Fadel Muhammad, Diberhentikan SBY Dimosi tak Percaya DPD

Ahmad Bustami (dari kiri ke kanan), Abdullah Puteh, Tamsil Linrung dan Yorrys Raweyai, berfoto bersama seusai pemungutan suara yang mendongkel Fadel Muhammad dari jabatan sebagai Wakil Ketua MPR RI, Kamis, 18 Agustus 2022. Tamsil terpilih dengan 39 suara dari 96 suara lewat pemungutan suara terbuka. (Foto: FNN/Istimewa).

KAMIS, 18 Agustus 2022, lewat pemungutan suara terbuka, Tamsil Linrung terpilih menjadi Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) utusan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Lewat Sidang Paripurna DPD,  senator asal Sulawesi Selatan itu berhasil meraih 39 suara dari 96 suara.

Tamsil berhasil mengalahkan tiga calon Wakil Ketua MPR lainnya, yaitu Abdullah Puteh mewakili Barat Satu, Ahmad Bustami mewakili Barat Dua. Yorrys Raweyai mewakili Timur Dua. Timur Satu secara aklamasi menunjuk Tamsil Linrung. 

Dengan terpilihnya senator asal Sulawesi Selatan itu, secara otomatis mendongkel Fadel Muhammad. Pendongkelannya dari kursi empuk itu bukan datang secara tiba-tiba. 

Melainkan melalui proses yang cukup lama dan panjang. Anggota DPD pun melakukan mosi tidak percaya terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang diberhentikan (dipecat?) oleh Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), karena lebih sering jalan-jalan ke luar negeri bersama istrinya ketimbang bekerja di MPR.

Mosi tidak percaya itu terjadi karena sebagian besar anggota DPD menganggap Fadel tidak memperhatikan atau membawa aspirasi di MPR. Jadi, pemberhentian Fadel lewat pemungutan suara langsung yang dipimpin Ketua DPD, A.A.LaNyalla Mahmud Mattaliti itu lebih terhormat, ketimbang dengan cara-cara lainnya.

Pemberhentian oleh SBY bukan tanpa alasan. Setidaknya hal itu dilakukan pendiri Partai Demokrat itu karena mendapat dua surat menyangkut penjualan tanah oleh Fadel ke Istitut Agama Islam  Negeri (IAIN) - sekarang menjadi  Universitas Islam Negeri (UIN) -  seluas 40 hektar di Desa Cikuya, Kecamatan Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten. Surat pertama datang dari Rektor IAIN saat itu, Komaruddin Hidayat. Surat kedua dilayangkan anggota DPD, A.M.Fatwa. 

Transaksi jual-beli tanah tersebut terjadi sewaktu Quraish Shihab, menjadi rektor kampus yang berlokasi di Ciputat, Kotang Tangerang Selatan, Banten itu. Tanah yang hingga sekarang masih belum jelas itu dibeli dengan menggunakan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 1996. Dana yang digunakan Rp 5 miliar.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh FNN, bulan Juli 2022 yang lalu, anggota DPD Banten, Habib Ali Alwi bersama Rektor UIN, Prof.Dr.Amany Lubis dan timnya turun mengecek lokasi lahan tersebut. Kabarnya, selain lokasinya yang terpencar, juga ada beberapa lahan yang diklaim milik orang lain atau dikuasai orang lain.

Sebenarnya, ada peristiwa nenarik ketika SBY mencopotnya dari jabatan sebagai Menteri  Kelautan dan Perikanan. Hal itu menyangkut keaman dan wibawa Presiden SBY.

Ceritanya, menjelang Maghrib, Fadel yang sudah diberhentikan, datang ke Istana Presiden, meminta bertemu dengan SBY. Dengan gestur tubuh agak marah, ia "memaksa" supaya ketemu.

Akan tetapi, Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) tidak mengizinkannya. Harap maklum, Fadel bukan lagi menteri. Hal itu menyangkut keamanan Kepala Negara. Selagi masih menteri pun, tidak mudah 'nyelonong' bertemu presiden. Ada aturan prorokol yang harus diikuti. Apalagi, menteri yang sudah diberhentikan.

Karena tidak diizinkan masuk, Fadel yang juga berkasus dalam BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) senilai Rp 136 miliar itu pergi menggerutu. Di mata teman-teman wartawan yang biasa meliput kegiatan istana, Fadel marah dan kesal. Akan tetapi, tidak berdaya lagi, karena 'taringnya'  sudah dicabut SBY.

Nah, ia pun melakukan manuver lain. Ia menggunakan Akbar Tanjung, koleganya di Partai Golkar untuk mempertanyakan alasan mengapa SBY mencopotnya. Namun, manuvernya itu tenggelam bak ditelan ombak, karena Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar waktu itu mengajukan Sharif Cicip Sutardjo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, dan disetujui dan diangkat SBY.

Kembali ke pendongkelan Fadel dari kursi Wakil Ketua MPR yang tidak melalui proses tiba-tiba, ada baiknya ia merenungkan kembali berbagai manuver yang akan dilakukannya, termasuk mengajukan tuntutan ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Sejumlah perlawanan lainnya akan dilakukan mantan politikus Partai Golkar itu. Termasuk melaporkan anggota DPD ke Badan Kehormatan DPD, dan mengajukan gugatan secara perdata dan pidana.

Apa yang akan dilakukan itu, merupakah hak Fadel sebagai warga negara. Akan tetapi, apakah itu dilakukan karena nafsu politik, atau karena emosi? 

Semakin bermanuver, perlawanan dari sesama senator pun akan terjadi. Kita menunggu ke mana Fadel berlabuh? Melakukan perlawanan, berarti banyak teman sesama senator menjadi musuh. Tidak melakukan perlawanan, ya harus menanggung malu, karena digusur dari jabatan sebagai Wakil Ketua MPR RI.*

925

Related Post