HUKUM

Putusan MKMK Jadi Kunci Kembalikan Wibawa Mahkamah Konstitusi

Jakarta | FNN - Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow menilai sah wacana ada Hak Angket untuk menyelesaikan masalah di tubuh Mahkamah Konstitusi (MK).  Tetapi, kunci utama untuk memulihkan wibawa penjaga konstitusi tersebut yakni putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang memenuhi rasa keadilan publik. \"Sebagai sebuah hak sih oke-oke saja, tapi kalau gak angket itu digagas untuk kepentingan politik saya kira tidak akan berhasil untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Itu soalnya,\" terangnya saat dihubungi, Jumat (3/11/2023). Hal itu ia kemukakan karena melihat nuansa politik yang cukup kental dalam wacana hak angket. Jeirry mengungkapkan lebih efektif untuk mendorong agar MKMK mampu menjalankan peran dan fungsinya secara baik dan lurus agar bisa mengembalikan kepercayaan publik pada MK. \"Saya kira berharap banyak dari MKMK, itu jauh lebih strategis dan efektif. Mudah-mudahan mereka tetap berkomitmen menjaga muruah MK, tidak terjebak atau tidak terpengaruh dengan urusan politik yang berkelindan dalam putusan MK,\" ujarnya. Oleh sebab itu, Jeirry mendorong agar publik bersama memperkuat dan mendukung MKMK. Hal itu dinilainya lebih efektif untuk menyelesaikan krisis konstitusi. \"Makanya menurut saya, kita perkuat dan dukung MKMK. Bagi saya itu jauh lebih efektif dan jauh lebih bisa dipercaya publik. Kita juga harus dorong, hakim MKMK memang betul-betul berpikir sebagai negarawan, yang tidak terjebak pada kepentingan politik tertentu atau dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang memang berkelindan cukup kental dalam kasus putusan MK ini,\" tuturnya. Menurutnya, jika MKMK tidak mampu menghasilkan putusan yang jernih, maka akan muncul problem lebih besar yakni hilangnya kepercayaan publik pada lembaga pengadil hasil pemilu itu. Padahal, bangsa Indonesia sebentar lagi akan mengadakan hajatan demokrasi Pemilu 2024. \"Kalau itu tidak ada lagi, kita akan jadi tambah rumit,\" ungkapnya. Isu Elit Sementara itu, Peneliti Forum Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus mengatakan, penggunaan Hak Angket DPR terhadap MK tidak tepat. \"Hampir semua pakar tata negara menganggap Hak Angket DPR itu merupakan instrumen pengawasan legislatif ke eksekutif. Sementara MK itu masuk kamar Yudikatif. Secara prinsip kerja lembaga yudikatif itu ya mestinya tak bisa diselidiki oleh lembaga politik seperti DPR,\" kata Lucius. DPR yang bekerja atas dasar kepentingan politik tertentu jelas tak bisa netral dalam menilai sebuah keputusan, apalagi jika keputusan itu masih berkelindan dengan dunia politik. Unsur kepentingan politik pada anggota DPR itu membuat setiap anggota hingga setiap fraksi menilai keputusan hukum dari sisi keuntungan atau kerugian secara politik bagi dirinya maupun partainya. \"Karena itu saya kira terkait keputusan MK soal syarat capres-cawapres, jelas bukan objek yang tepat untuk dijadikan alasan penggunaan Angket oleh DPR,\" jelasnya. Menurut dia, Isu terkait angket kepada MK ini lebih merupakan isu elit. Syarat capres-cawapres ini isu elit yang tak berkorelasi langsung dengan kepentingan rakyat. \"Kalau DPR sungguh wakil rakyat sebelum-sebelumnya ada begitu banyak isu terkait kebijakan pemerintah yang terkait langsung dengan rakyat yang seharusnya mendorong penggunaan hak angket. Tetapi karena sebelum ini koalisi pendukung pemerintah dominan, kebijakan pemerintah yang bermasalah justru dibenarkan oleh DPR,\" tegas Lucius. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan sebagian tentang batas usaia Capres Cawapres, dengan perkecualian bagi mereka yang pernah menjadi pejabat publik. Keputusan ini menjadi karpet merah bagi Gibran Rakabuming, anak Presiden Joko Widodo yang juga keponakan dari Ketua MK, Anwar Usman. MK dianggap meloloskan politik dinasti dan dikecam oleh masyarakat maupun pegiat hukum tata negara. Lalu Anggota DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu mengusulkan DPR menggunakan hak angketnya terhadap MK. Namun usulan ini dianggap tidak tepat. \"Saya kira sebagai warga negara, kita selalu mendukung DPR yang kuat dalam hal menggunakan semua kewenangan mereka berdasarkan UU. Ada banyak isu rakyat yang selama ini seharusnya cukup untuk memunculkan penggunaan angket, tetapi DPR justru melempem. Eh sekarang pas lagi runyam urusan Pemilu, DPR seolah-olah baru mulai bekerja,\" pungkas Lucius. (Sur)

