Sindikat Batubara Bikin Kantong Pemerintah Kerontang
by Salamuddin Daeng
Jakarta FNN – Sabtu (15/08). Batubara telah menjadi penopang utama Pemerintahan Jokowi sejak pertama menjabat Presiden 2014 lalu. Ini sumber uang terpenting yang menopang kekuasaan hingga pemilihan presiden tahun 2019 lalu. Meskipun presiden telah menandatangani kesepakatan perubahan iklim COP 21 Paris, namun batubara masih ditempatkan digaris depan sebagai penopang uang penguasa.
Publik sudah mengingatkan bahwa kantong penguasa akan kering jika tetap bersandar pada batubara. Bahkan Bank Dunia dalam laporanya “The Long Road To Recovery” menggambarkan bahwa sandaran penguasa Indonesia pada batubara berbuah petaka. Ada tiga penyebab petaka tersebut.
Pertama, sandaran ekspor batubara Indonesia pada Tiongkok menjadikan Indonesia tersandera pelemahan ekonomi Tiongkok. Kedua, serangan perang dagang USA Vs Tiongkok dan covid 19 telah membuat Indonesia kehilangan pasar batubara. Harga batubara juga rontok lebih dalam, sementara covid sendiri akan berlangsung lama.
Ketiga, bersandarnya penguasa Indonesia pada batubara itu telah menyimpang dari kesepakatan penyelamatan lingkungan global yang telah ditandatangani Indonesia. Kesepakatan perubahan iklim COP 21 ditandatangani di Paris Francis.
Dalam laporan Bank Dunia tersebut digambarkan bahwa nilai ekspor minyak dan gas, serta komoditas mentah lainnya, seperti batubara, sebagian besar mengalami kontraksi. Karena harga yang lebih rendah dikarenakan pelemahan ekonomi Tiongkok. Harga batu bara turun 28,9 persen yoy (Laporan Neraca Pembayaran, Q1 2020).
Perang dagang USA VS Tiongkok yang bermuara pada kesepakatan Fase Satu mengharuskan China untuk mengimpor lebih banyak produk manufaktur, pertanian, jasa, dan energi dari Amerika Serikat. Sebagai negara pengekspor komoditas, dan dengan China sebagai importir utama, ekspor Indonesia ke China terpengaruh oleh perjanjian ini.
Sementara batubara dan LNG merupakan komoditas ekspor utama. Masing-masing mencapai 53,7 persen dan 15 persen dari total ekspor pertambangan untuk tahun 2014-2018. Selama periode yang sama, China mengimpor 15,3 persen dari total impor batu bara dari Indonesia, sedangkan impor batu bara dari Amerika Serikat hanya menyumbang 1,6 persen dari total impor batu bara China.
Demikian pula China mengimpor 9,2 persen dari total impor gas alam cair (LNG) dari Indonesia. Sedangkan impor LNG dari Amerika Serikat hanya sebesar 2,6 persen. Untuk itu, masuk akal, dan tidak mungkin, bahwa China mengalihkan sebagian impor energinya dari Indonesia ke Amerika Serikat, terutama batu bara dan gas alam, untuk memenuhi komitmen kesepakatan perdagangan, terutama terkait dengan covid. Terjadi penurunan permintaan batubara dan gas alam domestik di Cina.
Selain itu, China adalah tujuan terbesar kedua untuk ekspor batubara Indonesia setelah India. Menyumbang sekitar 15,6 persen dari total ekspor batu bara Indonesia selama 2015–2019. Demikian pula, China adalah negara tujuan utama ketiga ekspor gas alam Indonesia, setelah Singapura dan Jepang.
Dengan kesepakatan perdagangan Fase Satu perang dagang China Vs USA, maka ekspor Indonesia ke China diperkirakan akan turun sebesar USD 1,4 miliar pada tahun 2020–2021. Ini sebagai akibat langsung dari perjanjian tersebut, dan bahwa gas dan batubara menyumbang hampir setengah dari penurunan ekspor yang diharapkan.
Selain efek pengalihan perdagangan dari Indonesia ke Amerika Serikat, kesepakatan perdagangan tersebut juga dapat memicu efek pengalihan investasi. Jika China mematuhi impor dari Amerika Serikat yang diatur dalam kesepakatan perdagangan untuk jangka panjang setelah 2021, investasi langsung di Indonesia dapat terganggu, terutama industri batubara dan LNG.
Investasi ke industri batubara merupakan 26 persen dari realisasi investasi sektor pertambangan dari 2015 hingga 2019. Demikian pula, investasi ke industri batubara menyumbang seperempat dari investasi China di Indonesia pada periode yang sama.
Menghadapi potensi permintaan China yang lebih rendah untuk batubara dan produk LNG Indonesia dalam jangka menengah, investor dapat memutuskan untuk mengurangi investasi di industri batubara dan LNG terkait masalah profitabilitas, yang mengarah pada prospek redup untuk industri batubara dan LNG Indonesia, menunggu tujuan ekspor pengganti baru.
Selanjutnya ekspor LNG Indonesia ke China berpotensi diturunkan sebesar U$ 434,8 juta (sekitar 12,3 persen dari ekspor gas alam Indonesia tahun 2019 ke China). Sedangkan ekspor batubara dapat turun sebesar U$ 233,2 juta (sekitar 7,4 persen dari ekspor batubara Indonesia tahun 2019 ke China) di 2020–2021. Perhitungan staf Bank Dunia berdasarkan USTR, WITS, dan IMF WEO.
Problem sangat krusial pemerintahan Jokowi adalah pelanggarannya terhadap konsesus internasional terkait perubahan iklim. Sebagaimana diketahui revisi yang baru-baru ini disetujui menjadi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara 2020 membawa resiko pada kredibilitas pemerintahan Jokowi.
Menurut bank dunia, revisi UU Minerba tersebut memberikan keleluasaan bagi perusahaan pertambangan untuk melakukan lebih banyak kegiatan eksplorasi. Juga menghilangkan segala batasan untuk melindungi ingkungan alam (ini termasuk penghilangan batas eksplorasi mineral lepas pantai).
Menurut bank dunia, meskipun strategi ini dapat menghasilkan keuntungan jangka pendek dalam kegiatan ekonomi secara nasional. Namun sangat berisiko memperburuk pencemaran sumber daya lahan dan air, deforestasi dan degradasi hutan besar-besaran. Selain itu konflik atas akses ke lahan dengan masyarakat lokal.
Perluasan produksi batubara-produk utama pertambangan di Indonesia tidak akan menjadi pertanda baik dengan tren permintaan global untuk energi bersih. Jika terus digunakan untuk produksi energi dalam negeri, akan semakin berkontribusi pada masalah polusi di Indonesia.
Pada saat yang sama kantong pemerintah kering kerontang. Sebagai akibat dari kehilangan sumber pendapatan dan kehilangan kepercayaan dari publik internasional.
Penulis adalah Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia.