Ingat, DPR Itu Bukanlah Dewan Perwakilan Rezim
by M Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Ahad (05/07). Rezim atau regime adalah bentuk pemerintah. Bisa juga seperangkat aturan, norma budaya atau sosial yang mengatur operasi suatu pemerintah atau lembaga dalam interaksinya dengan masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rezim adalah tata pemerintah negara atau pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pasti bukanlah DewanPerwakilan Rezim.
Karenanya meskipun DPR dan Pemerintah sama-sama menjadi institusi supra struktur politik, namun memiliki posisi yang berbeda. Pemerintah adalah pengelola negara dan "memerintah" rakyat. Sedangkan DPR mewakili rakyat dan atas nama rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam kaitan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), penyimpangan dilakukan sejak dini. Penyimpangan dilakukan oleh menggagas tanpa keterlibatan rakyat. Gagasannyamuncul diam-diam. Tanpas diketahui oleh rakyat. Baru ketahuan setelah adanya penetapan kontroversial menjadi RUU.
Rakyat teriak setelah RUU inisiatif Dewan ini diserahkan kepada Pemerintah. Pemerintah bersikap mengambang dan "cari aman". Bahasa yang dipakai oleh pemerintah adalah "menunda" peembahasan RUU. Mungkin juga harapannya terganjal. Ungkapan ketidaktahuan 100 % Presiden dipastikan hoaks.
Gelombang penolakan ternyata sangat masif dan dahsyat. Baik itu dalam bentuk deklarasi atau aksi. Hampir terjadi di seluruh Indonesia. Intinya mendesak RUU HIP agar dicabut atau dibatalkan pembahasannya lebih lanjut. Tidak ada negoisisasi untuk direvisi atau diganti namanya.
Rakyat sebagai pemilik negara sudah punya penilaian sendiri. Rakyat sudah punya kesimpulan bahwa RUU HIP ini berbau neo Komunisme. RUU ini untuk membuka peluang bagi bangkitnya PKI. Misi terselubung dari konseptor atau pengusul terkuak oleh publik. Tuntutan pengusutan juga mengemuka.
DPR anehnya belum mengambil sikap yang jelas juga. Bahkan ada yang mencoba untuk mengotak-atik. Misalnya, dengan mengubah judulnya, dari sebelumnya HIP menjadi Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). Meski ada perbedaan isi dan arah, tetapi bahasan RUU ini sudah kehilangan ruh. Sudah kadaluarsa.
Mengganti judul RUU, apapun namanya, apakah itu PIP, BIP, SIP, RIP atau lainnya sudah tidak berguna lagi. Suara rakyat sudah sangat jelas dan tegas. Rakyat hanya ingin menolak, hentikan atau batalkan. Lagi pula dengan mengganti nama dan isi RUU, seharusnya masuk dalam proglegnas baru. Dari awal lagi.
Jika terus mengambang, apalagi hendak mengalihkan pembahasan RUU hanya sebagai bekal buat BPIP semata, maka DPR yang telah mengabaikan suara rakyat. DPR akan menghadapi teriakan rakyat yang lebih keras lagi. Terutama kepada partai-partai di DPR yang dianggap rakyat "tuli" dan "buta". Yang berani dan mencoba-coba mengabaikan aspirasi rakyatnya.
Menipu rakyat dengan geseran bahasan, justru akan menggeserkan tekanan pula. Jika BPIP menjadi sentral, maka suara rakyat akan terarah kepada BPIP dan instansi yang berada di belakangnya. Seruan rakyat kelak bisa berubah drastic, menjadi "bubarkan BPIP". Bisa juga "turunkan penanggung jawab yang berada di belalang BPIP". Bukan mustahil Presiden akan menjadi sasaran berikutnya.
Sekedar meningkatkan bahwa status dan dasar pengaturan BPIP dari "Perpres" menjadi "Undang-Undang" juga terlalu berlebihan. Hanya buang-buang enerji untuk hal yang tidak penting untuk rakyat. Sudah sangat jelas, kalau DPR dengan RUU inisiatifnya ini menjadi lembaga penyalur kepentingan Pemerintah.
Padahal BPIP yang bentukan Presiden ini dinilai rakyat sudah tidak bermanfaat. Hanya buang-buang anggaran hampir satu triliun rupiah setiap tahun untuk hal yang sama-sekali tidak dirasakan manfaatnya oleh. Mendingan dana tersebut dipakai untuk membantu ekonomi yang lagi kekusahan. Lebih efektif.
Ketika DPR diam atau "buta" dan "tuli" terhadap aspirasi rakyat, yang mendesak agar RUU HIP dibatalkan atau dihentikan, maka DPR telah menempatkan dirinya bukan lagi sebagai "Wakil Rakyat". Yang didengar dan diperjuangkan adalah kepentingan. Jika bukan karena kepentingan Pemerintah, maka itu adalah untuk dirinya sendiri. Juga kepentingan Partai Politiknya.
RUU HIP menjadi bukti dan alat uji atas pertanyaan mendasar. Apakah saat ini DPR itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Partai? Jangan-jangan memang telah berubah menjadi Dewan Perwakikan Rezim?
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.