Kejaksaan Agung Proses Pemberhentian Pinangki Secara tidak Hormat
Jakarta, FNN - Kejaksaan Agung RI sedang memproses pemberhentian tidak dengan hormat jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai pegawai negeri sipil (PNS) setelah kasus hukumnya sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah.
"Saat ini pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS terhadap Dr. Pinangki Sirna Malasari dalam proses," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis, 5 Agustus 2021.
Ia mengatakan, surat pemberhentian Pinangki sebagai jaksa tersebut akan keluar dalam waktu dekat. Dasar pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) Pinangki berdasarkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 38 / Pid.Sus / 2020 / PN.Jkt.Pst. tanggal 08 Februari 2021 jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 10 / Pid.Sus / 2021 / PT.DKI tanggal 14 Juni 2021 atas nama terdakwa Pinangki Sirna Malasari yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
"Dalam waktu dekat akan dikeluarkan keputusan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS kepada yang bersangkutan," ujarnya.
Leonard menegaskan, Pinangki sudah tidak menerima gaji sebagai PNS kejaksaan sejak September 2020. Begitu juga dengan tunjangannya sudah diberhentikan sejak Agustus 2020.
Ia pun membantah adanya pemberitaan yang menyebutkan Pinangki masih menerima gaji selama persidangan kasus korupsi yang dijalaninya.
"Bersama ini kami luruskan materi pemberitaan 'tidak benar'. Kami sampaikan bahwa gaji Pinangki Sirna Malasari sudah tidak diterima (diberhentikan) sejak September 2020. Sedangkan tunjangan kinerja dan uang makan juga sudah tidak diterima lagi oleh yang bersangkutan (diberhentikan) sejak Agustus 2020," katanya.
Dia menyebutkan, Pinangki Sirna Malasari telah diberhentikan sementara dari jabatan PNS sehingga sudah tidak lagi berstatus sebagai jaksa sejak Agustus 2020. Pemberhentian sementara itu berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 164 Tahun 2020 tanggal 12 Agustus 2020.
"Perlu kami sampaikan bahwa berdasarkan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 164 Tahun 2020 tanggal 12 Agustus 2020, Pinangki Sirna Malasari telah diberhentikan sementara dari jabatan PNS dan secara otomatis yang bersangkutan tidak lagi sebagai jaksa," ujarnya.
Pemberitaan soal status PNS Pinangki Sirna Malasari yang masih belum diberhentikan diungkapkan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
Koordinator MAKI Bonyamin Saiman berharap dengan telah-nya kasus Pinangki, dan sudah dieksekusinya yang bersangkutan ke Lapas Kelas IIA Tangerang, otomatis segara dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat terhadap Pinangki. Hal itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
PP Nomor 53 Tahun 2010 itu, kata Bonyamin, menerangkan pemberhentian tidak dengan hormat seorang jaksa apabila dia melakukan pelanggaran hukum dan dihukum maksimal di atas 5 tahun.
"Jika tidak segera diberhentikan maka hak gaji masih bisa diterima oleh Pinangki. Jangan sampailah uang negara malah untuk memberikan gaji terhadap orang yang sudah dieksekusi dalam kasuskorupsi," ujarnya.
Pinangki Sirna Malasari merupakan terdakwa tindak pidana korupsi yang melibatkan buron kelas kakap Djoko Tjandra dan Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis Pinangki 10 tahun penjara. Selain itu, ia dihukum membayar denda Rp 600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada sidang banding Senin (14/6) memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun.
Dalam perkara ini, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana. Ia terbukti menerima suap sebesar 500.000 dolar AS dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra.
Uang itu diberikan dengan tujuan agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa harus dieksekusi pidana 2 tahun penjara berdasarkan putusan Peninjauan Kembali No. 12 tertanggal 11 Juni 2009.
Pinangki ikut menyusun action plan berisi 10 tahap pelaksanaan untuk meminta fatwa Mahkamah Agung (MA) atas putusan PK Djoko Tjandra dengan mencantumkan inisial "BR" yaitu Burhanuddin sebagai pejabat di Kejaksaan Agung dan "HA" yaitu Hatta Ali selaku pejabat di MA dengan biaya 10 juta dolar AS namun baru diberikan 500.000 dolar AS sebagai uang muka. (MD).