Kisah Mahabarata, Jenderal Brengsek, dan Mozaik Pembunuhan Pahlawan Revolusi (Bagian 3)
Oleh Selamat Ginting (Pengamat Komunikasi Politik dan Pertahanan)
Jakarta, FNN - Musyawarah Nasional Teknik pada 30 September 1965, berlangsung hingga larut malam. Malam sekitar pukul 23.00, Presiden Sukarno memberikan sambutan dengan membuat perumpamaan dari perwayangan, kisah Mahabarata. Menggambarkan suatu pelajaran untuk tidak ragu-ragu membunuh saudara sekalipun bila itu demi kepentingan perjuangan.
“Arjuna lemas, lemas, lemas. Bagaimana aku harus membunuh saudara kandungku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh kawan lamaku sendiri? Bagaimana aku harus membunuh guruku sendiri? ”
“Kerjakan engkau punya kewajiban tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Kewajibanmu kerjakan!”
Setelah peristiwa 30 September 1965, analogi dari pewayangan yang disampaikan Bung Karno itu diasosiasikan dengan penculikan dan pembunuhan para jenderal dalam peristiwa tersebut.
Apalagi dalam kalimat terakhirnya, Sukarno mengucapkan kalimat, ”Saudara-saudara sekarang boleh pulang tidur dan istirahat. Sedangkan Bapak masih harus bekerja menyelesaikan soal-soal yang berat, mungkin sampai jauh malam…..”
Kemudian para analis menghubungkan secarik kertas yang disampaikan Letnan Kolonel (Infanteri) Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Tjakrabirawa kepada Bung Karno. Ya, sebelum Sang Presiden mengawali pidatonya soal pewayangan tersebut.
Jendral Brengsek
Dua pekan sebelumnya, pada 13 September 1965, Presiden Sukarno menyerang Jenderal AH Nasution di istana dengan kalimat yang menusuk hati. Memang dalam pidato itu Sukarno tidak langsung menyebut nama. Tapi dengan kalimat yang sangat keras, yakni “sebarisan jenderal brengsek”.
“Adanya anak-anak revolusi yang tidak setia pada induknya, yakni barisan jenderal brengsek.” Orang-orang Sukarno tahu yang dimaksud adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal A Yani dkk. Ini bukan yang pertama kali dilontarkan oleh Bung Karno. Terutama sejak ia menerima informasi-informasi tentang isu adanya Dewan Jenderal yang bermaksud menggulingkan dirinya.
Pada waktu yang sama, para pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) melontarkan ucapan yang sama. Sehingga tercipta opini bahwa Sukarno memang sejalan dengan PKI. Sesuatu yang kemudian hari harus ditebus mahal oleh Presiden Sukarno.
Kedekatannya dan menjadikan PKI sebagai anak emasnya membuat ia harus kehilangan pamor dari umat Islam dan Angkatan Darat. Termasuk mundurnya Wakil Presiden Moh Hatta. Sehingga akhirnya secara perlahan, ia kehilangan tampuk kepemimpinan nasional sebagai bagian dari episode G30S/PKI.
Apalagi sepanjang September 1965, PKI sangat gencar menyerang secara gresif lawan-lawan politiknya, terutama Angkatan Darat. Khususnya kepada Jenderal AH Nasution, Jenderal A Yani yang digambarkan sebagai jenderal-jenderal ‘brengsek’ seperti ungkapan Bung Karno, karena tidak loyal kepada Presiden.
Harian Rakyat yang berafiliasi kepada PKI, misalnya. Pada 4 September 1965 menulis ada perwira-perwira yang menuduh PKI akan melakukan kudeta. Namun, lima hari kemudian, pada 9 September 1965, Ketua CC PKI DN Aidit malah menggambarkan akan terjadi sesuatu yang pasti akan lahir. Sebuah isyarat dahsyat.
Ucapan Aidit dipertegas lagi oleh tokoh PKI Anwar Sanusi di depan sidang SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). “Yang paling penting sekarang ini, bagaimana kita memotong penyakit kanker dalam masyarakat kita, yaitu setan kota.” Ungkapan itu juga diasosiasikan kepada Jenderal Nasution, Jenderal Yani dkk.
