Pembunuhan Enam FPI Laskar Pelanggaran HAM Berat
by M. Rizal Fadillah
Bandung FNN - Ocehan Mahfud MD yang meminta bukti terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat tentu tidak proporsional. Sejak awal yang dituntut oleh publik adalah pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Bukan hanya diserahkan kepada Komisi Nasional (Komnas) HAM. Usul ini dimaksudkan agar temuan lebih obyektif, dan mendalam.
Hasil temua dari TPF Independen diharapkan tidak terpengaruh oleh kekuasaan, baik itu Pemerintah maupun para tertuduh, yakni aparat Kepolisian. Kalau hanya mengandalkan penyelidikan dari Komnas HAM, maka kemungkinan pengaruh-pangruh berbagai pihak bisa saja bermunculan. Pengaruh itu tidak tampak ke permukaan. Namun bisa dirasakan oleh masayarakat.
Menteri Kordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD hanya menjadi corong dari semangat "negara tidak boleh kalah" dan "aparat juga yang tak boleh kalah". Ini persoalan bukan persoalan kalah menang, tetapi benar atau salah. Karenanya perlu pemeriksaan dan pengusutan kasus yang secara transparan dan obyektif. TPF Independen mampu untuk ini.
Komnas HAM faktanya bekerja tidak transparan. Malah ada kecendrungan "takut-takut" membongkar fakta yang sebenarnya. Misalnya, nama-nama pelaku yang diduga sebagai pembunuh di lapangan saja tak berani untuk dipublikasikan. Dari sini, patut diduga kalau Komnas HAM mengalami tekanan yang luar ketika melakukan penyelidikan peristiwa yang terjadi di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek) itu.
Kesimpulan penyelidikan Komnas HAM hanya menyatakan bahwa terjadi pelanggaran HAM biasa. Meski dianggap lumayan, daripada tidak tidak sama-sekali. Tetapi perasaan keadilan masyarakat masih sangat mempertanyakan kesimpulan tersebut. Bukan semata keyakinan, tetapi indikasi yang terbaca oleh publik adalah terjadinya pelanggaran HAM berat yang melibatkan banyak fihak, termasuk petinggi dari aparat penegak hukum dan pemerintahan.
Pelanggaran HAM berat berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM memiliki syarat pokok bahwa penyiksaan atau pembunuhan itu harus menjadi bagian dari "serangan yang meluas atau sistematik".
Pasal 9 UU tersebut menyatakan, "kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : a. pembunuhan......f. penyiksaan..".
Atas dasar hal tersebut, maka pembunuhan dan penyiksaan enam anggota laskar FPI di kilometer 50 tol Japek memang merupakan pelanggaran HAM berat. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat.
Pertama, pembunuhan dan penyiksaan adalah bagian dari serangan sistematik yang terjadi sejak pembuntutan dan penguntitan terhadap Habib Rizieq Shuhab (HRS) pada tanggal 5 Desember 2020 di Mega Mendung Bogor. Diawali dengan terdeteksi pengawasan menggunakan drone oleh agen intelijen yang berhasil ditangkap oleh laskar laskar FPI.
Pembuntutan dan penguntitan yang masif, dan berlanjut terus-menerus terhadap HRS, hingga operasi pengejaran pada tanggal 6 Desember 2020, berujung pembunuhan dan penyiksaan. Ini bukan terjadi dengan tiba-tiba. Namun dengan perencanaan dan penugasan berdasarkan surat tugas dari atasan pelaku di Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Kedua, pembunuhan ini bagian dari operasi pembunuhan politik. Diduga bukan semata kerja aparat Kepolisian sendirian. Namun melibatkan institusi negara yang lain. Dimulai dari penurunan spanduk dan baliho oleh sekitar 500 personil pasukan TNI atas perintah Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman tanggal 20 November 2020.
Dilanjutkan dengan teror konvoi kendaraan tempur TNI ke markas FPI Petamburan, Jakarta Pusat oleh pasukan Koopssus TNI. Pasukan elit gabungan tiga matra angkatan di TNI, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Walaupun belakangan dibatah bahwa pasaukan Koopssus TNI hanya lewat di kawasan Petamburan
Ketiga, pembunuhan ini bagian dari serangan meluas atau sistematik berhubungan dengan kepulangan HRS ke tanah air. Bahkan jauh sebelum kepulangannya, yakni gangguan terjadi selama HRS di Saudi Arabia. Kemudian mencari kesalahan hukum atas acara pernikahan di Petamburan dan pengajian Maulid Nabi di Mega Mendung. Semua adalah bagian dari operasi pemerintah untuk menekan dan melumpuhkan lawan politik.
Oleh karena itu pembunuhan enam anggota laskar FPI bukankah pembunuhan biasa. Pengejaran masif di jalur Karawang Timur, Karawang Barat, hingga berakhir di kilometer 50 tol Japek adalah penuntasan operasi target atau target antara. Adanya penyiksaan menunjukkan terjadi perbuatan kejahatan pasca kilometer 50. Penyiksaan berat inipun menjadi indikasi terjadi pelanggaran HAM berat.
Ada pesan dari teroris yang ingin disampaikan. Maka tiada pilihan lain, agar kasus ini benar-benar bisa terbuka dan tuntas, menghukum semua pihak yang terlibat dengan cara Komnas HAM melakukan kerja ulang yang lebih serius. Kembali dibentuk TPF atau diproses para tersangka melalui Pengadilan HAM di bawah ketentuan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pembunuhan sadis enam anggota laskar FPI bukan pembunuhan ecek-ecek. Tetapi pembunuhan politik yang meluas atau sistematik.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.