Ketika Jenazah 6 Laskar FPI Bicara (5)
by Mochamad Toha
Surabaya, FNN - Selasa (05/01). Apapun alasannya, penutupan Rest Area KM 50 Tol Jakarta-Cikampek atas perintah Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) melalui suratnya pada 20 Maret 2020, jelas dapat diidikasikan "perbuatan melawan hukum". Pasalnya, Rest Area KM 50 ini bagian dari TKP penyergapan 6 laskar FPI.
PT Jasa Marga resmi menutup atau merelokasi Rest Area (tempat istirahat) KM 50 ruas Tol Japek. Alasannya, relokasi itu dalam rangka menjaga kelancaran pada pertemuan lalu-lintas kendaraan dari ruas Tol Japek Elevated dengan Ruas Tol Japek (jalur bawah).
”Mulai kemarin (Senin) Rest Area KM 50 kami relokasi,” kata Dwimawan Heru, Corporate Communication & Community Development Group Head Jasa Marga, Selasa (22/12/2020). Menurutnya, relokasi itu dilakukan secara permanen arah Cikampek di ruas Tol Japek.
Penambahan lajur dan penutupan rest area itu dalam rangka kelancaran pada pertemuan lalu lintas dari Tol Japek Elevated dan Tol Japek (jalur bawah) di KM 48 sampai dengan KM 50 ini adalah instruksi dari BPJT.
Bahkan, lanjutnya, ini sejalan dengan arahan Korlantas Polri yang telah terbit sejak jauh hari, yaitu pada sekitar Triwulan I 2020, seluruh tenant-tenant yang berada pada tempat istirahat (TI) KM 50 A akan direlokasi ke TI KM 71B.
Untuk menampung tenant ex TI KM 50, Jasa Marga memperluas bangunan rest area di KM 71 sehingga tenant-tenant dari TI 50 dapat melanjutkan kegiatan usahanya di bangunan baru yang ada di TI KM 71.
Yang dilakukan Jasa Marga itu dapat diindikasikan sebagai “perbuatan melawan hukum”, karena TKP KM 50 itu termasuk “barang/alat bukti” adanya tindak pidana. Bagaimana KM 50 bisa menjadi saksi atas penembakan laskar FPI jika sudah tidak ada lagi.
Tidak seharusnya Rest Area KM 50 itu ditutup permanen sebelum proses hukum atas kasus penembakan 6 laskar FPI yang terjadi pada Senin (7/12/2020) dini hari itu selesai disidang di pengadilan. Komnas HAM seharusnya dan wajib mempertanyakan soal ini kepada Jasa Marga.
Misteri KM 50
Sejauh ini pihak polisi tidak bisa menjelaskan ke mana 4 korban yang masih hidup dibawa, setelah dua orang ditembak di TKP KM 50. Dan apa saja yang mereka perbuat terhadap laskar FPI pengawal HRS itu.
Ini harus diadakan investigasi oleh pihak terkait, terutama Komnas HAM. Tentunya, polisi yang mengeksekusi korban harus lebih dahulu dilakukan upaya hukum dan proses penahanan jika memang hukum mesti ditegakkan tanpa pandang bulu.
Mengingat hal ini bukan perkara kriminal biasa. Tapi, pelanggaran HAM berat. Silakan polisi yang terlibat membawa 4 korban itu menujukkan lokasi tempat menembak korban yang jelas-jelas bukan lagi melumpuhkan, tetapi “pembantaian” jika ingin bicara kebenaran.
Menurut Polda Metro Jaya, dari enam orang yang tewas ditembak masih ada 4 lagi laskar FPI pengawal HRS yang melarikan diri. Padahal dalam mobil Chevrolet B 2152 TBN itu hanya berisi 6 orang.
Apakah mungkin Chevrolet itu berisi 10 orang? Perlu diketahui bahwa laskar FPI pengawal HRS itu ada 24 orang dalam 4 mobil. Masing masing Mobil berisi 6 orang.
Selain 6 laskar di Chevrolet B 2152 TBN, semuanya pulang dalam keadaan selamat. Karena memang beda kendarraan. Dari mana polisi mengatakan, masih ada 4 orang lagi melarikan diri, sedang penumpang hanya 6 orang dan semua tewas?