Simak video "Catatan-catatan Penting Soal Sikap Jenderal Yani terhadap Isu Dewan Jenderal"
Setan Kota dan Kematian
Kemudian Aidit secara agresif menyampaikan pidato di depan Kongres III CGMI pada 29 September 1965. “Mahasiswa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. Berbuat, berbuat, berbuat.” Pidato itu merupakan serangan khusus kepada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang beberapa hari sebelumnya dibela Jenderal A Yani.
Aidit kesal usulan PKI untuk membubarkan HMI malah dibela oleh Jenderal Yani. “Kalau CGMI tidak bisa membubarkan HMI, maka pakai sarung saja.”
Kemudian pada tajuk rencana koran Harian Rakyat pada 30 September 1965 berbunyi, “Dengan menggaruk kekayaan negara, setan-setan kota ini mempunyai maksud-maksud politik yang jahat terhadap pemerintah dan revolusi. Mereka harus dijatuhi hukuman mati di muka umum. Soalnya tinggal pelaksanaan. Tuntutan adil rakyat pasti berhasil.
Editorial tersebut seakan membayangkan tentang rencana PKI terkait hukuman mati terhadap para jenderal. Pernyataan-pernyataan keras tokoh-tokoh PKI serta editorial Harian Rakyat, kelak menjadi mozaik bagaimana PKI memang berada di balik pembunuhan para pahlawan revolusi, Jenderal A Yani dkk.
Jenderal Nasution yang dituding langsung oleh Bung Karno dan tokoh-tokoh PKI sebagai ‘jenderal brengsek’, selama September 1965, menahan diri untuk tidak menanggapi hinaan tersebut. Nasution juga tidak curiga ketika mendapatkan informasi Kolonel Abdul Latief memerisa pasukan penjaga rumahnya pada sore hari 30 September 1965. Alasannya, karena Latief adalah Komandan brigade Infanteri Kodam Jaya.
Sukarno Marahi Jenderal
Nasution menceritakan, suatu ketika Letjen A Yani mengantarkan Mayjen S Parman dan Brigjen Soetoyo menghadap Presiden Sukarno. Mereka dimarahi habis-habisan oleh Bung Karno. Sukarno mengecam pernyataan Angkatan Darat soal adanya musuh dari utara bagi Asia Tenggara, seperti dibacakan Letjen A Yani di Bandung.
Keputusan Yani dan para jenderal-jenderal Angkatan Darat dianggap tidak loyal terhadap Presiden Sukarno. Sang presiden di Istana Tampak Siring, Bali sudah berencana segera mengganti para jenderal tersebut. Bahkan menyebut pengganti Yani adalah Mayjen Moersjid. Ia meminta jawaban Moersjid apakah bersedia menggantikan Yani? Moersjid menjawab, bersedia.
Pada 29 September 1965, muncul Brigjen Mustafa Syarif Suparjo menghadap Presiden Sukarno. Suparjo melaporkan kesiapan pasukannya untuk bertindak terhadap jenderal-jenderal yang tidak loyal.
Jumat Kelam
Jumat dinihari 1 Oktober 1965, sekira pukul 04.00 WIB. Keluarga Letnan Jenderal Achmad Yani masih tertidur. Putra bungsu Panglima Angkatan Darat, Irawan Sura Edi Yani (Edi) terbangun. Ia mencari ibunya yang tidak ada di rumah Jalan Lembang D-58. Sang Ibu, Nyonya Yayuk Ruliah belum pulang, masih berada di rumah Jalan Taman Surapati.
Edi ditemani asisten rumah tangga, biasa dipanggil Mbok Millah, duduk dekat pintu belakang, menunggu ibunya datang. Pada menit-menit itulah sekelompok tentara dipimpin Pembantu Letnan Satu (Peltu) Mukijan dari Brigif 1 Kodam Jaya dan Sersan Raswad segera masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Pintu tidak dikunci, karena Nyonya Yayuk Achmad Yani, biasanya akan pulang sekitar subuh hari.