Putusan MK soal Batas Usia Capres-Cawapres Rusak Tatanan Bernegara

JAKARTA | FNN - Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah menilai kehidupan demokrasi berada di ujung tanduk usai putusan Mahkamah Konstitusi tentang batas minimal usia calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres). \"Demokrasi tentu terganggu, lahirnya politik dinasti, suburnya nepotisme,\" kata Dedi Kurnia di Jakarta, Kamis (2/11/2023). Menurutnya putusan MK itu membuka jalan bagi tumbuh suburnya nepotisme. Lebih parah lagi, MK dinilai telah merusak tatanan bernegara. \"Soal imbas putusan itu yang membuka potensi nepotisme, itu hanya bagian kecil, bagian n besarnya adalah MK telah merusak tatanan yudikatif. Kerusakan ini bukan soal politik, tetapi tatanan negara ikut keropos,\" ungkapnya. Dedi berpandangan Ketua MK Anwar Usman layak dicopot dari jabatannya dan diproses hukum. Dedi mendasarkan pandangannya pada beberapa argumen yang menunjukkan pelanggaran krusial dalam putusan MK tersebut.  Pertama, hakim yang miliki relasi langsung dengan materi gugatan, seharusnya tidak ikut dalam merumuskan putusan. Kedua, MK tidak miliki wewenang mengubah, menambah maupun mengurangi naskah UU. MK hanya bisa membatalkan UU dan mengembalikan keputusan hukum ke DPR RI.  \"Sehingga MK layak disebut merusak konstitusi, bahkan hakim yang ikut mengubah UU layak disebut kriminal,\" tuturnya. Sanksi Elektoral Sementara itu, Peneliti Politik dan Kebijakan Danis TS Wahidin mengatakan, masyarakat bisa mengambil sikap dengan memberikan sanksi elektoral terhadap kandidat yang bermasalah dan merusak.  “Kesalahan politik harus diluruskan dengan kebenaran politik. Masyarakatlah sekarang harapan satu-satunya hukuman elektoral dengan tidak memilih kandidat yang bermasalah,” ujar Danis. Putusan MK disebutnya sarat kepentingan, memuluskan nepotisme keluarga Presiden Joko Widodo. “Ada cacat hukum dalam pengambilan keputusan MK. Hakim-hakim membawa MK jauh ke ruang-ruang politik. Padahal MK dan DPR serta lembaga kepresidenan sejajar, tidak boleh saling intervensi,” sebut Danis.  Majunya Gibran menjadi Cawapres juga dinilai berdampak negatif terhadap politik di anak muda.   “Hari ini kita sedang menghadapi era bonus demografi. Anak muda harus mulai dipercaya dan diberikan peluang mengisi jabatan-jabatan strategis, agar bonus demografi tidak berubah menjadi beban demografi, “ jels Danis. “Tetapi dengan jalan dan aturan yang benar, dengan prestasi bukan prestise,dengan demokratis bukan dengan oligarkis. Anak muda harus dipahamkan tentang pentingnya nilai-nilai religiusitas, nasionalisme dan kenegarawanan,” tambah Danis yang juga Dosen Ilmu Politik di UPN Veteran Jakarta ini.  Dia menambahkan, meski saat ini jalan Gibran terlihat mulus, namun berkerikil di perjalanan kedepan. Muncul sentimen negatif di masyarakat dan ini mempengaruhi elektabilitas pasangan Prabowo- Gibran.  “Pengaruh elektabilitas Gibran terhadap Prabowo tidak terlalu signifikan, Pak Prabowo sudah memiliki elektabilitas bawaan sekitar 30-40%, Gibran hanya sekitar 2-10%,“ pungkas Danis. (Sur)