Ini terkesan polisi sedang membuat semacam trik alibi pada media, sebab tidak sesuai dengan jumlah penumpang dan jumlah rombongan pengawal HRS.
Polisi sebelumnya juga menunjukkan dua senjata api sebagai barang bukti. Senjata api itu disebut digunakan oleh laskar khusus untuk menyerang anggota polisi ketika melakukan pengintaian terhadap rombongan HRS.
Bahkan, polisi menyebut laskar khusus pengawal Rizieq sempat melesatkan tembakan 3 kali hingga mengenai mobil anggota polisi.
“Asli ini (senjata api) ada tiga yang sudah ditembakan. Hasil awal kelompok yang menyerang ini diidentifikasi adalah laskar khusus yang selama ini menghalang-halangi penyidikan,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran.
Jika berasumsi telah ada 3 peluru yang ditembakan maka di mana laskar FPI itu menembak polisi, sedangkan di TKP hanya terjadi 2 tembakan dan korban tewas?
Semua barang bukti yang ditunjukan oleh Polda Metro Jaya sepertinya itu sengaja diadakan. Sebab, seperti yang telah dijelaskan oleh Edy Mulyadi bahwa tidak ada tembakan apapun di TKP KM 50 selain 2 tembakan saja dan itu didengar oleh saksi-saksi.
Bahkan, ada saksi yang sangat dekat dengan pristiwa itu sehingga hal ini menjadi sanggahan bagi polisi yang mengatakan telah terjadi tembak-menembak di TKP KM 50.
Misalnya, korban membawa pistol dan lebih dulu menembak, maka tentunya di TKP dengan banyaknya polisi di situ akan jatuh korban dari polisi juga, sehingga akan ada aksi tembak-menembak yang ramai dan semua orang yang diusir polisi dari lokasi tentu akan mendengar.
Namun, kenyataan itu tidak terjadi. Yang ada adalah banyaknya tembakan polisi ke tubuh 4 korban dan eksekusi mati itu terjadi di tempat lain.
Dengan dasar itu tidak mungkin di tempat lain (Lokasi X) 4 korban membawa senjata, karena saat dibawa dari KM 50 mereka digelandang dengan tangan kosong. Pertanyaanya, dari mana polisi mengklaim bahwa senjata itu dari laskar FPI yang mereka tembak?
Sebagaimana hasil analisa pihak FPI dan keluarga korban bahwa para korban ditembak cukup banyak lebih dari 1 peluru di masing-masing tubuh korban. Maka, muncul pertanyaan, di mana polisi menembak mereka. Sedangkan di TKP KM 50 tidak terjadi demikian?
Bagaimana polisi bisa menjelaskan, mengapa tembakan mereka pada korban hampir semua mengarah ke jantung? Bukankah itu artinya korban sudah tidak berdaya karena nyaris semua korban mengalami luka tembak yang sama dan selebihnya ditembak membabi buta?
Melihat penjelasan keluarganya perihal keadaan korban dalam rapat Komisi III DPR jelas sekali, polisi menembak jarak dekat dan itu adalah eksekusi korban, bukan lagi dikatakan bahwa polisi membela diri.
Diduga, sebelum ditembak, para korban yang berjumlah 4 orang itu lebih dahulu ditanya banyak hal dengan paksaan dan siksaan untuk menjawab, baru ditembak sedemikian rupa lebih dari beberapa kali untuk memastikan mereka benar-benar telah tewas.
Tindakan seperti ini bukan lagi tindakan sesuai SOP Kepolisian, melainkan sudah memenuhi unsur kriminalyang dilakukan polisi sendiri, apalagi dilakukan secara rahasia (Lokasi X).
Bukankah dalam prosedur penangkapan itu jika masih hidup mestinya dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan dan kemudian ditahan?
Mengapa para korban seolah dianggap Teroris kelas kakap, padahal ada banyak kasus teroris yang tertangkap tidak serta merta diekskusi mati tanpa prosedur? (Bersambung)
Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id