Jokowi, Moeldoko, dan Lingkungan Istana Banyak Bangkai Politik

JAGAD politik sejak Ahad, 11 Juli 2021 kemarin ramai dengan pernyataan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko. Ia yang belum lama gagal membegal Partai Demokrat (PD) meminta agar lalat-lalat politik tidak mengganggu pemerintah.

Ia meminta masyarakat tidak pesimis dalam upaya keluar dari krisis Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). Dia meminta semua pihak agar tidak menjadi lalat politik.

Narasinya pun menggelikan. Ia meminta semua bersatu. Sebab, yang dibutuhkan sekarang adalah kebersamaan dalam menghadapi Covid-19.

"Saya mengingatkan semua pihak, janganlah menjadi lalat-lalat politik yang justru mengganggu konsentrasi," ucap Moeldoko tanpa menjelaskan siapa sosok lalat politik yang dimaksud.

Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) tersebut menegaskan, sejumlah pihak telah bekerja keras dalam penanganan pandemi ini. Mereka juga mempertaruhkan nyawa dalam peperangan melawan musuh tidak terlihat itu. Oleh karena itu, usaha tersebut jangan diganggu oleh pihak-pihak tertentu.

"Konsentrasi siapa? Mereka yang saat ini bekerja keras bahkan mempertaruhkan hidup, dia bekerja antara hidup dan mati. Para tenaga medis, para ASN saat ini telah bekerja keras untuk itu semua. Sekali lagi janganlah menjadi lalat-lalat politik yang mengganggu," tuturnya.

Ya, narasinya akhirnya menjual nama Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama para tenaga medis. Tidak jelas, maksudnya apa. Padahal, rakyat selama ini juga prihatin atas banyaknya tenaga medis yang gugur saat menangani pasien Covid-19.

Tidak jelas juga hubungan antara lalat politik dengan tenaga medis yang dia maksud, apalagi ASN. Akan tetapi, rakyat semua tahu ada menteri dan pejabat yang ngembat dana bantuan sosial.

Semua rakyat tahu, terutama kalangan oposisi tentang kelakuan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan kawan-kawan yang makan bangkai saudaranya sendiri. Mereka adalah gerombolan drakula dan gendoruwo yang menghisap darah rakyat. Jelas, kelakuan Juliari Batubara dan kawan-kawan ada hubungannya dengan penderitaan rakyat.

Lalu apa hubungan lalat politik dengan ASN dan tenaga medis? Siapa yang menjadi lalat politik itu? Bagaimana bentuk gangguan mereka? Semua tidak jelas.

Namun, jika merunut ke belakang, penanganan Covid-19 sejak awal kemunculannya yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020. Dua orang warga Depok, tertular dari Warga Negara Jepang yang tinggal di Malaysia.

Sewaktu mengumumkan saja pemerintah sudah tidak jujur. Awalnya, tidak dijelaskan di mana tertular. Akan tetapi, akhirnya ketahuan saat ketiganya berpesta di tempat dugem (dunia gemerlap) merayakan valentine day.

Saat corona makin mengganas Jokowi tidak mau melakukan lokcdown. Alasannya, menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi. Meskipun kenyataannya sekarang keduanya sama-sama hancur dan remuk.

Tidak hanya itu. Rakyat dilarang berkerumun, umat Islam dilarang shalat berjamaah di masjid (sempat masjid ditutup) khususnya di DKI Jakarta dan beberapa kota besar lain, umat Kristen dimarang ke gereja dan agama lain dilarang ke tempat ibadah masing-masing. Sementara Jokowi beberapa kali melakukan dan mengundang kerumunan massa.

Karyawan banyak terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dan sulit mendapatkan pekerjaan. Sementara pemerintah menggelar karpet kepada Tenaga Kerja Asing (TKA) China. Alasannya, tenaga mereka sangat dibutuhkan, dan mereka datang sudah dengan surat keterangan bebas covid-19.

Kok tenaga satuan pengaman, tukang las, dan bahkan tukang rumput harus didatangkan dari negara komunis itu? Kedatangan mereka sangat melukai hati rakyat, terutama pata pekerja yang di-PHK atau pencari kerja.

Kelakuan pejabat Indonesia, terutama Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan sangat melukai rasa keadilan rakyat. Akan tetapi, Luhut itu hanya tameng, karena semua itu atas perintah Jokowi. Luhut hanya menjabarkan visi dan misi Jokowi. Sebab, semua menteri tidak boleh punya visi dan misi, layaknya di negara komunis dan monarkhi atau kerajaan.

Banyak kelakuan Jokowi dan para menteri dan pejabatnya, termasuk komisaris dan direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melukai hati rakyat. Akan tetapi, mengapa Moeldoko malah menyebut lalat-lalat politik.

Lalat ada hubungannya dengan bangkai, sampah, dan bau tidak sedap lainnya. Rakyat sudah muak dan bosan dengan kelakukan rezim Jokowi. Mau bukti? Bisa dicek dalam pembicaraan di warung kopi, di pinggir jalan, kalangan tukang ojek, tukang becak.

Bahkan, sebagian besar ASN, TNI, dan Polri juga sudah tidak sabar melihat kenyataan di tengah rakyat. Hanya saja, mereka terutama TNI dan Polri tunduk pada atasan.

Lalat ada kaitan dengan bangkai, sampah dan bau tidak sedap lainnya. Lalat akan mengelilingi bangkai, tempat sampah dan bau busuk lainnya. Oleh karena itu, pantaslah rejim sekarang dicap sebagai rezim sampah, bangkai dan busuk.

Moeldoko dan sebagian lingkaran Istana, terutama Ali Ngabalin adalah sampah politik dan bangkai politik yang harus segera disingkirkan. Mereka lebih layak disebut bangkai politik ketimbang sampah politik.

Sebab, kalau sampah masih lebih terhormat. Walau sampah yang dikerubungi lalat, termasuk lalat hijau, tetapi sampai masih bisa didaur ulang menjadi pupuk, sampah pĺastik, kertas, dan karton misalnya, masih bisa ditampung pabrik, didaur ulang.

Nah, kalau bangkai hanya lalat yang mau. Itu pun tidak bertahan lama. Sebab, saat bersamaan lalat akan bertarung dengan belatung atau ulat, berebut bangkai binatang.

Sudahlah Moeldoko, Anda itu adalah bangkai politik yang tidak berguna. Ibarat bangkai binatang, bangkai politik itu sebentar lagi tidak berguna buat negara, bangsa dan rakyat.

758

Related Post