MKMK Dituntut Ambil Keputusan Tidak Normatif Demi Marwah MK

Jakarta | FNN - Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Anang Zubaidy menilai majelis hakim Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sepatutnya tidak hanya berpegang pada aspek normatif. MKMK dituntut agar juga mempertimbangkan putusan aspek keadilan dan kemanfaatan dalam memutus perkara dugaan pelanggaran etik pada putusan MK terkait batas usia capres-cawapres. \"MKMK untuk bisa mengembalikan kepercayaan publik, maka dia harus membuat putusan yang out of the box, di luar pertimbangan normatif, lebih pada pertimbangan kemanfaatan dan keadilan,\" terangnya saat dihubungi, Kamis (2/11/2023). Menurutnya ketika dasar pengambilan keputusan hanya normatif, maka putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal itu sekaligus meniadakan upaya hukum lain dan tidak lagi mekanisme untuk membatalkan putusan. \"Kalau berpikirnya normatif ya selesai, kita tidak ada upaya hukum apa pun, saya berpikirnya di luar itu. Bahwa hukum itu harus memberikan jalan keluar,\" jelas pakar hukum tata negara itu. Menurutnya, MKMK menjalankan peran sebagai hakim yang punya fungsi dan tugas utama untuk menyelesaikan perselisihan atau konflik. Oleh sebab itu, kacamata yang digunakan semestinya tidak sekadar normatif. \"Karena kalau bicara kepastian hukumnya ya selesai. Kita tidak perlu mendiskusikan putusan itu mau diapakan? Tapi kalau kita bicara dari aspek kemanfaatan dan keadilan, saya kira masih terbuka pintu diskusi, atau masih terbuka peluang untuk membatalkan putusan,\" tegasnya. Anang berharap MKMK juga menggunakan nurani untuk memutus perkara dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi. \"Mudah-mudahan majelis hakim MKMK itu bukan sekadar menggunakan kacamata normatif, tetapi juga menggunakan nuraninya untuk membaca fenomena ini, untuk membaca putusan, dan membaca dugaan konflik kepentingan dari kacamata keadilan dan kemanfaatan.\" Sementara itu, Program Manajer Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda menghimbau agar publik perlu menaruh kepercayaan dan harapan kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk mengambil keputusan yang berani. “Sebab, MKMK fungsinya tidak hanya memutus dan mengadili perkara etik, tetapi juga untuk menjaga keluhuran martabat dan kehormatan MK. Masyarakat dukung terus agar MKMK menghasilkan putusan penghukuman etik yang tegas dan berani,” kata Voilla. Adapun putusan MKMK terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua Umum MK Anwar Usman, akan mengembalikan citra dan muruah MK. \"MKMK harus berani mengambil jalan activisme dengan memberikan sanksi selain etik, tetapi juga terkait legitimasi putusan MK tentang pengujian syarat usia Capres-Cawapres,\" tegas Violla. Sanksi yang Diharapkan MKMK perlu melakukan lompatan, karena daya rusak yang signifikan ke MK secara institusional akibat konflik kepentingan Anwar Usman yang amat terang dalam perkara ini. \"Sanksi yang diharapkan, yaitu (1) pemberhentian secara tidak hormat sebagai Ketua dan Hakim Konstitusi; (2) menyatakan Putusan 90 / 2023 batal demi hukum karena cacat secara formil; atau setidaknya, meminta MKMK untuk memerintahkan MK meninjau kembali putusan pengujian syarat capres dan cawapres tanpa melibatkan Hakim Terlapor,\" tambah Violla. Merujuk ke Ps. 17 ayat (6) dan (7) UU Kekuasaan Kehakiman, pasal ini bisa jadi referensi MKMK untuk menginvalidasi putusan syarat usia, terutama ketika diputus melakukan pelanggaran berat. \"Ini kondisi yang luar biasa, ia melibatkan pucuk pimpinan MK, yang punya peran strategis dan aktif dalam memuluskan agar perkara dikabulkan. Pasal ini bisa diimplementasikan ke MK karena termasuk ke bab asas-asas kekuasaan kehakiman, yg mengikat baik MA maupun MK,\" pungkas Violla. (sur)

Hakim MK Suhartoyo Diperiksa MKMK Sekitar 30 Menit

Jakarta, FNN - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo diperiksa Majelis Kehormatan MK (MKMK) di Gedung II MK, Jakarta, pada Rabu sore, sekitar 30 menit.  Berdasarkan pantauan di lokasi, Suhartoyo berjalan dari Gedung I MK ke Gedung II MK, Jakarta, sekitar pukul 17.18 WIB, tak berapa lama usai Hakim MK Manahan Sitompul selesai diperiksa MKMK.  Suhartoyo keluar dari Gedung II MK sekitar pukul 17.42 WIB. \"Dikonfirmasi saja, konfirmasi pengaduan dengan apa yang saya ketahui,\" kata Suhartoyo kepada wartawan di depan Gedung II MK.   Menurutnya, ia diperiksa hanya sebentar karena pelaporan masyarakat kepada MKMK terkait dirinya tidak terlalu banyak.  \"Hanya konfirmasi saja, karena saya tidak terlalu, secara substansial kan tidak, mungkin dipandang tidak banyak (laporan) sehingga cepat selesai konfirmasinya,\" kata Suhartoyo.  Suhartoyo diperiksa secara tertutup oleh tiga anggota MKMK, yaitu Jimly Asshiddiqie, Wahiduddin Adams, dan Bintan R. Saragih.  Pada Senin (16/10) lalu, MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru dari Surakarta, Jawa Tengah.  Dalam permohonannya, Almas memohon syarat pencalonan peserta pilpres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. Putusan itu dinilai publik sarat konflik kepentingan. Masyarakat menduga hakim MK melanggar kode etik dalam memeriksa dan memutus perkara itu.  Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyebut terdapat sepuluh persoalan terkait MK yang sudah dilaporkan kepada MKMK sejak sidang pemeriksaan pelapor pada Selasa (31/10) hingga Rabu (1/11).  Salah satunya, hakim MK dilaporkan karena tidak mengundurkan diri saat memeriksa perkara terkait keluarganya.  Hakim MK juga dilaporkan karena berbicara di ruang publik terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa.  Selain itu, hakim MK juga dilaporkan karena mengungkapkan dissenting opinion atau perbedaan pendapat terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa.(sof/ANTARA)