Anggota pasukan Tjakrabirawa masuk ke dalam rumah dan langsung menanyakan kepada pembantu rumah tangga keluarga Jenderal Yani. Pasukan yang mengepung rumah Jenderal Yani terdiri dari satu peleton dari Brigif 1 Kodam Jaya, saru regu dari Resimen Tjakrabirawa, satu peleton dari Yonif 454 Kodam Diponegoro, satu peleton dari Yonif 530 Kodam Brawijaya, satu regu daru AURI, dan regu sukarelawan Pemuda Rakyat PKI.
Anak bungsu Jenderal Yani diminta membangunkan bapaknya dengan alasan dipanggil Presiden di istana. Edi pun membangunkan ayahnya.
“Ada apa?” tanya Achmad Yani kepada pasukan Tjakrabirawa, pengawal Presiden Sukarno yang masuk ke dalam rumahnya.
“Siap, Jenderal. Bapak diminta menghadap Presiden Sukarno sekarang juga!”
“Loh acaranya kan jam 7, bukan pagi-pagi begini.” Yani memang sudah dijadwalkan menghadap Presiden sekalian mengajak Panglima Kodam Brawijaya Mayjen Basuki Rachmat untuk melaporkan Tindakan PKI yang merusak kantor Gubernur Jawa Timur. Yani juga sudah punya firasat akan dicopot dari jabatan panglima Angkatan Darat, hari itu juga.
“Tetapi jenderal harus berangkat detik ini juga, karena jenderal sedang ditunggu Bapak Presiden,” jawab salah seorang anggota Tjakrabirawa.
Yani menjawab,” Paling tidak saya harus mandi dulu!”
“Tidak perlu, Jenderal. Di istana juga ada kamar mandi. Bila perlu dengan pakaian piyama saja. Jenderal bisa berangkat bersama-sama kami.”
“Kau prajurit, tahu apa?!” tegas Yani sambal meninju wajah sang prajurit, sehingga jatuh terkapar.
Yani pun berbalik masuk ke ruang makan dan menutup pintu. Saat itulah Sersan Raswad memerintahkan Sersan Gijadi. “Tembak dia!” Gijadi pun langsung memberondongkan senjata Thomson. Tujuh peluru menembus pintu, menerpa punggung Panglima Angkatan Darat. Jenderal Yani roboh bersimbah darah di ruang makan.
Suara tembakan itu membangunkan anak-anak sang jenderal. Indriyah Ruluati Yani (Ruli), Herliah Emmy Yani (Emmy), Amelia Yani, Elina Elastria Yani (Elina atau Juwita), Widna Ani Yani (Nanik), Reni Ina Yuniati Yani (Yuni), serta Untung Mufreni Yani (Untung), berhamburan ke ruang makan. Sedangkan si bungsu Edi bersembunyi di bawah mesin jahit. Delapan anak Jenderal Yani menjadi saksi, ayahnya ditarik kakinya dengan posisi kepala di bawah membentur lantai dan jalan aspal.
Yani yang masih mengenakan piyama biru diseret dan dilempar ke dalam mobil truk yang sudah disiapkan pasukan pemberontak. “Ayo masuk semua, kalau tidak saya tembak,” kata Amelia Yani, putri ketiga jenderal A Yani, menceritaka peristiwa kelam yang menimpa ayahandanya pada 1 Oktober 1965, subuh hari.
Ia menceritakan sejarah kelam itu kepada wartawan senior dan akademisi, Selamat Ginting, akhir Oktober 2021 lalu. Sambil terbata-bata dan berkaca-kaca, Amelia mengisahkan kepedihan serta catatan dalam buku harian Jenderal A Yani.
“Bapak memang tegas menolak komunis. Jadi tidak setuju dengan Nasakom. Bapak masih bisa terima jika kata kom (komunis) diganti dengan sosialisme Indonesia, seperti sila kelima Pancasila,” ujar Amelia, sambil memperlihatkan catatan goseran pena Achmad Yani, jenderal bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 174 cm dan berat sekitar 74-75 kg.
Ikuti bincang-bincang dengan Amelia Yani di channel youtube: SGinting Official (Bagian ketiga). Tulisan di website dirangkum penulis dari berbagai sumber.