Pak Jokowi Yang Semakin Goyah?
by M. Rizal Fadillah
Jakarta FNN – Senin (17/08). Sejak pelantikan, Presiden Jokowi terus-menerus menerima pukulan. Serangan itu, baik dari pendukung Prabowo sebagai pesaing, maupun dari lingkungan internal yang kecewa, dan tak puas dalam menikmati kue kemenangan. Isu kecurangan terus digaungkan meskipun telah mendapat legalitas dari Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan kubu Prabowo.
Agak tenang setelah memberi jabatan Menhan kepada Prabowo yang "sok ksatria". Prabowo juga sok berlaga seolah-olah demi persatuan bangsa, sehingga bersedia menjadi "pembantu" Presiden. Kekecewaan para pendukung sangat nyata sampai tidak sedikit yang menggelarinya sebagai "ayam sayur" atau "bermental kacung".
Ada pula yang menyebut Prabowo sang macan telah berubah menjadi meong, bahkan cebong. Sementara yang lain menyebutnya sebagai mancan sirkus. Macan hanya untuk menjadi mainan sirkus. Tidak lebih dari itu. Dijanjikan seolah-olah Prabowo akan diberikan kewenangan yang melebihi para jendral pendukung pendukung Jokowi dari awal.
Prabowo juga dijanjikan bakal diberikan jabatan Wakil Presiden menggantikan KH, Ma’ruf Amin di tahun pertama pemerintahan berjalan (FNN.co.id, senin 10 Agustus 2020). Rencana tersebut diulas dengan sangat gamblang oleh Wartawan Senior FNN, Tjahya Gunawan dan Pemerhati Politik dan Kebangsaan, Tony Rosyid, juga di Portal Berita FNN di hari yang sama.
Sekarang kebijakan pemerintahan Jokowi yang oligarkhis dan otoriter mulai ditunjukkan. Diawali dengan revisi UU KPK yang meski sebagai inisiatif DPR, tapi semua tahu siapa yang berniat melumpuhkannya. Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan besar itu berada di bawah "kendali" Presiden. Begitu juga para staf KPK yang diberi status ASN. Mahasiswa melakukan aksi dan perlawanan yang keras. Ini merupakan pukulan awal.
UU Minerba, RUU Omnibus Law, serta rencana pemindahan ibukota telah menuai protes. Buruh dan elemen rakyat lainnya berunjuk rasa. Masyarakat menolak dengan keras kebijakan yang ngaco, ngawur dan amburadul tersebut. Setiap produk dari kebijakan Jokowi selalu mendulang kritik, dan protes. Diantaranya unjuk rasa masyarakat, mahasiswa dan buruh.
Penolakan tersebut karena kualifikasi manajerial dan kompetensi kepemimpinan lainnya yang lemah dan "ugal-ugalan". Akibatnya, membuat kebijakan yang jauh dan tidak berpedoman pada tujuan serta cita-cita para pendiri bangsa. Padahal cita-cita dan tujuan bernegara itu dapat dibaca dengan sangat jelas di alinea ke empat pembukaan UUD 1945.
Pukulan demi pukulan didaratkan kepada pemerintahan Jokowi. RUU HIP dan RUU BPIP adalah cukup telak. Pidato dengan berbaju adat yang "tak nempat" pun dipersoalkan. Terasa bagaikan sebuah karnaval anak-anak Taman Kanak-Kanak. Isi pidatonya yang menuduh agar jangan "sok agamis dan Pancasilais" melayang tak jelas. Padahal dahulu Jokowi sendiri yang menyatakan dengan lantang "Saya Pancasila". Jejak digitalnya masih ada.
Pidato karnavalnya itu bicara juga soal memberantas korupsi. Orangpun tertawa terbahak-bahak mendengarkannya. Ketika optimisme digembor-gemborkan, maka rakyat tak percaya pada ramalan yang tak berbasis fakta. Beda tipis antara prediksi dengan halusinasi. Pak Jokowi sedang berhalusinasi. Pandangan myopsis dari Presiden yang diduga tertekan atau stress.
Para tokoh nasional yang berhimpun dalam Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) merasa prihatin dengan kinerja buruk Pemerintahan Jokowi sebagai fenomena baru. Maklumat "Tugu Proklamasi" yang akan dibacakan menjadi "palu godam" yang dapat saja membuat Jokowi bertambah goyah.
Bila saja Pak Presiden masih dapat berdiri. Namun posisi berdirinya sudah tidak ajeg lagi, tetapi malah bergerak-gerak "sempoyongan". Kalau sudah begitu, Pak Jokowi, sebaiknya Bapak mundur saja deh. Kurang baik kalau dimundurkan oleh rakyat.
Kalau Pak Jokowi mundur dengan sukarela, maka rakyat pasti akan senang dan bahagia. Rakyat akan berterimakasih atas pengorbanan Bapak yang telah memberikan "kado ultah 75 tahun RI" untuk rakyat. Pekik rakyat atas turunnya Bapak..Merdeka...!
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.