Kompolnas Mengawasi Pelaksanaan Operasi Mantap Brata 2023-2024

Jakarta, FNN - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengawasi pelaksanaan Operasi Mantap Brata 2023-2024 hari pertama yang mengamankan agenda nasional pendaftaran calon presiden peserta Pemilu 2024 di KPU RI.Komisioner Kompolnas dari unsur kepolisian Pudji Hartanto Iskandar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, mengatakan dirinya turun langsung mengecek kesiapan Polri melakukan pengamanan agenda penting tersebut di Pos Pengamanan KPU, Jakarta Pusat, kemarin.“Kompolnas sebagaimana sesuai tugas dan tanggung jawab diantaranya monitoring tugas pengamanan yang dilakukan Polda Metro Jaya dalam rangkaian tahapan pemilu, yaitu saat ini pendaftaran capres dan cawapres pada hari pertama,” kata Pudji.Hari pertama pasangan capres dan cawapres yang mendaftar adalah pasangan Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar, pasangan kedua Ganjar Pranowo - Mahfud MD.Diketahui pula, Mahfud MD selain Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Mekopolhukam) juga merupakan Ketua Kompolnas RI.Menurut Pudji, hasil monitoringnya dalam pengamanan tersebut, secara keseluruhan situasi kondusif, aman, dan damai. Namun, memang ada peristiwa tidak pidana seperti pencopetan yang dapat ditangani Polda Metro Jaya dengan cepat.“Ada dijumpai copet, tertangkap dengan kesigapan Polri dan petugas relawan pelaku tidak sempat dihakimi masa,” ujarnya.Dari hasil pengawasan tersebut dan temuan di lapangan, Pudji meminta jajaran Polda Metro Jaya untuk selalu memberikan imbauan kepada masyarakat dalam kondisi ramai harus waspada.Menurut dia, keikutsertaan masyarakat dalam menjaga kamtibmas sangat penting.“Hal lain, masih terlihat anak-anak yang ikut dalam kegiatan tersebut. Sehingga ini perlu diingatkan kembali agar mencegah dari hal-hal tidak diinginkan,” kata Pudji.Operasi Mantap Brata 2023-2024 dalam rangka mengamankan seluruh tahapan Pemilu 2024 resmi dimulai tanggal 19 Oktober 2023. Operasi kepolisian terpusat ini berlangsung selama 222 hari, dan berakhir tanggal 20 Oktober 2024.Hari pertama Operasi Mantap Brata 2023-2024 Polri mengerahkan Satgas Preemtiv dan Satgas Daerah Polda Metro Jaya mengamankan kegiatan pendaftaran capres/cawapres peserta Pemilu 2024 di KPU RI, Kamis (19/10).Kepala Divisi Humas Polri Irjen. Pol. Sandi Nugroho mengatakan, Polri mengerahkan personel pengamanan pendaftaran capres/cawapres melibatkan satuan tugas daerah (Satgasda) Polda Metro Jaya.“Total pengamanan personel Satgasda Polda Metro Jaya sebanyak 2.062 personel,” ungkap Kadiv Humas di Jakarta, Kamis (19/10).(ida/ANTARA)

