Banteng Terserempet, Kemenkumham dan KPK Jadi Korban?
Oleh Mochamad Toha
Jakarta, FNN - Bagaikan bola salju yang bergulir semakin membesar dan cepat lajunya, kasus OTT Wahyu Setiawan dan buronnya Harun Masiku merembet ke mana-mana. Bahkan, kini telah “makan korban” di internal Kementerian Hukum dan HAM.
Menkum HAM Yasonna H. Laoly mencopot Direktur Sistem dan Teknologi Keimigrasian Alif Suaidi berkaitan dengan polemik buron KPK Harun Masiku. Alif dicopot bersamaan dengan pencopotan Dirjen Imigrasi Ronny F Sompie.
“Saya sudah memfungsionalkan Dirjen Imigrasi dan Direktur Sistik, Direktur Sistem (Teknologi) Informasi Keimigrasian,” kata Yasonna di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Pencopotan dua pejabat di internal Kemenkum HAM itu merupakan buntut kekeliruan data informasi mengenai kembalinya Harun Masiku ke Indonesia. Harun adalah tersangka KPK dalam kasus suap terkait PAW anggota DPR dari PDIP.
Yasonna menyebut untuk sementara posisi Ronny akan digantikan Irjen Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting. Jhoni akan merangkap tugas sebagai Pelaksana harian (Plh) Dirjen Imigrasi.
“Irjen. Ya per hari ini. Tadi pagi. Hari ini. Siang. Tadi siang sesudah jam 12,” ujar Yasonna, seperti dilansir Detik.com, Selasa (28 Januari 2020 17:08 WIB). Ronny dilantik oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada medio Agustus 2015.
Menurut Yasonna, pencopotan itu terkait dengan upaya tim independen atau Tim Pencari Fakta (TPF) mencari tahu mengapa imigrasi bisa kecolongan data perlintasan Harun Masiku. “Artinya difungsionalkan supaya nanti tim independen bisa bekerja dengan baik,” katanya.
“Karena saya mau betul-betul terbuka dan tim nanti bisa melacak mengapa terjadi delay,” ujar Yasonna. Dikatakan, pencopotan Ronny itu juga agar tim independen bisa mengecek mengapa data perlintasan Harun Masiku bisa tersimpan di komputer bandara terminal 2.
“Kalau di Terminal 3 kan beres, makanya ndak ada masalah di terminal 3. Kalau di terminal 2 ini ada delay, ada memang perubahan simkim satu ke simkim dua,” katanya.
Ada pelatihan staf sehingga pada pelatihan itu data dummy masuk ke pusat, tidak dibuat akses ke pusat. “Tetap karena ada sesuatu, selesai itu kenapa tidak dibuka kembali access tersebut. Itu jadi persoalan,” sambung Yasonna.
Beberapa hari ini, Ditjen Imigrasi sedang menjadi sorotan dalam kasus yang menyeret caleg PDIP, Harun Masiku yang masih buron dalam perkara suap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Imigrasi sempat menyebut Harun mASIKU berada di Singapura saat KPK menggelar rangkaian OTT yang menyeret Wahyu Setiawan. Sementara, Tempo menemukan fakta bahwa Harun sudah pulang ke Indonesia ketika KPK menggelar OTT tersebut pada 8 Januari 2020.
Istri Harun pun membenarkan bahwa sang suami sudah pulang. Belakangan, Imigrasi pun mengakui Harun sudah pulang. Mereka beralasan ada kesalahan sistem sehingga terlambat mengetahui kepulangan Harun.
Koran Tempo membongkar data penerbangan dan kedatangan Harun di Bandara Soekarno-Hatta. Ia terbang menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 832 dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Bandara Changi, Singapura, pada 6 Januari lalu.
Sehari kemudian, Harun kembali dari Singapura menumpang pesawat Batik Air dengan nomor penerbangan ID 7156. Pesawat dengan nomor registrasi PK-LAW ini terbang pada pukul 16.35 waktu setempat dari Gate A16 Bandara Changi.
Hasil penelusuran Tempo diperkuat oleh rekaman kamera CCTV Bandara Soekarno-Hatta serta pengakuan Hildawati Jamrin, istri Harun. Tampaknya inilah yang membuat gundah-gulana Menkum HAM yang juga pejabat DPP PDIP itu.
Dari sini kemudian terkuak adanya faksi-faksi di dalam internal DPP PDIP. Ini yang akhirnya juga menyerempet pada akan dipasangnya segel KPK di Kantor DPP PDIP dan akhirnya gagal terlaksana bersamaan dengan OTT tersebut.
Pada Selasa (28/1/2020), bersamaan dengan pemecatan terhadap Ronny F. Sompie itu, dua Komisioner KPU, termasuk Ketua KPU Arief Budiman juga menjadi terperiksa di KPK. Ini adalah untuk kali kedua KPK memeriksa Komisioner KPU.
