PTDI dan Bangkitnya Industri Pesawat Terbang Nusantara
by Delianur
Jakarta FNN – Sabtu (04/07). Bagi masyarakat Indonesia, khususnya warga Bandung, yang hidup di era 80-an, pasti familiar dengan nama PT Nurtanio. Yang kemudian berubah menjadi PT IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara). Pada zaman ketika istilah BUMN belum dikenal publik, menjadi pegawai IPTN adalah angan-angan kebanyakan orang. Apalagi anak muda.
IPTN sendiri memang memenuhi syarat menjadi idaman banyak orang dalam membangun karir. Perusahaan negara ini bukan hanya dipimpin oleh orang yang mempunyai kedekatan khusus dengan Presiden, tetapi juga menjadi salah satu perusahaan pijakan utama Presiden dalam membangun Indonesia masa depan.
Tidak aneh bila pemerintah memberikan dukungan penuh. Pada masa Indonesia sedang menghadapi booming dengan harga minyak. Juga pada saa kekuasaan eksekutif yang begitu besar, pastinya sulit untuk membayangkan di kemudian hari perusahaan ini akan dinyatakan pailit. Apalagi Di luar sisi politis diatas, IPTN juga mempunyai brand image sangat positif di tengah masyarakat.
Pekerjaan utamanya meneliti dan memproduksi pesawat terbang. Ini adalah kerja yang berkaitan dengan kecerdasan dan kepintaran. Di tengah masyarakat agraris, hanya segelintir orang yang bisa mengerti teknologi kedirgantaraan. Karenanya hanya orang pintar dan cerdaslah yang dianggap bisa menjadi bagian dari perusahaan ini.
Terlebih Habibie yang menjadi penggagas dan pemimpin IPTN juga adalah figur yang jenius bidang teknologi. Karenanya, lengkaplah kelebihan IPTN dibanding perusahaan lain. Secara finansial terjamin karena menjadi perhatian negara yang sedang digdaya secara ekonomi dan politik.
IMF Minta IPTN Dilepaskan
Secara reputasi sangat meyakinkan. Karena berkaitan dengan kecerdasan dan teknologi masa depan. Terlebih ketika IPTN berhasil membuat pesawat rancangan dan produksi sendiri pertama pada 1995, jenis N250 Gatot Kaca. Namun sayang. Sebagaimana diketahui, keunggulan utama itu jatuh seketika. Keunggulan politis dan reputasi IPTN yang bergerak dalam teknologi terkini dan tercanggih, sirna.
Awalnya adalah krisis moneter di beberapa kawasan pada tahun 1997, yang juga menyeret Indonesia. Krisis ini bukan hanya membuat harga-harga melambung tinggi, tetapi juga membuat keuangan negara terkuras. IPTN yang keberadaannya selama ini ditopang pemerintah, pastinya mengalami imbasnya.
Namun itu ternyata baru awal. Ketika permohonan bantuan ke IMF menjadi solusi utama, IPTN menghadapi krisis yang lebih serius. Sebab IMF menyatakan bahwa untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia, maka proyek dirgantara berbiaya tinggi seperti IPTN harus segera dilepaskan dari tanggungan negara. Resep IMF ini mau tidak mau mesti diikuti.
Permintaan dan ususl IMF merupakan bagian dari kesepakatan pinjaman yang akan diberikan IMF ke Indonesia. Puncaknya adalah ketika Presiden Soeharto mundur pada tahun 1998. Presiden yang selama ini membanggakan IPTN dan memberi banyak privillege ke IPTN, tidak berkuasa lagi.
Namun kejatuhan IPTN bukan hanya berkaitan dengan dukungan politik dan ekonomi yang hilang seketika. Tetapi juga arah perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang bergerak di luar dugaan. Sebelumnya orang menganggap bahwa teknik dan mesin adalah masa depan. Karenanya IPTN yang bergerak di bidang ini, sangat strategis. Tetapi ternyata tidak seperti itu.