Densus Menangkap 3 Tersangka Teroris Jaringan AD di NTB

Jakarta, FNN - Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Ahmad Ramadhan mengatakan Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali melakukan penegakan hukum tindak pidana terorisme di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).“Jadi ada tiga tersangka ditangkap di NTB dari jaringan kelompok Anshor Daulah(AD),” kata Ramadhan dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.Jenderal polisi bintang satu itu belum mengungkap inisial ketiga tersangka teroris tersebut, karena penyidik Densus masih bekerja di lapangan untuk mengembangkan pelaku lainnya.Penangkapan terhadap kelompok teroris AD juga dilakukan Kamis (19/10) kemarin di Sambas, Kalimantan Barat. Seorang pria berinisial UH berusia 28 tahun, ditangkap oleh Densus 88 Antiteror Polri di Desa Semparuk, Kecamatan Separuk, Kabupaten Sambas.Ramadhan mengatakan dalam sepekan ini, Densus 88 Antiteror Polri juga melakukan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana teroris di wilayah Sumatera Selatan (Sumsel).Total ada lima tersangka teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) yang ditangkap. Sehingga jika ditotal ada sembilan tersangka teroris dari dua kelompok teroris berbeda (AD dan JI) yang ditangkap dalam kurun waktu satu pekan ini.“Ya dalam pekan ini penegakan hukum di tiga wilayah dengan sembilan tersangka dari dua kelompok berbeda (AD dan JI),” kata Ramadhan.Ramadhan menambahkan penyidik Densus 88 Antiteror Polri masih mendalami dan menelusuri adanya tersangka lain, sehingga peran dan identitas para tersangka yang baru ditangkap belum bisa diungkap.“Kan masih didalami ditelusuri,  kami masih mengembangkan apakah ada tersangka lain,” ujar Ramadhan.Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo pada apel gelar pasukan Operasi Mantap Brata 2023-2024 mengatakan dalam rangka pengamanan tahapan Pemilu 2024 telah memerintahkan jajarannya untuk mengantisipasi aksi terorisme dengan melakukan langkah preventive strike atau teknik pencegahan dengan aksi penindakan.Langkah ini dilakukan agar kejadian pada Pemilu 2019 dimana terjadi enam kali aksi teror tidak terulang di Pemilu 2024. Olehnya jajaran Polri diminta serius dalam mencegah terorisme.Terlebih adanya perang antara Hamas dan Israel sedang bereskalasi dimana hal ini dapat berdampak terhadap situasi di dalam negeri.“Optimalkan preventive strike agar pelaku teror bisa ditangkap sebelum melancarkan aksinya sehingga kita bisa pastikan  dan minimalkan tidak ada letupan sekecil apapun pada Pemilu 2024,” ujar Sigit, Selasa (17/10).(ida/ANTARA)

Lima dari Sembilan Hakim MK Termasuk Anwar Usman Mengkhianati Konstitusi: Revolusi di Depan Mata

