Penguatan DPD Mendorong Amandemen Komprehensif

Sebagai anak kandung reformasi, DPD lahir dari komitmen kita membangun demokrasi yang lebih baik, meninggalkan sentralisme pembangunan menuju desentralisme. Sebagai kanal aspirasi daerah, DPD diharapkan berperan optimal memperjuangkan kepentingan daerah.

Oleh: Tamsil Linrung

TANGGAL 1 Oktober 2021, tepat 17 tahun usia Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejuta ungkapan filosofis biasanya diurai menyambut usia ini. Tapi, kita tak butuh itu. Yang lebih urgen dilakukan adalah bagaimana merefleksi sejarah perjalanan DPD demi pembenahan fundamental. Kita tak akan pernah berubah menjadi lebih baik bila tidak menyadari jatidiri sendiri.

Sepanjang hayatnya, DPD seperti ada dan tiada. DPD ada karena eksistensi lembaganya. DPD tiada karena lembaga legislatif ini justru tidak terkoneksi pada ranah pengambilan keputusan legislasi nasional. Ini tragis, lebih dari sekadar menyedihkan. Bagaimana mungkin sebuah lembaga tinggi negara tidak memiliki otoritas terhadap fungsi dasarnya?

DPD mengembang amanah demokrasi. Lembaga ini adalah simbol kekuatan otonomi daerah, kekuatan demokratisasi kita. Di sanalah desentralisasi mekar. Di sanalah kepentingan daerah diperjuangkan agar terakomodir dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan nasional.

Namun, di sana pula relasi ketatangeraan kita terlihat pincang. Sebagai lembaga legislatif, DPD wajib mengembang optimalisasi check and balances, di samping menjalankan fungsi-fungsi legislasi. Namun, sulit mengoptimalkan mekanisme check and balances ini dalam situasi kewenangan yang tidak sebanding dengan kewenangan lembaga tinggi negara lainnya.

Untuk membenahinya, tak ada jalan lain kecuali berpulang kepada perubahan konstitusi. Kita tahu, konstitusi bukan kitab suci yang final dan mengikat. Terbuka peluang mengoreksinya demi perbaikan bangsa ke depan.

Untuk kepentingan itu, kelompok DPD di MPR tengah menfinalisasi usul perubahan kelima UUD 1945. Sejumlah gagasan yang mengedepan, muncul sebagai respon DPD atas kebutuhan kontitusional negara yang semakin kompleks, selain menjawab tuntutan masyarakat daerah yang ingin DPD diperkuat.

Kelompok DPD berpendapat, amandemen UUD 1945 sebaiknya komprehensif, tidak parsial. Kelompok DPD menyadari persis kelemahan DPD. Namun, perbaikan konstitusi harus memotret kelemahan-kelemahan konstitusionalitas kita secara luas.

Setidaknya ada empat hal yang akan diusulkan. Pertama, revitalisasi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Pasca empat kali amandemen, Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditiadakan. Peniadaan tersebut mengakibatkan pelaksanaan pembangunan tidak lagi sepenuhnya dalam koridor arah dan visi besar bangsa.

UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang disahkan guna mengatasi bolong itu, nyatanya tidak mampu mengintegrasi pembangunan secara nasional. Pembangunan yang dilakukan lebih dominan ditentukan oleh visi dan misi presiden yang, sayangnya, seringkali politis.

Kedua, penataan kewenangan MPR. Gagasan ini bukan ide baru karena telah muncul dalam rekomendasi MPR 2014 – 2019. Namun, saat ini penguatan kewenangan MPR menemukan momentum paling tepat sebagai konsekuensi usulan PPHN di atas. Bila kita bersepakat mengatur PPHN dalam UUD 1945, tentu konsekuensi logisnya harus ada lembaga negara yang berwenang menyusun dan menetapkan PPHN. Di sinilah urgensi penambahan kewenangan MPR, yakni menetapkan haluan negara yang akan menjadi pedoman pembangunan bagi penyelenggara negara dalam merencanakan dan merealisasikan pembangunan.

Ketiga, penataan kewenangan DPD. Sebagai anak kandung reformasi, DPD lahir dari komitmen kita membangun demokrasi yang lebih baik, meninggalkan sentralisme pembangunan menuju desentralisme. Sebagai kanal aspirasi daerah, DPD diharapkan berperan optimal memperjuangkan kepentingan daerah.

Selama ini DPD berusaha bekerja sebaik mungkin di tengah belenggu kewenangan yang terbatas. Bila kewenangan ini dikuatkan secara proporsional, upaya-upaya konstitusionalitas DPD dipastikan akan lebih baik. Lagi pula, kewenangan yang berimbang dengan kedudukan dan fungsi DPD adalah hak konstitusional DPD yang semestinya tidak dikebiri oleh konstitusi.

Penguatan fungsi dan kewenangan DPD semakin menemukan urgensinya bila dikaitkan dengan gagasan PPHN. Sebagai anggota MPR, kedudukan DPD setara dengan DPR. Namun fungsi dan kewenangannya yang tidak berimbang dapat mereduksi dialektika politik yang sehat antara DPR dengan DPD.

Oleh karena itu, revitalisasi PPHN harus disertai penguatan kewenangan DPD, agar check and balances menjadi kuat dalam perumusan, perencanaan, dan implementasi PPHN. Juga agar kepentingan daerah dapat diperjuangkan untuk sebesar-besarnya diakomodir dalam PPHN.

Keempat, calon presiden dan wakil presiden perseorangan. Selama ini pengusung calon presiden dan wakil presiden mutlak melalui partai politik. Tidak tersedia mekanisme atau saluran politik lain bagi anak bangsa yang memiliki potensi namun tertolak oleh partai politik. Kita tahu, musabab penolakan itu bisa bermacam-macam. Ya politik, pragmatisme, dan lain-lain.

Situasi itu jelas mencedarai demokrasi, memancung prinsip dasar perwujudan hak politik rakyat dan asas kedaulatan rakyat. Presiden perseorangan adalah upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik rakyat untuk berkompetisi dan berkontribusi bagi kemajuan bangsa.

Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol. Misalnya saja, bila calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test. Soal-soal teknis seperti ini bisa diatur di tingkat UU di kemudian hari.

Empat substansi usul perubahan konstitusi tersebut adalah yang berkembang di DPD hingga saat ini. Keseluruhannya adalah materi muatan konstitusi karena terkait dengan penataan kelembagaan negara, baik wewenang maupun pengisian jabatan. Kelompok DPD sebagai bagian dari MPR, secara konstitusional memiliki wewenang mengajukannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD NRI 1945.

Kini, yang menjadi pekerjaan rumah bagi Kelompok DPD adalah menggalang penambahan dukungan guna memenuhi syarat minimal pengajuan usul amandemen UUD 1945. Ini akan diperjuangkan demi persembahan kami untuk ulang tahun ke-17 DPD RI. Dirgahayu.

Penulis adalah Ketua Kelompok DPD di MPR

242

Related Post