Untung 2019 U$ 10,5 Juta Dollar
Berawal dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, yang sejak tahun 1996 yang mengembangkan proyek Advanced Research Project Agency Network (ARPANET). Sebuah proyek pembuatan sistem jaringan komputer untuk menghubungkan daerah-daerah vital. Tujuannya untuk kelancaran distribusi informasi dan komunikasi.
Proyek APRANET ini awalnya hanya menghubungkan empat situs saja, yaitu Stanford Research, University of California, Santa Barbara, dan University of Utah. Namun ternyata proyek ini berkembang sangat pesat. Semua universitas di Amerika ingin bergabung dengan proyek ini.
Projek jarigan inipun dibagi dua. Milnet untuk keperluan militer, dan Arpanet untuk kepentingan universitas-universitas. Gabungan keduanya diberi nama Darpa Internet yang kemudian disederhanakan dengan sebutan internet. Sampai akhirnya internet diperkenalkan ke public. Maka internet bukan hanya menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari, tetapi juga kehidupan masa depan.
Dalam dunia internet, masa depan adalah informasi dan data. Algorithma, Big Data, Artificial Intellegence adalah harapan kehidupan masa depan. Akselerasi manufaktur ke depan, bukan hanya bertopang pada temuan bidang mesin.Tetapi pada pengelolaan data.
Masa depan itu bukan Teknologi Dirgantara dengan mesin dan teknik sebagai instrumen utama. Tetapi teknologi informasi dengan Data Sciencenya. Bekerja di PT Telkom atau membuat start up, terdengar lebih seksi dan bereputasi ketimbang bekerja di PT Dirgantara Indonesia. Nama baru IPTN setelah krisis moneter.
Namun entah bagaimana, bila kita melihat catatan keuangan yang tersebar di media, PT Dirgantara Indonesia (PTDI) ini bisa pulih. Meski rugi hingga Rp. 3,92 triliun dengan ekuitas negatif Rp. 14,67 miliar pada 2007. Sejak tahun 2009 sampai 2014 PTDI memperoleh kontrak Rp. 18,95 Triliun dan penjualan Rp 13,97 triliun, yang terdiri dari kontrak dengan pemerintah, 70%, dan non-pemerintah luar negeri 30%.
Karenanya di akhir tahun 2014, PTDI mendapat laba sebesar U$ 19,3 Juta dolla atau setara dengan Rp. 250 milyar. Meskipun perusahaan dirgantara global terus meningkat. Terakhir tahun 2019 dinyatakan bahwa pendapatan perseroan naik hingga U$ 259,7 juta dollar, sehingga bisa menghasilkan laba bersih U$ 10,5 juta dollar atau setara dengan Rp. 150 miliar.
Bangkit dan Luncurkan N-219 Nurnatio
Puncak kebangkitan PTDI sepertinya terlihat ketika perusahaan negara ini berhasil launching pesawat terbarunya “N-219 Nurtanio”. Sebuah pesawat komersial yang serbaguna. Bisa membawa 19 penumpang dan juga kargo serta terbang dan mendarat di landasan pendek. Sangat cocok beroperasi untuk negara seperti Indonesia yang memiliki banyak pulau dan daerah terpencil.
N-219 Nurtanio sendiri bukan hanya sangat penting bagi PTDI. Tetapi juga bagi industri pesawat terbang nusantara. Karena industri dirgantara meyakini bahwa memproduksi pesawat komersil akan menjadikan perusahaan lebih stabil dan mendapat keuntungan yang lebih besar.
Keuntungan besar untuk pesawat komersial, ketimbang hanya menerima dan mendapat kontrak kerja dengan militer atau sub kontraktor perusahaan dirgantara dunia. Seperti yang sudah ditunjukan oleh dua raksasa dirgantara dunia Airbus dan Boeing. Terlebih lagi design dan produksi N-219 Nurtanio semuanya dilakukan oleh orang Indonesia.