Jakarta, FNN  - Tim Petisi 100 dan UI Watch kembali menggelar diskusi menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Diskusi bertemakan \"Lima dari Sembilan Hakim MK, Termasuk Ketua MK Anwar Usman, Mengkhianati Konstitusi Demi Gibran: Revolusi di Depan Mata??\" itu dilaksanakan pada Rabu (18/10/2023). Hadir dalam diskusi tersebut antara lain Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan, Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara dan Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana yang hadir secara online. Acara dipandu oleh Pimpinan Center of Study for Indonesian Leadership (CSIL) HM Mursalin. Narasumber pertama Anthony Budiawan, ia mengatakan bahwa putusan MK tersebut berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). \"Kita semua sudah mengerti apa yang terjadi di MK, putusan MK ini adalah putusan yang sangat berbau KKN yaitu untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada Gibran untuk menjadi Cawapres,\" ujarnya. Kata Anthony, meskipun belum tentu Gibran dicalonkan sebagai wakil presiden, tetapi manipulasi hukum dari konstitusi ini patut disayangkan. \"Ini bertentangan atau berlawanan dengan hukum sehingga harus diusut tuntas,\" katanya. Ia mengatakan, MK tidak berwenang untuk menambah atau mengurangi batasan usia, karena yang berhak menambah norma itu adalah DPR. \"Berarti MK sudah merampas wewenang dari DPR, artinya sudah melanggar konstitusi,\" jelas Anthony. Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu menduga, apa yang terjadi di MK itu merupakan upaya untuk kepentingan Presiden Joko Widodo yang sebentar lagi masa jabatannya akan berakhir. \"Apa yang terjadi kelihatannya ini adalah karena Pak Jokowi sudah dalam posisi yang terpojok dan sepertinya segala cara itu dihalalkan. Oleh karena itu Pak Jokowi ingin berkuasa terus atau setidak-tidaknya masih berada di pusat kekuasaan,\" tuturnya. Terkait hal tersebut, Anthony mengingatkan beberapa tahun lalu sudah ada upaya dengan munculnya wacana Jokowi akan diperpanjang jabatannya, kemudian juga upaya memperpanjang periode jabatan. Lalu juga mempromosikan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden, namun kemudian Ganjar diambil Megawati. Upaya melanggengkan kekuasaan tersebut, kata Anthony, dikarenakan Jokowi dihadapkan sejumlah permasalahan. Mulai dari kasus ijazah palsu, kasus Freeport, Kereta Cepat dan kasus-kasus lainnya. \"Permasalahan-permasalahan ini yang harus diamankan, maka mau tidak mau mereka harus berkuasa lagi dan menghalalkan segala cara, tetapi pada akhirnya semakin memperdalam kesalahan-kesalahan itu sendiri. Dan kasus Mahkamah Konstitusi ini sangat brutal dan harus diusut tuntas karena ini sudah mempermainkan konstitusi,\" tandasnya. Narasumber berikutnya Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana. Ia menegaskan putusan MK Nomor 90 (”Putusan 90”) terkait konstitusionalitas syarat umur capres-cawapres, yang mengabulkan sebagian permohonan, dan membuka peluang kepala daerah yang pernah/sedang menjabat untuk menjadi kontestan dalam pemilihan presiden adalah tidak sah. \"Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya tidak sah,\" tegas Denny. Ia mengatakan, argumentasi hukum yang mendasari putusan \"Perkara 90\" tidak sah, salah satunya karena hakim, dalam hal ini Ketua MK Anwar Usman, tidak mundur dalam penanganan perkara di mana sang hakim mempunyai benturan kepentingan. Benturan kepentingan yang dimaksud, kata Denny, ialah Anwar Usman merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan keluarga dari Gibran Rakabuming Raka yang belakangan digadang-gadang akan menjadi bakal cawapres Prabowo Subianto.  Denny menjelaskan, Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah mengatur, \"seorang hakim... wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.\"  \"Akibat dari tidak mundurnya hakim yang mempunyai benturan kepentingan tersebut adalah putusan dinyatakan tidak sah,\" tegas Denny. Kembali ia menegaskan bahwa Putusan 90 tersebut sarat dengan cacat konstitusional dan tidak sah. \"Karena itu saya merekomendasikan, yang pertama Putusan 90 yang tidak sah sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan Bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029,\" jelasnya. Denny mengatakan bahwa siapapun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024 —bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka— dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan beresiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024.  \"Bahkan, kalaupun berhasil terpilih, beresiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan tidak sah,\" ujarnya. Sementara itu, kepada MK, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, Denny menyarankan sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan MK. Anggota Badan Pekerja Petisi 100 Marwan Batubara yang menjadi narasumber selanjutnya mengatakan bahwa putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis untuk mempertahankan kekuasaan. \"Putusan MK ini merupakan salah satu upaya rezim oligarkis yang penguasanya adalah Jokowi sebagai presiden dan sejumlah menteri, salah satunya itu Luhut Panjaitan dan sejumlah menteri lain untuk tetap mempertahankan dominasi dan kekuasaan,\" ujar Marwan. Menurutnya, apa yang dilakukan MK merupakan pelanggaran tingkat tinggi dan sangat fatal karena menyangkut pelanggaran terhadap hal yang sangat strategis yaitu konstitusi.  Marwan juga mengingatkan agar publik tidak terkecoh untuk menganggap pelanggaran fatal tersebut hanya fokus pada masalah conflict of interest karena hubungan keluarga Anwar Usman dan Jokowi. Tetapi juga pada berbagai pelanggaran konstitusi dan berbagai UU secara sistemik yang melibatkan tiga lembaga kekuasaan, eksekutif, legislatif dan yudikatif.  Marwan mengingatkan, pengkhianatan konstitusi bukan hanyak dilakukan oleh Ketua MK Anwar Usman, tetapi juga oleh empat hakim MK, yakni Daniel Yusmic, MG Hamzah, Manahan Sitompul dan Enny Nurbaningsih. \"Tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga melanggar amanat reformasi dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, kemudian juga melanggar prinsip-prinsip pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif,\" ungkap Marwan. Meski demikian, ia pesimis pelanggaran fatal tersebut bisa diproses secara hukum. \"Maka diskusi ini kenapa ada judul Revolusi di Depan Mata, karena tampaknya tidak akan ada proses hukum yang akan diterapkan untuk menghentikan pelanggaran konstitusi dan demokrasi ini. Padahal mestinya DPR, MPR dan MK segera memulai proses pemakzulan sesuai amanat Pasal 7A UUD 1945. Maka rakyat dihimbau untuk bergabung melakukan perlawanan, salah satunya melalui gerakan revolusi\", kata Marwan. (*)

