Ada Apa Kiai, Kok Aneh?
Oleh M. Nigara
ASTAGHFIRULLAH. Ini kalimat pertama saya sambil bergumam: Ada apa ini, kok orang mau shalat jumat harus bersurat dan meminta izin? Bukankah mesjid adalah rumah Allah? Bahkan, Allah menerima umatnya tanpa harus disurati terlebih dahulu.
Kalimat kedua, saya bertakbir, Allahu Akbar, memuji kebesaranNya. Siapapun kita, rakyat jelata, ketua mesjid, bahkan presiden bukan siapa-siapa. Tak seorang pun memiliki kuasa atas yang lain.
Kalimat ketiga saya, innalillahi wa innailaihi rojiun, dari Allah kembali ke Allah. Setinggi apa pun kita, sebesar apa pun kita, semua akan kembali padaNya.
Mengapa saya perlu mengangkat ketiganya? Sungguh, saya mengingatkan pada diri saya sendiri dan kita semua bahwa kita adalah debu. Debu yang akan berserakan jika diterpa angin. Debu yang tak pantas jumawa, debu yang tak ada tempat untuk berlindung serta bersembunyi.
Aneh
Adalah KH. Hanief Ismail, ketua masjid Agung (Kauman) Semarang, tiba-tiba membuat geger. Membuat keanehan. "Kami tidak mengizinkan shalat jumat dipolitisasi," katanya seperti telah ramai di medsos. "Lagi pula, saya belum diberitahu, belum ada surat dari timses Prabowo-Sandi untuk shalat jumat di sini!" katanya lagi yang juga sudah viral di dunia maya.
Dua kalimat itu meluncur untuk menanggapi rencana Prabowo akan bershalat jumat di masjid itu. Sementara bagi Prabowo shalat jumat bukan hal yang aneh. Minggu lalu, kami shalat jumat di Hambalang karena Prabowo kedatangan tamu teman-teman buruh KSPI dan API Muhammadiyah yang jumlahnya sekitar 3000 orang.
Jadi, agak aneh jika tiba-tiba KH. Hanief seperti kebakaran jenggot. Betul dia adalah ketua mesjid, tapi dia tidak boleh melarang orang untuk shalat. Bahkan, dia pun tidak boleh melarang seandainya timses Prabowo ingin mempolitisasi (saya yakin tidak, bahkan sang kiailah yang mempolitisasinya) itu jadi urusan timses itu pada Allah.
Maaf nih, saya beristighfar: Astagfirullah, mohon ampun kepada Allah, jika hati saya bersuudzon, atas kejadian ini. Jangan-jangan sang kiai takut pada sesuatu selain Allah. Mengapa? Belakangan beredar rumor yang sumbernya patut dapat diduga dari toko sebelah yang mempertanyakan soal di mana dan kapan Prabowo terakhir shalat jumat.
Hal ini sengaja diluncurkan agar umat yang taat pada Habib Riziek Shihab dan umat islam lain yang secara masif makin solid mendukung Prabowo, jadi ragu. Bukankah itu politisasi?
Nah, sekali lagi saya mohon maaf pada Kiai, jangan-jangan kiayi takut mesjid Agung Semarang menjadi titik pemantaban pada para pendukung Prabowo. Kiai takut bahwa paslon 02 ini menjadi yang paling pantas didukung. Ya, maklum, ini kan bulan politik, dan 'aliran' kiai memang berbeda dengan aliran Prabowo. Artinya, sangat mungkin kiai mendukung paslon lain. Meski itu sih sebenarnya sah saja, tapi tampaknya sang kiai benar-benar takut mesjid yang dipimpinnya menjadi tempat kebangkitan dan kesadaran umat, khususnya golongan sang kiayi untuk memilih Prabowo dalam pilpres mendatang . Mohon maaf ya kiai.
Kembali soal shalat yang harus bersurat dan dilarang oleh ketua mesjid. Demi Allah, ini aneh. Sejak Indonesia dijajah Belanda dan Jepang, shalat di mana saja di negeri ini tak harus bersurat. Kita yang NU, tidak dilarang shalat di mesjid Muhammadiyah, sebaliknya juga begitu. Jadi tidak lumrah jika tiba-tiba timses harus bersurat dan ketua mesjid harus melarang.
Sekadar mengingatkan, Jokowi berulang kali shalat bahkan memimpin shalat. Aroma politiknya sangat kental. Tapi, kok kiayi tidak melarang, bahkan berkomentar saja tidak? Mengapa saya yakin aroma politiknya sangat kental?
Saya coba mengutip satu hadist:
Yang berhak menjadi imam shalat untuk suatu kaum adalah yang paling pandai dalam membaca al-Qur’an. Jika mereka setara dalam bacaan al- Qur’an, (yang menjadi imam adalah) yang paling mengerti tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila mereka setingkat dalam pengetahuan tentang sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, (yang menjadi imam adalah) yang paling pertama melakukan hijrah. Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang lebih dahulu masuk Islam.” (HR. Muslim no. 673 dari Abu Mas’ud alAnshari radhiyallahu ‘anhu).
Dalam riwayat lain, disebut juga mereka yang lafadznya paling baik.
Jika mereka sama dalam amalan hijrah, (yang menjadi imam adalah) yang paling tua di antara mereka.”
Dengan demikian, yang paling berhak menjadi imam shalat secara berurutan adalah;
1. Yang paling pandai membaca al-Qur’an. Jika sama-sama pandai,
2. Yang paling mengerti tentang sunnah Nabi radhiyallahu ‘anhu. Jika sama-sama mengerti,
3. Yang paling pertama melaksanakan hijrah. Jika sama dalam hal hijrah,
4. Yang lebih dahulu masuk Islam. Jika bersama masuk Islam,
5. Yang lebih tua.
Mohon maaf, apakah pak Jokowi memenuhi kriteria itu? Kiai bisa menjawabnya, sama dengan kita semua pasti bisa menjawabnya dengan baik. Tapi, kok saya belum mendengar kiai berkomentar tentang itu?
Seperti juga, ada beberapa shalat yang dilakukan Jokowi dengan imam yang perlu dimundurkan. Mengapa itu dilakukan? Jawabnya juga sederhana: agar shalatnya bisa difoto dan diviralkan. Tujuannya? Sekali lagi, kiayi pasti tahu setahu kami semua.
Jadi, ketika kiai berkata: Melarang politisasi shalat jumat di mesjid tempat kiai, saya tersenyum simpul. Kok ya kiayi mau bicara begitu?
Demi Allah, tidak ada tempat bersembunyi di bumi ini dari Allah. Dan tidak sekali-kali Allah bisa ditipu. Kita boleh saja mengatakan apa saja dengan alasan yang baik, tapi Allah tahu yang sesungguhnya.
Semoga Kiai Haji Hanief Ismail segera menyadari kekeliruannya. Dan kita berdoa agar Allah melindungi negara kita dari orang-orang yang dzalim. Dan semoga Allah memporak -porandakan mereka yang berbuat dzalim...
Dan, semoga Allah memberikan Indonesia pemimpin yang kuat dan bukan yang suka berpura-pura. Pemimpin yang tidak ingkar dengan janji-janjinya. Pemimpin yang tidak memusuhi umat islam. Pemimpin yang cakap. Pemimpin yang amanah...
Aamiin ya Rabb..
*) Wartawan Senior, mantan Wasekjen PWI
')}