Pada hari yang sama pula, di depan Komisi III DPR RI, Ketua KPK Firly Bahuri berencana menghentikan beberapa kasus yang masih dalam tataran penyelidikan. Ada dugaan semua rentetan peristiwa ini diakibatkan terserempetnya “banteng” dalam pusaran kasus rasuah di Indonesia.
Terutama berkaitan dengan kasus Harun Masiku. Wajar saja kalau ada anggapan demikian. Terpentalnya Ronny Sompie diduga karena yang bersangkutan membenarkan hasil tulisan Koran Tempo ihwal keberadaan Harun Masiku pada saat sebelum hingga terjadinya OTT.
Sementara, Firly Bahuri sendiri diduga pernah bertemu dengan Ketum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dan Sekkjen PDIP Hasto Kristiyanto jauh sebelum berlangsungnya rekrutmen Komisioner KPK beberapa waktu silam.
Dan pihak KPU, merupakan pihak yang bisa mengeksekusi PAW Harun Masiku jika dapat diloloskan sesuai dengan “skenario”. Di sinilah independensi KPK “diuji”, membiarkan para pihak lolos dari jeratan hukum atau memprosesnya.
Ketua YLBHI Asfinawati, menilai bahwa pengaburan informasi tentang keberadaan Harun Masiku menjadi indikasi perintangan penyidikan kasus dugaan suap Wahyu Setiawan.
Asfi mendesak KPK mengusutnya juga. “Dalam semua kejahatan politik atau serius, enggak cuma perencanaan, tapi selalu ada penghilangan jejak dan upaya menghindari hukum,” kata Asfi.Termasuk minta keterangan pihak PTIK yang diduga tahu kalau Harun dan Hasto yang saat OTT "berlindung" di PTIK.
Menurut Asfi, penyidik KPK perlu memeriksa Yasonna dan para pejabat Imigrasi untuk membuktikan dugaan mereka sengaja berbohong untuk mengacaukan penyidikan perkara korupsi. Termasuk Kabag Humas Imigrasi untuk ditelisik.
Bagaimana dengan nasib Hasto Kristiyanto? Kabarnya, Mega sangat marah besar begitu tahu siapa sosok yang selama ini telah merusak citra PDIP. “Saya yakin 999 persen, Hasto tidak akan dilindungi PDIP. Sebab, Ibu kini sudah tahu,” ujar seorang teman.
Harun Masiku
Nama lengkapnya Harun Masiku, SH. Lahir di Jakarta pada 21 Maret 1971. Meski lahir di Jakarta, Harun menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Watapone, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Kemudian Harun Masiku melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar (1989-1994). Kemudian, melanjutkan sekolah di University of Warwick United Kingdom Jurusan Hukum Ekonomi Internasional, Inggris.
Dalam kariernya, Harun Masiku pernah meraih British Chevening Award pada 1998 dan menjabat sebagai Ketua Persatuan Pelajar Indonesia United Kingdom West Midland pada 1998-1999.
Sepulangnya dari Inggris, ia bekerja sebagai pengacara di sejumlah kantor hukum dan pernah juga menjadi Staf Ahli Anggota Komisi III DPR pada 2011. Karier politiknya mulai ditempuh saat menjadi Anggota Partai Demokrat.
Pada 2009 Harun Masiku menjadi Tim Sukses Pemenangan Pemilu dan Pilpres 2009 Partai Demokrat Sulawesi Tengah untuk memenangkan paslon Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Ia juga pernah menjadi caleg Demokrat .
Setelah gagal di Demokrat, pada Pileg 2019 Harun Masiku pindah ke PDIP. Setelah Nazaruddin Kemas meninggal dunia, terjadi kekosongan kursi PDIP di DPR sehingga harus ada penggantinya sesuai dengan ketentuan PAW anggota DPR.
Rapat Pleno KPU pun memutuskan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang wafat. Tapi, PDIP tetap mengusung Harun Masiku untuk duduk sebagai anggota DPR, meski melanggar UU Pemilu.
Dengan latar belakang ini, logis bila muncul satu pertanyaan kunci: Mengapa PDIP begitu ngotot untuk menempatkan Harun Masiku ini sebagai Anggota DPR?
Jika PDIP mau, mengingat profil Harun Masiku, bisa menjadikan dirinya calon anggota DPR “nomor jadi” saat Pileg 2019 lalu. Tak perlu repot kasak-kusuk ke KPU untuk menggolkan dia lewat PAW segala.
Perlu dicatat: alamat domisili yang dia cantumkan di formulir pencalegan ternyata bukan alamat dia dan warga kompleks antam bilang dia bukan warga di situ. Bagaimana bisa PDIP sampai tiga kali bersurat ke KPU agar Harun dilantik, sementara alamat domisilinya fiktif?
Ada apa? Mengapa PDIP ngotot agar Harun Masiku yang jadi PAW alm Nazarudin Kiemas, adik alm Taufik Kiemas, mantan Ketua MPR suami Mega dan ayah Ketua DPR Puan Maharani?
Penulis wartawan senior.