Gatot Nurmantyo: Soal Putusan MK, Itu Ulah Orang-orang Terdekat Jokowi

Jakarta, FNN -  Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) yang juga mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo prihatin terhadap orang-orang sekeliling Presiden Joko Widodo yang ingin terus menikmati kekuasaan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar usia Gibran bisa menjadi calon wakil presiden. Gatot meyakini pemaksaan kehendak itu bukan lantaran campur tangan Jokowi, melainkan orang-orang yang ada di lingkaran Jokowi, yang nyaman dengan keadaan saat ini. “KAMI berpikiran positif, semua kejadian ini bukan inisiatif Bapak Jokowi, tapi kerja orang-orang di sekeliling yang sudah merasa nikmat,\" papar Gatot dalam diskusi di kantor KAMI, Kawasan Jakarta Pusat, Rabu (18/10/2023). Menurut Gatot, putusan Mahkamah Konstitusi itu pelanggaran etika yang sangat luar biasa, juga pelanggaran kode etik. Ketua MK Anwar Usman inkonsisten dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan kepentingan keponakannya. Oleh karena itu, demi menjaga marwah MK, Gatot meminta para hakim MK agar mengundurkan diri. \"Keputusan MK ini mempertontonkan pelanggaran moral, karena telah mengambil keputusan diskriminatif, demi memenuhi keinginan satu orang,\" tegas Gatot. Seharusnya kata Gatot, MK tidak seperti itu. Dengan begitu, sikap kenegarawanan hakim MK pun dipertanyakan. Diketahui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta yang bernama Almas Tsaqibbirru terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu pada Senin (16/10). MK memperbolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain melalui pemilihan umum. MK Kabulkan sebagian Permohonan Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden akhirnya diubah menjadi berusia 40 tahun atau pernah berpengalaman sebagai kepala daerah, sebagaimana dilaporkan media-media di Indonesia. \"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,\" ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan/ketetapan di Gedung MK Jakarta, Senin.Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah. la memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Mahkamah berkesimpulan bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian. Oleh sebab itu, MK menyatakan Pasal 169 huruf (g) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD NRI 1945. \"Sehingga Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selengkapnya berbunyi \'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,’” ucap Anwar.Atas putusan tersebut, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi: Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Dalam pertimbangannya, mahkamah menilik negara-negara lain yang memiliki presiden dan wakil presiden yang berusia di bawah 40 tahun. Kemudian, juga melihat Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa yang mengatur syarat capres berusia di bawah 40 tahun. Sementara itu dalam konteks negara dengan sistem parlementer, kata mahkamah, terdapat pula perdana menteri yang berusia di bawah 40 tahun ketika dilantik atau menjabat. Data tersebut dinilai mahkamah menunjukkan bahwa tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda. \"Dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, secara rasional, usia di bawah 40 tahun dapat saja menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang setara,” kata M. Guntur Hamzah, salah seorang hakim MK. Di sisi lain, MK juga menyinggung terkait beberapa putusan terakhir yang memberikan tafsir ulang terhadap norma suatu pasal dan mengenyampingkan open legal policy. \"Konsep open legal policy pada prinsipnya tetap diakui keberadaan-nya, namun tidak bersifat mutlak karena norma dimaksud berlaku sebagai norma kebiiakan hukum terbuka selama tidak meniadi objek pengujian undang-undang di mahkamah,\" tutur hakim konstitusi Manahan M.P. Sitompul. Terlebih lagi, sambung Manahan, apabila DPR maupun presiden telah menyerahkan sepenuhnya kepada mahkamah untuk memutus hal dimaksud.\"Maka dalam keadaan demikian, adalah tidak tepat bagi mahkamah untuk melakukan judicial avoidance dengan argumentasi yang seakan-akan berlindung di balik open legal policy,\" ujar Manahan. Lebih lanjut, MK juga menilai bahwa pengalaman pejabat negara, baik di lingkungan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam pemilihan umum (pemilu). \"Pembatasan usia minimal 40 tahun semata tidak saja menghambat atau menghalangi perkembangan dan kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi mendegradasi peluang tokoh atau figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda, semua anak bangsa yang seusia generasi milenial,\" imbuh hakim konstitusi M. Guntur Hamzah.Apabila dilihat dari sisi rasionalitas, menurut MK, penentuan batas usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden bukan berarti tidak rasional, tetapi tidak memenuhi rasionalitas yang elegan karena berapa pun usia yang dicantumkan akan selalu bersifat dapat didebat sesuai ukuran perkembangan dan kebutuhan zaman. Oleh karena itu, MK berpendapat penting bagi mahkamah memberikan pemaknaan kuantitatif dan kualitatif untuk Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu.\"Penting bagi mahkamah untuk memberikan pemaknaan yang tidak saja bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif, sehingga perlu diberikan norma alternatif yang mencakup syarat pengalaman atau keterpilihan melalui proses demokratis, yaitu pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, tidak termasuk pejabat yang ditunjuk,\" ucap Guntur. Berkaitan dengan perkara uji materi sebelumnya yang ditolak, mahkamah mengatakan permohonan Almas memiliki alasan permohonan yang berbeda, yaitu berkenaan dengan adanya isu kesamaan karakteristik jabatan yang dipilih melalui pemilu, bukan semata-mata isu jabatan penyelenggara negara. (sur)

