Murahnya Nyawa di Negeri +62 Ini

By Tony Rosyid

Jakarta FNN- Rabu (25/03). Tahun lalu, 700 lebih petugas pemilu mati. Belum sempat hilang dai ingatan kita, sejumlah pendemo juga mati. Dan kini, 56 orang mati. Kali ini karena covid-19. Day to day angkanya terus naik. Bukan satu, tapi bisa sampai puluhan per hati.

Kepada siapa rakyat berharap pertolongan? Kepada Tuhan, kata para agamawan. Itu pasti! Itu juga pasrah namanya. Apakah kalau sudah pasrah persoalan jadi selesai? Tidak juga. Karena tak ada yang tahu pasti bagaimana mekanisme takdir itu berjalan. Yang pasti, justru jumlah positif Covid-19 terus bertambah. Kemarin (24/3) ada 686 yang positif. Dan akan terus bertambah setiap harinya. Begitu juga dengan yang mati. Mungkin diantara mereka ada yang anda kenal.

Banyak pihak mempertanyakan akurasi angka positif Covid-19 di Indonesia. Minimnya peralatan dan lambatnya penanganan membuat asumsi bahwa jumlah orang yang terinfeksi jauh lebih besar dari data yang diumumkan. Kecurigaan ini muncul dari jumlah kematian di atas delapan persen. Padahal, rate-mortality global hanya sekitar empat persen.

Kalau saja kematian akibat covid-19 di Indonesia dibuat rata-rata empat persen, maka berarti jumlah orang yang positif Covid-19 sudah di atas 20.000 orang. Mereka tak terdeteksi, karena mungkin tak ada gejala yang nampak. Hanya 15% saja yang terdeteksi. Sisanya 85% lagi berkeliaran dan melakukan kontak sosial di luar sana.

Sebagian besar rakyat sekarang panik. Itu pasti. Dalam situasi seperti ini, mereka penuh harap kepada pemerintah. Sebab di tangan pemerintah ada kebijakan dan fasilitas yang bisa digunakan untuk menyelamatkan nyawa rakyat.

Harapan seperti ini wajar dan wajar. Anda yang pilih orang-orang itu untuk menduduki posisi di pemerintahan. Anda juga telah menititipan pajak anda kepada mereka. Tugas mereka melayani anda? Termasuk membantu anda selamat dari covid-19?

Pemerintah sudah bergerak. Tapi sayang, sangat lambat dan sangat lambat. Terengah-engah. Gagap, dan kelihatan sangat nggak siap. Diantara faktornya, karena pemerintah mengawali dengan asumsi dan sikap yang salah. Menganggap covid-19 nggak akan masuk ke Indonesia.

Covid-19 nggak bisa masuk karena nggak ada ijinnya. Covid-19 sirna oleh doa qunut. Nasi kucing dan empon-empon membuat orang Indonesia kebal dari Covid-19. Enjoy aja, dan lain-lain. Ini sikap nggak ilmiah dan terlalu gegabah. Gak pantas keluar dari otak para pejabat publik. Sekarang kena batunya.

Sebagai akibatnya, jumlah korban dan kematian makin kencang angkanya. Jauh meninggalkan langkah pemerintahan kita. Pek.. Pek.. Pek... Pek... Pek... Korban berjatuhan. Dan pemerintah terlihat masih sibuk ngardusin APD (Alat Pelindung Diri) di tengah kematian puluhan anak bangsa ini.

Katanya impor, kok ada yang tertulis di kardus Made In Indonesia? Yang ini jangan disoal lagi! Diem aje luh! Yang penting barangnya sudah ada. Itu bagian dari langkah serius. Mesti kita support dan apresiasi. Saatnya bangsa ini kompak menghadapi ujian bersama.

Rakyat berharap-harap cemas. Ingin pemerintah pusat melakukan langkah-langkah yang lebih cepat lagi. Lebih tepat lagi dan lebih terukur. Apa itu misalnya?

Pertama, ijinkan daerah, khususnya epicentrum covid-19 melakukan lockdown lokal. Lebih baik terlambat, dari pada tidak sama sekali. Ini situasi darurat! Jakarta misalnya, jumlah positif Covid-19 yang terparah. Angka yang meninggal terus naik signifikan. Gubernur minta warga DKI diam di rumah. Konsekuensi ekonominya, Gubernur siapkan bantuan Rp 1,1 juta untuk warga miskin Jakarta. Nganggur di rumah, digaji. Pemerintah Pusat mesti ikut bantu.

Dana dari mana? Ambil dari anggaran kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya. Pakai dulu dana yang akan digunakan untuk promosikan Ahok di Ibu Kota Baru. Bila perlu, para taipan paksa untuk bantu. Tiru Tommy Winata (TW) yang sudah memberi contoh bantuan. Yang lain, jangan malah lari ke Singapore. Kalau langkah ini dilakukan, masyarakat akan stay di rumah. Nggak keluyuran ke mana-mana.

Tugas aparat keamanan adalah menertibkan warga yang masih jalan-jalan keluar rumah, dan beraktifitas di tempat keramaian. Kecuali untuk keperluan-keperluan urgent sesuai kriteria yang ada di peraturan. Hentikan transportasi publik. Stop KRL, MRT, LRT dan tutup Stasiun Busway.

Jika lockdown lokal di Jakarta diputuskan, dan Pemerintah Pusat ikut menyiapkan bantuan logistik, maka program social distancing berjalan. Yang keluyuran keluar, tangkap. Tidak lagi imbauan, tetapi tegakkan aturan dengan tegas.

Kedua, lakukan test massal kepada mereka yang dinyatakan ODP dan PDP. Semuanya, tanpa terkecuali. Pastikan mereka positif atau negatif. Jangan biarkan mereka berkeliaran dan melakukan interaksi dengan orang lain tanpa kejelasan status.

Australia telah melakukan test massal sebanyak 80 ribu orang. Korea Selatan melakukannya terhadap 250 ribu orang. Jakarta? Atas bantuan alat test dari Yayasan Buddha Tzu Chi akan melakukan test massal sebanyak 100 ribu orang. Sebanyak 250 orang sudah dimulai di Jakarta Selatan. Daerah lain? Mestinya pemerintah pusat menyiapkan alat test, tenaga medis dan biaya yang cukup untuk melakukan test massal ini. Karena tidak semua daerah berkemampuan seperti Jakarta.

Ketiga, siapkan ruang isolasi yang cukup, beserta tenaga medis yang memiliki kelengkapan peralatan sesuai standar kesehatan. Sehingga, tak ada satupun calon pasien yang ditolak di rumah sakit dan meninggal di jalanan. Pastikan mereka terlayani dengan cepat dan tepat. Isolasi ODP dan PDP. Jauhkan mereka dari interaksi dengan orang lain.

Langkah-langkah ini menjadi pilihan yang tidak bisa dikesampingkan. Harus diambil secepatnya. Nggak ada kata terlambat. Jika tidak, kedepan kita akan semakin sering menyaksikan orang-orang jatuh di jalan, pek...pek... pek... langsung mati. Disitulah kita baru sadar, betapa gelombang badai Covid-19 telah membuat nyawa di negeri +62 ini begitu murah. Itu kemungkinan terjadi setelah banyak kolega kita mati karena lambatnya penanganan dari negara.

Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

765

Related Post