Bila kita membaca catatan perjalanan PTDI setelah kebangkrutan, sepertinya kita memang harus memberikan kredit point kepada direksi dan pegawai PTDI hasil restruksasi pasca krisis moneter. Perusahaan ini sempat dicibir karena menerima kontrak pekerjaan pembuatan panci. Namun dibalik itu, sebetulnya terlihat ada semangat kebangkitan yang luar biasa besar dan membaja.
Itikad untuk memulai kembali dari dasar, dengan mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Sampai-sampai harus mengerjakan sesuatu yang tak pernah terbayang sebelumnya, yaitu memproduksi panci. Semua menjadi tekad kuat untuk bangkit, bangkit dan bangkit. Hanya itu yang melekat pada seluruh personil PTDI ketika itu, sehingga bisa mencetak labah bersih 2019 lalu.
Hal yang paling menarik adalah ketika PTDI launching N-219 Nurtanio pada tahun 2017 lalu. Sebagaimana disebut sebelumnya, bahwa memproduksi pesawat komersial adalah tujuan besar sebuah pabrik pesawat. Karena dengan memproduksi pesawat komersil, perusahaan akan lebih stabil dan maju.
Tidak lagi mengandalkan pekerjaan sebagai sub kontraktor dari Kementerian Pertahann tertentu. Karenanya memproduksi pesawat berpenumpang kecil seperti N-219 Nurtanio, adalah langkah awal untuk masuk ke pembuatan perusahaan komersial yang berkapasitas lebih besar lagi.
Namun dalam rancangan dan pembuatan pesawat baru bukanlah proses satu daua tahun, tetapi lebih dari lima tahun. Menurut wikipedia, ide N-219 dimulai pada tahun 2003. Bagian dari pembenahan yang berjalan sampai lima tahun ke depan. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi beberapa lini produk seperti CN-212, NAS-332 Super Puma, BO-105 dan Bell 412. Proyek ini juga diharapkan membuka kerjasama antar negara Asia Tenggara.
Jadi, ketika orang mencibir PTDI karena sudah mendegradasi dirinya dari pabrik pesawat terbang yang bernuansa hi-tech dengan memproduksi panci yang tidak ada kandungan teknologinya. Pada saat yang bersamaan PTDI ternyata sedang merancang masa depan.
Merencanakan untuk membuat pesawat baru dengan rancangan dan produksinya dilakukan sendiri. Jadi, bila PTDI sebelumnya lekat dengan figur Almarhum B.J Habibie yang ambisius dan suka bergerak cepat, sekarang PTDI seperti berjalan lambat, tapi pasti. Mungkin karena ini juga Almarhim B.J Habibie sempat gemas dan nyeletuk kalau N-219 itu pesawat maianan.
Namun bila PTDI berhasil berbenah seperti sekarang, maka dia tidak hanya berhasil membangkitkan kembali industri dirgantara nasional. Namun juga menyambut ide Almarhum B.J Habibie tentang R-80. Sebuah pesawat baling-baling yang mampu membawa 80-90 penumpang untuk penerbangan dan landasan jarak pendek.
Pesawat jenis R-80 bukan hanya dibutuhkan oleh negara seperti Indonesia. Tetapi juga negara-negara Arika dan Amerika Latin. Meskipun baru direncanakan mulai terbang pada tahun 2022, pesawat ini sudah dipesan sebanyak 155 unit, sehingga dianggap sebagai proyek yang sangat prospektif.
Bila PTDI bisa sinergi dengan proyek R-80, maka industri dirgantara nasional kita akan terus melangkah lebih jauh ke depan. Masuk ke pembuatan pesawat komersil, dengan terus membuat pesawat komersil berspesifikasi lebih besar.
Penulis adalah Pemerhati Sosial Kemasyarakatan, Tinggal di Bandung