Suap dan Gratifikasi Swasta Mendominasi Kasus Korupsi

Yogyakarta, FNN - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut kasus tindak pidana korupsi di Indonesia dari 2002 hingga September 2023 masih didominasi suap dan gratifikasi yang dilakukan sektor swasta.\"Yang dominan adalah terkait masalah suap-menyuap dan gratifikasi. Kalau pelaku terbanyak adalah dari sektor swasta,\" kata Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat KPK Kumbul Kusdwijanto Sudjadi kepada awak media di Yogyakarta, Rabu.Dia mengatakan berdasarkan data sejak berdiri hingga September 2023, KPK telah memproses hukum sebanyak 1.648 tersangka dengan 141 diantaranya perempuan.Menurut Kumbul, dari sederet kasus suap dan gratifikasi yang ditangani KPK sebagian di antaranya menggunakan modus melibatkan keluarga.\"Kami ingatkan modus-modus yang terjadi melibatkan keluarga,\" ujar dia.Sebagai upaya pencegahan, KPK hingga saat ini terus menggencarkan edukasi kepada pejabat pemerintah atau aparatur sipil negara melibatkan anggota keluarga khususnya pasangan, terkait pendidikan antikorupsi.Edukasi tersebut diwujudkan melalui program bimbingan teknis keluarga berintegritas yang digagas lembaga antirasuah mulai dari level pemerintah provinsi hingga kabupaten/kota.\"Kadang (edukasi) melalui pejabatnya tidak mempan, maka melalui istrinya,\" kata Kumbul.Dia meyakini melalui pembentukan keluarga berintegritas kasus korupsi di Indonesia bisa ditekan mulai dari level paling bawah.Melalui keluarga, kata dia, orang tua dapat berperan memberikan teladan bagi generasi muda terkait budaya antikorupsi menyongsong Indonesia Emas 2045.\"Kalau keluarga sudah antikorupsi diharapkan lingkungan berikutnya juga antikorupsi mulai RT, RW, desa, dan seterusnya,\" kata Kumbul.(sof/ANTARA)  

Ketua MPR RI Bamsoet Dorong Perbanyak Pemberian Bantuan Hukum Kepada Masyarakat

Jakarta, FNN | Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengajak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jaringan Nofel Nusantara yang diisi anak-anak muda untuk terjun ke pedesaan memberikan edukasi seputar literasi hukum. Sekaligus membantu masyarakat pedesaan yang membutuhkan bantuan hukum. Selain dengan cara pro bono, bisa juga dengan memanfaatkan kebijakan bantuan hukum (legal aid) sebagaimana diatur dalam UU No.16/2011 tentang Bantuan Hukum, Peraturan Pemerintah No.42/2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum serta Peraturan Mahkamah Agung No.1/2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.  \"Melalui berbagai ketentuan hukum tersebut, negara berkewajiban menyiapkan advokat secara gratis untuk pencari keadilan, dengan biaya yang dibebankan kepada anggaran bantuan hukum. Baik yang disediakan oleh anggaran pendapatan belanja negara (APBN) maupun anggaran pendapatan belanja daerah (APBD),\" ujar Bamsoet usai menerima LBH Jaringan Nofel Nusantara, di Jakarta, Selasa (17/10/2023). Pengurus LBH Jaringan Nofel Nusantara yang hadir antara lain, Wakil Ketua Umum Fahmi Namakule, Sekjen Al Musradin Adha, Wakil Ketua Bidang Organisasi, Kaderisasi dan Pelatihan Khefin Subagja, Kabid Advokasi dan Penanganan Perkara Ade Triantoro,  Kabid Perempuan dan Perlindungan Anak Lubna Putri Azahra, Kabid Kerjasama dan Hubungan Antar Lembaga Nur Syaban serta Kabid Humas M Fadly. Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, antara pro bono dan legal aid merupakan dua hal yang berbeda. Pro bono timbul dari kesadaran diri advokat atau kantor hukum untuk memberikan jasa hukum secara gratis kepada masyarakat pencari keadilan yang tidak mampu.  Sementara legal aid, masyarakat pencari keadilan tidak perlu membayar jasa advokat atau kantor hukum karena sudah ditanggung oleh negara. Legal aid merupakan kebijakan pemerintah untuk memberikan bantuan hukum kepada warga negaranya yang tidak mampu, bisa melalui LBH atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum. \"Setelah kurang lebih 19 tahun keberadaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, hingga kini penerapan jasa pro bono yang dilakukan oleh advokat masih belum terlaksana dengan baik. Begitupun dengan penerapan legal aid yang undang-undangnya sudah lahir sejak tahun 2011. Hal ini bukan semata karena kealpaan para advokatnya, melainkan memang karena tidak adanya aturan hukum yang tegas dan jelas serta bisa memandu para advokat dan pencari keadilan yang tidak mampu untuk mengakses pro bono dan ataupun legal aid,\" jelas Bamsoet. Ketua Dewan Pembina Depinas SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, untuk semakin memasifkan pro bono dan legal aid dalam aktifitas setiap advokat, Kementerian Hukum dan HAM perlu untuk duduk bersama dengan asosiasi/perhimpunan advokat. Sehingga bisa saling menemukan titik temu bagaimana mengimplementasikan dua hal tersebut secara efektif dan efisien. Sehingga masyarakat kurang mampu yang sedang mencari keadilan tidak lagi menghadapi kesulitan dalam mengakses jasa advokat. \"Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) melaporkan, total organisasi yang layak sebagai pemberi bantuan hukum dan dapat mengakses anggaran bantuan hukum yang disiapkan APBN/APBD pada periode tahun 2019 - 2021 tercatat sebanyak 524 organisasi. Jumlah tersebut masih sangat minim dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 270 juta jiwa, dengan penduduk miskin mencapai 26 juta jiwa yang masih sulit mengakses jasa advokat,\" pungkas Bamsoet. (Ida)