran bea keluar dan jasa kepelabuhanan. Ini juga sudah dilunasi. Apakah masalah selesai dengan semua pelunasan pengutan resmi itu? Tertnyata tidak juga.
Monopoli Cina Tiongkok
Pemerintah telah mengeluarkan izin untuk 30 lebih perusahaan pertambangan nikel. Mereka diwajibkan membangun pabrik pemurnian bijih nikel (smelter) di Indonesia . Namun dari jumlah itu, baru 9 perusahaan yang telah berproduksi di Indonesia.Tiga perusahaan itu, mayoritas sahamnya dimiliki perusahaan Cina Tiongkok.
Tiga besar perusahaan Cina Tiongkok yang telah membangun smelter antara lain PT Sulawesi Mining Investment (SMI) di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Selain itu, PT Virtu Dragon Nickel Industry (VDNI) yang berlokasi di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Satu lagi PT Weda Bay Nickel (WBN) di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Setelah tiga pabrik smelter milik Cina Tiongkok ini beroperasi 100%, pemerintah mendadak merubah kebijakan larangan ekspor baji nikel mentah. Dari yang sebelumnya, larangan ekspor nikel ore baru berlaku efektif nanti tanggal 11 Januari tahun 2022. Kebijakan ini tertuang di Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Nomor 25 Tahun 2018
Melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, larangan ekspor bijih nikel mentah dipercepat masa berlakunya. Dimajukan pemerintah dua tahun lebih cepat. Kebijakan yang sangat mendadak dan mengagetkan. Sehingga patut diduga pemerintah mengikuti maunya salah satu pemilik pabrik smelter yang sudah beroperasi dan 100% milik Cina Tiongkok.
Tidak berhenti sampai disitu. Perkembangan terakhir, kebijakan larangan ekspor nikel ore dimajukan atau dipercepat lagi, dari yang semula tanggal 1 Januari 2020. Pemerintah menyatakan, larangan ekpor nikel ore berlaku efektif tanggal 28 Oktober 2019 lalu. Artinya, dimajukan lebih cepat lagi dua bulan. Aneh tapi nyata.
Dari sinilah bencana itu datang menimpa para penambang dan eksportir nikel ore. Padahal mereka yang hampir semuanya pengusaha nasional. Hampir 95% dari nereka adalah pengusaha yang ber KTP Indonesia. Mereka sejak lahir, besar, dan merintis usaha menjadi pengusaha di Indonesia. Sampai sekarang masih bangga dan cinta dengan Indonesia. Hanya sekitar 5% dari mereka penguasa nikel ini yang milik asing.
Akibat kebijakan pemerintah mengenai larangan ekspor biji nikel mentah yang berubah-rubah dan dipercepat, membuat penambang dan eksportir nikel nasional meradang. Mereka sekarang hanya bisa maratapi nasib ke depan. Sebab mereka tidak bisa lagi mengekspor nikel ore.
Dampak negatifnya dipastikan bakal bermacam-macam. Apalagi untuk para eksportir yang terlanjur membuat kontrak ekspor jangka panjang dengan pembeli (buyer) di luar negeri sampai 31 Desember 2019. Mereka pasti terkena denda oleh buyer.
Masalah lainnya, kemungkinan tidak lancarnya pambayaran sewa dan cicilan peralatan atau leassing untuk exavator dan dump truck. Sampai disini belum selesai masalah yang ditimbulkan. Pembayaran cicilan ke bank juga bakal menemui kendala. Bisa jadi cicilan ke bank bakal macet, karena tidak ada pendapatan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) juga tidak bisa dihindari.
Jadinya, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sebab, sama buyer di luar negeri didenda akibat pemerintah yang tidak lagi mengizinkan ekspor nikel ore. Sementara di dalam negeri juga didenda puluhan miliar rupiah oleh pemilik tongkang, karena terkena demurrage. Kasian amat nasibmu wahai penambang dan eksportir bijih nikel mentah.
Rampok Pakai Hukum
Akibat dari beban-beban biaya yang berat itu, membuat penambang dan pemilik Izin Usaha Pertambnangan Khusus (IUPK) nikel terkadang mengambil jalan pintas. Mereka terpaksa menjual izin tambangnya kepada pihak lain. Dijual dengan harga murah (harga meerreeng).
Sementara yang sudah siap dan punya peluang membeli izin-izin tambng dengan harga murah itu perusahaan yang sudah membangun pabrik smelter 100%. Diantaranya PT SMI di Morowali, PT VDNI di Konawe dan PT WBN Halmahera.
Semula pemerintah mengizinkan penambang mengekspor bijih nikel mentah. Tujuanya untuk mendorong dan mambantu mereka membangun pabrik smelter. Dengan keuntungan yang didapat dari ekspor nikel ore, bisa untuk membangun pabrik smelter. Namun dengan keluarnya kebijakan larangan ekspor yang dipercepat ini, keinginan melihat warga negara Indonesia mempunyai pabrik smelter, cuma hayalan saja.
Jadi, jangankan ada orang Indonesia yang bakal mempunyai pabrik smelter. Mereka yang sudah punya izin tambang nikel saja, kemungkinan bakal lepas atau hilang. Lagi-lagi, karena izin tambangnya bakal dijual dengan harga murah. Tragis sekali nasibmu untuk menjadi pengusaha nikel di negeri Pancasila ini kawan.
Kenyataan ini adalah model perampokan paling canggih di abad sekarang. Pola merampok model ini biasanya dilakukan para korporasi global. Setelah merampok, mereka menguasai sumberdaya alam di negara itu. Bagaimana caranya? Dengan menunggangi dan memperalat semua celah hukum positif yang berlaku di negara tersebut.
Siapa saja pejabat Indonesia yang paling berjasa mendorong agar nikel Indonesia dirampok, dikuasai dan dimonopoli oleh perusahaan Cina Tiongkok? Meski sulit untuk dibuktikan, namun bisik-bisik di kalangan para pengusaha dan eksportir nikel ore menunjuk pada seorang menteri di anggota kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin.
Menteri itu terkenal dengan sebutan “Menteri Segala Urusan”. Sebagian politisi dan aktivis demokrasi ’98 yang menyebutnya dengan “Menteri Urusan Percaloan”. Apalagi, pak Menteri tersebut diduga mempunyai kedekatan dengan satu dari tiga perusahaan pabrik smelter yang sudah bisa beroperasi 100% tersebut.
Tampak ada conflict of interest antara Pak Menteri dengan kebijakan larangan ekspor nikel ore yang dipercepat. Saya sih antara percaya dan tidak percaya. Sebab bisa saja para penambang dan eksportir nikel ini hanya syirik, su’udzon kepada pak Menteri. Begitu juga dengan politisi dan aktivis demokrasi. Mereka hanya cembokur kepada pak Menteri yang huebat ini. Wallaahualam bishawab. (bersambung).
Penulis adalah Wartawan Yunior